Good corporate governance (GCG) menjadi sorotan publik. Isu tata kelola yang baik
emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) kian santer karena menyangkut kepentingan pemegang
saham, terutama investor publik. Belakangan ini sejumlah perusahaan publik terlilit kasus dan
dinyatakan pailit. Misalnya, PT Citra Maharlika Nusantara Corpora Tbk (CPGT) dan PT Dwi
Aneka Jaya Kemasindo Tbk (DAJK). Kabar terbaru terkait PT Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk
(DGIK). Emiten konstruksi ini terpapar korupsi proyek rumahsakit Universitas Udayana di
Bali dan Wisma Atlet di Sumatera Selatan. Bukan hanya petingginya yang dihukum, DGIK
sebagai korporasi juga kena getahnya. Di proyek RS Udayana dan Wisma Atlet ini, hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum DGIK untuk membayar uang
pengganti senilai Rp 14,48 miliar dan Rp 33,42 miliar. Financial Expert Universitas Prasetiya
Mulya, Lukas Setia Atmaja menilai, peran direktur dan komisaris sangat penting dalam
pelaksanaan GCG. Peran itu perlu dimaksimalkan untuk melindungi
seluruh stakeholders perusahaan baik kreditur, pemasok, karyawan, dan pemerintah.
Ada beberapa pilar GCG, seperti persamaan hak antara pemegang saham. "Jangan
sampai pemegang saham mayoritas menzalimi pemegang saham minoritas," kata Lukas kepada
KONTAN, Senin (27/11). Menurut Lukas, terkait dengan emiten pailit, ada dua
kemungkinan. Pertama, manajemen tak bisa mengelola perusahaan dengan baik sehingga
tidak bisa bersaing. Kedua, perusahaan pailit karena unsur kesengajaan. "Namun demikian,
tidak bisa dipungkiri dalam kondisi krisis, perusahaan yang CG-nya jelek akan ambruk duluan
karena masalah kepercayaan dan reputasi," ungkap Lukas. GCG juga bisa diukur dari kondisi
keuangan emiten. Peringkat utang pun menjadi pertimbangan karena acap menjadi parameter
awal kondisi kesehatan perusahaan. (Putri, 2017,
https://investasi.kontan.co.id/news/penerapan-gcg-emiten-bisa-melindungi-semua)
Penerapan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG) di
Indonesia sudah mengalami perbaikan dibandingkan ketika awal diperkenalkan pascakrisis
ekonomi pada 1998. Ketika itu, perusahaan-perusahaan masih enggan menerapkan prinsip-
prinsip GCG yang iwajibkan oleh regulator. Tapi, saat ini sudah banyak perusahaan
memandang GCG tidak lagi sebagai keharusan, melainkan suatu kebutuhan. Pergeseran cara
pandang tersebut dipengaruhi oleh sejumlah manfaat setelah menerapkan prinsip-prinsip GCG.
Dengan penerapan GCG, perusahaan dapat mendulang berbagai manfaat dan sekaligus dapat
mendorong kinerja keuangan karena pengambilan keputusan yang sehat.
Setidaknya, ada lima prinsip GCG yang bisa dijadikan pedoman oleh para pelaku bisnis,
yaitu keterbukaan informasi (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggung
jawaban (responsibility), kemandirian (independency), dan kesetaraan dan kewajaran
(fairness) yang biasanya diakronimkan menjadi TARIF. Perusahaan-perusahaan yang
menjalankan prinsip keterbukaan informasi dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup,
akurat, tepat waktu kepada semua pemangku kepentingan. Perusahaan yang menerapkan
prinsip akuntabilitas secara efektif mensyaratkan adanya kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban,
wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi.
Sementara itu, prinsip pertanggung jawaban mengharuskan kepatuhan perusahaan terhadap
peraturan yang berlaku, di antaranya masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan
keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang
kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. Prinsip kemandirian mensyaratkan agar
perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau
intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.
Prinsip kesetaraan dan kewajaran menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak
para pemangku kepentingn (stakeholders) sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Penerapan GCG di Indonesia bisa dibilang telah mengalami perbaikan dari tahun ke
tahun. Mengutip data Asean CG Score Card, penerapan CG di Indonesia pada 2013 mendapat
skor 54,55 atau lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya dengan skor 43,25. Kendati
demikian, dibandingkan dengan lima negara Asean lainnya, pelaksanaan GCG di Indonesia
pada tahun lalu masih kalah dari Malaysia (skor 71,69), Filipina (57,99), Singapura (71,68),
dan Thailand (75,39). Indonesia hanya unggul dari Vietnam yang mendapat skor 33,87.
Data dari Asean CG Scorcard tersebut bisa menjadi acuan untuk memacu lebih banyak
lagi emiten di Indonesia yang meningkatkan tata kelola yang baik. Alasannya, Asean GC Score
Card sendiri merupakan salah satu implementasi dari rencana integrasi pasar modal Asean
dalam rangka menyongsong Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun 2015. Tidak hanya
dalam skor CG, Indonesia juga kalah dalam hal jumlah emiten. Hingga November 2014,
jumlah perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) sebanyak 502 emiten, di bawah
Malaysia yang mencatatkan 910 emiten dan Singapura 776 emiten. Indonesia bersaing dengan
Thailand yang memiliki 585 emiten dan di atas Filipina dengan 257 emiten. Penerapan prinsip-
prinsip GCG tidak hanya dijalankan oleh emiten. Semua pemegang saham (shareholders)
maupun pemangku kepentingan harus memiliki komitmen yang sama untuk menjalankan
prinsip-prinsip GCG. Komitmen untuk menjalankan prinsip-prinsip GCG sangat diharapkan
sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing perusahaan-perusahaan Indonesia agar bisa
disejajarkan dengan perusahaan di Asean saat implementasi MEA 2015. (Investor Daily, 2014,
https://id.beritasatu.com/home/komitmen-penerapan-gcg/102406)
KASUS PT. KALTIM PRIMA COAL
1.4 Analisis berdasarkan prinsip Good Corporate Governance yang dilanggar PT Kaltim
Prima Coal
1. Transparency
Dalam kasus PT Kaltim Prima Coal dari dana CSR yang sudah ditentukan oleh
perusahaan batu bara ini yaitu Rp 1,1 miliar, sedangkan yang sampai ke rakyat hanya
Rp 400 juta. Dana sejumlah Rp 690 juta diberikan ke instansi vertikal. Adapun
informasi pembagian dana untuk masyarakat, hanya diketahui oleh satu pihak yaitu PT
Kaltim Prima Coal, yang bebas menentukan besaran dana yang akan diturunkan ke
masyarakat tanpa memberitahu detail persentase dana untuk masyarakat disekitar
lingkungan bisnis dan perhitungan-perhitungan lainnya yang mendukung dana CSR
untuk masyarakat.
2. Responsibility
PT Kaltim Prima Coal sejak tahun 2010 mulai melepas tanggung jawabnya
kepada lingkungan sekitar perusahaan, dimana seharusnya PT Kaltim Prima Coal
membayar biaya perawatan lingkungan perusahaan kepada kepala daerah setempat
sesuai dengan kontrak yang sudah dijanjikan, namun realisasinya justru dana yang
seharusnya diberikan sepenuhnya kepada masyarakat, hanya 40% saja yang sampai ke
tangan masyarakat, tidak sesuai dengan data yang disebarkan oleh Forum MSH-CSR.
3. Fairness
PT Kaltim Prima Coal harus memperlakukan secara adil seluruh golongan yang
memiliki andil dalam kesuksesan perusahaan, baik yang internal maupun eksternal,
tanpa mementingkan golongan tertentu. Walaupun masyarakat sekitar tidak berperan
langsung untuk kemajuan Kaltim Prima Coal, namun perusahaan memiliki tanggung
jawab untuk merawat lingkungan sekitar bisnis, karena tanpa persetujuan masyarakat
daerah lokasi perusahaan, perusahaan bisa saja ditutup karena dianggap merugikan
masyarakat dan tidak memelihara lingkungan perusahaan.
REFRENSI: