Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN

EKOLOGI DASAR

Nama : Rimbi Brahma Cari

NRM : 3425161050

Kelas/kel : Biologi A 2016/5

Email : rimbibrahmac1@gmail.com

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2018
PRAKTIKUM 7
KEANEKARAGAMAN LICHENES

Metode Pengamatan
Metode yang digunakan dalam praktikum ini yaitu menentukan pohon dengan jenis
yang sama sebanyak 5 buah. Kemudian dari masing-masing pohon tersebut dicek canopy
openess nya menggunakan aplikasi Glama. Dari masing-masing pohon tersebut dihitung luas
lichen dengan menggunakan mika yang telah dibuat persegi ukuran 20x20 cm dan
didalamnya telah dibuat plot kecil ukuran 1,5x1,5 cm. Jenis liken juga diperhatikan yang
masuk dalam plot tersebut.

Hasil Pengamatan

Tabel 7.1 Sebaran Liken pada Pohon Cocculus laurifolius DC.


No Bukaan Kanopi Jenis Lichen Luas tutupan (%)
1 6,40% Crustose 46,30%
2 6,36% Crustose 41,9%
3 6,51% Crustose 65,1%
4 5,66% Crustose, Folios 40,43%
5 1,81% Crustose 58,16%

Praktikum ini dilakukan pada 5 pohon dengan jenis yang sama, dalam hal ini yaitu
pohon Cocculus laurifolius. Dari hasil pengamatan pada kelima pohon, didapatkan rata-rata
setiap pohon terdapat lichen dengan jenis Crustose yaitu permukaannya keras, ukurannya
kecil, bentuknya datar seperti kerak, tipis dan selalu tumbuh dan melekat pada kulit pohon.
Selain jenis Crustose, ada juga jenis Folios yang didapatkan pada pohon 4 Cocculus
laurifolius Talus Foliose bentuknya mirip seperti daun, berlobus, menyerupai pita dangan
cabangnya yang banyak. Berdasarkan sumber pengambilan sampel lichen, habbitat lichen
pada praktikum ini termasuk Corticolous, yaitu yang hidup pada kulit pohon yang sebagian
besar hidup pada kondisi lembab. (Pandey & Trivendi (1977) dalam Pratiwi (2006))
Sebaran Lichen pada Pohon Cocculus laurifolius

luas tutupan lichen


80 65.1
58.16
60 40.43 41.9 46.3
40
20
0
5.66 6.36 6.4 6.47 6.51
Bukaan Kanopi
.
Grafik 1. Sebaran Lichen 5 pada Pohon Cocculus laurifolius

Dilihat dari grafik 1, luas tutupan lichen yang paling banyak terdapat pada pohon
Cocculus laurifolius ke-tiga yaitu dengan persentasi 65,1% dengan bukaan kanopinya 6,51%
dan luas tutupan terendah yaitu 40,43% dengan bukaan kanopi 5,66%. Dari grafik tersebut
dapat disimpulkan bahwa luas tutupan lichen pada pohon akan semakin besar jika bukaan
kanopi nya besar. Bukaan kanopi sangat berperan penting dalam membentuk struktur dan
memelihara keanekaragaman yang berada dibawah kanopi tersebut. Hal itu dikarenakan
bukaan kanopi yang besar mempengaruhi jumlah intensitas cahaya yang masuk dimana
cahaya tersebut dimanfaatkan kembali untuk berfotosintesis dan menghasilkan cadangan
makanan bagi lichen sehingga semakin besar intensitas cahaya yang masuk, semakin subur
lichen untuk tumbuh. Selain intensitas cahaya, faktor lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan dan pesebaran lichen yaitu suhu udara: dimana lichen bisa hidup baik pada suhu
sangat rendah maupun sangat tinggi, kelembaban udara: dimana lichen bisa tahan pada
kekeringan yang cukup lama tetapi hanya bisa tumbuh optimal dengan lingkungan yang
lembab, dan ketinggian: dimana sangat berhubungan erat dengan faktor lingkungan yang lain
yaitu iklim dan curah hujan.

Kesimpulan
Dari praktikum ini dapat diambil kesimpulan yaitu rata-rata jenis lichen yang diambil
dari 5 pohon Cocculus laurifolius yaitu terdapat jenis Crustose. Dari grafik yang ditampilkan
menunjukkan bahwa antara canopy openess dengan luas tutupan lichen berbanding lurus atau
semakin besar canopy openess nya, maka akan semakin luas juga lichen yang tumbuh di
pohon tersebut.
Daftar Pustaka
Pandey, S.N & Trivendi, P.S. (1977), A Text Book of Botany (Algae, Fungi, Bacteria,
Hycoplasma, Viruses, Lichens and Elementary Plant Pathology), Volume I

PRAKTIKUM 8
EKOSISTEM AKUATIK

Metode Pengamatan
Praktikum ini dilaksanakan di sekitar air mancur TNGGP dengan 2 titik pengamatan,
yang diukur titik koordinatnya dengan menggunakan Global Positioning System. Pada 2 titik
pengamatan ini diukur parameter lingkungannya berupa: temperatur udara dan air, humidity
gauge, derajat keasaman, dan intensitas cahaya. Dari kedua titik pengamatan ini dilihat dan
diidentifikasi nama jenis dan jumlah dari tanaman dan hewan yang terdapat dalam titik
pengamatan tersebut, yang kemudian dibuat sistem sumber daya-konsumen.

Hasil dan Pembahasan


Tabel 8.1 Komponen abiotik ekosistem akuatik
Parameter komponen abiotik
Ulangan
Lokasi

Titik kordinat Suhu (C) pH Intensitas


Kelembaban
Udara Air Udara air cahaya

1. 27 26 73,4 6,6 9937

1. 2. (-6,7414620,1070100948) 27,3 26 67,2 6,6 9937


3. 27,4 27 66,4 6,7 9937
1. 26,2 25 75,9 6,7 9908
2.
2. (-6,7413981,1070103952) 26,1 28 74 7,1 9908
3.
26,1 26 68,1 7,1 9908

Selama pengamatan berlangsung, temperatur air yang diukur berkisar antara 25-28ᵒC
yang menunjukkan suhu normal untuk sebuah ekosistem perairan. Kisaran pH 6-7 yang
terukur merupakan rentang pH ang normal untuk organisme perairan air tawar. Intensitas
cahaya yang cukup juga mempengaruhi tanaman unuk tumbh dan berfotosintesis pada titik
pengamatan ini.

Tabel 8.2. Komponen biotik ekosistem akuatik


Titik Tumbuhan Hewan
Lokasi

koordinat Lokasi Ilmiah Famili Lokal Ilmiah Famili


Cyprinus
Ikan mas Ciprinidae
Rumput Pennisetum carpio
Poaceae
Gajah purputeum Katak Fejervarya
(- Dicroglossidae
sawah cancrivora
1. 6,7414620,107,
Anggang-
0100948) Gerris sp. Gerridae
Chrooco anggang
Fito-
Chroococus
plankton ccaceae Burung Collocalia
Apodidae
wallet sp.
2. (-
Rumput Pennisetum Oxya
6,7413981,1070 Poaceae Belalang Acrididae
Gajah purputeum chinenesis
103952)

Pada tabel 8.3 memperlihatkan komposisi organisme tumbuhan dan hewan di setiap
titik pengamatan. Selama pengamatan ditemukan hanya satu tanaman dengan jenis yang
sama yaitu Rumput Gajah (Pennisetum purputeum). Sedangkan untuk hewan, terdapat 4
kelas yang mewakili yaitu aves oleh burung Wallwt, Amphibi oleh Katak Fejervarya
cancrivora, pisces oleh ikan mas, dan insect oleh anggang-anggang dan belalang.
Beragamnya kelas hewan yang ditemukan dalam pengamatan ini menunjukkan bahwa
keanekaragaman hewan di titik pengamatan air mancur Taman Nasional termasuk tinggi.
Adanya fitoplankton pada titik pengamatan 1 merupakan hal yang baik dimana
fitoplankton merupakan organisme yang menunjang suatu ekosistem perairan yang baik,
karena fitiplankton menjadi dasar atau pangkal dalam rantai makanan ekosistem akuatik
(Djuhanda, 1980), dimana fitoplankton akan dimakan oleh ikan mas, anggang-anggang, dan
katak. Fitoplankon juga dijadikan sebagai bioindikator suatu pencemaran air, dimana jika
tidak terdapat fitoplankton dalam suatu ekosistem perairan, maka bisa dikatakan kondisi
perairan terseut sudah tercemar (Sastrawijaya, 1991).
Tabel 8.3. Pengamatan piramida makanan pada ekosistem aquatik di sekitar Air Mancur
Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah Peranan
Fitoplankton Chroocous Tidak diketahui Produsen
Rumput Gajah Pennisetum purpureum Tidak diketahui Produsen
Belalang Oxya chinenesis Satu Konsumen I
Anggang-anggang Gerris sp. Tidak diketahui Konsumen I
Ikan mas Cyprinus carpio Tidak diketahui Konsumen I, II
Katak sawah Fejervarya cancrivora Satu Konsumen I, II
BurungWallet Collocalia sp. Tidak diketahui Konsumen II

Gambar 1. Jejaring makanan pada ekosistem perairan Air Mancur

Dari jejaring makanan diatas, dapat diketahui organisme apa yang bertindak sebagai
penghasil makanan dan sebagai pemakan. Dari gambar diatas, yang menjadi produsen yaitu
fitoplankton dan rumput gajah, sedangkan organisme yang tergolong kedalam animalia
bertindak sebagai konsumen. Konsumen tertinggi dari jejaring makanan disini adalah burung
Wallet, yang menjadi hanya konsumen tingkat pertama yaitu Anggang-anggang dan belalang,
dan yang bisa menjadi konsumen tingkat pertama maupun kedua yaitu ikan mas dan katak
fejervarya cancrivora.

Kesimpulan
Dari pengamatan ini bisa disimpulkan bahwa keanekaragaman komponen biotik
ekosistem perairan di sekitar air mancur TNGGP termasuk tinggi karena mewakili 4 kelas
dari animalia, yang secara tidak langsung juga mempengaruhi tingkat kestabilan dalam
jaring-jaring makanan. Setiap organisme tumbuhan dan hewan yang teramati mempunyai
peranan yang penting dalam jejaring makanan karena ada yag berperan sebagai produsen juga
konsumen.
Sastrawijaya, A. T., 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta.

Daftar Pustaka

Djuhanda, Tatang. 1980. Kehidupan Dalam Setetes Air dan Beberapa Parasit Pada Manusia.
ITB. Bandung

Sastrawijaya, A. T., 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta.

PRAKTIKUM 9
ANALISIS KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH

Metode Pengamatan Line Transect


Pengamatan ini digunakan tali rafia dengan panjang 10 meter yang ditandai setiap 1
meternya. Metode yang dilakukan yaitu menjulurkan tali yang lurus di daerah vegetasi yang
ingin diamati. Dalam setiap meternya dicatat tumbuhan apa saja dan berapa jumlah nya yang
terkena tali tersebut, juga diukur berapa cm tumbuhan tersebut terkena tali menggunakan
meteran jahit. Setelah dicatat dan diidentifikasi jenis tumbuhan hingga jarak 10 m, kemudian
dilakukan pengulangan sebanyak 3x di daerah yang berbeda.

Hasil dan Pembahasan


Tabel 9.1 Hasil Pengamatan Menggunakan Line Transect
JUMLAH INDIVIDU PENUTUP
JARAK (m) ULANGAN JENIS TUMBUHAN
INDIVIDU (cm)
Begonia sp. 1 8,2
Asplenium sp. 2 5,5
I Eupatorium
1 6,3
cannabinum
1.
Salacca sp. 1 16,6
Asplenium sp. 3 36,2
II
Ricinus sp. 1 12
III tidak ada
Zingiber sp. 1 34,1
I Eupatorium
1 23
2. cannabinum
Eupatorium
II 2 9,9
cannabinum
III tidak ada
Eupatorium
I 1 14
cannabinum
3.
II Asplenium nidus 1 6,8
III tidak ada
Asplenium sp. 2 7
I
Calamus sp. 1 7,7
4.
II tidak ada
III tidak ada
I tidak ada
Eupatorium
5. II 2 22,1
cannabinum
III tidak ada
I tidak ada
6. II tidak ada
III tidak ada
I tidak ada
7. II tidak ada
III tidak ada
I tidak ada
8. II tidak ada
III tidak ada
I Nephrolephis sp. 1 10
II tidak ada
9.
III Davallia sp. 1 24,8
tidak ada
I tidak ada
10. II Nephrolephis sp. 1 19,5
tidak ada
III

Tabel 9.2. Hasil Perhitungan Line Transect

Pada pengamatan vegetasi menggunakan Line Transect dengan panjang 10 m dengan 3


kali pengulangan, didapatkan hasil bahwa keanekaragaman dan kelimpahan adanya tanaman
semak banyak terdapat pada 1 meter pertama, yaitu ditemukan 5 jenis tanaman yang berbeda
dari total 3 ulangan dengan rincian tanaman: Begonia sp., Asplenium sp., Eupatorium
cannabinum, Salacca sp., dan Ricinus sp..

Pada 1 meter yang kedua, hanya ditemukan 2 jenis spesies yang berbeda, adapun
spesies yang sama seperti 1 meter pertama yaitu Eupatorium cannabinum, sedangkan untuk
1 jenis yang baru nama jenisnya yaitu Zingiber sp.. pada 1 meter yang ketiga juga hanya
ditemukan 2 jenis spesies yang sama seperti sebelumnya. Sedangkan pada 1 meter yang
keempat ditemukan jenis baru yaitu Calamus sp.. Pengosongan jenis tanaman atau tidak
adanya tanaman yang terkena line transect terjadi pada meter yang ke 6, 7, dan 8. Sedangkan
pada meter yang ke 9 dan 10 ditemukan kembali jenis tanaman walaupun hanya 1 atau 2 jenis
tanaman. Adanya perbedaan pesebaran tanaman ini bisa dipengaruhi oleh intensitas cahaya,
permukaan tanah yang tidak mendukung untuk tumbuhnya tanaman, dan perbedaan
kandungan nutrisi yang berada didalam tanah.

Metode Pengamatan Kuadrat


Metode ini dilakukan dengan menggunakan transect dari tali rafia sepanjang 40 meter
yang dibuat persegi empat menjadi ukuran 10x10 meter. Dalam ukuran transect besar
tersebut diambil data jenis dan jumlah tanaman per plot dengan ukuran 1x1 meter nya,
inventarisasi per plot kecil ini dilakukan sebanyak 5x secara acak dengan daerah yang masih
dalam cakupan transek 10x10 meter.

Tabel 9.3. Hasil Pengamatan Menggunakan Metode Kuadrat


No. Jumlah Persentase
Jenis Tumbuhan
Plot individu Penutupan
Asplenium sp. 1 25%
1. Begonia sp. 2 50%
Eupatorium cannabinum 1 25%
Asplenium nidus 2 40%
2. Dvallia sp. 2 40%
Ricinus sp. 1 20%
Zingiber sp. 2 50%
3. Asplenium nidus 1 25%
Begonia sp. 1 25%
Salacca sp. 1 33%
4. Nephrolepis sp. 1 33%
Calamus sp. 1 33%
Eupathorium cannabinum 1 33%
5. Zingiber sp. 1 33%
Asplenium sp. 1 33%

Tabel 9.4. Hasil Perhitungan Metode Kuadrat

Pada pengkuran vegetasi dengan jumlah kuadrat minimum ini didapatkan 8 spesies
tumbuhan. Jenis tumbuhan tersebut yaitu Dryopteris filix-mas (L.) Scott, Polystichum
acrostichoides, Salacca sp, Nephrolephis sp., Asplenium nidus, Davallia sp., dan Zingiber
sp.. dari semua jenis tanaman yang teramati, beberapa diantaranya ada yang menempati plot
yang berbeda. Contohnya pada Asplenium nidus yang menempati plot 1 dan 2, Begonia pada
plot 1 dan 3, Eupathorium cannabinum pada plot 1 dan 5, Zingiber sp.pada plot 3 dan 5. Dan
sisanya hanya terdapat pada 1 plot saja.

Dari jumlah individu yang sama dari total seluruh plot, Nephrolephis sp.
mendominasi yaitu dengan jumlah total 5 individu, kemudian disusul dengan jumlah
terbanyak kedua oleh Hedera helix L. dengan jumlah indivu 4, Salacca sp. dengan jumlah
individu total 2, dan Asplenium nidus, Davallia sp., Zingiber sp hanya terdapat 1 individu
dari total 5 plot yang diamati

Kesimpulan

Pada pengamatan line transect, terjadi ketidakmerataan persebaran vegetasi setiap


meter nya. Jumlah keanekaragaman tertinggi terjadi pada 1 meter pertama dengan jenis yang
teramati yaitu 5 jenis tanaman yang berbeda, sedangkan pada meter ke 6,7,8 tidak ada
satupun tanaman yang didapatkan. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi
tanaman tumbuh seperti intensitas cahaya dan perbedaan struktur tanah yang kurang
mendukung.

PRAKTIKUM 10
LUAS MINIMUM DAN JUMLAH KUADRAT MINIMUM

Metode Pengamatan Menghitung Luas minimum


Pengamatan ini dilakukan di HM 7 gunung Gede Pangrango, dengan berbekal tali
rafia hingga sepanjang 100 m, daerah tersebut dapat dihitung keanekaragaman vegetasi nya.
Prosedur yang digunakan dalam pengamatan ini yaitu membentangkan tali rafia tersebut
mementuk persegi empat sebagai peak contoh. Uji coba pertama digunakan 25x25 cm, uji
coba kedua digunakan dengan ukuran 2x lipat nya yaitu 50x50 cm, begitu juga dengan uji
coba yang ketiga dengan ukuran 100x100 cm. Dari ketiga uji coba tersebut dihitung dan
dicatat jumlah tanaman yang berada dalam petak contoh tersebut juga diidentifikasi spesies
nya. Hal yang sama juga dilakukan pada uji coba pada petak contoh ukuran 50x50 cm dan
100x100 cm, dan dari ketiga ukuran uji coba tersebut dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali.

Hasil dan Pembahasan Luas minimum


Tabel 10.1. Menghitung Luas Minimum
luas Jumlah
Plot nama spesies frekuensi absolut frekuensi relatif
(cm2) individu
Dryopteris filix-mas (L.)
25x25 1 0,25 25%
Scott
Hedera helix L. 3 0,75 75%
Dryopteris filix-mas (L.)
2 0,1875 18,46%
Scott
Polystichum acrostichoides
6 0,5625 66,25%
50x50 (MIchx.) Scott
Hedera helix L. 3 0,1875 13,75%
1.
Salacca sp. 1 0,0625 6,25%
Dryopteris filix-mas (L.)
3 0,09766 9,76%
Scott
Polystichum acrostichoides
100x100 18 0,6585 65,86%
(MIchx.) Scott
Hedera helix L. 4 0,1707 17,07%
Salacca sp. 3 0,09756 9,76%
Ammonium foetens (BI) K.
2 0,0486 4,86%
Schum
Ammonium foetens (BI) K.
1 0,25 25%
Schum
25x25 Nephrolepis sp. 1 0,25 25%
Asplenium nidus 1 0,25 25%
Calamus sp. 1 0,25 25%
Ammonium foetens (BI) K.
1 0,25 25%
Schum
2. Neprolephis 1 0,25 25%
50x50
Asplenium nidus 1 0,25 25%
Calamus sp. 1 0,25 25%
Ricinus sp. 3 0,3125 31,25%
100x100 Asplenium nidus 2 0,25 25%
Calamus sp. 2 0,25 25%
25x25 Begonia sp. 1 1 100%
Asplenium sp. 1 0,2 20%
Begonia sp. 1 0,2 20%
50x50 Eupatorium cannabinum 1 0,2 20%
Polystichum acrostichoides
1 0,2 20%
3. (MIchx.) Scott
Eupatorium cannabinum 2 0,23076 23, 076%
Davallia sp. 1 0,076 7,60%
Calamus sp. 1 0,076 7,60%
100X100
Zingiber sp. 1 0,23 23%
Begonia sp. 1 0,1538 15,38%
Asplenium sp. 1 0,1538 15,38%
Dari pengamatan yang dilakukan, dapat diperoleh bahwa pada uji coba ukuran 25x25
cm terdapat 2 jenis individu yaitu Dryopteris filix-mas dan Hedera helix dengan jumlah
masing-masing yaitu 1 dan 3. Setelah luas petak contoh diperesar 2 kali nya, tumbuhan
dengan jenis yang sama kembali ditemukan, namun terdapat penambahan spesies yang baru
dari sebelumnya yaitu Polystichum acrostichoides dan Salacca sp. sehingga jika dijumlah menjadi 4
spesies dalam ukuran 50x50 cm. Pada uji coba ketiga dengan ukuran 100x100 cm 4 tanaman dengan
jenis yang sama seperti sebelumnya kembali ditemukan, tetapi terdapat satu penambahan spesies yaitu
Ammonium foetens.

Luas Minimum
40

20

0
25*25 50*50 100*100

Series1 Series2 Series3

Grafik 2. Luas Minimum Vegetasi per Seri

Pada ulangan yang kedua, terdapat penambahan jenis yang baru dari sebelumnya
yaitu Neprolephis, Asplenium nidus, Calamus sp., dan Ricinus sp.. Namun, Polystichum
acrostichoides, Salacca sp., dan Hedera Helix yang ditemukan pada ulangan pertama tidak
ditemukan lagi pada ulangan kedua. Jumlah individu per spesies nya juga ada yang
mengalami kenaikan maupun penurunan, perbedaan ini didasari oleh faktor lingkungan
seperti: suhu, keadaan tanah, intensitas cahaya, kelembaban, dll. Dari grafik 2, ditunjukkan
bahwa pada series pertama jumlah penambahan jenis tumbuhannya meningkat, sedangkan
pada series 2 dan 3 grafik cenderung stabil atau tidak terdapat penambahan jenis tumbuhan
baru di setiap ulangannya.

Metode Pengamatan Jumlah Kuadrat Minimum


Pengamatan ini dilakukan pada HM 7 TNGGP dengan menggunakan plot berukuran
1x1 meter. Langkah yang dilakukan yaitu dengan mengambil data jenis dan jumlah tanaman
yang terdapat dalam plot dan dilakukan 3 kali pengulangan per seri nya. Pada pengamatan ini
dilakukan 3 seri, sehingga total pengulangan menjadi 9 kali pengulangan. Setelah data
terambil, data kemudian diakumulasi berdasarkan jumlah suatu jenis tumbuhan dari total plot
yang dilakukan.
Hasil dan Pembahasan Jumlah Kuadrat Minimum

Tabel 10.2 Menghitung Kuadrat Minimum

seri 1 seri 2 seri 3


jenis tumbuhan
1 2 3 1 2 3 1 2 3
Dryopteris filix-
1 2 3 0 0 0 0 0 0
mas (L.) Scott
Hedera helix L. 3 0 0 0 0 0 0 0 0
Polystichum
acrostichoides 0 6 18 0 0 0 0 1 0
(MIchx.) Scott
Salacca sp. 0 1 3 0 0 0 0 0 0
Nephrolephis sp. 0 0 0 1 1 0 0 0 2
Asplenium nidus 0 0 0 1 1 2 0 0 0
Ricinus sp. 0 0 0 0 0 3 0 0 0
Calamus sp. 0 0 0 1 1 2 0 0 0
Asplenium sp. 0 0 0 0 0 0 0 1 1
Begonia sp. 0 0 0 0 0 0 1 1 1
Eupatorium
0 0 0 0 0 0 0 1 2
cannabinum
Davallia sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 1
Zingiber sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 1
Ammonium
foetens (BI) K. 0 0 0 1 1 0 0 0 0
Schum

Kuadrat Minimum
20
15
10
5
0

Series1 Series2 Series3 Series4 Series5


Series6 Series7 Series8 Series9

Grafik 3. Jumlah Kuadrat Minimum Vegetasi


Pada pengamatan jumlah kuadrat minimum, dilakukan penghitungan dan
pengidentifikasian jenis tanaman pada setiap seri nya. Pada kali ini, dilakukan 3 seri dengan
masing-masing terdiri dari 3 kali ulangan. Hasil yang didapat bisa dilihat pada grafik.3
dimana terdapat jumlah individu tanaman pada seri 1 sebanyak 24 individu dari total 3
ulangan, jenis tanaman yang mendominasi yaitu Polystichum acrostichoides. Selain itu,
jumlah individu dari setiap jenis nya hanya terdapat 1 atau paling banyak 4 dari total seluruh
seri atau 9 kali ulangan. Dari pengamatan ini, ada yang dalam 1 seri benar-benar tidak
terdapat jenis tanaman yang diamati, hal ini bisa dikatakan bahwa penyebaran dari suatu jenis
tanaman yang diamati pada daerah ini tidak merata.

Kesimpulan

Dari pengamatan luas minimum maupun jumlah kuadrat minimum bisa disimpulkan
bahwa luas minimum yaitu jenis tumbuhan yang terdapat dalam suatu plot mewakili vegetasi
tanaman yang berada di daerah tersebut. Dari grafik yang ditampilkan dapat diamil
kesimpulan bahwa pengukuran plot awal biasanya didapatkan keanekaragaman jenis
tumbuhan yang banyak, semakin banyak ulangan maka kurva akan cenderung stabil atau
tidak terdapat penambahan jenis yang baru dari plot yang telah diambil sebelumnya.

PRAKTIKUM 11
MAKROINVERTEBRATA (BENTHOS)

Metode Pengamatan
Metode yang dilakukan dalam pengamatan ini yaitu menentukan titik sungai yang
ingin diamati makroavertebrata-nya, kemudian pengambilan sampel dilakukan dengan
mengeruk sungai hingga dasar dengan menggunakan plankton net.makroavertebrata yang
terambil kemudian dimasukkan kedalam botol sample dan diberi formalin agar awet yang
selanjutnya diidentiikasi nama latin dari jenis tersebut. Pengamatan ini juga dilengkapi
pengukuran parameter lingkungan seperti: temperatur air, derajat keasaman, salinitas,
kekeruhan, dan jenis substrat dari habitat makroavertebrata tersebut.
Hasil dan Pembahasan
Tabel 11.1 Data makroinvertebrata yang diperoleh tiap stasiun
Kelimpahan Kelimpahan Keanekaragaman Keragaman
No. Genus/Spesies
(ni) Relatif (pi) Tiap Jenis Simpson (D)
1. Caddisflies
4 0,571 0,876
trichoptera
0,75
2. Coleoptera 1 0,143 1
3. Planaria sp. 2 0,286 0,965

Dari hasil pengamatan, didapatkan 3 sampel yaitu dari spesies Caddislies trichoptera
yang terambil 4 individu,1 individu Coleoptera, dan Planaria sp. sebanyak 2 individu.
Sampel makroavertebrata tersebut didapatkan dari tepi-tepi pinggiran sungai dan dibalik
bebatuan. Stasiun sungai yang menjadi titik pengamilan sampel berada di dekat air terjun atau
hilir sungai dimana arus alirannya cukup deras dan volume air nya cukup besar. Waktu
pengambilan sampel yang termasuk saat musim hujan juga mempengaruhi luas nya volume
dan kedalaman air sungai sehingga cukup sulit dalam pencarian sampel karena cakupannya
lebih luas.

Tabel 11.2 Pengukuran Parameter fisik-kimia perairan pada Sungai

Parameter Hasil pengukuran


Suhu 20ᵒ
pH 7
Salinitas 0
Kecepatan arus 0,431
Kekeruhan -
kedalaman 30 cm
Substrat Batu dan pasir

Untuk mengeahui kualitas air sungai sebagai habitat makroavertebrata tersebut


dilakukan pengukuran parameter kimia & fisik, apakah kualitas air tersebut termasuk baik
atau buruk. Parameter yang diukur meliputi: temperatur, derajat keasaman, salinitas,
kecepatan aliran arus, kekeruhan air, kedalaman, dan substrat yang menjadi tempat
makroavertebrata tersebut ditemukan. Menurut Hawkes (1997), kelompok makroavertebrata
mempunyai tingkat toleransi terhadap derajat keasaman (pH) air yang berbeda-beda. Pada
kelompok Trichoptera tidak bisa mentolerir pH yang rendah; pada kelompok Coleoptera
dapat hidup pada pH dengan cakupan yang lebih luas yaitu 4,5-8,5; sedangkan pada spesies
Planaria sp. hanya dapat beregenerasi pada pH rendah yaitu 3,0-5,0. Pada pengukuran pH
air, menunjukkan pH yang netral yaitu 7 tetapi dapat ditemukan sampel Planaria sp. yang
dimana pH tersebut sudah melebihi ambang batas maksimal Planaria sp. beregenerasi
sehingga Planaria sp. tidak bisa beregenerasi, hal itu dapat dibuktikan ketika praktikkan
mencoba memotong tubuh Planaria sp. tersebut, dan hasilnya Planaria sp. tersebut tidak
dapat memperbanyak dirinya sebagaimana mestinya.

Adanya Planaria sp. yang merupakan kelas Turbellaria dan ordo Trichoptera dalam
pengambilan sampel ini, dapat disimpulkan bahwa kondisi air sungai tersebut belum
tercemar. Berdasarkan literatur, ordo Trichoptera bersifat intoleran terhadap pencemaran,
begitu juga Planaria sp. yang hanya dapat hidup di kondisi perairan yang baik, sehingga
Planaria sp. bisa dijadikan bioindikator suatu perairan.

Kesimpulan

Dari pengamatan yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa keanekaragaman


makroavertebrata yang didapatkan pada sungai sekitar TNGGP termasuk tinggi, dimana
didapatkan 3 spesies makroavertebrata yaitu Caddisflies trichoptera, Coleoptera, dan
Planaria sp. faktor-faktor yang memengaruhi tingkat keanekaragaman dan kelimpahan dari
sampel yang didapatkan bisa berupa pH dan suhu yang sesuai dengan cara makroavertebrata
tersebut hidup.

Daftar Pustaka

Hawkes HA. 1997. Origin and development of the biological monitoring working party score
system. Water Research. 32(3): 964968. http://doi.org/dmwj59

Anda mungkin juga menyukai