Anda di halaman 1dari 11

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar belakang

Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan


tugas yang menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem
Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini (early)
karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam
sejak cedera (kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat
trauma. Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat resiko
kecacatan dan bahkan kematian. Hal ini bisa saja terjadi karena trauma yang
terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma tidak
mendapatkan penanganan yang optimal. Berdasarkan kasus diatas,
penilaian awal merupakan salah satu item kegawatdaruratan yang sangat
mutlak harus dilakukan untuk mengurangi resiko kecacatan, bahkan
kematian (Suryono, bambang dkk.2008).

Pada penelitian Canadian selama 5 tahun yang diakui oleh unit


trauma, 96,3% mendukung terjadinya trauma tumpul, sisanya 3,7% cedera
dengan mekanisme penetrasi. Penyebab trauma tumpul berhubungan
dengan kecelakaan lalu lintas (70%), bunuh diri (10%), jatuh (8%),
pembunuhan (7%), dan lain-lain (5%). Banyak kejadian tersebut yang
akhirnya menuju kedalam kegawatdaruratan (Suryono, bambang dkk.2008).

Berdasarkan penelitian diatas, seorang tenaga kesehatan harus


mampu melakukan tindakan medis yang tepat dan cepat untuk
mengatasinya. Melalui protocol-protokol yang berlaku, seorang tenaga
kesehatan harus mampu melakukan penilaian awal, sehingga mampu
memberikan tindakan yang tepat sesuai dengan tujuan penilaian awal.
Tujuan penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi
cedera / kelainan pengancam jiwa dan untuk memulai tindakan sesuai, serta
untuk mengatur kecepatan dan efisiensi tindakan definitif atau transfer
kefasilitas sesuai. Oleh karena itu tenaga medis, khususnya dalam system
pelayanan tanggap darurat harus mengenal konsep penilaian awal untuk
meningkatkan keberhasilan penanganan kasus gawat darurat (Suryono,
bambang dkk.2008).

Suryono, bambang dkk.2008.Materi Pelatihan Penanggulangan


Penderita Gawat Darurat ( PPGD ) dan Basic Life Support Plus ( BLS
).Yogyakarta : Tim PUSBANKES 118.
BAB II
ISI
A. Pengertian
Initial Assessment merupakan untuk memprioritaskan pasien
dan menberikan penanganan segera. Informasi digunakan untuk
membuat keputusan tentang intervensi kritis dan waktu yang dicapai.
Ketika melakukan pengkajian, pasien harus aman dan dilakukan
secara cepat dan tepat dengan mengkaji tingkat kesadaran (Level Of
Consciousness) dan pengkajian ABC (Airway, Breathing, Circulation),
pengkajian ini dilakukan pada pasien memerlukan tindakan
penanganan segera dan pada pasien yang terancam nyawanya. (John
Emory Campbell, 2004 : 26).
Initial assesment adalah proses evaluasi secara cepat pada
penderita gawat darurat yang langsung diikuti dengan tindakkan
resusitasi (Suryono dkk, 2008 ).
Lingkup pelayanan kegawatdaruratan adalah melakukan
primary survei, tanpa dukungan alat bantu diagnostic kemudian
dilanjutkan dengan secondary survei menggunakan tahap ABCD yaitu:
A: Airway Management., B: Breathing Management., C: Circulation
Management., D: Drug Defibrilator Bisability. (Basoeki dkk, 2008).
B. Tujuan

Dimana dalam initial Assessment memiliki tujuan yaitu: 1. Untuk


memberikan perawatan yang menyelamatkan jiwa., 2. Untuk memecah
situasi klinis yang kompleks menjadi bagian yang lebih mudah
dikelola., 3. Untuk melayani sebagai algoritma penilaian dan
pengobatan., 4. Untuk membangun kesadaran situasional bersama di
antara semua penyedia perawatan., 5. Untuk membeli waktu untuk
menetapkan diagnosis dan perawatan akhir. (Thiem dkk,translate
Indonesia, 2012).

C. Komponen

Menurut Anonim, 2010 initial Assessment Primer meliputi:


Persiapan penderita, triage, Survey primer (ABCDE), resusitasi,
pemeriksaan penunjang untuk survey primer.

Persiapan penderita merupakan Persiapan pada penderita yang


berlangsung dalam dua fase yang berbeda, yaitu fase pra rumah sakit
/ pre hospital, dimana seluruh penanganan penderita berlangsung
dalam koordinasi dengan dokter di rumah sakit. Fase kedua adalah
fase rumah sakit/hospital dimana dilakukan persiapan untuk menerima
penderita sehingga dapat dilakukan resusitasi dengan cepat.

Triage merupakan cara pemilahan penderita berdasarkan


kebutuhan terapai dan sumber daya yang tersedia Terapi didasarkan
pada prioritas ABC (Airway dengan kontrol vertebra servikal),
Breathing, dan Circulation dengan kontrol perdarahan. Triage juga
berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan rumah sakit yang
akan dirujuk. Dua jenis keadaan triase yang dapat terjadi, Multiple
Casualties yaitu Musibah massal dengan jumlah penderita dan
beratnya perlukaan tidak melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam
keadaan ini penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan
multi trauma akan dilayani terlebih dahulu dan Mass Casualties yaitu
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya luka
melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini yang akan
dilakukan penanganan terlebih dahulu adalah penderita dengan
kemungkinan survival yang terbesar, serta membutuhkan waktu,
perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit.
Survey Primer ABCDE dilakukan untuk menilai keadaan
penderita dan prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan, tanda-
tanda vital dan mekanisme trauma. Pada primary survey dilakukan
usaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih
dahulu dengan berpatokan pada urutan berikut:

A: Airway, yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran


jalan nafas. Hal ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas
yang disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maxilla, fraktur laring/trakhea. Usaha uhtuk
membebaskan airway harus melindungi vertebra servikal (servical
spine control), dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw trust. Jika
dicurigai ada kelainan pada vertebra servikalis berupa fraktur maka
harus dipasang alat immobilisasi serta dilakukan foto lateral servikal.

B: Breathing, Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang


baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding
dada dan diafragma. Dada penderita harus dibuka untuk melihat
ekspansi pernafasan dan dilakukan auskultasi untuk memastikan
masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai
adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Sedangkan inspeksi
dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang
mungkin mengganggu ventilasi.

Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang


berat adalah tension pneumothoraks, flailchest dengan kontusio paru
dan open pneumotoraks. Sedangkan trauma yang dapat mengganggu
ventilasi dengan derajat lebih ringan adalah hematothoraks, simple
pneumothoraks, patahnya tulang iga, dan kontusio paru.
C: Circulation, Volume darah dan cardiac output. Perdarahan
merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi dengan terapi
yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi pada
trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti
sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat
dari status hemodinamik penderita yang meliputi : 1. Tingkat
kesadaran, Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang
yang mengakibatkan penurunan kesadaran. 2. Warna kulitWajah
pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat meruoakan tanda
hipovolemia. 3. Nadi Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang
besar seperti arteri femoralis atau arteri karotis kiri dan kanan untuk
melihat kekuatan nadi, kecepatan, dan irama. Nadi yang tidak cepat,
kuat, dan teratur, biasanya merupakan tanda normovolemia. Nadi
yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, sedangkan nadi
yang tidak teratur merupakan tanda gangguan jantung. Apabila tidak
ditemukan pulsasi dari arteri besar maka merupakan tanda perlu
dilakukan resusitasi segera.
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka.
Sumber perdarahan internal adalah perdarahan dalam rongga thoraks,
abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang, retroperitoneal akibat
fraktur pelvis, atau sebgai akibat dari luka dada tembus perut.
D : Disability/neurologic evaluation. Pada tahapan ini yang
dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat atau level cedera spinal. GCS / Glasgow Coma
Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat meramal outcome
penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh penurunan
oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan
trauma langsung.
E : Exposure/environmental. Penderita harus dibuka
keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan cara menggunting dengan
tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita. Setelah pakaian
dibuka penderita harus diselimuti agar tidak kedinginan.
D. Resusitasi

Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang


mengancam nyawa merupakan hal yang mutlak bila ingin penderita
tetap hidup.
Airway, pada penderita yang masih sadar dapat dipakai
nasofaringeal airway. Bila penderita tidak sadar dan tidak ada refleks
batuk (gag refleks) dapat dipakai orofaringeal airway. Breathing,
kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena
faktor mekanik, ada gangguan ventilasi dan atau ada gangguan
kesadaran, dicapai dengan intubasi endotrakheal baik oral maupun
nasal. Surgical airway / krikotiroidotomi dapat dilakukan bila intubasi
endotrakheal tidak memungkinkan karena kontraindikasi atau karena
masalah teknis. Circulation, bila ada gangguan sirkulasi harus
dipasang minimal dua IV line. Kateter IV yang dipakai harus berukuran
besar. Pada awalnya sebaiknya menggunakan vena pada lengan.
Selain itu bisa juga digunakan jalur IV line yang seperti vena seksi
atau vena sentralis. Pada saat memasang kateter IV harus diambil
contoh darah untuk pemeriksaan laboratorium rutin serta pemeriksaan
kehamilan pada semua penderita wanita berusia subur.
Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 2-3 liter cairan
kristaloid, sebaiknya Ringer Laktat. Bila tidak ada respon, berikan
darah segulungan atau (type specific). Jangan memberikan infus RL
dan transfusi darah terus menerus untuk terapi syok hipovolemik.
Dalam keadaan harus dilakukan resusitasi operatif untuk
menghentikan perdarahan.
E. Pemeriksaan penunjang untuk survey primer
Monitor EKG, monitoring hasil resusitasi didasarkan pada ABC
penderita: 1) Airway seharusnya sudah diatasi, 2) Brathing:
pemantauan laju nafas (sekaligus pemantauan airway) dan bila ada
pulse oximetry, 3) Circulation: nadi, tekanan nadi, tekanan darah,
suhu tubuh dan jumlah urine setiap jam. Apabila ada sebaiknya
terpasang monitor EKG, 4) Disability: nilai tingkat kesadaran penderita
dan adakah perubahan pupil. Kateter urin dan lambung Kateter uretra,
produksi merupakan indikator yang peka untuk menilai keadaan
perkusi ginjal dan hemodinamik penderita. Kateter urin jangan
dipasang jika dicurigai ada ruptur uretra yang ditandai dengan: 1)
Adanya darah di orifisium uretra eksterna (metal bleeding), 2)
Hematom di skrotum atau perineum, 3) Pada Rectal Toucher, prostat
letak tinggi atau tidak teraba. Adanya fraktur pelvis, bila dicurigai ruptur
uretra harus dilakukan uretrogram terlebih dahulu. Kateter lambung
atau NGT, kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi
lambung dan mencegah muntah. Isi lambung yang pekat akan
mengakibatkan NGT tidak berfungsi. Pemasangan NGT dapat
mengakibatkan muntah. Darah dalam lambung dapat disebabkan
darah tertelan, pemasangan NGT yang traumatik (ada perlukaan
lambung). Apabila lamina fibrosa patah (fraktur basis kranii anterior),
kateter lambung harus dipasang melalui mulut untuk mencegah
masukknya NGT dalam rongga otak. Pemeriksaan rontgen dan
pemeriksaan tambahan lainnya, pemeriksaan foto rontgen harus
selektif, dan jangan menghambat proses resusitasi. Foto toraks dan
pelvis dapat mengenali kelainan yang mengancam nyawa, dan foto
pelvis dapat menunjukkan adanya fraktur pelvis. Pemeriksaan DPL
(Diagnostic Peritoneal Lavage) dan USG abdomen merupakan
pemeriksaan bermanfaat untuk menentukan adanya perdarahan
intraabdomen.
BAB III
ANALISIS
Penelitian ini dilakukan dengan desain studi cross-sectional.
Responden yang menggunakan studi ini adalah seorang perawat yang
bekerja di Departemen Darurat Rumah Sakit Regional Toto Kabila,
Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Teknik penentuan sampel
adalah menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi. Pertimbangan
dalam kriteria inklusi adalah perawat yang masih terlibat langsung
dalam berurusan dengan pasien, surat pendaftaran masih berlaku,
dan sertifikat pertolongan pertama darurat masih berlaku. Kemudian,
pada kriteria eksklusi pertimbangan termasuk: (1) Ada keadaan atau
penyakit yang mengganggu pengukuran atau interpretasi hasil, (2)
Ada keadaan yang mengganggu kemampuan implementasi, (3)
Hambatan etis, (4) Subjek menolak untuk berpartisipasi. Berdasarkan
kriteria yang digunakan, jumlah perawat digunakan sebagai Sampel
dalam penelitian ini adalah sejumlah 23 perawat. Variabel yang
digunakan dalam penelitian ini, terdiri dari dua jenis variabel, yaitu
variabel bebas dan variabel dependen. Variabel bebas yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan perawat
tentang penilaian awal pada pasien gawat darurat. Kemudian variabel
dependen yang digunakan adalah action pelaksanaan survei utama.
Indikator yang digunakan untuk menjelaskan tingkat pengetahuan
perawat tentang penilaian awal dalam keadaan darurat pasien terdiri
dari lima hal: (1) Persiapan, (2) Triase, (3) Survei primer, (4) resusitasi
cairan, dan (5) resusitasi kardiopulmoner.
Kemudian pada tindakan implementasi survei primer, indikator
yang digunakan adalah melalui penilaian ABCD, yang terdiri dari: (1)
Jalan napas, (2) Bernapas, (3) Sirkulasi, dan (4) Kecacatan.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan kuesioner. Dalam survei primer, kuesioner yang
digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada Emergency Medical.
Teknisi-Dasar: Kurikulum Standar Nasional (Keselamatan Lalu Lintas
Jalan Raya Nasional) Administrasi, 1997), terdiri dari 36 pernyataan.
Kuesioner digunakan untuk menjelaskan tingkat pengetahuan perawat
pada penilaian awal didasarkan pada kuesioner yang telah digunakan
dalam Nursalam (2013). Kuesioner terdiri dari 30 pernyataan tentang
pengetahuan perawat pada penilaian awal. Pada uji validitas dan
reliabilitas instrumen penelitian, dilakukan dengan menggunakan
korelasi spearman uji. Hasil uji validitas dan reliabilitas menunjukkan
bahwa setiap pernyataan digunakan dalam penelitian ini dapat
digunakan untuk analisis lebih lanjut, yaitu analisis Korelasi Rank
Spearman. Sebelum peringkat Analisis Korelasi Spearman,
pengkodean pertama dilakukan dengan tujuan untuk mempermudah
responden jawab sehingga bisa diproses.

Anda mungkin juga menyukai