Anda di halaman 1dari 33

1

BAB I

PENDAHULUAN

Penggunaan aerosol sebagai terapi inhalasi diperkenalkan pertama kali

oleh Schneider dan Waltz pada tahun 1829. Sebenarnya prinsip terapi

inhalasi telah digunakan sejak dahulu misalnya penggunaan asap untuk

pengobatan batuk. Pada awal penggunaannya sebagai pengobatan, terapi ini

hanya mengubah obat cair menjadi bentuk aerosol, namun dalam

perkembangannya bentuk lainpun dapat digunakan sebagai terapi inhalasi,

yaitu bentuk powder (bubuk). Serta bahan yang digunakan tidak turut

dipertimbangkan pengaruhnya terhadap lingkungan pada awalnya, tetapi

akhir-akhir ini mulai dikembangkan penggunaan propelan yang bersahabat

dengan lingkungan yaitu yang tidak merusak lapisan ozon.

Untuk menunjang keberhasilan terapi inhalasi pada anak diperlukan

pengetahuan mengenai perbedaan anatomis dan fisiologis pernapasan

antara dewasa dan anak serta tentang teknik inhalasi termasuk

farmakokinetik (absorpsi dan bioavailabilitas) dan farmakodinamik obat

sehingga penggunaannya lebih optimal.

Berikut akan ditulis sebuah tinjauan pustaka mengenai terapi inhalasi dan

pemberiannya pada anak.

BAB II
2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Terapi inhalasi adalah pemberian obat yang secara langsung ke dalam

saluran napas melalui hirupan.

B. Anatomi dan Fisiologi Paru

1. Anatomi Paru

Sebagai pemeran utama dalam sistem respirasi, pulmones hominis

terletak pada tractus respiratorius inferior, yang mengembang oleh udara dari

atmosfer setelah melalui trachea, bronchi, bronchioli, lalu akhirnya berdifusi

pada alveoli dengan kapiler, selanjutnya terjadi pertukaran partikel gas (O 2

dan CO2) sebelum udara tersebut dihembuskan sebagai keseluruhan proses

respirasi eksternal.

Pulmo dexter et sinister mengisi hampir keseluruhan cavum thoracis dan

terpisah satu sama lain oleh cor, aortae thoracalis, oesophagus dan trachea.

Pulmones berbentuk kerucut, warna merah muda keabuan, elastis, memiliki

permukaan yang halus, licin, mengkilap, tekstur dalam yang berpori seperti

sponge karena banyaknya alveolus yang mengandung udara sehingga organ

ini bermassa ringan dan dapat mengapung pada permukaan air. Puncak

pulmo disebut apex pulmonis yang kurang lebih terletak setinggi clavicula

pada level di bawah regio cervicalis, di sini terdapat pula sulcus arteriae

subclaviae.
3

Gambar 1. Pulmones hominis, et organi mediastinum aspectus anterior

(Rudinski. 2009)

Dasar dari pulmo dinamakan basis pulmonis yang berpenampang luas,

cekung, bergerak naik-turun mengikuti irama respirasi dan berada pada

permukaan diagphragma yang memisahkan pulmo dexter dari lobus hepatis

dexter serta pulmo sinister dari lobus hepatis sinister, gaster dan lien.

Permukaan luar pulmo yang berhadapan langsung dengan os costalis

disebut facies costalis di mana terdapat lekukan-lekukan yang mengikuti jejak

iga, sementara facies mediastinalis merupakan permukaan profunda yang

berhubungan dengan organ-organ mediastinal. Terdapat pula tepi bawah

pulmo yang tipis dan tajam serta meluas ke sinus costophrenicus disebut

margo inferior, tepi depan pulmo yang juga menyelimuti sebagian dari

permukaan depan cor ialah margo anterior, sedangkan margo posterior


4

merupakan tepi belakang pulmo yang tebal dan tumpul serta lebih panjang

dan lurus daripada margo anterior.

Pulmo dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura yang terbagi menjadi

pleura viseralis yang langsung membungkus pulmo pada permukaan dalam

dan pleura parietalis yang melindungi pulmo dari facies costalis, serta di

antara keduanya terdapat cavum pleura yang berisi liquor intrapleura

berfungsi untuk melumasi permukaan pleura sewaktu mengikuti gerakan

respirasi. Selain itu, pulmo dexter terbagi atas tiga lobus, yaitu lobus superior,

lobus medius dan lobus inferior, sedangkan pulmo sinister tersusun atas

lobus superior dan lobus inferior. Lobus superior dan medius pulmo dexter

terpisah oleh fissura horizontalis serta pemisah antara lobus medius dan

inferior ialah fissura obliqua, sedangkan pulmo sinister hanya memiliki fissura

obliqua sebagai pemisah kedua lobusnya.

Selanjutnya lobus superior pulmo dexter terbagi lagi menjadi tiga segmen

yaitu apical, posterior dan anterior, untuk lobus medius terdiri atas segmen

lateral dan medial, sementara lobus inferior terbagi menjadi lima segmen

yaitu superior, basalis media, basalis lateralis (anterior dan posterior) dan

basalis posterior. Pada pulmo sinister, lobus superior seolah-olah terbagi

menjadi bagian atas dan lingulae, yang sebenarnya masih merupakan satu

kesatuan, yang mana bagian atas terdiri dari segmen apico-posterior

(gabungan) dan anterior, serta segmen superior dan inferior pada lingulae,

sehingga total segmen lobus superior pulmo sinister berjumlah lima.


5

Gambar 2. Pembagian segmen pulmo dan bronchus dexter et sinister

(Paulsen; Waschke. 2013)

Sama halnya dengan pulmo dexter, lobus inferior pulmo sinister juga terdiri

atas lima segmen yaitu superior, antero-basalis (menyatu), basalis lateralis

serta basalis posterior.


6

Demikian pula untuk pembagian bronchus, yang dimulai dari trachea,

dipercabangkan oleh carina/bifurcatio menjadi bronchus prinsipalis dexter et

sinister, kemudian terbagi lagi menjadi cabang-cabang yang lebih kecil

mengikuti pembagian segmen pulmones. Bronchus melanjutkan diri menjadi

bronchiolus, kemudian membentuk saluran bernama ductus alveolaris hingga

akhirnya udara memasuki alveoli yang membentuk suatu kantong disebut

saccus alveolaris.

Gambar 3. Bronchiolus, alveolus dan jaringan kapiler

(Paulsen; Waschke. 2013)

Setiap alveolus diselimuti oleh jaringan kapiler (arteriole & venula) yang

merupakan lokasi pertemuan sirkulasi vena dan arteri sekaligus proses difusi

di mana sebelumnya sirkulasi arteria pulmonalis membawa darah dengan

CO2 dari seluruh tubuh untuk ditukar dengan O 2 lalu dibawa oleh vena
7

pulmonalis menuju jantung, yang akhirnya dipompakan kembali untuk

memasok O2 pada setiap jaringan.

2. Fisiologi Paru

Udara masuk ke pulmo karena adanya selisih antara tekanan atmosfer

dan tekanan pulmo akibat kerja mekanik otot-otot pernapasan yang mengatur

gerakan naik-turun diagphragma dan costae. Musculi inspiratori antara lain

mm. intercostalis externus, mm. sternocleidomastoideus, mm. serratus

anterior dan mm. scalenus. Adapun musculi expiratori yakni mm. rectus

abdominis dan mm. intercostalis internus.

Agar inspirasi terjadi, tekanan pulmo harus lebih rendah (negatif) dari

pada tekanan atmosfer, sementara untuk ekspirasi harus sebaliknya (positif).

Gradien tekanan ini dibentuk saat volume paru yang meningkat (elevasi) saat

inspirasi dan menurun (depresi) pada ekspirasi, sesuai dengan hukum Boyle

bahwa “volume berbanding terbalik dengan tekanan”.

Proses difusi terjadi di mana gas melintasi membran alveolus yang tipis

(<0.5 um). Kekuatan pendorong pemindahan ini ialah selisih tekanan parsial

antara darah dan fase gas. Tekanan atmosfer berkisar 760 mmHg. Komposisi

udara bebas antara lain meliputi nitrogen (79%) dan oksigen (21%), sehingga

tekanan parsial nitrogen (pN2) sekitar 600 mmHg (79% dari 760 mmHg) dan

oksigen (pO2) ± 160 mmHg (21% dari 760 mmHg). Ketika udara atmosfer

sampai pada trachea, tekanan parsial oksigen berkurang menjadi ± 149

mmHg ((760-47) x 21%) karena dihangatkan dan dilembabkan oleh jalan


8

napas, yang mana tekanan uap air pada suhu tubuh adalah 47 mmHg. Saat

mencapai alveoli pO2 menurun lagi hingga ± 105 mmHg karena tercampur

dengan udara dalam ruang mati anatomi pada saluran napas. Difusi gas

melalui membran alveolikapiler, pO2 dalam darah vena campuran (pVO 2) di

kapiler pulmo berkisar 40 mmHg, yang menyebabkan oksigen mudah

berdifusi ke dalam aliran darah. Di sisi lain, tekanan parsial CO 2 (pCO2) pada

venula berkisar 45 mmHg, sementara pada alveolus ± 40 mmHg, kondisi ini

menyebabkan CO2 berdifusi ke dalam alveolus yang selanjutnya akan

dikeluarkan melalui ekspirasi. Meskipun selisih pCO 2 antara kapiler dan

alveolus bernilai kecil, pertukaran molekul gas ini memadai serta dapat

berdifusi sekitar dua puluh kali lebih cepat dibandingan O 2 karena daya

larutnya lebih besar.

Masih pada kapiler, O2 selanjutnya berpindah menuju arteriol, dengan

tekanan sebesar ± 100 mmHg dipompakan ke vena pulmonalis lalu ke

seluruh jaringan (sel) tubuh oleh jantung. Pada tingkat sel, tekanan parsial

oksigen berkisar 40 mmHg, sehingga darah yang kaya akan oksigen (HbO 2)

ini berdifusi lagi untuk memenuhi kebutuhan oksigen yang akan digunakan

saat proses metabolisme sel oleh mitochondria sebagai respirasi internal,

kemudian mengeluarkan CO2, di mana pCO2 dalam sitoplasma ± 45 mmHg

kemudian berdifusi ke dalam kapiler (arteriol) yang bertekanan lebih rendah

(pCO2 = ± 40 mmHg) lalu mengikuti arus ke venula dan dipompakan menuju


9

venae cavae superior et inferior memasuki jantung lalu ke pulmo, sebelum

akhirnya berdifusi ke dalam alveolus.

Gambar 4. Pertukaran O2 dan CO2 antara alveoli, kapiler dan sel

(Mullër. 2011)

Sejalan dengan proses respirasi, istilah fisiologis yang ikut terlibat yakni

volume dan kapasitas pernapasan, yang selanjutnya menjadi patokan

penilaian suatu abnormalitas fungsi pulmo, seperti yang ditunjukkan oleh

gambar 5 sebagai berikut.


10

Gambar 5. Volume & kapasitas respirasi

(Sherwood. 2013)

1. Tidal Volume (TV) : jumlah udara yang dihirup dan dihembuskan setiap

kali bernapas pada saat istirahat (± 500 ml).


2. Inspirasi Reserve Volume (IRV) : jumlah udara yang masih dapat dihirup

secara paksa setelah inspirasi volume tidal normal (± 3100 ml).


3. Inspiratory Capasity (IC) : jumlah udara maksimal yang dapat dihirup

setelah ekspirasi normal (IC = VT + IRV = ± 3600 ml).


4. Expiratory Reserve Volume (ERV) : jumlah udara yang masih dapat

dihembuskan secara paksa setelah ekspirasi volume tidal normal (± 1200

ml).
11

5. Vital Capasity (VC) : jumlah udara yang dapat dihembuskan secara

maksimal setelah inspirasi maksimal (VC = VT + IRV + ERV = ± 4800

ml).
6. Residual Volume (RV) : jumlah udara yang masih tertinggal dalam pulmo

setelah menghembuskan napas secara maksimal atau ekspirasi paksa (±

1500 ml).
7. Functional Residual Capasity (FRC) : jumlah udara yang tertinggal dalam

pulmo setelah ekspirasi volume tidal normal (FRC = ERV + RV = ± 2400

ml).
8. Total Lung Capasity (TLC) : total jumlah udara yang dapat dimasukkan

ke dalam pulmo setelah inspirasi secara maksimal (TLC = VT + IRV +

ERV + RV = ± 6000 ml).

C. Mekanisme Absorpsi Obat Inhalasi

Berdasarkan fisiologi pernapasan, dapat dicitrakan bagaimana obat

masuk dan bekerja pada paru-paru, yakni dengan perantara udara

pernapasan (mekanisme inspirasi dan ekspirasi) melalui saluran pernapasan,

kemudian menempel pada epitel selanjutnya diabsorpsi dan sampai pada

target organ bisa berupa pembuluh darah, kelenjar dan otot polos. Agar obat
12

dapat sampai pada saluran napas bagian distal dan mencapai target organ,

maka ukuran partikel obat harus disesuaikan dengan ukuran/diameter

saluran napas.

Meskipun saluran napas memiliki beberapa mekanisme antara lain

refleks batuk, bersin serta klirens mukosilier yang akan melindungi epitel

terhadap masuk dan mengendapnya partikel obat sehingga akan

mengeliminasi obat inhalasi, dengan memperhatikan metode untuk

menghasilkan aerosol serta cara penyampaian/delivery obat yang akan

mempengaruhi ukuran partikel yang dihasilkan dan jumlah obat yang

mencapai berbagai tempat di saluran napas maka diharapkan obat

terdeposisi secara efektif. Ukuran partikel akan mempengaruhi sampai

sejauh mana partikel menembus saluran napas. Partikel berukuran > 15 μm

tersaring oleh filtrasi rambut hidung sedangkan antara 10-15 μm akan

mengendap di hidung dan nasofaring. Partikel yang besar ini terutama

mengendap karena benturan inersial bila terdapat aliran udara yang cepat

disertai perubahan arah atau arus turbulen. Partikel berukuran 5-9 μm akan

dideposit di orofaring. Partikel berukuran 0,5-5 μm akan mengendap secara

sedimentasi karena gaya gravitasi dan gerak Brown lalu mencapai bronchioli

dan alveoli.

Obat yang diberikan secara inhalasi harus dapat mencapai tempat

kerjanya di dalam saluran pernapasan. Bentuk aerosol yang digunakan yaitu

suspensi partikel di dalam gas, dan partikel dalam aerosol yang mempunyai
13

ukuran berkisar atau 1-7 μm. Penelitian lainnya mendapatkan bahwa partikel

berukuran 1-8 μm mengalami benturan dan pengendapan di bronchi,

bronchioli dan alveoli.

D. Faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Obat Inhalasi

Beberapa hal yang mempengaruhi pengantaran aerosol pada anak

adalah sebagai berikut:

1. Struktur Anatomis

Saluran respiratori anak relatif lebih kecil daripada dewasa sehingga

aliran udara respirasi lebih rendah dan menyebabkan deposisi obat menurun.

2. Mekanisme Fisiologis

Pola pernapasan pada bayi dan anak mempengaruhi seberapa banyak

aerosol yang diinhalasi ke dalam paru, di mana pada bayi dan anak volume

tidal paru kecil sehingga mengurangi penghantaran partikel obat. Pada bayi

dan anak, aliran udara respirasi cepat sehingga menyebabkan obat

terdeposisi lebih proksimal pada saluran respiratori.

3. Kapabilitas

Kemampuan anak merupakan faktor yang sangat penting dalam

pengantaran partikel obat. Sebagian besar anak kecil berkemungkinan untuk

belum mengetahui atau belum kooperatif dalam melakukan manuver inhalasi

yang kompleks.
14

4. Iritabilitas

Pada bayi dan anak yang menangis akan menyebabkan masker wajah

yang menempel menjadi tidak efektif dan secara otomatis turut

mempengaruhi pola pernapasan yang mana saat menangis menjadi lebih

pendek dan cepat.

E. Kefektifan Terapi Inhalasi

Adapun terapi inhalasi yang ideal dan bersifat efektif untuk penyakit

saluran napas adalah:

1. Obat sampai pada organ target dengan menghasilkan partikel aerosol

berukuran optimal agar terdeposisi di paru.


2. Onset kerjanya cepat.
3. Dosis obat kecil.
4. Efek samping minimal, karena konsentrasi obat di dalam darah sedikit

atau rendah.
5. Mudah digunakan.
6. Efek terapeutik tercapai yang ditandai dengan tampaknya perbaikan

klinis.

F. Indikasi Terapi Inhalasi

Terapi inhalasi diperuntukan pada keadaan seperti serangan asma akut,

asma bronchial, sindroma obstruksi dan untuk mengeluarkan dahak/sputum

yang kental dan lengket.

G. Jenis Alat untuk Terapi Inhalasi


15

Terdapat beberapa hal yang harus didapatkan pada pemberian aerosol

agar menjadi pengobatan yang ideal, seperti alat yang sederhana, mudah

dibawa, harga terjangkau, obat yang dikeluarkan cukup, droplet yang

disalurkan berukuran kecil, waktu penggunaan singkat, secara selektif

mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di saluran

napas atas serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat, atau orang tua.

Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai dan masing-

masing jenis alat terapi inhalasi mempunyai beberapa keuntungan dan

kerugian. Oleh karena itu, saat ini sudah dikenal 3 sistem inhalasi yang

digunakan dalam klinik sehari-hari yaitu nebulizer, metered dosed inhaler

(MDI) dengan atau tanpa spacer/alat penyambung dan dry powder inhaler

(DPI).
16

Gambar 6. Hierarki pilihan terapi inhalasi berdasarkan tingkat kegawat-


daruratan

1. Nebulizer

Nebulizer adalah suatu alat yang dapat mengubah obat dengan bentuk

awal berupa larutan berubah menjadi aerosol yang dikeluarkan secara terus

menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau

gelombang ultrasonik. Efektifitas penggunaannya bergantung pada besarnya

partikel yang dihasilkan dan juga teknik pemakaiannya. Alat ini dapat

digunakan untuk terapi inhalasi saluran respiratori atas dan bawah.

a. Jenis Nebulizer

1) Ultrasonic Nebulizer

Alat ini merupakan sebuah nebulizer yang dapat menghasilkan aerosol

melalui osilasi frekuensi tinggi dari piezo-electric crystal yang berada dekat

larutan dan cairan memecah menjadi aerosol. Nebuliser jenis ini tidak

menimbulkan suara bising, sehingga hal ini merupakan kelebihan

dibandingkan dengan jenis nebulizer lainnya selain dapat terus menerus

mengubah larutan menjadi aerosol sedangkan kekurangannya adalah alat ini

mahal dan memerlukan biaya perawatan lebih besar.

2) Jet Nebulizer

Paling banyak digunakan karena relatif lebih murah daripada ultrasonic

nebuliser. Prinsip kerja alat ini adalah dengan gas jet berkecepatan tinggi
17

yang berasal dari udara yang dipadatkan dalam silinder kemudian ditiupkan

melalui lubang kecil sehingga akan dihasilkan tekanan negatif yang

selanjutnya akan memecah larutan menjadi bentuk aerosol yang akan

dihisap oleh pasien melalui mouth piece atau sungkup. Dengan mengisi

suatu tempat pada nebulizer sebanyak 4 ml maka dihasilkan partikel aerosol

berukuran < 5 φm, sebanyak 60-80% larutan nebulisasi akan terpakai dan

lama nebulisasi dapat dibatasi. Dengan cara yang optimal maka hanya 12%

larutan akan terdeposit di paru-paru.

Gambar 7. Ultrasonic nebulizer (kiri), jet nebulizer (tengah) dan nebulizer


mini-portable (kanan)

3) Nebulizer Mini-Portable

Bentuknya kecil, dapat dioperasikan dengan menggunakan baterai dan

tidak berisik sehingga nyaman digunakan.


18

Nebulizer terdiri dari beberapa bagian yang terpisah yang terdiri dari

generator aerosol, alat bantu inhalasi (sungkup, mouthpiece) dan obatnya

sendiri. Masker dan mouthpiece pada nebulizer memiliki beberapa ukuran

yang dapat disesuaikan untuk penggunaanya pada anak-anak atau orang

dewasa, sehingga diharapkan jika menggunakan masker atau mouthpiece

dengan ukuran yang tepat, larutan obat yang melalui nebulizer berubah

menjadi gas aerosol tersebut dapat dihirup/dihisap dengan baik dan

keberhasilan terapi yang didapatkan juga dirasakan optimal.

Gambar 8. Alat bantu inhalasi berupa sungkup dan mouthpiece

b. Kontraindikasi

Nebulizer tidak diperuntukan pada keadaan seperti:

1) Pasien yang tidak sadar, tidak akan kooperatif dengan prosedur ini.

2) Suara napas tidak ada/berkurang, kecuali jika medikasi nebulizer

diberikan melalui endotracheal tube yang menggunakan tekanan positif.


19

3) Penurunan pertukaran gas, medikasi akan bersifat kurang adekuat pada

saluran napas.

4) Pasien dengan hipertensi, takikardia, riwayat alergi, trakeostomi dan

fraktur di daerah hidung, maxilla, palatum oris.

c. Prosedur Pemakaian

1) Persiapan Pasien

Terdapat beberapa persiapan yang perlu dilakukan sebelum medikasi

diberikan kepada pasien, seperti memeriksa status respirasi meliputi suara

napas, frekuensi napas, denyut nadi dan saturasi oksigen. Jika terdapat

takikardi maka penggunaan terapi nebulizer mesti ditunda. Tempatkan pasien

pada posisi tegak (± 40-90º) yang memungkinkan anak melakukan ventilasi

dan pergerakan diafragma secara maksimal. Selanjutnya instruksikan pasien

untuk mengikuti prosedur dengan benar, seperti melakukan prosedur secara

perlahan, tarik napas dalam dan tahan napas saat inspirasi puncak untuk

beberapa saat. Pastikan bahwa anak paham/kooperatif dengan prosedur

yang akan dilaksanakan.

2) Tahapan Prosedur

a) Cuci tangan (tenaga medis) sebelum menyiapkan obat untuk penggunaan

nebulizer.

b) Membuka tutup tabung obat nebulizer, menentukan dosis obat dengan

benar, lalu dengan menambahkan larutan NaCl 0.9% sebanyak 1-1.5 ml.
20

c) Memasukkan campuran obat + NaCl 0.9% ke dalam tabung nebulizer.

d) Menghubungkan selang dari masker uap atau mouthpiece pada

kompresor nebulizer.

e) Mengenakan masker uap atau mouthpiece ke mulut, pastikan agar alat

bantu inhalasi terpasang dengan rapat.

f) Menekan tombol on.

g) Memberi instruksi untuk bernapas dengan tenang dan perlahan ketika

menghirup uap yang keluar dan uap dihirup sampai obat habis (± 10-15

menit), yang ditandai dengan hilangnya produksi uap.

h) Menekan tombol off.

i) Mengkaji kembali status respirasi (suara napas, frekuensi napas, denyut

nadi dan saturasi oksigen.

2. Metered Dose Inhaler (MDI)

Metered dose inhaler (MDI) atau inhaler dosis terukur merupakan cara

inhalasi yang bahan aktif obatnya disuspensikan dalam cairan pendorong

(propelan) sebanyak kurang lebih 10 ml. Jenis propelan yang digunakan

biasanya adalah kloroflurokarbon (chlorofluorocarbon = CFC) pada tekanan

tinggi. Namun oleh karena jenis ini dianggap dapat merusak lapisan ozon,

maka akhir-akhir ini mulai dikembangkan penggunaan bahan non-CFC yaitu

hidrofluroalkana (HFA). Propelan mempunyai tekanan uap tinggi sehingga di

dalam tabung (kanister) tetap berbentuk cairan. Bila kanister ditekan, aerosol
21

disemprotkan keluar dengan kecepatan tinggi yaitu 30 m/detik dalam bentuk

droplet dengan dosis tertentu melalui aktuator (lubang). Pada ujung aktuator

ukuran partikel berkisar 35 μm, pada jarak 10 cm dari kanister besarnya

menjadi 14 μm, dan setelah propelan mengalami evaporasi seluruhnya

ukuran partikel menjadi 2.8-4.3 μm.

Gambar 9. Metered Dose Inhaler (MDI)

Dalam penggunaannya alat ini memerlukan teknik inhalasi tertentu agar

sejumlah dosis obat mencapai saluran pernafasan. Apabila dilakukan dengan

teknik inhalasi yang benar maka 80% aerosol yang dihasilkan akan

mengendap di mulut dan orofarings oleh karena kecepatan yang tinggi dan

ukurannya besar, 10% tetap berada dalam aktuator, dan hanya sekitar 10%

aerosol yang disemprotkan akan sampai ke dalam paru-paru. Pada cara


22

inhalasi ini diperlukan koordinasi antara penekanan kanister dengan inspirasi

napas.

Untuk mendapatkan hasil optimal maka pemakaian inhaler ini hendaklah

dikerjakan sebagai berikut:

1. Terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu tutup

kanister dibuka.
2. Inhaler dipegang tegak kemudian pasien melakukan ekspirasi maksimal

secara perlahan.
3. Mulut kanister diletakkan diantara bibir, lalu bibir dirapatkan dan dilakukan

inspirasi perlahan sampai maksimal atau sedalam mungkin. Pada

pertengahan inspirasi kanister ditekan agar obat keluar.


4. Pasien menahan nafas 10 detik atau dengan menghitung 10 hitungan

pada inspirasi maksimal. Selanjutnya lakukan ekshalasi (ekspirasi) hingga

maksimal.
5. Setelah 30 detik atau 1 menit prosedur yang sama diulang kembali.
6. Setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk membersihkan residu

obat untuk mencegah kemungkinan efek samping.

Pada sebagian pasien langkah-langkah di atas sering tidak diikuti

sehingga pengobatan asma kurang efektif dan timbul efek samping yang

tidak diinginkan. Beberapa kesalahan yang sering dijumpai oleh para ahli

mengenai kesalahan penggunaan inhaler jenis ini adalah kurangnya

koordinasi pada saat menekan kanister dan saat menghisap, terlalu cepat

inspirasi, tidak berhenti sesaat setelah inspirasi, tidak mengocok kanister

sebelum digunakan dan terbalik pemakaiannya.


23

Kesalahan-kesalahan di atas umumnya dilakukan oleh anak yang lebih

muda, manula, wanita, dan penderita dengan sosial ekonomi dan pendidikan

yang rendah. Untuk membedakan zat aktif pada MDI, digunakan 2 warna,

yaitu biru untuk Salbutamol dan coklat untuk Beclomethasone.

a. MDI dengan Spacer/Alat Penyambung

Spacer merupakan suatu benda biasanya berbentuk tabung yang

digunakan sebagai alat penyambung pada pemakaian inhaler jenis ini.

Spacer ini berfungsi sebagai penambah jarak antara aktuator dengan mulut

sehingga kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang dan akan

dihasilkan partikel berukuran kecil yang berpenetrasi ke saluran pernafasan

perifer. Hal ini akan mengurangi pengendapan aerosol di dalam orofaring.

Tabung Spacer ini dapat mempunyai volume hingga 80 ml dengan

panjang sekitar 10- 20 cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume

700-1000 ml. Untuk bayi dianjurkan menggunakan spacer volume kecil

(babyhaler) agar aerosol yang dihasilkan lebih mampat sehingga lebih

banyak obat akan terinhalasi pada setiap inspirasi. Beberapa alat dilengkapi

dengan katup satu arah yang akan terbuka saat inhalasi dan akan menutup

pada saat ekshalasi misalnya Nebuhaler (Astra), Volumatic (A&H).

Pengendapan di orofaring akan berkurang yaitu sekitar 5% dosis yang

diberikan bila digunakan spacer dengan katup satu arah. Pada spacer tanpa

katup satu arah, pengendapan di orofaring sekitar 8-60% dosis. Dengan


24

penggunaan spacer, deposit pada paru akan meningkat menjadi 20%

dibandingkan tanpa spacer. Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan

pada anak karena pada anak koordinasinya belum baik. Dengan bantuan

spacer, koordinasi pada saat menekan kanister dengan saat penghisapan

dapat dikurangi atau bahkan tidak memerlukan koordinasi. Apabila spacer ini

tidak tersedia maka sebagai penggantinya bisa digunakan spacer sederhana

yang murah dan mudah dibuat yaitu dari plastic coffee cup yang dilubangi

dasarnya untuk tempat aerosol. Namun alat ini sudah terbukti bermanfaat

hanya untuk bronkodilator dan belum dibuktikan berguna untuk natrium

kromoglikat dan steroid.

b. Easyhaler

Merupakan suatu inhaler yang terdiri dari plastik dan cincin stainless steel

yang mengandung serbuk dengan multidosis (sekurang-kurangnya 200

dosis) yang digunakan sebagai alternatif terapi inhalasi selain MDI. Pada

inhaler ini, masing-masing dosis obat dihitung secara akurat dengan cara

menekan puncak alat (overcap) yang akan memutari silinder (metering

cylindric) pada bagian bawah alat tersebut. Cekungan dosis berisi sejumlah

obat berhubungan langsung dengan mouth piece. Saluran udara ke arah

mouthpiece ini berbentuk corong dengan tujuan agar obat di saluran napas

dapat terdeposisi secara baik. Selain itu kita juga dapat menemukan takaran

dosis pada alat ini yang berguna untuk memberi informasi kepada pasien
25

mengenai sisa dosis obat. Pelindung penutup berguna untuk mencegah

kelembaban. Partikel obat yang halus (<10 μm) sulit untuk melayang jauh

dan cenderung untuk menggumpal, oleh karena itu zat aktif tersebut

dicampur dengan sejumlah kecil laktosa yang berperan sebagai pembawa.

Pada easyhaler ukuran partikel laktosa cukup besar untuk deposit di saluran

napas bawah sehingga diharapkan akan jatuh di orofaring. Keadaan ini

mempunyai keuntungan untuk memberitahukan pada penderita bahwa

obatnya benar terhisap dengan rasa manis di mulut. Contoh merek dagang

jenis inhalasi ini antara lain Buventol easyhaler (Salbutamol).

c. Turbuhaler

Digunakan dengan cara menghisap, dosis obat ke dalam mulut,

kemudian diteruskan ke paruparu. Pasien tidak akan mendapat kesulitan

dengan menggunakan turbuhaler karena tidak perlu menyemprotkan obat

terlebih dahulu. Satu produk turbuhaler mengandung 60-200 dosis. Ada

indicator dosis yang akan memberitahu anda jika obat hampir habis. Contoh

produk: Bricasma, Pulmicort, Symbicort.

d. Rotahaler

Digunakan dengan cara yang mirip dengan turbuhaler. Perbedaan setiap

kali akan menghisap obat, rotahaler harus didiisi dulu dengan obat yang
26

berbentuk kapsul/rotacap. Jadi rotahaler hanya berisi satu dosis, rotahaler

sangat cocok untuk anak-anak dan usia lanjut. Contoh produk: Ventolin

Rotacap.

3. Dry Powder Inhaler (DPI)

Sebenarnya inhaler jenis ini sudah dikenal sejak beberapa dekade

sebelumnya walapun dengan tujuan yang berbeda. Pada tahun 1957 Dry

Powder Inhaler digunakan untuk delivery serbuk antibiotik. Dalam

perkembangannya banyak penelitian uji klinis yang menunjukkan bahwa DPI

bisa digunakan untuk pengobatan asma anak. Pada tahun 1970, dibuat

inhaler spinhaler dan rotahaler yang hanya memuat serbuk kering dosis

tunggal, dan akhir tahun 1980 diperkenalkan inhaler yang memuat multiple

dosis yaitu yang dikenal dengan diskhaler (8 dosis) dan turbuhaler. Akhir

akhir ini, telah diperkenalkan diskhaler (di Inggris dikenal dengan accuhaler)

yang dapat memuat dosis yang lebih banyak (± 60 dosis) untuk pemberian

terapi selama 1 bulan. Inhaler jenis ini tidak mengandung propelan sehingga

mempunyai kelebihan dari MDI.


27

Gambar 10. Dry Powder Inhaler (DPI)


Penggunaan obat serbuk kering pada DPI memerlukan inspirasi yang

cukup kuat. Pada anak yang kecil hal ini sulit dilakukan mengingat inspirasi

kuat belum dapat dilakukan, sehingga deposisi obat pada saluran pernafasan

berkurang. Pada anak yang lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat

lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan dengan

MDI. Dengan cara ini deposisi obat di dalam paru lebih tinggi dan lebih

konstan dibandingkan MDI sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5

tahun. Cara DPI ini tidak memerlukan spacer sebagai alat bantu sehingga

mudah dibawa dan dimasukkan ke dalam saku. Hal ini yang juga

memudahkan pasien dan lebih praktis.

H. Jenis Obat untuk Terapi Inhalasi

Berbagai jenis golongan obat untuk terapi inhalasi antara lain β2 – agonis,

antikolinergik/antimuskarinik dan kortikosteroid.

1. β2 – Agonis

Mekanisme kerja dari obat jenis ini ialah relaksasi otot polos saluran

napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas

pembuluh darah, memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan terutama

sebagai bronchodilator. Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular,

tremor otot rangka, hipokalemia dan menimbulkan gejala ansietas pada

penggunaan jangka panjang. β2 – agonis terbagi menjadi SABA (Short Acting


28

β2 – Agonist) dan LABA (Long Acting β2 – Agonist). Yang termasuk dalam

golongan SABA adalah Salbutamol, Terbutaline dan Fenoterol, memiliki onset

yang cepat, yakni antara 4-6 jam. Yang termasuk dalam golongan LABA

adalah Formoterol, Arformoterol dan Salmeterol, onset kerjanya panjang,

yakni lebih dari 12 jam.

Untuk nebulisasi, dosis awal Salbutamol (Nebule 2.5 mg/ 2.5 ml) ialah 2.5

mg, dapat diulang hingga 4x/hari. Pemberian Terbutaline (Respule 2.5 mg)

dapat diulang 2-4x/hari, dengan dosis untuk anak berat badan > 25 kg ialah 5

mg dan untuk yang < 25 kg sebanyak 2-4 mg. Fenoterol solution 0.1% (1

mg/ml) diberikan sebanyak 0.5-2 ml pada anak usia > 12 tahun dengan

pengulangan hingga 4x bila perlu, untuk anak usia 6-12 tahun sebanyak

0.25-1.5 ml juga bila perlu dengan pengulangan 4x, sementara untuk anak

usia < 6 tahun pemberiannya sebanyak 50 mcg/kgBB/dosis dengan

pengulangan hingga 3x, bila perlu.

Secara dosis terukur (MDI), pemberian Salbutamol (100; 200 MDI)

sebanyak 1x semprot dengan pengulangan hingga 3x/hari. Pemberian

Fenoterol (100-200 MDI) sebanyak 1x semprot, dapat diulang hingga 3x/hari

bila perlu.

Untuk Terbutaline serbuk (400; 500 DPI) diberikan sebanyak 1 kali

hisapan dengan pengulangan hingga 4x, begitu juga Salbutamol serbuk (100;

200 DPI).
29

2. Antikolinergik/Antimuskarinik

Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan asetilkolin dari saraf

kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan

menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat

refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak

seefektif agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60

menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi

tipe cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap

inflamasi. Pada pemakaian jangka panjang, efek samping dari obat ini ialah

gangguan keseimbangan, sakit kepala, mukosa kering, berdebar serta

gangguan miksi dan defekasi.

Sama halnya dengan β2 – agonis, antikolinergik juga terbagi menurut

onset kerjanya. Yang termasuk dalam kerja singkat (short acting) ialah

Ipratropium Bromide dan Oxitropium Bromide dengan onset 6-9 jam.

Sedangkan yang termasuk dalam kerja panjang (long acting) ialah Tiotropium

dengan onset lebih dari 24 jam.

Untuk nebulisasi, dosis awal Ipratropium Bromide solution 0.025% (0.25

mg/ml) ialah 0.4-2 ml sebanyak 3-4x/hari pada usia ≥ 14 tahun, dan untuk

usia 6-14 tahun diberikan 0.4-1 ml, juga sebanyak 3-4x/hari. Secara dosis

terukur, Ipratropium Bromide (20; 40 MDI) diberikan pada anak usia s/d 6

tahun sebanyak 1x semprot (20 mcg) dengan pengulangan hingga 3x,


30

sementara untuk usia 7-12 tahun diberikan 1x semprot (20 atau 40 mcg) juga

dengan pengulangan hingga 3x.

3. Kortikosteroid

Obat ini bekerja dengan memblok enzim α2 – phospholipase sehingga

menghambat pembentukan mediator peradangan seperti prostaglandin dan

leukotriene. Selain itu juga berfungsi mengurangi sekresi mucus.

Kortikosteroid tidak dapat merelaksasi otot polos jalan napas secara

langsung tetapi dengan jalan mengurangi reaktifitas otot polos di sekitar

saluran napas dan meningkatkan sirkulasi jalan napas. Efek samping

kortikosteroid inhalasi ialah suara serak, kandidiasis orofaring,

bronchospasme paradoksikal, supresi adrenal, osteoporosis, katarak,

glaukoma, ansietas, depresi, gangguan perilaku dan tidur pada penggunaan

jangka panjang. Yang termasuk dalam golongan ini ialah Beclomethasone,

Budesonide, Fluticasone dan Triamcinolone.

Untuk nebulisasi, dosis awal Budesonide (Respule 0.25 mg/ml (2 ml))

untuk usia ≥ 12 tahun ialah 1-2 mg dua kali sehari, sementara untuk usia 3

bulan-12 tahun diberikan 0.5-1 mg dua kali sehari. Untuk dosis rumatan, usia

≥ 12 tahun ialah 0.5-1 mg dua kali sehari, sementara untuk usia 3 bulan-12

tahun diberikan 0.25-0.5 mg dua kali sehari. Pemberian Fluticasone (Nebule

0.5 mg/2 ml) pada anak usia 4-16 tahun ialah 1000 mcg dua kali sehari,

sementara anak usia > 16 tahun diberi 500-2000 mcg dua kali sehari.
31

Dosis awal Budesonide serbuk (200 DPI) ialah 200-2000 mcg/hari yang

dibagi dalam 2-4 dosis, sementara dosis rumatannya ialah 200-400 mcg

diberikan 2x/hari.

I. Kelebihan dan Kekurangan Alat Terapi Inhalasi

DAFTAR PUSTAKA
32

1. Kartasasmita CB, Darfioes B, Rahajoe N, Setyanto DB, Setiawati L, et al.

Tuberkulosis. In: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, Kartasasmita

CB, Basir D, Dadiyanto DW, et al eds. Buku Ajar Respirologi Anak. 1 th ed.

Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015. p. 162-227.

2. Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW, Schor NF. Nelson Textbook of

Pediatrics. 20th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016.p.1606-8.

3. Garna H, Nataprawira HM. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu

Kesehatan Anak. 5th ed. Bandung: Departemen SMF Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin;

2014. p.928-31.

4. González JCF, Morillo MAM, Campoy PR, Guerrero JJP, Moyano BS,

Vazquez PC, et al. Epinephrine Improves the Efficacy of Nebulized

Hypertonic Saline in Moderate Bronchiolitis: A Randomised Clinical Trial.

PLoS ONE; 2015: 10(11): e0142847.

5. Baraldi E, Lanar M, Manzoni P, Rossi GA, Vandini S, Rimini A. Intersociety

Consensus Document on Treatment and Prevention of Bronchiolitis in

Newborns and Infants. Italian Journal of Pediatrics; 2014: 40:65.

6. American Academy of Pediatrics. Clinical Practice Guideline: The

Diagnosis, Management, and Prevention of Bronchiolitis. Pediatrics; 2014:

134: e1474–e1502.
33

7. Maguire C, Cantrill H, Hind D, Bradburn M, Everard ML. Hypertonic saline

(HS) for acute bronchiolitis: Systematic review and meta-analysis. BMC

Pulmonary Medicine; 2015: 15:148.

8. Gray, H. 1918. The Lungs (Pulmones). Gray’s Anatomy: Anatomy of The

Human Body in Bartleby.com (Online). Diakses pada tanggal 28 Juni 2018

dari https://www.bartleby.com/107/240.html.

9. Paulsen, F; Waschke, J. 2013. Viscera Thorax. Sobotta: Atlas Anatomi

Manusia, Organ-organ Dalam. Edisi 23 Jilid 2. Jakarta: EGC. Hal. 28-41.

10. Sherwood, L. 2013. Sistem Pernapasan. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke

Sistem. Edisi Ke-enam. Jakarta: EGC. Hal 496-551.

11. Rumende, C, Kamelia, T. 2013. Pemeriksaan Fisis Dada dan Sistem

Respirasi. Panduan Sistematis Untuk Diagnosis Fisis: Anamnesis dan

Pemeriksaan Fisis Komprehensif. Edisi Ke-Tiga. Jakarta: Interna

Publishing. Hal 125-156.

Anda mungkin juga menyukai