Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak awal tahun 2017, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)


mencatat telah terjadi 2.175 kejadian bencana di Indonesia. Adapun jumlah
tersebut terdiri dari banjir 737 kejadian, puting beliung 651 kejadian, tanah
longsor 577 kejadian, kebakaran hutan dan lahan 96 kejadian, banjir dan tanah
longsor 67 kiejadian, gelombang pasang/ abrasi 8 kejadian , serta letusan gunung
api2 kejadian. Sebanyak 95% kejadian bencana di Indonesia adalah bencana
hidrometeorologi. Dari kejadian tersebut, jumlah korban meninggal mencapai 335
orang, korban luka-luka sebanyak 969 orang, dan korban mengungsi sebanyak
3,22 juta jiwa (Putri 2017)

Sulawesi Tengah, yakni Palu dan Donggala merupakan titik pertemuan


tiga lempeng tektonik utama dunia yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng
Pasifik, dan lempang Eurasia. Sehingga Palu dan Donggala berada di zona
benturan tiga lempeng besar dunia sehingga menjadi daerah yang rawan terjadi
gempa. Ahli geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Subagyo
Pramumijoyo menjelaskan, pergerakan lempeng-lempeng tersebut, mendorong
pergerakan sesar geser Palu Koro yang mengakibatkan gempa. Sesar ini tergolong
aktif karena pergerakannya mencapai 45 milimeter per tahun. Gempa di Sulawesi
mempunyai mekanisme sesar geser yang tidak menimbulkan perubahan volume
air laut atau dengan kata lain tidak memicu tsunami (Karouw, 2018)

Subagyo menuturkan terjadinya tsunami di Palu dimungkinkan karena


adanya lonsoran sedimen di bawah laut yang cukup besar yang muncul akibat
pergeseran lempeng. Selain itu juga lokasi Palu yang berada di ujung teluk yang
sempit. Bentuk teluk yang menyempit ke daratan menjadikan gelombang tsunami
mengarah ke kota Palu. Gempa bumi yang mengguncang Palu dan Donggala tidak

1
hanya mengakibatkan bencana susulan berupa tsunami, tetapi juga memunculkan
fenomena tanah bergerak atau likuifaksi. Likuifaksi ini diketahui terjadi di daerah
Sigi Sulawesi Tengah. Lukuifaksi disebutkan Subagyo banyak terjadi pada tanah
yang berpasir. Saat terjadi gempa tanah yang berpasir tercampur dengan air tanah
dibawahnya, melarut dengan air tanah dan menerobos rekahan tanah di
permukaan (Karouw, 2018)

Badan Nasional Penanggulangan Bencana menginformasikan bahwa


bencana gempa, tsunami dan likufaksi di Sulawasi Tengah tepatnya di Palu, Sigi
dan Donggala yang terjadi pada tanggal 28 September 2018 mencatat korban
meninggal dunia mencapai 2.256 orang dengan sebaran 1.703 orang di Kota Palu,
Donggala 171 orang, Sigi 336 orang, Parigi Moutong 15 orang, dan Pasangkayu 1
orang, sementara 1.309 orang hilang. Sebanyak 4.612 orang luka-luka dan
223.751 mengungsi di 122 titik (I.Malia, 2018). Bencana yang menghantam
wilayah Palu, Sigi dan Donggala telah membuat tidak kurang dari 164.626 orang
kehilangan tempat tinggal, bahkan mata pencaharian. Ada sekitar 333 titik tenda-
tenda pengungsi di tiga wilayah terkena dampak itu (Malia 2018).

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengkaji data


kerugian akibat bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda sejumlah
wilayah di Sulawesi Tengah dengan hasil perhitungan mencapai lebih dari Rp
13,82 triliun dengan pembagian sektor ekonomi mencapai Rp 1,99 triliun dan
kerusakan mencapai Rp 11,83 triliun. (Rachman, 2018)

Bencana merupakan situasi vulnerabel karena secara psikologis dapat


mengakibatkan rasa takut, penolakan jangka panjang dan jangka pendek,
kehilangan akibat kerusakan, kematian, dan kehilangan harta, penyesuaian sosial,
ekonomi, dan politik bagi masyarakat (Lewis, Kelman & Lewis, 2004 dalam
Priyo, 2012). Bencana alam berdampak pada individu atau kelompok dan situasi
yang lebih beresiko, dan susahnya akses sumber daya yang mempengaruhi
menurunya kemampuan mengantisipasi, mengatasi, melawan dan pulih dari
dampak bahaya alam (Wisner, et al., 2004 dalam Priyo, 2012)

2
Bencana menimbulkan dampak psikologis meliputi efek jangka pendek
seperti kejutan, kecemasan, gangguan tidur dan rasa bersalah. Beberapa studi
menemukan bahwa sebagian besar perempuan dilaporkan menderita gangguan
emosi lebih tinggi dibandingkan laki-laki (WHO, 2002).

Bencana gempa, tsunami dan likuifaksi di Palu, Sigi, dan Donggala


menimbulkan berbagai masalah kesehatan yang sangat mempengaruhi pemenuhan
kebutuhan seksual dan memerlukan perhatian serius. Faktor psikologis yang
berkontribusi terjadinya perubahan pemenuhan kebutuhan seksual tersebut dapat
meliputi; stres emosional terutama karena berkaitan dengan hubungan di keluarga
dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, kurangnya harga diri, kurangnya
privasi yang memadai dan kecemasan. Semua faktor ini dapat berkontribusi
terjadinya perubahan pada kurangnya libido atau kesulitan mengalami orgasme.

Bencana alam menimbualkan berbagai dampak yang mengakibatkan


keluarga harus melakukan pola adaptasi, Roy (2009), menyatakan bahwa individu
dipandang sebagai “Holistic adaptif system” dalam segala aspek dan merupakan
satu kesatuan. Stimuli dari lingkungan internal dan eksternal yang berupa fokal,
kontekstual dan residual mengaktifakn proses koping regulator dan kognator.
Proses koping ini akan mengahsilkan respon tingkah laku berhubungan dengan
fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Respon-respon ini bisa
adaptif, mendukung integritas dan keseluruhan siatem manusia. Gempa yang
disusul dengan tsunami serta likuifaksi mengakibatkan keluarga harus beradaptasi
dan akan menghsilkan output prilaku adaptif atau respon inefektif yang secara
langsung akan mempengaruhi kebutuhan dasar manusia, salah satu adalah
kebutuhan seksual.

. Penelitian Maserejian, et al., (2001), menemukan bahwa stres dapat


berdampak pada emosi, dan akhirnya sulit untuk berhubungan seks. Penurunan
gairah seksual dikaitkan dengan faktor citra diri yang buruk dan stres. Sandfort,
Bakeer, Schellevis dan Vanwesenbeeck (2001), menemukan bahwa orientasi
seksual dikaitkan dengan kesehatan mental.

3
Kebutuhan seksual akan lebih sulit terpenuhi secara wajar pada pengungsi
di huntara karena menghadapi kondisi yang serba terbatas baik kesehatn fisik
maupun psikologis. Bencana menimbulkan berbagai masalah kesehatan fisik pada
pengungsi di huntara yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan seksual. Faktor
kesehatan fisik yang dapat mempengaruhi respon seksual antara lain: kelelahan,
efek obat, penggunaan alkohol, diabetes melitus, atau cedera pada sum-sum
tulang belakang (Regional Health Education, 1998 dalam Priyo, 2012).

Pemenuhan kebutuhan seksual pada hakekatnya bersifat holistik yang


dipengaruhi oleh beragam faktor antara lain: pertimbangan perkembangan,
kebiasaan hidup sehat dan kondisi kesehatan, peran dan hubungan, kognitif dan
persepsi, budaya, nilai, dan keyakinan, konsep diri, koping dan toleransi terhadap
stres, serta pengalaman sebelumnya (Craven & Henle, 1996; Taylor, Lilis & Le
Mone, 1997; dalam Priyo, 2012). Faktor-faktor ini akan menjadi stimulus dalam
pemenuhan kebutuhan seksual khususnya pasangan suami istri dengan berbagai
pengalaman seksual.

Priyo, (2012), menunjukan adanya hubungan bermakna antara pola


adaptasi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi akibat bencana
dengan pemenuhan kebutuhan seksual ( p value < 0,05). Binar Daud, dkk (2017),
menunjukan tekanan psikologis yang datang secara tiba-tiba yang dialami
masyarakat korban bencana erupsi Gunung Sinabung memberikan beberapa ekses
prilaku masyarakat di luar rutinitas sebagaimana biasanya. Bahwa terdapat
perbedaan yang mencolok dalam hal perilaku seksualitas pasangan suami istri
yang tinggal di lokasi pengungsian diantara rentang waktu sebelum dan sesudah
terjadinya bencana erupsi Gunung Sinabung.

Pengungsi akibat bencana di daerah hunian sementara atau huntara harus


beradaptasi dengan kondisi tempat hunian sementara yang kurang sehat.
Penampuangan atau hunian sementara menurut Peraturan Kepala BNPB No. 7
tahun 2008, adalah tempat tinggal sementara selama korban mengungsi baik
barupa penampungan massal, maupun keluarga, atau individual. Hunian

4
sementara menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2001), harus
memenuhi syarat: berukuran 3 (tiga) meter persegi per orang, memiliki
persyaratan keamanan dan kesehatan, serta menjamin privasi antar jenis kelamin
berbagai kelompok usia. Akibat lain, hunian sementara yang tidak memenuhi
standar kesehatan menurut Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat
Jendral Departemen Kesehatan (2001), secara langsung maupun tidak langsung
akan menurunkan daya tahan tubuh dan menimbulkan masalah kesehatan.

Kepuasan seksual adalah hasil dari terpenuhinya kebutuhan seksual


melalui aktivitas seksual. Menurut Pangkahila (2011), kepuasan seksual pada
pasangan suami istri menjadi ukuran kebahagian, tetapi umumnya suami istri
hanya memandang seks sekadar kebutuhan laki-laki yang harus dipenuhi istri.
Banyak akibat yang ditimbulkan dari minimnya pengetahuan dan kurangnya
keterbukaan seputar hubungan seksual ini. Dampak semua ini adalah munculnya
perasaan tidak bahagia dan tidak terpuaskan, terutama perempuan yang biasanya
lebih sulit mengalami orgasme dibandingkan laki-laki.

B. Rumusan Masalah

Pemenuhan kebutuhan seksual merupakan salah satu kebutuhan dasar


manusia yang harus dipenuhi. Kebutuhan seksual dibawa sejak lahir, dan
memenuhinya dilakukan sampai seseorang meninggal dunia. Dalam situasi
normal setiap pasangan suami istri akan selalu berusaha agar kebutuhan
seksualnya dapat terpenuhi. Namun tidak semua pasangan suami istri yang
mengalami situasi pasca bencana mampu memenuhi kebutuhan seksualnya.
Berbagai fenomena yang terjadi dapat diidentifikasi melalui pertanyaan penelitian
“ Apakah ada hubungan pola adaptasi akibat bencana terhadap pemenuhan
kebutuhan psikologis seksual pada PUS pasca bencana di hunian sementara
Kelurahan Lere ?”

C. Tujuan Penelitian

5
1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan analisis tentang


hubungan pola adaptasi akibat bencana terhadap pemenuhan kebutuhan
psikologis seksual pada PUS di hunian sementara Kelurahan Lere.

2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi Karakteristik (umur, jenis kelamin, pendidikan, dan
pekerjaan) pada PUS di hunian sementara Kelurahan Lere.
b. Mengidentifikasi pola adaptasi fisiologis akibat bencana pada PUS di
hunian sementara Kelurahan Lere.
c. Mengidentifiaksi Pemenuhan kebutuhan seksual pada PUS di hunian
sementara Kelurahan Lere.
d. Menganalisis hubungan pola adaptasi fisiologis akibat bencana
terhadap pemenuhan kebutuhan psikologis seksual pada PUS di hunian
sementara Kelurahan Lere.

D. Manfaat Penelitian

1. Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat menjadi materi dasar bagi pengembangan


strategi intervensi keperawatan dalam memenuhi kebutuhan seksual
keluarga di huntara pasca bencana

2. Institusi Kesehatan

Hasil penelitian ini menjadi materi dasar bagi pengembangan hunian


sementara yang mempertimbangkan kepentingan kebutuhan dasar
manusia.

3. Masyarakat

6
Hasil penelitian ini dapat menjadi pengetahuan bagi masyarakat yang
tinggal di huntara dengan cara pemberdayaan melalui peningkatan
pendidikan kesehatan dan ketrampilan serta diharapkan dapat merubah
prilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan
seksual secara adaptif dan upaya mencegah prilaku seksual yang
menyimpang pada masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai