Safitri Yulikhah
Wartawan metrosemarang.com
Email: vitri.yulikha@gmail.com
Abstract
Close the genitals for a Muslim woman is a liability as embodied in the
Qur'an. Clothes that cover the genitals is commonly called hijab. In the
development of the hijab is not simply understood as a religious duty.
However, it extends into the lifestyle of women in part. Hijab eventually not
only a manifestation of piety as hoped religious orders. On the other hand
hijab is a manifestation of social phenomena. This is reinforced by the
widespread use of the hijab in some communities for reasons of politics, law,
and others. Religious reasons behind the use of hijab among Muslim women.
This reality ultimately refers to a conclusion that hijab is not merely a
representation of Muslim piety but the hijab is also a life style for some
Muslim women to be impressed or present a religious atmosphere in the life
she lived.
***
Menutup aurat bagi seorang muslimah adalah kewajiban sebagaimana yang
termaktub dalam al-Qur’an. Pakaian yang menutup aurat ini biasa disebut
jilbab. Dalam perkembangannya jilbab bukan sebatas dipahami sebagai
sebuah kewajiban agama. Namun meluas menjadi gaya hidup sebagaian
perempuan. Jilbab akhirnya tidak hanya sebuah perwujudan kesalehan
sebagaimana yang diharapkan perintah agama. Jilbab disisi lain merupakan
manifetasi dari fenomena sosial. Hal ini diperkuat dengan maraknya
penggunaan jilbab pada sebagian masyarakat karena alasan politik, hukum,
dan lainnya. Beragama alasan yang melatarbelakangi penggunaan jilbab di
kalangan muslimah. Realitas ini pada akhirnya merujuk pada sebuah
kesimpulan bahwa jilbab bukan semata-mata representasi kesalehan
muslimah. Tetapi jilbab juga menjadi life style bagi sebagian muslimah agar
terkesan atau menghadirkan suasana religius dalam kehidupan yang
dijalaninya.
96 DOI: http://dx.doi.org/10.21580/jid.36.1.1627
Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial Safitri Yulikhah
A. Pendahuluan
Perempuan seringkali dianggap sebagai makhluk yang lemah, ketika
perempuan melakukan aksi –dalam hal ini dicontohkan dengan mata yang
lalang, dada yang terbuka karena tidak tertutup lapisan yang longgar atau
pakaian dengan model leher rendah- maka reaksi dari lawan jenis yang
lebih kuat akan menyebabkan ia kalah dan jatuh. Pendapat yang
dikemukakan ini agaknya mewakili beberapa jika tidak bisa dikatakan
sebagian besar pandangan terhadap perempuan1.
Pendapat tersebut juga diperkuat realitas yang menunjukkan bahwa
perempuanlah yang cenderung menjadi objek seks -baik karena struktur
psikologis maupun pendidikan sosial yang diterimanya- dibandingkan
dengan pria. Hal ini karena sex appeal yang dimiliki perempuan dalam
penampilan fisik tubuhnya dapat memicu rangsangan pada pria hingga
merubah perempuan sebagai objek seks dalam realita menjadi fantasi seks,
dan hal itu tidak berlaku secara umum bagi wanita yang melihat pria,
karena pria sebagai objek seks dalam realita tidak lantas menjadi fantasi
seks dalam pikiran perempuan. Hal tersebutlah yang kemudian diduga
menjadikan Islam mewajibkan hijab atas wanita dan bukan atas pria, meski
pada dasarnya pria juga merupakan objek seks dalam realita.2
Permasalahan pewajiban penggunaan jilbab bagi perempuan ini
tidak lantas berhenti pada satu kesepakatan. Pembahasan mengenai
masalah ini juga samai permasalahan aurat perempuan. Di mana masalah
aurat ini juga menimbulkan perbedaan pendapat. Khususnya tentang
batas-batas yang diperbolehkan bagi kaum perempuan untuk
memperlihatkan anggota tubuhnya. Sebagian pakar menyatakan bahwa
seluruh tubuh perempuan adalah aurat sehingga harus ditutup. Sementara
sebagai pakar lain menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan bukanlah
aurat sehingga diperbolehkan untuk diperlihatkan.
Sampai pada cakupan yang cukup luas itulah jilbab menjadi bahan
perdebatan, diskusi, hingga tolak ukur keimanan seseorang. Persoalan
jilbab memang bukan hal baru, namun belakangan ini permasalahan
tentang jilbab kembali mencuat. Terlebih dengan pemahaman yang
menyebutkan bahwa Quraish Shihab sebagai seorang ulama reformis
menyatakan ketidakharusan dalam berjilbab bagi perempuan. Namun, hal
JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054 97
Safitri Yulikhah Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial
3 M. Qurashi Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: pandangan ulama masa lalu
98 JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054
Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial Safitri Yulikhah
B. Pembahasan
1. Jilbab dan Konteks Sosial
Banyak arti dari kata jilbab yang sebenarnya merupakan kosa kata
bahasa Arab. Jilbab merupakan bentuk jamak dari jalaabiib yang artinya
pakaian yang luas. Artinya adalah pakaian yang lapang dan dapat menutupi
aurat wanita kecuali muka dan telapak tangan hingga pergelangan tangan
saja yang ditampakkan.5 Ada pula Al-Biqa’i (dalam Thohari, 2011) yang
menyebutkan beberapa arti dari kata jilbab yaitu baju yang longgar atau
kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan
kerudung yang dipakainya, atau semua pakaian yang menutupi badan
wanita.6
Berdasarkan pengertian itu maka dapat dikatakan bahwa jika yang
dimaksud dengan jilbab adalah baju, maka jilbab adalah pakaian yang
menutupi tangan dan kakinya. Kemudian jika ia adalah kerudung maka
perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya.
Selanjutnya jika maknanya pakaian yang menutupi badan maka perintah
mengulurkannya adalah membuatnya longgar sehingga menutupi semua
badan dan pakaian.
Jilbab dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai
kerudung lebar yang dipakai muslimah untuk menutupi kepala dan leher
hingga dada. Jilbab di Indonesia sendiri awalnya lebih dikenal dengan
sebutan kerudung yaitu kain untuk menutupi kepala, namun masih
memperlihatkan leher dan sebagian rambut. Baru pada awal tahun 1980-
an istilah jilbab mulai dikenal, yaitu kerudung yang juga menutup leher dan
semua rambut.7
Demikian sekiranya berbagai pendapat tentang arti kata jilbab.
Meskipun ada beragam pendapat mengenai jilbab, di sini penulis
membatasi atau mengartikan jilbab sebagai kerudung perempuan yang
menutupi kepala hingga dada. Sedangkan pakaian lebar yang menutupi
badan dan aurat penulis sebut dengan hijab.
Saat ini jilbab sangat identik dengan busana perempuan muslim
atau muslimah. Sehingga jika boleh disebut jilbab menjadi sebuah simbol
Kajian Hermeneutika Kritis, (Malang: Jurnal Volume 14 Nomor 1 Januari - Juni 2011,
Universitas Negeri Malang), hal. 78
7 Muhammad Said Al-Asymawi, kritik atas jilbab, terj. Nong Darol Mahmada,
JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054 99
Safitri Yulikhah Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial
dari agama Islam. Namun, jika dilihat dari konteks sejarah ternyata bukan
hanya agama Islam yang mengenal kata jilbab. Jilbab juga terdapat dalam
kitab Taurat namun disebut dengan kata tif’eret, begitu pula dalam Injil ada
istilah yang semakna dengan jilbab yaitu zammah, re’adah, juga zaif. Lebih
jauh lagi ternyata penggunaan jilbab juga dikenal dalam hukum
kekeluargaan Asyria.8 Sehingga dapat dikatakan bahwa masalah jilbab ini
bukan masalah sederhana karena ia terkait dengan aspek pakaian wanita
dan lintas budaya.
Istilah jilbab dalam perkembangannya fenomena jilbab membawa
pesan beragam bukan hanya pada upaya pendefinisian istilahnya, tetapi
juga pada pemberian makna dan penerapannya di masyarakat yang
mengusung simbol sosial keagamaan dan identitas sosial. 9
Bahkan fenomena jilbab ini menjadi isu internasional kala
Pemerintah Perancis menetapkan larangan penggunaan simbol-simbol
agama di sekolah-sekolah perancis, dan salah satu yang mereka nilai
sebagai simbol agama adalah jilbab.10 Tidak hanya di Perancis, di Indonesia
pada sekitar tahun 1980an atau pada masa pemerintahan Orde Baru,
terdapat sebuah peraturan dari pemerintah yang menyatakan mengenai
pelarangan penggunaan kain penutup kepala (jilbab).
Maret 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Departemen
P dan K) Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan (SK)
052/C/Kep/D/82, yang mengatur bentuk dan penggunaan seragam
sekolah di sekolah-sekolah negeri. Hal ini mengakibatkan semakin banyak
siswi berjilbab mendapat teguran dan ancaman dari pihak sekolah. Bagi
siswi yang tetap teguh menggunakan jilbab, mereka terpaksa harus keluar
dari sekolah dan pindah ke sekolah swasta yang bisa mengizinkan mereka
menggunakan jilbab tersebut. Pelarangan tersebut akhirnya menimbulkan
berbagai kontra, akhirnya pada tahun 1991 keluar surat keputusan yang
baru, yang memperbolehkan siswi mengenakan jilbab di lingkungan
sekolah. 11
Berdasarkan kasus tersebut, dapat diketahui bahwa di Indonesia
jilbab tidak dipandang sebagai masalah agama, karena jika ia hanya dilihat
sebagai masalah agama tentunya pelarangan jilbab ini menyalahi aturan
masa lalu dan cendekiawan kontemporer, (Jakarta: Lentera Hati, 2014) hal. x
11 Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Revolusi Jilbab Kasus Pelarangan Jilbab di SMA
100 JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054
Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial Safitri Yulikhah
237
15 Ibid., 238
16 Op.cit., Fadhlullah, hal. 109.
JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054 101
Safitri Yulikhah Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial
102 JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054
Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial Safitri Yulikhah
JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054 103
Safitri Yulikhah Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial
104 JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054
Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial Safitri Yulikhah
25 Jess Feits dan Gregory Feist, Teori Kepribadian, ( Jakarta: Salemba Humanika,
1987), hal. 71
JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054 105
Safitri Yulikhah Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial
menakuti dosa dan mengejar pahala juga surga dan neraka, yang seringkali
dijadikan dasar dalam perintah berjilbab bagi anak-anak dalam dunia
pendidikan.29 Konsep takut dosa inilah yang coba diatasi dengan mencari
rasa aman. Rasa aman dari ketakutan akan dosa ini salah satunya dengan
menggenakan jilbab yang dipahami sebagai perintah agama.
Tetapi, bagi mereka yang memilih tidak mengenakan jilbab juga
memilki alasan tersendiri, rasa aman baginya tidak didapatkannya dari
mengenakan jilbab. Justru saat ia mengenakan jilbab ia merasa tidak aman.
Seperti yang dialami oleh wartawan yang meliput di daerah konflik,
mereka melepas jilbabnya.30 Hal ini terjadi karena kebutuhan akan rasa
aman antara satu individu dengan individu lain berbeda. Lebih jauh lagi,
pemakaian atau tidak memakai jilbab tidak berhenti pada tahapan
kebutuhan akan rasa aman tapi juga merambah pada tahap kebutuhan
akan penghargaan.
Kebutuhan akan penghargaan ini menurut Maslow memliki dua
kategori, yaitu kebutuhan yang lebih rendah dan lebih tinggi. Kebutuhan
yang rendah adalah kebutuhan untuk menghormati orang lain, kebutuhan
akan status, ketenaran, kemuliaan, pengakuan, perhatian, reputasi,
apresiasi, martabat, bahkan dominasi. Sedangkan kebutuhan yang lebih
tinggi adalah kebutuhan akan harga diri termasuk perasaan, keyakinan,
kompetensi, prestasi, penguasaan, kemandirian, dan kebebasan31
Saat ini jilbab yang telah bertranformasi menjadi gaya hidup dan
bagian dari fashion ini menjadi salah satu cara bagi sebagian perempuan
untuk memenuhi kebutuhannya akan penghargaan baik kebutuhan yang
lebih rendah maupun lebih tinggi. Jika bisa mengambil contoh maka yang
belum lama terjadi adalah konversi aktris Laudya Cintya Bella dari yang
semula tidak berjilbab menjadi berjilbab. Setelah ia memutuskan untuk
berjilbab, ia menjadi sorotan media yang mau tidak mau membuat
ketenarannya meningkat mengingat statusnya yang merupakan publik
figur.
Adapula Sefti Sanustika, istri dari Ahmad Fathonah -yang tengah
tersandung kasus korupsi- memilih membuka jilbabnya dan mengenakan
pakaian terbuka. Ada yang menduga pelepasan jilbab yang dilakukan oleh
Sefti ini untuk kepentingan salah satu partai, maksudnya adalah untuk
menunjukan status dari Sefti dan suaminya bahwa mereka bukan anggota
106 JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054
Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial Safitri Yulikhah
dari salah satu partai yang menaungi suaminya sebelum dibui.32 Tentu saja
ini adalah pemisalan bahwa dengan mengenakan atau tidak mengenakan
jilbab maka kebutuhan akan penghargaan dapat terpenuhi, dan tidak
dimaksudkan untuk menilai atau mempertanyakan secara khusus apa
alasan mereka mengenakan dan melepaskan jilbab.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka baik perempuan yang
memakai atau tidak memakai jilbab memiliki alasan-alasan psikologis
tertentu. Boleh jadi apa yang ditemukan Junemaan dalam penelitiannya
terhadap perempuan yang melepas jilbab tentang perkembangan
kepercayaan eksistensial juga dialami oleh perempuan-perempuan muslim.
Bisa jadi mereka tengah mencari makna dari jilbab. Bisa pula karena
mereka mencari rasa aman dan penghargaan dari pilihan mereka untuk
memakai atau tidak memakai.
Tidak sedikit perempuan yang pada awalnya tidak memakai jilbab
kemudian begitu menjadi mahasiswi dan mengenal bermacam organisasi
keagamaan, akhirnya memutuskan berjilbab. Sebaliknya, mahasiswi yang
dulunya berjilbab akhirnya setelah memasuki dunia perkuliahan akhirnya
melepas jilbabnya. Jika pun tidak melepas, maka terjadi pergeseran bentuk
dan jenis jilbab yang dikenakan. Tidak sedikit perempuan yang awalnya
memakai jilbab besar kemudian seiring pergaulannya yang meluas maka
ukuran jilbab yang dikenakan menjadi makin sempit.
Fenomena tersebut juga dialami oleh subjek penelitian Juneman.
Mereka awalnya mengenakan jilbab besar lalu dalam proses melepas
jilbab, ukuran jilbab mereka makin susut dan makin ‘seadanya’ hingga
akhirnya melepas jilbab mereka. Hal tersebut setidaknya menunjukkan
bahwa ada satu hal yang luput dari perhatian. Yaitu, tahukah perempuan-
perempuan tersebut tentang dalil-dail atau ayat-ayat seputar jilbab? Poin
penting tersebut tertutup oleh doktrin-doktrin yang menyatakan bahwa
jilbab itu wajib. Tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut mengapa ia wajib?
Sehingga tak sedikit yang menelan mentah-mentah perintah tersebut,
maka berjilbablah para perempuan. Lantas menatap sinis saudara
perempuan lain yang tidak berjilbab.
Selanjutnya, sebuah sanggahan yang muncul kemudian yang
menyatakan bahwa jilbab tidak wajib karena rambut tidak lebih
merangsang hawa nafsu bagi laki-laki dari pada bagian tubuh perempuan
yang lain. Maka mereka yang tidak berjilbab punya argument untuk
mendukung mereka yang tidak berjilbab. Atau setidaknya untuk melawan
32 Abd. Ghofar Al Amin, Demi PKS Istri Ustadz Fathanah Rela Lepas Jilbab.
JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054 107
Safitri Yulikhah Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial
108 JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054
Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial Safitri Yulikhah
menjelaskan fenomena jilbab ini. Hal ini karena seperti dijelaskan di awal
bahwa ada beragam alasan yang menjadikan perempuan memilih memakai
atau tidak memakai jilbab.
JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054 109
Safitri Yulikhah Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya…”
Perbedaan pendapat muncul di kalangan ulama dalam memaknai
kalimat illa ma zhahara minha (kecuali apa yang nampak darinya
(perhiasannya). Ada banyak interpretasi dari ayat ini. Ath-Thabari,
menyatakan bahwa kunci dari perbedaan pendapat yang ada di kalangan
ulama adalah kata illa ma zhahara minha, baginya kontroversinya adalah
tentang bagian apa dari tubuh perempuan yang boleh dibuka. Ia mengutip
beberapa pendapat dari sahabat Nabi yang berpendapat bahwa hanya
pakaian luarnya saja yang boleh diekspos oleh perempuan sedangkan
seluruh badan termasuk wajah dan telapak tangan harus tertutup.
Sebagian pendapat lain mengatakan bahwa perempuan dapat mengekspos
matanya, cincin, gelang dan wajahnya.36
Ar-Razi berpendapat bahwa perempuan boleh memperlihatkan
wajah dan tangannya karena baik wajah maupun tangannya diperlukan
secara fungsional semisal jual beli. Namun menurutnya melihat wajah
perempuan dengan penuh nafsu tidak dibolehkan. Jadi boleh melihat wajah
perempuan jika tidak ada keinginan dengan apa yang disebut fitnah. Hal ini
110 JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054
Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial Safitri Yulikhah
37 Ibid., hal. 88
38 Ibid., 90
39 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054 111
Safitri Yulikhah Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial
Pada ayat di atas terdapat kata khumurihinna yang berasal dari kata
khumur bentuk jamak dari kata khimar. Sesuatu yang diletakkan di atas
kepala untuk menutupinya disebut khimar. Berangkat dari sinilah khimar
kemudian diartikan sebagai kerudung.
Akan tetapi kemudian muncul pertanyaan baru, benarkah dengan
menutup kepala dan dada dengan khimar merupakan pesan dari ayat
tersebut atau hanya menutup dada dengan cara apapun meski tidak
menutup kepala. Bila merujuk redaksi ayat tersebut perintah yang
diserukan adalah menutup dada perempuan dengan kerudung mereka.
Sehingga menimbulkan kesimpulan sementara bahwa rambut perempuan
tidak wajib ditutup karena ayat ini menekankan pada pentingnya menutup
dada.
Ayat selanjutnya yang menjadi bahasan pokok tentang pakaian
wanita, yaitu firman Allah dalam QS. Al-Ahzab [33]:59.
42 Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim, Fiqhus Sunnah Lin Nisa Panduan Fikih
Lengkap Bagi Wanita Menguraikan Hukum-hukum Fikih yang Wajib Diketahui oleh Setiap
Muslimah, (Solo: Pustaka Arafah, 2014), hal. 353
112 JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054
Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial Safitri Yulikhah
JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054 113
Safitri Yulikhah Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial
C. Kesimpulan
Seperti telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, bahwa jilbab
memiliki ranah yang cukup luas dalam kehidupan sosial manusia. Selain
sebagai sebuah busana yang menjadi simbol keagamaan jilbab dengan
luwesnya merambah pada ranah-ranah lain. Perbedaan pendapat juga
turut meramaikan permasalahan jilbab ini. Jilbab yang diartikan sebagai
kerudung yang menutup kepala hingga dada perempuan memang penuh
paradoks sebagaimana ditunjukkan Makhlouf (dalam Juneman, 2011):
114 JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054
Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial Safitri Yulikhah
JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054 115
Safitri Yulikhah Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial
DAFTAR PUSTAKA
Al Amin, Abd. Ghofar. 2014. Demi PKS Istri Ustadz Fathanah Rela Lepas
Jilbab. Kompasiana, diakses dari kompasiana.com pada 29-11-2015
pukul 09.31
Alatas, Alwi, Fifrida Desliyanti. 2001. Revolusi Jilbab Kasus Pelarangan
Jilbab di SMA Negeri se-Jabodetabek, 1982-1991. Jakarta: I’tishom.
Al-Asymawi, Muhammad Said. 2003. Kritik Atas Jilbab, terj. Nong Darol
Mahmada, Jakarta: JIL
Budiastuti. 2012. Jilbab dalam Perspektif Sosiologi: Studi Pemaknaan Jilbab
di Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Muhamaddiyah Jakarta.
Tesis Tidak Diterbitkan. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Program Pasca Sarjana Sosiologi.
El Guindi, Fedwa. 2006. Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan
Perlawanan. Serambi
Engineer, Asghar Ali. 1999. Pembebasan Perempuan. Yogyakarta: LKiS
Fachruddin, Azis Anwar. 2014. Jilbab Phenomenon Religious or Cultural,
(Yogyakarta: thejakartapost.com, 12/09/2014), Diakses dari
thejakartapost.com pada 29-11-2015, pukul 10.00 wib
Fadhlullah, Sayid Muhammad Husain. 2000. Dunia Wanita dalam Islam.
Jakarta: Lentera
Feist, Jess dan Gregory J. Feist. 2010. Teori Kepribadian: Theories of
Personality. Bandung: Salemba Humanika
Frank, G. Goble. 1987. Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta:
Kanisius
Hidayat, Dede Rahmat. 2011. Teori dan Aplikasi Psikologi Kepribadian
dalam Konseling. Bogor: Ghalia Indonesia
116 JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054
Jilbab Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial Safitri Yulikhah
JURNAL ILMU DAKWAH, Vol. 36, No.1, Januari – Juni 2016 ISSN 1693-8054 117