Anda di halaman 1dari 132

BAB 1

SEJARAH KEMUNCULAN PERSOALAN KALAM

Dan DASAR-DASAR QUR’ANI

A. Definisi Ilmu Kalam

Kalam menurut bahasa ialah ilmu yang membicarakan/ membahas tentang masalah
ketuhanan/ketauhidan. Ilmu kalam adalah ilmu yang

membicarakan tentang wujud Tuhan ( Allah ), sifat-sifat yang mesti ada

pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya dan sifat-sifat yang

mungkin ada pada-Nya dan membicarakan tentang Rasul-Rasul Tuhan,

untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti

ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya, dan sifa-sifat

yang terdapat padanya.

Ibnu khaldun mengatakan Ilmu kalam ialah ilmu yang berisi alasan

– alasan mempertahankan kepercayaan – kepercayaan iman dengan

menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang –

orang yang menyeleweng dari kepercayaan – kepercayaan aliran

golongan Salaf dan Ahli sunah. Masih ada definisi lainnya akan tetapi

kesemuanya itu berkisar pada persoalan kepercayaan diatas dan cara

menguraikan kepercayaan – kepercayaan itu, yaitu kepercayaan tentang

Tuhan dan sifat-sifat-Nya,tentang rasul-rasul dan sifat-sifatnya dan

kebenaran keutusannya, demikian pula tentang kebenaran kabar yang

dibawa Rasul itu, sekitar alam gaib, seperti akhirat dan seisinya.

Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ilmu kalam

membahas tentang masalah ketuhanan serta berbagai masalah yang


berkaitan dengannya berdasarkan dalill-dalil yang meyakinkan. Ilmu

kalam dinamakan ilmu kalam karena :

1 Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang: 2001),hlm. 3.

1. Persoalan penting yang menjadi pembicaraan pada abad-abad

permulaan Hijriah ialah ” firman Tuhan “( Kalam Allah ) dan non

azalinya Quran ( Khalq Al Quran ).

2. Dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil ini nampak

jelas dalam pembicaraan para mutakalimin. Mereka jarang kembali

keparda dalil naqli ( Quran dan Hadis ), kecuali sesudah menetapkan

benarnya pokok persoalan lebih dahulu.

3. Karena cara pembuktian kepercayaan-kepercayan agama

menyerupai logika dalam filsafat, maka pembuktian dalam agama ini

dinamakan ilmu kalam untuk membedakannya dengan logika dalam

filsafat.

Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama antara lain : ilmu

ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh al – akbar, dan teologi Islam. Disebut Ilmu

Ushuluddin karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama (ushuluddin).

Disebut ilmu Tauhid karena ilmu ini membahas keesaan Allah SWT.

Didalamnya dikaji pula tentang asma’(nama-nama) dan af’al(perbuatan-

perbuatan) Allah yang wajib,mustahil dan jai’iz, juga sifat yang

wajib,mustahil,dan jai’iz, bagi Rasul-Nya. Ilmu Tauhid sendiri sebenarnya


membahas keesaan Allah SWT, dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya.

Secara objektif, ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, tetapi argumentasi

ilmu kalam lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika. Oleh sebab

itu, sebagian teolog membedakan antara ilmu kalam dan ilmu tauhid.

kalam ini menyerupai ilmu Teologi bagi orang-orang Masehi. Ahli

ilmu kalam disebut Mutakalimin. Golongan ini bisa dianggap sebagai

golongan yang berdiri sendiri yang menggunakan akal pikiran ( alasan –

alasan pikiran ) dalam memahami nas-nas ( teks- teks ) agama dan

mempertahankan kepercayaan – kepercayaanya. Mereka berbeda

dangan golongan Hambali yang berpegangan teguh pada kepercayaan

– kepercayaan orang Salaf. Berbeda juga dengan orang tasawuf yang

mendasarkan pengetahuannya ( ilmunya makrifah ) kepada pengalaman

2 Ibid.,hlm.4-5

batin dan renungan atau kasyf ( terbuka dengan sendirinya ).

Mutakalimin juga berbeda dengan golongan filosof yang mengambil alih

pemikiran –pemiikiran filsafat yunani dan yang menganggap bahwa

filsafat itu benar-benar seluruhnya. Juga mereka berbeda dengan

golongan Syiah Ta’limiyyah yang mengatakan bahwa dasar utama untuk

ilmu, bukan yag didapati akal, bukan pula yang didapati dari dalil naqal (

quran dan hadis ),tetapi didapati dari imam-imam mereka yang suci (

maksum ).

3
B. Sumber – sumber Ilmu Kalam

1. Al-Quran

Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad SAW yang ditulis dalam mushaf, berbahasa Arab, dinukilkan

kepada kita dengan jalan-jalan mutawatir,diawali dengan surah Al-

Fatihah, diakhiri dengan surah An-Nas dan membacanya merupakan

ibadah. Alquran menjelaskan rambu-rambu masalah aqidah secara rinci

namun masalah ibadah dan hak-hak antar sesama dengan cara garis

besar. Dalam syariat islam Alquran adalah undang – undang dalam

menetapkan hukum sosial. Ia sebagai tuntunan Nabi dan pengikutnya,

karenanya ia sebagai sumber utama dan pertama. Sebagai sumber ilmu

kalam,Al-Quran banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan

masalah ketuhanan, diantaranya adalah :

a. Q.S Al-Ikhlas : 3-4

‫ׁ و مل وكي هل اوفك دحا ׁ وي دل مل دلي ملو‬

Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak beranak dan tidak

pula diperanakkan, serta tidak ada sesuatupun didunia ini yang

tampak sekutu dan sejajar dengan-Nya.

b. Q.S Asy-Syura : 7

3 Ibid., hlm. 5-6

‫ر اناء ايبرع ذنتل ر ما رقال ى نمو اهلوح ذنتو ذكو كل انيحوا كيال ق‬

‫ر عمجالموي ا بير هيف‬ ‫ׁ قيرف يف ةنجال قيرفو يف ريعسا‬


Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun

didunia ini, ia Maha mendengar dan Maha mengetahui.

c. Q.S Al-Furqan :59

‫يلع ىذال قلخ تومسال ضرااو امو امهنيب يف ةتس ايأ م مث ىوتسا‬

‫ׁ شرعال ا رل نمح لئسف هب اريبخ‬

Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan yang Maha penyayang

bertahta diatas “ Arsy “ Ia pencipta langit, bumi dan semua yang

ada diantara keduanya.

d. Q.S Al-Fath : 10

‫نا ذال ني ابي كنوعي امنٳ ابي نوعي ا دي ا قوف مهيديٲ نمف ثكن إف‬

‫ىف امب دهع هيلع ا ؤيسف هيت ارجا امن ثكني ىلع هسفن ׁ نمو وٲ‬

‫ׁ اميظع‬

Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “ tangan “

yang selalu berada diatas tangan orang-orang yang

melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh dengan

jalan Allah.

e. Q.S An-Nisa : 125

‫ ل وهو نسحم عبتاو ةلم ميهربٳ ملسٲ و نمو نسحٲ انيد نمم‬, ‫ههج‬

‫ׁ افينح ׁ اذختاو ا ميهربٳ ايلخ‬

Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan menurunkan aturan

berupa agama, seseorang dikatakan telah melaksanakan

agama apabila melaksanakannya dengan ikhlas karena Allah.

2. Hadits

Hadis adalah apa-apa yang datang dari Nabi berupa

perkataan,perbuatan,persetujuan,sifat-sifat beliau baik sifat jasmani

atau sifat –sifat akhlak. Hadis atau sunah merupakan sumber syari’at
5

Islam setelah Al-Quran. Hadis juga merupakan sumber hukum

independent (mustaqil) yang tidak ada hukumnya dalam Al-Quran,

contoh hadis yang kemudian dipahami sebagian ulama sebagai

prediksi Nabi mengenai kemunculan berbagai golongan dalam ilmu

kalam. “ Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. ia mengatakan

bahwa Rasulullah bersabda : “ orang-orang Yahudi akan terpecah

menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan pecah menjadi

tujuh puluh golongan”. “ Hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin

Umar : ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda : “ akan menimpa

umatku apa yang pernah menimpa Bani Israil telah terpecah belah

menjadi 7 golongan dan umatku akan terpecah belah menjadi 73

golongan. Semuanya akan masuk neraka,, kecuali satu golongan saja,

siapa mereka itu wahai Rasulullah ?. tanya para sahabat, Rasulullah

menjawab “ mereka adalah yang mengikuti jejakku dan sahabat-

sahabatku “.

Syekh Abdul Qadir mengomentari bahwa hadis yang berkaitan

dengan masalah faksi umat ini yang nerupakan salah satu kajian ilmu

kalam mempunyai sanad yang banyak. Keberadaan hadis yang

berkaitan dengan perpecahan umat seperti diatas, pada dasarnya

merupakan predisi nabi dengan melihat yang tersimpan dalam hati para

sahabatnya. Oleh sebab itu, sering dikatakan bahwa hadis-hadis

seperti itu llebih dimaksudkan sebagai peringatan bagi para sahabat

dan umat Nabi tentang bahayanya perpecahan dan pentingnya


persatuan.

3. Pemikiran manusia

Sebelum filsafat Yunani masuk dan berkembang didunia Islam,

umat islam sendiri telah menggunakan pemikiran rasionalnya untuk

menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ayat – ayat Al-Quran

terutama yang belum jelas maksudnya ( al-mutasyabihat ) keharusan

untuk menggunakan rasio ternyata mendapat pijakan dari beberapa

ayat A-Quran diantaranya : Q.S Muhammad ayat 24

‫نا ما يلع بولق اهالفقا افا نوربدتي رقال‬

Artinya : “ Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah

hati mereka terkunci ?”

Adapun sumber ilmu kalam berupa pemikiran yang berasal dari

luar Islam dapat diklasifikasikan dalam dua kategori :

a. Pemikiran non muslim yanng telah menjadi paradaban lalu

ditransfer dan diasimilasikan dengan pemikiran Islam.

b. Berupa pemikiran – pemikiran non muslim yang bersifat

akademis, seperti filsafat ( terutama dari Yunani ) sejarah dan

sains.

4. Insting

Kepercayaan adanya Tuhan secara instingtif telah berkembang

sejak keberadaan manusia pertama. Oleh karena itu sangat wajar

kalau William L. Resee mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan

dengan ketuhanan yang dikenal dengan istilah theologia, telah


berkembang sejak lama, ia bahkan mengatakan bahwa teologi muncul

dari sebuah mitos ( theologia was origining viewed as concerned with

myth ). Selanjutnya teologi itu berkembang menjadi ( Theologi

natural/teologi alam ) dan reeled the theologi ( teologi wahyu )

C. Sejarah Timbulnya Persoalan-Persoalan Teologi (Ilmu Kalam)

Dalam Islam

Sejarah mengatakan bahwa setalah wafatnya Nabi Abu Bakar lah

yang disetujui oleh masyarakat islam di waktu itu untuk menjadi penggati

atau khalifah Nabi dalam mengepalai Madinah. Kemudian Abu Bakar

digantikan oleh Umar Ibn Khattab dan kemudian digantikan oleh Usman

Ibn ‘Affan.

Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya.

Kaum keluarganya terdiri dari orang ariskorat Mekkah yang karena

4 Abdul Rozak dan Rosihan Anwar,op.cit. hlm.15-27.

pengalaman dagang mereka, mempunyai pengetahuan tentang

administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam memimpin

administrasi daerah-daerah di luar semenanjung Arabia yg bertambah

banyak dan masuk dalam kekuasaan islam. Ahli sejarah

menggambarkan ‘Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup

menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia


mengangkat mereka menjadi gubernur di daerah yang tunduk kepada

kekuasaan islam. Sedangkan gubernur-gubernur yang diangkat oleh

Umar Ibn al- Khattab, khalifah yang terkenal sebagai orang kuat dan tak

memikirkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh Usman.

Tindakan-tindakan politik yang dijalankan Usman ini menimbulkan

reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya, Sahabat-sahabat Nabi

yang pada mulanya menyokong Usman ketika melihat tindakan yang

kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang ke tiga ini.

Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya membawa pada

pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir.

Setelah Usman wafat Ali menjadi calon khalifah yang keempat.

Segera mendapatkan tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula

menjadi khalifah. Tantangan pertama datang dari Zubayr dan °alhah di

Mekah, yang memperoleh dukungan dari Aisyah isteri Rasulullah.

Tantangan dari tiga pemuka ini dapat dipatahkan oleh Ali dalam

pertempuran di Idlak pada tahun 656 M ‘Alhah dan Zubayr mati terbunuh

sedangkan Aisyah di antar kembali ke Mekkah.

Tantangan lain yang lebih dahsyat lagi datang dari pihak

Mu’awiyah, gubernur Damaskus mendapat dukungan dari keluarga

Usman, menuntut Ali untuk menghukum pembunuh-pembunuh Usman,

bahkan menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan itu. Salah seorang

pemuka pemberontak datang dari Madinah yang membunuh Usman

adalah anak angkat dari Ali bin Abi Thalib, yaitu Muhammad ibn Abi

Bakar dan ternyata pula Ali tidak menghukum anak angkatnya tersebut

malah kemudian mengangkatnya menjadi Gubernur Mesir.


8

Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di

Shiffin, tentara Ali dapat mendesak tentara Muawiyah tersebut bersedia

untuk lari. Amr ibn Al-Ash yang terkenal licik merupakan tangan kanan

Mu’awiyah, minta berdamai dengan pihak Ali dengan mengangkat Al-

Qur’an ke atas. Dalam perundingan perdamaian yang disebut tahkim

(arbitrase) itu, pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari seorang moralis

berhadapan dengan Amr ibn Al-Ash yang mewakili pihak Mu’awiyah .

mengalahkan perasaan takwa Abu Musa.

Sejarah mengatakan antara keduanya terdapat pemufakatan untuk

menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Mu’awiyah.

Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asy’ari, sebagai yang tertua,

terlebih dahulu mengumumkan kepada orang ramai putusan

menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan

apa yang telah disetujui, Amr Ibn al-As, mengumumkan hanya

menyetujui penjatuhan Ali yang telah diumumkan Abu Musa tetapi

menolak penjatuhan Muawiyah.

Sebagian pengikut ‘Ali, yang sejak semula tidak menyetujui

diadakan tahkim, apa lagi terbukti tahkim itu tidak menguntungkan

mereka, mereka memandang Ali telah melakukan penyimpangan dari

hukum Allah. Mereka menganggap perselisihan itu tidak dapat

diputuskan lewat tahkim buatan manusia. Putusan hendaknya dari Allah,

dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Qur'an.

Karena itu, mereka keluar dari barisan Ali bahkan kemudian menjadi
musuh Ali, Dari sikap mereka yang demikian itulah mereka disebut kaum

Al-Khawarij yakni golongan yang memisahkan dari kesatuannya.

Dari latar belakang itu, timbullah konsep dosa besar yang diadakan

oleh kaum khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim itu sebagai

suatu dosa besar. Karena itu, Ali bersama orang yang terlibat dalam

tahkim, yaitu Mu’awiyah, Amr ibn Al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah

pelaku dosa besar. Menurut mereka lebih dari itu, bagi kaum khawarij

orang-orang tersebut telah menjadi kafir murtad karena melakukan

tahkim di luar ketentuan hukum Allah.

Untuk memperkuat alasan mereka, kaum Khawarij mengemukakan

ayat al-Qur'an.

Al-Ma’idah : (5) 44

... ‫ׁ نم مل مكحي آمب أ لزن ا كئلوأف مه نوريفكال‬

Persoalan - persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagai

digambarkan di atas inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya

persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan

siapa yang masih tetap dalam islam. Khawarij memandang bahwa Ali,

Muawiyah, Amr Ibn al-As, Abu Musa al-Asy’ari dan yang lain-lain yang

menerima arbitrase adalah kafir.

Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte.

Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir

bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan Al-

Qur’an, akan tetapi orang yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib
kaba’ir atau capital sinners, juga dipandang kafir.Persoalan orang

berbuat dosa inilah kemudian yang mempunyai pengaruh besar dalam

pertumbuhan teologi selanjutnya dalam islam. Persoalnnya adalah:

masikah ia bisa dipandang orang mukmin ataukah ia sudah menjadi kafir

karena berbuat dosa sebesar itu?

Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam. Pertama

aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah

kafir, oleh karena itu wajib dibunuh. Aliran kedua ialah Mur’jiah yang

menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa tetap mukmin dan bukan

kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT

untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.

Kaum Mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima pendapat-

pendapat di atas. Bagi mereka orang berdosa yang besar bukan kafir,

tetapi bukan pula mukmin, yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan

istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi).

10

Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran dalam teologi

yang terkenal dengan nama al-qadariah dan al-jabariah. Menurut

qadariah manusia memiliki kemerdekaan dalam bentuk kehendak dan

perbuatannya ( free will dan free act) Sedangkan Jabariah sebaliknya,

manusia dalam segala tingkahlakunya bertindak dengan paksaan tuhan.

Segala gerak-gerikn manusia ditentukan oleh tuhan (predestination atau

fatalism).

Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam


Islam ialah aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah.

Aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah tak mempunyai wujud kecuali dalam

sejarah. Denga masuknya kembali paham rasionalisme ke dunia islam,

yang kalau dahulu masuknya itu melalui kebudayaan yunani kelasik akan

tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat Modern, maka ajaran-ajaran

Mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali dikalangan kaum

intelegensi islam yang mendapat pendidikan barat.

5 Diskusi bersama

(Dr. Sumarto : 2017)

5 Harun Nasution,Teologi Islam(Jakarta: UI Press 2007), hlm.3.

11

Ilmu kalam

Konsep komprohensif

aliran-aliran pemikiran

islam

Setelah Rasulullah SAW wafat

Tauhid Ushuludin Fiqih

Studi deskripsi, explanation,

justifikasi

Politik sosial budaya

kepemimpinan

kemasyarakatan
Tradisi

Ali bin abi tholib

khawarij Asy’ariah

Syi’ah

Mu’tazilah Sekte-sekte

12

BAB 2

KERANGKA BERFIKIR ALIRAN-ALIRAN ILMU

KALAM DAN HUBUNGAN ANTARA ILMU KALAM,

FILSAFAT dan TASAWUF

A. Kerangka Berpikir Aliran – Aliran Ilmu Kalam

Untuk mengkaji aliran – aliran ilmu kalam pada dasarnya merupakan

upaya untuk memahami kerangka berpikir serta proses pengambilan

keputusan para ulama aliran teologi dalam menyelesaikan persoalan –

persoalan kalam. Pada dasarnya, potensi yang dimiliki setiap manusia

yang baik berupa potensi biologis maupun potensi psikologis yang

secara natural adalah sangat distingtif. Oleh sebab itu, perbedaan

kesimpulan antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya dalam

mengkaji suatu objek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural

pula.

Dalam kaitan ini, Waliyullah Ad-Dahlawi pernah mengatakan bahwa

para sahabat dan tabi’in biasa berbeda pendapat dalam mengkaji suatu

masalah tertentu. Beberapa indikasi yang menjadi pemicu perbedaan

pendapat diantara mereka adalah terdapat beberapa sahabat yang


mendengarkan keputusan hukum yang diputuskan oleh Nabi, sementara

sahabat yang lainnya tidak mendengarkan keputusan hukum dari Nabi.

Para sahabat yang tidak mendengar keputusan hukum dari Nabi itu lalu

berijtihad. Dari sini kemudian terjadi perbedaan pendapat dalam

memutuskan suatu ketentuan hukum.

Mengenai sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat, Ad-Dahlawi

tampaknya lebih menekankan aspek subjek pembuatan keputusan

sebagai pemicu perbedaan pendapat. Penekanan serupa pun pernah

dikatakan Imam Munawwir. Ia mengatakan bahwa perbedaan pendapat

di dalam Islam lebih dilatarbelakangi adanya beberapa hal yang

13

menyangkut kapasitas dan kredibilitas seseorang sebagai figur pembuat

keputusan. Lain lagi dengan yang dikatakan Umar Sulaiman Asy-

Syaqar. Ia lebih menekankan aspek objek keputusan sebagai pemicu

terjadinya perbedaan pendapat. Menurutnya, ada tiga persoalan yang

menjadi objek perbedaan pendapat, yaitu persoalan

keyakinan (aqa‘id),persoalan syariah, dan persoalan politik.

Bertolak dari ketiga pandangan diatas, perbedaan pendapat di

dalam masalah objek teologi sebenarnya berkaitan erat dengan metode

bepikir aliran-aliran Ilmu Kalam dalam menguraikan objek pengkajian

(persoalan-persoalan kalam). Perbedaan cara berpikir secara garis

besar dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu metode bepikir

rasional dan metode berpikir tradisional. Metode berpikir rasional

memiliki prinsip berikut ini:


1. Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut

dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Yakni ayat yang gathi (ayat yang tidak

boleh disamakan dengan arti lain).

2. Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan

berkehendak.

3. Serta memberikan daya yang kuat kepada akal.

Metode berpikir tradisional memiliki prinsip berikut ini:

1. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni

(yang boleh mengandung arti lain selain dari arti harfinya).

2. Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan

berbuat.

3. Memberikan daya yang kecil kepada akal

Metode berpikir kedua macam di atas, terutama menyangkut

peranan akal dan wahyu. Teologi rasional memberikan peranan yang

besar terhadap akal. Dalam pandangan teologi ini, akal dapat

mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, baik dan jahat,

kewajiban mengerjakan yang baik dan kewajiban menjahui yang jahat.

Adapun teologi tradisional memberikan peranan yang kecil terhadap

14

akal. Hanya mengetahui Tuhanlah yang dapat dijangkau akal dan

selebihnya dietahui wahyu.

Aliran teologi yang sering disebut-sebut memiliki cara berpikir

teologi rasional adalah Mu’tazilah. oleh karena itu, Mu’tazilah dikenal

sebagai aliran yang bersifat rasional dan liberal. Adapun teologi yang
sering disebut-sebut memiliki metode berpikir tradisional

adalah Asy’ariyah. Mengenyampingkan pengategorian teologi rasional

dan teologi tradisional, dikenal pula pengategorian akibat adanya

perbedaan kerangka berpikir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan

kalam.

B. Aliran Antroposentris

Aliran antroposentris menganggap bahwa hakikat realitas

transenden bersifat intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat

dengan masyarakat kosmos baik yang natural maupun yang supra

natural dalam arti unsur-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos. Unsur

supranatural dalam dirinya merupakan sumber kekuatannya. Tugas

manusia adalah melepaskan unsure natural yang jahat. Dengan

demikian, manusia harus mampu menghapus kepribadian

kemanusiannya untuk meraih kemerdekaan dari lilitan naturalnya. Orang

yang tergolong dalam kelompok ini berpandangan negatif terhadap dunia

karena menganggap keselamatan dirinya terletak pada kemampuannya

untuk membuang semua hasrat dan keinginannya. Sementara

ketakwaan lebih diorientasaikan kepada praktek-praktek pertapaan dan

konsep-konsep magis. Tujuan hidupnya bermaksud menyusun

kepribadiannya kedalam realita impersonalnya.

Manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap

hakekat realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan inpersonal

dating kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya ini

berupa potensi yang menjadikannya mampu membedakan mana yang

baik dan mana yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan
memperileh keuntungan melimpah (surge), sedangkan manusia yang

15

memilih kejahatan, ia akan memperoleh kerugian melimpah pula

(neraka). Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak

tanpa campur tangan realitas transenden. Aliran teologi yang termasuk

dalam katagori ini adalah Qadariyah, Mu’tazilah dan Syi’ah.

Anshari menganggap manusia yang berpandangan antroposentris

sebagai sufi adalah mereka yang berpandangan mistis dan statis.

Padahal manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap

realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan impersonal datang

kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya itu berupa

potensi yan menjadikannyamampu membedakan mana yang baik dan

mana yamg jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperoleh

keuntungan melimpah (surga), sedangkan manusia yang memilih

kejahatan, ia akan memeroleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan

dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan

realitas transenden.aliran teologi yang termasuk dalam kategori ini

adalah Qadariah, Mu’tazilah dan Syi’ah.

C. Teolog Teosentris

Aliran teosentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden

bersifat Suprakosmos, personal dan ketuhanan, Aliran teosentris

menganggap daya yang menjadi potensi perbuatan baik atau jahat bisa

datang sewaktu-waktu dari Tuhan. Aliran ini yang tegolong kategori


Jabbariyah. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang ada di kosmos

ini, Ia dengan segala kekuasaan-Nya, mampu berbuat apa saja secara

mutlak Sewaktu-waktu ia dapat muncul pada masyarakat kosmos. Dan

manusia adalah makhluk ciptaan-Nya sehingga harus berkarya

hanyauntuk-Nya.Manusia teosentris adalah manusia statis karena sering

terjebak dalam kepasrahan mutlak kepada tuhan. Bagianya, segala

sesuatu/perbuatanya pada hakikatnya adalah aktiitas tuhan. Ia tidak

mempunyai ketetapan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan

6 Abdul Rozak, dan Rohison Anwar Ilmu kalam, Cet. III, (Bandung: CV Pustaka Setia,

2007), hlm44-45.

16

Tuhan.Sikap kepasrahan menandakan ia tidak mempuyai pilihan.

Baginya segala perbuatannya pada hakikatnya adalah aktivitas Tuhan .

ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan.

Denagn cara itu Tuhan menjadi penguasa mutlak yang tidak dapat

diganggu gugat. Tuhan bisa saja memasukkan manusia jahat kedalam

keuntungan yang melimpah (surga). Begitu pula, Dia dapat memasukkan

manusia yang taat dalam situasi yang serba rugi yang terus-menerus

(neraka).

Didalam kondisi yang serba relatif, diri manusia adalah migran

abadi yang aka segera kembali kepada Tuhan. Untuk itu manusia harus

mampu meningkatkan keselarasan dengan realitas tertinggi dan

transenden melalui ketakwaan. Dengan ketakwaannya, manusia akan


memperoleh kesempurnaan yang layak, sesuai dengan naturalnya.

Dengan kesempurnaan itu pula, manusia akan menjadi sosok yang ideal,

yang mampu memancarkan atribut-atribut ketuhanan dalam cermin

dirinya. Kondisi semacam inilah yang pada saatnya nanti akan

menyelamatkan nasibnya di masa yang akan datang.

Oleh sebab itu, ada kalanya manusia mampu melaksanakan

sesuatu perbuatan tatkala ada daya yang datang kepadanya. Sebaliknya

ia mampu melaksanakan suatu perbuatan apapun tatkala ia ada daya

yang datang kepadanya. Dengan perantara daya, Tuhan selalu campur

tangan. Bahkan bisa dikatakan manusia tidak ada daya sama sekali

terhadap segala perbuatannya. Aliran teologi yang tergolong dalam

kategori ini adalah Jabbariyah.

D. Hubungan ilmu kalam, ilmu tasawuf dan filsafat

1. Titik persamaan

Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek

kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan

dengannya.Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan di samping

7 Ibid., hlm.45-46.

17

masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu objek

kajian tasawuf adalah tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadapnya.

Jadi, dilihat dari aspek objeknya ketiga ilmu itu membahas masalah yang
berkaitan dengan ketuhanan.

Argumentasi filsafat, ilmu kalam di bangun di atas dasar logika. Oleh

karena itu , hasil kajiannya bersipat spekulatif ( dugaan yang tak dapat di

buktikan secara empiris, riset, dan eksperimental. Kerelatifan hasil karya

logika itu menyebabkan beragamnya kebenaran yang di hasilkan.

Ilmu kalam dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran

tentang tuhan dan yang berkaitan dengannya. Filsafat dengan

wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran , baik tentang

alam maupun manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu

pengetahuan karena berada di luar atau di atas jangkauannya), atau

tentang tuhan. Sementara itu tasawuf juga dengan metodenya yang

tifikal berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan

perjalanan menuju Tuhan.

2. Titik Perbedaan

Perbedaan diantara ketiga ilmu tersebut terletak pada aspek

metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika,

disamping argumentasi-argumentasi naqliyah berfungsi untuk

mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak

apologinya. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode

dialektika (jadaliyah) dikenal juga dengan istilah dialog keagamaan, ilmu

kalam berisi keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang

dipertahankan melalui argumen-argemen rasional. Sebagian ilmuwan

bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-keyakinan

kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman


keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.

8Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009),hlm 39-40.

18

Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk

memproleh kebenaran rasional. Metode yang digunakan pun adalah

metode rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara

menuangkan (mengembarakan atau mengelanakan) akal budi secara

radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh)

serta universal (mengalam) tidak merasa terikat oleh ikatan apapun,

kecuali ikatan tangannnya sendiri yang bernama logika.

9 Berpikir radikal,

radix artinya akar, sehingga berpikir radikal artinya sampai keakar suatu

masalah, mendalam sampai ke akar-akarnya, bahkan melewati batas-

batas fisik yang ada, memasuki medan pengembaraan diluar suatu yang

fisik.Berfilsafat adalah berpikir dalam tahap makna,ia mencari hakikat

makna dari sesuatu atau keberadaan dan kehadiran.

10

Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa dari

pada rasio. Oleh sebab itu, filsafat dan tasawuf sangat distingtif. Sebagai

sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, ilmu tasawuf bersifat

sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman

seseoarang. itulah sebabnya, bahasa tasawuf sering tanpak aneh bila

dilihat dari aspek rasio. Hal ini karena pengalaman rasa sangat sulit
dibahasakan. Pengalaman rasa lebih mudah dirasakan langsung oleh

orang yang ingin memproleh kebenarannya dan mudah digambarkan

dengan bahasa lambang, sehingga sangat interpretable (dapat

diinterpretasikan bermacam-macam).

Sebagian orang memandang bahwa ketiga ilmu itu memiliki jenjang

tertentu. Jenjang pertama adalah ilmu kalam, kemudian filsafat dan

yang terakhir adalah ilmu tasawuf. Oleh sebab itu, merupakan suatu

kekeliruan apabila dialektika kefilsafatan atau tasawuf teoretis

9 Ibid., hlm 40-41.

10 Musa Asy’arie ,Filsafat Islam, (Yogyakarta: Lesfi ,2002), hlm 3-4.

19

diperkenalkan kepada masyarakat awam karena akan berdampak pada

terjadinya rational jumping (lompatan pemikiran).

11

3. Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu Kalam

Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak

mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam

Tuhan. Persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan

yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional

(aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan

adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode

berfikir filosopis. Adapun argumentasi naqliyah biasanya bertendensi

pada argumentasi dalil-dalil al-qur’an dan Hadis. Ilmu kalam sering


menempatkan diri pada kedua pendekatan ini (aqli dan naqli), tetapi

dengan metode argumentasi yang dialektik.

Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam

terkesan tidak menyentuh dzauq (rasa rohaniah). Sebagai contoh ilmu

tauhid menerangkan bahwa Allah bersifat sama’

(mendengar), bashar (melihat), kalam (berbicara), iradah (berkemauan)

, qudrah (kuasa),hayat (hidup), dan sebagainya.Namun Ilmu kalam tidak

menjelaskan bagaimanakah seorang hamba dapat merasakan langsung

bahwa Allah mendengar dan melihat. Ketika membaca al-qur’an dan

bagaimana seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta

merupakan pengaruh dari qudrah (kekuasaan) Allah SWT?

Pertanyaan-pertanyaan ini sulit terjawab ketika hanya melandaskan

diri pada Ilmu tauhid atau Ilmu Kalam ,dan biasanya yang membicarakan

tentang penghayatan hingga sampai pada penamaan kejiwaan manusia

,adalah ilmu Tasawuf.Disiplin inilah yang membahas bagaimana

merasakan nilai-nilai Aqidah dengan memperhatikan bahwa persoalan

tadzawwuq ((bagaimana merasakan) tidak saja dalam permasalahan

11 Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 41-43.

20

perkara-perkara yang sunnah atau sesuatu yang mustahab (dianjurkan),

justru akan menemukan perkara-perkara yang diwajibkan .

Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya,

kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya.


Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode

praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, seperti dijelaskan

juga tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan.

Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai

pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan

yang mendalam melalui hati (dzauq danwijdan) tehadap ilmu tauhid atau

ilmu kalam menjadikan ilmu tasawuf lebih terhayati atau teraplikasikan

dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan

penyempurna ilmu tauhid jika dilihat dari sudut pandang bahwa ilmu

tasawuf merupakan sisi terapan rohaniah dari ilmu tauhid.

Ilmu kalam berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena

itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan aqidah, atau lahir

suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-

Sunah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Selain

itu, ilmu tasawuf juga berfungsi sebagai pemberi

kesadaranrohaniah dalam pedebatan kalam. Sebagaimana disebutkan

bahwa ilmu kalam dalam dunia islam cenderung menjadi sebuah ilmu

yang mengandung muatan rasional dan muatan aqliyah. Jika tidak

diimbangi oleh kesadaran rohaniah , ilmu kalam dapat bergerak ke arah

yang lebih liberal dan bebas.

Hubungan ilmu tasawuf dan ilmu tauhid dalam buku yang

berjudul Asma Al-Husna , Al-Ghazali menjelaskan dengan baik

mengenai persoalan tauhid kepada Allah SWT, terutama berkenaan

dengan nama-nama Allah SWT yang merupakan materi pokok ilmu

tauhid. Nama Tuhan Ar-Rahman dan Al-Rahim, pada aplikasi


rohaniahnya merupakan sebuah sifat yang harus diteladani. Jika sifat Ar-

21

Rahman diaplikasikan, seseorang akan memandang orang yang

durhaka dengan kelembutan bukan kekasaran; melihat orang dengan

mata rahim, bukan dengan mata yang menghina, bahkan ia

mencurahkan ke-rahim-annya kepada orang yang durhaka agar orang

tersebut dapat diselamatkan.Dengan ilmu tasawuf, semua persoalan

yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna , tidak kaku,

bahkan akan lebih dinamis dan aplikatif.

12

12 Ibid., hlm 43-47.

22

BAB 3

KHAWARIJ dan MURJI’AH

A. Khawarij

1. Latar Belakang Kemunculan Khawarij

Kata khawarij secara etimologis berasal dari bahasa Arab kharaja

yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak.

berkenaan
dengan pengertian etimologis ini, syahrastani menyebut orang yang

memberontak imam yang sah sebagai khawarij. berdasarkan pengertian

etimologi ini pula, Khawarij berarti setiap muslim yang memiliki sikap

laten ingin keluar dari kesatuan umat islam.

Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam

adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang

keluar meninggalkan barisan karena tidak sepakat dengan Ali yang

menerima arbitrase/tahkim dalam Perang Siffin pada tahun 37 H/648 M

dengan kelompok bughat (pemberontakan) Mu’awiyah bin Abi Sufyan

perihal persengketaan khilafah. Kelompok Khawarij pada mulanya

memandang Ali dan pasukannya berada pada pihak yang benar karena

Ali merupakan khalifah sah yang telah di bai’at mayoritas umat Islam,

sementara Mu’awiyah berada pada pihak yang salah karena

memberontak kepada khalifah yang sah. Lagi pula, berdasarkan estimasi

Khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan

itu, tetapi karena Ali menerima tip daya licik ajakan damai Mu’awiyah,

kemenangan yang hamper diraih itu menjadi raib.

Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan dibalik ajakan damai

kelompok Mu’awiyah, sehingga pada mulanya Ali menolak permintaan

itu. Akan tetapi, karena desakan sebagian pengikutnya terutama ahli

qurra’, seperti Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki At-Tamimi, dan

23

Zaid bin Husein Ath-Tha’i, dengan terpaksa Ali memerintahkanAl-Asytar

(komandan pasukan Ali) untuk menghentikan peperangan.


Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan

Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai (hakam)-nya, tetapi

orang-orag Khawarij menolaknya dengan alas an bahwa Abdullah bin

Abbas adalah orang yang berasal dari kelompok Ali. Mereka lalu

mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan

dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan Tahkim,

yaitu Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya.

Sementara Mu’awiyah dinobatkan menjadi khalifah oleh delegasinya

pula sebagai pengganti Ali, akhirnya mengecewakan orang-orang

Khawarij. Sejak itulah orang-orang Khawarij membelot dengan

mengatakan, “Mengapa kalian berjukum kepada manusia? Tidak ada

hukum selain hukum yang ada pada sisi Allah.” Mengomentari perkataan

mereka, Imam Ali menjawab, “Itu adalah ungkapan yang benar, tetapi

mereka artikan dengan keliru.” Pada waktu itulah orang-orang Khawarij

keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju hurura sehingga Khawarij

disebut juga dengan nama Hururia. Kadang-kadang mereka disebut

dengan Syurah dan Al-Mariqah.

Di Harura, kelompok Khawarij melanjutkan perlawanan selain kepada

Mu’awiyah juga kepada Ali. Disana mereka mengangkat seorang

pimpinan definitif yang bernama Abdulah bin Sahab Ar-Rasyibi.

Sebelumnya mereka dipandu Abdullah Al-Kiwa untuk sampai ke

Harura.

13

Asal mulanya kaum khawarij adalah orang-orang yang mendukung

Sayyidina Ali. Akan tetapi akhirnya mereka membencinya karena


dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran, mau menerima tahkim

13 Abdul Rozak, Rohison Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012),

hlm.63-65

24

yang sangat mengecewakan, sebagaimana mereka juga membenci

Sayyidina Ali khalifah yang sah.

14

Khawarij ini timbul setelah Perang Shiffin antara Ali dan Mu’awiyah.

Peperangan itu diakhiri dengan gencatan senjata, untuk mengadakan

perundingan antara kedua belah pihak. Golongan khawarij adalah

pengikut Ali yang tidak setuju dengan adanya gencatan senjata dan

perundingan itu. Mereka memisahkan diri dari pihak Ali, dan jadilah

penentang Ali dan Mu’awiyah. Mereka mengatakan Ali tidak konsekuen

dalam membela kebenra. Aliran ini saat itu sempat berkembang dan

tersebar keseluruh pelosok. Mereka menjadi oposisi berat pemerintahan

Umayyah, hingga kemudian menyebabkan runthnya Daulah Umayyah

bagian Timur.

Seorang yang bernama Abu Muslim Al-Khurasani, dapat

mempengarhi golongan ini untuk menggulingkan pemerintahan

Mu’awiyah di Parsi. Setelah Khawarij ini berkembang setelah dua abad,

datang pulalah saat runtuhnya, yang akhirnya lenyap sampai sekarang.

Pada masa jayanya dalam aliran ini timbul beberapa perpecahan. Tetapi
dalam beberapa pandangan pokoknya, tetap pada pendirian yang sama,

yaitu :

1. Ali, Utsman dan orang-orang yang turut dalam peperangan Jamal, dan

orang-orang yang setuju dengan adanya perundingan antara Ali dan

Mu’awiyah, semua dihukumkan orang-orang kafir.

2. Setiap umat Muhammad yang terus-menerus membuat dosa besar,

hingga matinya belum tobat, orang itu dihukumkan kafir dan akan

kekal di neraka. Di samping itu, ada sekelompok Khawarij yang yang

menyebut dirinya dalam golongan Najdah, mereka tidak

14 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Cet. I, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2010), hlm.123

25

menghukumkan orang-orang yang demikian sebagai kafir mutlak,

hanya kafir terhadap Allah saja.

3. Boleh keluar dan mematuhi aturan-aturan kepala Negara, bila ternyata

kepala Negara itu seorang yang zalim atau khianat.

15

4. Doktrin-doktrin Pokok Khawarij

Diantara doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah:

a. Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat

Islam,

b. Khalifah tidak harus keturunan dari Arab,


c. Setiap orang muslim berhak menjadi Khalifah asal sudah memenuhi

syarat,

d. Khalifah dipilih secara pemanen selama yang bersangkutan bersikap

adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan

dibunuh jika melakukan kezaliman,

e. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) adalah sah,

tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a.

dianggap telah menyeleweng,

f. Khalifah Ali juga sah, tetapi setelah terjadi arbitrase, ia dianggap

menyeleweng,

g. Mu’awiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga

dianggap menyeleweng dan telah dianggap kafir,

h. Pasukan Perang Jamal yang melawan Ali juga kafir,

i. Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim karennya

harus dibunuh. Mereka menganggap bahwa seorang muslim tidak

lagi muslim (kafir) disebabkan tidak mau membunuh muslim lain

yang telah dianggap kafir, dengan risiko ia menanggung beban harus

dilenyapkan pula,

j. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan glongan

mereka. Apabila tidak mau bergabung, ia wajib diprangi karna hidup

15 Mario Arjuna Bintang, Akidah Akhlak, (Jakarta: CV Tiga Serangkai, 2008), hlm.41

26

dalam dar al harb (Negara musuh), sedangkan golongan mereka


dianggap berada dalam dar al Islam (Negara islam),

k. Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng,

l. Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga,

sedangkan yang jahat harus masuk kedalam neraka),

m. Amar makruf nahi mungkar,

n. Memalingkan ayat-ayat Al-Quran yang tampak mutasyabihat

(samar),

o. Al-Quran adalah makhluk,

p. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.

Apabila di analisis secara mendalam, doktrin yang dikembangkan

kaum Khawarij dapat dikategorikan kedalam tiga kategori, yaitu politik,

teologi, dan sosial. Doktrin Khawarij dari poin a sampai dengan poin h

dapat dikategorikan sebagai doktrin politik sebab membicarakan hal-hal

yang berhubugan dengan masalah kenegaraan, khususnya tentang

kepala Negara (khalifah).

Melihat pengertian politik secara praktis yaitu kemahira bernegara,

atau kemahiran berupaya menyelidiki manusia dalam memperoleh

kekuasaan, atau kemahiran mengenai latar belakang, motivasi dan

hasrat manusia ingin memperoleh kekuasaan. Kahawrij dikatakan

sebagai sebuah Partai politik. Dan Politik merupakan doktrin sentral

Khawarij.

Kelompok khawarij menolak untuk dipimpin orang yang dianggap

tidak pantas. Jalan pintas yang ditempuh adalah membunuhnya,

termasuk orang yang mengusahakannya menjadi khalifah.

Dikumandangkanlah sikap bergerilya untuk membunuh mereka. Dibuat


pula doktrin teologi tentang dosa besar sebgaimana tertera pada poin i

dan j. akibat doktrinya menentang pemerintah, khawarij harus

menanggung akibatnya. Kelompok ini selalu dikejar-kejar dan ditumpas

pemerintah. Lalu, perkembangannya sebagaimana dituturkan Harun

27

Nasution, kelompok ini sebagian besar sudah musnah. Sisa-sisanya

terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, dan Arabia Selatan.

Adapun doktrin-doktrin selanjutnya yaitu dari poin k sampai p, dapat

dikategorikan sebagai doktrin teologis-sosial. Doktrin ini memperlihatkan

kesalehan asli kelompok Khawarij, sehingga sebagian pengamat

menganggap doktrin-doktrin ini lebih mirip dengan doktrin Mu’tazilah,

meskipun kebenaran adanya doktrin ini dalam wacana kelompok

Khawarij masih patut dikaji lebih mendalam. Sebab, dapat diasumsikan

bahwa orang-orang yang keras dalam pelaksanaan ajaran agama,

sebagaimana dilakukan oleh kelompok Khawarij cenderung berwatak

tekstualis/skripturalis, sehingga menjadi fundamentalis.

16

2. Perkembangan Khawarij

Khawarij, sebagaimana telah dikemukakan, telah menjadikan

imamah/khilafah/politik sebagai doktrin sentral yang memicu timbulnya

doktrin-doktrin teologis lainnya. Radikalitas yang melekat pada watak

dan perbuatan kelompok Khawarij menyebabkannya sangat rentan pada

perpecahan, baik secara internal kaum Khawarij maupun secara

eksternal dengan sesame kelompok Islam lainnya. Para pengamat telah


berbeda pendapat tentang berapa banyak perpecahan yang terjadi

dalam tubuh kaum Khawarij. Al-Bagdadi mengatakan bahwa sekte ini

telah pecah menjadi 20 subsekte. Harun mengatakan bahwa sekte ini

telah pecah menjadi 18 subsekte. Adapun Al-Asfarayani, seperti dikutip

Bagdadi bahwa sekte ini telah pecah menjadi 22 subsekte.

Terlepas dari beberapa banyak subsekte pecahan Khawarij yang

besar hanya ada 8, yaitu :

a. Al-Muhakkimah

b. Al-Azriqah

16 Abdul Rozak, Rohison Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012),

hlm.65-68

28

c. An-Najdat

d. Al-Baihasiyah

e. Al-Ajaridah

f. As-Saalabiyah

g. Al-Abadiyah

h. As-Sufriyah

Semua subsekte itu membicarakan persoalan hukum orang yang

berbuat dosa besar, apakah masih mukmin atau telah menjadi kafir.

Tampaknya doktrin teologi tetap menjadi primadona pemikiran mereka,

sedangkan doktrin-doktrin yang lain hanya menjadi pelengkap.

Semua aliran yang bersikap radikal pada perkembangan lebih lanjut


dikategorikan sebagai aliran Khawarij, Selama terdapat indikasi doktrin

yang identik dengan aliran ini. Berkenaan dengan persoalan ini Harun

mengidentifikasi beberapa indikasi aliran yang dapat dikategorikan

sebagai aliran Khawarij masa kini, yaitu :

a. Mudah mengafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka

walaupun orang itu adalah penganut agama Islam;

b. Islam yang benar adalah Islam yang mereka pahami dan amalkan,

sedangkan Islam sebagaimana yang dipahami dan diamalkan

golongan lain tidak benar;

c. Orang-otang Islam yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa

kembali ke Islam yang sebenarnya yaitu Islam seperti yang mereka

pahami dan amalkan;

d. Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sepaham dengan mereka

adalah sesat, ereka memilih imam dari golongannya, yaitu imam

dalam arti pemuka agama dan pemuka pemerintahan;

29

e. Mereka bersikap fanatik dalam faham dan tidak segan-segan

menggunakan kekerasan dan pembunuhan untuk mencapai

tujuannya.

17

B. Al-Murji’ah

1. Latar belakang kemunculan Murji’ah

Nama Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna
penundaan, penangguhan, dan pengharapan, yaitu kepada pelaku dosa

besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah SWT. selain

itu, arja’a berarti pula meletakkan dibelakang atau mengemudikan, yaitu

orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu murjiah

artinya yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang

bersengketa, yaitu Ali dan Mu’awiyah, serta seiap pasukannya pada hari

kiamat kelak.

Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul

kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja,

atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan

menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam keika terjadi pertikaian

politik dan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah baik sebagai

kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersama dengan

kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Murji’ah pada saat itu merupakan

musuh berat Khawarij.

Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja’ yang merupakan basis

doktrin Murji’ah muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang

diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-

Hanafiyah, sekitar tahun 695. Watt, penggagas teori ini menceritakan

bahwa 20 tahun setelah meninggalnya Mu’awiyah tahun 680, dunia

Islam dikoyak oleh pertikaian sipil, yaitu Al-Mukhtar membawa paham

17 Abdul Rozak, Rohison Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012),

hlm.68-70

30
Syi’ah ke Kufah dari tahun 685-687; Ibnu Zubair mengklaim kekhalifahan

di mekah hingga kekuasaan Islam.

Sebagai respons dari keadaan ini muncul gagasan irja’ atau

penangguhan (postponenment). Gagasan ini tmpaknya pertama kali

digunakan sekitar tahun 695 oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin

Muhammad Al-Hanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya yang tampak

autentik. Dalam surat itu Al-Hasan menunjukan sikap politiknya dengan

mengatakan,”kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan

keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang

melibatkan Utsman, Ali, dan Zubair (seorang tokoh pembelot Mekah).”

Dengan sikap politik ini, Al-Hasan mencba menanggulangi perpecahan

umat Islam. Ia kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok

Syi’ah revolusioner yang terlampau mengagungkan Ali dan para

pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak

mengakui kekhalifahan Mu’awiyah dengan alasan bahwa ia adalah

keturunan si pendosa Utsman.

18

Aliran ini timbul di Damaskus ada akhir abad pertama Hijrah. Dinamai

Murji’ah karena sesuai dengan nama istilah tersebut yaitu menunda atau

mengembalikan, mereka berpendapat, bahwa orang-orang mukmin yang

berbuat dosa besar hingga matinya tidak juga tobat, orang itu belum

dapat kita hukumi sekarang, terserah atau ditunda serta dikembalikan

saja urusan nya kepada Allah kelak pada hari kiamat.

19
2. Doktrin-doktrin Pokok Murji’ah

Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau

doktrin irja’ atau arja’a yang di aplikasikan dalam banyak persoalan yang

dihadapinya, baik persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik

18 Abdul Rozak, Rohison Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012),

hlm.70-72

19 Mario Arjuna Bintang, Akidah Akhlak, (Jakarta: CV Tiga Serangkai, 2008), hlm.42

31

doktrin irja’ di implementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok,

yang hamper selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya,

kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai the queietists (kelompok

bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat

Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.

Adapun dibidang teologi, doktrin irja’ dikembangkan Murji’ah ketika

menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada

perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya

menjadi semakin kompleks, mencakup iman, kufur, dosa besar dan

ringan (mortal and venial sins), tauhid, tafsir Al-Quran, eskatologi,

pengampunan atau dosa besar, kemaksuman nabi (the impeccability of

the prophet), hukuman atas dosa (punishment of sins), pertanyaan

tentang ada yang kafir (infidel) dikalangan gnerasi awal Islam, tobat

(redress of wrongs), hakikat Al-Quran, nama dan sifat Allah, serta


ketentuan Tuhan (predestination). Berkaitan dengan doktrin-doktrin

teologi Murji’ah, W.Montgomery Watt memerincinya sebagai berikut :

a. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Mu’awiyah hingga Allah

memutuskannya di akhirat kelak.

b. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking ke empat dalam peringkat

Al-Khalifah Ar-Rasyidun

c. Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang

berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah

SWT.

d. Doktrin-doktrin murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para

skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.

20

20 Abdul Rozak, Rohison Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012),

hlm.72-73

32

3. Sekte-sekte Murji’ah

Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu

oleh perbedaan pendapat (bahkan hanya dalam hal intensitas) di

kalangan para pendukung Murji’ah. Dalam hal ini, terdapat problem yang

cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasi sekte-sekte


Murji’ah. Kesulitannya –antara lain- adalah ada beberapa tokoh aliran

pemikiran tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai

pengikut Murji’ah, tetapi pengamat lain tidak mengklaimnya. Tokoh yang

dimaksud adalah Washil bin Atha’ (…-131 H) dari Mu’tazilah dan Abu

Hanifah (80-150 H) dari Ahlus Sunnah. Oleh karena itu, Asy-Syahrastany

(w. 548 H), seperti dikutip oleh Watt, menyebutkan sekte-sekte Murji’ah

sebagai berikut :

a. Murji’ah Khawarij.

b. Murji’ah Qadariah.

c. Murji’ah Jabariah.

d. Murji’ah Murni.

e. Murji’ah Sunni (tokohnya adalah Abu Hanifah)

Sementara itu, Muhammad Imarah (I. 1931) menyebutkan 12 sekte

Murji’ah, yaitu sebagai berikut:

a. Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shafwan.

b. As-Shalihiyah, pengikut Nabi Musa As-Shalihiy.

c. Al-Yunushiyah, pengikut Yunus As-Samary.

d. Asy-Syamriayah, pengikut Abu Samr dan Yunus.

e. As-Syawbaniyah, pengikut Abu Syawban.

f. Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan Al-Ghailan bin Marwan Ad-

Dimsaqy.

g. An-Najariyah, pengikut Al-Husain bin Muhammad An-Najr.

h. Al-Hanafiyah, pengikut Abu Haifah An-Nu’man.

i. Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bin Syabib.

j. Al-Mu’aziyah, pengikut Muadz Ath-Thawmy.


k. Al-Murisiyah, pengikut Basr Al-Murisy.

33

l. Al-Karamiyah, pengikut Muhammad bin Karam As-Sijistany.

Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan Murji’ah

menjadi dua sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrem.

Murji’ah moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin, tidak

kafir, tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya

dan diampuni oleh Allah SWT. Praktis tidak masuk neraka. Iman adalah

pengetahuan tentang Tuhan dan Rasul-rasul-Nya serta yang datang

darinya secara keseluruhan, namun dalam garis besar. Iman tidak

bertambah dan tidak pula berkurang. Tidak ada perbedaan manusia

dalam hal ini. Penggagas pendirian ini adalah Al-Hasan bin Muhammad

bin ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadits.

Adapun yang termasuk kelompok ekstrem adalah Al-Jahmiyah, Ash-

Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan Al-Hasaniyah. Pandangan

tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan seperti berikut.

a. Jahmiyah, kelompok Jahm bin Shafwan dan para pengikutnya,

berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan dan

kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan tidak menjadi kafir

karena iman dan kufur tempatnya di dalam hati, bukan bagian lain

dalam tubuh manusia.

b. Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihy, berpendapat bahwa

iman adalah mengetahui Tuhan dan kufur adalah tidak tahu Tuhan.

Shalat bukan merupakan ibadah kepada Allah SWT. Karena yang


disebut ibadah adalah iman kepada-Nya, dalam arti mengetahui

Tuhan. Begitu pula zakat, puasa, dan haji bukanlah ibadah,

melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan dan tidak

merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah hanya iman.

c. Yunusiyah dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa

melakukan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat tidak merusak

iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-

perbuatan jahat yang dikerjakan tidak merugikan bagi yang

bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat

34

bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit tidak merusak iman

seseorang sebagai musyrik atau politeis.

d. Hasaniyah, menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan,”Saya

tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi

yang diharamkan itu adalah kambing ini.” Orang tersebut tetap

mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan,”Saya

tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke ka’bah, tetapi saya tidak tahu

apakah ka’bah di India atau di tempat lain”.

21
21 Abdul Rozak, Rohison Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012),

hlm.73-75

35

BAB 4

JABARIYAH dan QODARIYAH

A. JABARIYAH

1. Pengertian Jabariyah

Kata jabariyah berasal dari “jabara” yang berarti “memaksa”, di

dalam kitab al-munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata

jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya

melakukan sesuatu, kata jabara bentuk pertama selanjutnya menjadi

jabariyah (dengan menambahkan ya nisbah), memiliki arti suatu

kelompok atau aliran (isme). sedangkan jabariyah menurut istilah adalah

aliran yang menolak bahwa adanya perbuatan bukan dari manusia,

melainkan dari allah dan menyandarkan semua perbuatan kepada-Nya.

Menurut mereka manusia itu majburun ( bentuk isim maf’ul-nya jabara)

yang berarti terpaksa atau dipaksa dalam suatu perbuatan, karena

semua perbuatan hanya dari allah dan mereka tidak mempunyai

kemampuan untuk berbuat

22.
2. Cabang-cabang

a. Jabariyah murni (ekstrim)

Aliran yang menolak adanya perbuatan berasal dari manusia dan

memandang manusia tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat

apapun, segala perbuatan disandarkan allah. Penganut aliran ekstrim

ini antara lain: jahm bin shafwan (al-jahmiyah) dan ja’d bin dirham

b. Jabariyah pertengahan (moderat)

Aliran yang meyakini bahwa segala perbuatan manusia itu dari

allah tetapi manusia ikut andil dan berperan dalam mewujudkan

perbuatan itu. Penganut aliran moderat ini antara lain: husain bin

22 Abdul Rozak, dan Rosihon Anwar, ilmu kalam, Cet. IV, (Bandung: CV Pustaka

Setia,2009), hlm63

36

muhammad an-najar (an-najjariyah), hafshul al-fard, dan dhirar bin

amr (ad-dhirariyah)23.dari keterangan di atas, aliran jabariyah

terpecah menjadi 3 kelompok yaitu : al-jahmiyah, an-najariyah, dan

ad-dhirariyah.

3. Sejarah Dan Asal-usul

Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh ja’ad bin dirham dan

kemudian disebarkan oleh jahm bin shafwan (124 H) dari khurasan.

Dalam sejarah teologi islam, jahm tercatat sebagai tokoh yang

mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan murji’ah. Ia adalah sekretaris


suraih bin al-harist dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan

kekuasaan bani umayah. Namun, dalam perkembangannya, faham al-

jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya di antaranya al-husain bin

muhammad an-najjar, ja’d bin dirham.

Mengenai kemunculan faham ini, para ahli sejarah pemikiran

mengkajinya melalui pendekatan geokultular bangsa arab, di antara ahli

yang dimaksu adalah ahmad amin. Ia menggambarkan bahwa

kehidupan bangsa arab yang dikungkung oleh padang pasir sahara

memberikan pengaruh besar atas cara berfikir dalam kehidupan mereka.

Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang sangat ganas telah

memunculkan sikap menyerahkan diri terhadap alam. Dan menurut

nasution, akhirnya mereka bersikap fatalism (dikuasai oleh nasib).

Sebenarnya benih-benih faham al-jabar sudah muncul sejak awal

periode islam. Namun, al-jabar sebagai pola fikir suatu aliran yang dianut,

dipelajari, dan dikembangkan pada masa pemerintahan daulah bani

umayah yakni oleh tokoh-tokoh di atas24.

4. Tokoh-Tokoh atau para pemuka

Para pemuka dari aliran jabariyah murni (ekstrim) antara lain:

a) Jahm Bin Shofwan (124 H)

23 Ibid.,hlm.67-69

24 Abdul Rozak, dan Rosihon Anwar, ilmu kalam, Cet. IV, (Bandung: CV Pustaka Setia,

2009), hlm64.

37
Nama lengkapnya adalah abu mahrus jaham bin shafwan dari

khurasan, bertempat tinggal di khufah; ia seorang da’i yang fasih dan

lincah (orator); dalam kepemimpinan ia menjabat sebagai sekretaris

suraih al-harist, seorang pemimpin yang menentang pemerintahan

bani umayah di khurasan.

Dia sebagai penganut dan penyebar faham jabariah murni di

daerah tirmiz, dan pendiri al-jahmiyah (salah satu cabang jabariyah).

dan pada akhir hayatnya ia ditawan kemudian dibunuh secara politis

tanpa ada kaitannya dengan agama oleh muslim bin ahwas al-mazini

pada akhir masa pemerintahan khalifah malik bin marwan, salah

seorang khalifah bani umayah.

b) Ja’d Bin Dirham

Ja’d adalah maulana bani hakim di damaskus, dia dibesarkan

oleh lingkungan orang kristen yang senang membicarakan teologi.

Semula ja’d sebagai pengajar yang dipercaya dalam pemerintahan

bani umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang

kontroversial sehingga dipecat, kemudian dia lari ke kufah dan

bertemu dengan jahm bin shafwan, serta mentransfer pikiran-

pikirannya untuk disebarluaskan.

Adapun dari aliran jabariyah pertengahan ( moderat ) antara lain:

a) Husain Bin Muhammad An-Najjar (230 H)

Husain an-najjar terkenal sebagai pendiri an-najjariyah, salah

satu cabang aliran jabariyah. kelompok najjariyah ini mayoritas


menggunakan ratio dalam pemikiran mereka.

b) Dhirar Bin Amr (pendiri ad-dhirariyah)

c) Hafshul al-fard.

25

25 Abdul Rozak, dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia,2015), hlm

65-69

38

5. Doktrin dan pokok pemikiran

Aliran jabariyah murni (ekstrim) :

a) Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti

berbicara, melihat, dan mendengar.

b) Manusia itu terpaksa dan tidak mempunyai kekuatan sedikitpun

untuk melakukan segala sesuatu, semuanya allah-lah yang

berkuasa atas itu.

c) Al-qur’an adalah makhluk (baru)

d) Allah tidak bisa dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.

e) Manusia akan kekal di dalam surga maupun neraka; penghuni surga

mendapatkan kelezatan nikmatnya dan penghuni neraka

memperoleh kepedihan siksanya.

f) Surga dan neraka akan rusak (tidak kekal) setelah para penghuni

keduanya masuk dan hanya allah yang abadi.


Aliran jabariyah pertengahan (moderat) :

a) Allah menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia juga

berperan dalam mewujudkan perbuatan itu.

b) Allah tidak dapat dilihat di dalam akhirat menggunakan panca indera,

tetapi allah bisa saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata

sehingga manusia dapat melihat allah.

c) Kalam allah adalah makhluk, apabila dibaca menjadi sifat, apabila

ditulis menjadi huruf atau tubuh.

d) Tidak ada kewajiban apapun sebelum para nabi dan rasul diutus.

e) Pemimpin boleh saja bukan dari suku quraisy, namun yang lebih

pantas dari keturunan Rasulullah.

26

B. QADARIYAH

1. Pengertian Qadariyah

Qadariyah berasal dari bahasa arab qadara yang mempunyai arti

kemampuan dan kekuatan. sedangkan menurut istilah, qadariyah adalah

39

suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak

diintervensi (campur tangan) oleh tuhan; mereka berpendapat bahwa

setiap manusia adalah pencipta atas segala perbuatannya. Kaum

qadariyah mempunyai kekuatan dan kemampuan (qudrah) untuk


melakukan atau meninggalkan sesuatu dengan kehendaknya sendiri.

Di dalam kitab al-milal wa an-nihal karangan dari asy-syahrastani,

qadariyah termasuk salah satu cabang dari aliran mu’tazilah; karena ada

kesamaan dalam doktrin atau ajaran-ajarannya.

Seharusnya, sebutan qadariyah diberikan kepada aliran yang

berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku baik maupun

jelek manusia. Namun sebutan tersebut sudah terlanjur melekat pada

kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan

dalam berkehendak.

Dalam kitab Al-Milal Wa An-Nihal disebutkan bahwa aliran qadariyah

termasuk salah satu cabang dari mu’tazilah karena adanya kemiripan di

dalam doktrin-doktrinnya.

27

2. Sejarah dan Asal-usul

Menurut ahmad amin, aliran qadariyah pertama kali dimunculkan

oleh ma’bad al-jauhani dan ghailan ad-dimasyqi. ma’bad adalah seorang

taba’i yang terpercaya dan pernah berguru pada hasan al-basri (642-

728). dalam kitab risalah karangan hasan al-basri untuk khalifah abdul

malik sekitar tahun 700 M dijelaskan, bahwa hasan al-basri adalah

seorang tahanan di irak. Ia lahir di madinah, tetapi pada tahun 657 M Al

basri hijrah ke bashrah dan menetap di sana sampai akhir hayatnya.

Dalam catatan ini ia berkeyakinan bahwa manusia bebas untuk memilih

antara berbuat baik atau berbuat buruk. sedangkan ghailan adalah

seorang orator dari damaskus, dan ayahnya menjadi maula usman bin

affan. dia hidup pada masa khalifah hisyam bin abdul malik.
Ibnu nabatah dalam kitabnya syarh al-uyun, berpendapat bahwa

orang yang pertama kali memunculkan faham qadariyah ini adalah orang

27 Abdul Rozak, dan Rosihon Anwar, ilmu kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm 70

40

irak yang beragama kristen bernama susan. Dari orang inilah ma’bad dan

ghailan mengambil faham ini.

28

Faham qadariyah mendapat tantangan keras dari umat islam zaman

dulu, hal itu disebabkan oleh dua faktor:

1. Masyarakat arab sebelum islam dipengaruhi oleh faham fatalism,

mereka berkehidupan sederhana dan jauh dari pengetahuan; serta

selalu terpaksa mengalah oleh keganasan alam, panas yang

menyengat, dan tanah-tanah pegunungan yang gundul. Mereka

merasa lemah dan tidak mampu menghadapi kesukaran hidup yang

ditimbulkan oleh alam. Dan ketika faham qadariah dikembangkan,

mereka tidak dapat menerima dan menganggapnya bertentangan

dengan doktrin islam.

2. Tantangan dari para pejabat pemerintah yang kontra dengan paham

qadariyah, karena pejabat pemerintah penganut faham jabariyah.

mereka mengira qadariyah menyebarkan ajaran yang dinamis dan

daya kritis rakyat yang mampu mengkritik kebijakan-kebijakan

pemerintahan yang tidak sesuai dan bahkan dapat menggulingkan

mereka dari tahta kerajaan.


3. Tokoh-tokoh atau Para Pemuka

a. Ma’bad Al Jauhani

b. Ghailan Ad Dimasyqi

Dia adalah seorang orator, namanya abu marwan ghailan ibnu

muslim. Ayahnya seorang budak yang dimerdekakan oleh usman bin

affan. Ghailan datang ke damaskus pada masa pemerintahan hisyam

bin abdul malik.

c. Ibrahim Bin Yasar An Nazam

4. Doktrin dan pokok pemikiran

a. Manusia mempunyai daya kekuatan serta berkuasa atas segala

perbuatannya.

28 Ibid, hlm 71-72

41

b. Manusia mampu melakukan atau meninggalkan kebaikan dan

kebukuran atas kehendaknya sendiri.

c. Allah tidak kuasa menciptakan keburukan dan maksiat, karena

bukan termasuk qudrah allah, dan keduanya melekat pada selain

allah.

d. Al qur’an hanyalah sebuah khabar atau berita pada masa lampau

dan yang akan datang.

e. jika menganggap al-qur’an itu qadim, maka di hukumi syirik. karena

ta’addud al-qudama.

f. iman cukup dengan ma’rifat (pengenalan), sedangkan perbuatan


bukan termasuk iman.

42

BAB 5

MU’TAZILAH

A. Latar Belakang Kemunculan Mu’tazilah

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti

berisah atau memisahkan diri,

29 yang berarti juga menjauh atau

menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua

golongan.

Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon

politik murni. Golongan ini tumbuhp sebahai kaum Netral Politik,

khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menengahi pertentangan

antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah,

Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang

mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari

pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa

stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh

dikemudian hari.

30

Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon

persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah

akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka


berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang

pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar.

Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah

kemunculannya memiliki banyak versi,yaitu :

29 Razak Abdul dan Anwar Rosihon,Ilmu kalam,revisi :pustaka setia:Bandung,2015,hlm:82

30 Nurcholish madjid, islam doktrin dan peradaban, cet II, Yayasan Wakaf Paramadina,

Jakarta,1995

43

1. Versi analisis tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan

kedua ini berpusat pada perstiwa yang terjadi antara washil bin ‘Atha

serta temannnnya ‘Amr bin ‘Ubaid,dan hasan al basri (30-110 H) di

Basrah. Ketika washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan

Al Basri, datanglah seorang teman yang bertanya mengenai

pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika

Hasan masih berfikir, Washil mengemukakan pendapatnya dengan

mengatakan. “saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa

besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir,tetapi berada pada

posisi diantara keduannya, tidak mukmin tidak pula kafir.” Kemudian

Washil menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ketempat lain

di lingkungan masjid. Kemudian Hasan Al Basri berkata, “Washil

menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna).Menurut Asy-Syahrastani,

Kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut

kaum Mu; ‘tazilah.


31

2. Versi Al Baghdadi mengatakan washil dan temannya, Amr bin Ubaid

bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena ada

pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang

berdosa besar.Keduannya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan

berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan

tidak ula kafir. Oleh karena itu golongan ini disebut golongan

Mu’tazilah.

3. Versi Tasy Kubra Zadah menyatakan bahwa qatadah bin Da’mah

pada suatu hari masuk masjid Basrah dan bergabung dengan majelis

Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al Basri.

Ssetelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis

Hasan Al Basri,ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata,

“ ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itu dinamakan Mu’tazilah.

31 Razak Abdul dan Anwar Rosihon. Ilmu kalam, cet IV : Pustaka Setia: Bandung,2009,

hlm:78

44

Al Mas’udi memberikan keterangan tentang asal usul kemunculan

Mu’tazilah tanpa menyangku-pautkannya dengan peristiwa Wasil dan

Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah , katanya ,karena

berpendapat bahwa orang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan

pula kafir,tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-

manzilah bain al-manzilahtain)


Teori baru, yang dikemukakan oleh ahmad amin, menerangkan

bahwa nama mu’tazilahsudah terdapat sebelum adanya peristiwa wasil

dan Hasan Al Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi di

antara kedua posisi. Namun Mu’tazilah diberikan kepada golongan orang

yang tidak mau berintervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada

zaman Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian

disana: Satu golongan mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan lain

menjauhkan diri dari Kharbita (I’tazaalat ila kharbita). Oleh karena itu,

dalam surat yang dikirimnya kepada Ali bin Abi Thalib, Qais menamai

golongan yang menjauhkan diri dengan Mu’tazili,sedang Abu Al-Fida

menamainya dengan Mu’tazilah

Dengan demikian ,kata I’tazala dan Mu’tazilah telah dipakai kira-

kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dan Hasan Al Basri , yang

mengandung arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian

politik yang terjadi dizamannya.

Golongan Mu’tazilah dikenal juga dengan nama lain seperti ahl al-

adl yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan

ahl al-tawhid wa al-adl -yang berarti golongan yang mempertahankan

kesaan murni dan keadilan tuhan.lawan mu’tazilah member nama

golongan ini dengan al qadariyah karena merekamenganut faham free

will and free act.

45
B. Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah

1. At Tauhid

At Tauhid ( Pengesaan Tuhan ) merupakan prinsip utama dan intisari

ajaran Mu’tazilah,sebenarnya, setiap mahzab teologis dalam islam

memegang doktrin ini, Namun, bagi mu’tazilah tauhid memliki arti yang

spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat

mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhan lah satu-satunya yang Esa.

Untuk memurnikan keesaan tuhan mu.tazilah menolak konsep tuhan

memiliki sifat .penggambaran fisik tuhan ,dan tuhan dapat dilihat dengan

mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan itu Esa ,tak ada satu

pun yang menyerupai-Nya Dia maha melihat, mendengar,

,kuasa,mengetahui dan sebagainya.

Namun mendengar,kuasa,melihat,mengetahui dan sebagainya itu

bukan sifat melainkan Dzat-Nya.menurut mereka sifat adalah sesatu

yang melekat. Bila sifat tuhan yang qodim arti ada dua yang qadim yaitu

dzat dan sifat Nya. Wasil bin Ata ,seperti dikutip oleh Asy Syahrastani

mengatakan , “siapa yang mengatakan sifat yang qadim berarti telah

menduakan tuhan.”

Imam al-Asy’ari dalam bukunya Maqalat al-Islamiyyin

menggambarkan konsep Tauhid yang diberikan oleh aliran Mu’tazilah

sebagai berikut:

“Allah, Yang Maha Esa (wahid ahad), tidak ada sesuatu yang

menyamai-Nya (laysa kamitslihi syai’), bukan jism (bentuk tubuh/benda),

syabah, shurah (bentuk gambaran), daging atau darah, bukan syakhsh

(pribadi), jauhar, atau ‘aradh. Tidak berwarna (dzi laun), berasa (tha’m),
berbau (ra’ihah) dan tidak bisa diraba (mujassah), tidak memiliki sifat

panas (dzi hararah), dingin (burudah), lembab (ruthubah) atau kering

(yabusah). Bukan sesuatu yang memiliki ukuran panjang, lebar, dan

dalam (‘umq). Bukan juga sesuatu yang bisa berkumpul (ijtima’) dan

46

tercerai berai (iftiraq). Bukan sesuatu yang bergerak (yataharrak), diam

(yaskun) atau terbagi-bagi (yataba’adh). Bukan sesuatu yang memiliki

bagian-bagian (ab’adh wa ajza’) atau anggota tubuh (jawarih wa a’dha’).

Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas

maupun belakang. Tidak dibatasi oleh tempat. Tidak berlaku bagi-Nya

zaman. Mustahil bagi-Nya mumasah (sifat bersentuhan), ‘uzlah (sifat

mengasingkan diri), hulul (sifat menjelma/menyatu) pada sesuatu. Tidak

memiliki sifat-sifat makhluk. Tidak berakhir (mutanahin). Tidak bisa

diukur, tidak juga berpindah-pindah (dzahab fi jihat), tidak bisa dibatasi.

Tidak beranak (ayah/ibu), dan tidak dilahirkan (anak).

Tidak dibatasi oleh takdir/kekuasaan apapun (la yuhithu bihi al-

aqdar), tidak juga bisa dihalangi oleh astar/sitrah (pembatas apapun).

Tidak bisa dicapai indera (hawas), tidak bisa dibandingkan sedikitpun

dengan manusia, tidak sama dengan makhluk dari sisi apapun., tidak

berlaku bagi-Nya waktu, tidak bisa ditimpa gangguan/musibah (‘ahat),

tidak sama dengan sesuatu apapun yang terlintas dipikiran dan hayalan

(mustahil dipikir dan diterka),

Dia Maha Awal (awwal) dan Terdahulu (sabiq), sudah ada sebelum

semua yang baru (muhdatsat) dan semua makhluk ada, Dia Tahu,
Berkuasa dan Hidup, akan tetapi tidak seperti orang yang tahu, orang

yang berkuasa dan orang yang hidup. Tidak bisa dilihat mata, tidak

pernah bisa terlintas dipikiran manapun (tidak bisa dijangakau indera).

Sesuatu yang tidak seperti segala sesuatu. Dia sendiri yang Qadim

(Terdahulu), tidak ada yang Qadim selain-Nya, tidak ada Tuhan (Ilah)

selain-Nya, tidak ada sekutu (syarik) dan pembantu (wazir) dalam

kekuasaan-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya ketika Dia menjadikan

dan menciptakan sesuatupun, tidak menciptakan sesuatu dengan cara

mencontoh yang sudah pernah ada (lam yakhluq al-khalq ‘ala mitsal

sabiq), tidak ada yang sulit bagi-Nya dalam meenciptakan sesuatu (laysa

khalqu syai’in bi ahwan ‘alaihi min khalqi syai’in akhar, wa la bi ash’ab

47

‘alaihi minhu), mustahil bagi-Nya merasakan manfaat (ijtirar al-manafi’),

mustahil bagi-Nya terkena mudharat. Tidak merasakan rasa senang dan

kenikmatan (la yanaluhu al-surur wa al-ladzdzat). Tidak bisa terkena rasa

sakit dan penyakit apapun. Dia tidak memiliki batas sehingga

mengharuskan-Nya berakhir, mustahil bagi-Nya sifat fana. Tidak

memiliki sedikitpun sifat lemah (‘ajz) dan kurang (naqsh), Maha Suci dari

sentuhan wanita, beristri dan beranak.

Dari kutipan tersebut di atas, A. Hanafi M.A berkesimpulan:

1. Aliran Mu’tazilah mengenal pikiran-pikiran filsafat yang ada pada

masanya, serta memakai beberapa istilahnya, seperti Syakhsh,

Jauhar, ‘Aradh, Hulul, Qadim dan sebagainya.

2. Dengan perkataan “Laysa Kamitslihi Syai’ (Tidak ada yang


menyamai-Nya)” mereka menolak pikiran-pikiran golongan

Mujassimah (Anthromorpis) dan membuka luas pintu takwil terhadap

ayat-ayat al-Qur’an yang menyifati Tuhan dengan sifat-sifat manusia

dengan takwil majazi.

3. Dengan Tauhid yang mutlak, aliran Mu’tazilah menolak konsepsi

agama dualisme dan trinitas tentang Tuhan.

4. Dengan perkataan “Tidak beranak (ayah/ibu), dan tidak dilahirkan

(anak)”, mereka menolak kepercayaan orang Nasrani, bahwa al-

Masih anak Tuhan yang dilahirkan dari Tuhan Bapa sebelum masa

dan jauharnya juga sama.

5. Dengan perkataan “Tidak ada yang membantu-Nya ketika Dia

menjadikan dan menciptakan sesuatupun, tidak menciptakan

sesuatu dengan cara mencontoh yang sudah pernah ada (lam

yakhluq al-khalq ‘ala mitsal sabiq)”, mereka menolak teori Idea

(contoh) dari Plato dan Demiurge, juga teori Emanasi (limpahan)

atau Triads yang dianggap menguasai alam semesta ini oleh aliran

Neo-Platonisme, yaitu Tuhan (Yang Pertama), Logos, dan Jiwa

Dunia (Worldsouls) .

48

Disamping kesimpulan tersebut, penulis juga ingin menegaskan

sebuah kesimpulah bahwa pada intinya Mu’tazilah ingin mengatakan

bahwa Allah SWT itu Qadim dan yang selain-Nya hadits (baru), Dia

Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna yang tidak ada tandingan-

Nya serta tidak pantas disamakan dengan sesuatu apapun, itu saja –
bagi mereka – cukup untuk menerangkan tentang Allah itu. Sehingga

dengan inti ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan

logika mereka , melahirkan ide-ide berikut :

a. Tidak mengakui sifat-sifat allah,menurutnya apa yang dikatakan sifat

itu adalah tak lain dzatnya sendiri

b. Al Qur,an menurutnya adalah makhluk

c. Allah diakhirat kelak tidak dapat dilihat oleh mata kepala

manusia,karena Allah tidak akan terjangkau oleh mata32

2. Keadilan Allah swt.

Adil merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukan

kesempurnaan. Karna tuhan maha sempurna ,dia sudah pasti adil.

Ajaran tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara

lain

a. Perbuatan manusia, manusia menurut mu’tazilah melakukan dan

menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan

kuasa tuhan,baik secara langsung atau tidak. Manusia benar benar

bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya, baik atau buruk.

Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang

buruk. Adapun yang disuruh tuhan pastilah baik dan apa yang

dilarang-Nya tentulah buruk. Tuhan berlepas diri dari perbuatan

buruk. Konsep inimemiliki konsekuensi logis dengan keadilan tuhan,

yaitu apapun yang akan diterima diakhirat nanti merupakan balasan

perbuatannya di dunia. Kebaikan dibalas kebaikan ,kejahatan

dibalas keburukan
32 Marid, Akidah Akhlak,Bandung: Tiga Saudara,kurikulum 2009,hlm,35

49

b. Berbuat baik dan terbaik, maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk

berbuat baik,bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin

jahat dan aniaya, sesuatu yang tidak layak bagi tuhan. Jika tuhan

berlaku jahat kepada seseorang dan berbuat baik pada orang lain

berarti ia tidak adil. Dengan sendirinya tuhan jiga tidak maha

sempurna.

c. Mengutus rasul, mengutus rasul merupakan kewajiban tuhan karena

alasan alasan berikut ini:

a) Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak

dapat terwujud ,kecuali dengan mengutus rasul kepada

mereka.

b) Al Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban tuhan untuk

memberikan belas kasih kepada manusia .cara terbaik untuk

maksud tersebut adalah dengan pengutusan rasul.

c) Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah

kepadan-Nya . Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan

lain selain mengutus rasul.

3. Janji dan Ancaman

Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa allah swt. Tidak akan ingkar

janji ,member pahala kepada orang muslim yang berbuat baik, dan

menimpakan azab kepada yang berbuat dosa33. Ajaran ini mendorong

manusia untuk berbuat baik dan tidak melakukan dosa.


4. Al Manzila Bainal Manzilatain

Karena prinsip ini, Wasil memisahkan diri dari majelis Hasan Basri

,seperti yang disebutkan diatas ,menurut pendapatnya ,seorang muslim

yang mengerjakan dosa besar ia tergolong bukan mukmin ,tetapi juga

bukan kafir,melainkan menjadi orang fasik. Jadi, kefasikan merupakan

5Drs.H. Marid, Akidah Akhlak,Bandung: Tiga Saudara,kurikulu 2009,hlm,35

50

tempat tersendiri antara “kufur” dan “iman”.tingkatan seorang fasik

berada dibawah orang mukmin dan diatas orang kafir.

5. Amar Makruf dan Nahi Mungkar

Ajaran mu’tazilah mengenai tuntunan untuk berbuat baik dan

mencegah segala perbuatan yang tercela ini lebih banyak berkaitan

dengan fiqih.

Kelima prinsip tersebut merupakan dasar utama yang harus dipegang

oleh setiap orang yang mengaku dirinya sebagai orang mu’tazilah dan

hal ini sudah jadi kesepakatan mereka

C.Tokoh-tokoh Mu’tazilah

1. Wasil bin Atha ( 80-131 H/699-748 M )

2. Al-‘Allaf ( 135-236H/753-850M) Nama lengkapnya adalah Abul Huzail

Muhammad bin Al Huzail Al ‘Allaf. Allaf ( makanan binatang )

3. An-Nazzam ( wafat 231H/921 M) ( Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-

Nazzam)

4. Al-Jubba’I ( wafat 303 H/915 M) (Abu Ali Muhammad bin Ali Al-Jubba’I)
5. Bisyr bin Al Mu’tamar (wafat r2r26 H/840 M)

6. Al-Khayyath ( wafat 300 H/912 M) ( Abu Al-Husein Al-Khayyat )

7. Al-Qadhi Abdul Jabbar ( wafat 1024 M )

8. Az-Zamakhsyari ( 467-538 H/1075-1144 M) Nama lengkap Jarullah

Abul Qasim Muhammad bin Umar.

51

BAB 6

SYI’AH

A. Pengertian Syi’ah

Syi’ah secara bahasa berarti “pengikut”, “pendukung”, “partai”, atau

“kelompok”, sedangkan secara terminologis istilah ini dikaitkan dengan

sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaan

merujuk pada keturunan nabi Muhammad SAW. Atau disebut sebagai

ahl al-bait. Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa

segala petunjuk agama bersumber dari ahl al-bait. Mereka menolak

petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl al-bait.

Atau para pengikutnya.

34

Syi’ah adalah golongan umat islam yang terlalu mengagungkan

keturunan nabi. Mereka meyakini bahwa hanya keturunan nabi yang

lebih berhak untuk menjadi khalifah sepeninggal nabi.

Syi’ah berkeyakinan bahwa yang dijadikan imam sesudah wafatnya

nabi ialah Ali. Ali adalah guru yang ulung. Ali lah yang mewarisi segala
pengetahuan yang ada pada nabi, Ali adalah manusia yang mempunyai

cirri-ciri istimewa, Ali dianggap maksum dari kesalahan. Oleh karena itu,

menurut mereka, mena’ati dan mempercayai Ali termasuk rukun iman

juga. Adapun khalifah yang terdahulu adalah khalifah-khalifah yang

merampas hak Ali, kekhalifahan mereka tidak sah.

35

B. Latar Belakang Kemunculan Syi’ah

Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan

pendapat di kalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai

muncul ke permukaan sejarah pada masa akhir pemerintahan ustman

34 Abdul Rozak, dan Rohison Anwar, ilmu kalam, edisi revisi, (Bandung: Pustaka Setia,

2012), hlm111

35

52

bin affan. Selanjutnya, aliran ini tumbuh dan berkembang pada masa

pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Watt menyatakan bahwa Syi’ah muncul

ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Muawiyah yang dikenal

dengan perang shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas

penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan muawiyah, pasukan

Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap

Ali disebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali disebut khawarij.

Berbeda dengan pandangan diatas, kalangan Syi’ah berpendapat


bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti

(khilafah) nabi Muhammad SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu

Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan karena dalam

pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang berhak menggantikan

nabi. Ketokohan Ali dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-

isyarat yang diberikan oleh nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya.

Pada awal kenabian, ketika Muhammad diperintahkan menyampaikan

dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah Ali

bin Abi Thalib. Pada saat itu nabi mengatakan bahwa orang yang

pertama-tama memenuhi ajakannya akan menjadi penerus dan

pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan

orang yang menunjukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa

besar.

Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus nabi adalah

peristiwa Ghadir Khumm. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji

terakhir dalam perjalanan dari mekkah ke madinah, di padang pasir yang

bernama Ghadir Khumm, nabi memilih Ali sebagai penggantinya di

hadapan massa yang penuh sesak menyertai beliau. Pada peristiwa itu,

nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat-

I ‘ammali), tetapi juga menjadikan Ali sebagai nabi, sebagai pelindung

(wali) mereka.

Berlawanan dengan harapan mereka, ketika nabi wafat dan

jasadnya masih terbaring belum dikuburkan, anggota keluarganya dan

53
beberapa orang sahabat sibuk dengan persiapan penguburan dan

upacara pemakamannya. Teman-teman dan pengikut-pengikut Ali

mendengar kabar adanya kegiatan kelompok lain telah pergi ke masjid

tempat umat berkumpul menghadapi hilangnya pemimpin yang tiba-tiba.

Kelompok ini kemudian menjadi mayoritas, bertindak lebih jauh, dan

dengan sangat tergesa-gesa memilih kaum muslim dengan maksud

menjaga kesejahteraan umat dan memecahkan masalah mereka saat

itu. mereka melakukan hal itu tanpa berunding dengan ahl al-bait,

keluarganya ataupun sahabat-sahabatnya yang sedang sibuk dengan

upacara pemakaman, dan sedikitpun tidak memberitahukan mereka.

Dengan demikian, kawan-kawan Ali dihadapkan pada suatu keadaan

yang sudah tidak dapat berubah lagi (faith accompli).

Berdasarkan realitas itulah, demikian pandangan kaum Syi’ah,

kemudian muncul sikap di kalangan sebagian kaum muslim yang

menantang kekhalifahan dan menolak kaum mayoritas dalam masalah

kepercayaan-kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa

pengganti nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah Ali. Mereka

berkeyakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan agama harus

merujuk kepadanya serta mengajak masyarakat untuk mengikutinya.

Inilah yang kemudian disebut sebagai Syi’ah. Akan tetapi, lebih dari itu

seperti dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak pada

kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu islam sehingga

harus diwujudkan.

Perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenai kalangan

Syi’ah merupakan sesuatu yang wajar. Para ahli berpegang teguh pada
fakta sejarah “perpecahan” dalam islam yang mulai mencolok pada masa

pemerintahan Utsman bin Affan dan memperoleh momentumnya yang

paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah

perang Shiffin. Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan hadis-hadis yang

mereka terima dari ahl al-bait, berpendapat bahwa perpecahan itu mulai

ketika nabi Muhammad SAW wafat dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abu

54

Bakar. Setelah itu, terbentuklah Syi’ah. Bagi mereka, pada masa

kepemimpinan Al-Khulafa Ar-Rasyidun, kelompokSyi’ah sudah ada.

Mereka bergerak ke permukaan mengajarkan dan menyebarkan doktrin-

doktrin Syi’ah kepada masyarakat. Tampaknya, Syi’ah sebagai salah

satu faksi politik islam yang bergerak secara terang-terangan, muncul

pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, Syi’ah sebagai

doktrin yang diajarkan secara diam-diam oleh ahl al-bait muncul setelah

wafatnya nabi.

Syi’ah mendapatkan gambaran pengikut yang besar, terutama pada

masa dinasti amawiyah. Hal ini menurut Abu Zahrah merupakan akibat

dari perlakuan kasar dan kejam dinasti ini terhadap ahlul bait. Diantara

bentuk kekerasan itu adalah yang dilakukan penguasa bani umayyah.

Yazid bin Muawiyah, misalnya pernah memerintahkan pasukannya yang

dipimpin oleh Ibnu Ziyad untuk memenggal kepala Husein bin Ali di

Karbala. Diceritakan bahwa setelah dipenggal, kepala Husein dibaa

kehadapan Yazid dan dengan tongkatnya Yazid memukul kepala cucu

nabi Muhammad SAW yang pada waktu kecilnya sering dicium nabi.
Kekejaman seperti digambarkan diatas, menyebabkan sebagian kaum

muslim tertarik dan mengikuti mazhab Syi’ah, atau menaruh simpati

mendalam terhadap tragedy yang menimpa ahl al-bait.

Dalam perkembangannya, selain memperjuangkan hak

kekhalifahan ahl al-bait dihadapan dinasti amawiyah dan abasiyah,

Syi’ah juga mengembangkan doktrin-doktrinnya. Berkaitan dengan

teologi, mereka mempunyai lima rukun iman yaitu tauhid (kepercayaan

kepada keesaan Allah), nubuwah (kepercayaan kepada kenabian),

ma’ad (kepercayaan akan adanya hidup akhirat), imamah (kepercayaan

terhadap adanya imamah) yang merupakan hak ahl al-bait dan adl

(keadilan ilahi). Dalam eksiklopedi islam indonesia, ditulis bahwa

perbedaan antara sunni san Syi’ah terletak pada doktrin imamah.

Selanjutnya, meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama,

Syi’ah tidak mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejarah,

55

kelompok ini akhirnya terpecah menjadi beberapa sekte. Perpecahan

yang terjadi di kalangan Syi’ah, terutama dipicu oleh masalah doktrin

imamah. Diantara sekte-sekte Syi’ah adalah Itsna Asyariah, Sab’iah,

Zaidiyah, dan Ghullat.

36

C. Aliran-Aliran Syi’ah

a. Syi’ah Itsna Asyariyah

Dinamakan Syi’ah imamiyah karena yang menjadi dasar akidahnya

adalah persoalan imam dalam arti pemimpin religio politik, yakni Ali
berhak menjadi khalifah bukan hanya karena kecakapannya atau

kemuliaan akhlaknya, tetapi juga karena ia telah ditunjuk nas dan pantas

menjadi khalifah pewaris kepemimpinan nabi Muhammad SAW.

37 Aliran

ini adalah yang terbesar di dalam Syi’ah. Urutan imamnya adalah:

1) Ali bin Abi Thalib (600-661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin

2) Hasan bin Ali (625-680), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba

3) Husain bin Ali (626-680), juga dikenal dengan Husain Asy-Syahid

4) Ali bin Husain (658-713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin

5) Muhammad bin Ali (676-743), juga dikenal dengan Muhammad Al-

Baqir

6) Jafar bin Muhammad (703-765), juga dikenal dengan Ja’far Ash-

Shadiq

7) Musa bin Ja’far (745-799), juga dikenal dengan Musa Al Kadzim

8) Ali bin Musa (765-818), juga dikenal dengan Ali Ar-Ridha

9) Muhammad bin Ali (810-835), juga dikenal dengan Muhammad Al-

Jawad atau Muhammad At Taqi

10) Ali bin Muhammad (827-868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi

11) Hasan bin Ali (846-874), juga dikenal dengan Hasan al-Askari

36 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, op. cit., hlm 112-115

37 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung:

Pustaka Setia, 2001), hlm. 93

56
12) Muhammad bin Hasan (868-) juga dikenal dengan Muhammad al-

Mahdi

Doktrin-doktrin Syi’ah ini adalah :

1) Tauhid : Tuhan adalah Maha Esa

2) Keadilan : Tuhan adalah Mahaadil

3) Nubuwwah : Syi’ah meyakini keberadaan para nabi sebagai

pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia.

4) Ma’ad : meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita

dari Tuhan kepada umat manusia.

5) Imamah : meyakini adanya imam yang senantiasa memimpin umat

sebagai penerus risalah kenabian.

b. Syi’ah Sab’iah

Istilah Syi’ah Sab’iah “Syi’ah tujuh” dianalogikan dengan Syi’ah

itsna ‘asyariah. Istilah itu memberikan bahwa pengertian Syi’ah yang ini

hanya mengakui tujuh imam. Tujuh imam tersebut adalah:

1) Ali bin abi thalib (600-661), juga dikenal dengan amirul mukminin

2) Hasan bin Ali (625-680), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba

3) Husain bin Ali (626-680), juga dikenal dengan Husain Asy-Syahid

4) Ali bin Husain (658-713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin

5) Muhammad bin Ali (676-743), juga dikenal dengan Muhammad Al-

Baqir

6) Jafar bin Muhammad (703-765), juga dikenal dengan Ja’far Ash-

Shadiq

7) Ismail bin Ja’far (721-755), adalah anak pertama Ja’far ash-shadiq


dan kakak Musa al-kadzim.

Syarat-syarat seorang imam dalam pandangan Syi’ah Sab’iah adalah

sebagai berikut :

57

1) Imam harus dari keturunan Ali melalui perkawinannya dengan

Fatimah yang kemudian dikenal dengan ahlul bait

2) Berbeda dengan aliran Kaisaniah, pengikut Mukhtar Ats-Tsaqafi,

mempropagandakan bahwa keimaman harus dari keturunan Ali

melalui pernikahannya dengan seorang wanita dari Bani Hanifah dan

mempunyai anak yang bernama Muhammad bin Al-Hanafiyah.

3) Imam harus berdasarkan penunjukan atau nash

4) Keimaman jatuh pada anak tertua

5) Imam harus maksum

6) Imam harus dijabat oleh seorang yang paling baik.

38

Doktrin-doktrin Syi’ah ini antara lain:

1) Iman;

2) Taharah;

3) Shalat;

4) Zakat;

5) Saum;

6) Menunaikan haji;

7) Jihad.
c. Syi’ah Zaidiyah

Sekte ini mengakui Zaid bin ‘Ali sebagai Imam V, putra Imam IV, ‘Ali

Zainal Abidin. Ini berebda dengan sekte Syi’ah lain yang mengakui

Muhammad al-Baqir, anak Zainal Abidin yang lain, sebagai Imam V. dari

nama Zaid bin ‘Ali inilah nama Zaidiah diambil. Syi’ah Zaidiah mencita-

citakan keimaman aktif, bukan keimaman pasif, seperti mahdi yang gaib.

Bagi mereka, imam tidak hanya memiliki kekuatan rohani yang

diperlukan bagi seorang pemimpin keagamaan, tetapi juga bersedia

melakukan perlawanan demi cita-cita suci sehingga mendapat

38 Ibid., hlm. 120-121

58

penghormatan dari umat. Selain menolak dongeng-dongeng tentang

kekuatan adikodrati para imam, mereka juga mengingkari sifat keilahian

para imam. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa imam dalam

Syi’ah Zaidiah dipahami sebagai pemimpin politik dan keagamaan yang

secara konkret berjuang demi umat daripada tokoh adikodrati yang suci

tanpa dosa.

Bertolak dari doktrin tentang al-imamah al-mafdhul, Syi’ah Zaidiah

berpendapat bahwa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab

adalah sah dari sudut pandang islam.

Penganut Syi’ah Zaidiah percaya bahwa orang yang melakukan dosa

besar akan kekal dalam neraka, jika dia belum bertobat dengan

pertobatan yang sesungguhnya.


Dalam bidang ibadah, Zaidiah tetap cenderung menunjukkan simbol

dan amalan Syi’ah pada umumnya. Dalam azan misalnya, mereka

memberi ungkapan hayya ‘ala khair al-amal, takbir sebanyak lima kali

dalam shalat jenazah, menolak sahnya mengusap “kaos kaki” (maskh al-

khuffaini), menolak imam yang tidak saleh, dan menolak binatang

sembelihan bukan muslim.

39

d. Syi’ah Ghullat

Syi’ah Ghullat diartikan kelompok pendukung ‘Ali yang memiliki sikap

berlebihan atau ekstrem (exaggeration). Menurut Syahrastani yang

dikutip oleh Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, ada empat doktrin yang

membuat mereka ekstrem, yaitu tanasukh, bada’, raj’ah, dan tasbih.

Moojan Momen menambahkannya dengan hulul dan ghayba.

Tanasukh adalah keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil jasad

tempat pada jasad yang lain. Syi’ah Ghullat menerapkan paham ini

dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang menyatakan –seperti

39Ibid., hlm 123-126

59

Abdullah bin ja’far- bahwa roh Allah berpindah kepada Adam kemudian

kepada imam-imam secara turun temurun.

Bada’ adalah keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak-Nya

sejalan dengan perbuatan ilmu-Nya, serta dapat memerintahkan

perbuatan kemudian memerintahkan yang sebaliknya.


Raj’ah ada hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah Ghullat

memercayai bahwa Imam Mahdi al-muntazhar akan datang ke bumi.

Tasbih artinya menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghullat

menyerupakan salah seorang imam mereka dengan tuhan atau

menyerupakan tuhan dengan makhluk.

Hulul bagi Syi’ah Ghullat berarti tuhan menjelma dalam diri imam

sehingga imam harus disembah.

Ghayba artinya menghilangkan Imam Mahdi. Ghayba merupakan

kepercayaan Syi’ah bahwa Imam Mahdi ada di dalam negeri ini dan tidak

dapat dilihat oleh mata biasa.

40 Diskusi dengan (Dr. Sumarto : 2017)

40 Ibid., hlm. 127-129

60

Keturunan Ali dan fatimah


1. Imamah (problem politik)

2. Sabi’ah (syi’ah 7) Ada 7 khalifah keturunwan ali

3. Syi’ah gullet

Ali dan bani Hanafiyah

Muhammad al-hanafiyah

Syi’ah

61

BAB 7

SALAF

A. Pengertian Salaf

Kata salaf

41 secara bahasa bermakna orang yang telah terdahulu

dalam ilmu, iman, keutamaan dan kebaikan. Berkata Ibnul Mandzur :

“Salaf juga berarti orang-orang yang mendahului kamu dari nenek

moyang, orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu

dan memiliki umur lebih serta keutamaan yang lebih banyak”. Oleh

karena itu, generasi pertama dari Tabi’in dinamakan As-Salafush Shalih.

Adapun secara istilah, maka dia adalah sifat pasti yang khusus untuk
para sahabat ketika dimutlakkan dan yang selain mereka diikut sertakan

karena mengikuti mereka. Al-Qalsyaany berkata dalam Tahrirul

Maqaalah min Syarhir Risalah : As-Salaf Ash-Shalih adalah generasi

pertama yang mendalam ilmunya lagi mengikuti petunjuk Rasulullah dan

menjaga sunnahnya. Allah SWT telah memilih mereka untuk

menegakkan agama-Nya dan meridhoi mereka sebagai imam-imam

umat.

Salafiyah adalah sikap atau pendirian para ulama Islam yang

mengacu kepada sikap atau pendirian yang dimiliki para ulama generasi

salaf itu. Kata salafiyah sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti

‘terdahulu’, yang maksudnya ialah orang terdahulu yang hidup semasa

dengan Nabi Muhammad SAW, Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in.

Menurut Thabawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu.

Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’i,

tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke-3 H dan para pengikutnya pada abad

ke-4 H yang terdiri atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula

41 Zainuddin. Ilmu tauhid lengkap. Rineka cipta. Jakarta. 1992. hlm .43 -44

62

ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama islam.

Sedangkan menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah ulama yang

tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat yang

mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih

(anthropomorphisme). Sedangkan Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq


Al-Islamiyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’ tabi’in

42yang

dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam

mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru

untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya. W. Montgomery watt

menyatakan bahwa gerakan salafiyah berkembang terutama di bagdad

pada abad ke-13.

Ibrahim Madzkur menguraikan karakteristik ulama salaf atau

salafiyah sebagai berikut :

1. Mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah(aql).

2. Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan

persoalan-persoalan cabang agama (furu’ad-din), mereka hanya

bertolak dari penjelasan Al-Kitab dan As-Sunnah.

3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang

dzat-Nya) dan tidak pula mempunyai faham anthropomorphisme.

4. Mereka mengimani ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna

lahirnya, dan tidak berupaya untuk menakwilkannya.

43

Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari

Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn

Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul

Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara sporadis.

Bila Salafiyah muncul pada abad ke-7 H, hal ini bukan berarti

tercampuri masalah baru. Sebab pada hakikatnya mazhab Salafiyah ini


42 Ibid. hlm 44

43 Abdul rozak dan rosihan anwar. Ilmu kalam. Pustaka setia. Bandung. 2015. hlm. 134

63

merupakan kelanjutan dari perjuangan pemikiran Imam Ahmad bin

Hanbal. Atau dengan redaksi lain, mazhab Hanbalilah yang

menanamkan batu pertama bagi pondasi gerakan Salafiyah ini. Atas

dasar inilah Ibnu Taimiyah mengingkari setiap pendapat para filosof

Islam dengan segala metodenya. Pada akhir pengingkarannya Ibnu

Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengetahui

aqidah dan berbagai permasalahannya hukum baik secara global

ataupun rinci, kecuali dengan Al-Qur’an dan Sunnah kemudian

mengikutinya. Apa saja yang diungkapkan dan diterangkan Al-Qur’an

dan Sunnah harus diterima, tidak boleh ditolak. Mengingkari hal ini berarti

telah keluar dari agama.

B. Ulama-ulama Salaf dan Beberapa Pemikirannya

1. Imam Ahmad Bin Hanbali

A. Riwayat Singkat Hidup Ibn Hanbal

44

Imam Hanbal nama lengkapnya ialah Al-imam Abu abdillah Ahmad

ibn Hanbal Hilal Addahili As-Syaibani Al-Maruzi, beliau dilahirkan di

Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855

M. [4] Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya

bernama Abdillah. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbal


karena merupakan pendiri madzhab Hambali.

Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin

Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin

Mazin bin Syaiban, bin Dahal bin Akabah bin Sya’ab bin Ali bin Jadlah

bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar, sedangkan ibu beliau bernama

Syahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sahawah bin Hindur Asy-

Syaibani (wanita dari bangsa Syaibaniyah juga) dari golongan terkemuka

kaum bani Amir.

44 Abdul rozak dan rosihan anwar. Ilmu kalam. Pustaka setia. Bandung. 2015. hlm. 134

64

Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih remaja, Namun ia

telah memberikan pendidikan Al-Qur’an pada Ibnu Hanbal pada usia 16

tahun ia belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama’-

ulama’ Baghdad. Lalu mengunjungi ulama’-ulama’ terkenal di khuffah,

Basrah, Syam, Yaman, Mekkah, Madinah. Diantara guru-gurunya adalah

: Hammad bin Khallid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin

Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah,

Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abd Razaq bin

Humam, dan Musa bin Thariq. Dari guru-gurunya Ibn Hanbal

mempelajari ilmu fiqh, kalam, ushul, dan bahasa Arab.

Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang zahid. Hampir setiap hari Ia

berpuasa dan hanya tidur sebentar dimalam hari. Ia juga dikenal Sebagai

seorang dermawan.
Karya beliau sangat banyak, di antaranya : Kitab Al Musnad, karya

yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh

tujuh ribu hadits, Kitab At-Tafsir, Kitab Az-Zuhud, Kitab Fadhail Ahlil Bait,

Kitab Jawabatul Qur’an, Kitab Al Imaan, Kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah,

Kitab Al Asyribah, dan Kitab Al Faraidh.

B. Pemikiran Teori Ibn Hanbal

45

a. Tentang ayat-ayat Mutasyabihat

Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an , Ibn Hanbal lebih suka

menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil,

terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat tuhan dan ayat-ayat

Mustasyabihat. Hal itu terbukti ketika ditanya tentang penafsiran “(yaitu)

Tuhan yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.”(Q.s.

Thaha : 50.) Dalam hal ini Ibn Hanbal menjawab “Bersemayam diatas

arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan

tiada batas dan tiada seorangpun yang sanggup menyifatinya.”

45 Loc Cit. hlm 137

65

Dan ketika ditanya tentang makna hadist nuzul (Tuhan turun

kelangit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan diakhirat),

dan hadist tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab : “Kita

mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan

maknanya.”
Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn hanbal bersikap

menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadist mutasyabihat

kepada Allah dan Rasul-Nya, Ia sama sekali tidak mena’wilkan

pengertian lahirnya.

b. Tentang Status Al-Qur’an

Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham Mu’tazilah, yakni Al-

Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya

qadim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, Sedangkan

menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni

oleh Allah.

Ibn Hanbal tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-

Qur’an. Itu dapat dilihat dari salah satu dialog yang terjadi antara Ishaq

bin Ibrahim, gubernur Irak dengan Ahmad Ibn Hanbal.[6] Ia hanya

mengatakan bahwa al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan

pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan

sifat Allah kepada Allah dan rasul-Nya.

2. Ibn Taimiyah

a. Riwayat Singkat Hidup Ibn Taimiyah46

Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyyuddin Ahmad bin Abi Al-

Halim binTaimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 rabiul

awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal

20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada

46 Loc. Cit. Hlm 138

66
seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin

pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul

Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang syekh, khatib

dan hakim di kotanya.

Dikatakan oleh Ibrahim Madkur bahwa ibn Taimiyah merupakan

seorang tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang

gerak leluasa kepada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan

zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa tartas yang

berani. Selain itu ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir, faqih,

teolog, bahkan memiliki pengetahuan luas tentang filsafat. Ia telah

mengkritik khalifah Umar dan khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia juga

menyerang Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Kritikannya ditujukan pula pada

kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan para ulama

sezamannya. Berulangkali Ibn Taimiyah masuk kepenjara hanya karena

bersengketa dengan para ulama sezamannya.

b. Pemikiran Teori Ibn Taimiyah

Pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah adalah sebagai berikut :

47

a) Sangat berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist

b) Tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada akal

c) Berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung semua ilmu

agama

d) Di dalam islam yang diteladani hanya 3 generasi saja (sahabat,

tabi’in, dan tabi’i-tabi’in)


e) Allah memili sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan

tetap mentanzihkan-Nya.

Ibn Taimiyah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa

kalaulah kalamullah itu qadim, kalamnya pasti qadim pula. Ibn Taimiyah

adalah seorang tekstualis. Oleh sebab itu pandangannya dianggap oleh

47 Loc Cit hlm140-141

67

ulama mazhab Hanbal, Al-kitab Ibn Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim

(antropomorpisme) Allah, yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-

Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan Ibn

Taimiyah sebagai salaf perlu ditinjau kembali.

Berikut ini adalah pandangan ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah:

a) Percaya Sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau

Rasul-Nya menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:

1. Sifat salbiyah, yaitu qidam, baqa, muhalafatu lil hawaditsi,

qiyamuhu binafsihi, dan wahdanniyah.

2. Sifat ma’nawi, yaitu qudrah, iradah, samea, bashar, hayat, ilmu,

dan kalam.

3. Sifat khabariah (sifat-sifat yang diterangkan Al-Qur’an dan Hadis

walaupun akal bertanya tentang maknanya). Seperti keterangan

yang menyatakan bahwa Allah dilangit; Allah diatas Arasy; Allah

turun kelangit dunia; Allah dilihat oleh orang beriman diakhirat

kelak; wajah, tangan dan mata Allah


4. Sifat dhafiah, meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama-nama

Allah pada alam makhluk, rabb al-amin, khaliq al-kaum. Dan falik

al-habb wa al-nawa.

b) Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan

Rasul-Nya sebutkan, seperti al-awwal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin,

al-alim, al-qadir, al-hayy, al-qayyum, as-sami, dan al-bashir.

c) Menerima sepenuhnya nama-nama Allah tersebut dengan tidak

mengubah makna yang tidak dikehendaki lafadz, tidak

menghilangkan pengertian lafazd, tidak mengingkarinya, tidak

menggambarkan bentu-bentuk Tuhan, dan tidak menyerupai sifat-

sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluknya.

Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutsyabihat.

Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus

diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-

68

tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak

bertanya-tanya tentang-Nya. Diskusi dengan (Dr. Sumarto : 2017)

1. Tektualitas

2. Berdasarkan riwayat

3. Tidak menggunakan takwil

Ibnu Hanbal

Ibnu taimiyah
salaf

69

BAB 8

KHALAF

A. Pengertian khalaf

Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang

lahir setelah abad ke-III H dengan karakteristik yang bertolak belakang

dengan yang dimiliki salaf. Karakteristik yang palimg menonjol dari khalaf

adalah penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan

makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan

kesuciannya.

Adapun ungkapan Ahlusunnah (sering disebut dengan sunni)

dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni

dalam pengertian umum adalah lawan kelompok syi’ah. Dalam

pengertian ini, mu’tazilah sebagaimana juga asy’ariah masuk dalam

barisan sunni. Adapun sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab

yang berada dalam barisan asy’ariah dan merupakan lawan mu’tazilah.

Pengertian kedua inilah yang digunakan dalam pembahasan ini.

Selanjutnya, terma ahlussunnah banyak digunakan sesudah

timbulnya aliran asy’ariah dan maturidiah, dua aliran yang menentang

ajaran-ajaran mu’tazilah. Dalam hubungan ini, Harun Nasution dengan

meminjam keterangan Tasy Kubra Zadah menjelaskan bahawa aliran

ahlussunanah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasanah Al-

asy’ari sekitar tahun 300 H.


48

B. Tokoh Tokoh Khalaf

1. Al-ASY’ARI ( 875-935 M )

a. Riwayat Hidup Singkat Al-Asy’ari

Nama lengkap asy’ari adlah Abu Al-Hasan ‘ali bin isma’il bin Ishaq bin

Salim bin Isma’il bin ‘Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi

48 Rozak,Abdul & Anwar,Rohisan. ( 2012 ). Ilmu kalam edisi revisi, Bandung: CV Pustaka

Setia.hal.145-146

70

Musa Al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat, al-asy’ari lahir di Bashrah

pada tahun 260 H/ 875M. Setelah berusia lebih dari 40 tuhun, ia hijrah

ke kota baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935M.

Menurut Ibn ‘Asakir (w. 571 H), ayah al-asyari adalah seorang yang

berpaham ahlussunnah dan ahli hadis. Dan ia wafat setalah al-asy’ari

masih kecil. Sebelum wafat, ia sempat berwasiat kepada seorang

sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-saji agar memdidik al-

asy’ary. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh mu’tazilah yang

bernama abu ‘Ali Al-Jubba’i ( w. 303 H/ 915 M ) ayah kandung abu

hasyim al-jubba’i ( w. 321 H / 932 M ). Berkat didikan ayah tirinya, al-

asy’ari kemudian menjadi tokoh mu’tazilah. Sebagaitokoh mu’tazilah, ia

sering menggantikan al-jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-

lawan mu’tazilah dan banyak menulis buku yang membela alirannya .

Al-asy’ari menganut paham mu’tazilah hanya sampai 40 tahun.


Setelah itu, secara tiba-tbia ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid

bashrah bahwa ia telah meninggalkan paham mu’tazilah dan akan

menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut ibn ‘asakir, yang

melatarbelakangi al-asy’arimmeninggalkan paham mu’tazilah adlah

pengakuan al-asy’ari telah bermimpi bertemu dengan rasulullah SAW

sebanyak 3 kali, yaitu pada malam ke 10, ke-20, dan ke- 30 bulan

ramadhan. Dalam tiga kali mimpinya , rasulullah SAW

memperingatkannya agar segera meninggalkan paham mu’tazilah dan

segera membela paham yang telah diriwayatkan dari beliau.

b. Doktrin - Doktrin Teologi al-asy’ari

1. Tuhan dan sifat-sifatnya

Al-Asy’ari berpendapat bahwa allah memiliki sifat – sifat (

bertentangan dengan mu’tazilah) dan sifat-sifat itu, seperti mempunyai

tanngan seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara

harfiah, tetapi secara simbiolis ( berbeda dengan kelompok sifatiah ).

Selanjutnya, Al-asy’ari berpendapat bahwa bahwa sifat-sifat allah unik

71

dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang

tampaknya mirip.

2. Kebebasan Dalam Berkehendak

Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan

serta mengaktualisasikan perbuatannya.

3. Akal dan Wahyu dan Kriteria baik dan buruk


Meskipun al-asy’ari dan orang-orang mu’tazilah mengakui

pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi

persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan

wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mu’tazilah

mengutamakan akal.

Dalam menentukan baik burukpun terjadi perbedaan pendapat

diantara mereka. Al-asy’ari berpebdapat bahwa baik dan buruk hatus

berdasarkan wahyu , sedangkan mu’tazilah mendasarkannya pada

akal.

4. Qadimnya Al-Quran

Al-asy’ari mengatakan bahwa walupun al-quran terdiri atas

kata-kata , huruf, dan bunyi , hal itu tidak melekat pada esensi Allah

dan tidak qadim. Nasution mengatakan al-quran bagi al-asy’ari tidak

diciptakan sebab apabila diciptakan, sesuai dengan ayat :

“ sesungguhnya firman kami terhadap sesuatu apabila kami

menghendaknya, kami hanya mengatakan kepadanya, ‘jadilah’ maka

jadilah sesuatu itu “

5. Melihat Allah

Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat , tetapi tidak

dapat di gambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah

yang menyebabkan dapat dilihat atau ia menciptakan kemampuan

penglihatan manusia untuk melihatnya.

6. Keadilan

Allah itu adil.

7. Kedudukan Orang Berdosa


72

Al-asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut

mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur

, predikat bagi seseorang harus satu di antaranya. Jika tidk mukmin,

ia kafir. Oleh karena itu , Al-asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang

berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak

mungkin hilang karena dosa selain kufur.

49

c. Tokoh-tokoh Asy’ariyah

Salah satu kelebihan dari aliran Asy’ariyah ialah karena aliran ini

mempunyai beberapa tokoh yang populer. Tokoh-tokoh tersebut

antara lain :

a. Al-Baqillani ( wafat 403 H )

b. Ibnu Faauk ( wafat 406 H )

c. Ibnu Ishak Al-Isfaraini ( wafat 418 H )

d. Abdul Qahir Al-Baghdadi ( wafat 429 H )

e. Iman Al-Haramain Al-juwaini ( wafat 478 H ).

50

2. Al-MATURIDI

a. Riwayat singkat al-maturidi

Abu manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di

daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang

sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara


pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat

pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fikih dan teologi

bernama Nasir bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Al-

Maturidi hidup pada masa khalifah Al-mutawakil yang memerintah tahun

232-274/847-861 M.

Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni

bidang teologi dari pada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat

pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak

49 Rozak,Abdul & Anwar,Rohisan. ( 2012 ). Ilmu kalam edisi revisi, Bandung: CV Pustaka

Setia.hal.146-150

50 Bintang,Mario Arjuna ( 2008 ). Akidah Akhlak. Jakarta: CV Tiga Serangkai.hal.37

73

berkembang pada masyarakat islam, yang dipandangnya tidak sesuai

dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-

pemikirannya banyak di tuangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya

ialah Kitab Tauhid,Ta’wil Al-Quran, Makhaz Asy-Syara’i, Al-jadl, Ushul Fi

Ushul Ad-Din, Maqalat fi Al-Ahkam Radd Aw’il Al-Abidillah li Aka’bi, Radd

Al- Ushul Al-Khamisah li Abu muhammad Al- Bahilli, Radd Al-Imamah li

Al-Ba’ad Ar-Rawafiq, dan Kitab Radd ‘ala Al-Qaramah. Selain itu, ada

pula karangan-karangan yang diduga ditulis Al-Maturidi, yaitu Risalah fi

Al-Aqaid dan Syarh Fiqh Al-Akbar.

Dalam bidang fiqh, Al-Maturidi mengikuti mazhab Hanafi, dan ia

sendiri banyak mendalami soal-soal teologi islam dan menganut aliran


Fuqaha dan Muhadditsin, seperti yang dilakukan Al-Asy’ari. Sungguhpun

demikian pendapat-pendapatnya tidak terkait dengan aliran tersebut.

Meskipun metode yang dipakai Al-Maturidi berbeda dengan Al-

Asy’ari, namun hasil pemikirannya banyakn yang sama.

b. Doktrin – Dokrin Teologi Al-Maturidi

1. Akal dan Wahyu

Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan Kewajiban

mengetahui Tuhan dapat di ketahui dengan akal. Kemampuan akal

dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran

yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha

memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui

pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-

Nya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh

pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan

manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau mengunakan

akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti

meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut.

Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam,

yaitu:

74

a. Akal dengan sendirinya mengetahui kebaikan sesuatu itu

b. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu,

c. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali


dengan petunjuk ajaran wahyu.

2. Perbuatan manusia

menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan tuhan

karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus

mengenai perbuatan manusia, kebijakan dan keadilan kehendak Tuhan

harus mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat ( ikhtiar )

agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat

dilaksanakan. Dalam hal ini , Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar

sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta

perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya ( kasb ) dalam diri

manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya tersebut di

ciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian,

tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang menciptakan

perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia.

3. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan

Penyataan ini menurut Al-Maturidi bukan berarti bahwa Tuhan

berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang serta sekehendak-

Nya semata. Hal ini qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang ( Absolut ),

tetapi perbuatan dan kehendaknya itu untuk berlangsung dan sesuai

dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.

4. Sifat Tuhan

Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan

sebagai esnsi-Nya dan buka pula lain dari esensi-Nya.

5. Melihat Tuhan

6. Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca: sabda ) yang

tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi ( sabda

yang sebenarnya atau makna abstrak ). Kalam nafsi adalah sifat

75

qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan

suara adalah berharu ( hadis ).

7. Pengutusan Rasul

Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan

pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul

ke tengah-tengah umatnya adalh kewajiban Tuhan agar manusia

dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.

8. Pelaku dosa besar ( Murtakib Al-Kabir )

Al-Maturidi bependapat bahwa orang yang berdosa besar

tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum

bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan

balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.

51

c. Perbedaan yang tegas antara Al-asy’ari dan Al-Maturidi antara lain:

1). Menurut Asy;ariyah, mengetahui adanya Allah merupakan

kewajiban syara’, sedangkan menurut Maturidiyah merupakan

kewajiban akal.

2). Menurut golongan Al-Asy’ariyah, sesuatu perbuatan tidak

mempunyai sifat baik dan buruk. Baik dan buruk tidak lain karena

diperintahkan atau dilarang syara’. Menurut Maturudiyah, pada


tiap-tiap perbuatan itu sendiri ada sifat baik dan buruk. Dengan

demikian aliran Maturidiyah lebih mendekati aliran mu’tazilah.

52

Diskusi dengan (Dr. Sumarto : 2017)

Al asyi’ari 1. Takwil sifat-sifat Allah

Al maturidi 2. Manusia berkehendak

Dan kebebasan memilih

51 Rozak,Abdul & Anwar,Rohisan. ( 2001 ). Ilmu kalam untuk UIN,STAIN,PTAIS. Bandung:

CV pustaka Setia.hal.124-130

52 Bintang,Mario Arjuna ( 2008 ). Akidah Akhlak. Jakarta: CV Tiga Serangkai.hal.39

khalaf

76

BAB9

PEMIKIRAN KALAM ULAMA MODERN

A. Syekh Muhammad Abduh (1894-1905)

1. Riwayat Hidup Muhammad Abduh

Syekh Muhammad Abduh-nama lengkapnya Muhammad

bin’Abduh bin Hasan Khairullah-dilahirkan di desa Mahallat Nashr di

Kabupaten Al-Buhairah,Mesir,pad tahun 1849M.Ia berasal dari

keturunan yang tidak tergolong kaya,bukan pula keturunan

bangsawan.Walaupun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang


terhormat yang suka memberi pertolongan.Kekerasan yang diterapkan

penguasa-penguasa Muhammad ‘Ali dalam memungut pajak

menyebabkan penduduk pindah-pindah tempat untuk

menghindarinya,Abduh sendiri dilahirkan dalam kondisi yang penuh

kecemasan ini.

Mula-mula Abdulah dikirim ayahnya kemasjid Al-Ahmad tempat ini

menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar.Akan tetapi,sistem

pengajaran di sana sangat menjengkelkan sehingga setelah dua tahun

di sana, ia memutuskan untuk kembali ke desannya dan berani, seperti

saudara-saudara serta kerabatnya. Waktu kembali ke desa,ia di

nikahkan, saat itu ia berumur 16 tahun . Semula ia bersikeras, untuk

tidak melanjutkan studinya, tetapi akhirnya kembali belajar di atas

dorongan pamannya, Syekh Darwis,yang banyak mempengaruhi

kehidupan Abduh sebelum bertemu dengan jamalludin Al-Afghani. Atas

jasanya,Abduh berkata,”…ia telah membebaskanku dari penjara

kebodohan dan membimbingku menuju ilmu pengetahuan…”.

Setelah merampungkan studinya di bawah bimbingan

pamanya,Abduh melanjutkan studi di Al-Azhar pada bulan Februari

1866. Pada tahun 1871, Jamalludin Afghani (1839-1897) tiba di Mesir.

77

Saat itu, Abduh masih menjadi mahasisiwa Al-azhar. Kehadirannya

disambut Abduh dengan menghadiri pertemuan-pertemuan

ilmiahnya.Untuk selanjutnya, ia menjadi murid kesayangan Al-Afghani

aktif menulis dalam bidang sosial dan politik.Artikel-artikel pembaharuan


banyak dimuat di surat kabar Al-Ahram Di Kairo.

Setelah menyelesaikan studinya di Al-azhar pada tahun 1877

dengan gelar”Alim”. Abduh mulai mengajar di Al-Azhar,kemudian, di Dar

Al-Ulum dan rumahnya .Pada saat Al-Afghani diusir dari Mesir pada

tahun 1879 karena dituduh mengadakan gerakan penentangan terhadap

khedewi Taufig, Abduh juga dipandang ikut campur di dalamnya.Oleh

karena itu,ia dibuang ke luar kota Kairo.Pada tahun 1880 ia

diperbolehkan kembali ke ibu kota kemudian diangkat menjadi redaktur

surat kabar resmi pemerintahan Mesir,Al-Waqa’i Al-Mishriyyah. Pada

waktu bersamaan,kesadaran nasional Mesir mulai tampak. Di bawah

pimpinan Abduh,surat kabar resmi muat artikel-artikel tentang urgenitas

nasional Mesir,di samping berit-berita resmi.

Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan),

Abduh ketika itu masih memimpin surat kabar Al-Waqa’i-dituduh terlibat

dalam revolusi besar tersebut,sehingga pemerintah Mesir memutuskan

untuk mengasingkan selama tiga tahun dengan memberi hak kepadanya

untuk memilih tempat pengasingannya. Ia pun memilih Suriah. Di Suriah,

ia menetap selama satu tahun. Kemudian, ia menyusul gurunya, Al-

Afghani, yang ketika itu berada di Paris. Di sana,mereka menerbitkan

surat kabar Al-‘Urwah Al-Wutsqa, yang bertujuan mendirikan Pan-Islam

serta menentang penjajah Barat,khususnya Inggris. Tahun 1885.Abduh

diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh

Negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1899,Abduh

diangkat menjadi mufti Mesir.Kedudukan tinggi itu dipegangnya sampai

ia meninggal dunia tahun 1905.


78

2. Pemikiran-pemikiran Kalam Muhmmad Abduh

a) Kedudukan akal dan fungsi wahyu

Ada dua persoalan pokok yang menjadi focus pemikiran

Abduh,sebagaimana diakuinya,yaitu:

1.) Membahas akal pikiran dari belenggu-belenggu taqliq yang

menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana

hak salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah),sebelum

timbulnya perpecahan,yaitu memahami langsung dari sumber

pokoknya Al-quran.

2.) Memperbaiki gaya baha Arab,baik yang digunakan dalam

percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan ataupun dalam

tulisan-tulisan di media massa.

Dua persoalan pokok yang menjadi focus pemikiran Abduh

tampaknya muncul ketika ia meratapi perkembangan umat islam pada

masanya.Sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutbh(1906) kondisi umat

islam saat itu dapat digambarkan sabagai” suatu masyarakat yang beku,

kaku;menutup rapat-rapat pintu ijtihad;mengabaikan peranan akal dalam

memahami syariat Allah atau meng-istinbat-kan hukum-hukum karena

mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang

hidup pada masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan

khufarat-khufarat.

Atas dasar kedua focus pikirannya itu,Muhammad Abduh


memberikan peranan yang sangat besar pada akal. Begitu besarnya

peranan yang diberikan olehnya,sehingga Harun Nasution

menyimpulkan bahwa Muhammmah Abduh memberi kekuatan yang

lebih tinggi pada akal dari pada Mu’taziah. Menurut Abduh,akal dapat

mengetahui hal-hal berikut ini:

1.) Tuhan dan sifat-sifatnya;

2.) Keberadaan hidup di akhirat;

79

3.) Kebahaian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan

berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada tidak

mengenal Tuhan dan berbuat jahat;

4.) Kewajiban manusia mengenal Tuhan;

5.) Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat

untuk kebahagiaan di akhirat;

- Hukum-hukum mengenal kewajiban-kewajiban itu.

Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang

peranan akal, dapat diketahui pula bangaimana fungsi wahyu baginya.

Baginya, wahyu adalah penolong.Kata ini dipergunakan untuk

menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Menurutnya, wahyu

menolong akal untuk mengetahui sifat dan keberadaan kehidupan

alam;akhirat mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-

prinsip umum yang dibawanya;menyempurnakan pengetahuan akal

tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya;dan mengetahui cara beribadah serta

bertrima kasih kepada Tuhan. Dengan demikian,wahyu bagi Abduh


berfungsi sebagai konfirmasi,yaitu untuk menguatkan dan

menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.

Abduh memandang bahwa menggunakan akal merupakan salah

satu dasar islam. Iman seseorang tidak sempurna apabila tidak

didasarkan pada akal. Islam-menurut-agama yang pertama kali

mengikat persaudaraan antara akal dan agama. Menurutnya,

kepercayaan pada eksistensi Tuhan juga berdasarkan akal. Wahyu

yang dibawa Nabi tidak mungkin bertentangan dengan akal. Apabila

ternyata antara keduanya tedapat pertentangan,menurutnya terdapat

penyimpangan dalam lataran interprestasi sehingga di perlukan

interprestasi lain yang mendorong pada penyesuain. Kebebasan

manusia dan fatalism

Bagi Abduh,di samping mempunyai daya pikir,manusia juga

mempunyai kebebasan memilih yang merupakan sifat dasar alami yang

80

harus ada dalam diri manusia,jika sifat dasar ini dihilangkan dari

dirinya,ia bukan manusia lagi,melainkan makhluk lain,Manusia degan

akalnya mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya,

kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya dan

mewujudkan perbuatannya dengan daya yang ada dalam dirinya.

b) Sifat-sifat Tuhan

Dalam risalah,ia menyebut sifat-sifat Tuhan.Mengenai masalah

apa sifat itu termasuk ensensi Tuhan atau yang lain,ia menjelaskan

bahwa hal itu terletak di luar kemampuan manusia untuk


mengetahuinya.Walaupun demikian,Gaun Nasution melihat Abduh

cenderung pada pendapat bahwa sifat termasuk ensensi Tuhan

walaupun tidak tegas mengatakanya. Karena berpendapat bahwa ada

perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sepaham dengan Mu’tazih dalam

mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat yang terbaik bagi

manusia Inilah pemikiran-pemikiran kalam Muhammad Abduh

diantaranya.

B. Sayyid Ahmad Khan

1. Riwayat Singkat Sayyid ahmad Khan

Sayyid ahmad khan lahir di delhi pada tahun 1817. Menurut suatu

keterangan, ia berasal dari keturunan husein, cucu nabi Muhammad

SAW. Melalui patimah dan ali. Neneknya, sayyid Hadi, adalah pembesar

istana pada zaman alam ghir II (1754- 1759). Sejak kecil, ahmad khan

mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama. Dia belajar

bahasa arab dan juga bahasa Persia. Ia rajin membaca buku dalam

berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika berusia delapan belas tahun,

ia bekerja pada serikat india timur. Kemudian bekerja pula sebagai

hakim, tetapi pada tahun 1846 ia kembali kedelhi dan mempergunakan

kesempatan itu untuk belajar.

Dikota delhi inilah ia dapat melihat langsung peninggalan-

peninggalan kejayaan islam dan bergaul dengan tokoh-tokoh dan

81

pemuka muslim, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan,

Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin. Semasa didelhi, ia mulai


mengarang.karya pertamanya adalah Asar As –Sanadid. Pada tahu

1855, ia pindah ke Bijnore. Ditempat ini, ia mengarang buku- buku

penting islam di india. Pada tahun 1857 terjadi pembrontakan dan

kekacauan politik didelhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan

terhadap orang india. Ketika melihat keadaan rakyat delhi, ia sempat

berpikir untuk meninggalkan india menuju mesir, tetapi ia sadar bahwa

ia harus memperjuangkan umat islam india agar menjadi maju. Ia

berusaha mencegah terjadinya kekerasandan menolong banyak oran

inggris dari pembunuhan, hingga diberi gelah sir, teapi ia menolaknya.

Pada tahun 1861 ia mendirikan sekolah inggris di Muradabad. Hingga

akhir hayatnya ia selalu mementingkan pendidikan umat islam india.

Pada tahun 1718 ia juga mendirikan sekolah Mohammedan Anglo

Oriental college (MAOC) di Aligarh yang merupakan karya nya yang

paling bersejarah dan berpengaruh untuk memajukan umat islam india.

2. Pemikiran kalam sayyid ahmad khan

Sayyid ahmad khan mempunyai kesamaaan pemikiran dengan

Muhammad abduh di mesir _ setelah abduh berpisah dengan jamaludin

al-afghani dan kembali dari pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari

beberapa ide yang dikemukakannya, Terutama tentang akal yang

mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun

demikian, sebagai penganut ajaran islam yang taat dan percaya akan

kebenaran wahyu, ia berpendapat bahwa akal bukanlah segalanya dan

kakuatan akal pun terbatas.

Keyakinan kekuatan dan kebebasan akal menjadikan khan


percaya bahwa manusia bebas untuk menentukan kehendak dan

melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa ia mempunyai faham yang sama

dengan faham qadariyah. Menurutnya, manusia telah dianugerahi tuhan

berbagai macam daya, diantaranya adalah daya berpikir berupa akal,

82

dan daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya. Karena kuatnya

kepercayaan terhadap hukum alam dan kerasnya mempertahankan

konsep hukum alam. Bahkan, ketika datang ke india pada tahun 1869,

jamaluddin al-afghani menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas

tuduhan tersebut, jamalludin mengarang sebua buku yang berjudul Ar-

radd ad-dahriyah ( jawaban bagi kaum materialis).

Sejalan dengan paham adariyah yang dianutnya, ia menentang

keras faham taqlid. Khan berpendapat bahwa umat islam india mundur

karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Gaung

peradaban islam klasik masih melenakan mereka sehingga tidak

menyadari bahwa peradaban baru telah timbul di barat. Peradaban baru

ini timbul dengan berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dan inilah penyebab utama bagi kemajuan dan kekuatan orang barat.

Selanjutnya, khan mengemukakan bahwa tuhan telah

menentukan tabiat atau nature (sunnatullah) bagi setiap makhluk-nya

yang tetap dan tidak perah berubah. Menurutnya, islam adalah agama

yang paling sesuai dengan hukum alam, Karena hukum alam adalah

ciptaan tuhan dan alqur ‘an adalah firman nya maka sudah tentu kedua

nya seiring sejalan dan tidak ada pertentangan.


Sejalan dengan keyakinan tentang kekuatan akal dan hukum

alam, khan tidak mau pemikiran nya terganggu otoritas hadis dan fiqh.

Segala sesuatu diukurnya dengan kritik rasional. Ia pun menolak semua

yang bertentangan dengan logika dan hukum alam, ia hanya mau

mengambil al-quran sebagai pedoman bagi islam, sedangkan yang lain

hanya bersifat membantu dan kurang begitu penting. Alasan penolakan

nya terhadap hadis adalah karena hadis berisi moralitas sosial dari

masyarakat islam pada abad pertama atau kedua sewaktu hadis tersebut

dikumpulkan. Sedangkan hukum fiqih, menurutnya, berisi moralitas

masyarakat berikutnya sampai saat timbul nya mazhab-mazhab. Ia

83

menolak taklid dan membawa al-quran untuk menguraikan relevansinya

dengan masyarakat baru pada zaman itu.

Sebagai konsekuensi dari penokan nya terhadap taklid, khan

memandang perlu diadakannya ijtihad-ijtihad baru untuk menyesuaikan

pelaksaan ajaran-ajaran islam dengan situasi dan kondisi masyarakat

yang senantiasa mengalami perubahan.

53

C.Muhammad Iqbal

1. Riwayat Hidup Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Beliau berasal

dari kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang

terkenal saleh. Guru pertama Iqbal adalah ayahnya sendiri kemudian ia

dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Quran. Setelah itu,


ia dimasukkan Scottish Mission School. Di bawah bimbingan Mir Hasan,

ia diberi pelajaran agama, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah

menyelesaikan sekolahnya di Sialkot, ia pergi ke Lahore, sebuah kota

besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Government College. Di

sini ia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi

guru besar dalam bidang filsafat pada universitas tersebut. Pada tahun

1905 setelah mendapat gelar M.A. di Government College, Iqbal pergi

Inggris untuk belajar filsafat pada universitas cambridge. Dua tahun

kemudian ia pindah ke Munich, Jerman. Di Universitas ini, ia memperoleh

gelar Ph.D dalam tasawuf dengan disertasinya yang berjudul The

Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di

Persia).

Beliau tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya

dari Munich, beliau menjadi advokad dan juga sebagai dosen. Buku yang

berjudul The Recontruction of Religius Thought in Islam adalah

53 Abdul rozak, Anwar, Ilmu kalam, Pustaka Setia, Bandung,2009, hlm 219

84

kumpulan dari ceramah-ceramahnya sejak tahun 1982 dan merupakan

karyanya terbesar dalam bidang filsafat.

54

Pada tahun 1930, Iqbal memasuki bidang politik dan menjadi ketua

konferensi tahunan Liga Musllim di Allahabad, kemudian pada tahun


1931 dan tahun 1932, ia ikut dalam Konferensi Meja Bundar di London

yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada bulan Oktober tahun

1933, ia diundang ke Afganistan untuk membicarakan pembentukan

Universitas Kabul. Pada tahun 1935, ia jatuh sakit dan bertambah parah

setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula, dan ia meninggal

pada tanggal 20 April 1931.

2. Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal

Dibanding sebagai teolog, Muhammad Iqbal sesungguhnya lebih

terkenal sebagai seorang filosof eksistensialis. Oleh karena itu, agak sulit

untuk menemukan pandangannya mengenai wacana-wacana kalam

klasik, seperti fungsi akal dan wahyu, perbuatan Tuhan, perbuatan

manusia, dan kewajiban-kewajiban Tuhan. Itu bukan berarti bahwa ia

sama sekali tidak menyinggung ilmu kalam. Bahkan, ia sering

menyinggung beberapa aliran kalam yang pernah muncul dalam sejarah

Islam.

Sebagai seorang pembaharu, Iqbal menyadari perlunya umat islam

untuk melakukan pembaharuan agar keluar dari kemundurannya.

Kemunduran umat Islam, katanya, disebabkan kebekuan umat islam

dalam pemikiran dan ditutupnya pintu Ijtihat. Mereka, seperti kaum

konservatif, menolak kebiasaan berpikir rasional kaum Mu’tazilah karena

hal tersebut dianggapnya membawa disintegrasi umat Islam dan

membahayakan kestabilan politik mereka. Hal inilah yang dianggapnya

sebagai penyimpangan dari semangat Islam, semangat dinamis dan

kreatif.
54 Harun Nasution, Pembahruan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan ,Jakarta:

PT Bulan Bintang,1990, hlm 190.

85

Islam dalam pandangan Iqbal menolak konsep lama yang

mengatakan bahwa alam bersifat statis. Islam katanya,

mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak

perubahan dalam kehidupan sosial manusia. Oleh karena itu manusia

dengan kemampuan khudi-nya harus menciptakan perubahan.

Besarnya penghargaan Iqbal terhadap gerak dan perubahan ini

membawa pemahaman yang dinamis tentang Al-Quran dan hukum

Islam. Tujuan diturunkannya AL-Quran, menurutnya adalah

membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan

dan menjabarkan nas-nas Al-Quran yang masih global dalam realita

kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika masyarakat

yang selalu berubah. Ini yanng dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang

oleh Iqbal disebutnya sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam.

Oleh karena itu untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan

membuang kekakuan serta kejumudan hukum Islam, ijtihad harus

dialihkan menjadi ijtihad kolektif. Menurut Iqbal, peralihan kekuasaan

ijtihad individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislatif

Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk

menggerakkan spirit dalam sistem hukum Islam yang selama ini hilang

dari umat Islam. Dan menyerukan kepada kaum muslimin agar

menerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme


teresbut.

a. Hakikat teologi

Secara umum ia melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi

keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan inklusivistik).

Didalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan,

kesetiakawanan dan kebebasmerdekaan.” Pandangannya tentang

ontoloi teologi membuatnya berhasil melihat anomali (penyimpangan)

yang melekat pada literatur ilmu kalam klasik. Teology Asy’ariyah,

umpamanya, menggunakan cara dan pola pikir ortodoksi Islam.

86

Muta’zilah sebaliknya, terlalu jauh bersandar pada akal, yang akibatnya

mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan agama,

pemisahan antara pemikiran keagamaan dari pengalaman kongkrit

merupakan kesalahan besar.

b. Pembuktian Tuhan

Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, Iqbal menolak argumen

kosmologis maupun ontologis. Ia juga menolak argumen teleologis

yang berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur

ciptaannya dari sebelah luar. Walaupun demikian ia menerima

landasan teleologis yang imanen (tetap ada). Untuk menopang hal ini,

Iqbal menolak pandangan yang statis tentang matter serta menerima

pandangan Whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian dalam


aliran dinamis yang tidak berhenti. Karakter nyata konsep tersebut

ditemukan Iqbal dalam “jangka waktu murni”-nya Bergson, yang tidak

terjangkau oleh serial waktu. Dalam “jangka waktu murni”, ada

perubahan, tetapi tidak ada suksesi (penggantian). Kesatuannya

seperti kesatuan kuman yang didalamnya terdapat pengalaman-

pengalaman nenek moyang para individu, bukan sebagai suatu

kumpulan, tetapi sebagai suatu kesatuan yang didalamnya mendorong

setiap pengalaman untuk menyerap keseluruhannya. Dan dari individu,

“jangka waktu murni” ini e

Kemudian di transfer ke alam semesta dan membenarkan ego

mutlak. Gagasan inilah yang “dibicarakan” iqbal kedalam Al-Quran. Jadi

Iqbal telah menafsirkan Tuhan yang imanen bagi alam.

c. Jati diri manusia

Faham dinamisme Iqbal berpengaruh besar terhadap jati diri

manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan ini

dapat dilihat dari konsepnya tentang ego ide sentral dalam pemikiran

filosofinya. Kata itu diartikan dengan kepribadian. Manusia hidup

87

untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan

mengembangkan bakat-bakatnya bukan sebaliknya,yakni

melemahkannya, seperti yang dilakukan oleh para sufi yang

menundukkan jiwa sehingga fana dengan Allah. Pada hakikatnya

menafikan diri bukanlah ajaran islam karena hakikat hidup adalalh

bergerak, dan gerak adalalh perubahan.


d. Dosa

Iqbal secara tegas menyatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa

Al-Quran menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang

bersifat kreatif. Dalam hubungan ini, ia mengembangkan cerita

tentang kejatuhan Adam (karena memakan buah terlarang) sebagai

kisah yang berisi tentang “kebangkitan manusia dari kondisi primitif

yang dikuasai hawa nafsu naluriah kepada pemilikan kepribadian

bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi

kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang” dan

“timbulnya ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memilih”.

“Allah telah menyerahkan tanggung jawab yang penuh risiko ini,

menunjukkan kepercayaan-nya yang besar kepada manusia. Maka

kewajiban manusia adalah membenarkan adanya kepercayaan ini.

Namun, pengakuan terhadap kemandirian (manusia) itu melibatkan

pengakuan terhadap semua ketidaksempurnaan yang timbul dari

keterbtasan kamandirian itu.

e. Surga dan neraka

Surga dan neraka, kata Iqbal adalah keadaan, bukan tempat.

Gambaran-gambaran tentang keduanya di dalam Al-Quran adalah

penampilan-penmapilan kenyataanbatin secara visual, yaitu sifatnya.

Neraka menurut rumusan Al-Quran, adalah “api Allah yang menyala-

yala dan yang membumbung keatas hati”, prnyataan yang

menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah

kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi

berbagai dorongan yang menuju kepada perpecahan. Tidak ada


88

kkutukan abadi dalam Islam. Neraka sebagaimana dijelasakan dalam

Al-Quran, bukanlah kawah tempat penyiksaan abadi yang disediakan

Tuhan. Ia adalah pengalaman korektif yng dapat memperkeras ego

sekali lagi agar lebih sensitif terhadap tipuan angin sejuk dari

kemahamurahan Allah. Surga juka bahkan merupakan tempat

berlibur. Kehidupan itu hanya satu dan berkesinambungan.

55
55 Abdul rozak, Anwar, Ilmu kalam, Pustaka Setia, Bandung,2009, hlm 225

89

BAB 10

TOKOH ILMU KALAM MASA KINI ( ISMAIL AL-FARUQI dan

HASAN HANAFI )

A. Ismail Al-Faruqi

1. Riwayat Singkat Ismail al Faruqi

Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1

Januari 1921. Pendidikan dasarnya dimulai dari madrasah, dan

pendidikan menengahnya di Colleges des Freres, dengan bahasa

pengantar Perancis. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American

University of Beirut. Ismail lalu bekerja untuk pemerintah Inggris di

Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea. Tapi,

setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat pada

tahun 1949. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang

filsafat di University of Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan

pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of

Indiana dan di Al-Azhar University pada tahun 1952. 1 Dia kemudian


mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas

di Kanada, Pakistan dan Amerika Serikat.

Pada tahun 1968, dia menjadi guru besar Studi Islam di Temple

University, Amerika Serikat. Sebagai anak Palestina, al-Faruqi

mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang

menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas

membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia

berkata bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi

sebagai agama Tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme.

Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras

terhadap kaum Zionis Yahudi. Kematian Ismail Raji al-Faruqi meninggal

dunia karena dibunuh pada tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya.

90

2. Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi

Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang

berjudul Tahwid: Its Implications for Thought and Life. Dalam karyanya

ini beliau ini mengungkapkan bahwa:

a. Tauhid sebagai inti pengalaman agama.Inti pengalaman agama,

kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi

sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap

muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam setiap

waktu. Bagi kaum Muslimin, Tuhan benar-benar merupakan obsesi


yang agung.3 Esensi pengalaman agama dalam islam tiada lain

adalah realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia-

sia.

b. Tauhid sebagai pandangan dunia Tauhid merupakan pandangan

umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah

manusia, dan takdir

c. Tauhid sebagai intisari Islam Esensi peradaban Islam adalah Islam

sendiri. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam yang dapat

dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak aka nada. Tanpa

yauhid, bukan hanya sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan

ptanata kenabian pun menjadi sirna.

d. Tauhid sebagai prinsip sejarah Tauhid menempatkan manusia pada

suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika ketika keberhargaan

manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang

dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Eskatologi Islam

tidak mempunyai sejarah formatif. Is terlahir lengkap dalam Al-

Qur’an, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para

pengikutnnya pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agama

Yahudi atau Kristen. Is dipandang sebagai suatu klimaks moral bagi

kehidupan di atas bumi.

91

e. Tauhid sebagai prinsip pengetahuan Berbeda denga “iman” Kristen,

iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan

kepada perasaan manusia yang mudah dipercayai begitu saja.


Kebenaran, atau proposisi iman bukanlah misteri, hal yang dipahami

dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat

kritis dan rasional. Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan pada

ujian keraguan dan lulus dalan ditetapkan sebagai kebenaran

f. Tauhid sebagai prinsip metafisika. Dalam Islam, alam adalah ciptaan

dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis, sempurna, dan

teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan yang tak

mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya agar

manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga

penilaian ini, keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi cirri

dan meringkas pandangan umat Islam tentang alam.

g. Tauhid sebagai prinsip etika Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah

memberi amanat-Nya kepada manusia, suatu amanat yang tidak

mampu dipikul oleh langit dan bumi. Amanat atau kepercayaan Ilahi

tersebut berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Ilahi, yang

sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan

kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang

mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat

dipisahkan dari agama dan bahkan dibangun di atasnya.

h. Tauhid sebagai prinsip tata sosial Dalam Islam tidak ada perbedaan

antara yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat Islam adalah

masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung

dengannya, baik sebagai anggota tetap ataupun sebagai yang

dilindungi (dzimmah). Masyarakat Islam harus mengembangkan

dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan


kehilangan klaim keislamannya.

i. Tauhid sebagai prinsip ummah Dalam menyoroti tentang tauhid

sebagai prinsip ummat, al Faruqi membaginya kedalam tiga

92

identitas, yakni: pertama, menenentang etnosentrisme yakni tata

sosial Islam adalah universal mencakup seluruh ummat manusia

tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu. Kedua,

universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang

cita-cita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme,

yakni Islam relevan dengan setiap bidang kegiuatan hidup manusia

dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas mnusia dan

tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia

disetiap masa dan tempat

j. Tauhid sebagai prinsip keluarga Al-Faruqi memandang bahwa

selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerogotan

kumunisme dan idiologi-idiologi Barat, umat Islam akan menjadi

masyarakat yang selamat dan tetap menempati kedudukan yang

terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar tetap lestari

sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi oleh hubungan

erat dengan tauhid.

k. Tauhid sebagai tata politik Al-Faruqi mengaitkan tata politik dengan

pemerintahan. Kekhalifahan didefenisikan sebagai kesepakatan tiga

dimensi, yaitu: kesepakatan wawasan (ijma’ ar-ru’yah), kehendak

(ijma’ al-iradah), dan tindakan (ijma’ al-amal). Wawasan yang


dimaksud al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang

membentuk kehendak iIahi. Kehendak yang dimaksud Al-Faruqi

adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak

Ilahi. Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah peelaksanaan

kewajiban yang timbul dari kesepakatan.

l. Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi Al-Faruqi melihat implikasi

Islam untuk tata ekonomi ada dua prinsip, yaitu: pertama, tak ada

seorang atau kelompok pun yang dapat memeras yang lain. Kedua,

tak satu kelompok pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri

dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk mebatasi kondisi

ekonomi mereka pada diri mereka sendiri. m. Tauhid sebagai prinsip

93

estetika Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kretaivitas

manusia, tidak juga menentang kenikmatan dan keindahan.

Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada

dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam

firman-firman-Nya.

B. Hasan Hanafi

1. Riwayat Singkat Hasan Hanafi

Hasan Hanafi dilahirkan pada 13 Februari tahun 1935, di Kairo.

Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan

tingkat dasar, dan melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalill

Agha, Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Hasan Hanafi

adalah pengikut Ikhwanul Muslimin ketika dia aktif kuliah di Universitas


Kairo. Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb

tentang keadilan sosial dalam Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami

pemikiran agama, revolusi, dan perubahan sosial. Dari sekian banyak

tulisan dan karyanya yaitu: Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami) merupakan salah

satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri Islam,

meskipun baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi, karya

ini telah memformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang ideal

tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama bagi kesejahteraan

umat manusia.

2. Pemikiran Kalam Hasan Hanafi

a. Kritik terhadap teologi Tradisional

Dalam gagasannya tentang rekobstruksi teologi tradisional, Hanafi

menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual

kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks politik yang

terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi tradisonal lahir

dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan untuk

memelihara kemurniannya. Hal ini berbeda dengan kenyataan sekarang

bahwa Islam mengalami kekalahan akibat kolonialisasi sehingga

94

perubahan kerangka konseptal lama pada masa-masa permulaan yang

berasal dari kebudayaan klasik menuju kerangka konseptual yang baru

yang berasal dari kebudayaan modernharus dilakukan. Hanafi

memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam

kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial politik.


Sehingga kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan

dibenarkan karena sebagai produk pemikiran manusia yang terbuka untuk

dikritik.

Hal ini sesuai dengan pendefenisian beliaun tentang definisi teologi

itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena

Tuhan tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkaplan diri dalam Sabda-

Nya yang berupa wahyu. Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu

tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk kepada ilmu. Tuhan

mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang berupa wahyu. Ilmu Kalam

adalah tafsir yaitu ilmu hermeneutic yang mempelajari analisis percakapan

(discourse analysis), bukan saja dari segi bentuk-bentuk murni ucapan,

melainkan juga dari segi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk

kepada dunia.

Adapun wahyu sebagai manifestasi kemauan Tuhan, yakni sabda

yang dikirim kepada manusia mempunyai muatan-muatan kemanusiaan.

Hanafi ingin meletakkan teologi Islam tradisional pada tempat yang

sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh

dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara taken for Granted.

Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diaadakan verifikasi

dan falsafikasi, baik secara historis maupun eiditis.Menurut Hasan Hanafi,

teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-

benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret

umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang

tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan

manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan teoritik


95

dengan amal praktiknya di kalangan umat. Secara historis, teologi yang

telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan ia sarat

dengan konflik social-politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat:

Pertama, pada tingkat teoritis, kedua, pada tingkat praxis, yaitu gagal

karena hanya menciptakan apatisme dan negativisme

b. Rekontruksi Teologi

Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafilalu mengajukan

saran rekontruksi teologi. Menurutnya, adalah mungkin untuk

memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini,

yaitu dengan melakukan rekontruksi dan revisi, serta nenbangun kembali

epistemologi lama yang rancu dan palsu menuju epiatemologi baru yag

sahih dan lebih signifikan. Tujuan rekontruksi teologi Hanafi adalah

menjadikan teologi tidak sekedar dogma-dogma keagamaan yang

kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang social, yang

menjadikan keimanan-keimanan tradisonal memiliki fungsi secara actual

sebagai landasan etik dan motivasi manusia.

Sistem kepercayaan sesungguhnya mengekpresikan bangunan

sosial tertentu. Sistem kepercayaan menjadikan gerakan social sebagai

gerakan bagi kepentingan mayoritas yang diam (al-aglabiyah as-sfimitah:

the majority) sehingga system kepercayaan memiliki fungsi visi. Karena

memiliki fungsi revolusi, tujuan final rekonstruksi teologi tradisionla adalah

revolusi sosial. Menilai revolusi dengan agama dimasa sekarang sama

halnya dengan mengaitkan filsafat dengan syariat di masa lalu, ketika


filsafat menjadi zaman saat itu. Sebagai konsekuensi atas pemikirannya

yang menyatakan bahwa para ulama tradisional telah gagal dalam

menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan saran

rekontruksi teologi.

Adapaun langkah untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang-

kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu:

96

1) Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah

pertarungan global anatar berbagai ideologi.

2) Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, tetapi

juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata

mewujudkan ideologi gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan

teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di Negara-

negara muslim.

3) Keperingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yang secara

nyata diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi

menghendaki adanya ‘teologi dunia’ yaitu teologi baru yang dapat

mempersatukan umat Islam di bawah satu orde. Menurut Hanafi,

rekontruksi teologi merupakan salah satu cara yang mesti ditempuh

jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang

kongkret bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekontruksi itu

pertama-tama untuk mentranformasikan teologi menuju antropologi,

menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik

secara eksistensi, kognitif, maupun kesejarahan. Selanjutnya Hanafi


menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu

dalam teologi Islam yaitu:

a. Analisis bahasa.

Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisonal adalah

warisan nenek moyang di bawah teologi, yang merupakan bahasa

khas yang seolah-olah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi

tradisonal memiliki istilah-istilah khas seperti Allah, iman, akhirat.

Menurut Hanafi, semua ini sebenarnya menyingkapkan sifat-sifat

dan metode keilmuan, ada yang empirik-rasional seperti iman,

amal, dan imamah, dan ada yang historis seperti nubuwah serta

ada pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat.

97

b. Analisis realitas.

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang

historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu,

mendiskripsikan pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi kehidupan

masyarakat. Dan bagaimana ia mempunyai kekuatan

mengarahkan terhadap prilaku para pendukungnya. Analsis

realitas ini berguna untuk menentukan stressing kearah mana

teologi kontemporer harus diorientasikan

98
BAB 11

TOKOH ILMU KALAM MASA KINI

A. H.M.Rasyidi

1. Riwayat Hidup H.M Rasyidi

H. Mohamad Rasyidi (Kota gede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 30

Januari 2001) adalah mantan Menteri Agama Indonesia pada Kabinet

Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II. Fakultas Filsafat, Universitas Kairo, Mesir

(1938) Universitas Sorbonne, Paris (Doktor,1956) Guru pada

Islamitische Middel bare School (PesantrenLuhur), Surakarta (1939-

1941) Guru Besar Fakultas Hukum UI Direktur kantor Rabitah Alam

Islami, Jakarta. Dalam konteks pertumbuhan akademik Islam di

Indonesia, orang akan sulit mengesampingkan kehadiran H.M. Rasyidi,

lulusan lembaga pendidikan tinggi Islam di Mesir yang melanjutkan ke

Paris, dan kemudian memperoleh pengalaman mengajar di Kanada.

Lepas dari retorika-retorika anti-Baratnya, orang tak akan luput

mendapati bahwa hamper keseluruhan kontruksi Akademiknya dibangun

atas dasar unsur-unsur yang ia dapatkan dari Barat. Maka tidak

heran,kalau ia koreksi karya Dr. Harun Nasution tentang Islam di tinjau

dari berbagai aspeknya ,Bulan Bintang, 1977, Strategi Kebudayaan dan

Pembaharuan Pendidikan Nasional ,MediaDakwah,1979. Kebebasan

Beragama, MediaDakwah,1979. Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger

Garandy, Bulan Bintang,1982.

56

2. Pemikiran Kalam H.M Rasyid


Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari beberapa tokoh

seangkatannya. Hal ini di lihat dari keritikan beliau terhadap Harun

Nasution, dan Nurcholis Majid. Secara garis besar

Pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut:

56 Nurcholis madjid, kaki langit peradaban islam, paramadina, jakarta, 1997 hlm. 61.

99

a. Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi.

Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan

pengertian ilmu kalam dan teologi. Untuk itu Rasyidi berkata ,“…Ada

kesan bahwa ilmu kalam adalah teologi Islam danTeologi adalah ilmu

kalam Kristen.’’

57

Selanjutnya Rasyidi menelurusi sejarah kemunculan teologi.

Menurutnya, orang Barat memakai istilah teologi untuk menunjukkan

tauhid atau kalam Karena mereka tak memiliki istilah lain.Teologi terdiri

dari dua perkataan, yaitu teo (theos) artinyaTuhan, dan logos, artinya

ilmu. Jadi teologi berarti ilmu ketuhanan. Adapun sebab

timbulnyaTeologi dalam Kristen adalah ketuhanan Nabi Isa, sebagai

salah satu dari tri-tunggal atau trinitas.


Namun kata teologi kemudian mengandung beberapa aspek

agama Kristen, yang diluar Kepercayaan (yangbenar), sehingga teologi

dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam.

58

b. Tema-tema ilmu kalam

Salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yang dikritik oleh

Rasyidi adalah deskripsi aliran aliran kalam yangsudah tidak relevan lagi

dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia. Untuk itu,

Rasyidi berpendapat bahwa menonjolnya perbedaan pendapat antara

Asy’Ariyah dan Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan Harun Nasution

,akan melemahkan iman para mahasiswa. Memang tidak ada agama

yang mengagungkan akal seperti Islam, tetapi dengan Menggambarkan

bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu hanya

membuat nilai yang dihasilkan pikiran manusia bersifat absolute-

universal, berarti meremehkan

57 H. M. Rasjidi, koreksi terhadap DR. Harun Nasution, tentang islam ditinjau dari berbagai

aspeknya, Bulan Bintang, Jakarta, 1977. Hlm. 33.

58 Ibid, hlm. 33-34.

100

ayat-ayat al-Qur’an seperti :"wallahuya'lamuwaantum lata'lamun".

Artinya;“ Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.(Q.S.Al-

Baqarah:232).

Rasyidi kemudian menegaskan pada saat ini, di Barat sudah di rasakan


bahwa akal tidak mampu mengetahui baik dan buruk. Buktinya adalah

kemunculan eksistensialisme sebaga ireaksi Terhadap aliran

rasionalisme.

59

Rasyidi mengakui bahwa soal-soal yang pernah diperbincangkan

pada dua belas abad yang lalu, Masih ada yang relevan untuk masa

sekarang, tetapi adapula yang sudah tidak relevan. Pada Waktu

sekarang, demikian Rasyidi menguraikan, yang masih dirasakanlah oleh

umat Islam pada Umumnya adalah keberadaan Syi’ah.

60

c. Hakikat iman

Poin ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap deskripsi iman yang

diberikan Nurcholis Madjid, yakni “percaya dan menaruh kepercayaan

kepadaTuhan. Dan sikap apresiatif kepadaTuhan merupakan inti

pengalaman keagamaan seseorang. Sikap ini di sebut takwa.Takwa

diperkuat dengan kontak yang kontinu denganTuhan. Apresiasi

ketuhanan menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang menyeluruh,

sehingga menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan.

61 ”

Menanggapi pernyataan diatas Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan

sekedar menuju bersatunya manusia denganTuhan, tetapi dapat dilihat

dalam dimensi konsekuensial atau hubungan dengan manusia dengan

manusia, yakni hidup dalam masyarakat. Bersatunya seseorang dengan

Tuhan tidak merupakan aspek yang mudah dicapai, mungkin hanya

seseorang saja dari sejuta orang. Jadi, yang terpenting dari aspek
penyatuan itu adalah

kepercayaan, ibadah dan kemasyarakatan.

62

59 Ibid, hlm. 52.

60 Ibid, hlm. 104.

61 H. M. Rasjidi, koreksi terhadap DR. Nurcholish Madjid tentang sekularisasi, Bulan

Bintang, Jakarta, 1977, hlm. 61.

62 Ibid, hlm. 63.

101

B. Harun Nasution

1. Riwayat Singkat Harun Nasution

Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di

Sumatera. Ayahnya, Jabar Ahmad adalah seorang ulama yang

mengetahui kitab-kitab Jawi.

Pendidikan formalnya di mulai dari sekolah Belanda HIS. Setelah tujuh

tahun di HIS. Selama tujuh tahun, Harun belajar bahasa Belanda dan

ilmu pengetahuan umum di HIS itu, dia berada dalam lingkungan disiplin

yang ketat. Di lingkungan keluarga, harun memulai pendidikan Agama

dari lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah

lainnya.

Beliau meneruskan ke MIK (Modern Islamietishe Kweek school) di

Bukit tinggi pada tahun 1934. Pendidikannya lalu diteruskan ke

Universitas Al Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar beliau kuliah juga


di Universitas amerika di Mesir. Pendidikannya lalu dilanjutkan ke

Mc.Gill, Kanada pada tahun 1962.

63 Setiba di tanah air pada tahun1969

beliau langsung terjun dalam bidang akademisi, yakni Menjadi dosen di

IAIN Jakarta, IKIP Jakarta, dan kemudian juga pada Universitas

Nasional. Harun Nasution adalah figure sentral dalam semacam jaringan

intelektual yang terbentuk

Di kawasan IAIN Ciputat semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an.

Sentralitas Harun Nasution di dalam jaringan itu tentu saja banyak

ditopangk apasitas intelektualnya, dan kemudian Kedudukan formalnya

sebagai rektor sekaligus salah seorang pengajar di IAIN.

64

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia

islam, terutama sesudah pembukaan abad ke sembilan belas, yang

dalam sejarah islam dipandang sebagai permulaan periode modern.

Kontak dengan dunia barat selanjutnya membawa ide-ide baru kedunia

63 Zaim uchrowi,Menyeru Pemikiran Rasional Mu’tazilah dalam Aqib Suminto. (ketua

Panitia), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 tahun Harun Nasution, Lembaga

Studi Agama dan Filsafat, Jakarta, 1989, hlm. 3 dan seterusnya.

64 Azyumardi Azra, ‘’jaringan ulama timur tengah dan indonesia abad ke 17’’ dalam ibid ,

hlm. 359.

102

islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya.


Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru dan tokoh-tokoh

islam pun mulai memikirkan cara mengatasinya.

Sebagaimana halnya di barat, di dunia islam juga timbul pikiran dan

gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan islam dengan

perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan pengetahuan dan

teknologi modern. Dengan jalan demikian tokoh islam modern

mengharap akan dapat melepaskan umat islam dari suasana

kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.

65

2. Pemikiran Harun Nasution

a. Peranan Akal

Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih

problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai

bahan kajian disertasinya di Universitas Mogill, Mentreal, Kanada.

Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatu aliran sangat

menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang

ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis

demikian :“Akal melambangkan kekuatan manusia”. Karena akal

manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan

makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah

tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain.

Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah

kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.

66

Dalam sejarah islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak


dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan

kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran

keagamaan Islam sendiri.Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan Al-

Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya apabila ada penulis-

65 Nasution, Harun, pembaharuan dalam islam sejarah pemikiran dan gerakan, PT

MAGENTA BAKTI GUNA, Jakarta, 1988, hlm. 11-12.

66 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press,

Jakarta, 1983, hlm. 56.

103

penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam,

yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.

67

b. Pembaharuan Teologi

Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution.

Pada dasarnya dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan dan

kemunduran umat Islam Indonesia (juga dimana saja) adalah

disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini

serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya

(Muhammad Abduh, Rasyid Ridha Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lain-

lain ) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang

sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan

teologi fatalistic, irasional,

Predeterminisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib


mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian,

jika hendak mengubah nasib umat Islam. Menurut Harun Nasution,umat

Islam hendaklah mengubah teologi yang berwatak free-will

rasional,serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya

menemukan teologi dalam khazanah Islam klasik sendiri yakni teologi

Mu’tazilah.

68

c. Hubungan akal dan wahyu

Salah satu focus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan

akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu

memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak

bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-

Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah

mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua

permasalahan keagamaan.

69

67 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI Press, Jakarta, 1980, hlm. 101.

68 Mansoer Faqih, ‘’Mencari Teologi Tertindas (khidmat dan kritik ) untuk Guruku Prof.

Harun Nasution’’, dalam Suminto, op. Cit., hlm. 167.

69 Lihat pada Nasution, op. Cit., hlm. 150.

104

Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam,

apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal
tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar.

Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang

wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai

dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang

di pertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan

akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain

dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam

Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal

ulama lain.

70

70 Nasution, akal ..., op. Cit., hlm. 101-102.

105

DAFTAR PUSTAKA

Asy’arie,Musa, 2002. Filsafat Islam,Yogyakarta: lesfi.

Bintang, Mario Arjuna. 2008. Akidah Akhlak. Jakarta: CV Tiga Serangkai.

E, Kusnadiningrat, 1999, Teologi dan Pembebasan: Gagasan Islam Kiri

Hasan Hanafi. Jakarta: Logos.

Hanafi, Ahmad. 2001.Teologi Islam. Jakarta:PT.Bulan Bintang.

Marid, 2009. Akidah Akhlak,Bandung: Tiga Saudara.

Nasir, Sahilun A. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam). Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada.
Nasution, Harun. 1988. Pembaharuan dalam islam sejarah pemikiran dan

gerakan. Jakarta: PT Magenta Bakti Guna.

.1990. pembaharuan dalam islam sejarah pemikiran dan

gerakan, Jakarta :PT. Bulan Bintang.

. 2007. Teologi Islam. Jakarta : UI Press

Rozak, Abdul dan Anwar, Rohison,2001, Ilmu Kalam, Bandung : CV

Pustaka Setia.

Zainuddin. 1992. Ilmu tauhid lengkap . Jakarta : Rineka cipta.

Anda mungkin juga menyukai