Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hati merupakan salah satu organ penting dalam menjalankan fungsi

metabolisme, detoksifikasi, bahkan inaktivasi obat atau senyawa beracun lainnya

seperti radikal bebas, sehingga hati dapat dikatakan sebagai fungsi pertahanan dan

pelindung tubuh (Linawati, dkk., 2008). Paparan yang tinggi dari berbagai polutan

dan senyawa beracun pada tubuh dapat menyebabkan meningkatnya risiko

kerusakan hati salah satunya berupa peradangan pada sel hati. Peradangan pada

hati terjadi bila kemampuan hati dalam menjalankan fungsinya sudah melewati

ambang batas.

Hepatitis merupakan salah sau penyakit yang serius berupa peradangan

hati yang terjadi secara difusa dan dapat menyebabkan komplikasi parah bahkan

dapat menyebabkan kematian. Tingkat insiden dan kematian bervariasi dengn

setiap jenis penyakit (Remedy Health Media, 2015). Departemen Kesehatan

(Depkes) tahun 2014 menyatakan sebanyak 1,5 juta penduduk dunia setiap

tahunnya meninggal karena hepatitis dan mengalami peningkatan jumlah angka

kematian 2 kali lipat dibanding dengan riset yang dilakukan pada tahun 2007 dan

2013.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyatakan prevalensi

hepatitis di Indonesia mengalami peningkatan 2 kali lebih tinggi dibanding

dengan tahun 2007, yaitu 0,6% pada tahun 2007 menjadi 1,2% pada tahun 2013.

Pada tahun 2013 lima prevalensi hepatitis tertinggi berada di Nusa Tenggara

Timur (1,3%), Papua (2,9%), Sulawesi Selatan (2,5%), Sulawesi Tengah (2,3%)

1
2

dan Maluku (2,3%). Provinsi Aceh menduduki posisi 8 tertinggi dari provinsii

yang ada di Indonesia yang memiliki angka prevalensi di atas rata-rata nasional,

yaitu 1,8%. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyatakan

Kabupaten Aceg Utara merupakan kapupaten dengan prevalensi hepatitis kedua

tertinggi setelah Kabupaten Aceh Timur, yaitu dengan prevalensi hepatitis 3,1%,

sedangkan di Kota Lhoksemawe didapatkan 0,5%.

Beberapa penyebab hepatitis seperti penyakit autoimun primer (hepatitis

lupoid), infeksi virus, akibat obat (seperti parasetamol, oksifenisatin, metildopa,

nitrofurantoin, isoniazid, dan lain-lain), alkoholisme, dan defisiensi alfa-l-

antitripisin (Hamidy, dkk. 2009)

Hepatitis selain dapat disebabkan oleh hal-hal yang disebutkan di atas,

juga dapat disebabkan oleh zat toksik (hepatitis toksik), karena kerusakan hati

yang terjadi adalah akibat zat-zat yang bersifat toksik terhadap hati (Hamidy, dkk.

2009).

Hepatitis dapat disebabkan oleh adanya peradangan pada hepatosit.

(Corwin, 2009). Pemberian pewarna sintesis makanan golongan azo dalam kadar

berlebihan dari yang telah ditetapkan dapat menimbulkan kerusakan pada

hepatosit yang dapat terlihat dalam waktu cepat berupa peradangan dan

degenerasi lemak pada hepatosit, sehingga berakhir dengan kematian sel (Al-

Dahhan et al. 2014).

Salah satu jenis pewarna makanan yang sering digunakan adalah

tartrazine. Tartrazine adalah jenis pewarna sintesis yang memberikan warna

kuning pada beberapa produk pangan (Amin et al., 2010). Produk yang
3

mengandung tartrazine biasanya dipakai untuk gula-gula, minuman ringan dan

minuman berenergi, puding instan, sereal, custard bubuk, es kirm, permen dan

lain-lain. Selain itu juga dipakai pada produk sabun, shampoo, kosmetik,

perawatan rambut, krayon serta stempel berwarna. Pada produk pengobatan

seperti vitamin, obat resep dan obat kapsul juga mengandung tartrazine (Ekasari,

2010).

Batas maksimum penggunaan bahan pewarna makan telah ditetapkan dalm

peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 722/MEN.KES.PER/IX/88

tentang bahan tambahan makanan (BTM), kadar tartrazine untuk minuman dan

makanan cair yaitu 70 µg/ml dalam setiap produk siap konsumsi. Berdasarkan

data BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) sesuai ADI (Acceptable Daily

Intake) penggunaan tartrazine di Indonesia, yaitu 0 sampai 7,5 mg/kg berat badan

(BPOM RI, 2013).

Di Eropa dan Jepang telah melarang penggunaan pewarna sintesis

tartrazine dan lebih merekomendasikan pewarna alami seperti beta karoten. Efek

samping dari tartrazine ini dapat merusak beberapa organ tertentu seperti hati,

ginjal, otak dan lain-lain (Nugraheni, 2014).

Maka dari itu, untuk menentukan tingkat keamanan pemakaian BTM

khususnya tartrazine dalam suatu produk makanan maka akan dilakukan

percobaan pada hewan coba tius putih (Rattus Norvegicus) jantan. Dosis yang

digunakan adalah dosis yang telah ditetapkan BPOM yaitu 0 sampai 7,5 mg/kg

berat badan yang akan dikonversikan ke dosis tikus, sehingga didapatkan


4

tingkatan dosisnya sebesar 3,5 mg/150grBB/hari, 7 mg/150grBB/hari dan 14

mg/150grBB/hari.

1.2 Rumusan Masalah

Banyak sekali pewarna makanan yang digunakan dalam berbagai produk,

terutama produk makanan. Jenis dari pewarna makanan dapat dibedakan menjadi

pewarna alami dan pewarna sistesis. Penggunaan dari pewarna sintesis dalam

masyarakat lebih banyak digunakan dibandingkan dengan pewarna alami karena

sifatnya yang praktis. Tartrazine merupakan salah satu jenis pewarna sintesis yang

sering digunakan dalam beberapa produk makanan.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine

peroral dengan dosis 3,5 mg/150grBB/hari terhadap Gambaran nekrosis

Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar?

2. Bagaimana pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine

peroral dengan dosis 7 mg/150grBB/hari terhadap Gambaran nekrosis

Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar?

3. Bagaimana pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine

peroral dengan dosis 14 mg/150grBB/hari terhadap Gambaran nekrosis

Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan umum


5

Mengetahui pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine

peroral terhadap Gambaran nekrosis Hepatosit pada tikus putih (Rattus

norvegicus) jantan galur wistar.

1.4.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine

peroral dengan dosis 3,5 mg/150grBB/hari terhadap Gambaran nekrosis

Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

2. Mengetahui pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine

peroral dengan dosis 7 mg/150grBB/hari terhadap Gambaran nekrosis

Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

3. Mengetahui pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine

peroral dengan dosis 14 mg/150grBB/hari terhadap Gambaran nekrosis

Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan sebagai data awal untuk penelitian selanjutnya

tentang pengaruh penggunaan zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral

terhadap Gambaran nekrosis Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan

galur wistar.

1.5.2 Manfaat praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan sebagai

informasi bagi masyarakat tentang penggunaan zat pewarna sintesis

makanan tartrazine serta dampaknya terhadap kesehatan.


6

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data awal dan sebagai

masukan kepada institusi yang berwenang terkait penelitian pengaruh

penggunaan zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral terhadap

Gambaran nekrosis Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan

galur wistar.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tartrazine

2.1.1 Definisi tratrazine

Tartrazine adalah salah satu jenis pewarna sintetik yang terdaftar atau

diizinkan oleh pemerintah digunakan untuk pewarna makanan dan minuman.

Selain untuk makanan dan minuman tartrazine juga digunakan untuk kosmetik

dan obat-obatan (Amin et al., 2010).

Pewarna sintetik makanan tartrazine ini mempunyai sifat yang mudah larut

dalam air. Kelarutannya dalam alkohol 95% hanya sedikit, namun dalam gliserol

dan glikol mudah larut. Tartrazine tahan terhadao cahaya, asam asetat, HCl dan

NaOH 10%. NaOH 30% akan menjadikan warna berubah menjadi kemerah-

merahan. Tartrazine mudah luntur karena oksidator, FeSO4 membuat larutan zat

pewarna menjadi keruh, tetapi dengan Alumunium (Al) tidak terpengaruh.

Adanya tembaga (Cu) akan mengubah warna kuning menjadi kemerah-merahan

(JECFA, 2002).

2.1.2 Struktur kimia Tartrazine

Tabel 2.1 Data Tartrazine berdasarkan JECFA


No Keterangan Penjelasan
1 Nama Kimia Trisodium 5-hydroxy-1-(4-sulfonatophenyl)-4-
(4sulfonato-phenylazo)-Hpyrazole-3-carboxylate

2 Berat Formula 534,37 g/mol


3 Rumus Kimia C16H9N4Na3O9S2
4 Nomor CAS 1934-21-0
5 Titik Leleh >135 O C (275 O F)
6 Golongan Dyes, azo
7 Kelarutan Larut dalam air, gliserol, glikol, dan hanya sedikit larut
dalam etanol.
8 Sinonim Cl Food Yellow 4, FD&C Yellow No.5, CI (1975) No.

7
8

19140, INS No. 102


9 Klorida dan sulfat <15%
10 Tidak larut air <0.2%
11 Jumlah warna >85%
12 Kandungan senyawa <0,5% jumlah 4-Asam
organik lain Hydrazinobenzenesulfonic, 5-Asam
Aminobenzenesulfonic, 5-Oxo-1-(4-sulfofenil)-2-
pyrazoline-3-Asam karboksilat, 4,4’-Diazominodi (asam
benzenasulfonat). Asam Tetrahydroxycuccinic.
Sumber: JECFA, 2002

Zat warna sintetik yang memiliki rumus kimia C16H9N4Na3O9S2 dengan

penampangkan fisik berwarna kuning tersebut memiliki struktur kimia seperti

dibawah ini:

Gambar 2.1 Struktur Kimia Tartrazine (Anonim, 2012)

2.1.3 Metabolisme Tartrazine

Penyerapan,
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Tartrazine peroral Faktor perancu:


Obat, dosis paparan,
Direduksi dan
nutrisi, usia, zat
absorbsi Tubuh tikus putih
toksis dan stress.
mikroorganisme usus (Rattus norvegicus)
jantan galur wistar

Biotransformasi
Distribusi HEPAR Metabolisme
azo obligasi/
oksidasi sitokrom
p-450
Ikatan Kovalen
zat kimia
dengan protein Komplek Apoprotein Imuonogenik
intrasel

Disrupsi Akumulasi Respon sel T


intraseluler cairan empedu sitotoksik

Kerusakan sel
hepar

Gambaran nekrosis hepatosit tiukus putih


(Rattus norvegicus) jantan galur wistar

Gambar 3.1 Kerangka konseptual

Keterangan:

: Variabel yang diteliti

: Variabel perancu

: Variabel yang tidak diteliti

9
10

3.2 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konseptual di atas, dapat disimpulkan hipotesis

penelitian sebagai berikut:

3.2.1 Hipotesis null (Ho)

1. Pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral dengan dosis

3,5 mg/150grBB/hari tidak berpengaruh terhadap Gambaran nekrosis

Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

2. Pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral dengan dosis 7

mg/150grBB/hari tidak berpengaruh terhadap Gambaran nekrosis

Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

3. Pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral dengan dosis

14 mg/150grBB/hari tidak berpengaruh terhadap Gambaran nekrosis

Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

3.2.2 Hipotesis alternatif (Ha)

1. Pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral dengan dosis

3,5 mg/150grBB/hari berpengaruh terhadap Gambaran nekrosis Hepatosit

pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

2. Pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral dengan dosis 7

mg/150grBB/hari berpengaruh terhadap Gambaran nekrosis Hepatosit

pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

3. Pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral dengan dosis

14 mg/150grBB/hari berpengaruh terhadap Gambaran nekrosis Hepatosit

pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.


BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Design dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan design penelitian true eksperimental

laboratorik dengan rancangan Post Test Control Group Design yang

menggunakan hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar

sebagai objek penelitian.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1 Lokasi penelitian

Lokasi pemeliharaan dan perlakuan hewan coba akan dilakukan di

Laboratorium Riset Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala.

Pembuatan preparat histopatologi akan dilakukan di Laboratorium Histopatologi

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala.

4.2.2 Waktu penelitian

Waktu penelitian ini mulai dari bulan April 2017 sampai Desember 2017.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

wistar.

4.3.2 Sampel dan Kriteria

1. Kriteria Inklusi

a. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar

b. Jenis kelamin jantan

c. Usia 8-12 minggu

11
12

d. Berat badan 150 ± 10 gram

2. Kriteria Eksklusi

a. Terdapat kecacatan anatomis

b. Tikus tampak sakit dan tidak bergerak secara aktif (ciri-ciri tikus yang

sakit adalah sulit makan, kurus, bulunya berdiri, rambut kusam atau

rontok dan ada luka)

c. Tikus mati saat penelitian

4.3.3 Besar sampel

Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus

Federer sebagai berikut:

(n-1) (t-1) ≥ 15

n = jumlah sampel tiap kelompok perlakuan

t = jumlah kelompok perlakuan

Dari rumus ditas dapat dilakukan perhitungan besar sampel sebagai

berikut: t = 4, maka didapatkan:

(n-1) (4-1) ≥ 15

(n-1) 3 ≥ 15

(3n-3) ≥ 15

3n ≥ 18

n ≥ 18/3

n ≥6
13

Jumlah kelompok perlakuan pada penelitian ini adlaha 4, dari hasil

perhitungan di atas maka didapatkan besar sampel pada penelitian ini adlah 6 ekor

tikus per kelompok. Untuk mengantisipasi adanya kemungkinan hewan coba yang

mati selama penelitian makan untuk masing-masing kelompok ditambah 10% dari

jumlah yaitu 1 ekor hewan coba pada setiap kelompok, jadi masing-masing

kelompok terdiri dari 7 ekor tikus. Total besar sampel = 4 kelompok x 7 = 28 ekor

tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

4.3.4 Cara pengambilan sampel

Untuk menghindari bias karena variasi faktor umum dan berat badan maka

pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling).

Randomisasi langsung dapat dilakukan karena sampel yang diambil dari tikus

putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar sudah memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi sehingga dianggap cukup homogen. Semuanya diambil secara acak dari

kelompok tikus sebelum dilakukan aklimatisasi.

4.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

4.4.1 Variabel penelitian

Penelitian ini memiliki dua variabel, yaitu variabel independen (bebas) dan

variabel dependen (terikat).

a. Variabel independen : Tartrazine peroral dosis bertingkat

b. Variabel dependen : Gambaran nekrosis Hepatosit tikus putih (Rattus

norvegicus) jantan galur wistar.


14

4.4.2 Definisi operasional

Tabel 4.1 Definisi operasional


No Variabel Definisi Cara dan alat ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Operasional
1 Tartrazine Pewarna sintesis Pembuatan larutan 1 = 0 Rasio
(Independe makanan golongan tartrazine berdasarkan mg/150grBB/h
n) azo yang berwarna dosis yang telah ari
kuning, dalam ditetapkan oleh BPOM 2 = 3,5
bentuk bubuk yang RI (0-7,5 mg/kgBB) mg/150grBB/h
dicampurkan dan dikonversikan ke ari
dengan larutan dalam dosis tikus 3 = 7
aquades 1 ml menggunakan rumus mg/150grBB/h
Laurence, didapatkan ari
dosis 4 = 14
3,5mg/150grBB/hari, mg/150grBB/h
7mg/150grBB/hari, ari
14mg/150grBB/hari
dan ditimbang
menggunakan
timbangan
laboratorium
2 Gambaran Penilainan Pembacaan preparat Presentase Rasio
Nekrosis gambaran nekrosis akan dilakukan nekrosis
Hepatosit hepatosit dengan menggunakan hepatosis
(Dependen) perubahan struktur mikroskop cahaya
histopatologi dengan pembesaran
sebagai berikut: 400 kali dalam 5
1) Normal jika sel lapangan pandang
tampak berbentuk
poligonal,
sitoplasma
berwarna merah
homogen, dinding
sel berbatas tegas
2) Nekrosis
merupakan
kerusakan sel
permanen, terdapat
3 bentuk yaitu:
a) Piknotik jika inti
menjadi kecil dan
gelap
b) Karioreksis jika
inti terfragmentasi
c) Kariolisis jika
inti hilang

4.5 Bahan Penelitian


15

4.5.1 Hewan coba

Hewan coba yang digunakan tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

wistar yang berusia 8012 minggu dengan berat bada 150±10 gram.

4.5.2 Bahan pakan dan minum

Hewan coba pada penelitian ini akan diberi pakan BR-2 dan minum

Aquades

4.5.3 Bahan uji

Bahan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah pewarna sintesis

makanan tartrazine.

4.5.4 Bahan lain

Aquades untuk melarutkan tartrazine, asam pikrat untuk menandai sampel

dan bahan untuk pembuatan preparat histopatologi hati yaitu formalin 10%,

alkohol 95% atau 100% xylol, paraffin, larutan hematoksilin, larutan ammonia

dan larutan eosin.

4.6 Instrumen Penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang hewan

dengan ukuran 75x60 cm2 dan perlengkapannya, timbangan laboratorium, gelas

ukur, pipet tetes, spuit 1cc, sonde lambung, tabung kaca penyimpanan organ, alat

bedah untuk pengambilan spesimen, alat-alat untuk membuat preparat, mikroskop

cahaya dan kamera digital untuk pengambilan gambar preparat.

4.7 Prosedur Penelitian

4.7.1 Pengajuan Ethical Clearance


16

Penelitian ini akan dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang

terdapat pada deklarasi Helsinki terkait etik penelitian kesehatan. Sebelum

penelitain ini dilakukan, terlebih dahulu peneliti akan mengajukan permohonan

Ethical Clearance dari Komisi Etik Penelitian Lembaga Peneliti Muda Kesehatan

Aceh.

4.7.2 Persiapan hewan coba

Hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar dibagi

empat kelompok menggunakan randomisasi acak sederhana (simple random

sampling), untuk mencegah bias variasi faktor umur dan berat badan, dimana

masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus. Setiap kelompok ditempatkan

pada kandang yang terpisah. Maisng-masing hewan coba diberi tanda

menggunakan spidol permanen pada bagian ekor. Setelah itu, tikus diaklimatisasi

selama 7 hari sebelum diberi perlakuan. Hewan coba ditempatkan dalam kandang

yang telah dipersiapkan dan diatasnya ditutup dengan kawat penutup. Selama

aklimatisasi, tikus diberi diet standar berupa pakan BR-2 dan minum aquades ad

libitum, dipelihara dalam ruangan berventilasi cukup dan suhu ruangan berkisar

28-32oC. Pembersihan kandang dilakukan setiap 2 kali seminggu. Penerangan

diatur dengan siklus 12 jam terang dan12 jam gelap. Siklus terang dimulai dari

pukul 06.00 hingga 18.00 petang.

4.7.3 Pembuatan larutan Tartrazine

Dosis yang akan digunakan pada penelitian ini dihitung berdasarkan dosis

ADI sebagaimana yang telah ditetapkan oleh BPOM RI dan dikonversikan


17

kedalam dosis hewan menggunakan rumus Laurence (Lampiran2). Dosis untuk

setiap tikus dalam setiap kelompok perlakuan adalah:

a. Kelompok I = 3,5 mg/150grBB/hari

b. Kelompok II = 7 mg/150grBB/hari

c. Kelompok III = 14 mg/150grBB/hari

Tartrazine ditimbang menggunakan timbangan laboratorium sesuai dengan

dosis yang dibutuhkan untuk perlakuan tikus. Tartrazine dicampur dan diaduk

dengan larutan aquades 1 ml untuk setiap dosisnya. Volume tartrazine yang

diberikan secara peoral sebanyak dosis di atas yang dicampurkan dan diaduk

dalam larutan aquades 1 ml merupakan volume yang boleh diberikan berdasarkan

pada volume normal lambung tikus yaitu 3-5 ml. Jika pemberian lebih dari 1 ml

dikhawatirkan tidak ada cukup ruang untuk makanan dan minuman yang

dikonsumsi tikus tersebut. Larutan tartrazine yang telah dicampurkan aquades 1

ml dimasukkan dalam spuit 1cc yang telah dipasang sonde lambung. Larutan ini

selanjutnya disondekan ke dalam lambung tikus berdasarkan etika perlakuan

hewan coba.

4.7.4 Perlakuan hewan coba

Setelah aklimatisasi selama 7 hari, pada hari ke-8 hingga hari ke-29 hewan

coba akan diberi perlakuan berupa pemberian sonde lambung larutan pewarna

tartrazine sesuai dengan dosis tiap kelompoknya, yaitu:

a. Kelompok kontrol

Tiap tikus hanya diberikan larutan aquades 1 ml dalam spuit 1cc.

Larutan diberikan dengan cara disondekan ke dalam lambung tikus.


18

Selama pemberian perlakuan tikus tetap diberikan makan dan minum

secara ad libitum.

b. Kelompok I

Tiap tikus diberikan larutan tartrazine 3,5 mg/150grBB/hari yang

telah dilarutkan dengan aquades 1 ml dalam spuit 1cc. Larutan diberikan

dengan cara disondekan ke dalam lambung tikus. Selama pemberian

perlakuan tikus tetap diberikan makan dan minum secara ad libitum.

c. Kelompok II

Tiap tikus diberikan larutan tartrazine 7 mg/150grBB/hari yang

telah dilarutkan dengan aquades 1 ml dalam spuit 1cc. Larutan diberikan

dengan cara disondekan ke dalam lambung tikus. Selama pemberian

perlakuan tikus tetap diberikan makan dan minum secara ad libitum.

d. Kelompok III

Tiap tikus diberikan larutan tartrazine 14 mg/150grBB/hari yang

telah dilarutkan dengan aquades 1 ml dalam spuit 1cc. Larutan diberikan

dengan cara disondekan ke dalam lambung tikus. Selama pemberian

perlakuan tikus tetap diberikan makan dan minum secara ad libitum.

Pada hari ke-30 semua hewan coba akan dikorbankan sesuai dengan

prinsip-prinsip yang terdapat dalam deklarasi Helsinki terkait etik penelitian

kesehatan. Setelah dikorbankan hewan coba akan di bedah dan di ambil hatinya

lalu dimasukkan dalam tabung kaca yang sudah diberi larutan pengawet buffer

formalin 10%. Selanjutnya organ dikirim ke Laboratorium Histopatologi Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala untuk pembuatan preparat.


19

4.7.5 Pembuatan preparat

Pembuatan preparat akan dilakukan di Laboratorium Histopatologi

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Tahapan pembuatan

preparat adalah sebagai berikut:

1. Pemotongan Gross

Potong jaringan dengan ukuran panjang 2 cm, lebar 1 cm, tebal 3

mm.

2. Pengawetan/Fiksasi

Rendam jaringan pada cairan formalin 10% selama 18-24 jam

kemudian cuci dengan air mengalir selama 15 menit.

3. Pengeblokan/Embedding

Masukkan jaringan pada larutan Aceton selama 1 jam sebanyak 4

kali yang disebut dengan proses dehidrasi kemudian akan dilakukan proses

penjernihan dengan cara masukkan jaringan ke dalam larutan Xylol

selama ½ jam sebanyak 4 kali dilanjutkan dengan memasukkan jaringan

pada kotak kertas yang berisi praffin cair dengan suhu oven 55oC selama 1

jam sebanyak 4 kali setlah itu tanam jaringan pada parafin blok

(Embedding).

4. Penyayatan

Sayat blok yang sudah ditanamkan jaringan tersebut menggunakan

mikrotom dengan ketebalan 3-5 µ atau disesuaikan dengan tujuan

kemudian diambil sayatan yang berbentuk pita dengan menggunakan kuas

kecil, kemudian letakkan pada water bath (30oC) dan sayatan sudah
20

merentang diambil dan menggunakan object glass. Diamkan selama 24

jam.

5. Pewarnaan Rutin H&E

Masukkan object glass yang sudah tertempel sayatan preparat pada

larutan Xylol dan Alkohol 96% selama 15 menit sebanyak 3 kali

kemudian cuci dengan air mengalir selama 15 menit. Pengecatan inti akan

dilakukan dengan memasukkan preparat ke dalam Meyer Hematoksilin

(Harris) selama 15 menit kemudian cuci dengan air mengalir selama 15

menit. Setelah itu berikan Alkohol asam 1 dip dan cuci dengan air

mengalir selama 15 menit. Masukkan preparat ke dalam Lithiium

Carbonat selama 10-20 detik dan cuci dengan air mengalir selama 15

menit.

Sebagai zat penutup, rendam preparat ke dalam larutan Eosin Y

selama 10 menit kemudian dicuci dengan air mengalir. Selanjutnya

preparat dimasukkan ke dalam alkohol 96% selama 15 menit sebanyak 3

kali untuk dehidrasi dan keringkan dengan kain kasa pada sekitar jaringan.

Kemudian lakukan penjernihan dengan memasukkan ke dalam larutan

Xylol selama 15 menit dan tutup dengan deck glass lalu direkatkan

menggunakan perekat entelan atau Canada balsem.

4.7.6 Pemeriksaan dan pengamatan preparat

Pemeriksaan dan pengamatan akan dilakukan di Fakultas Kedokteran

Universitas Malikussaleh oleh peneliti dan akan dikonfirmasi kepada pembimbing


21

penelitian. Pengamatan yang dilakukan adalah dengan melihat jumlah presentasi

nekrosis hepatosit dengan menggunakan software optilab viewer.

4.8 Alur Penelitian

28 ekor tikus putih (Rattus norvegicus)


jantan galur wistar

Adaptasi selama 7 hari

K P1 P2 P3
7 ekor 7 ekor 7 ekor 7 ekor

Tartrazine Tartrazine Tartrazine


peroral dosis peroral dosis peroral dosis
3,5mg/150grBB 7mg/150grBB 14mg/150grBB
selama 21 hari selama 21 hari selama 21 hari

Pengambilan jaringan hati pada hari ke-30 dan pengecatan jaringan

Pemeriksaan struktur histologis hati tikus putih (Rattus


norvegicus) jantan galur wistar secara mikroskopis

Gambar 4.1 Skema alur penelitian

4.9 Pengumpulan Data

4.10 Analisis Data

Data yang dikumpulkan merupakan data primer hasil penelitian gambaran

histopatologi hati pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar dari

kelompok paparan tartrazine dan kelompok kontrol. Data yang diperoleh akan
22

diolah dengan menggunakan software komputer. Setelah data dikumpulkan

dan disajikan dalam bentuk tabel, kemudian dilakukan penilaian dengan analisis

varian, yaitu uji One Way ANOVA. Syarat untuk dilakukannya uji uji One Way

ANOVA adalah data terdistribusi normal dan seluruh varian data homogen, maka

karena itu dilakukannya uji Shapiro-Wilk untuk mengetahui apakah data sudah

terdistribusi secara normal dan uji Variasi Homogenitas untuk mengetahui apakah

seluruh varian data homogen. Uji One Way ANOVA dengan derajar kepercayaan

yang digunakan adlaah 95% (α=0,05), jika P-value lebih kecil dari α (p<0,05),

artinya ditemukan perbedaan di antara kelompok perlakuan, maka H0 ditolak dan

dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD) Post Hoc Test untuk

mengetahui kelompok mana yang berbeda secara bermakna. Namun apabila

syarat uji One Way Anova tidak terpenuhi, seperti data tidak berdistribusi normal

dan tidak homogen, maka data dianalisis dengan uji Non-Parametric yaitu uji

Kruskal-Wallis.
DAFTAR PUSTAKA

23

Anda mungkin juga menyukai