Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH PENILAIAN HASIL BELAJAR FISIKA

“Penilaian Afektif”

DOSEN PENGAMPU :
DWI AGUS KURNIAWAN, S.Pd., M.Pd.
Drs. MENZA HENDRI, M.Pd.

DI SUSUN OLEH
KELOMPOK 6 :
Azizah Hanum (A1C317012)
Fikri Ardiansyah (A1C317076)
Lilis Fatona (A1C317030)
Shania Nurdini (A1C317078)

PENDIDIKAN FISIKA
PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan seruan alam
yang selalu melimpahkan petunjuk, rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalan ini dengan judul “Penilaian Afektif”.
Penulisan makalah ini bertujuan dalam rangka menyelesaikan tugas mata
kuliah Penilaian Hasil Belajar Fisika dan menambah pengetahuan serta wawasan
dalam bidang pendidikan khususnya dalam bidang pendidikan fisika. Selama
proses penulisan makalah ini, tentunya banyak pihak yang telah memberikan
bantuan baik moral maupun material. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dwi Agus Kurniawan, S.Pd.,
M.Pd. selaku dosen pembimbing mata kuliah ini, serta kepada semua rekan
yang telah banyak memberikan bantuan, dorongan dan motivasi sehingga
makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik
dari segi penulisan, penyusunan kata maupun dalam penyusunan bahasa. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kepada semua pihak untuk memberi sumbangan
pemikiran berupa kritik dan saran dari para pembaca yang sifatnya membangun
yang akan penulis terima dengan senang hati demi penyempurnaan makalah ini di
masa yang akan datang.

Jambi, Februari 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan .............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kajian Pustaka ................................................................................................. 3
2.1.1 Konsep Penilaian Afektif .......................................................................... 3
2.1.2 Tujuan Penilaian Afektif .......................................................................... 5
2.1.3 Tingkatan Ranah Afektif .......................................................................... 6
2.1.4 Karakteristik Ranah Afektif ..................................................................... 8
2.1.5 Skala yang digunakan dalam Melakukan Penilaian Afektif .....................10
2.1.6 Instrumen Non Tes...................................................................................11
2.1.6.1 Pengertian Non Tes. .....................................................................11
2.1.6.2 Komponen Kisi-kisi Non Tes ........................................................12
2.1.6.3 Langkah-langkah Penyusunan Kisi-kisi Non Tes ..........................12
2.1.6.4 Penentuan Kualitas Instrumen Non Tes yang dikembangkan.........13
2.1.7 Langkah-langkah Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif (Instrumen
Non Tes).. ............................................................................................. ..14
2.1.8 Instrumen Non Tes yang digunakan dalam Melakukan Penilaian Afektif .15
2.2 Kajian Kritis ...................................................................................................18

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan......................................................................................................21
3.2 Saran................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................24

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pendidikan merupakan hal yang penting dan memerlukan perhatian yang
serius. Namun demikian, masalah sering menjadi perhatian setiap sistem
pendidikan adalah penilaian hasil belajar yang kurang efektif, terlebih lagi pada
masa sekarang yang memasuki zaman modern. Dengan adanya perkembangan
akan pemikiran manusia dan juga dengan masuknya budaya-budaya asing maka
masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan saat ini yaitu mulai banyaknya
pelajar yang memiliki pengetahuan yang tinggi tetapi tidak memiliki akhlak atau
sikap yang baik. Sehingga, pengetahuannya digunakan untuk hal-hal yang tidak
baik dan cenderung merugikan orang lain.
Tujuan pembelajaran dalam dunia pendidikan sebenarnya meliputi tiga
domain yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Aspek kognitif dan psikomotor
sudah dilaksanakan oleh para pendidik. Hasil belajar kognitif dan psikomotorik
akan optimal jika peserta didik mempunyai kemampuan afektif tinggi, namun
aspek afektif belum memperoleh perhatian seperti pada kedua aspek lainnya.
Masalah afektif merupakan hal yang penting, namun implementasinya masih
kurang, karena merancang pencapaian tujuan pembelajaran afektif tidak semudah
seperti pembelajaran kognitif. Ranah afektif harus nampak dalam proses dan hasil
belajar yang dicapai peserta didik.
Oleh karena itulah maka aspek penilaian dari ranah afektif sangatlah
diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang seperti itu. Selain itu,
pengembangan ranah afektif di sekolah akan membawa pengaruh yang sangat
positif dalam kehidupan peserta didik selanjutnya, baik di rumah maupun di
lingkungan luar. Berdasarkan hal tersebutlah yang melandasi kami untuk mencari
tahu tentang aspek penilaian ranah afektif ini.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep penilaian afektif.
2. Untuk mengetahui tujuan penilaian afektif.
3. Untuk mengetahui tingkatan ranah afektif.

1
4. Untuk mengetahui karakteristik ranah afektif.
5. Untuk mengetahui skala yang digunakan dalam melakukan penilaian afektif.
6. Untuk mengetahui penjelasan mengenai instrumen non tes.
7. Untuk mengetahui langkah-langkah pengembangan instrumen penilaian afektif
(instrumen non tes).
8. Untuk mengetahui instrumen non tes yang digunakan dalam melakukan
penilaian afektif.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Konsep Penilaian Afektif
Al-Tabany (2011: 276) mengatakan bahwa “penilaian afektif adalah
penilaian terhadap aspek-aspek non intelektual seperti sikap, minat, dan motivasi.
Tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti
perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, kebiasaan, dan hubungan sosial.”
Syamsudin, et al (2016: 27) said “the affective factors relevant to the
teaching and learning process are attitude, interest, values, tendency of choice,
awareness of self-esteem, self-control, and anxiety.” Artinya faktor-faktor afektif
yang relevan dengan proses belajar mengajar adalah sikap, minat, nilai-nilai,
kecenderungan pilihan, kesadaran akan harga diri, kontrol diri, dan kecemasan.
Saidah dan Damariswara (2017: 85) menyimpulkan bahwa penilaian pada
ranah sikap dilakukan oleh guru dalam bentuk deskripsi perilaku siswa yang
meliputi dua macam kategori sikap yaitu sikap sosial dan sikap spiritual. Dia
mengatakan:
Aspek sikap yang dijabarkan dalam dua kategori yaitu sikap sosial dan sikap spiritual.
Sikap sosial dideskripsikan sebagai sebuah sikap yang menunjukkan perilaku jujur,
disiplin, tanggung jawab, santun, percaya diri dan pedui terhadap sesama. Sikap
spiritual dideskripsikan sebagai sebuah sikap mampu menerima, menjalankan dan
menghargai ajaran agama yang dianutnya. Penilaian sikap merupakan salah satu bentuk
penilaian yang menuntut guru untuk memahami karakteristik dari setiap siswanya.
Sikap siswa merupakan sesuatu yang tidak mudah dinilai secara objektif, hal ini karena
sikap yang dimiliki oleh siswa dapat juga dipengaruhi oleh suasana hati dan perasaan
yang mana dapat berubah ubah setiap harinya. Tipe penilaian sikap tidak menentukan
tingkatan siswa berdasarkan hasil kerjanya, akan tetapi penilaian sikap dapat
menentukan bentuk kegiatan pembelajaran yang perlu kita rancang untuk membantu
siswa mengembangkan karakternya agar memiliki sikap positif yang dapat menunjang
kesuksesan akademisnya. Tujuan penilaian sikap adalah untuk mendapatkan informasi
yang akurat mengenai pencapaian tujuan instruksional oleh siswa khususnya pada
tingkat penerimaan, partisipasi, penilaian, organisasi dan internalisasi.

According to Olatunji (2013: 97) the affective domain is a vague concept


that could relate to at least three different aspects of teaching and learning.
According to them, he writes:
The affective domain firstly could be about the teacher’s approach to teaching in terms
of philosophy and what this communicates to the student. In this case, the affective
domain relates to the way in which the teacher interacts with students to establish a
relationship. Secondly, the affective domain could be about stirring up the affective
attributes of students as a deliberate form of engagement. The essence of such a method
could be to show disapproval or annoyance at an act of injustice and by so doing, some

3
students may be encouraged to take a greater level of participation. With the first and
second perspective of affective domain, the onus is on the teacher to establish the
learning environment. It is expected that students will respond positively or otherwise.
However, they do not initiate. Thirdly, the affective domain could be about learners
being engaged with the development and understanding of their own motivations,
attitudes, values and feelings with respect to behavior as a citizen and a professional.
Affective learning characterizes the emotional area of learning reflected by beliefs,
values, interests, and behaviors of learners. Affective learning is concerned with how
learners feel while they are learning, as well as with how learning experiences are
internalized so they can guide the learner’s attitudes, opinions, and behavior in the
future. Artinya penilaian afektif adalah konsep yang jelas yang dapat berhubungan
dengan tiga aspek pengajaran dan pembelajaran yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut,
ranah afektif pertama-tama bisa mengenai pendekatan guru untuk mengajar dalam hal
mendasar dan apa yang dikomunikasikan kepada siswa. Dalam hal ini, ranah afektif
berhubungan dengan cara di mana guru berinteraksi dengan siswa untuk menjalin
hubungan. Kedua, ranah afektif dapat berupa menggerakkan atribut afektif siswa
sebagai bentuk keterlibatan yang disengaja. Inti dari metode semacam itu adalah
menunjukkan ketidaksetujuan atau gangguan pada tindakan ketidakadilan dan dengan
melakukan hal itu, beberapa siswa mungkin didorong untuk mengambil tingkat
partisipasi yang lebih besar. Dengan perspektif pertama dan kedua dari ranah afektif,
tanggung jawab ada pada guru untuk membangun lingkungan belajar. Diharapkan siswa
akan merespons secara positif atau sebaliknya. Namun, bukan mereka yang memulai.
Ketiga, ranah afektif bisa mengenai peserta didik yang terlibat dengan pengembangan
dan pemahaman motivasi, sikap, nilai-nilai dan perasaan mereka sendiri sehubungan
dengan perilaku sebagai warga negara dan profesinya. Pembelajaran afektif mencirikan
area emosional pembelajaran yang tercermin dari kepercayaan, nilai, minat, dan
perilaku peserta didik. Pembelajaran afektif berkaitan dengan bagaimana perasaan
peserta didik saat mereka belajar, serta dengan bagaimana pengalaman belajar
diinternalisasi sehingga mereka dapat memandu sikap, pendapat, dan perilaku pelajar di
masa depan.

According to Kristiawan, et al (2016: 2) “for the target of the affective


includes correctness, and the ability to solve problems logically and
systematically, this domain is a domain that is shown by behavior relate to
emotional such as feelings, values, interests, awareness, motivation, and attitude.”
Artinya target dari afektif meliputi kebenaran, dan kemampuan untuk
menyelesaikan masalah secara logis dan sistematis, ranah ini ditunjukkan oleh
perilaku yang berhubungan dengan emosi seperti perasaan, nilai, minat,
kesadaran, motivasi, dan sikap.
Menurut Al-Tabany (2011: 276) beberapa hal yang dapat menjadi fokus
salah satunya sikap, antara lain:
(a) Sikap terhadap mata pelajaran. Siswa seharusnya memiliki sikap yang lebih baik
pada satu mata pelajaran, (misalnya matematika) pada akhir semester dari pada ketika
mata pelajaran tersebut diberikan pertama kali. Setidaknya siswa tidak memiliki mata
pelajaran negatif terhadap mata pelajaran setelah pelajaran berlangsung. (b) Sikap
positif terhadap belajar. Siswa diharapkan memiliki sifat yang baik terhadap belajar
cenderung menjadi pembelajaran pada masa depan. (c) Sikap positif terhadap diri
sendiri. Meskipun harga diri siswa dipengaruhi oleh keluarga dan kejadian diluar
sekolah, hal hal yang terjadi di kelas diharapkan dapat meningkatkan harga diri siswa.
(d) Sikap positif terhadap perbedaan. Siswa perlu mengembangkan sikap yang lebih

4
toleran dan keagamaan. Selain itu, penilaian efektif juga dapat melihat fokus nilai
semacam kejujuran, integritas, dan nilai kebebasan.

2.1.2 Tujuan Penilaian Afektif


Menurut Sukanti (2011: 77-78) sesuai dengan karakteristik afektif dalam
proses pembelajaran adalah minat, sikap, konsep diri dan nilai maka tujuan
penilaian afektif adalah:
1. Untuk memperoleh informasi minat peserta didik terhadap mata pelajaran yang
selanjutnya digunakan untuk meningkatkan minat peserta didik terhadap mata
pelajaran jika ternyata minatnya rendah.
2. Untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik
terhadap mata pelajarandapat positif atau negatif. Hasil pengukuran sikap berguna
untuk menentukan strategi pembelajaran yang tepat untuk peserta didik.
3. Untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Peserta didik melakukan
evaluasi terhadap potensi yang ada dalam dirinya. Informasi ini dapat digunakan
untuk menentukan program yang sebaiknya ditempuh peserta didik untuk
menentukan jenjang karir.
4. Untuk mengungkap nilai individu. Informasi yang diperoleh ini berupa nilai yang
positif dan yang negatif. Hal-hal yang positif diperkuat dan yang negatif diperlemah
dan akhirnya dihilangkan.

Menurut Malawi dan Maruti (2016: 57) tujuan penilaian afektif pada
prinsipnya untuk:
1. Feedback bagi guru dan siswa, sehingga dapat sebagai dasar perbaikan
pembelajaran.
2. Mengetahui tingkat perubahan perilaku siswa.
3. Penempatan (placement) siswa dalam kegiatan pembelajaran secara tepat,
sesuai dengan tingkat pencapaian, kemampuan serta karakteristik siswa itu
sendiri.
Menurut Malawi dan Maruti (2016: 57) “tujuan penilaian kawasan afektif
adalah perilaku, bukan pengetahuan. Begitu pula pertanyaan afektif tidak
menuntut jawaban benar atau salah, tetapi lebih ditujukan pada kecenderungan
aspek minat, sikap dan internalisasi nilai.”
According to Popham (2001: 144) “a few more example of affective targets
observer might want to measure: (1) Positive attitude toward learning, (2)
Positive attitude toward volitional reading, (3) Interest in civic affairs, (4) A belief
in the safety of a given school's environment” Artinya beberapa contoh target
afektif yang mungkin ingin diukur oleh pengamat: (1) Sikap positif terhadap
pembelajaran, (2) Sikap positif terhadap kemauan mambaca, (3) Minat dalam

5
urusan sipil, (4) Keyakinan akan keamanan yang dberikan oleh lingkungan
sekolah.
According to Kristiawan, et al (2016: 2) the goal of affective in learning as
a means of cognitive goals is to developing interest and motivation. He writes:
Motivation is very important to learn and thus is one of the main ways in which the
affective domain is used as a means of cognition. To increase the interest and
motivation of the learnes is very important to giving attention for the situation of place
to learn. Therefore, it can be concluded that the goal of achievement is the affective
means to facilitate cognitive learning. Automatically domain appears in every learning,
but is rarely found in this research of a teacher. A comprehensive assesment is an
essential aspect of any meaningfull education programs. It is aimed to get an
intellectual students in the clasification of cognitive knowledge and cognitive process,
have good performance and can work diligently, thoroughly, and be able to solve
problem systematically. Artinya tujuan afektif dalam pembelajaran sebagai sarana
tujuan kognitif adalah untuk mengembangkan minat dan motivasi. Motivasi sangat
penting untuk dipelajari dan dengan demikian merupakan salah satu cara utama di mana
ranah afektif digunakan sebagai sarana kognitif. Untuk meningkatkan minat dan
motivasi belajar, maka sangat penting untuk memberikan perhatian pada situasi tempat
belajar. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tujuan pencapaian sarana afektif
adalah untuk memfasilitasi pembelajaran kognitif. Secara otomatis hal ini muncul di
setiap pembelajaran, tetapi jarang ditemukan dalam penelitian guru ini. Penilaian
komprehensif adalah aspek penting dari setiap program pendidikan yang bermakna. Hal
ini bertujuan untuk mendapatkan siswa yang cerdas dalam klasifikasi pengetahuan
kognitif dan proses kognitif, memiliki kinerja yang baik dan dapat bekerja dengan
tekun, tuntas, dan mampu menyelesaikan masalah secara sistematis.

2.1.3 Tingkatan Ranah Afektif


“Domain afektif berkenaan dengan sikap, nilai-nilai, dan apresiasi. Domain
ini merupakan bidang tujuan pendidikan kelanjutan dari domain kognitif. Tanpa
siswa mengusai kompetensi pengetahuan (pada level tinggi), maka sulit bagi
siswa menguasai dan memiliki kompetensi sikap dengan baik” (Sanjaya dalam
Prastowo, 2017: 139).
Menurut Darmadji (2014: 17) “tingkatan ranah afektif menurut taksonomi
Krathwohl (1964) setidaknya mencakup lima tingkat, yaitu: receiving
(pengenalan), responding (pemberian respon), valuing (penghargaan),
organization (pengorganisasian), dan characterization (pengamalan). Kelimanya
merupakan hal yang hirarkis.”
1. Tingkat Pengenalan (Receiving)
Pada tingkat receiving, peserta didik memiliki persepsi terhadap suatu fenomena khusus
atau stimulus, yang menarik perhatiannya. Tugas pendidik menjaga perhatian peserta
didik pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran afektif. Misalnya pendidik
mengarahkan peserta didik agar senang membaca buku, senang bekerjasama, dan
sebagainya. Kata kerja operasional yang dapat digunakan pada perumusan tujuan adalah
menghadiri, melihat, memperhatikan (Amri, 2016: 56).

6
2. Tingkat Pemberian Respon (Responding)
Kemampuan merespon adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk
mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi
terhadapnya dengan salah satu cara jenjang ini setingkat lebih tinggi dari jenjang
kemampuan menerima. Kemampuan merespon juga dapat diartikan kemampuan
menunjukan perhatian yang aktif, kemampuan melakukan sesuatu, dan kemampuan
menanggapi. Responding merupakan partisipasi aktif siswa, yaitu sebagai bagian dari
perilakunya. Pada tingkat ini siswa tidak saja memperhatikan fenomena khusus, tetapi
ia juga bereaksi. Responding biasanya diawali dengan diam-diam, kemudian dilakukan
dengan sungguh-sungguh dan kesadaran setelah itu baru respon dilakukan dengan
penuh kegembiraan dan kepuasan. Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan pada
pemerolehan respon, berkeinginan memberi respon, atau kepuasan dalam memberi
respon. Tingkat yang tinggi pada kategori ini adalah minta, yaitu hal-hal yang
menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan pada aktivitas khusus (Prastowo,
2017: 140).

3. Tingkat Penghargaan (Valuing)


Tingkat valuing berhubungan dengan tingkah laku yang mengindikasikan ketertarikan
(preference) siswa terhadap sains. Perilaku yang menandai pencapaian valuing adalah
keinginannya sendiri untuk patuh dan memiliki komitmen untuk menjaga nilai yang ia
patuhi. Uno dan Koni menambahkan bahwa pada level valuing siswa mau menerima
sistem nilai tertentu pada diri individu, seperti menunjukkan kepercayaan terhadap
sesuatu, mengapresiasi sesuatu dan kesungguhan untuk melakukan suatu kehidupan
sosial (Noviyanti, dkk, 2017: 110).

4. Tingkat Pengorganisasian (Organization)


Tingkat organization berkaitan dengan memadukan nilai-nilai yang berbeda,
menyelesaikan konflik, dan membentuk suatu sistem nilai yang konsisten. Contohnya
mengakui adanya kebutuhan keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab,
menyelaraskan antara kebutuhan organisasi, keluarga dan diri sendiri. Indikatornya
adalah peserta didik: mengubah, mengatur, menggabungkan, membandingkan,
melengkapi, mempertahankan, menerangkan, merumuskan, menggeneralisasikan,
mengidentifikasikan, mengintegrasikan, memodifikasikan, mengorganisir, menyiapkan,
menghubungkan, mengsintesiskan (Sukanti, 2011: 75).

5. Tingkat Pengalaman (Characterizing)


Tingkat pengalaman berarti, sebagai akibat, individu telah menbangun gaya hidup
berdasarkan sistem nilai sains yang lebih disukai. Perilaku individu konsisten dan dapat
diprediksi berkaitan dengan nilai sains. Hasil pembelajaran yang berhubungan dengan
pola general prilaku yang selaras dengan level ini. Level characterization merupakan
level tertinggi dari ranah afektif, pada level ini siswa sudah memiliki sistem nilai dan
selalu menyelaraskan prilakunya sesuai dengan sistem nilai yang dipegang, seperti
bersikap objektif terhadap segala hal (Noviyanti, dkk, 2017: 110).

According to Gaberson and Oermann (2014: 19) “the second dimension of


affective evaluation focuses on whether or not student have accepted these values,
attitudes, and beliefs and are internalizing them for their own decision making
and behavior.” He discusses about the description and sampel objective for each
of the five levels of learning in the affective taxonomy follow:

7
1. Receiving
Awareness of values, attitudes, and beliefs important in nursing practice. Sensitivity
to a patient, clinical situation, and problem. Expresses an awareness of the need for
maintaining confidentiality of patient information.
2. Responding
Learner’s reaction to a situation. Responding voluntarily to a given phenomenon
reflecting a choice made by the learner. Shares willingly feelings about caring for
adying patient.
3. Valuing
Internalization of a value. Acceptance of a value and the commitment to using that
value as a basis for behavior. Supports the rights of patients to make their own
decisions about care.
4. Organization
Development of a complex system of values. Creation of a value system forms a
position about issues relating to the cost effectiveness of interventions.
5. Chacarterization by a value
Internalization of a value system providing a philosophy for practice. Acts
consistently to involve patiens and families in decision making about care. Artinya
dimensi kedua evaluasi afektif berfokus pada apakah siswa telah menerima nilai-
nilai, sikap, dan keyakinan ini dan menginternalisasi nilai-nilai tersebut untuk
pengambilan keputusan dan perilaku mereka sendiri. Dia membahas tentang
deskripsi dan sasaran sampel untuk masing-masing dari lima tingkat pembelajaran
dalam taksonomi afektif mengikuti :
1. Menerima
Kesadaran akan nilai, sikap, dan keyakinan yang penting dalam praktik
keperawatan. Kepekaan terhadap siswa, situasi klinis, dan masalah. Mengungkapkan
kesadaran akan perlunya menjaga kerahasiaan informasi siswa.
2. Menanggapi
Reaksi pelajar terhadap suatu situasi. Menanggapi secara sukarela terhadap
fenomena yang diberikan mencerminkan pilihan yang dibuat oleh pelajar.
Membagikan perasaan rela tentang menanggapi siswa.
3. Menilai
Internalisasi suatu nilai. Penerimaan nilai dan komitmen untuk menggunakan nilai
itu sebagai dasar perilaku. Mendukung hak-hak siswa untuk membuat keputusan
sendiri tentang perawatan.
4. Pengembangan
Organisasi sistem nilai yang kompleks. Penciptaan sistem nilai membentuk posisi
tentang masalah yang berkaitan dengan efektivitas biaya intervensi.
5. Pengalaman oleh Nilai
Internalisasi sistem nilai memberikan filosofi untuk bertindak. Bertindak secara
konsisten yang melibatkan siswa dan keluarga dalam pengambilan keputusan
tentang kepedulian sesama.

2.1.4 Karakteristik Ranah Afektif


“Penilaian dan evaluasi pada ranah afektif, setidaknya terkait dengan lima
(5) tipe afektif. Kelima tipe afektif yang penting antara lain adalah sikap, minat,
konsep diri, nilai, dan moral. Berikut penjelasan singkat kelima tipe afektif
tersebut dan instrument yang digunakan” (Darmadji, 2014: 18).
1. Sikap
Penilaian sikap ada dua yaitu sikap mengikuti pembelajaran sehari-hari dan sikap dalam
melaksanakan suatu pekerjaan produktif. Sikap mengikuti pembelajaran bersumber dari
catatan harian peserta didik berdasarkan pengamatan guru mata pelajaran, hasil
penilaian berdasarkan pertanyaan langsung dan laporan pribadi. Penilaian sikap dalam

8
melaksanakan pekerjaan idealnya dilakukan oleh dua penilai yaitu unsur eksternal (dari
industri) dan internal (guru), yang mengacu pada pencapaian kriteria pada setiap
kompetensi. Sikap yang dinilai adalah sikap yang dipersyaratkan untuk melakukan
suatu pekerjaan (Sukanti, 2011: 76).

2. Interests
According to Mertler (2017: 18) preferences for pasticipating in particular activities
characterize interests. They differ fromattitudes because the target of interests are
activities (as opposed to attitudes toward social situations,objects,or institutions).
Theacher who possess knowledge of their students interestcan help them selves in two
ways. First, teacherscan select supplemental instructional materials or design examples
or applications that are of interest to the majority of students in a class. Second,
teachers can use this information to select or develop classroom activites that may be
used toreinforce positive student behaviors. Artinya preferensi untuk berpartisipasi
dalam kegiatan tertentu mencirikan minat. Mereka berbeda dari sikap karena target
kepentingan adalah kegiatan (sebagai lawan dari sikap terhadap situasi sosial, objek,
atau lembaga). Sang guru yang memiliki pengetahuan tentang minat siswanya dapat
membantu mereka dengan dua cara. Pertama, guru dapat memilih bahan pengajaran
tambahan atau merancang contoh atau aplikasi yang menarik bagi sebagian besar siswa
di kelas. Kedua, guru dapat menggunakan informasi ini untuk memilih atau
mengembangkan kegiatan kelas yang dapat digunakan untuk memperkuat perilaku
siswa yang positif.

3. Konsep diri
Konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan
kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti
ranah afektif yang lain. Arah konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa
dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi.
Konsep diri ini penting untuk mengembangkan karakter dan kepribadian peserta didik,
yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Hal ini diharapkan dapat
menumbuhkan sikap introspeksi (muhasabatu al-nafs) pada peserta didik, optimis
(tafa’ul) dengan kelebihan yang dimilikinya namun juga tetap sadar dengan kekurangan
atau kelemahannya (Darmadji, 2014: 20).

4. Nilai
Nilai merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang
dianggap baik dan yang dianggap jelek. Beberapa ranah afektif yang tergolong penting
adalah (a) Kejujuran: peserta didik harus belajar untuk menghargai kejujuran dalam
beriteraksi dengan orang lain; (b) Integritas: peserta didik harus dapat dipercaya oleh
orang lain, mengikat pada kode nilai; (c) Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa
semua orang memperoleh perlakuan hukum yang sama; (d) Kebebasan: peserta didik
harus yakin bahwa negara demokratis harus memberi kebebasan secara maksimum
kepada semua orang. Konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap
kemampuan dan kelemahan yang dimilikinya. Konsep diri ini penting bagi peserta didik
untuk menentukan jenjang karir mereka yaitu dengan mengetahui kekuatan dan
kelemahan diri sendiri maka bisa dipilih alternatif karir yang tepat bagi dirinya.
Informasi tentang konsep diri peserta didik ini penting bagi pendidik untuk memotivasi
belajar peserta didik dengan tepat (Sukanti, 2011: 76-77).

5. Moral
Piaget dan Kohlberg banyak disebut-sebut teorinya tentang perkembangan moral.
Bahkan tidak jarang teorinya menjadi landasan dasar dalam proses pendidikan moral
Namun teori tersebut bukannya tanpa kritik. Antara lain karena Kohlberg dianggap
mengabaikan hubungan antara judgement moral dan tindakan moral. Ia dianggap lebih
cenderung pada prinsip moral seseorang melalui penafsiran respon verbal terhadap

9
dilema hipotetikalnya, bukan pada bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak atau
tindakan moralnya. Seringkali moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar
terhadap orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri.
Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik
maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, seperti
keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan
prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang (Darmadji, 2014: 21).

According to Rabiudin, et al (2018: 2) “affective domain is one of the


taxonomic instructional goals related to a person's psychological condition or
feelings. There are five important affective characteristics: "attitudes, interests,
selfconcept, values and morals.” Artinya ranah afektif adalah salah satu dari
taksonomi tujuan pembelajaran yang terkait dengan kondisi atau perasaan
psikologis seseorang. Ada lima karakteristik afektif penting: "sikap, minat,
konsepsi diri, nilai-nilai dan moral.
According to Kahveci (2015: 46-47) affective characteristics can be
important both a meas and ends of education. Therefore, the assessment of these
characteristics is equally important. He writes:
A researcher/teacher may need to understand student affective characteristics in order
to provide proper instructional conditions and to evaluate an affective aducation
program. In short, if the affective characteruatics are viewed as means, those chosen
for assessment must relate one or more of the available classroom settings or teaching
styles to the cognitive objectives of the course or curiculum, or both. If they are viewed
as ends in themselvels, the characteristics selected for assessment must conform to the
goals and objectives of the course or curriculum. Artinya karakteristik afektif dapat
menjadi penting baik sebagai sarana dan tujuan pendidikan. Oleh karena itu, penilaian
karakteristik ini sama pentingnya. Seorang peneliti/guru mungkin perlu memahami
karakteristik afektif siswa untuk memberikan kondisi pengajaran yang tepat dan untuk
mengevaluasi program pendidikan afektif. Singkatnya, jika karakterisasi afektif
dipandang sebagai sarana, mereka yang dipilih untuk penilaian harus menghubungkan
satu atau lebih pengaturan ruang kelas yang tersedia atau gaya mengajar dengan tujuan
kognitif dari mata pelajaran atau kurikulum, atau keduanya. Jika mereka dipandang
sebagai tujuan dalam tingkatnya, karakteristik yang dipilih untuk penilaian harus sesuai
dengan tujuan dan sasaran mata pelajaran atau kurikulum.

2.1.5 Skala yang digunakan dalam Melakukan Penilaian Afektif


Menurut Malawi dan Maruti (2016: 56-59) mengukur ranah afektif tidaklah
semudah mengukur ranah kognitif, karena pengukuran ranah afektif tidak dapat
dilakukan setiap saat (dalam arti pengukuran formal) mengingat perilaku siswa
tidak bisa berubah sewaktu-waktu. Demikian pula dengan pengembangan minat
dan penghargaan serta nilai-nilai.
Sehubungan dengan pengukuran sikap, terdapat enam bentuk skala antara lain skala
Likert, skala pilihan ganda, skala Thurstone, skala Guttman, Semantic Defferential, dan
pengukuran minat.

10
1. Skala Likert, disusun dalam bentuk suatu pernyataan dan diikuti oleh lima respons
yang menunjukkan kecenderungan sikap siswa, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju
(S), Tidak berpendapat (TB), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).
2. Skala pilihan ganda, bentuknya seperti bentuk multiple choice yaitu suatu
pernyataan yang diikuti oleh sejumlah alternatif pendapat. Skala pilihan ganda ini
dikembangkan oleh Inkels, seorang ahli penilaian di Stanford University.
3. Skala Thurstone, suatu skala mirip skala buatan Likert karena merupakan suatu
instrumen yang jawabannya menunjukkan tingkatan.
4. Skala Guttman, skala ini mirip dengan skala Bogardus, yaitu berupa tiga atau empat
butir pernyataan yang masing-masing harus dijawab “ya” atau “tidak”. Pernyataan-
pernyataan tersebut menunjukkan tingkatan yang berurutan sehingga bila responden
setuju dengan pernyataan nomor 2, diasumsikan setuju nomor 1. Selanjutnya jika
responden setuju dengan pernyataan nomor 3, berarti setuju dengan pernyataan
nomor 1 dan 2.
5. Semantic Differential, disusun oleh Osgood dan kawan-kawan, mengukur konsep-
konsep untuk tiga dimensi dalam kategori: baik-tidak-baik; kuat-lemah; cepat-
lambat; dan aktif-pasif, atau dapat berguna-tidak berguna. Dalam buku Osgood
dikemukakan adanya tiga faktor untuk menganalisis skalanya: (a) Evaluation: baik-
buruk; (b) Potency: kuat-lemah; (c) Activity: cepat-lambat; (d) Familiarity.
6. Pengukuran minat, dapat menggunakan “Kuder Preference Record” (1939), yang
mengidentifikasi sepuluh kelompok minat sebagai berikut:
a. Outdoor, minat terhadap alam sekitar.
b. Mechanichal, minat yang berhubungan dengan mesin atau alat-alat teknik.
c. Computational, minat yang berhubungan dengan pekerjaan hitung-menghitung.
d. Scientific, minat terhadap ilmu pengetahuan.
e. Persuasive, minat yang berhubungan dengan pekerjaan mempengaruhi orang
lain.
f. Artistic, minat yang berhubungan dengan pekerjaan kesenian kerajinan dan
kreasi tangan.
g. Library, minat yang berhubungan dengan pekerjaan literatur, membaca, dan
menulis berbagai karangan.
h. Musical, minat yang berhubungan dengan masalah musik.
i. Social service, minat yang berhubungan dengan pekerjaan melayani atau
menbantu orang lain.
j. Klerical, minat yang berhubungan dengan pekerjaan administratif.

2.1.6 Instrumen Non Tes


2.1.6.1 Pengertian Non Tes
Rukajat (2018: 73) mengatakan bahwa "teknik nontes adalah suatu alat
penilaian yang biasanya dipergunakan untuk mendapatkan informasi tertentu yang
tidak menggunakan tes. Hal ini berarti bahwa jawaban yang diberikan oleh peserta
tes tidak bisa di kategorikan sebagai jawaban benar atau salah sebagaimana
interpretasi jawaban tes.”
Rukajat (2018: 74) mengatakan bahwa “penilaian yang dilakukan dengan
teknis nontes terutama bertujuan untuk memperoleh informasi yang berkaitan
dengan evaluasi hasil belajar peserta didik dari segi ranah sikap hidup (affective
domain) dan ranah keterampilan (psychomotoric domain).”

11
Menurut Rukajat (2018: 38-40) kegiatan melakukan pengukuran merupakan
kegiatan yang paling umum dilakukan dan merupakan tindakan yang mengawali
kegiatan evaluasi dalam penilaian hasil belajar. Kegiatan mengukur itu pada
umumnya tertuang dalam bentuk tes dengan berbagai variasinya. Pernyataan di
atas tidaklah harus diartikan bahwa teknik tes adalah satu-satunya teknik untuk
melakukan evaluasi hasil belajar, sebab, dia mengatakan:
Masih ada teknik lainnya yang dapat dipergunakan, yaitu teknik nontes. Dengan teknik
nontes maka penilaian atau evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan dengan tanpa
menguji peserta didik, melainkan dilakukan dengan melakukan pengamatan secara
sistematis (observasion), melakukan wawancara (interview), menyebarkan angket
(questionnaire), dan memeriksa atau meneliti dokumen-dokumen (documentary
analysis). Teknik nontes ini pada umumnya memegang peranan yang penting dalam
rangka mengevaluasi hasil belajar peserta didik dari segi ranah sikap hidup (affective
domain) dan ranah keterampilan (psycomotoric domain), sedangkan teknik tes
sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini, lebih banyak digunakan untuk
mengevaluasi hasil belajar peserta didik dari segi ranah proses berpikirnya (cognitive
domain). Teknik nontes merupakan teknik penilaian untuk memperoleh gambaran
terutama mengenai karakteristik, sikap, atau kepribadian. Selama ini teknik nontes
kurang digunakan dibandingkan teknis tes. Dalam proses pembelajaran pada umumnya
kegiatan penilaian mengutamakan teknik tes. Hal ini dikarenakan lebih berperannya
aspek pengetahuan dan keterampilan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan
guru pada saat menentukan pencapaian hasil belajar siswa. Seiring dengan berlakunya
kurikulum baru yang didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, maka
teknik penilaian harus disesuaikan dengan hal-hal:
1. Kompetensi yang diukur.
2. Aspek yang akan diukur (pengetahuan, keterampilan, atau sikap).
3. Kemampuan siswa yang akan diukur.
4. Sarana dan prasarana yang ada.

2.1.6.2 Komponen Kisi-kisi Non Tes


Instrumen nontes yang dimaksud disini adalah instrumen selain tes diantaranya seperti
tes sikap, motivasi, minat, emosi, bakat, moral, konsepsi diri, dan lain sebagainya.
Adapun alat penilaiannya yang dapat digunakan diantaranya adalah:
pengamatan/observasi (seperti catatan harian, portofolio, life skill) dan instrumen tes
(seperti tes sikap, minat dll). Pada prinsipnya prosedur penulisan kisi-kisi untuk
instrumen nontes adalah sama dengan prosedur penulisan kisi-kisi tes pada tes prestasi
belajar, namun sebelum menyusun kisi-kisi tes terdapat perbedaan dalam menentukan
validitas isi/konstruksinya. Dalam tes prestasi belajar, validitas ini diperoleh melalui
kurikulum dan buku pelajaran. Tetapi untuk nontes validitas isi/konstruksinya diperoleh
melalui teori. Teori adalah pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai
suatu peristiwa atau kejadian (Rukajat, 2018: 42-43).

2.1.6.3 Langkah-langkah Penyusunan Kisi-kisi Non Tes


1. Menentukan apa yang akan diukur atau aspek apa yang akan diungkap. Biasanya
aspek hasil belajar yang diungkap dengan cara nontes berkenaan dengan ranah
afektif dan psikomotorik atau aspek psikologi.
2. Menentukan instrumen apa yang akan digunakan. Jadi, maksudnya ialah cara apa
yang akan digunakan untuk mengukur aspek tersebut. Instrumen dalam penilaian
nontes angket, observasi, wawancara, sosiometri, analisis, dll.
3. Menentukan definisi atau batasan tentang aspek yang adari aspek yang akan
diungkap, berdasarkan atas teori dari aspek yang akan diungkap tersebut.

12
4. Menentukan format instrumen. Format instrumen yang sering ditemukan adalah
berupa uraian bebas (essay), skala penilaian atau rating scale, pilihan ganda atau
daftar cek, atau yang lainnya.
5. Mengembangkan kisi-kisi.
6. Menulis pernyataan sesuai dengan kisi-kisi.
7. Analisis rasional terhadap pernyataan yang telah dirumuskan. Analisis bisa
dilakukan sendiri oleh orang lain yang memiliki keahlian dalam bidang tersebut.
Penulis soal harus terlebih dahulu mengetahui validitas konstruksinya yang disusun atau
dirumuskan melalui teori. Cara termudah untuk mendapatkan teori adalah membaca
beberapa buku, hasil penelitian atau mencari informasi lain yang berhubungan dengan
variabel atau tujuan tes yang dikehendaki. Oleh karena itu pesrta didik atau responden
henda mengerjakan tes ini (instrumen nontes) tidak perlu mempersiapkan atau belajar
materi yang hendak di teskan terlebih dahulu seperti pada tes prestasi. Setelah teori
diperoleh dari berbagai buku, maka langkah selanjutnya adalah mengumpulkan teori
dan merumuskan mendefinisikan (yaitu definisi konsep dan definisi operasional)
dengan kata sendiri berdasarkan pendapat para ahli yang diperoleh dari beberapa buku
yang telah dibaca. Definisi tentang teori yang dirumuskan inilah dinamakan konstruk.
Berdasarkan konstruk yang telah ditentukan, langkah selanjutnya adalah menentukan
dimensi (tema objek tau hal-hal pokok yang menjadi pusat tinjauan teori), indikator
(uraian atau rincian dimensi yang akan diukur) dan penulisan butir soal berdasarkan
indikatornya (Rukajat, 2018: 43-44).

2.1.6.4 Penentuan Kualitas Instrumen Non Tes yang dikembangkan


Menurut Rusilowati (2013: 19-20) instrumen nontes yang dikembangkan
hendaknya memenuhi kriteria kualitas instrumen seperti reliabilitas, validitas,
daya pembeda. Karena instrumen nontes tidak menilai benar tidaknya jawaban
responden, maka tidak perlu mengukur tingkat kesukaran soal seperti pada
instrumen tes.
1. Reliabilitas
Teknik penentuan reliabilitas dapat menggunakan test-retest, tes paralel, tes belah
dua. Rumus yang dapat digunakan antara lain: korelasi product moment, Sperman
Brown, Alpha, dll. Reliabilitas instrumen ditentukan dari besarnya koefisien
korelasi. Koefisien reliabilitas mencerminkan hubungan skor skala yang diperoleh
(X) dengan skor sesungguhnya (skor murni). Koefisien reliabilitas sebesar 0,9
memiliki arti perbedaan yang tampak pada skala mampu mencerminkan 90% dari
variansi skor murni
2. Validitas
Kevalidan instrumen nontes yang dikembangkan dapat dilihat dari validitas isi dan
konstruk teori yang mendasarinya. Ketepatan dalam menentukan definisi
konseptual, definisi operasional, dan penetapan aspek serta indikator yang
direncanakan. Faktor yang melemahkan validitas:
a. Identifikasi kawasan ukur tidak cukup jelas
b. Operasionalisasi konsep (perumusan indikator) tidak tepat
c. Penulisan butir tidak mengikuti kaidah
d. Administrasi skala yang tidak hati-hati (kondisi subjek, kondisi testing)
e. Pemberian skor tidak cermat
f. Interpretasi yang keliru
3. Daya Beda
Pertanyaan/pernyataan pada instrumen nontes harus dapat membedakan sikap positif
dan negatif. Indeks daya beda juga merupakan indikator keselarasan atau konsistensi
antara fungsi butir dengan fungsi skala secara keseluruhan. Rumus yang dapat
digunakan antara lain skor interval, korelasi product moment Pearson.

13
2.1.7 Langkah-langkah Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif
(Instrumen Non Tes)
Menurut Sukanti (2011: 78-81) terdapat sepuluh langkah yang harus diikuti
dalam pengembangan instrument penilaian afektif:
1. Menentukan Spesifikasi Instrumen
Spesifikasi instrumen terdiri dari tujuan dan kisi-kisi instrumen. Instrumen minat
bertujuan untuk memperoleh informasi terhadap minat peserta didik terhadap mata
pelajaran yang selanjutnya digunakan untuk meningkatkan minat peserta didik
tersebut terhadap mata pelajaran. Instrumen sikap bertujuan untuk mengetahui sikap
peserta didik terhadap mata pelajaran. Instrumen konsep diri bertujuan untuk
mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri.
2. Menulis Instrumen
Terdapat empat aspek penting dari ranah afektif dalam proses pembelajaran yaitu
sikap, minat, konsep diri dan nilai. Cara yang mudah untuk mengetahui sikap
peserta didik terhadap mata pelajaran adalah dengan angket. Selain menggunakan
angket, informasi tentang afektif dapat digali dengan pengamatan. Pengamatan
ranah afektif dapat dilakukan di tempat proses pembelajaran.
3. Menentukan Skala Instrumen
Secara garis besar skala instrumen yang sering digunakan dalam penilaian adalah
skala Thurstone, skala Likert, dan skala Beda Semantik. Panjang instrumen
berhubungan dengan masalah kebosanan, yaitu tingkat kejemuan dalam mengisi
instrumen. Lama pengisian instrumen sebaiknya tidak lebih dari 30 menit.
4. Menentukan Sistem Penskoran
Sistem perskoran yang digunakan tergantung pada skala pengukuran yang
digunakan.
5. Menelaah Instrumen
Kegiatan menelaah instrumen adalah meneliti tentang: a) Apakah butir pertanyaan
atau pernyataan sesuai dengan indikator, b) Apakah bahasa yang digunakan sudah
komunikatif dan menggunakan tata bahasa yang benar, c) Apakah butir pertanyaan
atau pernyataan tidak bias, d) Apakah format instrumen menarik untuk dibaca, e)
Apakah jumlah butir sudah tepat sehingga tidak menjemukan menjawabnya.
6. Melakukan Uji Coba
Instrumen yang telah ditelaah kemudian diperbaiki untuk uji coba. Uji coba
bertujuan untuk mengetahui karakteristik instrumen. Karakteristik yang penting
adalah keandalannya. Selanjutnya dihitung keandalannya dengan formula Cronbach
alpha, bila besarnya indeks sama atau lebih besar dari 0,7 maka instrumen itu
tergolong baik.
7. Menganalisis Instrumen
Berdasarkan hasil uji coba dapat diketahui kualitas instrumen tersebut. Dengan
demikian dapat dilakukan perbaikan-perbaikan jika masih ada pertanyaan atau
pernyataan yang belum sesuai dengan yang diharapkan.
8. Merakit Instrumen
Setelah instrumen dianalisis dan diperbaiki, langkah berikutnya adalah merakit
instrumen menjadi satu keseluruhan.
9. Melaksanakan Pengukuran.
Instrumen yang telah disusun diberikan kepada peserta didik untuk diisi. Dalam
pelaksanaan ini perlu dipantau agar instrumen itu betul-betul diisi oleh peserta didik
yang bersangkutan dengan jujur dan sesuai dengan ketentuan.
10. Menafsirkan Hasil Pengukuran
Setelah dilakukan pengukuran, selanjutnya dilakukan analisis untuk tingkat individu
dan tingkat kelas dan ditafsirkan hasilnya untuk mengetahui misalnya minat individu
dan minat kelas terhadap mata pelajaran. Instrumen yang telah diisi dicari skor
keseluruhannya sehingga tiap peserta didik memiliki skor.

14
Menurut Astiti (2017: 57-59) teknik penilaian nontes biasa digunakan untuk
melakukan evaluasi pada ranah afektif. Beberapa bentuk penilaian nontes di
antaranya wawancara, angket/kuesioner, observasi, dan bentuk lain sesuai
kompetensi yang ingin dinilai. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan tes hasil belajar adalah:
1. Merencanakan spesifikasi jenis penilaian dan instrumen yang akan digunakan.
Jenis penilaian yang digunakan disesuaikan dengan kompetensi yang akan dinilai.
Berdasarkan jenis penilaian tersebut maka kemudian ditentukanlah instrumen yang
akan digunakan. Beberapa contoh misalnya jenis penilaian yang akan digunakan
adalah wawancara, oleh karena itu instrumen yang disusun berupa pedoman
wawancara dan rubrik penilaiannya. Jenis penilaian yang dipakai adalah observasi,
oleh karenanya memerlukan instrumen berupa lembar observasi.
2. Membuat kisi-kisi
Kisi-kisi atau blueprint berupa tabel matriks yang berisi spesifikasi instrumen yang
akan ditulis. Kisi-kisi instrumen nontes terdiri dari beberapa aspek, di antaranya: 1)
Dimensi, 2) Indikator, 3) Jumlah butir soal per indikator, 4) Nomor butir soal.
3. Menyusun butir instrumen dan rubrik penilaian
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah menyusun instrumen yang dapat
berupa pernyataan atau pertanyaan. Kaidah yang perlu diperhatikan dalam
menyusun butir instrumen di antaranya: 1) Hindari kalimat yang mengandung
banyak interpretasi, 2) Rumusan pertanyaan atau pernyataan singkat, jelas, dan
padat, 3) Satu pernyataan hanya mengandung satu pikiran yang lengkap, 4)
Pernyataan dirumuskan dengan kalimat sederhana, 5) Hindari penggunaan kata
selalu, tidak pernah, semua, dan sejenisnya. Pada penyusunan instrumen penilaian
perlu ditentukan skala instrumen yang akan digunakan, misal checklist, skala rating,
dan skala sikap. Setelah itu dibuat sistem penskoran sesuai skala yang digunakan.
4. Analisis kualitas instrumen
Tahap ini dimulai dengan melakukan telaah terhadap instrumen yang telah dibuat.
Kegiatan telaah ini di antaranya, melihat kesesuaian antara butir instrumen terhadap
indikator yang ingin dicapai, penggunaan bahasa yang digunakan, ada tidaknya bias
pada instrumen, dan kebenaran tata bahasa yang digunakan.
5. Revisi dan penyusunan kembali item-item instrumen
Instrumen yang telah melalui uji validasi dan reliabilitasnya kemudian disusun
kembali dengan melakukan perbaikan terhadap butir instrumen yang tidak baik.

2.1.8 Instrumen Non Tes yang digunakan dalam Melakukan Penilaian


Afektif
Penilaian kompetensi peserta didik pada ranah afektif menyangkut sikap dan minat
peserta didik dalam belajar. Secara teknis, penilaian ranah afektif dilakukan melalui dua
hal yaitu: a) Laporan diri oleh peserta didik yang biasanya dilakukan dengan pengisian
angket anonim, dan b) Pengamatan sistematis oleh guru terhadap afektif peserta didik
dan perlu lembar pengamatan (Fatmawati, dkk, 2015: 46).

Menurut Salamah (2018: 280), penilaian sikap merupakan penilaian


terhadap perilaku dan keyakinan siswa terhadap suatu obyek, fenomena/masalah.
Secara umum, penilaian sikap dalam berbagai mata pelajaran dapat dilakukan
berkaitan dengan berbagai obyek sikap sebagai berikut :

15
a) Sikap terhadap mata pelajaran; b) Sikap guru terhadap mata pelajaran; c) Sikap
terhadap proses pembelajaran, dan lain-lain. Penilaian ini dapat dilakukan dengan
beberapa cara, antara lain:
1. Observasi perilaku, misalnya tentang kerja sama, inisiatif, perhatian.
2. Pertanyaan langsung, misalnya tanggapan terhadap tata tertib sekolah yang baru.
3. Laporan pribadi.

Penilaian sikap dilakukan melalui kegiatan observasi, penilaian diri, penilaian


antarteman, dan jurnal.
1. Observasi
Bentuk instrumen yang digunakan untuk observasi adalah pedoman observasi yang
berupa daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik. Daftar cek
digunakan untuk mengamati ada tidaknya suatu sikap atau perilaku. Sedangkan skala
penilaian menentukan posisi sikap atau perilaku peserta didik dalam suatu rentangan
sikap. Pedoman observasi secara umum memuat pernyataan sikap atau perilaku yang
diamati dan hasil pengamatan sikap atau perilaku sesuai kenyataan. Pernyataan memuat
sikap atau perilaku yang positif atau negatif sesuai indikator penjabaran sikap dalam
kompetensi inti dan kompetensi dasar. Rentang skala hasil pengamatan antara lain
berupa:
a. Selalu, sering, kadang-kadang, tidak pernah
b. Sangat baik, baik, cukup, perlu bimbingan
c. Sangat baik, baik, cukup, perlu bimbingan
Pedoman observasi dilengkapi juga dengan rubrik dan petunjuk penskoran. Rubrik
memuat petunjuk/uraian dalam penilaian skala atau daftar cek. Sedangkan petunjuk
penskoran memuat cara memberikan skor dan mengolah skor menjadi nilai akhir
(Salamah, 2018: 287).

2. Penilaian Diri
Menurut At-Taubany dan Suseno, (2017: 292) Penilaian diri dilakukan
dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan dan
kekurangan dirinya dalam berperilaku. Instrumen yang digunakan untuk penilaian
diri berupa lembar penilaian diri yang dirumuskan secara sederhana, jelas, dengan
bahasa lugas, dan menggunakan format sederhana. Penilaian diri oleh peserta
didik dilakukan melalui langkah-langkah:
a. Menjelaskan kepada peserta didik tujuan penilaian diri.
b. Menentukan indikator yang akan dinilai.
c. Menentukan kriteria penilaian yang akan digunakan.
d. Merumuskan format penilaian, berupa daftar cek (checklist) atau skala penilaian
(rating scale), atau dalam bentuk esai untuk mendorong peserta didik mengenali diri
dan potensinya.

3. Penilaian Antarteman
Menurut At-Taubany dan Suseno (2017: 294) penilaian antarteman adalah
penilaian dengan cara peserta didik menilai perilaku temannya. Penilaian
antarteman dapat mendorong: (a) Objektivitas peserta didik; (b) Empati; (c)

16
Mengapresiasi keragaman/perbedaan; (d) Refleksi diri. Kriteria penyusunan
instrumen penilaian antarteman sebagai berikut:
a. Sesuai dengan indikator yang akan diukur.
b. Indikator dapat diukur melalui pengamatan peserta didik.
c. Kriteria penilaian dirumuskan secara sederhana, namun jelas dan tidak berpotensi
munculnya penafsiran makna ganda/berbeda.
d. Menggunakan bahasa lugas yang dapat dipahami peserta didik.
e. Menggunakan format sederhana dan mudah digunakan oleh peserta didik.
f. Indikator menunjukkan sikap/perilaku peserta didik dalam situasi yang nyata atau
sebenarnya dan dapat diukur.

4. Jurnal Guru
“Merupakan catatan pendidik di dalam dan di luar kelas yang berisi
informasi hasil pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik yang
berkaitan dengan sikap dan perilaku. Jurnal bisa dikatakan sebagai catatan yang
berkesinambungan dari hasil observasi” (Salamah, 2018: 288).
Menurut Al-Tabany (2011: 277) banyak teknik dikembangkan untuk
menilai efektif, namun yang sering digunakan adalah dengan memanfaatkan skala
Likert. Langkah-langkah dalam menyusun Likert antara lain adalah:
1. Memilih variabel afektif yang akan diukur.
2. Membuat beberapa penyataan tetang variabel efektif yang dimaksudkan.
3. Mengklasifikasikan pernyataan positif atau negatif.
4. Menentukan frasa atau angka yang dapat menjadi alternatif pilihan. Misalnya SS =
sangat setuju, S = setuju, T = tidak setuju, ST = sangat tidak setuju.
5. Menyusun pernyataan dan pilihan jawaban menjadi sebuah alat penilaian.
6. Melakukan uji coba.
7. Mengidentifikasikan dan membuang butir butir pernyataan yang kurang baik.
8. Melaksanakan penilaian efektif.

The affective aspect instrument is an observation sheet used by the observer. Each
observer observed 7-8 students. The affective aspect of the instrument consists of five
affective stages: receiving, responding, appreciating, managing, and characterizing.
Receiving is done to actively receive a new information and the ability to selectively
respond to stimulation. Responding is done to actively take a clear action role for
learning purposes. Appreciate is done to display behaviors consistent with clear beliefs
or attitudes. Managing is done to assimilate new values and make them consistent and
compatible with previous learning. Having characters are performed to have a value
system that has been controlled through consistent behavior and it is a character.
Artinya instrumen aspek afektif adalah lembar observasi yang digunakan oleh
pengamat. Setiap pengamat mengamati 7-8 siswa. Instrumen aspek afektif terdiri dari
lima tahap afektif: menerima, merespons, menghargai, mengelola, dan
mengkarakterisasi. Penerimaan dilakukan untuk secara aktif menerima informasi baru
dan kemampuan untuk merespons stimulasi secara selektif. Respon dilakukan untuk
secara aktif mengambil peran tindakan yang jelas untuk tujuan pembelajaran.
Menghargai dilakukan untuk menampilkan perilaku yang konsisten dengan keyakinan
atau sikap yang jelas. Mengelola dilakukan untuk mengasimilasi nilai-nilai baru serta
membuatnya konsisten dan kompatibel dengan pembelajaran sebelumnya. Memiliki
karakter dilakukan untuk memiliki sistem nilai yang telah dikendalikan melalui perilaku
yang konsisten dan inilah yang disebut karakter (Qadar, et al, 2018: 27).

17
The five affective stages each use four verbs that are expected to appear during the
lesson. Receiving has verbs: attend, watch, listen, and see. Responding has verbs:
discuss, ask, answer, and participate. Respecting has verbs: define, argue, explain, and
show. Managing has verbs: organize, merge, compare, and equip. Character has verbs:
change, reveal, display, and use. Each verb in the observation sheet is scored one for
each occurrence. Artinya lima tahap afektif masing-masing menggunakan empat kata
kerja yang diharapkan muncul selama pelajaran. Menerima memiliki kata kerja:
menghadiri, menonton, mendengarkan, dan melihat. Menanggapi memiliki kata kerja:
mendiskusikan, bertanya, menjawab, dan berpartisipasi. Menghargai memiliki kata
kerja: define, argumentasi, jelaskan, dan tunjukkan. Mengelola memiliki kata kerja:
organisasikan, gabungkan, bandingkan, dan lengkapi. Karakter memiliki kata kerja:
ubah, ungkapkan, tampilkan, dan gunakan. Setiap kata kerja dalam lembar observasi
diberi skor satu untuk setiap kejadian (Qadar, et al, 2018: 28).

According to Whiston (2013: 14) affective instruments asses interest,


attitudes, values, motives, temperament, and the noncognitive aspects of
personality. Both informal and formal techniques have a dominant role in
affective assessment. In the area of formal instruments, practitioners most
frequently use one of two types of personality test:
Structured instrument and projective techniques. Structured personality instruments
include the Minnesota Multiphasic Personality Inventory 2 (MMPI-2) in wich
individuals respond to a set of established questions and select answer from the
provided alternatives. With projective techniques, individuals respond to relatively
ambigous stimuli, such as unfished sentences, or pictures. Artinya instrumen afektif
menilai minat, sikap, nilai, motif, temperamen, dan aspek kepribadian nonkognitif. Baik
teknik informal dan formal memiliki peran dominan dalam penilaian afektif. Dalam
bidang instrumen formal, praktisi paling sering menggunakan salah satu dari dua jenis
tes kepribadian: instrumen terstruktur dan teknik proyektif. Instrumen kepribadian
terstruktur termasuk Minnesota Multiphasic Personality Inventory 2 (MMPI-2) di mana
individu merespons serangkaian pertanyaan yang sudah ada dan memilih jawaban dari
alternatif yang disediakan. Dengan teknik proyektif, individu merespons rangsangan
yang relatif ambigu, seperti kalimat yang belum selesai, atau gambar.

2.2 Kajian Kritis


Penilaian afektif merupakan bentuk penilaian terhadap aspek-aspek non
intelektual seperti sikap, minat, dan motivasi. Dengan adanya penilaian terhadap
aspek afektif diharapkan guru dapat mengetahui tipe hasil belajar afektif yang
tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti perhatiannya terhadap
pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman kelas, kebiasaan,
dan hubungan sosial. Penilaian afektif akan terlaksana dengan baik jika dilakukan
sesuai dengan syarat dan prinsip yang telah ditentukan.
Pelaksanaan penilaian afektif atau yang biasa disebut penilaian sikap
bertujuan untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai pencapaian tujuan
belajar dalam aspek sikap, seperti bagaimana motivasi siswa untuk belajar, sikap
siswa terhadap materi pelajaran, termasuk sikap positif terhadap diri sendiri. Oleh

18
karena itu tujuan penilaian kawasan afektif adalah berorientasi pada pencapaian
perilaku yang positif, bukan pengetahuan.
Penilaian ranah afektif tidak dapat dipisahkan dari ranah kognitif, karena
merupakan bidang tujuan pendidikan kelanjutan dari ranah kognitif. Maksudnya,
kompetensi kognitif menjadi dasar dan pondasi bagi keberhasilan kompetensi
sikap. Siswa yang tidak mengusai kompetensi pengetahuan akan sulit memiliki
kompetensi sikap dengan baik pula. Adapun tingkatan pada penilaian afektif
mencakup lima tingkat, yaitu: receiving (pengenalan), responding (pemberian
respon), valuing (penghargaan), organization (pengorganisasian), dan
characterization (pengamalan), yang mana kelima tingkatan ini saling
berkesinambungan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Penilaian ranah afektif memiliki beberapa karakteristik yang harus dipahami
terlebih dahulu sebelum pendidik (guru) melaksanakan penilaian dalam ranah
afektif ini terhadap siswanya. Bebrapa karakteristik yang penting antara lain
adalah sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral. Karakteristik inilah yang harus
diperhatikan dan dinilai oleh guru terhadap siswa.
Dalam rangka melaksanakan penilaian ranah afektif perlu disusun
instrument dengan skala yang sesuai dengan aspek yang akan di ukur. Dapat
digunakan salah satu dari beberapa skala berikut: skala Likert, skala pilihan
ganda, skala Thurstone, skala Guttman, Semantic Defferential, dan pengukuran
minat. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pendidik (guru) dalam memberikan
skor atau nilai akhir dari sikap masing-masing siswa.
Instrumen yang digunakan untuk menilai sikap siswa yaitu dengan
instrumen nontes yang pada umumnya memegang peranan yang penting dalam
rangka mengevaluasi hasil belajar peserta didik dari segi ranah sikap hidup.
Dengan teknik nontes maka penilaian atau evaluasi hasil belajar peserta didik
dilakukan dengan tanpa menguji peserta didik. Teknik nontes merupakan teknik
penilaian untuk memperoleh gambaran terutama mengenai karakteristik, sikap,
atau kepribadian masing-masing siswa yang sudah pasti berbeda.
Adapun dalam hal pengembangan instrument penilaian afektif (instrumen
non tes) harus mengikuti prosedur yang telah ditentukan yaitu menentukan
spesifikasi instrumen, menulis instrumen, menentukan skala instrumen,

19
menentukan sistem penskoran, menelaah instrumen, melakukan uji coba,
menganalisis instrumen, merakit instrumen, melaksanakan pengukuran, dan
menafsirkan hasil pengukuran. Hal ini dilakukan agar nantinya instrumen non tes
yang telah dibuat dapat digunakan dan dimengerti oleh siswa dengan baik.
Penilaian pada ranah afektif menyangkut sikap dan minat peserta didik
dalam belajar dapat dilakukan melalui kegiatan observasi, penilaian diri, penilaian
antarteman, dan jurnal. Penilaian sikap ini sebaiknya diakhiri oleh kesimpulan
dari guru walaupun dalam proses penilaian siswa lain maupun siswa itu sendiri
juga ikut memberikan penilaian tentang dirinya. Hal tersebut dikarenakan guru
yang dianggap paling mampu mendeskripsikan sikap siswa, guru juga memiliki
kedekatan emosional, terlibat dan berinteraksi secara langsung dengan siswa
setiap harinya.

20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penilaian afektif adalah penilaian terhadap aspek-aspek non intelektual
seperti sikap, minat, dan motivasi. Penilaian terhadap ranah afektif merupakan
bagian daari hasil belajar siswa yang sangat penting. Keberhasilan pembelajaran
pada ranah kognitif dan psikomotor sangat ditentukan oleh kondisi afektif siswa.
Ranah afektif terdiri dari lima tingkatan yaitu Receiving, Responding, Valuing,
Organization, dan Characterization.
Tujuan penilaian sikap adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat
mengenai pencapaian tujuan instruksional oleh siswa khususnya pada tingkat
penerimaan, partisipasi, penilaian, organisasi dan internalisasi. Beberapa hal yang
dapat menjadi fokus salah satunya sikap, antara lain sikap terhadap mata
pelajaran, sikap positif terhadap belajar, sikap positif terhadap diri sendiri. Oleh
karena itu tujuan penilaian kawasan afektif adalah perilaku, bukan pengetahuan.
Penilaian ranah afektif merupakan bidang tujuan pendidikan kelanjutan dari
ranah kognitif. Maksudnya, kompetensi pengetahuan (kognitif) menjadi dasar dan
pondasi bagi kepemilikan kompetensi sikap. Tanpa siswa mengusai kompetensi
pengetahuan (pada level tinggi), maka sulit bagi siswa menguasai dan memiliki
kompetensi sikap dengan baik. Adapun tingkatan pada penilaian afektif mencakup
lima tingkat, yaitu: receiving (pengenalan), responding (pemberian respon),
valuing (penghargaan), organization (pengorganisasian), dan characterization
(pengamalan). Kelimanya merupakan hal yang hirarkis.
Penilaian dan evaluasi pada ranah afektif, setidaknya terkait dengan lima
karakteristik atau tipe afektif. Kelima tipe afektif yang penting antara lain adalah
sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral. Kelima tipe ini yang biasanya
dilakukan penilaian dan/atau pengukuran yang dikaitkan dengan materi tertentu.
Mengukur ranah afektif tidaklah semudah mengukur ranah kognitif, karena
pengukuran ranah afektif tidak dapat dilakukan setiap saat (dalam arti pengukuran
formal) mengingat perilaku siswa tidak bisa berubah sewaktu-waktu. Pengubahan
sikap seseorang membutuhkan waktu yang relatif lama. Demikian pula dengan
pengembangan minat dan penghargaan serta nilai-nilai. Dalam penilaian sikap

21
perlu disusun instrument dengan skala yang sesuai dengan aspek yang akan di
ukur. Dapat digunakan salah satu dari beberapa skala berikut: skala Likert, skala
pilihan ganda, skala Thurstone, skala Guttman, Semantic Defferential, dan
pengukuran minat.
Teknik nontes pada umumnya memegang peranan yang penting dalam
rangka mengevaluasi hasil belajar peserta didik dari segi ranah sikap hidup.
Dengan teknik nontes maka penilaian atau evaluasi hasil belajar peserta didik
dilakukan dengan tanpa menguji peserta didik. Teknik nontes merupakan teknik
penilaian untuk memperoleh gambaran terutama mengenai karakteristik, sikap,
atau kepribadian.
Terdapat sepuluh langkah yang harus diikuti dalam pengembangan
instrument penilaian afektif (instrumen non tes) yaitu menentukan spesifikasi
instrumen, menulis instrumen, menentukan skala instrumen, menentukan sistem
penskoran, menelaah instrumen, melakukan uji coba, menganalisis instrumen,
merakit instrumen, melaksanakan pengukuran, dan menafsirkan hasil pengukuran.
Instrumen yang dibuat harus ditelaah terlebih dahulu untuk mengetahui
keterbacaan, substansi yang ditanyakan, dan bahasa yang digunakan.
Penilaian kompetensi peserta didik pada ranah afektif menyangkut sikap dan
minat peserta didik dalam belajar. Penilaian sikap dilakukan melalui kegiatan
observasi, penilaian diri, penilaian antarteman, dan jurnal. Penilaian sikap
merupakan tugas guru yang dianggap paling mampu mendeskripsikan sikap
siswa. Hal tersebut, dikarenakan guru memiliki kedekatan emosional, terlibat dan
berinteraksi secara langsung dengan siswa.
3.2 Saran
Penilaian ranah afektif sangat penting untuk dilakukan karena penilaian ini
bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang berkenaan dengan sikap dan nilai yang
dimiliki oleh siswa. Selain itu, tipe hasil belajar afektif pada siswa tampak dalam
berbagai tingkah laku seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi
belajar, menghargai guru dan teman kelas, kebiasaan, dan hubungan sosial.
Oleh karena itu, saran yang dapat penulis sampaikan adalah agar pendidik
(guru) dapat melakukan penilaian afektif dalam setiap pembelajaran yang di
laksanakan. Hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan penilaian afektif

22
yaitu harus menggunakan instrument beserta skala yang cocok untuk aspek yang
akan di ukur agar tujuan dilaksanakannya penilaian afektif ini dapat berlangsung
dengan baik dan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Al-Tabany, T. I. B. (2011). Desain Pengembangan Pembelajaran Tematik Bagi


Anak Usia Dini TK/RA & Anak Kelas Awal SD/MI. Jakarta: Kencana.

Amri. (2016). Pengembangan Instrument Penilaian Ranah Afektif pada Mata


Pelajaran Biologi SMA. Jurnal Biotek, 4(1).

Astiti, K. A. (2017). Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: CV. Andi Offset.

At-Taubany, T. I. B., & Suseno, H. (2017). Desain Pengembangan Kurikulum


2013 di Madrasah. Depok: Kencana.

Darmadji, A. (2014). Ranah Afektif dalam Evaluasi Pendidikan Agama Islam,


Penting Tapi Sering Terabaikan. Jurnal El-Tarbawi, 7(1).

Fatmawati, dkk. (2015). Desain Laboratorium Sakal Mini untuk Pembelajaran


Sains Terpadu. Sleman: CV. Budi Utama.

Gaberson & Oerman. (2014). Evaluation and Testing in Nursing Education.


Inggris: Springer Publishing Company.

Kahveci, M. (2015). Affective Dimensions in Chemistry Education. Inggris:


Springer.

Kristiawan, M., et. al. (2016). The Implementation of Affective Assessment for
Islamic Education in High School 1 Pariangan. Journal of Social Sciences,
9(4).

Malawi, I., & Maruti, E. S. (2016). Evaluasi Pendidikan. Magetan: CV. AE


Media Grafika.

Mertler, C. (2017). Classroom Assessment Aparticsl Guide for Education. New


York: Pyrczak Publishing.

Noviyanti, Y., dkk. (2017). Penerapan Instrument Penilaian Ranah Afektif Siswa
pada Praktikum Kimia di Sekolah. Banten: Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.

24
Olatunji, M. O. (2013). Teaching and Assessing of Affective Characteristics: A
Critical Missing Link in Online Education. International Journal on New
Trends in Education and Their Implications, 4(1).

Prastowo, A. (2017). Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)


Tematik Terpadu. Jakarta: Kencana.

Popham, W. J. (2001). The Truth About Testing: An Educator’s Call to Action.


America: Association for Supervision and Curriculum Development.

Rabiudin, et. al. (2018). Development of Authentic Affective Assessment


Instrument in High School Physics Learning. Journal of Physics, ISSN:
1742-6596.

Rukajat, A. (2018). Teknik Evaluasi Pembelajaran. Sleman: CV. Budi Utama.

Rusilowati, A. (2013). Pengembangan Instrume Non Tes. Semarang: Univesitas


Negeri Semarang.

Saidah, K., & Damariswara, R. (2017). Analisis Bentuk-bentuk Penilaian Sikap


Siswa Sekolah Dasar di Kota Kediri. Jurnal Profesi Pendidikan Dasar, 4(1).

Salamah, U. (2018). Penjaminan Mutu Penilaian Pendidikan. Jurnal Evaluasi.


2(1).

Sukanti. (2011). Penilaian Afektif dalam Pembelajaran Akuntansi. Jurnal


Pendidikan Akuntansi Indonesia, IX(1).

Syamsudin, A., dkk. (2016). Model of Affective Assessment of Primary School


Students. Research and Evaluation in Education, 2(1).

Qadar, R., et. al. (2013). The Use of Affective and Cognitive Assessment on the
Learning of Mirrors and Lenses through the Inquiry Laboratory Approach.
Jurnal Penelitian dan Pembelajaran IPA, 4(1).

Whiston, S. C. (2013). Principles and Applications of Assessment in Counseling.


America: Linda Ganster.

25
26

Anda mungkin juga menyukai