Filsafat Hukum Tugas
Filsafat Hukum Tugas
NIM : 1810622009
Magister Hukum
PENDAHULUAN
1
2
darurat tersebut merupakan fase yang membutuhkan penanganan ekstra, terutama mobilisasi
dan suplai sumber daya yang besar. Mobilisasi dan suplai sumber daya yang besar dalam
waktu yang singkat tersebut menjadikan aktivitas logistik menjadi aspek yang dominan di
dalam penanganan bencana, dimana prioritas dari aspek logistik dalam operasi penanganan
bencana terletak pada delivery time yang singkat dan ketersediaan suplai yang tinggi.
Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini di Indonesia terdapat peristiwa
bencana yang terjadi setiap tahun. Pasca meletusnya Gunung Krakatau yang menimbulkan
tsunami besar di tahun 1883, setidaknya telah terjadi 17 bencana tsunami besar di Indonesia
selama hampir satu abad (1900-1996).1
Tsunami, badai, dan gempa bumi yang menghantam sebagian negara di Benua
Asia dan Amerika pada 2004/2005 dan Tsunami dan Gempa bumi yang terjadi di Kota Palu
telah menyoroti perlunya perhatian serius terhadap tantangantantangan HAM yang berlipat
ganda yang mungkin dihadapi orang-orang yang terkena dampak bencana-bencana semacam
itu. Seringkali HAM mereka kurang diperhatikan.
Masalah-masalah yang sering dihadapi orang-orang yang terkena dampak-
dampak bencanabencana alam diantaranya adalah akses yang tidak setara terhadap bantuan;
diskriminasi dalam pemberian bantuan; relokasi yang dipaksakan; pemulangan atau pemukiman
kembali yang tidak aman atau dipaksakan; dan hal-hal yang berkaitan dengan ganti rugi properti.
Populasi yang terkena dampak seringkali dipaksa meninggalkan rumah rumah atau tempat
tinggal akibat hancurnya rumah dan pernaungan mereka karena letusan gunung berapi, tsunami,
banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, dan angin putting beliung. Dengan demikian sejumlah
besar korban juga terpaksa mengungsi akibat bencana-bencana semacam ini atau akibat
munculnya rasa khawatir terhadap kerusakan-kerusakan yang mungkin terjadi lagi di masa
depan. Pola-pola diskriminasi dan pelecehan terhadap hak ekonomi, sosial, dan kultural mungkin
sudah terjadi selama tahap tanggap darurat di situasi bencana alam, risiko terjadinya
pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM akan semakin besar seiring dengan semakin lamanya
situasi pengungsian berlangsung. Biasanya situasi-situasi yang mempengaruhi HAM orang-
orang yang terkena dampak bencana-bencana alam tidak dirancang dan diterapkan dengan
sengaja, tetapi merupakan hasil dari berbagai kebijakan yang kurang tepat atau hasil dari
kelalaian semata-mata.
1
M. Hajianto, Analisa Teoritis Gempa Bumi, Belajar Dari Bencana Aceh, Pontianak, 2005, hal.5.
3
Situasi bencana alam disaster) ataupun bencana karena manusia, tetap tidak bisa
menghilangkan aspek pertanggungjawaban Negara. Definisi bencana ini seakan membatasi
bahwa satu-satunya penyebab bencana merupakan faktor alam, tanpa melihat aspek kecerobohan
manusia. Banjir, tanah longsor, epidemi dan wabah penyakit tidak serta merta muncul menjadi
bencana apabila sistem dan mekanisme terhadap penanganan lingkungan dilakukan secara benar.
“Pelimpahan” faktor alam sebagai penyebab bencana ini kemudian menjadi pembenaran untuk
melepaskan kewajiban negara dalam penanganan bencana.
Hak asasi manusia dalam konteks bencana mengasumsikan para korban tetap harus dijamin
haknya oleh Negara. Hak tersebut harus bisa diklaim ke service provider atau penyelenggara
negara (address) dan negara harus menjamin mekanisme agar hak tersebut dalam diklaim jika
tidak dipenuhi oleh negara (re-dress) dengan memberikan remedy (penyembuhan). Tanpa
jaminan HAM, penduduk yang terkena dampak bencana beresiko besar kehilangan hak untuk
pulih dari kondisi seperti sebelum gempa dan rentan terdorong dalam situasi yang lebih buruk.
Selain itu, banyak sekali upaya preventif dari bencana, sangat membuka peluang bagi
penghilangan hak-hak dasar penduduk yang tinggal di daerah rawan bencana, khususnya hak
atas kepemilikan (rumah, tanah), pekerjaan dan hak dasar lain. Dalam Protecting Persons
Affected by Natural Disasters (IASC Operational Guidelines on Human Rights and Natural
Disasters) oleh IASC (Inter-Agency Security Committee) yakni suatu institusi yang dibentuk
oleh badan internasional baik dibawah naungan PBB dan NGO interasional yang bergerak pada
isu humanitarian telah disusun standar operasional urusan bencana dengan menggunakan standar
instrumen HAM internasional, maupun instrumen internasional lain yang relevan, yakni hukum
humanitarian (menyangkut bencana akibat konflik sosial/bersenjata) dan ketentuan soal
Internally Displaced Person (IDP).
Petunjuk pelaksanaan ini mencakup prinsip-prinsip penanganan bencana yakni aspek non
diskriminasi bagi semua penduduk yang terkena dampak bencana, perlindungan atas HAM bagi
mereka, pengadopsian standar HAM bagi setiap organisasi dalam operasi humanitarian.
4
5
membatasi bahwa satu-satunya penyebab bencana merupakan faktor alam, tanpa melihat aspek
kecerobohan manusia. Banjir, tanah longsor, epidemi dan wabah penyakit tidak serta merta
muncul menjadi bencana apabila sistem dan mekanisme terhadap penanganan lingkungan
dilakukan secara benar. “Pelimpahan” faktor alam sebagai penyebab bencana ini kemudian
menjadi pembenaran untuk melepaskan kewajiban negara dalam penanganan bencana. Pasal-
pasal pada Bab III dan IV UU PB menyebut eksplisit lembaga kemasyarakatan, lembaga usaha,
palang merah Indonesia dan lembaga internasional sebagai pelaku penanggulangan bencana di
samping pemerintah. Ini bisa diinterpretasikan negara bukanlah satu-satunya pihak yang
berwenang dalam penanganan bencana. konsekuensi dari ini, maka negara tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban apabila terjadi kegagalan dalam proses penanganan bencana. Mekanisme
address-redress-remedy sebagai mekanisme penegakan HAM menjadi hilang sebagai
konsekuensi “lepasnya’tanggung jawab negara. Hilangnya kewajiban negara secara substantif
membuat jaminan hak yang diberikan negara dalam tahapan penanganan bencana (Pengurangan
resiko bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi serta penatalaksanaan
bencana) seolah hanya monumen puisi pengakuan tentang hak asasi manusia tanpa dapat
dinikmati para korban atau penduduk yang rentan terkena bencana.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Negara memikul tanggung jawab untuk memberikan perlindungan kepada warga negara
khususnya dalam hal penanggulangan bencana. Perlindungan tersebut sebagai perwujudan
kewajiban pemerintah berupa perlindungan sebagai hak azasi warga negara. Hal ini didasarkan
pada konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Pembukaan Alinea ke IV, yang berbunyi sebagai berikut : “Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, …”. Sebagai suatu norma dasar yang abstrak, maka
ketentuan yang terdapat dalam konstitusi dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor
24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai landasan yuridis formal terhadap
perlindungan pengelolaan lingkungan hidup dan sistem penanggulangan bencana di Indonesia.
Bahwa dalam penegakan hukum di bidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3
(tiga) kategori yaitu :
a. Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi atau Tata Usaha
Negara.
b. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
c. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana. Melihat dari
ketentuan hukum dalam peraturan perundang-undangan tentang lingkungan atau pun
penanggulangan bencana, sebenarnya pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap
pengerusakan lingkungan, sudah cukup lengkap. Permasalahannya adalah bagaimana Pemerintah
dan aparat penegak hukum menggunakan hati nurani untuk mengedepankan kepentingan hak
asasi warga negara.
7
3.2 Saran