Anda di halaman 1dari 27

TUGAS ENTOMOLOGI KESEHATAN

“Ordo Diptera (Aedes sp.)”

Disusun oleh :

Suhartati (L J)

25000118183014

Entomologi Semester V

Dosen Pengampu : Nissa Kusariana, SKM, M.Si

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS DIPONEGORO
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nyamuk termasuk dalam subfamili Culicinae, family Culicidae (Nematocera:
Diptera) merupakan vektor atau penular utama dari penyakit arbovirus atau
arthropod-borne viruses. Di seluruh dunia terdapat lebih dari 2500 spesies
nyamuk meskipun sebagian besar dari spesies - spesies nyamuk ini tidak
berasosiasi dengan penyakit virus (arbovirus) dan penyakit - penyakit lainnya.
Jenis - jenis nyamuk yang menjadi vektor utama, biasanya adalah Aedes sp.,
Culex sp., Anopheles sp., dan Mansonia sp. (Sembel, 2009).
Aedes adalah genus nyamuk awalnya ditemukan di daerah tropis dan
subtropis. Hal ini dianggap sangat invasif di alam dan dapat membawa berbagai
patogen yang dapat ditularkan ke manusia. Spesies Aedes aegypti L. dan
Aedes albopictus (Skuse) adalah vektor utama yang menjadi perhatian di
seluruh dunia. Aedes aegypti merupakan vektor utama yang mentransmisikan
virus yang menyebabkan demam berdarah. Ia juga dikenal untuk mengirimkan
infeksi filaria Wuchereria bancrofti dan dari Cacing jantung dan parasit
Plasmodium gallinaceum burung (R. C. Russell, 2005). Aedes sp merupakan
vektor pembawa penyakit DBD, chikungunya, demam kuning, filariasis, radang
otak atau encephalitis.
Penyebaran penyakit Demam berdarah Dengue (DBD) di Indonesia kian
mengancam. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) menunjukan jumlah korban jiwa yang disebabkan oleh nyamuk
Aedes aegypti itu terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014
jumlahnya mencapai 903 orang dari 99.499 kasus DBD. Ini meningkat dari
tahun 2013 yang hanya 871 orang dari 112.511 kasus DBD, dan 2012 hanya
816 orang dari 90.245 kasus (Badan Litbangkes Kemenkes, 2015).
Tiga penyakit menjadi fokus perhatian di Indonesia, yaitu DBD, malaria, dan
filariasis. Berdasarkan data Kemenkes, penderita DBD (2013) 45,85 orang per
100.000 penduduk dengan tingkat kematian 0,77 persen. Kasus malaria (2013)
1,38 orang per 1.000 penduduk. Dan ada 302 kabupaten/kota endemis filariasis
dari 497 kabupaten/kota.
Awal tahun 2015 yang mengalami KLB DBD adalah jawa timur sebanyak
1.817 kasus demam berdarah dengue (DBD) telah dilaporkan oleh Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur kepada Kementerian Kesehatan RI. ada
peningkatan kasus DBD sebesar 46% bila dibandingkan bulan yang sama di
tahun 2014, yaitu 980 kasus. Seluruhnya terdapat 15 Kabupaten/Kota yang
menyandang status kejadian luar biasa (KLB) dikarenakan jumlah kasus DBD di
wilayah tersebut meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan bulan yang sama
di tahun 2014 (Depkes, 2015). Oleh sebab itu makalah ini dibuat untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai Aedes sp.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui taksonomi Aedes sp.
2. Untuk mengetahui morfologi Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
3. Untuk mengetahui siklus hidup Aedes sp
4. Untuk mengetahui kebiasaan hidup/bionomik nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus.
5. Untuk mengetahui penyebaran nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
6. Untuk mengetahui peranan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
sebagai vector.
7. Untuk mengetahui cara pengendalian nyamuk Aedes sp.
BAB II
ISI
A. Taksonomi Aedes sp
Nyamuk Aedes sp tersebar di seluruh dunia dan diperkirakan mencapai 950
spesies. Nyamuk ini dapat menyebabkan gangguan gigitan yang serius
terhadap manusia dan binatang, baik di daerah tropik dan daerah beriklim lebih
dingin.
1. Taksonomi Aedes Aegypti
Urutan klasifikasi dari nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Uniramia
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Subordo : Nematosera
Familia : Culicidae
Sub Family : Culicinae
Tribus : Culicini
Genus : Aedes
Spesies : Aedes Aegypti
(Djakaria S, 2004)
2. Taksonomi Aedes albopictus

Aedes albopictus termasuk dalam subgenus yang sama dengan Aedes


aegypti (Stegomya). Klasifikasi Aedes albopictus adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Insecta
Ordo : Diptera
Familia : Culicidae
Genus : Aedes
Spesies : Aedes albopictus
B. Morfologi Aedes aegypti dan Aedes albopictus
1. Telur
Telur Aedes sp. tidak mempunyai pelampung dan diletakkan
satu persatu di atas permukaan air, berwarna gelap, berbentuk oval
biasanya telur diletakkan diatas permukaan air satu- persatu dalam
keadaan menempel pada dinding tempat perindukannya. Ukuran
panjangnya 0,7 mm, dibungkus dalam kulit yang berlapis tiga dan
mempunyai saluran berupa corong untuk masuknya spermatozoa
(Sembel, 2009).
Telur Aedes aegypti dalam keadaan kering dapat tahan
bertahun – tahun lamanya. Telur berbentuk elips dan mempunyai
permukaan yang polygonal. Telurnya tidak akan menetas sebelum
tanah digenangi air dan telur akan menetas dalam waktu satu sampai
tiga hari pada suhu 30°C tetapi membutuhkan tujuh hari pada suhu
16°C (Neva FA and Brown HW, 1994).
Telur nyamuk Aedes albopictus berwarna hitam, yang akan
menjadi lebih hitam warnanya ketika menjelang menetas, bentuk
lonjong dengan satu ujungnya lebih tumpul dan ukurannya ± 0,5mm
(Boesri, Hasan. 2011). Telur Aedes albopictus waktu bertelur sesudah
menghisap darah dipengaruhi oleh temperatur. Waktu terpendek
antara menghisap darah dan bertelur untuk pertama kali ialah 7 hari
pada suhu 210 C dan 3 hari pada suhu 280 C. Telur yang masak
(umur4-7 hari) akan menetas segera sesudah kontak dengan air
(Sembel , 2009).
Gambar 1. Telur Aedes sp

2. Larva
Larva Aedes aegypti dapat bertahan hidup dan tumbuh normal
pada air got yang didiamkan dan menjadi jernih, sedangkan pada
air sumur dan PAM ketahanan hidupnya sangat rendah dan tidak
dapat tumbuh normal. Air limbah sabun mandi tidak
memungkinkan untuk hidup larva Ae aegypti (Sayono, 2011).

Gambar 2. Larva Aedes aegypti

Gambar 3. Larva Aedes albopictus


Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari. Ada 4
tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut,
yaitu:
a. Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm
b. Instar II : 2,5-3,8 mm
c. Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II
d. Instar IV : berukuran paling besar 5 mm.
Larva instar IV akan berubah menjadi pupa yang
berbentuk bulat gemuk menyerupai koma. Untuk menjadi nyamuk
dewasa diperlukan waktu 2-3 hari. Suhu untuk perkembangan
pupa yang optimal sekitar 270C-300C, tidak memerlukan makanan
tetapi memerlukan udara. Pada stadium pupa ini akan dibentuk
alat-alat tubuh nyamuk seperti sayap, kaki, alat kelamin, dan
bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).
Ciri-ciri dari larva Aedes aegypti adalah adanya corong
udara pada segmen terakhir. Pada corong udara tersebut
memiliki gigi pectin serta sepasang rambut dan jumbai. Pada
segmen abdomen tidak dijumpai adanya rambut berbentuk kipas
(palmate hairs). Pada setiap abdomen segmen kedelapan ada
comb scale sebanyak 8-21 atau berjejer 1-3 (Soegijanto, 2006).
Ciri-ciri dari larva Aedes albopictus adalah kepala
berbentuk bulat silindris, antenna pendek dan halus dengan
rambut-rambut berbentuk sikat di bagian depan kepala, pada ruas
abdomen 8 terdapat gigi sisir yang khas dan tanpa duri pada
bagian lateral thorax berukuran ± 5mm (Boesri, Hasan. 2011).
3. Pupa
Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan tetapi tetap aktif
bergerak dalam air terutama bila terganggu. Pupa akan berenang
naik turun dari bagian dasar ke permukaan air. Dalam waktu dua
atau tiga hari perkembangan pupa sudah sempurna, maka kulit
pupa pecah dan nyamuk dewasa muda segera keluar dan terbang
( Sembel, 2009).
Pupa Aedes albopictus bentuk seperti koma dengan
cephalothorax yang tebal, abdomen dapat digerakkan vertikal
setengah lingkaran, warna mulai terbentuk agak pucat berubah
menjadi kecoklatan kemudian menjadi hitam ketika menjelang
menjadi dewasa, dan kepala mempunyai corong untuk bernapas
yang berbentuk seperti terompet panjang dan ramping (Boesri,
2011).

Gambar 4. pupa Aedes


(sumber : Dept. Medical Entomology ICPMR, 2002)

Gambar 5. Nyamuk keluar dari pupa


Sumber : (Mani Saranya, 201
4. Nyamuk Dewasa

Aedes aegypti juga disebut sebagai Tiger mosquito atau


Black White Mosquito karena tubuhnya mempunyai ciri khas
berupa adanya garis-garis dan bercak bercak putih keperakan di
atas dasar warna hitam. Dua garis melengkung berwarna putih
keperakan di kedua sisi lateral serta dua buah garis putih sejajar
di garis median dari punggungnya yang berwarna dasar hitam
sedangkan pada Aedes albopictus hanya membentuk sebuah
garis lurus. Susunan vena sayap sempit dan hampir seluruhnya
hitam, kecuali bagian pangkal sayap. Seluruh segmen abdomen
berwarna belang hitam putih, membentuk pola tertentu, dan pada
betina ujung abdomen membentuk titik (meruncing) (Harwood RF
and James MT, 1979).
Aedes aegypti berbadan sedikit lebih kecil, tubuhnya
sampai ke kaki berwarna hitam dan bergaris-garis putih. Nyamuk
ini tidak menyukai tempat yang kotor, biasa bertelur pada
genangan air yang tenang dan bersih seperti pot bunga,
tempayan, bak mandi dan lain-lain yang kurang diterangi matahari
dan tidak dibersihkan secara teratur. Bagi nyamuk Aedes aegypti,
darah manusia berfungsi untuk mematangkan telur agar dapat
dibuahi pada saat perkawinan (Rozanah, 2004).
Mulut nyamuk termasuk tipe menusuk dan mengisap
(Rasping-Sucking), mempunyai enam stilet yaitu gabungan antara
mandibula, maxilla yang bergerak naik turun menusuk jaringan
sampai menemukan pembuluh darah kapiler dan mengeluarkan
ludah yang berfungsi sebagai cairan racun dan antikoagulan
(Sembel DT, 2009).
Gambar 6. Aedes aegypti

Gambar 7. Aedes albopictus


Nyamuk jantan umumnya lebih kecil dari nyamuk betina
dan terdapat rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan.
Kedua ciri ini dapat diamati dengan mata telanjang
(Gandahusada, dkk, 2000).
Tabel 1. Perbedaan Aedes aegypti dan Aedes albopictus

Aedes
No. aegypti Aedes albopictus

Menyukai tinggal di luar


1. Menyukai tinggal di dalam rumah
rumah (indoor). (outdoor).

Bersifat
2. Bersifat antropofilik antropofilik dan zoofilik
(menggigit manusia dan
(menggigit manusia). binatang).

Jara Jar
3. k terbang nyamuk ak terbang nyamuk dewasa
dewasa betina 30-50 meter. betina 400-600 meter.

Hanya mempunyai satu garis


4. Mempunyai punggung lurus
pada
berbentuk garis seperti lyre punggungnya.
dengan dua
garis lengkung
dan dua garis lurus putih.

5. Terdapat dua tambahan strip Mesepimeron membentuk


terpisa
putih h pada bagian tambalan putih berbentuk V.
mesepimeron
.

Anterior bagia Tid


6. pada n femur ak terdapat sstrip putih
memanjang pada bagian
kaki tengah terdapat strip femur
kak
putih memanjang. i.

Sumber : Diah Rahayu (2013)


C. Siklus Hidup Aedes sp
Aedes aegypti mengalami metamorfosis lengkap/metamorfosis
sempurna (holometabola) yaitu dengan bentuk siklus hidup berupa Telur,
Larva (beberapa instar), Pupa dan Dewasa (James MT and Harwood RF,
1969) Nyamuk Aedes aegypti, meletakkan telur pada permukaan air
bersih secara individual. Setiap hari nyamuk Aedes betina dapat bertelur
rata-rata 100 butir. Telurnya bebentuk elips berwarna hitam dan terpisah
satu dengan yang lain. Telur menetas satu sampai dua hari menjadi larva
(Ginanjar, 2008).
Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang disebut
instar. Perkembangan dari instar satu ke instar empat memerlukan waktu
sekitar 5 hari. Setelah mencapai instar keempat, larva berubah menjadi
pupa dimana larva memasuki masa dorman.

Pupa bertahan selama dua hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa


keluar dari pupa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa
membutuhkan waktu tujuh hingga delapan hari, tetapi dapat lebih lama
jika kondisi lingkungan tidak mendukung (Ginanjar, 2008).

Gambar 11. Siklus hidup nyamuk Aedes sp


Sumber :
http://www.cdc.gov/Dengue/entomologyEcology/m_lifecycle.html
Telur Aedes aegypti tahan terhadap kondisi kekeringan, bahkan
bisa bertahan hingga satu bulan dalam keadaan kering. Jika terendam
air, telur kering dapat menetas menjadi larva. Sebaliknya, larva sangat
membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi larva
saat berkembang dapat memengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang
dihasilkan. Sebagai contoh populasi larva yang melebihi ketersediaan
makanan akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cendrung lebih
rakus dalam menghisap darah (Ginanjar, 2008) .

D. Kebiasaan Hidup/Bionomik Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes


albopictus
1. Bionomik Nyamuk Aedes aegypti

a. Ketahanan hidup
Cuaca memegang peranan penting dalam daur hidup
nyamuk sebagai vector demam berdarah. Faktor yang
berpengaruh adalah curah hujan, suhu, kelembaban dan
kecepatan angin. Berkaitan dengan Climate change, semua
factor menjadi tidak dominan karena ketidak pastian cuaca
memberikan kombinasi yang beragam (Tjatur, 2013).
Perkembangan telur nyamuk tampak telah mengalami
embrionisasi lengkap dalam waktu 72 jam dalam temperature
udara 25-300C dan dijelaskan bahwa rata-rata suhu optimum
untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25- 27 0C dan pertumbuhan
nyamuk akan berhenti sama sekali Bila suhu kurang dari 10 0C
atau lebih dari 400C.Kalimantan merupakan daerah tropis, suhu
udara 25% merupakan suhu optimum untuk perkembangbiakan
jentik (Ridha, 2013).
b. Kebiasaan mengigit
Aktivitas mengigit mencapai puncak pada saat perubahan
intensitas cahaya tetapi bisa mengigit sepanjang hari dan tertinggi
sebelum matahari terbenam. Jarak terbang pendek yaitu 50-100
meter kecuali terbawa angin (Soegijanto, 2006).
Tidak seperti nyamuk lain, Aedes aegypti mempunyai
kebiasaan mengisap darah berulang kali (multiple bites) dalam
satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan
darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai
penular penyakit (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2008).

c. Perilaku istirahat
Nyamuk akan istirahat pada tempat-tempat yang gelap dan
sejuk apabila sudah menghisap darah, sampai proses
penyerapan darah untuk perkembangan telur selesai. Nyamuk
akan mencari tempat berair untuk meletakan telurnya, kemudian
bertelur dan kemudian nyamuk akan mulai mencari darah lagi
untuk siklus bertelur berikutnya (Soegijanto, 2006).

d. Kebiasaan berkembangbiak (Breeding Habit)


Aedes aegypti berkembangbiak di dalam tempat
penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum, vas bunga,
dan barang bekas yang dapat menampung air hujan di daerah
urban dan suburban (Soegijanto, 2006).

Gambar 12. Tempat perindukan Aedes aegypti


Sumber : http://entnemdept.ufl.edu/

2. Bionomik Nyamuk Aedes albopictus


a. Ketahanan nyamuk
Iklim dapat berpengaruh terhadap pola penyakit infeksi
karena agen penyakit baik virus, bakteri atau parasit, dan vektor
bersifat sensitif terhadap suhu, kelembaban, dan kondisi
lingkungan ambien lainnya. WHO (2003) menyatakan bahwa
penyakit yang ditularkan melalui nyamuk antara lain DBD
berhubungan dengan kondisi cuaca yang hangat. Curah hujan
ideal adalah air hujanyang tidak sampai menimbulkan banjir dan
air menggenang di suatu wadah/media yang menjadi tempat
perkembang-biakan nyamuk yang aman dan relatif masih bersih
(misalnya cekungan di pagar bambu, pepohonan, kaleng bekas,
ban bekas, atap atau talang rumah). Tersedianya air dalam media
akan menyebabkan telur nyamuk menetas dan setelah 10 sampai
12 hari akan berubah menjadi nyamuk. Bila manusia digigit oleh
nyamuk yang mengandung virus dengue maka dalam 4 sampai 7
hari kemudian akan menimbulkan gejala DBD (Ariati, 2014).
Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah, tetapi
metabolismenya menurun atau bahkan terhenti bila suhunya turun
sampai di bawah suhu kritis. Pada suhu yang lebih tinggi dari
35°C juga terjadi perubahan yang berupa lambatnya proses-
proses fisiologis. Rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan
nyamuk adalah 25°C sampai 27°C. Pertumbuhan nyamuk akan
terhenti sama sekali bila suhu kurang 10°C atau lebih dari 40°C.
Kelembaban akan berpengaruh terhadap umur nyamuk. Pada
kelembaban kurang dari 60% umur nyamuk akan menjadi pendek
dan tidak bisa menjadi vektor karena tidak cukup waktu untuk
perpindahan virus dari lambung ke kelenjar ludah. Kelembaban
rata-rata pada daerah kajian berkisar antara 83%-88% sementara
kelembaban optimum bagi kehidupan nyamuk adalah 70%
sampai 90% (Ariati, 2014).

b. Kebiasaan mengigit
Nyamuk Aedes albopictus menggigit di pagi, sore dan
malam hari dan puncaknya pada sore hari. Nyamuk Aedes
albopictus tidak hanya menggigit manusia, namun bisa menggigit
sapi, kucing anjing, tikus, ayam, ular, kadal dan katak (Devi,
2013).
c. Perilaku istirahat
Nyamuk Aedes albopictus biasanya beristirahat di tempat
yang teduh, ban bekas, semak-semak, kotak baterai, kontainer
limbah, dan gerabah (Devi, 2013). Perilaku nyamuk dewasa
Aedes albopictus boleh dikatakan sama dengan perilaku Aedes
aegypti meskipun nyamuk ini lebih suka beristirahat di dalam
rumah (Inge Sutanto, 2008).

d. Kebiasaan Berkembangbiak (Breeding Habit)


Aedes albopictus dalam musim penghujan relatif tersedia
lebih banyak tempat yang cocok bagi habitat Aedes albopictus.
Itulah sebabnya jumlah populasi Aedes albopictus merupakan
nyamuk yang selalu menggigit dan menghisap darah manusia
sepanjang hari mulai pagi-sore (Sembel, 2009).
Aedes albopictus bersifat aktif sama dengan Aedes aegypti,
yaitu di pagi dan sore hari. Aedes albopictus bertelur di air yang
tergenang, misalnya pada kaleng-kaleng bekas yang menampung
air hujan di halaman rumah. Pada musim penghujan, nyamuk ini
banyak terdapat di kebun atau halaman rumah karena terdapat
banyak tempat yang terisi air (Soegijanto, 2006).
Walaupun kadang-kadang larva Aedes albopictus
ditemukan hidup bersama dalam satu tempat perindukan dengan
larva Aedes aegypti, namun larva nyamuk ini lebih menyukai
tempat-tempat perindukan alamiah (plant containers) seperti
kelopak daun, tonggak bamboo dan tempurung kelapa yang
mengandung air hujan (Inge Sutanto, 2008).

F. Peranan Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus Sebagai


Vector
1. Aedes aegypti
Secara historis, nyamuk Aedes aegypti telah menjadi salah satu
vector nyamuk yang paling penting dari berbagai penyakit pada
manusia. Data kasus yang dilaporkan DBD menunjukkan lonjakan
yang jelas pada akhir tahun 2009, segera setelah terjadinya gempa
Padang tahun 2009, di akibatkan oleh meningkatnya jumlah nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus, dimana virus dangue yang
ada saat ini telah mengalami perkembangan genotipe (Fanany,
2012).
2. Aedes albopictus
Peranan Ae. albopictus dalam penularan penyakit sebai vector
sekunder maupun sebagai vector utama dilapangan maupun pada
percobaan laboratorium terhadap Demam Berdarah Dengue telah
terbukti dan menjadi masalah di beberapa Negara terhadap
penyakit penyakit virus yang menyerang syaraf seperti Japanese
encephalistis dan western atau eastern encephalistis serta
chikungunya dan telah dibuktikan secara laboratorium, demikian
juga pada penyakit penyakit hewan yang disebabkanoleh agen
dirofilaria imitis, plasmodium lophurae, P. gallinaceum dan P.fallax.
peranannya dialam terhadap penyakit virus dan parasite sejenis
pada manusia dan hewan perlu dipikirkan kemungkinannya(Boesri
Hasan, 2011)
Pada beberapa penyelidikan di laboratorium dapat terlihat
bahwa Aedes albopictus mampu menjadi penular atau reservoir dari
penyakit yang disebabkan oleh Dirofilaria immitis, Plasmodium
lophurae, Plasmodium gallinaceum, Plasmodium fallax dan
beberapa virus penyebab penyakit Western encephalistis,
Chikungunya dan Japanese encephalistis (Horsfall, 1955).

G. Cara Pengendalian Nyamuk Aedes sp


Pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit
demam berdarah dengue hingga ke tingkat yang bukan merupakan
masalah kesehatan masyarakat lagi. Kegiatan pemberantasan nyamuk
Aedes dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

1. Pemberantasan nyamuk dewasa a. Pengasapan (Fogging)


Pengasapan atau fogging dengan menggunakan jenis
insektisida misalnya, golongan organophospat atau pyrethroid
synthetic (Supartha, 2008). Contohnya, malathion dan fenthoin,
dosis yang dipakai adalah 1 liter malathion 95% EC + 3 liter solar.
Pengasapan dilakukan pada pagi antara jam 07.00-10.00 dan
sore antara jam 15.00-17.00 secara serempak (Depkes RI, 2004).
Penyemprotan dilakukan dua siklus dengan interval 1 minggu.
Pada penyemprotan pertama, semua nyamuk yang mengandung
virus dengue (nyamuk infentif) dan nyamuk lainnya akan mati.
Penyemprotan kedua bertujuan agar nyamuk baru yang infektif
akan terbasmi sebelum sempat menularkan kepada orang lain.
Dalam waktu singkat, tindakan penyemprotan dapat membatasi
penularan, akan tetapi tindakan ini harus diikuti dengan
pemberantasan terhadap jentiknya agar populasi nyamuk penular
dapat tetap ditekan serendah – rendahnya (Chahaya, 2005).
b. Repelen
Repelen yaitu bahan kimia atau non-kimia yang berkhasiat
mengganggu kemampuan insekta untuk mengenal bahan atraktan
dari hewan atau manusia. Dengan kata lain, bahan itu berkhasiat
mencegah nyamuk hinggap dan menggigit. Bahan tersebut
memblokir fungsi sensori pada nyamuk. Jika digunakan dengan
benar, repelen nyamuk bermanfaat untuk memberikan
perlindungan pada individu pemakainya dari gigitan nyamuk
selama jangka waktu tertentu (Kardinan, 2007). Nyamuk dalam
mengincar mangsanya lebih mengandalkan daya cium dan panas
tubuh calon korbannya. Daya penciuman itulah yang menjadi
target dalam menghalau nyamuk (Diah, 2008).
Salah satu cara yang lebih ramah lingkungan adalah
memanfaatkan tanaman anti nyamuk (insektisida hidup pengusir
nyamuk). Tanaman hidup pengusir nyamuk adalah jenis tanaman
yang dalam kondisi hidup mampu menghalau nyamuk. Cara
penempatan tanaman ini bisa diletakkan di sudut-sudut ruangan
dalam rumah, sebagai media untuk mengusir nyamuk. Jumlah
tanaman dalam ruangan tergantung luas ruangan. Sementara,
untuk penempatan diluar rumah/pekarangan sebaiknya diletakkan
dekat pintu, jendela atau lubang udara lainnya, sehingga aroma
tanaman terbawa angin masuk ke dalam ruangan. Contoh
tanaman anti nyamuk yang gampang ditemui antara lain:
Tembelekan (Lantana camera L), Bunga Tahi Ayam atau Tahi
Kotok (Tagetes patula), Karanyam (Geranium spp), Sereh Wangi
(Andropogonnardus/Cymbopogon nardus), Selasih (Ocimum spp),
Suren (Toona sureni, Merr), Zodia (Evodia suaveolens, Scheff),
Geranium (Geranium homeanum, Turez) dan Lavender
(Lavandula latifolia,Chaix) (Diah, 2008).
c. Teknik Serangga Mandul (TSM)
Radiasi dapat dimanfaatkan untuk pengendalian vektor yaitu
untuk membunuh secara langsung dengan teknik desinfestasi
radiasi dan membunuh secara tidak langsung yang lebih dikenal
dengan Teknik Serangga Mandul (TSM), yaitu suatu teknik
pengendalian vektor yang potensial, ramah lingkungan, efektif,
spesies spesifik dan kompatibel dengan teknik lain. Prinsip dasar
TSM sangat sederhana, yaitu membunuh serangga dengan
serangga itu sendiri (autocidal technique). Teknik Jantan Mandul
atau TJM merupakan teknik pemberantasan serangga dengan
jalan memandulkan serangga jantan. Radiasi untuk pemandulan
ini dapat menggunakan sinar gamma, sinar X atau neutron,
namun dari ketiga sinar tersebut yang umum digunakan adalah
sinar gamma (Nurhayati, 2005).
2. Pemberantasan jentik
a. Fisik
Cara ini dilakukan dengan menghilangkan atau mengurangi
tempat-tempat perindukkan. Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN) yang pada dasarnya ialah pemberantasan jentik atau
mencegah agar nyamuk tidak dapat berkembang biak. PSN ini
dapat dilakukan dengan (Chahaya, 2011) :
1) Menguras bak mandi dan tempat-tempat penampungan air
sekurang-kurangnya seminggu sekali. Ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa perkembangan telur menjadi nyamuk
selama 7-10 hari.
2) Menutup rapat tempat penampungan air seperti tempayan,
drum dan tempat air lain.
3) Mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung
sekurang-kurangnya seminggu sekali.
4) Membersihkan pekarangan dan halaman rumah dari
barang-barang bekas seperti kaleng bekas dan botol pecah
sehingga tidak menjadi sarang nyamuk.
5) Menutup lubang-lubang pada bambu pagar dan lubang
pohon dengan tanah.
6) Membersihkan air yang tergenang diatap rumah.
7) Memelihara ikan.
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) pada dasarnya
untuk memberantas jentik atau mencegah agar nyamuk tidak
dapat berkembang biak. Mengingat Aedes aegypti tersebar luas,
maka pemberantasannya perlu peran aktif masyarakat
khususnya memberantas jentik Aedes aegypti di rumah dan
lingkungannya masing-masing. Cara ini adalah suatu cara yang
paling efektif dilaksanakan karena (Chahaya, 2011) :
1) Tidak memerlukan biaya yang besar.
2) Bisa dilombakan untuk menjadi daerah yang terbersih.
3) Menjadikan lingkungan bersih.
4) Budaya bangsa Indonesia yang senang hidup bergotong
royong.
5) Dengan lingkungan yang baik tidak mustahil, penyakit lain
yang diakibatkan oleh lingkungan yang kotor akan
berkurang.
b. Kimia

Dikenal sebagai larvasidasi atau larvasiding yakni cara


memberantas jentik nyamuk Aedes aegypti dengan menggunakan
insektisida pembasmi jentik (larvasida). Larvasida yang biasa
digunakan antara lain adalah temephos yang berupa butiran –
butiran (sand granules). Dosis yang digunakan adalah 1 ppm atau
10 gram (± 1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air.
Larvasida dengan temephos ini mempunyai efek residu selama 3
bulan (Depkes RI, 2004).
Nama merek dagang temefos adalah abate. Abate
merupakan senyawa fosfat organik yang mengandung gugus
phosphorothioate. Bersifat stabil pada pH 8, sehingga tidak
mudah larut dalam air dan tidak mudah terhidrolisa. Abate murni
berbentuk kristal putih dengan titik lebur 30 0 – 30,50 C. Mudah
terdegradasi bila terkena sinar matahari, sehingga kemampuan
membunuh larva nyamuk tergantung dari degradasi tersebut.
Gugus phosphorothioate (P=S) dalam tubuh binatang diubah
menjadi fosfat (P=O) yang lebih potensial sebagai
anticholinesterase. Kerja anticholinesterase adalah menghambat
enzim cholinesterase baik pada vertebrata maupun invertebrata
sehingga menimbulkan gangguan pada aktivitas syaraf karena
tertimbunnya acetylcholin pada ujung syaraf tersebut. Hal inilah
yang mengakibatkan kematian (Fahmi, 2006).
Larva Aedes aegypti mampu mengubah P=S menjadi P=O
ester labih cepat dibandingkan lalat rumah, begitu pula penetrasi
abate ke dalam larva berlangsung sangat cepat dimana lebih dari
99% abate dalam medium diabsorpsi dalam waktu satu jam
setelah perlakuan. Setelah diabsorpsi, abate diubah menjadi
produk-produk metabolisme, sebagian dari produk metabolik
tersebut diekskresikan ke dalam air (Fahmi, 2006).
Namun, cara ini tidak menjamin terbasminya tempat
perindukkan nyamuk secara permanen karena masyarakat pada
umumnya tidak begitu senang dengan bau yang ditimbulkan
larvasida selain itu pula diperlukan abate secara rutin untuk
keperluan pelaksanaannya (Chahaya, 2011).
c. Biologi
Pengendalian ini dilakukan dengan menggunakan makhluk
hidup, baik dari golongan mikroorganisme, hewan invertebrata
atau hewan vertebrata. Organisme tersebut dapat berperan
sebagai patogen, parasit atau pemangsa. Beberapa jenis ikan
pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk seperti ikan kepala
timah (Panchax panchax), ikan gabus (Gambusia affinis) dan ikan
gupi lokal seperti ikan P.reticulata (Gandahusada, 1998). Menurut
penelitian Widyastuti (2011) model pengendalian vektor DBD
Aedes aegypti dapat menggunakan predator M.aspericornis lebih
efisien daripada menggunakan predator ikan cupang.
Selain cara diatas, ada pengendalian legislatif untuk
mencegah tersebarnya serangga berbahaya dari satu daerah ke
daerah lain atau dari luar negeri ke Indonesia, diadakan peraturan
dengan sanksi pelanggaran oleh pemerintah. Pengendalian
karantina di pelabuhan laut dan pelabuhan udara. Demikian pula
penyemprotan insektisida di kapal yang berlabuh atau kapal
terbang yang mendarat di pelabuhan udara. Keteledoran oleh
karena tidak melaksanakan peraturan-peraturan karantina yang
menyebabkan perkembangbiakan vektor nyamuk dan lalat, dapat
dihukum menurut undang-undang (Gandahusada, 1998).
BAB III
PENUTUP

1. Nyamuk Aedes sp termasuk dalam Kingdom Animalia, Filum Artropoda,


Kelas Insekta, Ordo Diptera, Genus Aedes.
2. Morfologi nyamuk Aedes sp yaitu mempunyai warna dasar hitam,
dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki. Panjang badan
sekitar 3-4 mm.
3. Aedes sp mengalami metamorfosis sempura dari telur-larva-pupa-
nyamuk dewasa yang memerlukan waktu hingga 9 hari.
4. Kebiasaan hidup atau bionomik nyamuk Aedes sp meliputi Kebiasaan
menggigit, kebiasaan istirahat dan kebiasaan berkembang biak.
Kebiasaan menggigit Aedes aegypti yaitu terutama pada pagi dan sore
hari. Sedangkan Aedes albopictus puncaknya pada sore hari.
Kebiasaan istirahat Aedes aegypti yaitu pada tempat-tempat yang gelap
dan sejuk apabila sudah menghisap darah, sampai proses penyerapan
darah untuk perkembangan telur selesai. Sedangkan nyamuk Aedes
albopictus beristirahat di tempat yang teduh. Aedes aegypti berkembang
biak di tempat-tempat penampungan air bersih. Sedangkan Aedes
albopictus lebih menyukai natural plant.
5. Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub-tropis sedangkan
Aedes albopictus menyebar di seluruh Amerika, Eropa, Afrika, dan
Timur Tengah.
6. Aedes aegypti merupakan vektor penyakit DB, DBD, DSS,
Chikungunya, Demam Kuning, Filariasis dan Encephalitis. Aedes
albopictus sebagai vektor potensial penyakit DBD.
7. Pengendalian nyamuk Aedes dapat dilakukan dengan cara: pada
nyamuk dewasa dengan pengasapan, repelen, dan TSM (Teknik
Serangga Mandul), pada jentik nyamuk dengan cara fisik seperti PSN
(Pemberantsan sarang nyamuk), cara kimia dengan larvasida, cara
biologi seperti menggunakan makhluk hidup, baik dari golongan
mikroorganisme, hewan invertebrata atau hewan vertebrata. Organisme
tersebut dapat berperan sebagai patogen, parasit atau pemangsa.
DAFTAR PUSTAKA

Ariati Jusniar, Athena Anwar. Model Prediksi Kejadian Demam Berdarah


Dengue (DBD) Berdasarkan Faktor Iklim di Kota Bogor, Jawa Barat.
Bul. Penelit. Kesehatan, Vol. 42, No. 4, Desember 2014: 249-256.
Badan Litbangkes Kemenkes, 2015. Dalam Tiap Tahun Korban Jiwa Akibat

DBD Meningkat. Senin, 16 Februari 2015 08:20


(http://digilib.unimus.ac.id)
Bahang, Z.B. 1978. Life history of Aedes (S) aegypty and Aedes (S)
albopictus under laboratory condition. Inst. For Med. Research. Kuala
Lumpur.
Boesri Hasan. Biologi dan Peranan Aedes albopictus(Skuse) 1894 sebagai
PenularPenyakit. Aspirator. Vol.3 no. 2 tahun 2011: 117-125 Chahaya,
I., 2011. Pemberantasan Vektor Demam Berdarah Di Indonesia.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3715/1/fkm indra
%20c5.pdf. Diakses tanggal 4 Februari 2012
Christopers, S.R. 1960. Aedes aegypti (L) The Yellow Fever Mosquito.
Cambridge Univ. Press. London.
Depkes RI. 2004. Perilaku Hidup Nyamuk Aedes aegypti Sangat Penting
Diketahui dalam Melakukan Kegiatan Pemberantasan Sarang
Nyamuk Termasuk Pemantauan Jentik Berkala. Jakarta: Buletin
Jendela.
Depkes RI, 2008, Modul Pelatihan bagi Pelatih Pemberantasan Sarang
Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) dengan pendekatan
Komunikasi Perubahan Perilaku, Jakarta.
Depkes RI, 2015 dalam
http://www.depkes.go.id/article/view/15013000002/kemenkes- terima-
laporan-peningkatan-kasus-dbd-di-jawa-
timur.html#sthash.qTkQwUDl.dpuf. KEMENKES TERIMA LAPORAN
PENINGKATAN KASUS DBD DI JAWA TIMUR . Jakarta 27 januari
2015
Diah Rahayu Fitri, Adil Ustiawan. Identifikasi aedes aegypti dan aedes
albopictus. Artikel. 30 Januari 2013, Reviewed: 25 April 2013,
Published: 31 Mei 2013
Djakaria, S. 2004. Pendahuluan Entomologi. Parasitologi Kedokteran Edisi
ke-3.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Fahmi, M. 2006. Perbandingan Efektifitas Abate Dengan Ekstrak Daun Sirih


(Piper Betle) Dalam Menghambat Pertumbuhan Larva Aedes aegypti.
Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
http://eprints.undip.ac.id/21271/1/Fahmi.pdf . Diakses tanggal 20
Maret 2015.
Gandahusada S dkk, 2003. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Gandahusada, S. Herry D.I, Wita Pribadi, 1998, Parasitologi Kedokteran,
Edisi III,FKUI,Jakarta
Ginanjar Genis. 2007. Apa yang Dokter Anda Tidak Katakan Tentang
Demam Berdarah. Edisi 1. Bandung : Bintang Pustaka. Hal. 21-22,
25 Agustus 2008.
HARWOOD,RF and JAMES,MT. and. 1969. Herm’s Medical Entomology.
6th Ed.The Macmillan Company USA
Ho, B.C. dkk. 1973. Field and laboratory observation on Landing bitting
periodicities of Aedes albopictus (Skuse). SEA J. Trop. Med. Pub.
Hlth. 4. pp. 238 – 244.
Horsfall, W.R. 1955. Mosquitoes Their bionomic and relation to disease. The
Ronald Press Co. New York
Jumali. 1979. Epidemic Degue Haemorhagic Fever in rural Indonesia III
Entom/ological studies. Am. J. Trop. Med. Hyg. 28
Kardinan, Agus. 2007. Tanaman Pengusir Dan Pembasmi Nyamuk.
Agromedia Pustaka. Jakarta.
Neva, F.A. Brown, H.W.1994. Basic Clinical Parasitology. 6th Ed. Prentice
Hall International Edition.
Nurhayati, S. 2005. Prospek Pemanfaatan Pengendalian Vektor Penyakit
Demam Berdarah Dengue,Buletin Alara, 7(1dan2)Agustus dan
Desember,pp.17-23.2005
R. C Russell Murray R. D, Davison R. M. Clinical presentation of PCOS
following development of an insulinoma: case report. Hum Reprod
2000;15:86-8.
Ridha rasyid M, Nita Rahayu, Nur Afrida Rosvita, Dian Eka Setyaningtyas1
The relation of environmental condition and container to the
existance of the Aedes aegypti larvae in dengue haemorrhagic
fever endemic areas in Banjarbaru. Jurnal Epidemiologi dan
Penyakit Bersumber Binatang. Vol. 4, No. 3, Juni 2013. Hal : 133 –
137
Rozanah,2004.http://garistepi.wordpress.com/2009/06/09/sistematika-
nyamuk-Aedesaegypti/-
Saranya. M, Mohanraj .R S, Dhanakkodi. B, Euro.J. Exp.Bio.,2013b 3: 203-
213.
Sayono, S Qoniatun, Mifbakhuddin. Pertumbuhan Larva Aedes aegypti
pada Air Tercemar. Vol 7 No 1 Tahun 2011
Sembel, D., 2009. Entomologi Kedokteran. Penerbit C.V. Andi Offset,
Yogyakarta.
Sen, S.K. 1926. Experiments on the transmission of interpest by means of
insectsDep. Agric. India. Ent. Ser. 9; 59.
Soegijanto, Soegeng, 2006. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi
di Indonesia. Cetakan I. Airlangga, Surabaya.
Soegijanto, Soegeng. 2006. Demam Berdarah Dengue. Edisi kedua.
Surabaya: Airlangga University Press. Hal: 247-256
Tjatur S Wahjoe.Demam Berdarah dalam Perspektif Urban : Analisa Statistik
untuk Awareness Strategy. Prosiding Conference on Smart-Green
Technology in Electrical and Information Systems Bali, 14-15
November 2013
Widyastuti,Umi. 2011. Pemetaan Program Pengendalian Vektor dan
Reservoir Penyakit di Jawa dan Bali. Penelitian Kebijakan.
http://www.b2p2vrp.litbang.depkes.go.id/artikel/Penelitian%20Kebij
akan.pdf. Diakses tanggal 20 Maret 2015

Anda mungkin juga menyukai