Anda di halaman 1dari 11

TUGAS JOURNAL READING

A Randomised Comparison of Bolus Phenylephrine and Ephedrine for


Management of Spinal Hypotension in Patients with Severe Preeclampsia and
Fetal Compromise

Pembimbing :

Disusun Oleh:

SMF ILMU KEDOKTERAN ANESTESI


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi review jurnal dengan judul :


“A Randomised Comparison of Bolus Phenylephrine and Ephedrine for
Management of Spinal Hypotension in Patients with Severe Preeclampsia and
Fetal Compromise”

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas


di Bagian Anestesi Program Profesi Dokter
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :

Purwokerto, Februari 2019

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,
ABSTRAK
Latar Belakang: Penelitian pada ibu hamil sehat yang menjalani persalinan seksio
sesarea elektif menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan fenilefrin, penggunaan
efedrin dalam penanganan hipotensi spinal meningkatkan terjadinya asidosis fetal.
Hal ini belum dilakukan penelitian lebih lanjut pada wanita dengan preeklampsia
berat.
Subjek dan Metode: Pasien dengan preeklampsia yang membutuhkan persalinan
seksio sesarea secara acak diberikan bolus efedrin (7.5-15mg) atau fenilefrin (50-
100µg) untuk mengatasi hipotensi spinal. Hasil utama berupa base excess arteri
umbilikalis. Hasil lainnya berupa pH dan konsentrasi laktat arteri dan vena
umbilikalis, base excess vena umbilikalis, dan skor Apgar.
Hasil: Dari 133 wanita, 64 orang diantaranya membutuhkan pemberian vasopressor
yang secara acak dibagi menjadi 32 dengan karakteristik yang sesuai. Tekanan
darah partisipan sebelum melahirkan sama. Tidak ada perbedaan rerata (standar
deviasi) dari base excess arteri umbilikalis (4.9 [3.7] dibandingkan 6.0 [4.6]
mmol/L untuk efedrin dan fenilefrin; p=0.29). Rerata pH dan konsentrasi laktat
arteri maupun vena umbilikalis antar grup tidak berbeda signifikan (7.25 [0.08] vs
7.22 [0.10], 7.28 [0.07] vs 7.27 [0.10], and 3.41 [2.18] vs 3.28 [2.44] mmol/L).
Tekanan oksigen vena umbilikalis lebih tinggi pada grup yang menerima efedrin
(2.8 [0.7] vs 2.4 [0.62]) kPa, P=0.02). Tidak ada perbedaan skor Agar menit ke-1
dan ke-5.
Kesimpulan: Pada pasien dengan preeklampsia berat dan terdapat gangguan janin,
pemberian efedrin dibading fenilefrin dalam penanganan hipotensi spinal tidak
berpengaruh terhadap status asam basa janin.

Pendahuluan
Hipotensi spinal masih menjadi tantangan klinis yang sering terjadi dalam
pelaksanaan persalinan seksio sesarea, yang dapat mengakibatkan ibu mual dan
muntah serta terjadi gangguan janin. Efedrin dan fenilefrin sering digunakan untuk
mencegah dan mengatasi hipotensi spinal. Pada pasien sehat tanpa gangguan janin,
pemberian efedrin lebih sering mengakibatkan asidosis fetal dibandingkan
pemberian fenilefrin terutama pada pemberian dosis besar. Sebuah penelitian
memenunjukkan bahwa asidosis dapat timbul pada pemberian efedrin dosis rendah
pada individu yang rentan secara genetik. Terdapat keterbatasan data terkait
penggunaan vasopressor pada ibu dengan gangguan janin atau disfungsi plasenta.
Pada wanita-wanita ini ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
akibat mungkin diakibatkan karena pemberian efedrin menginduksi peningkatan
metabolisme janin.
Jika dibandingkan dengan wanita sehat, pada wanita dengan preeklampsia, lebih
jarang terjadi hipotensi akibat anestesi spinal. Biasanya, anestesi spinal
menyebabkan pengurangan afterload, yang bermanfaat bagi wanita dengan
preeklampsia dan meningkatkan resistensi vaskular sistemik. Namun, hipotensi
yang signifikan secara klinis mungkin terjadi di beberapa pasien. Perbandingan
retrospektif dari penggunaan fenilefrin dan efedrin selama anestesi spinal untuk
persalinan sesar pada wanita dengan preekampsia mencakup wanita dengan
indikasi persalinan bagi ibu dan janin. Tidak ada perbedaan dari pH arteri
umbilikalis.
Uji coba ini adalah yang pertama yang mencoba membandingkan penggunaan
bolus efedrin dan fenilefrin untuk manajemen hipotensi spinal pada wanita dengan
preeklamsia berat dengan pengukuran denyut jantung janin yang tidak meyakinkan
dan menjalani persalinan sesar. Variabel hasil utama adalah base excess arteri
umbilikalis. Hasil sekunder adalah berupa pH dan konsentrasi laktat arteri dan vena
umbilikalis, base excess vena umbilikalis, dan skor Apgar menit ke-1 dan 5. Secara
keseluruhan hasil kohort seluruh pasien yang direkrut, termasuk yang tidak
memerlukan vasopresor sebelum persalinan, juga disajikan.

Metode
Penelitian ini mendapatkan persetujuan dari komite etik Universitas Cape Town.
Persetujuan tindakan penelitian didapatkan langsung dari pasien yang telah
terjadwal menjalani persalinan sesar. Gambaran kardiotokografi janin diinterpretasi
oleh bagian kandungan sesuai dengan pandunan dari Royal College of Obstetricians
and Gynecologists. Pasien dengan preeklampsia berat yang membutuhkan
persalinan sesar dengan pengukuran denyut jantung janin yang tidak meyakinkan
dimasukkan dalam penelitian.
Menurut rekomendasi terbaru, proteinuria tidak lagi dibutuhkan dalam diagnosis
preekampsia, dan kini dianjurkan istilah baru “preeclampsia with severe features”.
Preeklampsia didiagnosis apabila terjadi peningkatan tekanan darah diastolik pada
usia kandungan diatas 20 minggu atau peningkatan tekanan darah lebih dari 90
mmHG pada dua waktu terpisah setidaknya 4 jam jeda pemeriksaan dan disertai
proteinuria +2 pada pemeriksaan dipstik urin dengan dua sampel yang diambil
secara terpisah dalam jeda waktu minimal 4 jam, atau sama dengan atau lebih dari
300 mg protein dalam urin 24 jam. Preeklampsia berat didefinisikan sebagai
peningkatan tekanan darah sistol ≥160 mmHg dan atau tekanan darah diastol ≥110
mmHg diukur pada dua waktu terpisah, atau pasien mengalami gejala awal
eklampsia seperti nyeri kepala berat, gangguan penglihatan, nyeri epigastrik,
hiperrefleks, atau didapatkan proteinuria +3 pada pemeriksaan dipstik urin.
Kriteria ekslusi maternal yaitu bila pasien menolak, terdapat kontraindikasi
anestesi spinal, indeks massa tubuh lebih dari 40 kg/m2, terdapat tanda-tanda
hypovolemia, abruptio plasenta, plasenta previa, gangguan pembekuan,
trombositopenia, edema pulmo, sepsis lokal maupun umum, deformitas tulang
belakang, prolaps tali pusar, riwayat operasi abdomen non obstetric sebelumnya,
riwayat persalinan sesar lebih dari dua kali, atau pasien dengan HIV positif. Kriteria
ekslusi fetal yaitu fetal bradikardi persisten atau kelainan janin lainnya yang
menjadi kontraindikasi anestesi spinal, usia gestasi kurang dari 28 minggu, taksiran
berat janin kurang dari 900 gram, dan kehamilan gemelli. Pasien dikeluarkan dari
analisis data bila proses memulai tindakan anestesi spinal membutuhkan waktu
lebih dari 20 menit, pasien dilakukan anestesi umum dan terdapat kegagalan teknik
anestesi.
Manajemen antepartum mengikuti protokol di Universitas Cape Town, jika
pasien sudah dalam persalinan, dilakukan pemasangan jalur intravena dan infus
cairan kristaloid kurang dari 100ml/jam. Pasien yang tidak dalam persalinan
mendapatkan cairan secara oral. Magnesium sulfat (MgSO4) diberikan sebagai
profilaksis kejang pada pasien dengan preeklampsia berat (dosis 4 gram loading
intravena diikuti 1 gram per jam selanjutnya). Dihidralazine diberikan secara
intravena untuk mengontrol tekanan darah sesuai protokol standar. Penggunaan
obat-obatan lain (alfa metildopa, morfin, deksametason) dilakukan pencatatan.
Bila telah setuju dilakukan tindakan persalinan sesar, pasien dibaringkan pada
posisi miring hadap kiri (left lateral position) sebelum dilakukan pemindahan ke
ruang operasi, dipasang oksigen dengan venturi face-mask dengan kecepatan
10L/menit.
Seluruh pasien menerima 30 ml sodium sitrat oral di ruang operasi dan 1 gram
cefazolin intravena sebelum dilakukan tindakan anestesi spinal. Dilakukan
monitoring terhadap elektrokardiografi, tekanan darah, dan pulse oksimetri. Mean
arterial pressure (MAP) diukur 5 menit sebelum tindakan anestesi spinal pada
posisi left lateral position. Setelah didapatkan MAP, lalu dihitung target
vasopressor yang harus diberikan. Kemudian dimasukkan cairan intravena secara
cepat 300 ml 6% hydroxyethyl starch. Status hemodinamik pasien dicatat setiap
menit hingga tindakan seksio sesarea selesai.
Pelaksanaan anestesi spinal: setiap pasien menerima 2.0-2.2 ml bupivacaine, 10
µg fentanyl, dimasukkan dengan pasien dalam posisi duduk pada L3/4 saat tidak
ada kontraksi uterus. Setelah 20 detik duduk, pasien diposisikan supinasi dengan
left lateral lift untuk meminimalisasi kompresi aortacava. Ketinggian area yang
terblok oleh anestesi dinilai menggunakan sprai ethyl chloride (sensitif dingin), dan
tindakan operasi dimulai setelah blok anestesi mencapai T4. Setiap pasien
kemudian dipasang oksigen face-mask 40% selama operasi berlangsung.
Manajemen hipotensi: pasien secara acak menerima efedrin atau fenilefrin saat
dibutuhkan pemberian vasopressor. Blok acak ukuran nomor 4, 6, 8 menggunakan
nquery Advisor versi 6. Amplop tersegel dan baru akan dibuka ketika pasien telah
mengalami hipotensi. Suntikan telah disiapkan oleh peneliti sehingga dokter
anestesi tidak mengetahui jenis vasopressor apa yang diberikan pada pasien.
Efedrin 7.5 mg atau fenilefrin 50 µg, masing-masing dalam volume 1.5 ml
dimasukkan bila terjadi penurunan MAP sebesar 20%, juga apabila MAP kurang
dari 110 mmHg. Bila MAP belum membaik dalam 60-90 detik, dilakukan
pemberian bolus 7.5-15 mg efedrin atau 50-100 µg fenilefrin. Bila target MAP
belum juga tercapai setelah pemberian total 45 mg efedrin atau 300 µg fenilefrin,
dilakukan pemberian vasopressor lain. Bila MAP turun lebih dari 30%, dimasukkan
15 mg efedrin atau 100 µg fenilefrin. Bila denyut jantung menurun kurang dari 55
kali per menit disertai dengan hipotensi (penurunan MAP 30% dari baseline),
dimasukkan efedrin dengan dosis 10 mg, diikuti atropine 0.25-0.5 mg bila
bradikardi berlanjut. 20 menit setelah persalinan, dimasukkan oksitosin 3 IU dalam
3 ml cairan saline. Sampel darah arteri dan vena umbilikalis diambil setelah
dilakukan pemotongan tali pusar setelah bayi dilahirkan, kemudian diukur
parameter gas darah arteri dan vena.
Setelah persalinan, fenilefrin 50-100µg atau efedrin 7.5-15 mg dimasukkan
secara bolus untuk mempertahankan MAP diatas 90 mmHg.
Dilakukan pencatatan terhadap : (a) keputusan dilakukan persalinan sesar, (b)
waktu tiba di ruang operasi, (c) waktu pelaksanaan tindakan anestesi spinal, (d)
waktu dilakukan insisi operasi, (e) waktu bersalin.
Setiap obat-obatan yang diterima dalam 24 jam sebelum anestesi dicatat. Derajat
penyakit (derajat hipertensi, terapi vasodilator atau profilaksis kejang, kadar
proteinuria), tanda-tanda persalinan, semuanya masuk dalam catatan. Penilaian
neonates dilakukan oleh dokter anak tanpa mengetahui jenis vasopressor yang
digunakan.

Hasil
Sebanyak 133 pasien direkrut dalam penelitian, dengan 64 orang wanita secara
acak menerima efedrin atau fenilefrin. Perhitungan jumlah sampel awal
diasumsikan sebanyak 40% pasien membutuhkan vasopressor. Kemudian
didapatkan 64 orang dari 133 pasien yang telah direkrut mendapatkan vasopressor.
Pada grup efedrin, sampel vena umbilical (UV) tidak bisa diambil pada satu orang
pasien, dan empat sampel arteri umbilical (UA) tidak bisa diambil pada dua orang.
Sedangkan pada grup fenilefrin, sampel UA gagal didapat pada satu orang pasien.
Kemudian data yang diperoleh dari 31 orang pasien penerima efedrin dibandingkan
dengan 29 orang penerima fenilefrin. Tidak ada pasien yang dilakukan eksklusi
karena waktu untuk anestesi spinal memenuhi dan tidak ada yang membutuhkan
tindakan anestesi umum.
Dikumpulkan pula data dari 69 pasien yang tidak mendapatkan terapi
vasopressor. Empat diantaranya dieksklusi, dan orang lagi gagal didapatkan
sampel.
Tabel 1 menunjukkan data bahwa tidak ada perbedaan tiap grup dari obat-obatan
diluar penelitian, derajat penyakit, usia kehamilan, kondisi fetal antenatal, dan
waktu pelaksanaan. Setiap pasien mendapatkan 300 ml koloid sebelum persalinan,
dan tidak ada perdarahan signifikan. Dua pasien di grup efedrin menerima
alternative vasopressor fenilefrin 100 dan 400 µg. Ketinggian blok anestesi
bervariasi dari T1 hingga T6, dan tidak ada pasien yang membutuhkan tambahan
analgetik sebelum persalinan.

Tabel 2 menunjukkan perhitungan gas darah maternal dan tali pusar, skor Apgar
dan neonatal outcome lainnya. Tidak terdapat perbedaan base excess UA yang
signifikan antar grup efedrin disbanding grup fenilefrin (4.8 [3.7] vs 6.0 [4.6]
mmol/L). Tidak terdapat perbedaan signifikan pada pH atau bikarbonat, PCO2,
kadar laktat, atau skor Apgar menit ke-1 dan 5. Rerata PO2 UV lebih tinggi pada
kelompok efedrin (2.8 [0.7] vs 2.4 [0.6] mmol/L; P=0.02).
Diskusi
Penelitian ini merupakan yang pertama melakukan pemeriksaan efek status
asam-basa fetal terkait pemberian bolus efedrin dibandingkan fenilefrin, yang
diberikan untuk mengatasi hipotensi akibat anestesi spinal pada pasien dengan
preeklampsia berat dengan pengukuran denyut jantung janin yang tidak
meyakinkan. Tidak terdapat perbedaan signifikan dari base excess UA maupun
indicator lain dari fetal asidosis. Satu-satunya yang berbeda yaitu kadar PO2 UV
pada grup efedrin yang lebih tinggi daripada grup fenilefrin. Yang terpenting,
didapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari skor Apgar maupun
outcome klinis lainnya. Hasil ini mendukung penelitian lain yang dilakukan pada
persalinan sesar non elektif. Penelitian ini secara spesifik dirancang untuk menilai
neonatus dengan potensi gangguan janin dari ibu dengan preeklampsia berat.
Subjek ini memiliki risiko tinggi terhadap insufisiensi uteroplasenta oleh karena itu
terdapat kemungkinan efek vasopressor terhadap sirkulasi uteroplasenta.
Vasopressor yang paling banyak digunakan oleh para klinisi yaitu campuran alfa
dan beta adrenergic agonis efedrin dan direct acting alfa adrenergic agonis
fenilefrin. Tinjauan sistematis terbaru dan meta analisis kumulatif menunjukkan
penurunan risiko fetal asidosis dengan pemberian fenilefrin pada ibu sehat yang
menjalani persalinan sesar elektif. Risiko relatif fetal asidosis (pH <7.2) efedrin
adalah 5.29 dibandingkan fenilefrin (p=0.006).
Mekanisme asidosis dijelaskan oleh Ngan Kee et al., dalam perbandingan acak,
pasien yang menerima efedrin dengan infus terus menerus tidak hanya memiliki pH
UA dan UV yang lebih rendah dan base excess yang lebih tinggi dibanding subjek
yang menerima infus fenilefrin, tetapi juga memiliki kadar konsentrasi laktat,
glukosa, adrenalin dan noradrenaline UA dan UV yang lebih tinggi. Pemindahan
plasenta tsecara signifikan lebih besar pada efedrin daripada fenilefrin, mendukung
hipotesis bahwa efek efedrin pada status asam-basa disebabkan oleh stimulasi
langsung reseptor b-adrenergik janin, menghasilkan peningkatan laju metabolisme.
Penting untuk mempertimbangkan efek samping yang mungkin terjadi akibat
pemberian terapi vasopressor. Janin dengan gangguan sirkulasi uteroplasenta
mungkin tidak mampu mengkompensasi pengurangan aliran darah akibat
vasokonstriksi dan penurunan curah jantung maternal yang diinduksi oleh terapi
vasopressor. Serupa halnya, janin juga mungkin tidak mampu memenuhi
peningkatan kebutuhan oksigen akibat peningkatan metabolisme yang diinduksi
oleh efedrin.
Penelitian oleh Ituk et al. (2016) membandingkan pemberian efedrin 8mg dan
fenilefrin 100 µg pada pasien sehat yang menjalani persalinan seksio sesarea atas
indikasi gangguan janin. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
dari tiap grup terhadap pH, PO2, PCO2, BE UA dan UV, serta insidensi fetal
asidosis.
Perhatian terkait penelitian kami adalah kepentingan mendapatkan persetujuan
dengan pemberitahuan singkat sebelum pelaksanaan prosedur yang dilakukan
dengan cara yang sensitif dan empatik. Sedikit ketidakseimbangan jumlah sampel
dikarenakan kesulitan dalam pengambilan specimen UA tidak mempengaruhi hasil.
Rasio dosis efedrin dan fenilefrin yang digunakan dalam penelitian ini
didasarkan pada pengalaman klinis peneliti dalam mengelola hipotensi spinal pada
sejumlah besar kasus serupa.
Kesimpulan dari penelitian ini, didapatkan bahwa status asam-basa janin tidak
tergantung pada penggunaan fenilefrin atau efedrin bolus untuk menangani
hipotensi spinal pada pasien dengan preeklampsia berat. Pilihan vasopressor harus
didasarkan pada respon hemodinamik masing-masing maternal.

Anda mungkin juga menyukai