Anda di halaman 1dari 23

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di Jawa


bagian tengah dan satu-satunya provinsi yang merupakan daerah istimewa
atau sering disebut dengan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dahulu terdapat dua
daerah istimewa di Indonesia, yaitu Daerah Istimewa Aceh dan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Akan tetapi saat ini hanya tinggal tersisa satu daerah
istimewa, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta.

Meski sudah berusia ratusan tahun, Keraton Yogyakarta bisa dikatakan satu-
satunya keraton di Indonesia yang masih berfungsi baik hingga saat ini. Di
dalam keraton terdapat banyak benda peninggalan yang masih terawat dengan
baik. Karena itu di Keraton Yogyakarta tidak pernah sepi pengunjung di
setiap harinya, terutama saat hari libur tiba. Wisatawan domestik maupun
mancanegara di setiap harinya banyak yang mengunjungi keraton kebanggaan
masyarakat Yogyakarta tersebut karena banyak keunikan dan sejarah yang
dapat dipelajari di Keraton Yogyakarta. Bukan hanya itu, di Keraton
Yogyakarta juga sering diadakan pertunjukan yang menampilkan sinden
keraton. Dengan demikian Keraton Yogyakarta semakin menarik perhatian
para wisatawan untuk berkunjung ke sana.

Dalam perjalanan hidup masyarakat Yogyakarta, keraton memiliki pengaruh


yang cukup besar dalam perkembangan budaya masyarakat Yogyakarta.
Masyarakat percaya bahwa keraton merupakan referensi budaya mereka.
Dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun keraton Yogyakarta
tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya
di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

1
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti
mengenai arti dari Keraton Yogyakarta, peranan keraton Yogyakarta terhadap
kebudayaan Jawa.

1.2 Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah :


1.2.1 Keraton Yogyakarta sebagai salah satu tujuan destinasi wisata yang
unik dan banyak menarik wisatawan.
1.2.2 Pentingnya peran Keraton Yogyakarta dalam kebudayan diJawa.
1.2.3 Ciri khas keraton Yogyakarta

1.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah :


1.3.1 Arti dari Keraton Yogyakarta.
1.3.2 Arti dari kebudayaan.
1.3.3 Arti peranan.

1.4 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :


1.4.1 Apakah arti dari Keraton Yogyakarta?
1.4.2 Apakah arti dari kebudayaan?
1.4.3 Apakah arti peranan?

1.5 Tujuan Observasi

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :


1.5.1 Apakah arti dari Keraton Yogyakarta?
1.5.2 Apakah arti dari kebudayaan?

2
1.5.3 Apakah arti peranan?

1.6 Manfaat Observasi

Adapun manfaatobservasiini adalah :


1.6.1 Untuk mengetahui arti dari Keraton Yogyakarta
1.6.2 Untuk mengetahui arti dari kebudayaan
1.6.3 Untuk mengetahui arti dari peranan

1.7 Ruang Lingkup Observasi


Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah :
1.7.1 Subjek dalam observasi ini adalah para pelajar SMA N 1 Tumijajar
yang mengikuti kegiatan study tour, sedangkan objek dalam observasi
ini adalah Keraton Yogyakarta.
1.7.2 Lokasi dalam observasi ini adalah Keraton Yogyakarta.
1.7.3 Observasi ini dilakukan pada 14-19 Juni 2014.

3
II. LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Keraton

Keraton atau kraton ( bahasa Jawa ) adalah daerah tempat seorang penguasa (
raja atau ratu ) memerintah atau tempat tinggalnya ( istana ). Dalam pengertian
sehari - hari, keraton sering merujuk pada istana penguasa di Jawa. Dalam
bahasa Jawa, kata kraton ( ke – ratu - an ) berasal dari kata dasar ratu yang
berarti penguasa. Kata Jawa ratu berkerabat dengan kata dalam bahasa
Melayu; datuk / datu. Dalam bahasa Jawa sendiri dikenal istilah kedaton yang
memiliki akar kata dari datu, di Keraton Surakarta istilah kedaton merujuk
kepada kompleks tertutup bagian dalam keraton tempat raja dan putra-
putrinya tinggal. Masyarakat Keraton pada umumnya memiliki gelar
kebangsawanan

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan


istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di
Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun
kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia
pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai
tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan
tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu
objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan
museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk
berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan.
Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur
istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan
serta paviliun yang luas.

4
2.2 Pengertian Peranan

Peranan menurut Grass, Mason dan MC Eachern yang dikutip dalam buku
pokok pokok pikiran dalam sosiologi karangan David Bery (1995:100)
mendefinisikan peranan sebagai perangkat harapan-harapan yang dikenakan
pada individu atau kelompok yang menempati kedudukan sosial
tertentu.Sedangkan dikemukakan oleh Soekanto (2002:243), bahwa peranan
(role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang
melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai kedudukannya, maka ia
menjalankan suatu peranan.

Berdasarkan dua pengertian di atas, peranan adalah perangkat harapan-


harapan yang dikenakan pada individu atau kelompok untuk melaksanakan
hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang peran sesuai
dengan yang diharapkan masyarakat. Setiap orang memiliki macam-macam
peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupya. Hal ini sekaligus
berarti bahwa peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat
serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat atau
lingkungannya kepadanya.

2.3 Pengertian Budaya

Kebudayaan berasal dari kata sansekerta buddayah, yang merupakan bentuk


jamak dari buddhi, yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan
berarti hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Adapun ahli antropologi yang
merumuskan definisi tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah
Taylor, yang menulis dalam bukunya: “Primitive Culture”, bahwa kebudayaan
adalah keseluruhan yang

5
kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan,
kesenian,moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan lain, serta kebiasaan
yang di dapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Ranjabar, 2006).
Good enough (dalam Kalangie, 1994) mengemukakan, bahwa kebudayaan
adalah suatu sistem kognitif, yaitu suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan,
kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota individual
masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan berada dalam tatanan kenyataan
yang ideasional. Atau, kebudayaan merupakan perlengkapan mental yang oleh
anggota-anggota masyarakat dipergunakan dalam proses orientasi, transaksi,
pertemuan, perumusan, gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial
nyata dalam masyarakat mereka.
Definisi lain dikemukakan oleh Linton dalam buku: “The Cultural
Background of Personality”, bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari
tingkah lakuyang dipelajari dari hasil tingkah laku, yang unsur-unsur
pembentukannya didukungdan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu,
(Sukidin, 2005).
Soemardjan dan Soemardi (dalam Soekanto, 2007) merumuskan, kebudayaan
sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat
menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan
jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai
alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan
masyarakat.
Roucek dan Warren (dalam Sukidin, 2005) mengatakan, bahwa kebudayaan
bukan saja merupakan seni dalam hidup, tetapi juga benda-benda yang
terdapat di sekeliling manusia yang dibuat manusia. Dengan demikian ia
mendefinisikan kebudayaan sebagai cara hidup yang dikembangkan oleh
sebuah masyarakat guna memenuhi keperluan dasarnya untuk dapat bertahan
hidup, meneruskan keturunan dan mengatur pengalaman sosialnya. Hal-hal
tersebut adalah pengumpulan bahanbahan kebendaan, pola organisasi sosial,
cara tingkah laku yang dipelajari, ilmu pengetahuan, kepercayaan dan kegiatan
lain yang berkembang dalam pergaulan manusia.
Menurut Koentjaraningrat (2002) mengatakan, bahwa menurut ilmu

6
antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
millik diri manusia dengan belajar. Dia membagi kebudayaan atas 7 unsur:
sistem religi, system organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem
mata pencaharian hidup,sistem teknologi dan peralatan bahasa dan kesenian.
Kesemua unsur budaya tersebut terwujud dalam bentuk sistem budaya/adat-
istiadat (kompleks budaya, tema budaya,gagasan), sistem sosial (aktivitas
sosial, kompleks sosial, pola sosial, tindakan), dan unsur-unsur kebudayaan
fisik (benda kebudayaan).

7
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 16 Juni 2014di Keraton Yogyakarta


yang terdapat di Provinsi Yogyakarta.

3.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam karya tulis ini adalah metode deskriptif
(memaparkan).

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:


3.3.1 Observasi
Teknik ini digunakan untuk mengamati secara langsung bagaimana
keadaan dari Keraton Yogyakarta tersebut.
3.3.2 Wawancara
Dalam penelitian ini penulis juga mewawancarai abdi dalem mengenai
hal-hal penting mengenai keraton.
3.3.3 Studi Pustaka
Teknik ini merupakan teknik yang digunakan untuk memperoleh informasi
dengan cara mengumpulkan data-data yang diperlukan baik melalui media
massa, perpustakaan sekolah, ataupun internet.

8
3.4 Populasi dan Sampel

Populasi dari observasi ini adalah seluruh objek yang dikunjungi dalam study
tour tahun 2014 yang berada di daerah Jakarta dan Yogyakarta. Dan sampel
dalam observasi ini adalah Keraton Yogyakarta.

9
IV. PEMBAHASAN

4.1 Sejarah Keraton

Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I


beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini
konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati.
Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja
Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi
lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul
Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton
Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar
Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten
Sleman.

4.2 Pandangan Umum Keraton Yogyakarta

Secara etimologi, keraton berasal dari kata karatuan yang artinya tempat
bersemayam ratu-ratu. Keraton juga bisa disebut dengan kadaton, yang
berasal dari kata kedatuan dan memiliki arti tempat datu-datu atau ratu-ratu.
Dalam bahasa Indonesia keraton sering disebut dengan istana, jadi keraton
adalah sebuah istana, tetapi istana belum tentu keraton. Keraton adalah
sebuah istana yang mengandung arti keagamaan, arti filsafat, dan arti kulturil
(kebudayaan).

Begitu halnya dengan Keraton Yogyakarta yang penuh dengan arti-arti


tersebut di atas. Arsitektur bangunan-bangunan, letak bangsal-bangsal,
ukiran, hiasan, sampai pada warna-warna gedungnya juga mempunyai arti.

10
Pohon-pohon yang ditanam di dalamnya bukan sembarangan pohon. Semua
yang terdapat di Keraton Yogyakarta tersebut seakan-akan memberikan
nasehat kepada manusia untuk cinta dan menyerahkan diri kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berlaku sederhana dan tekun, berhati-hati dalam tingkah
laku sehari-hari dan masih banyak nasehat yang lain.

Daerah keraton terletak di hutan Garjitawati, dekat Desa Beringin dan Desa
Pacetokan. Karena daerah ini dianggap kurang memadai untuk membangun
sebuah kraton dengan bentengnya, maka aliran Sungai Code dibelokkan
sedikit ke timur dan aliran Sungai Winanga sedikit ke Barat. Keraton
Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 atau tahun Jawa 1682, diperingati
dengan sebuah condrosengkolomemet di pintu gerbang Kemagangan dan di
pintu gerbang Gadung Mlati berupa dua ekor naga berlilitan satu sama lain.
Dalam bahasa Jawa : “Dwi naga rasa tunggal”. Artinya : Dwi= 2, naga= 8,
rasa=6, tunggal= 1, dibaca dari belakang menjadi 1682. Warna naga hijau.
Hijau adalah simbol dari pengharapan. Di sebelah luar dari pintu gerbang itu,
di atas tebing tembok kanan-kiri ada hiasan juga terdiri dari dua ekor naga
bersiap-siap untuk mempertahankan diri. Dalam bahasa Jawa : “Dwi naga
rasa wani”. Artinya : Dwi= 2, naga=8, rasa=6, wani= 1, jadi tahun 1682.
Tahunnya sama, tetapi dekorasinya berbeda, bergantung pada arsitektur,
tujuan dan sudut yang dihiasinya. Warna naga merah. Merah adalah simbol
dari keberanian. Di halaman Kemagangan ini dahulu diadakan ujian-ujian
bela diri memakai tombak antarcalon prajurit-prajurit keraton.

Di dalam Keraton Yogyakarta terdapat banyak bangunan, halaman dan


lapangan. Dimulai dari halaman keraton ke utara :
1. Kedaton/ Prabayeksa
2. Bangsal Kencana
3. Regol Danapratapa (pintu gerbang)
4. Sri Manganti
5. Regol Srimanganti
6. Bangsal Poncowati (dengan halaman kemandungan)

11
7. Regol Brajanala (pintu gerbang)
8. Siti Inggil
9. Tarub Agung
10. Pagelaran (tiangnya berjumlah 64)
11. Alun-alun utara (dihias dengan pohon beringin 62 batang)
12. Pasar (Beringharja)
13. Kepatihan
14. Tugu

Kalau dari halaman kraton ke selatan :


1. Regol Kemagangan (pintu gerbang)
2. Bangsal Kemagangan
3. Regol Gadungmlati (pintu gerbang)
4. Bangsal Kemandungan
5. Regol Kemandungan
6. Siti Inggil
7. Alun-alun selatan
8. Krapyak

4.3 Arti Simbolik dari Kraton

Berikut adalah arti-arti simbolik dari Keraton Yogyakarta:


4.3.1. Krapyak
Krapyak adalah sebuah gambaran dari tempat asal roh-roh. Di Sebelah
utara krapyak terletak Kampung Mijen, berasal dari kata wiji (benih).
Jalan lurus ke utara, kanan kiri dihiasi dengan pohon asem dan pohon
tanjung menggambarkan kehidupan sang anak yang lurus, bebas dari rasa
sedih dan cemas.
4.3.2. Plengkung Gading atau Plengkung Nirbaya
Plengkung ini menggambarkan batas periode sang anak dari masa kanak-
kanak ke masa pra puber. Rupa dan tingkahnya masih menarik apalagi
suka menghias diri (nata sinom). Sinom adalah daun asem yang masih

12
muda, rupanya hijau muda, sangat menarik, tetapi berarti juga rambut
halus-halus di dahi pemudi. Sinom itu selalu dipelihara dengan cermat
oleh pemuda-pemudi karena dapat menambah kecantikannya.
4.3.3. Dua Pohon Beringin (Wok)
Wok berasal dari kata Bewok. Dua pohon beringin di tengah-tengah alun-
alun menggambarkan bagian badan kita yang rahasia sekali maka dari itu
diberi pagar batu bata. “Jumlahnya” yaitu dua, menunjukkan laki-laki,
“namanya” yaitu supit urang, menunjukkan perempuan. Lima buah jalan
raya yang bertemu satu sama lainnya menggambarkan panca indra yang
dimiliki oleh manusia. Tanah berpasir artinya belum teratur, saling
terlepas satu sama lain. Keliling alun-alun ditanami pohon Kweni dan
Pakel, yang memiliki arti sang anak sudah wani (berani) karena sudah akil
baligh.
4.3.4. Trateg
Trateg merupakan tempat istirahat beratap anyaman bambu. Kanan-kiri
tumbuh pohon-pohon Gayam dengan daunnya yang rindang serta
bunganya yang harum. Siapa saja yang berteduh di bawah trateg itu akan
merasa aman, tenteram, senang dan bahagia. Hal itu menggambarkan
perasaan pemuda pemudi yang sedang dirindu cinta asmara.
4.3.5. Sitihinggil
Di tempat ini terdapat pendopo dan di tengah lantai ada selo gilang, tempat
singgasana Sri Sultan. Kanan-kiri tempat duduk kerabat keraton dan abdi
dalem lainnya, baik pria maupun wanita semuanya berkumpul
menghormati Sri Sultan. Ini menggambarkan pemuda-pemudi yang duduk
bersanding di kursi temanten. Pohon-pohon yang ditanam di sini adalah
pohon mangga cempora dan pohon soka. Kedua pohon ini mempunyai
bunga yang halus panjang berkumpul menjadi satu, ada yang merah ada
juga yang putih, gambaran dari bercampurnya benih manusia laki-laki dan
perempuan. Kanan kiri pendopo Sitihinggil, di halaman sebelah timur dan
barat terdapat kamar mandi. Sitihinggil ini dilingkari oleh sebuah jalan,
namanya Jalan Pamengkang.

13
4.3.6. Halaman Kemandungan
Di halaman kemandungan ini pohon yang ditanam adalah pohon kepel,
pelem (mangga), cengkir gading dan jambu dersono. Halaman
kemandungan menggambarkan benih dalam kandungan ibu, pohon pelem
menggambarkan rasa kemauan bersama, pohon jambu dersono
menggambarkan diliputi oleh kasih dan cinta satu sama lain, pohon kepel
menggambarkan bersatunya kemauan, rasa dan cita-cita. Cengkar gading
adalah sejenis pohon kelapa dan kecil bentuknya. Dipakai saat upacara
mitoni, yaitu upacara memperingati sang bayi sudah tujuh bulan berada
dalam kandungan ibunya. Jalan kecil ke kanan dan ke kiri
menggambarkan pengaruh-pengaruh negatif yang dapat mengganggu
pertumbuhan sang bayi.
4.3.7. Kemagangan
Jalan di kemagangan ini dibuat sempit kemudian melebar dan terang
benderang. Hal itu menggambarkan sang bayi telah lahir dengan selamat
menjadi magang (calon) manusia. Kepadanya telah tersedia makanan yang
cukup, digambarkan dengan adanya dapur kraton gebulen dan
sekullanggen. Jalan besar di kanan-kiri kemagangan menggambarkan
pengaruh negatif atau positif atas perkembangan sang anak. Sang anak
seharusnya dididik mengarahkan cita-cita lurus ke utara, ke kraton, tempat
bersemayam Sri Sultan. Di sini ia dapat mencapai yang dicita-citakannya,
asal mau bekerja dengan baik, patuh pada peraturan-peraturan, selalu
mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Keraton Yogyakarta memiliki peran dan pengaruh yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat Yogyakarta. Karena keraton Yogyakarta bukan hanya
sebagai tempat tinggal sultan, tapi Keraton Yogyakarta juga banyak
melakukan kegiatan yang melibatkan seluruh masyarakat Yogyakarta.
Kegiatan yang rutin diadakan oleh Keraton Yogyakarta diantara lain sebagai
berikut:

14
1. Upacara grebeg yaitu upacara keagamaan di keraton yang diadakan tiga
kali setahun, bertepatan dengan lahirnya Nabi Muhammad Saw (grebeg
maulud), hari raya idul fitri (grebeg sawal) dan hari raya idul adha (grebeg
besar). Pada hari itu Sri Sultan memberikan sedekah berupa gunung-
gunungan berisikan masyarakat dan lain-lain kepada rakyat. Upacara
semacam itu disertai dengan upacara penyembah Tuhan Yang Maha
Kuasa oleh Sri Sultan di Sitihinggil utara dan kemudian pembacaan doa
oleh Kyai Penghulu untuk kesejahteraan rakyat, keagungan agama,
keselamatan kraton, nusa dan bangsa.
2. Tumplak Wajik adalah upacara pembuatan Wajik (makanan khas yang
terbuat dari beras ketan dengan gula kelapa) untuk mengawali pembuatan
pareden yang digunakan dalam upacara Garebeg. Upacara ini hanya
dilakukan untuk membuat pareden estri pada Grebeg Mulud dan Grebeg
Besar. Dalam upacara yang dihadiri oleh pembesar Kraton ini di lengkapi
dengan sesajian. Selain itu upacara yang diselenggarakan dua hari sebelum
garebeg juga diiringi dengan musik ansambel lesung-alu (alat penumbuk
padi), kenthongan, dan alat musik kayu lainnya. Setelah upacara selesai
dilanjutkan dengan pembuatan pareden.
3. Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama
tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini
sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad.
Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah dalam agama Islam,
Syahadatain. Pada malam kedelapan Sultan atau wakil yang beliau tunjuk,
melakukan upacara Udhik-Udhik, tradisi menyebar uang logam. Setelah
itu Sultan atau wakil beliau masuk ke Mesjid Gedhe untuk mendengarkan
pengajian maulid nabi dan mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi.
Pada hari terakhir upacara ditutup dengan Grebeg Mulud. Selama sekaten
Sego Gurih (sejenis nasi uduk) dan Endhog Abang (telur merah)
merupakan makanan khas yang banyak dijual. Selain itu terdapat pula sirih
pinang dan bunga kantil. Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga
diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum
penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.

15
4. Upacara Siraman/ Jamasan Pusaka
Dalam bulan pertama kalender Jawa, Suro, Keraton Yogyakarta memiliki
upacara tradisi khas yaitu Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan.
Siraman/Jamasan Pusaka adalah upacara yang dilakukan dalam rangka
membersihkan maupun merawat Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms) yang
dimiliki. Upacara ini di selenggarakan di empat tempat. Lokasi pertama
adalah di Kompleks Kedhaton (nDalem Ageng Prabayaksa dan bangsal
Manis). Upacara di lokasi ini 'tertutup untuk umum dan hanya diikuti oleh
keluarga kerajaan. Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di kompleks
Roto Wijayan dan Alun-alun. Di Roto Wijayan yang dibersihkan adalah
kereta-kereta kuda. Kangjeng Nyai Jimat, kereta resmi kerajaan pada
zaman Sultan HB I-IV, selalu dibersihkan setiap tahun. Kereta kuda
lainnya dibersihkan secara bergilir (dalam setahun hanya satu kereta yang
mendapat jatah giliran). Di Alun-alun dilakukan pemangkasan dan
perapian ranting dan daun Waringin Sengker yang berada di tengah-tengah
lapangan. Lokasi terakhir adalah di pemakaman raja-raja di Imogiri. Di
tempat ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya dan Danumurti.
Di lokasi kedua, ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat
menyaksikan prosesi upacaranya.
5. Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan setidaknya di dua tempat
yaitu Pantai Parang Kusumo dan lereng Gunung Merapi. Di kedua tempat
itu benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan
(pakaian) dan sebagainya dihanyutkan. Upacara Labuhan di lereng
Gunung Merapi dipimpin oleh juru kunci Gunung Merapi , sedangkan di
Pantai Parang Kusumo dipimpin oleh juru kunci cepuri Parang Kusumo.
Benda-benda tersebut kemudian diperebutkan oleh masyarakat

4. 4 Pengaruh Keraton terhadap Kebudayaan Jawa

Keraton sebagai pionir Jogja mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi
budaya masyarakat Jawa di Yogyakarta. Masyarakat percaya bahwa Keraton
merupakan referensi budaya mereka. Beberapa studi yang dilakukan pada

16
tahun 1990 menunjukkan bahwa kesetiaan masyarakat kepada Keraton sangat
tinggi. Pengaruh tersebut makin meluas semenjak Raja dapat menggabungkan
kepemimpinan yang karismatik dengan kepemimpinan yang rasional dan
modern.Salah seorang raja tersebut adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Beliau adalah figur yang menonjol pada masa perjuangan saat mendirikan
Republik Indonesia. Beliau menjadi wakil presiden kedua RI yang
mendukung pendirian Perguruan Tinggi pertama di Indonesia yaitu:
Perguruan Tinggi Gadjah Mada (sekarang UGM). Ia meminjamkan Siti
Hinggil Lor sebagai Kampus UGM tahun 1945. Kisah Otobiografi beliau
pernah dituangkan dalam buku berjudul. “Tahta untuk Rakyat”. Kisah yang
menggambarkan sikap manunggal dan menyatunya beliau terhadap
masyarakat Yogyakarta yang dipimpinnya.Hubungan erat antara masyarakat
Jogja dan keraton tampak nyata dalam kesenian, ritual, dan upacara adat
mereka. Misalnya pada pernikahan tradisional, pengantin pria dan wanita
boleh mengenakan pakaian keluarga kerajaan yang disebut ‘basahan’. Dahulu
hanya keluarga kerajaan yang boleh memakai pakaian tersebut.

Selain itu Keraton Yogyakarta juga memiliki otoritas politik dan berpengaruh
dalam kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Otoritas politik dalam
tulisan ini diartikan sebagai otoritas dalam pengaturan masyarakat. Artinya,
kemampuan untuk membuat perintah agar masyarakat berbuat sesuatu untuk
mencapai tujuan tertentu, contohnya ketertiban dan keamanan masyarakat.
Otoritas dalam kebudayaan Jawa berbeda dengan otoritas dalam budaya
Barat. Perbedaan tersebut terletak pada sifat dasar otoritas, sumber otoritas,
sifat otoritas, dan legitimasi dari otoritas. Otoritas dalam kebudayaan Jawa
bersumber dari wahyu Ilahi yang diberikan kepada orang-orang terpilih
sehingga legitimasi dari otoritas tidak berasal dari rakyat yang dipimpin tetapi
dari ranah supernatural. Dengan konsep otoritas seperti ini, otoritas seorang
raja berakhir ketika wahyu Ilahi tersebut berpindah ke orang lain.
Perpindahan wahyu ini bisa dilihat oleh rakyat jelata dari penurunan
kepemimpinan atau kekalahan raja dalam peperangan.

17
Otoritas politik keraton dalam masyarakat Jawa tradisional meliputi seluruh
aspek kehidupan masyarakat karena keraton adalah pusat dari kehidupan.
Keraton adalah asal dari kehidupan itu sendiri sehingga pengaturan kehidupan
diberikan seluruhnya kepada keraton. Aspek ini terlihat dari gelar penuh Sri
Sultan Hamengkubuwono IX yaitu Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun
Kanjeng Sultan Hamengkubuwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman
Sayidin Panoto Gomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX. Arti gelar yang
panjang ini adalah dia adalah penguasa yang sah di dunia ini; dia juga
Senopati Ing Ngalogo, yang berarti bahwa dia adalah panglima tertinggi,
penentu perdamaian dan peperangan. Sultan juga disebut Abdurrahman
Sayidin Panoto Gomo yang berarti penata agama yang pemurah, sebab dia
diakui sebagai Kalifatullah, pengganti Muhammad SAW. Otoritas Sultan
dalam masyarakat tradisional Yogyakarta terlegitimitasi oleh budaya dan
kultur masyarakat. Bagi masyarakat tradisional Yogyakarta, tiap kata Sultan
adalah hukum karena Sultan bukan sekedar seseorang yang kebetulan
memegang kekuasaaan tetapi seseorang yang didukung oleh segenap
kekuatan magis pusaka-pusaka kerajaan.

Adanya pemerintahan kolonial Belanda memperlemah otoritas keraton secara


signifikan. Dalam pemerintahan kolonial Belanda, otoritas Sultan digunakan
dalam pemerintahan masyarakat Yogyakarta dalam sistem yang dikenal
sebagai Indirect Rule. Dalam sistem ini, sistem pemerintahan tradisional tetap
dipertahankan tetapi status penguasa lokal berubah menjadi pegawai sipil
yang mempunyai gelar dan atribut penguasa lokal. Pembuatan keputusan,
dalam sistem ini, dibuat oleh Sultan untuk keputusan-keputusan yang bersifat
budaya dan agama tetapi keputusan-keputusan yang menyangkut
perdagangan dan keamanan dipegang oleh Belanda. Melalui Perjanjian
Giyanti, keraton Yogyakarta menjadi sebuah vassal Belanda yang
bertanggung jawab pada Gubernur Jendral Hindia Belanda. Perjanjian Giyanti
juga menempatkan Pepatih Dalem, dengan persetujuan residen menjadi
pemegang kekuasaan sehari-hari yang sebenarnya, bukan di tangan sultan.
Selain itu pemerintahan kolonial juga mempunyai aparat hukum beserta
hukum perdata sendiri untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan orang

18
Belanda. Keraton tidak mempunyai kekuatan untuk menangani perkara yang
melibatkan orang Belanda.

Setelah kemerdekan Indonesia, kekuasaan keraton di Yogyakarta tetap diakui


oleh Republik yang baru dibentuk dengan surat Presiden Soekarno kepada Sri
Sultan Hamengkubuwono IX dan akhirnya disahkan dengan UU No. 3 Tahun
1950. Pelaksanaan Otonomi Daerah Istimewa berubah dari waktu ke waktu
dengan yang paling baru adalah Dekrit Presiden No. 6 Tahun 1959. Saat ini,
Sultan mempunyai jabatan ganda sebagai Kepala Daerah Istimewa Otonom
dan Wakil Pemerintah Pusat yang bertanggung jawab langsung kepada
Meteri Dalam Negeri.Kesetiaan kepada keraton berarti kesetiaan kepada
negara Republik Indonesia karena keduanya adalah bagian yang tidak
terpisahkan antara satu lainnya.

Peran keraton dalam ranah sosial dan budaya adalah sentral karena keraton
adalah salah satu lokus pendidikan budaya dimana nilai dan budaya mengalir
ke bawah paling deras. Selain itu, peran keraton dalam pelaksanaan adat dan
tradisi sangat penting karena pelaksanaan adat dan tradisi termasuk dalam
pemeliharaan kekuasaan keraton itu sendiri. Pada tahun 1996, Sri Sultan
Hemengkubuwono X dengan jelas mengatakan bahwa dirinya dan Keraton
Yogyakarta adalah simbol dan penjaga budaya Jawa. Beliau mengatakan
bahwa dengan pengakuan Sri Sultan Hamengkubuwono IX terhadap negara
Republik Indonesia, tugas dari Keraton harus dibatasi kepada kegiatan
budaya dan pelaksanaan ritual.

Keraton Yogyakarta merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi


masyarakat Jawa dan tentunya masyarakat Yogyakarta sendiri. Keraton
adalah sebuah ciri khas Yogyakarta dan jika hilang, ciri khas Yogyakarta juga
akan hilang. Banyaknya pengaruh asing yang masuk ke dalam area Keraton
tidak semata-mata membuat penghuni Keraton benar-benar meninggalkan
budayanya. Mereka tetap menjaga tradisi dan kebudayaan mereka. Hal ini lah
yang membuat Yogyakarta begitu istimewa di mata masyarakat lokal bahkan

19
manca negara. Maka dari itu, Keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa harus
tetap dipertahankan terutama tradisi-tradisi yang ada di dalamnya.

20
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang kami lakukan diperoleh kesimpulan sebagai


berikut.
5.1.1.
5.1.2.
5.1.3.
5.1.4.
5.1.5.

5.2 Saran

Adapun saran yang dapat kami berikan adalah.


5.2.1. Kepada para pelajar, khususnya yang ada di luar Provinsi Yogyakarta,
hendaknya bisa mengambil pelajaran-pelajaran penting yang tersirat
dalam Keraton Yogyakarta. Setelah bisa mengambil pelajaran yang
tersirat dari Keraton Yogyakarta, alangkah baiknya jika hal itu
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
5.2.2. Kepada pelajar, khususnya yang terdapat di Provinsi Yogyakarta,
hendaknya bisa melesetarikan kebudayaan yang telah bertahan selama
berabad-abad lamanya. Meskipun arus modernisasi mengalir sangat
deras, terutama di kalangan remaja, budaya asli harus tetap dijaga dan
dilestarikan bahkan dikembangkan agar semakin terkenal di

21
mancanegara. Melestarikan budaya bangsa berarti juga mencintai
bangsa itu sendiri.
5.2.3. Kepada masyarakat hendaknya saling bahu membahu dalam
memajukan budaya Indonesia dan mempertahankan tradisi baik yang
telah diturunkan dari nenek moyang Bangsa Indonesia. Menjaga dan
mempertahankan tradisi bisa menjadi salah satu cara untuk mengisi
kemerdekaan Indonesia. Masyarakat juga hendaknya tidak mudah
terpengaruh budaya-budaya asing yang masuk hingga bisa mengancam
kelestarian budaya asli.
5.2.4. Kepada pemerintah hendaknya bisa menjalin kerja sama dan
komunikasi yang baik dengan rakyatnya dan selalu bisa mendengarkan
suara hati rakyat. Salah satunya tentang pengahapusan status istimewa
dari Provinsi Yogyakarta, seharusnya pemerintah bisa mengerti bahwa
masyarakat Yogyakarta tidak menyetujui rencana itu. Selama Provinsi
Yogyakarta tidak bertentangan dengan Republik Indonesia
penghapusan status istimewa tersebut dirasa kurang tepat karena hal
tersebut bisa saja menjadi kontroversi berkepanjangan yang
memungkinkan konflik dalam negeri. Selain itu diharapkan juga
pemerintah semakin mengenalkan Provinsi Yogyakarta, khususnya
Keraton Yogyakarta di mata mancanegara, supaya semakin banyak
wisatawan yang mengunjungi keraton sebagai tujuan destinasi wisata
favorit di Provinsi Yogyakarta.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ichwayudi, H. S.Pd. 2013. Pedoman Penulisan Karya Tulis. Lampung.

23

Anda mungkin juga menyukai