Anda di halaman 1dari 11

Perlakuan Perpajakan Terhadap Prakter Transfer Pricing di Indonesia

Gilbert Ratuela, Indra R Balak, Evangline Makarawung, Meifa Punu, Daniela Mandang,
Cynthia Mose

Abstrak
Salah satu tujuan pengusaha adalah memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham atau
investor, dengan cara memaksimalkan niliai perusahaan dengan cara memperoleh laba maksimal.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pengusaha adalah dengan meminimalkan beban
pajak dalam batas yang tidak melanggar aturan. Namun pada praktiknya perusahaan senantiasa
berusaha menghindari beban pajak dalam berbgai bentuk dan manifetsinya salah satu yang sering
dilakukan dengan melakukan transfer pricing dimana perhitungan harga, imbalan, atau
persyaratan dagang, pembiayaan, dan pelaksanan bisnis antar mereka ditentukan berdasarkan
kebijakan harga transfer (transfer pricing ).Dengan perkembangan dunia usaha yang demikian
cepat dan sering kali bersifat transactional, diperkenalkannya produk dan metode usaha baru
maka bentuk dan variasi transfer pricing dapat tidak terbatas. berdasarkan latar belakang
peneltian ini, maka peneliti mencoba untuk memberikan beberapa contoh variasi dari transfer
pricing yang mungkin terjadi dalam perusahaan dan bagaimana peran dan kendala dari
Direktorat Jenderal Pajak di Indonesia untuk meminimalisir praktek transfer pricing.
Salah satu pemicu dan peluang transfer pricing terjadi diperusahaan karena adanya hubungan
istimewa, baik cakupan domestic maupun internasional.
pasal 18 ayat 4 Undang Undang No. 36 Tahun 2008 Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun
1983 Tentang Pajak Penghasilan mengatur hubungan istimewa yang dianggap memiliki
hubungan istimewa.
Adanya pemeriksaan SPT Toyota Motors Manufacturing Indonesia dimana petugas pajak
menyimpulkan penyebab turunnya gross margin adalah adanya transfer pricing dengan harga di
luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha serta pembayaran royalty yang dinilai tak wajar.
Dengan regulasi mengenai transfer pricing yang berlaku di Indonesia Direktorat Jenderal Pajak
masih mengalami kendala, yaitu masih ada aturan kerahasaiaan perusahaan menyulitkan
Direktorat Jenderal mencari pembanding untuk menetukan wajarnya nilai suatu transaksi dan
kendala cros border transfer pricing dimana penerapan regulasi dan praktik transfer pricing di
Indonesia masih menimbukan kasus dan sengketa antara aparat pajak dan Wajib Pajak terkait
dengan pengenaan pajak berganda, penghindaran pajak atau pengelakan pajak melalui praktik
transfer pricing.

Kata kunci : Penghindaran Pajak, Transfer Pricing, Regulasi Transfer Pricing di Indonesia
LATAR BELAKANG

Dalam menyesuaikan dan mengikuti perkembangan di era global, setiap Negara dituntut
untuk mengembangkan perekonomian dalam hal memajukan Negara yang nantinya akan berguna
dalam mensejahterakan rakyatnya. Salah satu caranya yaitu melalui pembangunan. Bagi
pemerintahan Indonesia, tujuan pembangunan adalah tercapainya tujuan nasional seperti yang
tercantum pada pembukaan undang-undang dasar 1945. Dalam upaya mewujudkan tujuan
nasional itu, bangsa Indonesia giat melaksanakan pembangunan disegala bidang”

Pembangunan dilaksanakan melalui rangkaian investasi yang hanya dapat dilaksanakan


dengan dukungan dana yang besar. Dana pembangunan itu dapat diperoleh dari berbagai sumber,
pemerintah dan swasta, baik dalam negeri maupun dari mancanegara. Salah satu sumber berasal
dari pajak. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan Negara yang sangat penting bagi
pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Di Indonesia pajak merupakan salah satu aspek terbesar dalam pendapatan negara, dan
pemerintah sangat mengharapkan pembayaran pajak yang besar atau terus meningkat setiap
tahunnya dari perusahaan / wajib pajak, namun pada kenyataannya banyak perusahaan
khususnya perusahaan besar yang memahami sistem dalam pelaporan pajak mengharapkan laba
perusahaan yang besar namun ingin membayar pajak dengan jumlah yang sama dengan tahun
sebelumnya atau kurang dari yang seharusnya dibayar. Dilihat dari sudut pandang pemerintah ,
jika pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak lebih kecil dari yang seharusnya mereka dibayar,
maka pendapatan Negara dari sector pajak akan berkurang. Sebaliknya dari sisi pengusaha atau
wajib pajak, jika pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah yang semestinya, akan
mengakibatkan kerugian.

Salah satu tujuan pengusaha adalah memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham atau
investor, dengan cara memaksimalkan niliai perusahaan dengan cara memperoleh laba maksimal.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pengusaha adalah dengan meminimalkan beban
pajak dalam batas yang tidak melanggar aturan. Namun pada praktiknya perusahaan senantiasa
berusaha menghindari beban pajak dalam berbgai bentuk dan manifetsinya salah satu yang sering
dilakukan dengan melakukan transfer pricing dimana perhitungan harga, imbalan, atau
persyaratan dagang, pembiayaan, dan pelaksanan bisnis antar mereka ditentukan berdasarkan
kebijakan harga transfer (transfer pricing ).

Rumusan Masalah

1. Apa saja praktek variasi dari transfer pricing yang mungkin terjadi di perusahaan?
2. Bagaimana peran dari perpajakan Indonesia dalam menyikapi terjadinya praktek
transfer pricing?
3. Bagaimana kendala yang dihadapi Indonesia dalam meminimalisir praktek transfer
pricing?
Metode penelitian

Metode Penelitian yaitu Deskriptif Analisis. Adapun kendala / batasan masalah yaitu
tidak dilakukan penelitian langsung pada perusahaan, dan ruang lingkup yang masih terbatas.

Dari Makalah ini :

1. Peneliti mencoba memberikan contoh kasus transfer pricing dan peran perpajakan
Indonesia di berdasarkan UU perpajakan yang ada. Menambah wawasan bagi pihak
pembaca.
2. Peneliti menyajikan penelitian terdahulu mengenai kasus transfer pricing yang terjadi di
Indonesia juga penelitian mengenai regulasi transfer pricing diindonesia dan negara maju
3. Berdasarkan penelitian terdahulu, Peneliti mencoba menyajikan kendala yang dihadapi
Indonesia dalam menyikapi prakter transfer pricing di Indonesia.

Diharapkan Makalah ini dapat menambah wawasan bagi pihak pembaca, dan berguna
untuk literature studi lanjut.

PEMBAHASAN

Hubungan Istimewa

Salah satu pemicu dan peluang transfer pricing terjadi diperusahaan karena adanya
hubungan istimewa, baik cakupan domestic maupun internasional. Untuk lebih mendefinisikan
mengenai hubungan istimewa, pasal 18 ayat 4 Undang Undang No. 36 Tahun 2008 Perubahan
Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan mengatur hubungan istimewa
yang dianggap memiliki hubungan istimewa apabila :

1. wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% pada wajib pajak lain, atau hubungan antara wajib pajak dengan
penyertaann paling rendah 25% pada dua wajib pajak atau lebih, demikian pula
hubungan antara dua wajib pajak atau lebih yang disebut terakhir.
2. hubungan istimewa seperti dimaksud diatas dapat mempengaruhi harga, yaitu adanya
kemungkinan harga ditekan lebih rendah dari harga pasar. dalam hal demikian maka
yang menjadi Dasar pengenaan pajak adalah harga pasar yang berlaku dipasar besar.

Kewenangan Direktur Jenderal Pajak

Kekurangwajaran dalam transfer pricing dapat terjadi pada:

1. Harga penjualan
2. Harga pembelian
3. Alokasi biaya administrasi dan umum
4. Pembebanan bunga ats pemberian pinjaman oleh pemegang saham
5. Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen,
imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya
6. Manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainya.
7. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham atau pihak yang mempunyai hubungan
istimewa yang lebih rendah dari harga pasar

Untuk mengatasi praktik yang tak lazim dari pihak yang memiliki hubungan istimewa, Undang-
undang Pajak Penghasilan membuat aturan:

1. Pasal 18 ayat (3) UU PPh No.7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir kali dengan UU
No.36 Tahun 2008, menegaskan bahwa:
Dirjen Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan wajib pajak dan bekerja sama
dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentkan harg transaksi antar pihak-
pihak yang mempunyai hubngan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(4), yang belaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta
melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir
2. Pasal 18 ayat (3a) UU PPh No.7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir kali dengan UU
No.36 Tahun 2008
Dirjen Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
3. Pasal 20 Peraturan Dirjen Pajak No. PER 32/PJ./2011 yang mengatur secara khusus
tentang kewenangan dirjen pajak, sebagai berikut
a. Dirjen berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada transaksi yang dilakukan antara pihak
-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
b. kewenangan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan apabila wajib pajak telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
dalam transaksi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa.
c. perhitungan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan memprtimbangkan metode dan dokumen penentu harga
wajar atau laba wajar yang diterapkan oleh wajib pajak.
d. dalah hal wajib pajak tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai dan atau
menunjukan dokumen pendukung penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha,
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak ini, Direktur Jenderal
Pajak berwenang menetapkan harga wajar atau laba wajar, berdasarkan data atau
dokumen lain dan metode penetuan harga wajar atau laba wajar yang dinilai tepat oleh
direktorat jenderal pajak, sesuai dengan kewenangan berdasarkan pasal 13 ayat 1 Undang
-undang KUP.

Wewenang Dirjen Pajak tersebut telah didelegasikan ke Pemeriksa Pajak, yang dikenal dengan
koreksi transfer pricing yang pelaksanaannya diatur dalam Surat Edaran Direjen Pajak
No.04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing. Untuk
memudahkan dalam menangani kasus-kasus transfer pricing, dibawah ini disampaikan beberapa
contoh dari kasus yang dimaksud dengan perlakuan perpajakanya.

Contoh kasus transfer pricing dan perlakuan Dirjen Pajak

1. Kekurang wajaran harga penjualan : PT.A memiliki 25% saham PT.B atas penyerahan
barang PT.A ke PT.B. PT.A membebankan harga jual Rp.160 per unit, berbeda dengan
harga untuk barang yang sama diperhitungkan atas penyerahan barang kepada PT.X
(tidak ada hubungan istimewa, yaitu Rp.200 per unit
Perlakuan Perpajakan: Dalam contoh dapat dilihat bahwa harga pasar sebanding atas
harga barang yang sama adalah yang dijual kepada PT.X yang tidak ada hubungan
istimewa. Dengan demikian harga wajar dari barang tersebut adalah Rp.200 per unit.
Harga dari penjualan kepada PT.X dipakai sebagai dasar untuk menhitung penghasilaan
dan pengenaan pajak. Jika PT.A merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka ia haru
smenyetor kekurangan PPN tersebut. Atas kekuranaga tersebut, akan diterbitkan SKP dan
PT.A tidak boleh menerbitkan faktur pajak atas kekurangan tersebut, sehingga tidak bisa
menjadi kredit pajak bagi PT.B

2. Kekurang wajaran harga pembelian : H.Ltd Hongkong memiliki 25% saham PT B. PT B


Mengimpor barang produksi H Ltd. dengan harga Rp. 3.000 per unit. produk tersebut
dijual kembali kepada PT Y (tidak ada hubungan istimewa) dengan harga Rp. 3.500 per
unit.
Perlakuan perpajakan : Pada contoh tersebut diatas, pertama-tama dicari harga pasar
sebanding untuk barang harga yang sama, sejenis, atau serupa atas belian atau impor dari
pihak yang tidak ada hubungan istimewa. Apabila ditemui kesulitan, maka pendekatan
harga jual minus dapat diterapkan, yaitu dengan mengurangi laba kotor (mark up) yang
wajar ditambah biaya lainya yang dikeluarkan wajib pajak dari harga jual barang kepada
pihak yang tidak ada hubungan istimewa. Apabila wajar yang diperoleh adalah Rp 750,
maka harga yang wajar untuk perpajakan atas pembelian barang dari H. Ltd di Hongkong
adalah Rp. 2.750 (Rp. 3.500 –7.500) harga ini merupakan dasar perhitungan harga pokok
PT B dan selisih Rp. 250 antara pembayaran utang ke H Ltd dihonglong dengan harga
pokok yang seharusnya diperhitungkan sebagai pembayaran deviden terselubung.

3. Keurangwajaran alokasi biaya administrasi dan umum : Pusat perusahaan diluar negeri
dari BUT di Indonesia sering mengalokasikan biaya administrasi dan umum kepada BUT
tersebut. biaya yang dialokasikan tersebut antara lain adalah : biaya training karyawan
BUT di Indonesia yang diselenggarakan kantor pusat di luar negeri, biaya perjalanan
dinas direksi kantor pusat ke masing-masing BUT, biaya administrasi dan manajemen
lainya dari kantor pusat yang merupakan biaya penyelenggaraan perusahaan, biaya riset
dan pengembangan yang dkeluarkan kantor pusat.
Perlakuan Perpajakan di Indonesia
a. Alokasi biaya tersebut di atas diperbolehkan sepanjang sebanding dengan manfaat
yang diperoleh oleh masing-masing BUT dan bukan merupakan duplikasi biaya
b. biaya kantor pusat yag boleh dialokasikan kepada BUT tidak termasuk bunga atas
penggunaan dana kantor pusat, kecuali untuk jenis usaha perbankan, dan royalty
atau sewa atas harta kantor pusat.
c. dalam hal berlaku perjanjian penghindaran pajak berganda maka pengalokasian
biaya kantor pusat kepada BUT, adalah seperti yang diatur dalam perjanjan
tersebut.
d. kewajaran biaya training di atas dapat diuji dengan membandingkan jumlah biaya
training yang sama atau sejenis, yang diselenggarakan oleh pihak-pihak yang
tidak mempunyai hubungan istimewa.
e. untuk biaya lainya, maka besarnya biaya yang dapat dialokasikan dihitung
berdasar faktor-faktor tertentu yang dapat mencerminkan dengan baik proporsi
manfaat yang diterimanya,

4. Kekurangwajaran pembebanan bunga atas pemberian pijaman oleh pemegang saham.


H Ltd. di hongkong memiliki 80% saham PT C dengan modal yang belum disetor
sebesar Rp 200 juta. H Ltd. Juga memberikan pinjaman sebesar Rp. 500 juta dengan
bunga 25% atau Rp 125 juta setahun. tingkat bunga setempat yang berlaku adalah 20%
Perlakuan perpajakan : Penentuan kembali jumlah utang PT C. Pinjaman sebesarRp 200
juta diaggap sebagai penyetoran modal terselubung. sehingga besarnya utang PT C yang
diakui adalah sebesar Rp 300 juta (500 juta –300 juta), Perhitungan pajak penghasilan.
bagi PT C pengurangan biaya bunga yang dapat dibebankan adalah sebesar Rp 60 juta
(20% x Rp. 300 juta) yang berarti koreksi positif penghasilan kena pajak. selisih Rp. 65
juta (Rp 125 juta –Rp 60 juta) dianggap sebagai pembayaran dividen ke luar negeri yang
dikenakan pajak penghasilan pasal 26 sebesar 20% atau dengan tariff sesuai dengan
perjanjian penghindaran pajak berganda.

5. Kekurangwajaran pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalty, imbalan atas jasa
manajemen, imbalan atas jasa teknik, dan imbalan jasa lainya.
PT A, perusahaan computer, memberikan lisensi kepada PT X (tidak ada hubungan
istimewa) sebagai distributor tunggal di negara x untuk memasarkan program
komputernya dengan membayar royalty 20% dari penjualan bersih. selain itu PT A juga
memasarkan program komputernya melalui PT B di negara B (ada hubunfan istimewa)
sebagai distributor tunggal dan membayar royalty 15% dari penjualan bersih.
Perlakuan perpajakan : Oleh karena program computer yang dipasarkan PT B sama
dengan yang dipasarkan PT X, atas dasar matching transaction method, untuk tujuan
perpajakan maka royalty di PT B juga harus 20%. kalau kondisi yang sama tidak
diperoleh maka perlu diadakan penyesuaian. pendekatan demikian disebut comparable
adjustable method. contoh tersebut dapat juga digunakan untuk mengujikewajaran
franchise atau imbalan lain yang serupa dengan itu.

6. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham atau oleh pihak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar.
A adalah pemegang saham 50% saham PT B. Harta perusahaan PT B berupa kendaraan,
yang dibeli A denga harga Rp 10 juta. nilai buku kendaraan tersebut adalah Rp 10 Juta.
Harga pasaran kendaraan sejenis dalam keadaan yang sama adalah Rp. 30 Juta.
Perlakuan perpajakan : Oleh karena harga pasar yang sebanding untuk kendaraan tersebut
adalah Rp 30 juta, maka penghasilan kena pajak PT B dikoreksi positif sebesar Rp 20
juta (30 juta –10 juta ). sedangkan bagi A selisih harga Rp 20 juta merupakan
penghasilan berupa devidenyang oleh PT B harus dipotong PPh pasal 23 sebesar 15%

7. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang tidak substansi usaha.
PT I Indonesia mempunyai hubungan istimewa dengan H Ltd. Hongkong, keduanay
adalah anak perusahaan K di korea. dalam usahanya, PT I mengekspor barang langsung
dikirim ke X di Amerika Serikat atas permintaan H Ltd. Hongkong. Harga pokok barang
tersebut adalah Rp 100. PT I Indonesia selalu menagih H Ltd. sebesar Rp 110. sedang H
Ltd Hongkong menagih X di Amerika Serikat. Informasi yang diperoleh dari Amerika
Serikat menunjukan baahwa X membeli barang dengan harga Rp 175. keterangan lebih
lanjut menunjukan bahwa H Ltd, Hongkong hanya berupa Letter Box Company
(Reinvoicing center), tanpa subtansi bisnis.
Perlakuan perpajakanya : oleh Karen atarif pajak perseroan di Hongkong lebih rendah
dari Indonesia, maka terdapat petunjuk adanya usaha wajib pajak untuk mengalihkan laba
kena pajak dari Indonesia ke hongkong agar diperoleh penghematan pajak. dengan
memperhatikan fungsi (subtansi bisnis) dari H Ltd, Maka oerantara transaksi demikian
dianggap tidak ada, sehingga harga jual PT I dikoreksi sebesar Rp 65 (Rp 175 0 Rp 110 ).
Kalau fungsi H Ltd aalah agen yang pada umumnya mrndapat laba kotor 10%, msks
perhitungan pajak penghasilan laba sebesar Rp 75 dialokasikan sebagai berikut :
- untuk H Ltd. = Rp 17,50 (10% X Rp 175)
- untuk PT I = Rp 57,50 (Rp 75 –Rp17,50)
harga jual oleh PT I yang wajar adalah Rp 157.50 (Rp 175- Rp 17,50)

Kasus PT Toyota Motor Manufacturing


Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia mulai tercium karena wajib pajak
melakukan permohonan pengembalian pajak restitusi untuk tahun pajak 2005, 2007 dan 2008.
Atas permohonan restitusi tersebut DJP melakukan pemeriksaan pajak terhadap SPT Toyota pada
tahun pajak 2005. Petugas pajak menemukan sejumlah kejanggalan. Pada tahun 2004 laba bruto
turun lebih dari 30% dari Rp 1,5 triliun (2003) menjadi Rp 950 miliar. Selain itu rasio gross
margin (perbandingan laba koto dengan tingkat penjualan) juga mengalami penurunan dari
sebelumnya 14,59% pada tahun 2003 menjadi hanya 6,58% pada tahun 2004. Sebelum
restruktuturisasi, gross margin PT Toyota Astra Motor mengalami peningkatan 11% hingga 14%
per tahun. Namun setelah dilakukan restrukturisasi, Gross Margin PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia hanya sekitar 1,8 hingga 3% per tahun. Sementara di PT Toyota Astra
Motor (perusahaan agen tunggal pemegang merek yang didirikan setelah restrukturisasi) gross
profit mencapai 3,8% hingga 5%. Jika gross margin PT Toyota Astra Motor digabung dengan PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia persentasinya masih sebesar 7%. Hal ini beratri margin
laba sebelum pajak setelah restrukturisasi lebih rendah 7% dibandingkan dengan margin laba
kotor sebelum restrukturisasi yang mencapai 14%. Berdasarkan hasil pemeriksaan pajak SPT
Toyota, petugas pajak menyimpulkan penyebab turunnya gross margin adalah adanya transfer
pricing dengan harga di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha serta pembayaran royalty
yang dinilai tak wajar.
Temuan dari pemeriksaan SPT PT Toyots Motor Manufacturing Indonesia. Tahun pajak
2007 menunjukan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia tercatat mengekspor 17.181
unit Fortuner ke Singapura. Dari pemeriksaan pajak petugas pajak menemukan harga pokok
penjualan Fortuner adalah Rp 161 juta per unit sedangkan dokumen internal Toyota menunjukan
Fortuner dijual 3.49% lebih murah. Untuk penjualan ekspornya, Toyota memilih Singapura
sebagai tempat transit sebelum akhirnya diekspor ke negara tujuan ekspor hal ini dikarenakan
Singapura memiliki tarif pajak terendah di Asia Tenggara yaitu sebesar 15% - 17% . Dengan
skema sebagai berikut.
PT. Toyota Motor PT. Toyota Asia Pacific Negara Ekspor Tujuan
Manufacturing Indonesia Pte., Ltd (Singapura)

Regulasi dan Praktik Transfer Pricing di Indonesia

Penerapan regulasi dan praktik transfer pricing di Indonesia masih belum terlaksana
dengan baikkarena belum adanya peraturan pelaksanaan yang mengikat sesuai dengan peraturan
perpajakan internasional, dibadingkan dengan Negara-negara lain yang menerapkan regulasi-
regulasi dan bergabung pada organinsasi internasional seperti Negara-negara yang tergabung
dalam OECD. Beberapa kendala yang dialami perusahaan yaitu besarnya tarif pajak yang
dikenakan di berbagai negara dan regulasi pendukung. Dimana kita mengenal Negara-negara tax
heaven. Dan lemahnya perturan dan kurangnya prosedur maka transfer pricing adalah sulit untuk
dihindri.

Dalam Jurnal Septriani Tahun 2012 menyebutkan Tarif pajak penghasilan tertinggi di
Indonesia adalah 30%, sedangkan di Singapura hanya 20%. Jika Indonesia menganut worldwide
base sedangkan Singapura mengatur territorial taxation sehingga penghasilan dari luar negeri
tidak dikenakan pajak di Singapura. Hasil akhirnya adalah pajak penghasilan yang lebih rendah.
Selain itu, tarif pajak PPh 23 yang dikenakan untuk deviden, bunga, royalti, bunga simpanan,
hadiah adalah 15% dari penghasilan bruto, tarif ini terbilang rendah daripada negara maju
lainnya, sehingga tidak menutup kemungkinan banyak negara maju yang antusias melakukan
transfer pricing di Indonesia.

Dr. Yusuf Anwar mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia mengungkapkan di


depan komisi IX dalam tahun 2005 bahwa banyak perusahaan penanaman modal asing (PMA)
yang beroperasi di Indonesia selalu menyatakan rugi bertahun-tahun dan belum membayar pajak
(Silitonga, 2007). Jadi, dengan menyatakan rugi pada SPT Tahunan maka perusahaan asing yang
beroperasi di Indonesia tidak membayar PPh Badan.

Berdasarkan pedoman OECD mengenai kebijakan Indonesia terkait praktik transfer


pricing dalam penentuan harga wajar, yaitu peraturannya mengacu pada UU PPh Pasal 18, pinalti
atas ketetapan transfer pricing ditetapkan 2% sanksi administrasi dari hasil koreksi yang
ditemukan pada laporan dokumentasi transfer pricing, dalam hal pengungkapan pengembalian
pajak belum diatur, pendokumentasian setiap informasi pada saat terjadinya transaksi transfer
pricing dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa dibutuhkan agar otoritas pajak dapat
melakukan pemeriksaan lebih mendalam, jatuh tempo untuk penyerahan dokumentasi sama
dengan laporan SPT, kelengkapan dokumen terkait laporan hasil informasi mengenai transfer
pricing, yaitu dokumentasi induk (berisikan tentang informasi umum yang relevan atas suatu
transaksi yang dilakukan oleh perusahaan yang melakukan hubungan istimewa) dan dokumentasi
fisik (berisikan tentang informasi fisik atas transaksi yang dilakukan oleh perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa di negara anggota Uni Eropa) tidak ada aturan yang mengikat,
Indonesia juga menerapkan peraturan APA yang terdapat pada pasal 18 ayat 3a, biaya APA
dengan jangka waktunya masih belum ada peraturan pelaksanaannya. Bentuk transaksi hubungan
istimewa Indonesia masih belum ada, dan kapan WP dapat mengadjust juga belum ada aturan
pelaksanaannya (Astuti, 2008).
Regulasi Transfer Pricing di Indonesia

Pedoman penentuan harga transfer (transfer pricing) di Indonesia diatur dalam Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Dirjen Pajak
Nomor PER-32/PJ/2011. Perbedaan pedoman transfer pricing pada PER-43/PJ/2010 dengan PER
-32/PJ/2011 adalah bahwa pada PER-43/PJ/2010 tidak membedakan transaksi antara pihak-pihak
yang memiliki hubungan istimewa, apakah Cross Border Transfer Pricing atau Transfer Pricing
di dalam negeri. Dengan demikian, sifat dari perubahan yang dilakukan PER-32/PJ/2011 adalah
mempersempit ruang lingkup kondisi yang harus tunduk pada pedoman transfer pricing.
(Septriani, 2012)

Aturan Baru Membuat Dokumen Transfer Pricing

Dalam Forum Pajak.org yang ditulis 3 January 2017 menjelaskan mengenai Aturan Baru
Membuat Dokumen Transfer Pricing sebagai berikut :

Menutup tahun 2016, Kementerian Keuangan mengeluarkan aturan baru bagi wajib pajak
yang diwajibkan membuat dokumen transfer pricing. Aturan baru Dokumen Transfer Pricing ini
melengkapi ketentuan-ketentuan terkait dengan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha pada transaksi yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau


Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan
Para Pihak yang Memiliki Hubungan Istimewa , dan Tata Cara Pengelolaannya.

KESIMPULAN

Bersadarkan pembahasan yang telah disajikan, maka peneliti menarik kesimpulan bahwa
salah satu pemicu terjadinya praktik transfer pricing dikarenakan adanya hubungan istimewa
perusahaan baik secara domestic maupun internasional, sehingga Peraturan perpajakan
diIndonesia memiliki wewenang khusus dalam menyikapi praktik transfer pricing. Namun
kendala terbesar Direktorat jenderal pajak dalam menyikapi praktik transfer pricing adalah
kendala dalam negeri dimana aturan kerahasaiaan perusahaan menyulitkan Direktorat Jenderal
mencari pembanding untuk menetukan wajarnya nilai suatu transaksi dan kendala luar negeri
yaitu cros border transfer pricing dimana penerapan regulasi dan praktik transfer pricing di
Indonesia masih menimbukan kasus dan sengketa antara aparat pajak dan Wajib Pajak terkait
dengan pengenaan pajak berganda, penghindaran pajak atau pengelakan pajak melalui praktik
transfer pricing, Untuk itu Indonesia harus lebih mengopitimalkan A dvance Pricing A rangement
(APA) dan lebih intensif dalam menerapkan regulasi transfer pricing untuk menghindari kasus
transfer pricing.
DAFTAR PUSTAKA

Pohan, C. A. (2013). Manajem en Perpajakan Strategi Perencanaan Pajak Dan Bisnis. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.

Seetriani, Nisa.2012. Regulasi Dan Praktik Di Indonesia Dan Negara Maju. Surabaya.
Universitas Negeri Surabaya

Kuriawan, W. (n.d). A udit Investigasi Menguak Skandal Transfer Pricing. Universitas Islam
Indonesia.

Astuti. 2008. Analisis Putusan Pengadilan Atas Sengketa Penentuan Harga Wajar Dalam
Transaksi Transfer Pricing. Tesis. Program Studi Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial Dan
Ilmu Politik Universitas Indonesia Jakarta.

Henrayana G. Analisis Kasus Transfer Pricing PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia.
http://www.academia.edu/30216203/A NA LISIS_KA SUS_TRANSFER_PRICING_PT_TOY OT
A _MOTOR_MANUFA CTURING_INDONESIA

Forum Pajak. (2017). Aturan Baru Membuat Transfer Pricing Documentation (TP Doc).
forumpajak.org/aturan-baru-membuat-transfer-pricing-docum entation-tp-doc/lightbox/0/.

Anda mungkin juga menyukai