Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Spondilitis ankilosis (SA) merupakan penyakit inflamasi kronik,
bersifat sistemik, ditandai dengan kekakuan progresif, dan terutama menyerang
sendi tulang belakang (vertebra) dengan penyebab yang tidak diketahui.
Penyakit ini dapat melibatkan sendi-sendi perifer, sinovia, dan rawan sendi,
serta terjadi osifikasi tendon dan ligamen yang akan mengakibatkan fibrosis
dan ankilosis tulang. Terserangnya sendi sakroiliaka merupakan tanda khas
penyakit ini. Ankilosis vertebra biasanya terjadi pada stadium lanjut dan jarang
terjadi pada penderita yang gejalanya ringan. Nama lain SA adalah Marie
Strumpell disease atau Bechterew's disease1-2.

Penyakit ini termasuk jarang dan insidensnya sebanding dengan artritis


rematoid. Sekitar 20% donor darah dengan HLA-B27 menderita kelainan
sakroilitis. Manifestasi biasanya dimulai pada masa remaja dan jarang di atas
40 tahun, lebih banyak pada pria daripada wanita (5 : 1). Angka kekerapan
bervariasi antara 1,0--4,7%.3-7. Dalam makalah ini, akan dibahas penanganan
spondilitis ankilosis.

B. Tujuan Penulisan
a. Mahasiswa Dapat Memahami Konsep Penyakit Spondilitis Ankilosa.
b. Mahasiswa Dapat Mengerti Tentang Konsep Asuhan Keperawatan Pada
Klien Spondilitis Ankilosa.
c. Mahasiswa Dapat Mengaplikasikan Konsep Asuhan Keperawatan Pada
Klien Dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal: Spondilitis Ankilosa.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A . Defenisi

Spondilitis ankilosis adalah suatu penyakit peradangan kronik progresif


yang terutama menyerang sendi sakroiliaka dan sendi-sendi tulang belakang.
Dengan semakin berkembangnya penyakit pada tulang belakang, maka
jaringan lunak paravertebra dan sendi kostovertebralis mungkin terserang
juga (Price & Wilson, 1985), Sedangkan depkes (1995) mendefenisikan
spondilitas sebagai suatu peradangan kronis yang menimbulkan kekakuan dan
biasanya gangguan bersifat progresif pada sendi sakro iliaka dan sendi
panggul, sendi-sendi sinovial pada spinal dan jaringan-jaringan lunak di
spinal.

B. Etiologi

Etiologi Patogenesis pada SA tidak begitu dipahami, tetapi SA


merupakan penyakit yang diperantari olehsistem imun, dibuktikan dengan
adnya peningkatan IgA dan berhubungan erat dengan HLA B27.Secara
imunologi terdapat interaksi antara class I HLA molecule B27 dan Limfosit T.

Tumor necrosis factor (TNF- ) teridentifikasi sebagai pengatur sitokin.

Kecenderungan terjadinya SA dipercayai sebagai penyakit yang diturunkan


secara genetik, dan mayoritas (hampir 90%) penderita SA lahir dengan suatu
gen yang disebut dengan HLA B27. Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan
adanya HLA B27 gene marker
yang dapat menjelaskan adanya hubungan HLA B27 dengan SA. Adanya gen
HLA B27 ini hanya menunjukan adanya kecenderungan yang meningkat
terhadap terjadinya SA ini meskipun ada faktor lain yang mempengaruhi
seperti lingkungan.Akhir-akhir ini, dua gen lain telah teridentifikasi
berhubungan dengan SA, yaitu ARTS1 dan Il23R yangmempunyai peran
dalam mempengaruhi fungsi imunitas
C. Patofisiologi

Spondilitis ankilosis menyerang tulang rawan dan fibrokartilago sendi


pada tulang belakang dan ligamen – ligamen para vertebral. Apabila
diskusvertebral \is juga terinvasi oleh jaringan vaskular dan fibrosa maka akan
timbul kalsifikasi sendi- sendi dan struktur artikular .Kalsifikasi yang terjadi
pada jaringan lunak akan menjembatani satu tulang vertebra dengan vertebra
lainnya.Jaringan sinovial disekitar sendi yang terserang akan meradang
.Penyakit jantung juga dapat timbul bersamaan dengan penyakit ini.

D. Insidensi

Penyakit ini termasuk jarang dan insidensnya sebanding dengan artritis


rematoid. Sekitar 20% donor darah menderita kelainan sakroilitis. Manifestasi
biasanya dimulai pada masa remaja dan jarang di atas 40 tahun, lebih banyak
pada pria daripada wanita (5 : 1). Angka kekerapan bervariasi antara 1,0--
4,7%.

E. Manifestasi Klinik

1. Gejala utama SA adalah adanya sakroilitis. Perlangsungannya secara gradual


dengan nyeri hilang timbul pada pinggang bawah dan menyebar ke bawah
pada daerah paha

2. Gejala klinik SA dapat dibagi dalam manifestasi skeletal dan ekstraskeletal.

a. Manifestasi skeletal berupa artritis aksis, artritis sendi panggul dan bahu,
artritis perifer, entensopati, osteoporosis, dan fraktur vertebra. Keluhan
yang umum dan karakteristik awal penyakit ialah nyeri pinggang dan
sering menjalar ke paha. Nyeri biasanya menetap lebih dari 3 bulan,
disertai dengan kaku pinggang pada pagi hari, dan membaik dengan
aktivitas fisik atau bila dikompres air panas. Nyeri pinggang biasanya
tumpul dan sukar ditentukan lokasinya, dapat unilateral atau bilateral.
Nyeri bilateral biasanya menetap, beberapa bulan kemudian daerah
pinggang bawah menjadi kaku dan nyeri. Nyeri ini lebih terasa seperti
nyeri bokong dan bertambah hebat bila batuk, bersin, atau pinggang
mendadak terpuntir. Inaktivitas lama akan menambah gejala nyeri dan
kaku. Keluhan nyeri dan kaku pinggang merupakan keluhan dari 75%
kasus di klinik. Nyeri tulang juksta-artikular dapat menjadi keluhan
utama, misalnya entesis yang dapat menyebabkan nyeri di sambungan
kostosternal, prosesus spinosus, krista iliaka, trokanter mayor, tuberositas
tibia atau tumit. Keluhan lain dapat berasal dari sendi kostovertebra dan
manubriosternal yang menyebabkan keluhan nyeri dada, sering
disalahdiagnosiskan sebagai angina.

b. Manifestasi ekstraskeletal berupa iritis akut, fibrosis paru, dan


amiloidosis. Manifestasi di luar tulang terjadi pada mata, jantung, paru,
dan sindroma kauda ekuina. Manifestasi di luar tulang yang paling sering
adalah uveitis anterior akut, biasanya unilateral, dan ditemukan 25--30%
pada penderita SA dengan gejala nyeri, lakrimasi, fotofobia, dan
penglihatan kabur. Manifestasi pada jantung dapat berupa aorta
insufisiensi, dilatasi pangkal aorta, jantung membesar, dan gangguan
konduksi. Pada paru dapat terjadi fibrosis, umumnya setelah 20 tahun
menderita SA, dengan lokasi pada bagian atas, biasanya bilateral, dan
tampak bercak-bercak linier pada pemeriksaan radiologis, menyerupai
tuberkulosis

3. Keluhan konstitusional biasanya sangat ringan, seperti anoreksia,


kelemahan, penurunan berat badan, dan panas ringan yang biasanya terjadi
pada awal penyakit.

F. Pemeriksaan Fisik

Pada stadium awal dapat ditemukan tanda sakroilitis yang ditandai


dengan nyeri tekan pada sendi sakroiliaka. Stadium berikutnya, rasa nyeri
dapat hilang karena peradangan diganti dengan fibrosis dan atau dengan
ankilosis. Pada stadium lanjut ditemukan keterbatasan gerak vertebra ke semua
arah yang dapat dinilai dengan gerak laterofleksi, hiperekstensi, anterofleksi,
dan rotasi. Uji Schober sangat berguna untuk menilai keterbatasan sendi.
Pemeriksa harus memperhatikan:

1. Spasme otot-otot paravertebra dan hilangnya lordosis vertebra.


2. Menurunnya mobilitas spinal ke arah anterior dan lateral.
3. Pinggang bagian bawah sukar dibengkokkan bila membungkuk.
4. Berkurangnya ekspansi dada.
5. Nyeri di daerah prosesus spinosus torakolumbal, persendian sakroiliaka
dan daerah sternum, klavikula, krista iliaka, atau tumit.

Uji Scober dilakukan dengan posisi berdiri tegak, kemudian dibuat tanda titik
pada kulit di atas prosesus spinosus vertebra lumbal lima, kurang lebih setinggi
spina iliaka posterior superior, dan titik kedua 10 cm di atas titik pertama.
Penderita diminta membungkukkan punggungnya tanpa menekuk lutut.
Normalnya, jarak kedua titik akan bertambah 5 cm atau lebih. Apabila kurang
dari 15 cm menunjukkan adanya keterbatasan gerak. Pemeriksaan ekspansi
rongga dada dilakukan dengan cara mengambil selisih jarak antara inspirasi
dan ekspirasi maksimal, diukur pada sela iga4. Normalnya, selisih ini 6—
10cm.

G. Pemeriksaan Laboratorium

Tidak ada uji diagnostik yang patognomonik. Peninggian laju endap


darah ditemukan pada 75% kasus, tetapi hubungannya dengan keaktifan
penyakit kurang kuat. Serum C reactive protein (CRP) lebih baik digunakan
sebagai petanda keaktifan penyakit. Kadang-kadang, ditemukan peninggian
IgA. Faktor rematoid dan ANA selalu negatif. Cairan sendi memberikan
gambaran sama pada inflamasi. Anemia normositik-normositer ringan
ditemukan pada 15% kasus. Pemeriksaan HLA - B27 dapat digunakan sebagai
pembantu diagnosis.
H. Pemeriksaan Radiologi

Kelainan radiologis yang khas pada SA dapat dilihat pada sendi aksial,
terutama pada sendi sakroiliaka, diskovertebral, apofisial, kostovertebral, dan
kostotransversal. Perubahan pada sendi S2 bersifat bilateral dan simetrik,
dimulai dengan kaburnya gambaran tulang subkonral, diikuti erosi yang
memberi gambaran mirip pinggir perangko pos. Kemudian, terjadi
penyempitan celah sendi akibat adanya jembatan interoseus dan osilikasi.
Setelah beberapa tahun, terjadi ankilosis yang komplit. Beratnya proses
sakroilitis terdiri dari 5 tingkatan berdasarkan radiologis, yaitu tingkat 0
(normal), tingkat 1 (tepi sendi menjadi kabur), tingkat 2 (tingkat 1 ditambah
adanya sclerosis periartikuler, jembatan sebagian tulang atau pseudo widening,
tingkat 3 (tingkat 2 ditambah adanya erosi dan jembatan tulang), serta tingkat 4
(ankilosa yang lengkap). Akan terlihat gambaran squaring (segi empat sama
sisi) pada kolumna vertebra dan osifikasi bertahap lapisan superfisial anulus
fibrosus yang akan mengakibatkan timbulnya jembatan di antara badan
vertebra yang disebut sindesmofit. Apabila jembatan ini sampai pada vertebra
servikal, akan membentuk bamboo spine. Keterlibatan sendi panggul
memperlihatkan adanya penyempitan celah sendi yang konsentris,
ketidakteraturan subkhondral, serta formasi osteofit pada tepi luar permukaan
sendi, baik pada asetabulum maupun femoral. Akhirnya, terjadi ankilosis
tulang dan pada sendi bahu memperlihatkan penyempitan celah sendi dengan
erosi.

I. Diagnosis

Agak sulit menegakkan diagnosis dini SA sebelum timbulnya


deformitas yang ireversibel. Diagnosis SA dapat ditegakkan berdasarkan
Kriteria New York 1984 yang dimodifikasi
Kriteria klinis:

1. Keterbatasan gerak vertebra lumbal terhadap bidang frontal dan sagital.


2. Nyeri pinggang bawah lebih dari 3 bulan, menjadi baik dengan latihan dan
tidak hilang dengan istirahat.
3. Penurunan ekspansi dada.

Kriteria radiologis:

1. Sakroilitis bilateral tingkat.


2. Sakroilitis unilateral tingkat.
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan minimal 1 kriteria radiologis ditambah
1 kriteriaklinis.

J. Intervensi :

1. Menghilangkan nyeri.
2. Mengurangi inflamasi.
3. Latihan fisik untuk perbaikan kekuatan otot, dan memelihara postur tubuh.
Latihan fisik penting dilakukan karena penyakit ini cenderung terjadi kelainan
berupa fleksi spinal yang progresif. Oleh karena itu, otot-otot ekstensor spinal
harus diperkuat.
a. Penderita dianjurkan tidur terlentang menggunakan kasur yang agak
keras dengan sebuah bantal tipis. Menggunakan bantal yang tebal atau
beberapa bantal sebaiknya dihindari. Pada pagi hari, mandi air hangat,
diikuti latihan fisik untuk penguatan otot-otot belakang (sesuai dengan
petunjuk dokter atau dokter fisioterapi). Hal ini sebaiknya dilakukan di
rumah secara teratur. Tidur tengkurap selama beberapa menit dilakukan
beberapa kali dalam sehari merupakan tindakan yang bermanfaat dalam
menjaga pergerakan ekstensi spinal.
b. Berenang merupakan latihan fisik yang terbaik selama otot-otot masih
boleh menahan dalam keadaan ekstensi. Fusi spinal merupakan
komplikasi dari spondilitis. Karena itu, postur harus dipertahankan dan
menghindari terjadinya kontraktur dalam posisi fleksi dari bahu dan lutut.
Penderita dianjurkan setiap saat tegak, seolah-olah tumit, bokong,
pundak, bahu, dan belakang kepala selalu bersandar pada dinding.
c. Manuver lain yang perlu dilakukan adalah bernapas dalam dan gerakan
fleksi lumbal yang isometrik. Posisi postur tubuh harus diperhatikan
setiap saat. Kursi dengan sandaran yang keras dianjurkan, tetapi
diutamakan lebih banyak berjalan dari pada duduk.

K. Pengobatan

Pengobatan dengan obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) untuk


mengurangi nyeri, mengurangi inflamasi, dan memperbaiki kualitas hidup
penderita. Indometasin 75--150 mg perhari (Areumakin, Benocid, Dialorir,
Confortid) memegang rekor terbaik. Apabila penderita tidak mampu mentolerir
efek samping seperti gangguan lambung atau gangguan SSP berupa sakit
kepala dan pusing, maka AINS yang lain dapat dicoba.

Penderita yang tidak responsif dengan indometasin atau AINS yang


baru lainnya dapat dicoba dengan fenilbutazon 100-300 mg perhari. Tingginya
insidens agranulositosis atau anemia aplastik akibat efek samping obat ini
dibandingkan dengan AINS yang lain perlu disampaikan pada penderita.
Jumlah eritrosit dan lekosit harus selalu dimonitor.

Preparat emas dan penisilamin telah digunakan pada penderita dengan


poliatritis perifer. Publikasi studi klinik terakhir dari sulfasalazin 2--3 gr
perhari (Sulcolon tab. 500 mg) menunjukkan adanya perbaikan, baik nyeri
maupun kelainan spinal.

Bila keluhan sangat mengganggu dalam kegiatan sehari-hari dapat


dipertimbangkan untuk dilakukan artroplasti atau koreksi deformitas spinal.
Tindakan ini sangat berguna untuk mengurangi keluhan akibat deformitas
tersebut.

L. Prognosis

Prognosis dari SA sangat bervariasi dan susah diprediksi. Secara


umum, penderita lebih cenderung dengan pergerakan yang normal daripada
timbulnya restriksi berat. Keterlibatan ekstraspinal yang progresif merupakan
determinan penting dalam menentukan prognosis. Beberapa survei
epidemiologis menunjukkan bahwa apabila penyakitnya ringan, berkurangnya
pergerakan spinal yang ringan, dan berlangsung dalam 10 tahun pertama maka
perkembangan penyakitnya tidak akan memberat. Keterlibatan sendi-sendi
perifer yang berat menunjukkan prognosis buruk. Sebagian besar penderita
dengan SA memperlihatkan keluhan serta perlangsungan yang ringan dan
dapat dikontrol sehingga dapat menjalankan tugas dan kehidupan sosial dengan
baik.

Secara umum, wanita lebih ringan dan jarang progresif serta lebih
banyak memperlihatkan keterlibatan sendi-sendi perifer. Sebaliknya, bamboo
spine lebih sering terlihat pada pria. Terdapat dua gambaran yang secara
langsung berpengaruh terhadap morbiditas, mortalitas, dan prognosis.
Keduanya dianggap sebagai akibat dari trauma, baik yang tidak disadari
maupun trauma berat. Awalnya, terjadi lesi destruksi pada salah satu
diskovertebra, biasa terjadi pada segmen spinal yang bisa dilokalisir, dan
ditandai dengan nyeri akut atau berkurangnya tinggi badan yang mendadak.
Skintigrafi dan tomografi tulang memperlihatkan kelainan, baik elemen
anterior maupun posterior. Imobilisasi yang tepat dan diperpanjang dapat
memberikan penyembuhan pada sebagian besar kasus. Komplikasi kedua yang
menyusul trauma berat maupun yang ringan berupa fraktur yang dapat
menyebabkan koropresi komplit atau inkomplit.

Anda mungkin juga menyukai