Anda di halaman 1dari 16

askep bells palsy

LAPORAN PENDAHULUAN

BELL’S PALSY

I. KONSEP MEDIS

A. Pengertian

Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron akibat paralisis
nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar
sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.

Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari Skotlandia. Bell’s
palsy sering terjadi setelah infeksi virus atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil
dan penderita diabetes serta penderita hipertensi. Bukti-bukti dewasa ini menunjukkan bahwa
Herpes simplex tipe 1 berperan pada kebanyakan kasus. Berdasarkan temuan ini, paralisis fasial
idiopatik sebagai nama lain dari Bell’s palsy tidak tepat lagi dan mungkin lebih baik menggantinya
dengan istilah paralisis fasial herpes simpleks atau paralisis fasial herpetik.

Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera
tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata
sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan
matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga
bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola
mata yang sehat (lagoftalmos).

B.Epidemiologi

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di
dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemikan di
Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000
orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000
populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy
mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang
berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada
kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy
lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat .
C.Etiologi

Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa tahun terakhir
ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya kasus Bell’s palsy sekian lama
dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes Simpleks Virus (HSV) dalam ganglion genikulatum
penderita Bell’s palsy. Dulu, masuk angin (misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan
jendela terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai
diyakini HSV sebagai penyebab Bell’s palsy. Tahun 1972, McCormick pertama kali mengusulkan HSV
sebagai penyebab paralisis fasial idiopatik. Dengan analaogi bahwa HSV ditemukan pada keadaan
masuk angin (panas dalam/cold sore), dan beliau memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap laten
dalam ganglion genikulatum. Sejak saat itu, penelitian biopsi memperlihatkan adanya HSV dalam
ganglion genikulatum pasien Bell’s palsy. Murakami at.all melakukan tes PCR (Polymerase-Chain
Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy berat yang menjalani pembedahan dan
menemukan HSV dalam cairan endoneural. Apabila HSV diinokulasi pada telinga dan lidah tikus,
maka akan ditemukan antigen virus dalam nervus fasialis dan ganglion genikulatum. Varicella Zooster
Virus (VZV) tidak ditemukan pada penderita Bell’s palsy tetapi ditemukan pada penderita Ramsay
Hunt syndrome.

D.Anatomi

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :

1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae (n.II), otot
platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.

2. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut
saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan
glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.

3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian
depan lidah.

4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari sebagian
daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik wajah.
Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan rasa kecap dari
dua pertiga bagian lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-
serabut kecap pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu
masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi kecap melalui nervus fasialis ke nukleus traktus
solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginnervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus
superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.

Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan serabut nervus
fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens
sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan
(jukstaposisi) pada lantai ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi
vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan
nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum
telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena
sangat dekat dengan genu. Nervus fasialis terus berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah
ganglion genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus
petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang
dihubungkan oleh korda timpani. Lalu n. fasialis keluar dari kranium melalui foramen
stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani
otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.

Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera
tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika lesinya berlokasi di bagian proksimal ganglion
genikulatum, maka paralisis motorik akan disertai gangguan fungsi pengecapan dan gangguan fungsi
otonom. Lesi yang terletak antara ganglion genikulatum dan pangkal korda timpani akan
mengakibatkan hal serupa tetapi tidak mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika lesinya berlokasi di
foramen stilomastoideus maka yang terjadi hanya paralisis fasial (wajah).

E.Patofisiologi

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus
fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu
terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi
paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah
satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui
tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental.
Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat
menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa
mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa
terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan
asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena
adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka
diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia
terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi
LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen
stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah
sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN
tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain
itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan
ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian
bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes
zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke
saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut
terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah
seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha
untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat.
Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata
tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.

F. Gejala klinik

Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok
gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka
penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin.

Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan
(lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputar
ke atas.(tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum maka
air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan
dengan tempat/lokasi lesi.

1. Lesi di luar foramen stilomastoideusMulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan
berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan
kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur mata
akan keluar terus menerus.

2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah
(2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada
lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons
dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), (2), ditambah dengan adanya hiperakusis.

4. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum) Gejala dan tanda klinik
seperti (1), (2), (3) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini
dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis
perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di
membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.

5. Lesi di daerah meatus akustikus interna Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2), (3), (4), ditambah
dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.

6. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas,
disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga
nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.

Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bell’s palsy,
beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata yang terkena
pada saat penderita makan. Nervus fasilais menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivatorius
submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi dalam perkembangannya
terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.

G. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Fisis

Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan fisik tetapi yang harus
diteliti lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain yang menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis.
Pada lesi supranuklear, dimana lokasi lesi di atas nukleus fasialis di pons, maka lesinya bersifat UMN.
Pada kelainan tersebut, sepertiga atas nervus fasialis normal, sedangkan dua pertiga di bawahnya
mengalami paralisis. Pemeriksaan nervus kranialis yang lain dalam batas normal.

2. Pemeriksaan Laboratorium

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy.

3. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika
dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan AIDS
pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s palsy akan menunjukkan adanya penyangatan
(Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.

H. Diagnosis
Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari nervus fasialis yang
menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan rasa nyeri pada telinga.
Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada
Bell’s palsy lesinya bersifat LMN

I. Pengobatan

Melindungi mata pada saat tidur dan pemberian tetes mata metilselulosa, memijat otot-otot
yang lemah dan mencegah kendornya otot-otot di bagian bawah wajah merupakan kondisi yang
dapat dikelola secara umum Belum ada bukti yang mendukung bahwa tindakan pembedahan efektif
terhadap nervus fasialis, bahkan kemungkinan besar dapat membahayakan.

Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1 mg/kgBB/hari
selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana pemberiannya dimulai
pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.

Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan yang
sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang
sempit.

Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen


antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat digunakan
dalam penatalaksanaan Bell’s palsy yang dikombinasikan dengan prednison atau dapat juga diberikan
sebagai dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi prednison. Penggunaan
Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah
replikasi virus.

J. Diagnosis banding

Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis diantaranya tumor,
infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom), penyakit Lyme, AIDS dan
sarkoidosis(1), Guillain Barre syndrom, Diabetes Mellitus.

K. Komplikasi

Kira-ki ra 30% pasien Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti fungsi motorik
dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf parasimpatik.

Komplikasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme nervus fasialis
yang kronik dan kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan kelenjar lakrimalis tidak berfungsi
dengan baik sehingga terjadi infeksi pada kornea.
L. Prognosis

Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki prognosis yang
baik.Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan tanda-tanda
perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan
kemudian.

Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa.
1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita
seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata.4 Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau
meninggalkan gejala sisa.. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:

(1) Usia di atas 60 tahun

(2) Paralisis komplit

(3) Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,

(4) Nyeri pada bagian belakang telinga dan

(5) Berkurangnya air mata.

Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk mengadakan
pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6
minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih,
mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang
berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total
dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung
meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.

Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik
dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang
mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang
kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis
II. KONSEP DASAR KEPERAWTAN

A. Pengkajian

Pengkajian keperawatan klien dengan Belll’s palsy meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan diagnostik dan pengkajian psikososial.

1. Anamnesis

Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan dalah berhubungan
dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.

2. Riwayat penyakit saat ini

Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan utama klien.
Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh,
atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Bell;s palsy biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan
otot wajah pada satu sisi.

Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah sesisi. Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit
dahinya hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua matanya,
maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola
mata keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda bell.

3. Riwayat penyakti dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi
predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami penyakit iskemia vaskuler, otitis
media, tumor intrakranial, truma kapitis, penyakit virus (herpes simplek, herpes zoster), penyakit
autoimun, atau kombinasi semua faktor ini. Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering
digunakan klien, pengkajian kemana klien sudah meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian
dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.

4. Pengkajian psiko-sosio-spiritual

Pengkajian psikologis klien Bell’s palsy meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat
untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kogniti dan perilaku klien. Pengkajian
mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap
kelumpuhan otot wajah sesisi dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa
digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah
kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.

Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status
ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit.
Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan
neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji
terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam
hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada
gangguan neurologis didalam sistem dukungan individu.

B. Pemeriksaan fisik

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat
berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan
persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien Bell’s palsy biasanya didapatkan tanda-
tanda vital dalam batas normal.

B1 (breathing)

Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan inspeksi didapatkan klien tidak batuk, tidak
sesak napas, tidak ada penggunaan otot bantu napas dan frekuensi pernapasan dalam batas normal.
Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi didapatkan resonan pada seluruh
lapangan paru. Auskultasi tidak didengar bunyi napas tambahan.

B2 (Blood)

Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan irama yang
normal. TD dalam batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.

B3 (Brain)

Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian
pada sistem lainnya.

1. Tingkat kesadaran

Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien compos mentis.

2. Fungsi serebri

Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien, observasi
ekspresi wajah dan aktivitas motorik yang pada klien Bell’s palsy biasanya statul mental klien
mengalami perubahan.
3. Pemeriksaan saraf kranial

Saraf I : biasanya pada klien bell’s palsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman

tidak ada kelainan.

Saraf II : tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal

Saraf III, IV, VI : penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit (lagoftalmos).

Saraf V : kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, lipatan nasolabial pada sisi

kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.

Saraf VII : berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus

fasialis ditingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, dimana khorda
timpani menggabungkan diri padanya.

Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi

Saraf IX & X : paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara, menguyah dan menelan.

Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.

Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan

mobilisasi leher baik.

Saraf XII : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi.

Indra pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang
tajam.

4. Sistem motorik

Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, kontrol keseimbangan dan
koordinasi pada Bell’s palsy tidak ada kelainan.

5. Pemeriksaan refleks

Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks
pada respons normal.

6. Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang dan distonia. Pada beberapa keadaan sering ditemukan Tic
fasialis.

7. Sistem sensorik

Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu tidak ada kelainan.

B4 (Blader)

Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran urine, hal
ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

B5 (bowel)

Mulai sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi
pada klien bell’s palsy menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta
gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.

B6 (Bone)

Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara
umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.

C. Penatalaksaan medis

Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah dan untuk mencegah atau
meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan bahwa keadaan yang tejadi bukan stroke dan pulih
dengan spontan dalam 3-5 minggu pada kebanyakan klien.

Terapi kortikosteroid (prednison) dapat diberikan untuk menurunkan radang dan edema, yang pada
gilirannya mengurangi kompresi vaskuler dan memungkinkan perbaikan sirkulasi darah ke saraf
tersebut. Pemberian awal terapi kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi penyakit semain berat,
mengurangi nyeri dan membantu mencegah atau meminimalkan denervasi.

Nyeri wajah dikontrol dengan analgesik. Kompres panas pada sisi wajah yang sakit dapat diberikan
untuk meningkatkan kenyamanan dan aliran darah sampai ke otot tersebut.

Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi atrofi. Walaupun banyak klien
pulih dengan pengobatan konservatif, namun eksplorasi pembedahan pada saraf wajah dapat
dilakukan pada klien yang cenderung mempunyai tumor atau untuk dekompresi saraf wajah melalui
pembedahan untuk merehabilitasi keadaan paralisis wajah.

Pendidikan klien, Mata harus dilindungi karena paralisis lanjut dapat menyerang mata. Sering kali,
mata klien tidak dapat menutup dengan sempurna dan refleks berkedip terbatas sehingga mata
mudah diserang binatang kecil dan benda-benda asing. Iritasi kornea dan luka adalah komplikasi
potensial pada klien ini. Kadang-kadang keadaan ini mengakibatkan keluarnya air mata yang
berlebihan (epifora) karena karatitis yang disebabkan oleh kornea kering dan tidak adanya refleks
berkedip. Penutup mata bagian bawah menjadi lemah akibat pengeluaran air mata. Untuk
menangani masalah ini, mata harus ditutup dengan melindunginya dari cahaya silau pada malam
hari. Potongan mata dapat merusak kornea, meskipun hal ini juga disebabkan beberapa kerusakan
dalam memperthankan mata tertutup akibat paralisis parsial. Benda-benda yang dapat digunbakan
pada mata pada saat tidur dapat diletakkan diatas mata agar kelopak mata menempel satu dengan
yang lainnya dan tetap menutup selama tidur.

Klien diajarkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami paralisis secara manual sebelum tidur.
Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam untuk menurunkan penguapan normal dari mata.
Jika saraf tidak terlalu sensitf, wajah dapat di masase beberapa kali sehari untuk mempertahankaan
tonus otot.tekhnikj untuk masae wajah adalah dengan gerakan lembut keatas. Latihan wajah seperti
mengherutkan dahi, mengembungkan pipi keluar, dan bersiul dapat dilakukan dengan menggunakan
cermin dan dilakukan teratur untuk mencegah atropi otot. Hindari wajah terkena udara dingin.

D. Diagnosa keperawatan

1. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena
kelumpuhan satu sisi pada wajah.

2. Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan kesehatan.

3. Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan informasi yang
tidak edekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

E. Intervensi dan rasional

1.gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi
pada wajah.

Data penunjang ;

Ds: merasa malu karena adanya kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi lain

Do: dahi di kerutkan,lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja.

Tujuan :konsep diri klein meningkat

Criteria hasil :klien mampu menggunakan koping yang positif

Intervensi :

a) Kaji dan jelaskan kepada klien tentang keadaan paralisis wajahnya.


R/ intervensi awal bisa mencegah disstres psikologi pada klien

b) Bantu klien menggunakan mekanisme koping yang positif.

R/ mekanisme koping yang positif dapat membantu klien lebih percaya diri, lebih kooperatif terhadap
tindakan yang akan dilakukan dan mencegah tetjadinya kecemasan tambahan.

c) Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan.

R/ orientasi dapat menurunkan kecemasan.

d) libatkan system pendukung dalam perawatan klien

R/ kehadiran system pendukung meningkatkan citra diri klien.

2. cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan kesehatan.

Tujuan : kecemasan hilang atau berkurang

Criteria hasil : mengenal perasaannnya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor

yang mempengaruhinya dan menyatakan ansietas berkurang/hilang.

Intervensi :

a) kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan, dampingin klien dan lakukan tindakan bila
menunjukkan perilaku merusak.

R/ reaksi verbal/non verbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah dan gelisah.

b) Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan
suasana penuh istirahat.

R/ mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.

c) Tingkatkan control sensasi klien

R/ control sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan informasi
tentang keadaan klien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping
(pertahanan diri), yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan dan
memberikan respons balik yang positif.

d) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan kecemasannya.

R/ dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak dieksperesikan.

e) Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat


R/ memberi waktu untuk mengeksperesikan perasaan, menghilangkan cemas dan perilaku adaptasi.
Adanya keluarga dan tewman-teman yang dipilih klien yang melayani aktivitas dan pengalihan
(misalnya membaca) akan menurunkan perasaan terisolasi.

3.Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan informasi yasng tidak
adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

Tujuan : dalam jangka waktu 1x30 menit klien akan memperlihatkan kemampuan

pemahaman yang adekuat tentang penyakit dan pengobatannya.

Criteria hasil : klien mampu secara subjektif menjelaskan ulang secara sederhana terhadap

apa yang telah didiskusikan.

Intervensi :

a) Kaji kemampuan belajar, tingkatkan kecemasan, partisipasi, media yang sesuai untuk belajar.

R/ indikasi progresif atau reaktivasi penyakit atau efek samping pengobatan serta untuk evaluasi
lebih lanjut.

b) Identifikasi tanda dan gejala yang perlu dilaporkan keperawat

R/ meningkatkan kesadaran kebutuhan tentang perawatan diri untuk meminimalkan kelemahan.

c) Jelaskan instruksi dan informasi misalnya penjadwalan pengobatan.

R/ meningkatkan kerja sama/ partisipasi terapeutik dan mencegah putus obat.

d) Kaji ulang resiko efek samping pengobatan

R/ dapat mengurangi rasa kurang nyaman dari pengobatan untuk perbaikan kondisi klien.

e) Dorong klien mengeksperesikan ketidaktahuan/kecemasan dan beri informasi yang dibutuhkan.

R/ memberikan kesempatan untuk mengoreksi persepsi yang salah dan mengurangi kecemasan.
DAFTAR PUSTAKA

· Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.2003.

· Doengues.1999.rencana asuhan keperawatan pasien,edisi 3;EGC.jakarta

· Muttaqin ,arif .2008.buku ajar asuhan keperawatan dengan gangguan system


persarafan.salemba medika:jakarta
· http://www.irwanashari.com/2009/04/bells-palsy.html.(DI AKSES TANGGAL 28 -11-2010)

Anda mungkin juga menyukai