Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

SEJARAH TIMBULNYA ILMU KALAM

Diajukan untuk memenuhi tugas Ilmu Kalam

Kelas Psikologi J1

Dosen Pembimbing :

Drs. Masduqi Affandi,M.Pd.I

Disusun Oleh :

Ahmad Insan Kamil (B07210050)

Fatmawati Zahriyah (B07210053)

Adinda Istiqomah (B07210054)

Khoirum Maghfiroh (B07210055)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS DAKWAH

PRODI PSIKOLOGI

SURABAYA

1
2010

PEMBAHASAN

Sejarah timbulnya Ilmu Kalam

1. Latar belakang persoalan Idiologi

Pada dasarnya setiap manusia mempunyai fitrah berupa kepercayaan terhadap


adanya zat yang Maha Kuasa,yang dalam istilah agama disebut Tuhan. Para ahli tafsir
mengatakan,fitrah artinya ciptaan atau kejadian yang asli, karena naluri beragama
tauhid merupakan fitrah maka ketauhidan dalam diri seseorang telah ada sejak ia
dilahirkan.

Secara instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu,kepercayaan


adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama. Abbas Mahmoud Al-
Akkad mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul kepercayaan
adanya agama dikalangan orang-orang primintif. 1 Tylor justru mengatakan bahwa
animisme-anggapan adanya kehidupan pada benda-benda mati merupakan asal-usul
kepercayaan terhadap Tuhan. Adapun Spencer mengatakan bahwa pemujaan terhadap
nenek moyang merupakan bentuk ibadah yang paling tua. Keduanya menganggap
bahwa animisme dan pemujaan terhadap nenek moyang sebagai asal-usul
kepercayaan dan ibadah tertua terhadap Tuhan Yang Maha Esa, lebih dilatarbelakangi
oleh adanya pengalaman setiap manusia yang mengalami mimpi.2

Di dalam mimpi, seseorang dapat bertemu, bercakap-cakap, bercengkrama,


dan sebagainya dengan orang lain, bahkan dengan orang yang telah mati sekalipun.
Ketika seorang yang mimpi itu bangun, dirinya tetap berada ditempat semula. Kondisi
ini telah membentuk intuisi bagi setiap orang yang telah bermimpi untuk meyakini
bahwa apa yang telah dilakukannya dalam mimpi adalah perbuatan roh lain, yang
pada masanya roh itu akan kembali. Dari pemujaan terhadap roh berkembang ke
pemujaan matahari, lalu lebih berkembang lagi pada pemujaan benda-benda langit
atau alam lainnya.

1
Abbas Mahmoud Al-Akkad,Ketuhanan ,hlm.14
2
Ibid., hlm .15
2
Abbas Mahmoud Al- Akkad, pada bagian lain, mengetakan bahwa sejak
pemikiran pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang, di wilayah-wilayah
tertentu pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang secara beragam. Di Mesir,
masyarakatnya memuja Totemisme. Mereka menganggap suci terhadap burung elang,
burung nasr, ibn awa (semacam anjing hutan), buaya, dan lain-lain. Anggapan itu lalu
berkembang menjadi pemujaan terhadap matahari. Dari sini berkembang lagi menjadi
percaya adanya keabadian dan balasan bagi amal perbuatan yang baik.3

Dari sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan Tuhan, secara instingtif, telah
berkembang sejak keberadaan manusia pertama. Oleh sebab itu, sangat wajar kalau
William L.Resee mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan, yang
dikenal dengan istilah theologia, telah berkembang sejak lama. Ia bahkan mengatakan
bahwa teologi muncul dari sebuah mitos (theologia was originally viewed as
concerned with myth). Selanjutnya teologi itu berkembang menjadi “theology
natural” (teologi alam) dan “revealed theology”(teologi wahyu).4

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa secara historis, ilmu kalam
bersumber pada Al-Qur’an, hadist, pemikiran manusia, dan instink. Ilmu kalam
adalah sebuah ilmu yang mempunyai objek tersendiri, tersistematiskan, dan
mempunyai metodologi tersendiri. Dikatakan oleh Musthafa Abd Ar-Raziq bahwa
ilmu bermula di tangan pemikir Mu’taziiah, Abu Hasyim, dan kawannya Imam Al-
Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah.5 Adapun orang yang pertama membentangkan
pemikiran kalam secara lebih baik dengan logikanya adalah Imam Al-Asy’ari, tokoh
ahli sunnah wa al-jamaah, melalui tulisan-tulisannya yang terkenal, yaitu Al-
Muqalat,6dan Al-Ibnah An-Ushul Ad-Diyanah.

2. Latar belakang persoalan Politik.

Kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut


peristiwa pembunuhan Usman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah
atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi
Thalib mengkristal menjadi Perang Siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim
(arbitrase). Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Al-Ash, utusan dari
3
Ibid., hlm.50-51
4
William L Resse, Dictionary of Philosophy and Religion, hlm. 450
5
Rosihon Anwar dan Taufiq Rahman, Prinsip-prinsip Dasar Aliran-aliran Teologi ISLAM,hlm.27
6
Harun Nasution, Teologi Islam, hlm.6
3
pihak Mu’awiyah dalam tahkim, dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh
sebagaian tentaranya.mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak
dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali
pada hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an. La hukma illa lillah (tidak ada
hukum selain dari hukum Allah) atau la hukma illa Allah (tidak ada perantara selain
Allah) menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah
berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam,
mereka terkenal dengan nama Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan
diri atau seceders.7

Diluar pasukan yang membelot Ali, sebagaian besar yang tetap mendukung
Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syi’ah. Syi’ah muncul
ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan
Perang Siffin. Sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang
ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok
mendukung sikap Ali disebut syi’ah dan dan kelompok lain menolak sikap Ali
disebut Khawarij.8

3. Latar belakang persoalan sosiologi

Setelah Rasulullah wafat, timbullah persoalan, siapakah yang berhak


memegang khilafat (pimpinan kaum muslim) sesudahnya.Khilafah Rasyidah
merupakan para pemimpin ummat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu
pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali
bin Abi Thalib, Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in dimana sistem pemerintahan yang
diterapkan adalah pemerintahan yang islami karena berundang-undangkan dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam tidak meninggalkan wasiat


tentang siapa yang akan menggantikan beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam sebagai
pemimpin politik umat Islam setelah beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Ia
Shallallahu ‘Alaihi wasallam nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada
kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah
beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan,
sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa'idah,
Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin.
Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin
maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun,
dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar Radhiallahu
‘anhu terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu
7
Ibid., hlm 11
8
W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj.Umar Basalim.hlm. 6-7
4
mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak
menerima dan membaiatnya.

Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu
disebut Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul Allah) yang dalam perkembangan
selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat untuk menggantikan beliau Shallallahu
‘Alaihi wasallam melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala
pemerintahan.

4. Latar belakang persoalan filosofis

Bermula dari timbulnya persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir
dalam arti siapa yang telah ke luar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam
Islam.khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr Ibn al-As, kafir, karena Al-
Qur’an mengatakan:
9

Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan la hukma illa lillah. Karena ke
empat pemuka Islam diatas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka mereka
telah ke luar dari Islam.

Al Hasan Al-Bisri menetapkan yang menjadi anutan umum ummat Islam,yaitu


orang yang mengerjakan dosa besar dipandang fasiq, tidak keluar dari gelanggang
mu’min.

Pendapat Al-Hasan ini dibantah keras oleh muridnya Washil Ibn Atha’. Dia
mengatakan bahwa orang yang mengerjakan dosa bsar berada diantara dua martabat.
Pendapatnya diikuti oleh Ibn Ubaid.

Karna mereka ini mengasingkan diri dari majlis gurunya Al Hasan atau dari
pendapat umum, dinamakanlah mereka dengan Mu’tazilah.

Oleh karena golongan Qadariyah dan Jabariyah tidak dapat berdiri sebagai
golongan, tetapi lebur dalam kelompok-kelompok lain, maka nama Qadariyah dan
Jabariyah menjadi nama faham sahaja, tidak menjadi nama golongan. Maka
Qadariyah berpindah kepada nama Mu’tazilah. Mereka dinamakan juga Qudriyah,
lantaran mereka menetapkan bahwa hamba mempunyai qudrat yang bebas aktif.
Mereka sendiri tidak menerima nama-nama itu. Mereka menanamkan dirinya dengan
Ahlul ‘ad-li wat Tauhid.

Dikatakan mereka dengan ahlul’li, adalah karena mereka menetapkan :


bahwasannya hamba ini mempunyai qudrat, bebas aktif dalam segala tindakannya,
yang karenanya mereka dipahalai dan disiksa. Mereka menindak adakan kezaliman
bagi Allah. Dan mereka menamakan dirinya dengan ahlut Tauhid adalah karena
mereka menindak adakan sifat diri pada Allah, agar zat Allah benar-benar tidak
tersusun dari zat dan sifat dan supaya benar-benar Allah Esa.

9
Al-Maidah (5):44
5
Di akhir masa ini washil bin atha’ telahdapat menyusun dasar-dasar Ilmiyah
bagimadzab Mu’tazilah dan jalan-jalan masyarakat kepadanya. Dia melepaskan
pembantu-pembantunya (pendukung-pendukung fahamnya) ke pelosok untuk
mengembangkan fahamnya dengan segenap tenaga dan kecakapannya, hingga
samapilah da’wahnya ke Khurasan sebelah timur dan ke Marokosebelah barat, ke
Armiya sebelah utara dan ke Yaman sebelah selatan.

Menurut uraian Al-Maqrizi, Washil Ibn Atha’ telah menyusun sebuah kitab lagi yang
dinamakan Kitabut Tauhid, sebuah kitab lagi yang dinamakan Kitabul Manzilati Bainal
Manzilataini dan kitab Al-Futuya.

Dengan demikian dapatlah kita ktakan, bahwa dalam masa inilah mulai timbul usaha
menyusun ilmu (kitab) dalam Ilmu Kalam.

6
DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Pengantar Theology Islam, Al Husna Zikra, Jakarta, 1995

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran,

sejarah, Analisa perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986

Rozak, Abdul, Rosihon Anwar, ILMU KALAM, Pustaka Setia, Bandung, 2003

Anda mungkin juga menyukai