Anda di halaman 1dari 18

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Gambaran Umum dan Lokasi RSUD Ulin Banjarmasin

RSUD Ulin Banjarmasin adalah Rumah Sakit Umum dengan

klasifikasi kelas A (SK Menkes No. 004/Menkes/SK/l/2013) yang berada

di kota Banjarmasin Kalimantan Selatan. RSUD Ulin Banjarmasin

beralamat di jalan jendral A. Yani Km. 1 No. 43 Banjarmasin. RSUD Ulin

berdiri di atas lahan seluas 63.920 m2 dan luas bangunan 55.000 m2.

RSUD Ulin berdiri sejak tahun 1943.

Pada tahun 1995 sampai tahun 2002 berdasarkan Perda 06 Th

1995, status RSUD Ulin sebagai Unit Swadana. Untuk meningkatkan

kemampuan jangkauan dan mutu pelayanan maka berdasarkan SK

Menkes No. 004/Menkes/SK/I/2013 tanggal 7 Januari 2013 tentang

Peningkatan Kelas RSUD Ulin Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan

menjadi Rumah Sakit Umum dengan klasifikasi kelas A, serta

Kepmendagri No. 445.420-1279 tahun 1999 tentang penetapan RSUD

Ulin Banjarmasin sebagai Rumah Sakit Pendidikan Calon Dokter dan

Calon Dokter Spesialis. Dengan demikian tugas dan fungsi RSUD Ulin

selain mengemban fungsi pelayanan juga melaksanakan fungsi

pendidikan dan penelitian. Sejalan dengan upaya desentralisasi maka

berdasarkan Perda No. 9 tahun 2002 status RSUD Ulin berubah menjadi

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

Saat ini RSUD Ulin Banjarmasin sudah menjalani Survei

Akreditasi RS: Akreditasi Penuh Tingkat Lengkap 16 Bidang (SK Menkes

53
54

2007 YM.01.10/III/1142/07) dan Akreditasi ulang dengan predikat lulus

Penuh 16 Bidang Pelayanan pada tahun 2010.

RSUD Ulin Banjarmasin merupakan rumah sakit pusat rujukan di

Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Saat ini

sebagai Lembaga Teknis Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dengan

klasifikasi Kelas A telah ditetapkan sebagai PPK Badan Layanan Umum

Daerah (BLUD) bertahap melalui Keputusan Gubernur Kalimantan

Selatan No.188.44/0456/Kum/2007 tanggal 27 Desember Tahun 2007.

PPK-BLUD Penuh melalui Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan

No.188.44/0464/Kum/2009. Sebagai RS-BLUD, RSUD Ulin Banjarmasin

mempunyai tugas utama melaksanakan ”Pelayanan Medik, Pendidikan

Kesehatan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat”. Adapun tujuannya

adalah terselenggaranya pelayanan Upaya Kesehatan Perorangan

(UKP) secara efektif dan efisien melalui pelayanan kuratif dan rehabilitatif

yang dilaksanakan secara terpadu dengan pelayanan preventif dan

promotif serta pelayanan rujukan, pendidikan, pelatihan dan penelitian-

pengembangan

2. Visi dan Misi RSUD Ulin Banjarmasin

Visi RSUD Ulin Banjarmasin yaitu ”Terwujudnya Pelayanan

Rumah Sakit yang Profesional dan Mampu Bersaing di Masyarakat

Ekonomi ASEAN” mengutamakan mutu pelayanan, pendidikan dan

penelitian serta keselamatan pasien. Dengan Misi sebagai berikut:

a. Menyelenggarakan pelayanan terakreditasi paripurna yang

berorientasi pada kebutuhan dan keselamatan pasien, bermutu serta

terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.


55

b. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, penelitian dan

pengembangan sub spesialalis sesuai kebutuhan pelayanan

kesehatan, kemajuan ilmu pengetahuan dan penapisan teknologi

kedokteran.

c. Menyelenggarakan manajemen RS dengan kaidah bisnis yang sehat,

terbuka, efisien, efektif, akuntabel sesuai ketentuan perundang-

undangan yang berlaku.

d. Menyiapkan SDM, sarana prasarana dan peralatannya untuk mampu

bersaing dalam era pasar bebas ASEAN.

e. Mengelola dan mengembangkan SDM sesuai dengan kebutuhan

pelayanan dan kemampuan Rumah Sakit.

3. Gambaran Umum Poliklinik Kaki Diabetik RSUD Ulin Banjarmasin

Poliklinik kaki diabetik RSUD Ulin Banjarmasin mulai dibuka pada

bulan Juni 2009 hingga sekarang. Pada saat pertama kali dibuka,

poliklinik kaki diabetik RSUD Ulin Banjarmasin hanya dijalankan oleh

satu orang dokter umum tanpa memiliki tenaga perawat. Pada bulan juni

2010, poliklinik kaki diabetik RSUD ulin Banjarimasin sudah memiliki 1

dokter penanggung jawab yaitu dokter umum . Serta memiliki 3 tenaga

perawat, 1 petugas administrasi dan 1 pekarya.

Adapun tindakan yang dilakukan pada pasien poliklinik kaki

diabetik antara lain adalah perawatan luka diabetes baik itu yang terletak

pada kaki ataupun anggota tubuh lainnya. Apabila luka diabetes yang

dialami pasien sudah mencapai grade 5, maka pasien tersebut akan

dikonsultasikan dengan dokter orthopaedi untuk dilakukan rencana

tindakan pembedahan. Adapun tindakan pembedahan yang dilakukan

poliklinik kaki diabetik hanya pembedahan minor.


56

B. Hasil Penelitian

1. Uji Normalitas data

Uji Normalitas adalah sebuah uji yang dilakukan dengan tujuan

untuk menilai sebaran data pada sebuah kelompok data atau

variabel, apakah sebaran data tersebut berdistribusi normal p = >0,05

ataukah tidak p = < 0,05.

Tabel 4.0 Uji Normalitas Data

Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.


Motivasi .088 63 .200* .969 63 .117
Self
.132 63 .008 .967 63 .093
Efficacy

Berdasarkan tabel diatas dengan jumlah responden maka untuk

interpretasi data menggunakan Kolmogorov-Smirnov karena jumlah

sampel lebih dari 50 dan didapatkan nilai untuk motivasi p = 0,200 lebih

besar dari 0,05 serta untuk nilai self efficacy p = 0,008 lebih kecil dari

0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi secara tidak

normal.

2. Analisis Univariat

Desksripsi karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi

umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan terakhir dan lama menderita

diabetes melitus.

a. Distribusi karakteristik usia responden (n=63)

Di bawah ini adalah data hasil dari penelitian tentang distribusi

karakteristik usia responden:


57

Berdasarkan tabel 4.1 Distribusi karakteristik usia responden

Usia F %
34-50 Tahun 36 57,1
51-70 Tahun 27 52,9
Total 63 100

Berdasarkan tabel diatas, dari 63 responden dapat disimpulkan

bahwa terdapat usia responden dengan rentang 34-50 tahun

sebanyak 36 (57,1%) orang dan usia 51-70 tahun sebanyak 27

(52,9%) orang.

b. Distribusi karakteristik jenis kelamin responden (n=63)

Di bawah ini adalah data hasil dari penelitian tentang distribusi

karakteristik jenis kelamin responden:

Berdasarkan tabel 4.2 Distribusi karakteristik jenis kelamin responden

No Kategori jenis kelamin F %


1 Laki-Laki 32 50,8
2 Perempuan 31 49,2
Jumlah 63 100

Berdasarkan tabel diatas, dari 63 responden dapat disimpulkan

bahwa jenis kelamin penderita diabetes melitus dengan komplikasi

ulkus kaki diabetik yaitu terdiri dari 32 (50,8%) orang berjenis kelamin

laki-laki dan 31 (49,2%) orang berjenis kelamin perempuan.

c. Distribusi karakteristik pekerjaan responden (n=63)

Di bawah ini adalah data hasil dari penelitian tentang distribusi

karakteristik pekerjaan responden:


58

Berdasarkan tabel 4.3 Distribusi karakteristik pekerjaan responden

No Kategori Pekerjaan F %
1 Ibu Rumah Tangga 25 39.7
2 Swasta 16 25.4
3 Wiraswasta 4 6.3
4 Karyawan 1 1.6
5 Pensiunan 1 1.6
6 Petani 5 7.9
7 Tidak Bekerja 11 17.5
Total 63 100.0

Berdasarkan tabel diatas, dari 63 responden dapat disimpulkan

bahwa pekerjaan pasien penderita diabetes melitus dengan

komplikasi ulkus kaki diabetik yaitu terdiri dari 25 (39,7%) ibu rumah

tangga, 16 (25,4%) orang swasta, 4 (6,3%) orang wiraswasta, 1

(1,6%) orang pensiunan, 1 (1,6%) orang karyawan dan 11 (17.5%)

orang tidak bekerja.

d. Distribusi karakteristik pendidikan terakhir responden (n=63)

Di bawah ini adalah data hasil dari penelitian distribusi karakteristik

pendidikan terakhir responden:

Berdasarkan tabel 4.4 Distribusi karakteristik pendidikan terakhir

responden

No Kategori Pendidikan F %
1 SD 7 11,1
2 SMP 22 34,9
3 SMA 33 52,4
4 Sarjana 1 1.6
Total 63 100

Berdasarkan tabel diatas, dari 63 responden dapat disimpulkan

bahwa pendidikan terakhir pada pasien penderita diabetes melitus

dengan komplikasi ulkus kaki diabetik yaitu terdiri dari 7 (11,1%)


59

orang dengan pendidikan terakhir SD, 22 (34,9%) orang dengan

pendidikan terakhir SMP, 33 (52,4%) orang dengan pendidikan

terakhir SMA dan 1 (1,6%) orang dengan pendidikan terakhir sarjana

e. Distribusi karakteristik lama menderita diabetes responden (n=63)

Di bawah ini adalah data hasil dari penelitian tentang distribusi

karakteristik lama menderita diabetes responden:

Berdasarkan gambar 4.5 Distribusi karakteristik lama menderita

diabetes melitus responden

Lama Menderita Diabetes F %


< 10 Tahun 42 66,7
11-20 Tahun 20 31,7
> 21 Tahun 1 1,6
Total 63 100

Berdasarkan tabel diatas, dari 63 responden dapat disimpulkan

bahwa pasien yang memiliki riwayat lama menderita diabetes melitus

dengan < 10 tahun sebanyak 42 (66,7%) orang, rentang 11-20

(31,7%) sebanyak 20 orang dan > 21 (1,6%) sebanyak 1 orang.

3. Analisis Bivariat

Analisis hubungan motivasi dengan self efficacy pada pasien yang

melakukan perawatan ulkus kaki diabetik di poliklinik kaki diabetik RSUD

Ulin Banjarmasin dapat dilihat pada tabel berikut:


60

Tabel 4.6 Hubungan Motivasi Dengan Self Efficacy Pada Pasien Yang
Melakukan Perawatan Ulkus Kaki Diabetik Di Poliklinik Kaki
Diabetik RSUD Ulin Banjarmasin
Motivasi Self Efficacy
n % N %
Tinggi 61 96,8 62 98,4

Rendah 2 3,2 1 1,6


Total 63 100 63 100

p=0,000 r=355 α=0,1

Berdasarkan tabel 4.6, menunjukan bahwa motivasi pasien

diabetes melitus dengan komplikasi ulkus kaki diabetes dalam

melakukan perawatan luka yang memililiki motivasi tinggi sebesar 61

(96,8%) pasien dan yang memiliki motivasi rendah sebesar 2 (3,2%)

pasien serta self efficacy pasien diabetes melitus dengan komplikasi

ulkus kaki diabetes dalam melakukan perawatan luka yang memililiki

motivasi tinggi sebesar 62 (98,4%) pasien dan yang memiliki motivasi

rendah sebesar 1 (1,6%) pasien.

Berdasarkan hasil statistik hubungan variabel motivasi dengan self

efficacy pada pasien diabetes melitus dengan komplikasi luka kaki

diabetik yang melakukan perawatan luka dengan menggunakan uji

korelasi Kendall Tau diperoleh p=0,000 dan nilai α=0,1 dengan derajat

kesalahan 10 %. Oleh karena itu, nilai p (probabilitas) kurang dari 0,1

(p<0,1), maka dapat disimpulkan bahwa hubungan motivasi dengan self

efficacy pasien yang melakukan perawatan luka adalah bermakna. Nilai

r=355 yang berarti bahwa arah positif dan tingkat hubungan sedang.

Arah positif menunjukan bahwa semakin banyak orang yang mempunyai

motivasi tinggi dalam melakukan perawatan luka kaki diabetik maka

semakin tinggi pula self efficacy pasien tersebut.


61

C. Pembahasan

1. Karakteristik Responden

a. Usia

Pada tabel 4.1, terdapat usia responden dengan rentang 30-50

tahun sebanyak 36 (57,1%) orang dan usia 51-70 tahun sebanyak 27

(52,9%) orang. Penderita diabetes melitus umunya mulai terjadi pada

dewasa madya (45-60 tahun) disebabkan oleh proses penuaan yang

menyebabkan fungsi organ tubuh menurun sehingga organ tubuh

tidak dapat bekerja secara optimal. Hal ini sejalan dengan penelitian

Wahyuni (2010) yang menyatakan umumnya tubuh manusia akan

secara fisiologis menurun setelah usia 40 tahun. Menurut Wahyuni

(2010), diabetes sering terjadi setelah usia tersebut terutama pada

usia setelah 45 tahun. Pada usia tersebut terjadi juga penurunan atau

resistensi insulin sehingga pengendalian glukosa darah kurang.

Proses penuaan juga menyebabkan sel β pankreas berkurang

kemampuannya dalam memproduksi insulin (Trisnawati & Setyorogo,

2013).

b. Jenis Kelamin

Pada tabel 4.2, menunjukan mayoritas responden terdiri dari

32 (50,8%) orang laki-laki dan 31 (49,2%) orang perempuan. Namun

penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Ernawati (2015) yang

menyebutkan dalam penelitiannya bahwa responden yang menderita

diabetes melitus terdiri dari 38 (41,3%) orang laki-laki dan 54 (58,7%)

orang perempuan. Sedangkan, penelitian Rembang (2017)

menyebutkan dalam penelitiannya bahwa responden yang menderita

diabetes melitus terdiri dari 15 (46,9%) orang laki-laki dan 17 (53,1%)

orang perempuan.
62

c. Pekerjaan

Tabel 4.3, Mayoritas pekerjaan responden adalah ibu rumah

tangga (39,7%). Ibu rumah tangga memiliki kebiasaan mencicipi

makanan saat memasak, hal ini berarti terdapat intake kalori berlebih

yang dapat mengarah terjadinya peningkatan kadar glukosa. Hal ini

juga didukung oleh Anggina et al., (2010) yang menyatakan bahwa

70% penderita diabetes melitus adalah ibu rumah tangga. Selain itu,

jenis pekerjaan juga secara tidak langsung menggambarkan aktivitas

fisik yang dilakukan sehari-hari. Pada saat tubuh melakukan aktivitas,

glukosa digunakan sebagai sumber energi sebaliknya jika kurang

bergerak zat makanan hanya ditimbun sebagai lemak dan gula

(Juliansyah et al., 2014). Aktivitas fisik juga membantu hormon insulin

mengabsorsi glukosa kedalam sel tubuh termasuk ke otot untuk

energi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang

menjelaskan pasien yang menderita diabetes melitus rata-rata ibu

rumah tangga.

d. Pendidikan Terakhir

Tabel 4.4, mayoritas pendidikan terakhir responden adalah

SMA (52,4%). Tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi

kemampuan seseorang dalam perilaku. Hal ini didukung dengan

pernyataan Irawan (2010) bahwa tingkat pendidikan tinggi biasanya

memiliki banyak pengetahuan tentang kesehatan. Namun hasil ini

tidak sejalan dengan penelitian Rembang (2017) yang menunjukan

mayoritas pendidikan terakhir pada penelitiannya adalah SD (53,1%).

e. Lama Menderita Diabetes

Gambar 4.5, pasien yang memiliki riwayat lama menderita

diabetes melitus dengan rentang < 10 tahun sebanyak 42 (66,7%)


63

orang, rentang 11-20 (31,7%) sebanyak 20 orang dan rentang > 21

(1,6%) sebanyak 1 orang. Pasien diabetes melitus yang memiliki

durasi diabetes melitus lebih lama akan lebih baik dari segi

pengetahuan dan adaptasi terhadap penyakitnya, hal ini disebabkan

banyaknya pengalaman dan sering terpaparnya informasi mengenai

diabetes melitus. Penelitian oleh Bai, et al. (2009) yang mengatakan

bahwa penderita diabetes melitus dengan durasi diabetes melitus

lebih lama memiliki self care yang lebih baik dibandingkan dengan

penderita yang memiliki durasi lebih pendek. Penelitian yang

dilakukan Phitri dan Widyaningsih (2013) menyatakan bahwa

seseorang yang sudah lama menderita diabetes melitus akan

mempunyai pengetahuan dan pengalaman sehingga mampu

merespon terhadap penyakitnya dengan rajin melakukan

pengobatan.

2. Motivasi pasien diabetes melitus yang melakukan perawatan luka di

Poliklinik Kaki diabetik RSUD Ulin Banjarmasin

Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini, dapat di ketahui

bahwa motivasi pada pasien diabetes yang melakukan perawatan ulkus

kaki diabetik di Poliklinik Kaki Diabetik RSUD Ulin Banjarmasin sebagian

besar memiliki motivasi tinggi sebanyak 61 (96,8%) orang. Hal ini

membuktikan bahwa teori Maslow yang mengatakan bahwa kebutuhan

manusia yang paling dasar yaitu kebutuhan fisiologis dalam arti

kesehatan merupakan hal yang paling mendasar yang harus terpenuhi

sebelum kebutuhan yang lain muncul.

Klasifikasi motivasi sebagaimana yang dikemukakan Hamzah

(2014) motivasi internal dan eksternal pada pasien diabetes melitus

dengan ulkus kaki diabetik merupakan dorongan untuk melakukan


64

perubahan perilaku pada umumnya meliputi indikator intrinsik dan

ekstrinsik. Indikator intrinsik meliputi adanya hasrat, keinginan, dorongan,

kebutuhan, harapan dan cita-cita. Sedangkan, indikator ekstrinsik terdiri

dari pengamatan sendiri, melalui saran dan anjuran, dorongan dari orang

lain.

Motivasi tinggi terbentuk karena adanya suatu motivasi yang

berasal dari dalam diri seperti hasrat, keinginan, dorongan, kebutuhan

untuk melakukan kegiatan, harapan dan cita-cita. Dengan adanya hasrat

dan berkeinginan untuk melakukan perawatan luka kaki diabetik serta

keinginan untuk sembuh, maka pasien akan terdorong untuk memiliki

motivasi tinggi dan dapat dilihat dari salah satu kuesioner yaitu banyak

pasien yang meyakini bahwa luka kaki diabetik dapat disembuhkan yang

menjadikan faktor pendorong motivasi pada pasien. Motivasi yang

berasal dari eksternal atau dari luar meliputi dukungan keluarga,

masyarakat, tenaga kesehatan juga menjadi faktor predisposisi pasien

dalam melakukan perawatan luka kaki diabetik. Motivasi itu sendiri

merupakan sesuatu yang mendorong, atau pendorong seseorang

bertingkah laku untuk mencapai tujuan tertentu (Saam dan Wahyuni,

2012).

Penelitian Saam dan Wahyuni (2012) mengatakan motivasi erat

hubungannya dengan diet yang dilakukan pasien diebets melitus. Pasien

yang mempunyai motivasi tinggi akan mengikuti program diet dengan

teratur karena ingin sembuh dan rutinnya berkonsultasi ke tenaga

kesehatan untuk mendapatkan pola diet yang tepat. Sebaliknya motivasi

yang rendah disebabkan karena pasien yang tidak memperhatikan

kesehatannya, tentang mencari tahu jenis makanan-makanan yang tepat

baginya. Sehingga motivasi tidak hanyar berpengaruh pada pasien


65

diabetes melitus dengan komplikasi ulkus kaki diabetik yang melakukan

perawatan luka , tetapi juga berpengaruh pada pasien diebate melitus

yang sedang menjalani diet

Hasil berbeda ditunjukan pada motivasi yang rendah sebanyak 2

(3,2%) orang. Meskipun tidak terlalu signifikan tetapi hal ini menunjukan

bahwa pasien diabetes melitus yang melakukan perawatan luka kaki

diabetik kurang termotivasi dari dalam maupun dari luar seperti kurang

terdorong untuk melakukan perawatan luka seperti adanya faktor

ekonomi dan kondisi kesehatan yang kurang mendukung.

3. Self efficacy pasien diabetes melitus yang melakukan perawatan luka di

Poliklinik Kaki diabetik RSUD Ulin Banjarmasin

Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini, dapat di ketahui

bahwa self efficacy pada pasien diabetes yang melakukan perawatan

ulkus kaki diabetik di Poliklinik Kaki Diabetik RSUD Ulin Banjarmasin

sebagian besar memiliki self efficacy tinggi sebanyak 62 (98,4%) orang

dan hanya 1 (1,6%) orang yang memiliki self efficacy rendah. Terdapat

beberapa faktor yang mempengaruhi self-efficacy antara lain usia,

tingkat pendidikan, dukungan keluarga dan lama menderita diabetes

melitus.

Penelitian oleh Albikawi dan Abuadas (2015) menyatakan bahwa

pasien diabetes melitus yang berusia muda lebih sering melakukan

perawatan kaki dibandingkan dengan pasien yang berusia tua. Hal ini

dikarenakan pasien yang berusia tua memiliki penyakit kronik lainnya

dan sudah terkena komplikasi diabetes melitus yang akan menghambat

dalam perawatan diri. Selanjutnya, tingkat pendidikan biasanya

berpengaruh terhadap kemampuan dalam mengolah informasi. Pasien

dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dilaporkan memiliki self


66

efficacy dan perilaku perawatan diri yang baik. Ngurah (2014)

mengatakan penderita diabetes melitus yang memiliki pendidikan tinggi

lebih mudah untuk mengakses informasi mengenai penyakit dan

penatalaksanaannya untuk mencegah terjadinya komplikasi lanjut yang

dapat disebabkan oleh diabetes melitus tipe 2 seperti ulkus kaki

diabetik. Hal ini terjadi karena mereka lebih matang terhadap perubahan

pada dirinya sehingga lebih mudah menerima pengaruh positif dari luar

termasuk informasi kesehatan (Ngurah & Sukmayanti, 2014).

Pengetahuan yang baik juga merupakan kunci keberhasilan dari

manajemen diabetes melitus dengan komplikasi ulkus kaki diabetik.

Faktor selanjutnya adalah dukungan keluarga, hasil penelitian

Wantiyah (2010) menemukan bahwa ada hubungan antara dukungan

sosial atau keluarga dengan self efficacy. Begitu juga dari hasil penelitian

Pertiwi (2015) yang menunjukan bahwa dukungan pasangan

memberikan kontribusi pada kepatuhan menjalani pengobatan diabetes

mellitus. Pada penelitian Ariani (2011) menyimpulkan bahwa responden

yang mendapat dukungan keluarga yang baik memiliki peluang 5 kali

menunjukam self efficacy yang baik dibandingkan dengan reponden

yang kurang mendapatkan dukungan keluarga.

Faktor yang terakhir adalah lama menderita diabetes melitus

responden dalam penelitian ini memiliki rata-rata lama menderita

diabetes melitus selama 9 tahun. Seiring dengan dengan lamanya

penyakit yang diderita, pasien dapat belajar bagaimana mengelola

penyakitnya (Ngurah & Sukmayanti, 2014). Penelitian Wu et al., (2006

dalam Ariani 2011) menemukan bahwa pasien yang telah menderita

diabetes melitus ≥ 11 tahun memiliki efikasi diri yang baik daripada

pasien yang menderita diabetes melitus <10 tahun. Hal ini disebabkan
67

karena pasien telah berpengalaman mengelola penyakitnya dan memiliki

koping yang baik. Sedangkan menurut Ngurah (2014) menemukan

bahwa pasien yang menderita diabetes melitus tipe 2 > 5 tahun memiliki

self efficacy yang baik. Serta responden yang pernah mendapat

peyuluhan memiliki peluang melakukan perawatan kaki 2 kali lebih baik

dibandingkan yang belum pernah mendapat penyuluhan (Diani, 2013).

4. Hubungan Motivasi Dengan Self Efficacy Pada Pasien Yang Melakukan

Perawatan Ulkus Kaki Diabetik

Berdasarkan tabel 4.6 dapat disimpulkan ada hubungan antara

motivasi dengan self efficacy pada pasien yang melakukan perawatan

ulkus kaki diabetik dengan nilai p=0,000, r=355, dengan kekuatan

korelasi sedang dan arah korelasi positif. Berdasarkan hasil tersebut

maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi motivasi makan semakin

tinggi pula self efficacy pasien dalam melakukan perawatan ulkus kaki

diabetik.

Motivasi didefinisikan sebagai dorongan yang terdapat dalam diri

seseorang untuk berusaha mengadakan perubahan tingkah laku yang

lebih baik dalam memenuhi kebutuhannya (Hamzah, 2014).

Keberhasilan dari pengelolaan diabetes melitus tergantung pada

motivasi dan kesadaran pasien itu sendiri untuk melakukan manajemen

perawatan diri. Penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian sebelumnya

yang dilakukan oleh Shigaki, et al (2010), bahwa individu yang memiliki

motivasi yang tinggi akan memiliki frekuensi perawatan diri yang baik.

Motivasi merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh

terhadap efikasi diri pasien. Motivasi yang tinggi dapat meningkatkan

efikasi diri pasien diabetes melitus.


68

Menurut Social Cognitive Theory, motivasi manusia diregulasi dari

pengalaman sebelumnya dan dipengaruhi oleh 3 motivator yang

menstimulasi diri sendiri untuk bermacam-macam tujuan dan aspirasi

yaitu atribut, ekspektasi dan tujuan. Pertama, atribut, bagaimana individu

memaknai kesuksesan dan kegagalan mereka. Kedua, motivasi

merupakan fungsi dari ekspektasi individu dan pola perilaku yang akan

menghasilkan suatu outcome sesuai yang diharapkan. Ketiga, adalah

tujuan, untuk mendapatkan efek motivasi, individu harus mempunyai

tujuan dan berbagai perubahan pada beberapa standar sehingga mereka

dapat mengevaluasi diri mereka sendiri (Jamdafrizal, 2006).

Individu yang memiliki motivasi yang tinggi akan terlihat dalam

tindakan atau perilakunya. Individu akan memiliki keyakinan yang baik

bahwa dirinya mampu untuk melakukan suatu tugas atau tindakan

tertentu. Individu yang berperilaku berdasarkan motivasi intrinsik akan

lebih bertahan dan terus termotivasi daripada individu yang berperilaku

karena motivasi ekstrinsik. Oleh karena itu tenaga kesehatan harus

memberikan pendidikan kesehatan yang jelas untuk meningkatkan

kesadaran diri pasien serta meningkatkan motivasi intrinsik pasien agar

pasien memiliki keyakinan akan kemampuannya dalam melakukan

perawatan diri benar melakukan perawatan diri tersebut atas kesadaran

sendiri atau tanpa paksaan orang lain (Purwanti, 2014).

Pada tabel 4.6 terlihat bahwa 62 (98,4%) responden memiliki self

efficacy yang tinggi dalam melakukan perawatan ulkus kaki diabetik.

Self-efficacy merupakan keyakinan individu tentang kemampuannya

untuk memotivasi diri, sumber daya kognitif, dan tindakan yang di

perlukan untuk berhasil melaksanakan tugas tertentu dalam konteks

tertentu (Ngurah & Sukmayanti, 2014). Menurut Alwisol, 2016 sumber


69

self efficacy merupakan Perubahan tingkah laku, dalam sistem Bandura

kuncinya adalah perubahan ekspektasi self efficacy. self efficacy atau

keyakinan kebiasaan diri itu dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau

diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat sumber, yakni

pengalaman menguasai sesuatu prestasi, pengalaman vikarius, persuasi

social, dan pembangkitan emosi.

Meningkatnya self-efficacy dapat meningkatkan kepatuhan

terhadap rekomendasi pengobatan regimen pada penyakit kronis

(Mishali et al., 2011). Self-efficacy pada penderita diabetes melitus akan

mendorong pasien untuk mempertahankan perilaku yang dibutuhkan

dalam perawatan diri pasien seperti diet, medikasi, dan perawatan

diabetes melitus lainnya (Ngurah & Sukmayanti, 2014). Pasien diabetes

melitus tipe 2 yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan lebih optimal

dalam manajemen penyakitnya nya seperti diet, latihan fisik, monitoring

gula darah, dan perawatan kaki. Hal ini menjadi sangat penting karena

dengan pengelolaan yang baik, maka komplikasi lebih lanjut dapat

dihindari. Self-efficacy juga berhubungan dengan motivasi, di mana

motivasi ini memberikan pengaruh terhadap self-efficacy pasien. Motivasi

dan self-efficacy juga diperlukan bagi pasien diabetes melitus untuk

meningkatkan kemandirian dalam mengelola penyakitnya (Purwanti,

2013). Self-efficacy memegang peranan penting dalam proses

perubahan perilaku, karena self-efficacy dapat menstimulasi motivasi

terhadap perilaku kesehatan melalui ekspektasi dari keyakinannya

(Mohebi et al., 2013).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara motivasi

dengan self efficacy terhadap perilaku perawatan ulkus kaki diabetik.

Perilaku perawatan kaki merupakan salah satu komponen yang ada


70

dalam self care pada pasien diabetes melitus. Hal ini dikarenakan pasien

diabetes melitus yang memiliki self efficacy baik akan termotivasi dan

mendorong dirinya untuk mempertahankan kesehatannya dengan

melakukan menejemen diabetes melitus termasuk melakukan perawatan

ulkus kaki diabetik.

Anda mungkin juga menyukai