Universitas Indonesia
2
KATA PENGANTAR
Universitas Indonesia
3
Universitas Indonesia
4
kasih yang setinggi-tinggi. Kedalaman ilmu yang telah bapak, ibu sampaikan telah
membuat saya ―membuka mata dan hati‖ untuk terus mengasah diri dalam
pengembangan ilmu, khususnya ilmu sejarah.
Kepada Rektor Universitas Sriwijaya, Ibu Prof. Dr. Badia Parizade,
M.B.A, yang memberikan izin dan bantuan kepada saya, sehingga dapat menimba
ilmu sejarah di Universitas Indonesia. Saya haturkan terima kasih yang sebesar-
besarnya. Tanpa bantuan ibu, saya tidak mungkin dapat menjadi bagian dari
keluarga besar universitas terbaik ini. Begitu pula, saya sampaikan ucapan terima
kasih yang setinggi-tingginya atas dukungan beliau dalam penyelesaian studi saya
kepada Pembantu Rektor I Universitas Sriwijaya, Bapak Prof. Dr. Zulkifli Dahlan,
M.Si., DEA.
Kepada Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sriwijaya, Bapak Prof. Drs. Tatang Suhery, M.A.,Ph.D, saya haturkan terima
kasih yang sebesar-besarnya atas izin yang telah diberikan, sehingga saya dapat
dengan tenang mengikuti program S3 ilmu sejarah. Ucapan terima kasih juga saya
sampaikan kepada Pembantu Dekan I Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas /Sriwijaya, atas semua dukungan dan dorongan beliau selama saya
menimba ilmu di universitas ini.
Kepada semua rekan sejawat sesama pengajar pada Program Studi
Ilmu Sejarah, khususnya kepada Ibu Dr. Murni, selaku Ketua Jurusan Pendidikan
IPS, Bapak Drs. Supriyanto, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Sejarah, Ibu Dra. Hj. Yunani, M.Pd, Bapak Syafruddin Yusuf, M.Pd, Ibu Dra.
Isputaminingsih, M.SiI, Ibu Dra. Yetty Rahelly, M.Pd, Ibu Dr. Retno Susanti, Ibu
Dra. Sani Safitri, M.Hum, Bapak Drs. Dedi Irwanto, M.Hum, Ibu Dra. Sri
Kartika, Ibu Hudaidah, S.Pd., M.Pd, dan Bapak Syarifuddin, S.Pd., M.Pd.
Kepada rekan-rekan saya, Dr. Rosmaida Sinaga, Bapak Dr. Harto
Jowono, Abdurakhman, Abdul Syukur, Dr. Muslimin AR. Effendi, Linda Sudarti,
Setia Gumilar, Ari Harapani, Tuti Muas, Erliza, Ahzainul Milal, Dr. Bernarda
Meterai, Said D (alm). Terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan atas
semua bantuan, kebersamaan dengan penuh persahabatan yang telah terjalin
selama ini. Sungguh, semua itu adalah momen-momen yang tak terlupakan.
Universitas Indonesia
5
Universitas Indonesia
6
Universitas Indonesia
7
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya selama tetap menyantumkan nama saya
sebagai/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 11 April 2012
Yang menyatakan,
Farida R. Wargadalem
Universitas Indonesia
8
ABSTRAK
Universitas Indonesia
9
ABSTRACT
This dissertation describes about the occurrence of. The seizure involved two
brothers (Sultan Badaruddin II dan Sultan Najamuddin II) and two foreign
countries, those are England and Netherland. This research used Narrativism
approach in order to explain the occurrence of conflict (external and internal) in
that Sultanate. It was found that the attendance of British in
April 1812 in Palembang Sultanate led to a hostility between the two brothers
(Sultan
Badaruddin II dan Sultan Najamuddin II). It made Palembang was under the
power of British. The hostility between the two brothers continued until both of
them passed away. Based on the London Treaty (1814), it was stated that British
had to leave out Palembang so that Palembang was returned back to the power of
Dutch colonial. The Dutch then divided Palembang Sultanate into three powers,
the Dutch, Sultan Badaruddin II, and his brother Sultan Najamuddin II. However,
the return of British from Bengkulu led to a more complicated conflict in
Palembang. The conflict was not only between the two brothers, but also between
Sultan Najamuddin II and the Dutch and between the Dutch and the British.
Finally, the war was the only option for the conflict in Palembang Sultanate. The
war happened three times, the first and second war (1819) were won by
Palembang, however the Dutch military power conquered the power of
Palembang Sultanate in the third war (1821). Since then, the Palembang Sultanate
was under the control of the Dutch colonial government. It was Sultan
Najamuddin III who continued fighting against the Dutch, however the struggle
failed. Finally, Palembang Sultanate was completely removed (1825).
Universitas Indonesia
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
KATA PENGANTAR iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ix
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
ABSTRAK x
ABSTRACT xi
DAFTAR ISI xii
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
DAFTAR UKURAN xvii
DAFTAR ISTILAH xviii
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Permasalahan Penelitian 7
1.3 Tujuan Penelitian 8
1.4 Kontribusi Penelitian 8
1.5 Batasan Penelitian 9
1.6 Tinjauan Pustaka 10
1.7 Kerangka Konseptual 15
1.8 Metodologi 21
1.9 Sistematika Penelitian 26
2.1 Pemerintahan 28
2.2 Perekonomian 36
2.3 Hubungan Kesultanan Palembang dengan Belanda dan Inggris 39
2.3.1 Awal Pemerintahan Sultan Badaruddin II 49
2.3.2 Strategi Raffles untuk Menguasai Palembang 54
2.3.3 Pendudukan Loji Belanda (1811) dan Menolak Dominasi Inggris 64
2.3.4 Keterlibatan Raffles dalam Pendudukan Loji Belanda 74
3. SUKSESI DI KESULTANAN PALEMBANG
Universitas Indonesia
11
4. PEMBAGIAN KEKUASAAN
4.1 Pemeritahan Belanda yang Kedua di Kesultanan Palembang 125
4.2 Pembagian Kekuasaan 137
4.3 Konflik Inggris dan Belanda di Kesultanan Palembang 143
4.4 Rancangan Muntinghe untuk Kesultanan Palembang 161
4.5 Akhir Pemerintahan Sultan Ratu Ahmad Najamuddin II 168
4.6 Konflik Baru di Muara Bliti 171
5. PERANG PALEMBANG
5.1 Menjelang Perang dan Perang Palembang Pertama 190
5.2 Persiapan Ekspedisi Belanda 204
5.3 Perlawanan Bangka 208
5.4 Persiapan Kesultanan Palembang 219
5.5 Perang Palembang Kedua dan Akibatnya 224
5.6 Persiapan Menghadapi Perang Palembang 253
5.7 Perang Palembang (1821) 260
Universitas Indonesia
12
DAFTAR TABEL
Tabel
1. Produksi Timah Bangka (1813-1815)
115 2.Total Pengeluaran dan Keuntungan dari
Produksi Timah (1812-1815) 116
Universitas Indonesia
13
DAFTAR LAMPIRAN
Universitas Indonesia
14
DAFTAR UKURAN
A. Ukuran Berat
1 pikul 61,76 kilogram
1 gantang 3,125 kilogram
1 koyang 2.400 kilogram=40 pikul
1 pon 0, 5 kilogram
B. Ukuran Panjang/Luas
1 mil 1609 meter
1 inci 2,54 sentimeter
1 kaki 0,3048 meter
1 vadem 1,88 meter
C.Mata Uang
1 duit = 5/6 sen
4 duit = 1 stuiver
1 Stuiver = 5 sen Real
1 Gulden (atau florin,f) = 100 sen
1 Ringgit = Rijksdaalder = 2,40 Gulden
1 Rupee = 1,20 Gulden
1 Dollar`Spanyol = 2,56 Gulden
320 Picis buntu = 1 dollar Spanyol
4000 Picis teboh = 1 dollar Spanyol
Universitas Indonesia
15
DAFTAR ISTILAH
Universitas Indonesia
16
Universitas Indonesia
17
BAB 1
PENDAHULUAN
Kesultanan Palembang didirikan oleh Ki Mas Hindi yang bergelar Sultan Abdul
Rahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam (1659--1702). Kesultanan ini
sebelumnya merupakan sebuah kerajaan yang sudah berdiri sejak abad XVI.
Untuk memutus hubungan kevazalan dengan Mataram1, dan sekaligus
menyesuaikan struktur kesultanan dengan ajaran Islam yang dijadikan sebagai
agama kerajaan2, kerajaan Palembang diubah namanya menjadi kesultanan.
Wilayah kesultanan Palembang pada awal abad XIX meliputi: Komering
Ilir, Komering Ulu, Ogan Ilir, Ogan Ulu, Musi Ilir, Musi Ulu, Banyuasin,
Lematang Ilir, Lematang Ulu, Buai Bawan, Blalau, Ranau, Buai Pemaca,
Makakau, Bual Runjung, Kisam Saka I, Kisam Saka II, Semendo Ulu Luas,
Semendo Darat, Enim, Mulak Ulu, Kikim, Ulu Manna, Pasumah Lebar, Pasumah
Ulu Lintah, Pasumah Ulu Ayer Kroe, Ampat Lawang, Rejang Tengah atau Musi,
1
Keterkaitan Palembang dengan Mataram sudah terjalin sejak Majapahit terus pada masa
Demak/Pajang sampai Mataram (Abdullah, 1996:208).
2
Kerajaan Palembang muncul pada abad XVI di bawah pimpinan Ki Gede Ing
Suro. Dari sinilah Palembang berkembang menjadi sebuah kerajaan besar. Naik
tahtanya Sultan Abdul Rahman setelah peristiwa perang antara Palembang melawan
VOC (Verenigde Oost-indische Compgnie) (1659) mengakibatkan Pangeran Sideng Rajak
mundur ke pedalaman (Inderalaya). Bukti terakhir hubungan antara Palembang dan
Mataram yaitu Sultan Abdul Rahman mengirimkan sebanyak sepuluh kapal ke Mataram
untuk membantu Mataram membasmi pemberontakan Trunojoyo (1677), setelah itu,
hubungan terputus. Hal itu disebabkan makin kuatnya posisi Palembang secara politik
dan ekonomi, juga karena makin eratnya hubungan antara Palembang dan VOC,
sedangkan Mataram makin lemah. Sebelumnya, Palembang diperintah oleh raja-raja
dengan gelar Ki Gede, Kemas/Ki Mas dan Pangeran. (Abdullah,1996: 202; Woelders,
1975:74; Stibbe, 1932: 265; Faille, 1971:24).
Universitas Indonesia
18
Musi Ulu, Musi Ilir, Rawas, Lebong, dan Bangka-Belitung.3 Dengan demikian,
batas-batas Kesultanan Palembang adalah sebelah timur dan timur laut dengan
laut, di sebelah utara dan barat laut dengan Kerajaan Jambi, di sebelah barat dan
selatan dengan wilayah Bengkulu dan di sebelah tenggara dengan Lampung
(ANRI, Bundel Palembang No. 62.2). Menurut Veth (1869: 651), Palembang
berbatasan di sebelah utara dengan Jambi, di sebelah barat laut dan barat dengan
Bengkulu, di selatan dengan Lampung dan di tenggara dengan selat Bangka, yang
luasnya mencapai 1340 mil (2.156.060 meter) persegi. Dari kedua pendapat
tersebut tidak satupun yang memasukkan Bangka-Belitung sebagai bagian dari
wilayah Kesultanan Palembang. Hal itu disebabkan kedua pulau tersebut secara
geografis terpisah dari daratan Sumatera bagian selatan, diperkuat pula dengan
adanya potensi tambang timah dan hasil perkebunan lada yang dihasilkannya.
Walaupun demikian, pihak kolonial mengakui keabsahan pemilikan kedua pulau
itu berada di tangan Palembang. Dengan demikian, batas-batas wilayah dari
Kesultanan Palembang terdiri sebelah utara dengan Jambi, di sebelah barat barat
dengan Bengkulu, di selatan dengan Lampung dan di timur dengan Laut Cina
Selatan. Dilihat dari luas wilayah tersebut, dapat ditegaskan bahwa wilayah Comment [DKM1]: Jangan menggunakan kata
kesimpulan di sini, gunakan kata ditegaskan!
Kesultanan Palembang saat itu meliputi Provinsi Sumatera Selatan, sebagian Kesimpulan berada di akhir bab.
3
Wilayah inilah yang nantinya menjadi wilayah keresidenan Palembang pada seperempat
pertama abad XIX , sedangkan Bangka sejak tahun 1615 sudah berada di bawah raja-raja
Palembang. Posisi ini diperkokoh dengan terjadinya perkawinan politik antara Sultan Abdul
Rahman dan janda penguasa Bangka (Kielstra, 1892: 129). Sementara itu, Clerq (1846: 130)
memiliki pendapat berbeda, bahwa bukan janda penguasa Bangka yang dinikahi oleh Sultan Abdul
Rahman melainkan puteri Bupati Nusantara (penguasa Bangka). Setelah Bupati Nusantara wafat,
puterinya mewarisi tahta Bangka dan Bangka ditempatkan di bawah Palembang. Untuk Istilah Ilir
(Iliran) dan Ulu (Uluan), istilah ini biasa digunakan oleh masyarakat Palembang untuk
membedakan wilayah berdasarkan aliran sungai yang dikenal dengan nama Batanghari Sembilan,
yang terdiri dari Sungai Musi, Sungai Klingi, Sungai Bliti, Sungai Lakitan, Sungai Rawas, Sungai
Rupit, Sungai Batang Ari Leko, Sungai Ogan dan Sungai Komering. Di samping itu, istilah ini
juga untuk membedakan kawasan dataran tinggi (bagian barat) dan daerah dataran rendah (bagian
timur). Pembagian wilayah ini didasarkan pada aliran sungai sudah terjadi sejak masa Sultan
Abdul Rahman (Falle,1971: 16; Veth,1869: 651-652; Zet,2003: 43; Stibbe,1932: 265-266).
4
Nama ‗Palembang‘ atau aslinya ‘Palimbang‘ berasal dari bahasa Jawa yang berarti
―tanah yang tergenangi air‖, karena tanah di sekitar ibu kota Palembang terdiri atas endapan
lumpur. Pendapat lain mengartikan kata Palembang sebagai ―tempat tanah yang dihanyutkan ke
Universitas Indonesia
19
Sungai Musi) mencapai 52 mil5 (83.668 meter), dan berada pada posisi 2o58‘
Lintang Selatan (ANRI, Bundel Palembang No.62.2), atau pada posisi 2o59‘27‘‘
Lintang Selatan dan 104o43‘52‖ Bujur Timur. Kota ini dilewati oleh dua puluh
sampai tiga puluh anak sungai terutama di aliran kiri yang bermuara ke Sungai
Musi. Itulah sebabnya Palembang disebut juga ―Kota dua puluh Pulau‖ yang
terletak di kedua sisi Sungai Musi yang luasnya mencapai lima mil (8045 meter).
Sungai itu membelah ibu kota dengan lebar 1.012 kaki (3085 meter) dan
kedalaman delapan sampai sembilan vadem (15,04- 16,92 meter). Sungai Musi
pada waktu itu dimanfaatkan untuk perdagangan. Kapal-kapal dagang tidak
hanya dapat berlayar sampai ibu kota tetapi terus masuk jauh ke uluan
(pedalaman). Komunikasi umumnya menggunakan perahu.6 Perahu-perahu lalu
lalang di Sungai Musi tanpa henti dalam jumlah mencapai ratusan. Di sungai itu
terdapat banyak rumah rakit yang diikatkan dengan tali rotan di tonggak-tonggak
kayu bertumpu pada rakit bambu7. Di daratan, rumah-rumah umumnya dibangun
tepi‖. Ada juga yang berpendapat bahwa pengertian lain dari nama Palembang berasal dari kata
―lemba‖ yang berarti tanah tergenang. Secara umum kesemuanya menggambarkan Palembang
sebagai tanah yang berair (lebak) (Sevenhoven,1971: 12; Veth, 1869: 654; Stibbe,1932: 270).
Sumber lain menyebutkan bahwa nama ini diperoleh dari kata kerja Lembang (‗mengalir‘,
‗mencuci‘, ‗tergenang‘) yang artinya mencuci emas, Limbang mas, yang biasanya disebut dengan
istilah Limbang. Dahulu di Bukit Sibutang (Bukit Siguntang) di dekat ibu kota Palembang, di tepi
sebuah sungai ditemukan tambang emas. Di sekitar ibu kota kadang-kadang masih ditemukan jenis
logam ini. Tempat itu mendapatkan prefiks/awalan /pa-/, sehingga menjadi Palimbang (yang
berarti ‗dicuci‘), yang kemudian menjadi Palembang (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2). Luas
kota Palembang mencapai sekitar 80 mil (128720 meter) di sepanjang tepian Sungai Musi (Java
Gouvernement Gazette, 2 Mei 1812 No. 10).
5
Menurut Sevenhoven (1971: 11) yang menjadi komisaris pemerintah Belanda tahun 1821-
1823, jarak ibu kota Palembang dengan muara Sungai Musi (yang disebut sebagai Sungai Sunsang
/Sungsang di pantai timur Palembang mencapai sekitar lima belas mil, sedangkan Wolters (1975:
33) berpendapat jarak kedua tempat itu mencapai lima puluh mil. Data dari Java Gouvernement
Gazette (2 Mei 1812 No. 10), jarak Palembang dari laut mencapai enam puluh mil, sedangkan ‗S
Gravesande (1856: 449) menyatakan bahwa jaraknya mencapai 52 mil (83668 meter) dari
Sunsang. Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa jarak antara ibu kota
Palembang dan muara Sungai Musi berkisar antara lima belas mil sampai enam puluh mil.
6
Untuk ibu kota Palembang, sebagian besar tanahnya yang terletak ditepi Sungai
Musi tergenang air (lebak), sehingga sulit untuk melakukan hubungan darat. Selain itu,
untuk wilayah Kesultanan Palembang dihubungkan oleh sungai-sungai yang dikenal
dengan nama Batanghari Sembilan. Lancarnya hubungan melalui jalur sungai,
menyebabkan penduduk Palembang tidak mengembangkan jalur darat yang sebagian
besar masih terdiri dari hutan-hutan yang lebat
7
Rumah tradisional dibuat dengan menggunakan bahan bangunan yang terdiri atas bambu,
papan dan atap. Lantainya terbuat dari papan, begitu pula dindingnya. Atapnya terbuat dari daun
kelapa, membentang menutupi beranda yang dimanfaatkan dapat digunakan untuk berdagang atau
menukang. Rakit umumnya terdiri atas beberapa bagian yaitu rumah, toko dan gudang (ANRI,
Bundel Palembang No. 62.2; Java Guovernement Gazette, tanggal 2 Mei 1812 No.10; Paulus,
Universitas Indonesia
20
di atas tonggak, yang terbuat dari papan kayu atau bambu yang tersusun rapi,
dikelilingi pagar, dihuni oleh penduduk pribumi.8 Semua bangunan terbuat dari
kayu atau bambu kecuali keraton dan masjid yang terbuat dari batu (ANRI, Bundel
Palembang No. 62.2; Java Gouvernement Gazette, tanggal 2 Mei 1812 No.10;
Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Paulus, 1918: 182).
Penduduk Kesultanan Palembang secara umum adalah orang Melayu
bercampur dengan orang-orang Jawa. Di daerah uluan mereka selalu
menghubungkan asal usul mereka dengan Majapahit/Jawa. Di sekitar pusat
pemerintahan Palembang banyak penduduk yang berasal dari keturunan Jawa
(pada abad XVI Palembang berhasil dikuasai oleh Mataram). Mereka bercampur
dengan orang-orang Melayu dari Malaka dan orang-orang yang berasal dari
pulau-pulau di sekitarnya, termasuk dengan orang-orang Melayu dari pantai timur
Sumatera. Orang Timur Asing yang tinggal di sekitar ibu kota terdiri dari orang
Cina9, Arab10 dan orang asing lainnya. Di daerah pedalaman terdapat suku
terasing yaitu Kubu dan Gugu. Sebagian besar penduduk yang berada di daerah
uluan umumnya hidup berkelompok di tepi-tepi sungai sehingga pola pemukiman
penduduk di wilayah itu tidak sama. Sementara itu, di daerah iliran, yaitu wilayah
1918: 182). Beberapa rakit diikat satu sama lain dengan tali rotan, yang dihubungkan dengan
papan yang berfungsi seperti jembatan. Rumah rakit berfungsi sebagai tempat tinggal orang-orang
Cina dan orang asing lainnya. Rumah-rumah mereka terbuat dari kayu tembesu yang mahal
harganya dan menggunakan atap genting. Ditempatkannya orang-orang Cina dan orang asing
lainnya di rumah-rumah rakit karena Sultan takut jumlah mereka akan semakin berkembang, yang
dapat membahayakan Palembang. Sementara itu, banyak orang Eropa lebih memilih tinggal di
rakit daripada di daratan, karena kenyamanannya (udaranya sejuk) (Veth, 1869 :656; ‗S
Gravesande, 1856: 454; Paulus, 1918: 182).
8
Tahun 1812 penduduk kota Palembang berjumlah dari 20 ribu sampai 30 ribu jiwa
(Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812).
9
Orang-orang Cina di Palembang umumnya berprofesi sebagai pedagang
perantara, yang berkedudukan tetap di ibu kota. Mereka tidak berani masuk ke daerah
uluan karena takut dirampok. Pada 1812 jumlah mereka mencapai 700 jiwa (Java
Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812)
10
Orang-orang Arab yang terdapat di Palembang umumnya berasal dari
Hadramaud, jumlah mereka di kesultanan ini merupakan terbesar kedua setelah Aceh di
Sumatra. Pada masa pemerintahan Sultan Badaruddin II, Sultan memberi kemudahan
bagi kelompok itu untuk menetap di Palembang. Mereka tinggal di rumah-rumah
panggung besar terbuat dari papan di sepanjang Sungai Musi. Pada saat itu jumlah
mereka mencapai 500 jiwa, umumnya berprofesi sebagai pedagang dan pengusaha
(Berg, 2010: 108-109)
Universitas Indonesia
21
timur yang terdiri dari dataran rendah dan pantai (rawa-rawa dan paya-paya
sehingga tidak cocok untuk pertanian). Penduduknya sangat jarang. Mereka
menghuni wilayah yang sangat luas, hampir separuh luas keseluruhan wilayah
Kesultanan Palembang pada awal abad XIX.11
Setelah masa pemerintahan Sultan Abdul Rachman, terjadi pergantian
kekuasaan beberapa kali. Sultan Abdul Rachman digantikan oleh puteranya yaitu
Sultan Muhammad Mansur (1702--1714). Sultan Muhammad Mansur
menyerahkan kekuasaan kepada Sultan Komaruddin (1714--1724). Pengganti
Komaruddin adalah Sultan Mahmud Badaruddin I (1724--1757). Selanjutnya,
Kesultanan Palembang dipimpin oleh Sultan Ahmad Najamuddin I (1757--1776),
yang dilanjutkan oleh Sultan Muhammad Bahauddin (1776--1804).
Di penghujung abad XVIII banyak terjadi perdagangan bebas. Maraknya
perdagangan bebas ini disebabkan karena mundurnya VOC12. Dampak positif dari
maraknya perdagangan bebas ini, Palembang semakin kaya sebagai akibat dari
dilakukannya ekspor gelap oleh kerajaan (ekspor gelap kerajaan Palembang ke
Makau Cina mencapai 20.000 pikul lada dan 27.655 pikul timah per tahun,
sedangkan perdagangan dengan pemerintah Belanda pada 1800 hanya
mengekspor sebanyak 5000 pikul untuk masing-masing komoditi lada dan timah.
Kondisi itulah yang dialami oleh putera mahkota yaitu Raden Hasan Pangeran
Ratu yang saat naik tahta bergelar Sultan Ratu Mahmud Badaruddin II (1804--
1821) (Woelders, 1975: 75-85; Veth, 1869: 657).
Pada awal masa pemerintahan Sultan Badaruddin II (1804), di Hindia
Timur sedang terjadi perang antara Belanda dan Inggris. Hal itu tidak bisa
11
Sampai pertengahan abad XIX yang dimaksud dengan daerah iliran adalah daerah
dataran rendah di pantai, meliputi Banyuasin dan Iliran. Sementara itu, di luar wilayah itu
dimasukkan ke dalam daerah uluan (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2).
12
Hubungan resmi pertama antara Palembang dan VOC terjadi pada 1641 yang
menyatakan bahwa VOC diizinkan berdagang di Palembang. Kontrak itu diperbaharui pada 1642
yang menetapkan VOC berhak atas monopoli perdagangan lada di Palembang. Timah ditemukan
di Bangka 1709/1710 (tambang timah tertua terdapat di wilayah Belo). Belanda sangat
berkeinginan menguasai perdagangan komoditi ini. Peluang itu terbuka dengan terjadinya perang
saudara antara Pangeran Anom dengan Pangeran Jayawikrama yang terjadi pada 1719. Peperangan
itu dimenangkan oleh Pangeran Jayawikrama setelah memperoleh bantuan dari VOC. Setelah naik
tahta, Pangeran Jayawikrama bergelar Sultan Mahmud Badaruddin I. Sebagai imbalannya Belanda
memperbaharui kontrak pada 1722 yang memiliki hak untuk memonopoli timah, hak mendirikan
loji di muara Sungai Aur (Ricklefs, 2005: 154, 157; Kielstra, 1892:79; Faille,1971: 28; Bleeker,
1848: 397).
Universitas Indonesia
22
dilepaskan dari situasi di Eropa yang sedang terjadi peperangan antara Prancis
bersama sekutunya (Belanda dan Spanyol) dan negara-negara penganut monarki
seperti Inggris, Austria dan Prusia sebagai akibat dari meletusnya Revolusi
Prancis. Ketika Prancis berperang melawan Inggris, Prancis berhasil menduduki
Belanda, kemudian mendirikan Republik Bataf di Belanda pada 1795--1806.
Pendudukan tersebut menyebabkan penguasa Belanda saat itu melarikan diri ke
Inggris, dan mengeluarkan ketentuan agar koloni-koloni Belanda di Hindia Timur
diserahkan kepada Inggris agar tidak jatuh ke tangan Prancis. (Marihandono,
2005: 9-13).
Akibatnya, Inggris memblokade dan memutuskan untuk menguasai Pulau
Jawa. Dalam rangka merealisasikan maksud tersebut Thomas Stamford Raffles13,
melakukan pendekatan terhadap raja-raja Melayu khususnya penguasa Palembang
yaitu Sultan Ratu Mahmud Badarudddin II. Memanfaatkan situasi pada waktu itu
dan dukungan aktif dari Raffles, Sultan Badaruddin II menyerang, membunuh
sebagian besar penghuni loji Belanda dan menghancurkan bangunan-
bangunannya (ANRI¸Bundel Palembang No. 67; Baud, 1853: 10-12; Bastin, 1953:
306-314; Kielstra, 1892:81).
Konsekuensi dari tindakan tersebut, membawa Kesultanan Palembang
pada kemelut berkepanjangan yang melibatkan dua negara besar yaitu Belanda
dan Inggris. Di samping itu, melibatkan pula dua saudara kandung yaitu
Badaruddin II dan Najamuddin II, serta usaha yang dilakukan oleh Sultan
Najamuddin III untuk mempertahan kekuasaannnya. Akhirnya, berbagai konflik
itu membawa Kesultanan Palembang pada kehancurannya. Perubahan-perubahan
yang terjadi di Kesultanan Palembang selama 21 tahun (1804--1821) merupakan
persoalan yang unik dan menarik untuk diteliti. Dengan penelitian ini, diharapkan
akan mampu mengungkapkan faktor-faktor yang menyebabkan konflik di
kerajaan itu ―bersegi banyak‖ dengan melibatkan dua orang bersaudara kandung
13
Raffles, adalah perwira intelijen militer. Sejak 1805 ia sudah menjadi Ajun
Sekretaris di Penang. Dari Juli 1810 Raffles mengusulkan dirinya kepada Lord Minto
(Gubernur Jenderal EIC di Calcutta) agar ditempatkan di daerah Melayu. Ia berjanji akan
melepaskan pengaruh Belanda di kerajaan-kerajaan Melayu, khususnya Palembang
(Woelders, 1975: 5).
Universitas Indonesia
23
dan dua bangsa asing yaitu Inggris dan Belanda. Berbagai konflik itu
menyebabkan Kesultanan Palembang mengakhiri eksistensinya.
Universitas Indonesia
24
Penelitian ini setidaknya memiliki dua manfaat yakni manfaat praktis dan
akademis. Manfaat praktis penelitian ini adalah menggali peran Kesultanan
Universitas Indonesia
25
Penelitian ini mempunyai tiga batasan: tematis, spasial, dan temporal. Batasan
tematis dalam penelitian ini adalah tentang perebutan kekuasaan di Kesultanan
Palembang (1804--1825) yang melibatkan Belanda dan Inggris serta konflik
internal di kesultanan itu. Perebutan tersebut dikarenakan Kesultanan Palembang
memiliki sumber daya alam yang sangat dibutuhkan pada waktu itu yaitu timah,
juga karena ketidaktaatan kongsi dagang Inggris (EIC) terhadap negara induknya.
Mereka merasa dirugikan atas adanya perjanjian sepihak antara Inggris dan
Universitas Indonesia
26
Belanda di Eropa tanpa melibatkan kongsi dagang tersebut, yang selama ini telah
berjuang untuk menguasai sumber daya alam di Pulau Bangka.
Batasan spasial penelitian ini adalah wilayah geografis tempat peristiwa
itu berlangsung yaitu mencakup wilayah Kesultanan Palembang yang terbentang
dari Ampat Lawang dan Rejang14 di sebelah barat, Rawas di sebelah utara, Kisam
dan Makakau di selatan dan pulau Bangka-Belitung di sebelah timur. (Veth, 1869:
651). Penelitian ini diawali pada tahun 1804 yaitu tahun awal masa
pemerintahan Sultan Badaruddin II. Pada masa pemerintahan Sultan Badaruddin
II Kesultanan Palembang menjadi ajang perebutan antara dua kekuatan Eropa
yaitu Inggris dan Belanda. Penghapusan Kesultanan Palembang pada tahun 1825
dijadikan akhir penelitian ini. Masa pemerintahan Sultan Badaruddin II
merupakan awal intervensi pihak asing terhadap Palembang, sehingga terjadi
berbagai konflik sampai akhirnya Sultan Badaruddin II dibuang ke Ternate akibat
kekalahan dalam pertempuran 1821. Selanjutnya penguasa Palembang
memerintah di bawah kendali Belanda, ditandai penyerahan kekuasaan pada 1823.
Usaha Sultan Najamuddin III Prabu Anom melakukan perlawanan tidak
membawa hasil, sehingga Kesultanan Palembang dihapuskan pada 1825. Comment [DKM2]: Kalimat ini ditata kembali
Awal tahun penelitian merupakan awal intervensi
sementara tahun 1825 adalah dihapuskannya
kesultanan Palembang. Dipisah dan jangan dijadik
satu.
1.6 Tinjauan Pustaka
Penelitian ini didasarkan pada penelitian arsip sebagai sumber primer. Arsip yang
digunakan diambil dari lembaga penyimpanan arsip resmi negara, yakni Arsip
Nasional Republik Indonesia (ANRI). Pusat penyimpanan arsip ini menyimpan
semua arsip keresidenan yang ada di wilayah Indonesia. Penelitian ini
memanfaatkan Bundel Palembang, dan Bundel Bangka. Dalam katalog Bundel
Palembang dan Bangka, arsip-arsip yang diperlukan untuk penulisan ini terdiri
dari koleksi akhir abad XVIII, dari 1800 sampai 1825 bahkan sesudahnya.
Sumber lain yang tidak kalah penting adalah naskah peninggalan
Kesultanan Palembang, seperti Sejarah Nageri Palembang, Silsilah Kesultanan
14
Batas alami antara Bengkulu dan Palembang terletak 4 derajat Lintang Selatan
dengan ketinggian sekitar 2000 kaki. Daerah yang berbatasan langsung adalah Rejang
(Rejang terbagi antara Rejang Bengkulu dan Rejang Palembang (Kemp, 1900: 435-436).
Universitas Indonesia
27
Universitas Indonesia
28
Universitas Indonesia
29
kurun waktu singkat keberadaannya di ibu kota Palembang tanpa meneliti lebih
lanjut, apa yang menyebabkan semua peristiwa itu terjadi.
Buku lain adalah karya P. Roo de la Faille. Ia pernah menjadi anggota
Dewan Hindia (Raad Van Indie). Penulis buku ini mencoba membandingkan
kondisi Palembang dengan daerah lain, sehingga lebih informatif. Tulisan Faille
penting paling tidak untuk memahami corak hubungan dan konflik antarkerajaan
di Indonesia, pada saat munculnya kekuatan senjata dan ekonomi yang lebih kuat
yaitu VOC. Contoh konflik Palembang dengan VOC pada 1659 yang
menyebabkan penguasa Palembang Sido Ing Rajek lari ke pedalaman. Dalam
buku ini juga terdapat kontrak-kontrak yang digambarkan secara umum antara
raja kemudian sultan Palembang dengan VOC, pembangkangan Palembang
terhadap VOC, Hindia Belanda maupun Inggris. Hal yang juga penting dalam hal
buku ini adalah pemaparan tentang ciri kerajaan maritim yang berbeda dengan
kerajaan agraris. Salah satunya yang terpenting adalah peranan para syahbandar
dan saudagar serta pola hubungan antara sultan dan saudagar. Letak ibu kota
Palembang sangat strategis sehingga mampu mengendalikan daerah uluan melalui
sungai-sungai yang dikenal dengan nama Batanghari Sembilan. Daerah ini
dikenal sebagai daerah penghasil perkebunan untuk komoditi ekspor. Buku ini
penting pula untuk mengetahui sistem pemerintahan, perekonomian, sosial dan
budaya, dan hubungan Palembang dengan daerah-daerah lain baik dalam bentuk
sekutu (Mataram, Jambi, VOC/Hindia Belanda ) maupun seteru (Banten,
Mataram, VOC/Hindia Belanda). Sebagai salah satu sumber, buku ini cukup
penting untuk melihat kondisi Palembang sebelum abad XIX, namun buku ini
kurang memunculkan kondisi Palembang pada awal abad XIX, dan
penggambarannya dalam buku ini hanya selintas.
Sumber ketiga adalah disertasi bidang sastra karya M.O. Woelders
berjudul ―Het Sultanaat Palembang 1811-1825‖. Disertasi ini membahas naskah-
naskah Melayu yang berasal dari tulisan tangan (manuskrip) yang berkaitan
dengan sejarah Kesultanan Palembang kurun waktu 1811-1825. Sesuai kurun
waktunya, maka disertasi ini membahas konflik yang terjadi di Kesultanan
Palembang. Menurut Woelders Sejarah dinasti ini menunjukkan gambaran
pergantian tahta berulang kali (enam kali) sebagai akibat tindakan para penguasa
Universitas Indonesia
30
asing (Belanda dan Inggris) dan konflik internal yang terjadi di Kesultanan
Palembang. Pelbagai hal di atas membawa Palembang pada kehancurannya pada
1825. Disertasi ini tidak menggunakan arsip sebagai sumber primernya. Woelders
juga hanya menganjurkan bahan bacaan yang terdapat dalam Daftar Pustakanya.
Hal ini dapat dimaklumi karena disertasi ini adalah disertasi di bidang ilmu
kesusastraan. Walaupun demikian, buku ini banyak membantu dalam usaha
memperdalam pemahaman tentang Palembang pada perempat pertama abad XIX.
Sesuai dengan kurun waktunya (1811-1825), otomatis tidak mampu
menggambarkan kondisi sebelum itu yang merupakan salah satu bagian penting
dalam sejarah Kesultanan Palembang. Berbagai konflik yang membawa
kesultanan itu pada kehancuran tidak dapat dilepaskan pada berbagai faktor yang
mendahuluinya yang terjadi pada awal abad XIX.
Kekosongan inilah yang dijadikan titik tolak dari disertasi ini. Di samping
itu, disertasi Woelders yang mengandalkan manuskrip sangat sedikit membahas
masa pemerintahan Inggris di Palembang dan pergolakan di Pulau Bangka
pascaperang Palembang pada 1819. Hal lain yang tidak kalah penting adalah
berbagai peristiwa yang terjadi di Kesultanan Palembang pada masa pemerintahan
Sultan Najamuddin III. Woelders hanya memaparkan kejadian-kejadian penting di
Palembang yang menyebabkan kesultanan itu harus diakhiri keberadaaannya oleh
pemerintah kolonial Belanda. Di dalam disertasinya Woelders tidak banyak
menyentuh berbagai kebijakan yang ditempuh oleh pihak Belanda dalam rangka
memperkokoh kekuasaan di Kesultanan Palembang. Kekurangan itu dilengkapi
dengan berbagai data dan fakta seputar berbagai rancangan dan keputusan yang
dikeluarkan oleh pemerintah kolonial. Dengan demikian, sejarah Kesultanan
Palembang akan tergambar secara utuh.
Buku-buku lain yang membahas seputar Palembang pada masa
Kesultanan, antara lain buku Husni Rahim membahas tentang Sistem Otonomi
dan Adminsitrasi Islam, Studi tentang Pajabat Agama Masa Kesultanan dan
Kolonial di Palembang yang merupakan disertasinya yang telah diterbitkan oleh
PT. Logis Wacan Ilmu tahun 1998. Buku ini lebih banyak memaparkan tentang
peran penghulu sebagai pejabat dalam bidang agama Islam, sebagai konsekuensi
logis dengan diterapkannya hukum Islam di Kesultanan Palembang, dan
Universitas Indonesia
31
Universitas Indonesia
32
penting. Hal itu tercermin dalam Sejarah Melayu yang menempatkan raja
setingkat nabi dan pengganti Tuhan di dunia, sebagaimana tergambar dari kutipan
berikut:
―Hendaklah tuluskan hatimu pada berbuat kebaktian kepada Allah
subhanahu taala dan rasulnya, dan jangan kamu sekalian lupa pada
berbuat kebaktian kepada raja kamu. Maka kata hukuma, ‗Adalah
raja yang adil itu dengan nabi salla‘llah u‘alaihi wasallam umpama
dua buah permata pada sebentuk cincin; lagipun raja itu umpama
ganti Allah di dalam dunia, kerana ia zulli ‘llahu fi ‘l-‘alam. Apabila
berbuat kebaktian kepada raja, seperti berbuat kebaktian kepada
Allah subhanahu wataala.Yakni berbuat kebaktian kamu akan Allah
dan rasulnya dan akan raja inilah wasiatku kepada kamu semua.
Hendaklah jangan kamu lupai. Supaya kebesaran dunia akhirat kamu
peroleh‖ (Shellabear, 1989: 141).
15
Kata khalifah berasal dari kata takhallafa yang berarti mengikuti (di belakang
orang lain) dan menggantikan tempatnya. Dengan demikian, Khalifah Allah berarti
“pengganti Allah di muka bumi. (Rahim,1998:19-22). Sebagai penggati Allah di muka
bumi, maka pengertian Khalifah adalah raja yang menguasai urusan politik (dunia) dan
urusan agama (akhirat). Konsep ini sudah berkembang di dunia Islam sejak zaman
Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah.
Universitas Indonesia
33
Universitas Indonesia
34
16
Hubungan Palembang dengan Raden Fatah, disebutkan bahwa Raden Fatah adalah
putera raja Majapahit Prabu Brawijaya dari ibu seorang perempuan Cina (Putri Cempa) yang
diserahkan kepada penguasa Palembang Ario Damar. Raden Fatah lahir dan besar di Palembang
(De Graaf dan TH. Pigeaud,1985:247).
17
Hal itu dapat dibuktikan pada saat Sultan Badaruddin II mengangkat Pangeran
Ratu sebagai sultan pascakemenangan melawan Belanda yang kedua (1819), namun,
dalam kenyataannya semua ketentuan tetap di bawah kendali sultan. Sumber-sumber
luar tidak satupun yang menyebutkan Sultan Badaruddin menyerahkan posisinya kepada
Pangeran Ratu, kecuali Woelders dalam disertasinya “Het Sultanaat Palembang 1811-
1825”. Sementara itu, penyerahan kekuasaan dari Sultan Najamuddin II kepada Prabu
Anom yang berlangsung dalam kesepakatan antara keduanya dan Belanda di Bogor April
1821, ternyata dalam pelaksanaannya semua keputusan setelah kesepakatan itu
ditentukan oleh Najamuddin II, sampai ia dibuang tahun 1824.
18
Kepungutan adalah daerah yang langsung berada di bawah pemerintahan
sultan (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6) .
19
Sindang meliputi daerah perbatasan Palembang sepanjang Jambi, Bengkulu
dan Lampung. (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6)
Universitas Indonesia
35
20
Priyayi (golongan ningrat) adalah keturunan raja atau sultan. Golongan ini
dapat disebabkan karena keturunan atau atas restu raja, yang terdiri dari pangeran,
raden, dan masagus (Sevenhoven, 1971: 25).
21
Marga adalah sekumpulan dusun yang agak luas, yang terdiri dari sekitar
enam sampai sebelas dusun dipimpin oleh seorang depati/pasirah. Pada mulanya marga
terbentuk karena faktor genealogis yang berkembang secara geografis (ANRI, Bundel
Palembang No. 62.2).
Universitas Indonesia
36
1.8 Metodologi
Dalam bagian ini akan dibahas tentang metode penelitian dan Narativisme.
Metode penelitian sejarah digunakan untuk membedah sejarah Kesultanan
Palembang mulai dari pengumpulan data sampai dengan rekonstruksi. Sementara
Universitas Indonesia
37
Universitas Indonesia
38
Universitas Indonesia
39
Universitas Indonesia
40
Universitas Indonesia
41
Bentuk ini mampu memberikan eksplanasi yang kuat dan menyeluruh tentang
sesuatu yang ―menyebabkan terjadi, kejadian itu sendiri dan apa yang akan
terjadi‖. Dengan demikian, suatu peristiwa (kejadian, tindakan, peristiwa)
dijelaskan dari peristiwa sebelumnya yang menunjukkan adanya suatu perubahan
yang merupakan hakikat dari sejarah (Lemon, 2003: 299-301).
Menurut Lemon, ada tiga hal pokok yang merupakan komponen
narativisme, sebagai berikut:
1. Narativisme tidak mengisahkan suatu peristiwa tunggal, melainkan
menghubungkan dua atau lebih dari peristiwa-peristiwa dengan rumusan
‗ini terjadi, kemudian itu terjadi‘, yang menyebabkan terjadinya
perubahan.
2. Adanya hubungan kausalitas antarperistiwa, bahwa suatu peristiwa
disebabkan oleh peristiwa sebelumnya dan mengakibatkan peristiwa
berikutnya.
3. Narativisme berbeda dengan kronik yang hanya mendeskripsikan urutan
kronologis sekelompok fenomena dari yang lebih awal ke yang lebih
akhir. Sementara itu narativisme lebih menekankan kronologi dalam arti
pembedaan waktu (periodisasi) yang sangat ketat.
Naratif yang digunakan untuk merangkai berbagai peristiwa harus
kronologis dalam menjelaskan rangkaian yang dipaparkan. Intinya adalah
merangkai berbagai peristiwa untuk menjelaskan pada setiap tahap dengan
mengacu pada fakta yang relevan dan signifikan dari data (Lemon, 2003: 301-
302; 347-349). Cara ini digunakan untuk menjelaskan konflik yang terjadi di
Kesultanan Palembang, baik yang disebabkan oleh faktor ekstenal maupun
internal yang mengakhiri eksistensi Kesultanan Palembang. Dengan demikian,
narativisme sebagai metodologi untuk eksplanasi terhadap permasalahan tersebut
dapat dipandang sebagai suatu upaya rekonstruksi masa silam.
Universitas Indonesia
42
Disertasi ini terdiri atas tujuh bab. Bab pertama merupakan pendahuluan terdiri
dari latar belakang, permasalahan penelitian, tujuan penelitian, kontribusi
penelitian, batasan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, metodologi,
dan sistemetika penulisan.
Bab kedua, akan mendiskripkan tentang kondisi Kesultanan Palembang
akhir abad XVIII dan awal pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II. Di
dalamnya tercakup pula tentang sistem pemerintahan, dan ekonomi. Awal
pemerintahn Sultan Mahmud Badaruddin II Kesultanan Palembang berlangsung
dengan baik, kondisi itu mulai mempunyai warna lain sejak kasak kusuk yang
dilakukan oleh Raffles untuk mendapatkan dukungan dari sultan dalam rangka
mengusir Belanda dari kepulauan Nusantara. Pendudukan Inggris atas Batavia
dimanfaatkan oleh sultan untuk mengusir Belanda dari bumi Palembang. Inilah
awal pemicu keterlibatan Inggris secara langsung di Kesultanan Palembang.
Bab ketiga, akan membahas tentang perebutan suksesi di Kesultanan
Palembang antara kedua bersaudara yang disutradarai oleh Inggris. Pada bab ini
juga dibahas masa pendudukan Inggris di Kesultanan Palembang.
Bab keempat, meliputi pembagian kekuasaan antara Sultan Badaruddin II,
Sultan Najamuddin II dan pemerintah kolonial Belanda. Pembagian itu
merupakan skenario Belanda untuk memperkokoh kekuasaan di wilayah ini.
Keberadaan Belanda juga harus berhadapan dengan Inggris sebagai konsekuensi
dari saling dukung antara Inggris yang mendukung Sultan Najamuddin II dan
Belanda yang mendukung Sultan Badaruddin II.
Bab kelima, menguraikan tentang perang Palembang yang terjadi sebanyak
tiga kali antara pihak kesultanan dan Belanda. Dari ketiga peprangan tersebut,
dua kali peperang dimenangkan oleh Kesultanan Palembang, sedangkan pada
peperangan yang ketiga Palembang harus mengakui keunggulan armada dan
pasukan Belanda yang telah disiapkan dengan sangat matang. Apa yang terjadi di
Universitas Indonesia
43
Universitas Indonesia
44
BAB 2
KESULTANAN PALEMBANG
AKHIR ABAD XVIII DAN AWAL ABAD XIX
Kesultanan Palembang pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX, mengalami
kemajuan khususnya di bidang ekonomi. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari
mundur dan hancurnya organisasi dagang kolonial VOC. Di bidang politik
pemerintahan juga mengalami kestabilan. Kondisi demikian diterima oleh
Pangeran Ratu pada saat dirinya ditasbihkan sebagai sultan Palembang dengan
gelar Sultan Ratu Mahmud Badaruddin II. Dalam kondidi demikian, kesultanan
ini dihadapkan pada situasi perang Eropa yang berlanjut di kawasan ini yaitu
keinginan Inggris menduduki Pulau Jawa. Untuk itu, Raffles mengadakan
―pendekatan‖ kepada Sultan Badaruddin II. Keberhasilan Inggris menduduki
Batavia, dimanfaatkan oleh Sultan untuk menduduki dan menghancur Loji Sungai
Aur dan para penghuninya.
Penolakan Sultan Badaruddin II atas keinginan Inggris menggantikan
Belanda, membawa kawasan ini menjadi sasaran ekspedisi Inggris. Ekspedisi
tersebut merupakan awal terjadinya konflik internal di kesultanan tersebut.
Konflik tersebut terus berlangsung dan melibatkan berbagai pihak. Inggris dan
Belanda menjadi bagian penting dalam berbagai konflik tersebut, sampai nantinya
membawa kehancuran bagi Palembang. Dengan pembahasan pada bab ini, akan
tergambar bagaimana kondisi awal Kesultanan Palembang, dan kehadiran Inggris
di kawasan ini, serta akibat yang ditimbulkannya.
2.1 Pemerintahan
Universitas Indonesia
45
wakil sultan yang berkuasa penuh apabila sultan berhalangan, dan penasehat
sultan. Dalam menjalankan tugasnya, Pangeran Ratu berada di bawah perwalian
Pangeran Adipati (nantinya menjadi Sultan Najamuddin II) (Java Gouvernement
Gazette, 2 Mei 1812 No. 10; Sturler, 1855:71).
Sultan Muhamad Bahauddin memiliki empat orang putera, yaitu Raden
Hasan Pangeran Ratu (putera mahkota), Pangeran Adi Menggala, Pangeran Adi
Kesumo, dan Pangeran Nata Kesumo. Setelah Sultan Muhamad Bahauddin wafat,
digantikan oleh Pangeran Ratu dengan gelar Sultan Ratu Mahmud Badaruddin II.
Selanjutnya, Sultan Badaruddin II mengangkat adik-adiknya sebagai
pembantunya, yaitu adik pertamanya yang bernama Pangeran Adi Menggala Comment [DKM6]: Apakah orang ini yang
nantinya menjadi Sultan Najamuddin II??)
diangkat sebagai Pangeran Adipati. Dua adiknya yang lain yaitu Pangeran Adi
Kesuma diangkat dengan gelar Pangeran Aryo Kesuma, dan Pangeran Nata
Kesuma diangkat dengan gelar Pangeran Suryo Kesuma. Keduanya menduduki
posisi sebagai pejabat kerajaan, sedangkan Pangeran Adipati berkewajiban
membimbing Pangeran Ratu dalam rangka mempersiapkan diri menjadi sultan.
Ketiga adik sultan berkewajiban memberikan nasehat kepada sultan, dan
membantu tugas-tugas sultan. Sebagai pejabat penting kesultanan, mereka Comment [DKM7]: Apakah istilah negara di s
tepat? Ataukah perlu digantikan dengan kesultana
sewaktu-waktu dapat mewakili sultan dalam berbagai pertemuan atau perjanjian.
Sultan juga didampingi oleh para pejabat lain yang mengurusi masalah
pemerintahan dan keamanan, agama, peradilan dan bidang perdagangan. Pertama,
bidang pemerintahan dan keamanan dipegang oleh Pangeran Notodirojo. Ia
bertugas mengurus masalah pemerintahan dan keamanan. Dalam menjalankan Comment [DKM8]: Perdana Menteri sekarang
Ingat istilah Perdana Menteri untuk negara
tugasnya Pangeran Notodirojo dibantu oleh Tumenggung Kerto, tugasnya Anglosakson dan Francofon sangat berbeda
konsepnya.
menangani masalah pemerintahan dan keamanan. Dalam kondisi perang,
Pangeran Notodirojo dan jajarannya bertanggungjawab untuk memobilisasi
penduduk dari ibu kota hingga ke uluan. Tumenggung Kerto membawahi empat
pegawai yang bertanggungjawab di bidangnya masing-masing, yaitu Tumenggung
(urusan administrasi), Ronggo (urusan keluarga istana), Demang (mengangani
masalah keamanan dan pengaduan masyarakat) dan Ngabehi/Ingabehi (bertugas
sebagai mata-mata pemerintah). Kedua, urusan agama dipegang oleh Pangeran
Penghulu Nato Agamo (umumnya berasal dari keluarga sultan). Tugas utamanya
adalah melaksanakan upacara keagamaan di masjid Agung, penasehat sultan dan
Universitas Indonesia
46
depati). Walaupun demikian, para jenang tidak berwenang dalam bidang Comment [DKM11]: Bandingkan tugasnya
dengan Depati. Semua menjalankan pemerintahan
peradilan di uluan. Bidang peradilan di uluan menjadi hak para depati dan proatin di pedalaman. Jadi bedanya apa?
Universitas Indonesia
47
22
Pada prinsipnya nama-nama tersebut mempunyai kedudukan yang sama yaitu
sebagai kepala dusun. Perbedaan nama lebih disebabkan oleh lokasi atau kebiasaan
masyarakat pendukungnya secara turun temurun. Contohnya, kepala dusun Sunsang
disebut Ingabehi/Ngabehi, karena lokasinya berada di muara Sungai Musi (pintu masuk
ke ibukota Palembang) yang berfungsi sebagai mata-mata dan menjadi dusun sikap
(menjadi pendayung sultan dan penjaga muara sungai).
Universitas Indonesia
48
Sultan
P.Ratu
Ratu
P.N.A P.KN P.N D Syb
NNNNa
toAgam
a Phl Tnd T Kr Sdg
P Kc Jng/Rbn
L.Ph Dpt/Psr
Kht Proatin
matagawe
Keterangan
Sultan : Penguasa tertinggi.
P. Ratu : Pangeran Ratu (Putera Mahkota)
P.N.A : Pangeran/ Penghulu Nato Agamo (Keagamaan)
P.K.N : Pangeran Kerto Negoro (Kehakiman) Comment [DKM12]: Mungkin singkatannya
PKN (tiga digit)
Universitas Indonesia
49
Universitas Indonesia
50
penambangan timah diserahkan kepada para teko/tiko. Teko adalah petugas yang
mengurusi masalah pertambangan timah yang berkedudukan di ibu kota
Palembang. Dalam menjalankan tugasnya, teko memberikan wewenang kepada
kongsi. Kongsi bertugas melakukan pembukuan, mengirimkan laporan dan
menetap di Pulau Bangka. Kelompok inilah yang berhubungan langsung dengan
para pekerja tambang timah di Pulau Bangka. Jadi, teko merupakan wakil sultan
yang menangani semua urusan pertambangan timah di ibu kota Palembang.
Hanya pada waktu-waktu tertentu saja teko melakukan kunjungan ke tambang-
tambang timah di Pulau Bangka (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Clercq, 1845:
125; Korten Schets…, 1846: 132-133).
Wilayah kekuasaan sultan dibagi dua, yaitu Kepungutan dan Sindang.
Kepungutan asal katanya pungut, adalah daerah utama yang diperintah langsung
oleh sultan. Di wilayah tersebut, sultan menetapkan (memungut) pajak dan
bantuan tenaga manusia. Sindang adalah daerah perbatasan yang penduduknya
bertugas untuk menjaga perbatasan23. Karena terletak jauh dari ibu kota kerajaan, Comment [DKM14]: Halaman sudah berubah
daerah sindang memiliki kebebasan yang luas. Mereka bebas dari semua beban
dan pajak/setoran kepada pemerintah pusat. Meskipun demikian, mereka
mengakui pertuanan kepada sultan yang diwujudkan dengan cara milir sebo (seba)
yaitu ke ibu kota untuk mempersembahkan upeti berupa makanan kepada sultan.
Sebaliknya, mereka akan memperoleh atur-atur atau rubo-rubo (hadiah) seekor
ayam pupu (sejenis ayam aduan) sebagai bukti perkenan sultan. Milir Sebo adalah
simbol keterikatan dan bukti tunduk serta patuh kepada sultan yang dibalas sultan
dengan penghormatan yang sama kepada rakyatnya. Sultan menganugerahkan
piagam kepada mereka yang dikenal dengan nama Undang-Undang Sindang
Mardika (Peraturan Penjaga Perbatasan yang Bebas). Tugas yang diberikan oleh
raja kepada penduduk tersebut adalah menjaga perbatasan dari serangan musuh,
menangkap pelarian dan mengusir musuh (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6;
No. 62.6; Stibbe, 1932: 353; Brauw, 1855: 187). Sebagai penjaga perbatasan,
23
Wilayah Sindang terdiri dari Kikim, Marga Gumai Ulu, Gumai Talang, Gumai
Lembak d Mulak, Ampat Lawang, Rejang, Kisam, Makakau dan Rawas (Brauw, 1855:
187). Hal ini berarti di luar Sindang , merupakan daerah kepungutan yang diperintah
langsung oleh Sultan. Kedua wilayah itu secara geografis tidak tidak memiliki batas-
batas yang jelas dan tidak ditemukan di dalam peta-peta peninggalan kolonial.
Universitas Indonesia
51
posisi kelompok Sindang sangat strategis. Mereka adalah kelompok terdepan yang
harus mempertahankan kewibawaan sultan dari serangan penduduk dari daerah
lain. Hal itu terbukti pada saat Kesultanan Palembang telah dihapuskan oleh
Belanda, mereka berjuang mempertahankan eksistensinya hingga pertengahan Comment [DKM15]: Maksud Anda???
abad XIX.
Untuk berhubungan dengan rakyatnya di pedalaman, sultan mengangkat
wakilnya yang disebut raban atau jenang (jeneng). Raban adalah pejabat yang
berasal dari golongan bangsawan dan berkedudukan di ibu kota, sedangkan
jenang adalah pejabat yang berasal dari rakyat biasa dan berkedudukan di uluan.
Mereka bertugas mewakili sultan untuk menarik pajak pada rakyat dan
menegakkan pemerintahan sultan di pedalaman. para jenang tidak memiliki
wewenang di bidang peradilan di daerahnya masing-masing. Di uluan bidang Comment [DKM16]: Kalimat ini bisa
menimbulkan mis interpretation!
peradilan menjadi wewenang para depati dan proatin (ANRI, Bundel Palembang
No. 15.7; No. 62.2). Apabila ada beberapa kelompok atau suku menolak
kebijakan pusat dan melakukan pemberontakan, para pemberontak dikenai
hukuman Kapanjing, yaitu dengan cara diasingkan ke daerah lain. Daerah yang
dijadikan tempat Kapanjing adalah Marga Pegagan Ilir (Ogan) dan Sunsang.
Hukuman ini mengakibatkan rakyat tunduk kepada Jenang. Undang-undang yang
mengatur tentang hukuman kepada penduduk yang bersalah, terdapat di dalam
undang-undang yang dikenal dengan nama Undang-undang Ratu Sinuhun24 atau
Oendang-Oendang Simboer Tjahaja (Undang-Undang Susuhunan Cinde Balang)
(ANRI, Bundel Palembang No. 62.2; No. 15.7).
Di wilayah Kepungutan terdapat pula kesatuan wilayah yang disebut Sikap.
Pembentukannya untuk memenuhi kebutuhan istana. Sikap adalah dusun yang
sebagian penduduknya mendapat tugas dari keraton. Pada waktu-waktu tertentu
mereka bekerja untuk kepentingan keraton, misalnya mengangkut hasil bumi,
menyediakan tenaga pendayung perahu keraton, menggarap sawah dan
membangun rumah untuk sultan. Sebagai imbalannya mereka bebas membayar
pajak. Contohnya penduduk Blida (Musi Ilir), mereka bekerja di dalam keraton
24
Undang-Undang Simbur Cahaya dikeluarkan oleh Ratu Sinuhun (abad XVII)
yang mengatur tentang kehidupan penduduk Palembang, terdiri dari “Aturan Bujang
Gadis (39 pasal), Aturan Marga (33 pasal), Aturan Dusun (17 pasal), dan Aturan
Berladang dan Ambil Ikan (13 pasal) (Gersen, 1876: 110-131).
Universitas Indonesia
52
untuk mengambil air. Pada kurun waktu 1818-1819 jumlah mereka berkisar 500-
600 orang. Daerah lain yang juga termasuk ke dalam kelompok sikap adalah
penduduk daerah Sunsang, Sukarami (Musi Ulu) dan daerah-daerah yang terdapat
di aliran sungai-sungai besar. Tugas mereka adalah mendayung perahu sultan. Di
samping itu, terdapat orang miji (orang yang disetorkan) yaitu penduduk yang
menyerahkan tenaganya untuk kepentingan sultan (ANRI, Bundel Palembang No.
62.2; No. 15.7; No. 47.6; Sturler, 1855:243).
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa terdapat beberapa kelompok
masyarakat yang mempunyai kewajiban mengabdikan dirinya kepada sultan dan
keluarganya. Pengabdian tersebut bukan merupakan beban bagi penduduk. Hal
tersebut disebabkan beban yang diberikan hanya pada sebagian kecil penduduk
pada waktu-waktu tertentu, juga pengabdian tersebut dikaitkan dengan bakti
kepada sultan, karena sultan adalah seorang khalifah. Itulah sebabnya bekerja
untuk sultan merupakan ―anugerah‖ bagi mereka karena akan mendapat berkah.
2.2 Perekonomian
25
Awal abad XV kebutuhan lada Eropa meningkat tiga kali lipat. Kebutuhan ini
menyebabkan tanaman lada berkembang pesat di Nusantara. Di Pulau Sumatera lada
banyak dihasilkan di wilayah Pidi, Pasai, Indragiri, Kampar, Pariaman, Indrapura, Silebar,
Jambi, Palembang dan Lampung. Abad XVII lada merupakan produk paling laku di pasar
Eropa. Harga lada pada tahun 1662 mencapai empat real per pikul. Tingginya harga lada
di pasaran dan kewajiban menjualnya kepada VOC sesuai dengan kontrak, menyebabkan
raja-raja Palembang mewajibkan rakyatnya menanam lada di daerah uluan, Bangka dan
Belitung (terbesar di daerah Rawas) (lihat Laporan Muntinghe dalam Bundel Palembang
No. 15.7). Akibatnya, Kesultanan Palembang merupakan salah satu penghasil lada
terpenting di Nusantara. Konsekuensinya, Kesultanan Palembang makin menarik
perhatian bangsa Eropa khususnya Belanda dan mengikat kontrak dengan sultan-sultan
di sana. Perjanjian itu dituangkan dalam berbagai kontrak. Hal itu mendorong para
penguasa Palembang melakukan perdagangan illegal dengan pihak asing seperti Inggris,
Universitas Indonesia
53
dari Palembang adalah timah26. selain hasil pertanian lada, masih banyak produk
pertanian lainnya yang dihasilkan oleh Palembang, seperti kapas (ditanam di
lokasi bekas tanaman padi yang telah dipanen), gambir, nila, tembakau (tembakau
Ranauw/Ranau sangat laku baik di Palembang maupun diluar Palembang karena
disukai oleh konsumen sehingga memiliki nilai jual yang tinggi), sirih, buah Comment [DKM17]: Oleh siapa. Siapa yang
menyukai tembakau Ranau ini?
pinang, gambir, rami, dan pisang. Buah-buahan yang terkenal adalah mangga,
durian, cempedak, jeruk nipis, nanas, jambu bol, jambu biji, pepaya, srikaya, buah
nona, langsat, prambeh, duku, rambutan, delima dan bidara. (ANRI, Bundel Comment [DKM18]: Tiba-tiba nyelip di sini??
Palembang No. 62.2; No. 62.7; Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812).
Keberadaan komoditi lada dan timah yang sangat dibutuhkan dan laku di
pasaran, telah meningkatkan peran Kesultanan Palembang dalam bidang
perdagangan dan pelayaran. Jika pada zaman Sriwijaya wilayah Palembang
dikenal hanya sebagai kawasan yang strategis dan salah satu pusat perdagangan,
pada abad XVIII wilayah itu berkembang menjadi kawasan yang menghasilkan
timah dan lada. Keduanya mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi. Kondisi
itu menyebabkan Palembang menjadi salah satu kesultanan yang masyhur.
Keuntungan dari hasil perdagangan itu menyebabkan Kesultanan Palembang
mampu membangun keraton yang besar dan kokoh, masjid yang terindah di
Hindia Timur, benteng-benteng dan kuburan keluarga sultan (Kawah Tengkurep) Comment [DKM19]: Apakah istilah Hindia
Belanda sudah ada pada abad XVIII?
(Faille, 1971: 52).
Sebagai komoditi yang sangat penting pada waktu itu, timah dijadikan
bahan dasar untuk berbagai barang kebutuhan hidup sehari-hari, antara lain kaca,
cangkir teh,tempat lilin, bejana altar leluhur, kertas dupa (Cina memproduksi
kertas timah terbesar dan mengekspornya ke kawasan Asia Tenggara), pematri
kapal-kapal bocor, pelapis peti kayu (canisters) kemasan untuk dibawa ke Eropa.
Amerika, Prancis, Cina dan pedagang pribumi lainnya. Di sisi lain, pihak Belanda terus
berusaha melakukan berbagai macam cara agar lada dari Palembang tetap dimonopoli
oleh Belanda (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2; Leur, 1967:125).
26
Timah ditemukan pada 1709/1710 di Pulau Bangka. Belanda yang sejak 1642
secara resmi menjalin hubungan dengan Palembang, berusaha keras untuk menguasai
penambangan dan perdagangan timah. Untuk mewujudkan maksud tersebut, Belanda
memperbaharui kontrak pada 1722. Dengan dilaksanakannya pembaharuan kontrak
tersebut, Belanda menjadi pemegang monopoli lada dan timah. Penambangan timah di
Pulau Bangka mengalami perkembangan pesat sehingga Bangka menjadi salah satu
penghasil timah terbesar di dunia (Stapel. 1940: 97).
Universitas Indonesia
54
Timah juga digunakan sebagai bahan campuran kuningan dan timbel (lead). Comment [DKM20]: Maksudnya apa???
Timah juga menjadi komoditi eksklusif karena menjadi bahan membuat senjata
dan uang logam.. Di Kesultanan Palembang dan Banten, produk olahan dari timah
27
dijadikan alat tukar (koin) yang disebut picis/pitis (Erman, 2009: 75;
Heidhues,2008:4-5). Begitu banyak yang dapat dibuat dengan menggunakan
bahan dasar timah, sehingga sangat wajar apabila timah menjadi komoditi yang
sangat dicari oleh bangsa-bangsa di dunia pada saat itu.
Sebagai pemilik timah, ditopang oleh lada dan komoditi dagang lainnya,
menjadikan posisi Kesultanan Palembang dilematis, Di satu sisi kekayaan
Kesultanan Palembang telah membawanya pada kemasyhuran. Di sisi lain,
kekayaan itu membawa bencana, karena bangsa-bangsa di dunia khususnya
Belanda dan Inggris bersaing ketat untuk menguasainya. Persaingan itu
menyebabkan konflik baik antara Kesultanan Palembang dan Belanda,
Kesultanan Palembang dan Inggris maupun Belanda dan Inggris (Java Comment [DKM21]: Tidak jelas maksud And
Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Ricklefs, 2005: 154, 157; Woelders, 1975:
75-80; Kielstra, 1892:79; Faille,1971: 28).
Wilayah Palembang terdiri atas kawasan dataran tinggi dan rendah.
Daerah Kesultanan Palembang banyak dialiri oleh sungai-sungai besar dan kecil,
rawa-rawa dan laut/selat. Sungai-sungai besar yang terdapat di wilayah
Palembang dikenal dengan nama Batanghari Sembilan. Kondisi demikian
menyebabkan Kesultanan Palembang sangat kaya akan hasil perikanannya28. Oleh
27
Picis terdiri dari dua macam yaitu uang buntu (tanpa lobang) dan uang teboh
(berlobang di tengah) dengan diameter berkisar 12mm-21mm. Bentuknya dua macam
yaitu bulat dan segi delapan. Uang buntu sudah mulai beredar di kalangan penduduk
sejak awal abad XVII. Nilai mata ini adalah 320 keping uang buntu sama dengan satu
dollar Spanyol, sedangkan uang teboh nilainya lebih rendah dari uang buntu yaitu 4000
keping uang teboh sama nilainya dengan satu dollar Spanyol (Oorspronkelijke…, 1856:
278).
28
Jenis-jenis ikan yang dihasilkan dari sungai-sungai Palembang antara lain tapa, lemak,
lais, tembakang, patin, bandeng, kluyu, pareh, dalum, blidah, sagaret, arok, toman, tongkol, delak,
buju, lele, juara, blutulang, tebangkang dan masih banyak lagi jenis lainnya. Ikan-ikan yang
menjadi primadona adalah lemak, lais, patin, jangutan, delek, dan kali. (ANRI, Bundel Palembang
No. 62.7; No. 62.2). Dari sumber di atas, jelas terlihat bahwa sebagian ikan-ikan yang disebutkan
adalah ikan-ikan sungai. Hal ini disebabkan wilayah Kesultanan Palembang banyak dialiri oleh
sungai-sungai besar yang dikenal dengan nama ―Batanghari Sembilan‖ yang mampu menghasilkan
ikan berlimpah untuk dikonsumsi atau diperdagangkan. Sampai dengan sekarang, penduduk
Sumatera Selatan tetap mengandalkan ikan sungai untuk konsumsi dan diperdagangkan.
Universitas Indonesia
55
karena itu, salah satu sumber mata pencaharian utama penduduk di wilayah itu
adalah menangkap ikan. Sebagai contoh penduduk Sunsang menggantungkan
hidup mereka dari menangkap ikan. Ikan dan udang kering, terasi dijual ke Pulau
Jawa dan pulau-pulau lainnya (ANRI, Bundel Palembang No. 62.7; No. 62.2).
Dari berbagai produk yang dihasilkan Palembang, sebagian dimanfaatkan
untuk ekspor, antara lain rotan, getah, damar, damar wangi, kayu laka, lilin,
gading gajah, tanduk kerbau, emas pasir, kopi, gula aren, gambir, pinang, lilin,
kayu manis, nila, lada, tembakau, rami, tebu, getah naga, sarang burung, katun
mentah, katun murni, kemenyan, tikar rotan, karet, lada, beras, emas, kain, baju,
berbagai kerajinan tangan, tembaga olahan, kuningan dan tembikar. Produk Comment [DKM22]: Maksudnya kotak apa??
tambang selain timah adalah emas (banyak terdapat di Rawas, Pasumah), sulfur,
besi dan baja29. Komoditi di atas dibawa oleh penduduk dari uluan ke ibu kota
dengan perahu atau rakit. Semua produk yang telah terkumpul di ibu kota
Palembang, dijual kepada pedagang perantara yaitu para pedagang Cina dan Arab.
Kedua kelompok etnis tersebut memperdagangkannya kembali kepada para
pedagang asing dan daerah lainnya di Nusantara. Barang-barang tersebut
diperjualbelikan atau ditukar dengan berbagai produk impor, antara lain garam,
kain linen, wol, sutera, tembaga, gula, minyak kelapa, kacang, candu, kertas, Comment [DKM23]: Kain linen maksudnya??
genting, tembikar Cina, alat-alat rumah tangga yang terbuat dari besi, benang
emas, obat-obatan, teh, bahan makanan dan minuman. Selanjutnya, berbagai
produk Palembang diekspor ke berbagai wilayah seperti Tiongkok, Siam, Jawa,
pantai timur Sumatera, Lingga dan pulau-pulau lain di Nusantara. Satu-satunya
barang impor dari Eropa yang sangat diminati di Asia Tenggara selama berabad-
abad adalah senapan. (ANRI, Bundel Palembang No. 62.7; No. 15.7; Java
Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Reid, 2004: 327; Sevenhoven, 1971: 47;
s‘Gravesande, 1856: 459-460).
Banyaknya jenis produk komersial yang dihasilkan oleh Kesultanan
Palembang membuat kesultanan itu menjadi rebutan antara bangsa-bangsa Eropa,
29
Baja dan besi terdapat di Pulau Belitung, keduanya dipakai untuk membuat
senjata dan peralatan lainnya (Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Baud, 1853: 42).
Universitas Indonesia
56
batang keris (kara) yang indah. Mereka juga mencampur emas dengan tembaga
sehingga menjadi logam yang indah yang disebut swasa. Dari campuran ini dibuat
berbagai barang kebutuhan rumah tanggah (ANRI, Bundel Palembang No, 62.2; Comment [DKM26]: Maksud Anda apa?
telah mengenal teknik perekatan yang baik, sehingga mampu mengolah tembaga
dan timah menjadi kuningan, yang nantinya dioleh kembali untuk dijadikan bahan
dasar pembuatan lila (meriam kecil), kotak sirih, nampan, ketel teh dan berbagai
jenis peralatan rumah tangga. Mereka juga ahli mengolah perak, permata dan
gading. Keahlian lainnya adalah melukis, bertukang, pengrajin sepatu, dan Comment [DKM28]: Apa itu pertukang kayu?
30
Kerajaan Jambi adalah contoh daerah yang ditinggalkan oleh Inggris tahun
1679. Akibatnya, para pedagang maritim nusantara dari Jawa, Makasar, dan Eropa
lainnya tidak lagi berlabuh di pelabuhan Jambi pada awal abad XIX. Sejak pertengahan
Abad XVIII sampai Abad XIX Belanda mengabaikan posnya di Jambi (Ricklefs, 2008: 158;
Locher-Scholten, 2008: 44, 48).
31
Palembang sangat terkenal penghasil kain tenun, baik yang menggunakan
benang katun, sutera maupun emas. Sampai sekarang Palembang dikenal sebagai
penghasil kain songket yang potensial dan diminati baik oleh masyarakat yang berasal
dari dalam maupun dari luar negeri.
31
Bahan utama mesiu adalah campuran saltpeter dan belerang, bahan-bahan ini
banyak ditemukan di daerah Rejang (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2).
Universitas Indonesia
57
33
Tibang adalah hak sultan untuk mendapatkan komoditi dari pedalaman, yang
ditukar dengan barang-barang impor. Barang-barang tersebut antara lain baju Jawa,
kain Bengala putih, kapak/parang besi dan garam (ANRI, Bundel Palembang No. 15.7).
34
Tukong adalah hak sultan untuk membeli komoditi dari pedalaman dengan
harga yang telah ditentukan (ANRI, Bundel Palembang No. 15.7).
Universitas Indonesia
58
Abad XVIII merupakan masa kemunduran VOC sampai akhirnya dilikuidasi pada
31 Desember 1799. Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebabnya antara lain
mundurnya perdagangan, penyelundupan dan korupsi yang dilakukan oleh pejabat
VOC. Begitu parahnya korupsi dan kolusi yang tumbuh di VOC, sehingga VOC
dari Vereenigde Oost Indische Compagnie oleh beberapa orang diplesetkan
singkatannya dari VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie (Hancur karena Comment [DKM31]: Singkatannya apa VOC?
korupsi). Padahal pada abad sebelumnya VOC mempunyai kontribusi besar pada
35
Najamuddin II sebagai sultan tidak memiliki kekayaan, sebab dengan
mundurnya Sultan Badaruddin II ke uluan (1812), Sultan Badaruddin II membawa harta
kekayaan ke pedalaman. Najamuddin II juga kehilangan sumber pendapatan utama (lada
dan timah Bangka) dengan diserahkannya Pulau Bangka-Belitung kepada Inggris. Kondisi
itu diperparah dengan adanya blokade dan gangguan keamanan yang dikerahkan oleh
Sultan Badaruddin II dari daerah Rawas (Woelders, 1975: 8; Kielstra, 1892 : 82;
Kemp,1898: 255).
Universitas Indonesia
59
negara induk dengan kekuatan dan kekayaan yang dimilikinya. Saat itu VOC
mengkonsentasikan aktivitasnya hanya di daerah Jawa Barat, pantai utara Pulau
Jawa dan Maluku. VOC hanya bersaing dengan orang-orang Inggris di
Palembang. Pos-pos VOC di Palembang, Timor, Makassar, Padang, dan
Kalimantan Selatan pada dasarnya hanya sekedar lambang, kekuasaannya sudah
sangat lemah, sehingga VOC berusaha menutupinya dengan cara menambah
hutang. Pada tahun 1783 hutang VOC sudah mencapai f 55 juta, dan menjelang
akhir abad XVIII hutang itu membengkak mencapai 12 milyar gulden. Dengan
demikian, akhir abad XVIII VOC sebagai kongsi dagang besar terbelit hutang
yang besar, ketidakefisiensian dan krisis keuangan yang membawanya pada
kebangkrutan. (Furnivall, 2009: 51-52; Ricklefs, 2008: 238; Hoek, 1862: 1; Hall,
1988:294).
Perdagangan dan pelayaran VOC di Kesultanan Palembang juga
mengalami kemunduran pada 1780-an. Menurunnya peran VOC sebagai badan Comment [DKM32]: Maksudnya apa kata
―mundur‖ di sini? Bisa menimbulkan interpretasi
dagang milik Belanda, menyebabkan terjadi pula penurunan penyerahan timah ganda!
oleh pihak Kesultanan Palembang kepada VOC. Hal ini disebabkan VOC tidak
mampu lagi membeli timah, lada dan komoditi ekspor lainnya. Sebagaimana
dilaporkan oleh Residen Palembang pada 5 April 1788, VOC hanya mampu
membeli lada sebesar 2.000 pikul, sedangkan jumlah yang dijual oleh para
pedagang Palembang ke Negeri Cina mencapai 20.000 pikul tiap tahun. Di
samping itu, sejak 1787 produksi timah menurun, disebabkan terjadinya perang
antara VOC dan gabungan kekuatan raja-raja Riau dan Lingga yang didukung
dukungan oleh para bajak laut. Akibatnya, terjadi penjarahan, penghancuran, dan
pembunuhan di Bangka. Pada 1796 VOC hanya mampu membeli timah sebanyak
1.400 pikul setahun. (ANRI, Bundel Palembang No.49; Veth, 1869: 162-163;
Erman, 2009: 77).
Di tengah kemerosotan VOC di berbagai bidang, tambahan pula,
peperangan yang dilakukannya melawan Inggris dalam Perang Inggris IV
(1783—1787), yang tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hal tersebut Comment [DKM33]: Ini perlu catatan kaki! A
maksudnya Perang Inggris IV????
berimbas pula pada Pulau Bangka dalam menyediakan timah dan lada. Dalam
hubungan ini, sejak dahulu ―hubungan‖ antara Riau-Lingga dan Bangka sangat
erat. Bangka-Belitung merupakan kawasan yang tidak terpisahkan dari jaringan
Universitas Indonesia
60
perompakan dan penjarahan para bajak laut. Oleh karena itu, pertempuran yang
berkecamuk di Riau-Lingga berdampak negatif bagi Bangka. Keadaan itu
memperparah kondisi VOC dalam usaha mendapatkan timah dan lada. Kesultanan
Palembang, juga menerima dampaknya dari peristiwa tersebut, karena
keuntungan terbesar Kesultanan Palembang diperoleh dari perdagangan timah.
Dalam kondisi demikian, Belanda harus menjalankan sistem hutang untuk
mendapatkan timah dari Palembang, tetapi permintaan itu ditolak oleh Sultan
Muhammad Bahauddin. Sultan juga menolak memberikan pinjaman kepada pihak Comment [DKM34]: Anda Gunakan Machmu
atau Muhhamad Bahauddin??)
Belanda. Sultan tetap mempertahankan penjualan secara tunai sesuai kontrak-
kontrak dagang antara Palembang dan Kompeni. Penurunan volume dagang VOC,
dapat pula dilihat dari perbandingan antara kapal-kapal berbendera VOC dan
kapal-kapal pribumi atau kapal-kapal asing yang merapat di pelabuhan
Palembang. Tercatat hanya dua puluh kapal milik VOC yang merapat di
Pelabuhan Palembang. Sebaliknya, kapal milik pribumi dan kapal asing lainnya
mencapai 374 buah kapal dalam kurun waktu 1790--1792 (ANRI, Bundel
Palembang No. 24; Masyhuri, 1983: 107).
Dari uraian di atas tampak bahwa perdagangan dan pelayaran Palembang
sangat berkembang dengan masuknya kapal-kapal dan perahu-perahu baik
domestik maupun asing yang mencapai 200-an setiap tahun. Volume perdagangan
yang besar, membawa keuntungan berlipat ganda bagi Palembang, sehingga
Kesultanan Palembang terkenal kaya. Hal itu dapat dilihat dari usaha Raffles yang
menjadikan Palembang sebagai kerajaan pertama yang didekatinya, dalam rangka
mendapatkan dukungan dalam upaya melemahkan posisi Belanda sebelum
penaklukan pulau Jawa. Kekayaan Palembang dapat dibuktikan dari kemampuan
sultan membangun pertahanan dan membiayai pertempurannya selama di uluan
(Bailangu dan Muara Bliti). Dengan kekayaannya pula Sultan Badaruddin II
mampu mempersiapkan pertahanan yang kuat dan memperoleh kemenangan
dalam dua kali pertempuran melawan Belanda (1819).
Maraknya perdagangan gelap disinyalir oleh para pejabat di negeri
Belanda menyebabkan VOC semakin terpuruk. Perdagangan gelap itu dilakukan
Universitas Indonesia
61
36
Sebagai kerajaan yang mata pencaharian utamanya berdagang, hubungan
antara raja dan pedagang merupakan salah satu aspek penting. Raja sering menjadi
pemodal bagi pedagang bahkan tidak jarang raja hidup dari hutang-hutang yang
diterimanya dari para saudagar. Syahbandar diistilahkan sebagai “kas sultan”.
Perdagangan gelap ini juga dipicu oleh perbedaan harga yang cukup tinggi antara harga
VOC dan Inggris di Palembang (Faille, 1971: 6; Woelders, 1975: 84).
37
Yang dimaksudkan adalah orang-orang Bugis pada umumnya. Mereka tidak
hanya berasal dari Bone, melainkan dari wilayah lain. Hal itu disebabkan sejak Arung
Palakka (1634--1696) berhasil menjadi penguasa di Sulawesi Selatan, ia memerintah
secara otoriter. Akibatnya, banyak orang Makassar dan Bugis meninggalkan daerah
mereka, menyebar ke wilayah-wilayah di Nusantara. Di wilayah barat penyebaran
mereka sampai Sumatera, Semenanjung Malaya dan Thailand. Para petualang itu
dikenal sangat terkenal keberaniannya sehingga membuat takut daerah-daerah di
Nusantara yang didatanginya. (Ricklefs, 2008: 145-146).
38
Sebagai penguasa perdagangan di Asia, Inggris memiliki kekuatan armada
yang kuat untuk menopang keinginannya meluaskan jangkauan ke wilayah timur dari
India sampai Cina. Dalam jalur tersebut Selat Malaka menduduki posisi yang sangat
strategis. Ambisi tersebut memperoleh pijakan kuat dengan ditandatanganinya
perjanjian antara Inggris dan Belanda pada 1784., yang memuat jaminan bagi Inggris
untuk berlayar dan berdagang ke Timur. Jaminan tersebut memberi keluasaan bagi
Inggris, untuk ikut aktif dalam maraknya “perdagangan gelap” khususnya timah Bangka
di kawasan itu (Tarling, 1994: 13-14).
39
Dengan didudukinya Belanda oleh Prancis dan mendirikan Republik Bataf (1795),
Raja Willem V yang melarikan diri ke Inggris mengeluarkan maklumat bahwa koloni-koloni
Belanda di Timur diserahkan kepada Inggris agar tidak jatuh ke tangan Perancis. Oleh sebab itu,
Inggris memblokade laut Jawa, dan menghancurkan armada dan galangan kapal milik Belanda.
Pada awal 1807 Pulau Jawa sudah berhasil dikepung ole Inggris. Di Batavia tidak terdapat satu
pun kapal Belanda berlabuh, sisa-sisa armada Belanda telah dihancurkan oleh armada Inggris.
(Marihandono, 2005:73-77). Kelemahan angkatan laut Belanda sengaja dihancurkan angkatan laut
Inggris sejak perang laut tujuh tahun, akibatnya hingga menyerah kepada kekuasaan Inggris (1811)
Universitas Indonesia
62
Bundel Palembang No.19; No. 24; Faille, 1971: 50; Hoek, 1862: 108; Woelders,
1975: 4).
VOC kuat (sampai pertengahan abad XVIII), serikat dagang itu memiliki Comment [DKM36]: Kapan maksud Anda???
armada laut yang besar, sehingga mampu menghalau para bajak laut dan
mengamankan jalur perdagangan laut antara Palembang-Bangka dan Batavia
bahkan di perairan Nusantara pada umumnya. Dengan demikian, VOC mampu
pula mengamankan monopoli perdagangan timah, lada dan komoditi lainnya di
Palembang. Hal ini berarti Kesultanan Palembang terikat ketat dengan semua
kontrak dengan Belanda, yang intinya sulit bagi Palembang untuk menjual
komoditinya di pasar bebas dengan harga kompetitif. Selanjutnya, ketika
Kompeni dalam keadaan lemah, Kompeni tidak mampu lagi mengontrol jalur
perdagangan laut mereka, sehingga pihak Palembang dapat leluasa menjual
komoditinya di pasar internasional. Dengan demikian ―lemahnya VOC memberi
keuntungan besar bagi Palembang‖.
Kurangnya kontrol yang dilakukan oleh Kompeni di Selat Bangka
menyebabkan perairan itu seolah ―tak bertuan,‖ sehingga terjadi banyak
perompakan yang dilakukan oleh para bajak laut (elanong).40 Kompeni tidak
kekuasaan Belanda tidak pernah sekuat sebelumnya. Kondisi itu mendesak Belanda untuk
mengalihkan perhatiannya pada kekuatan angkatan darat
40
Elanong (Lanun, Ilanun, Iranun) adalah Bajak laut atau perompak laut, berasal dari
bahasa Mangindano ―I-lanao-en‖ yang berarti orang dari danau Lanao yang terletak di tengah
pulau Mangindanao. Orang-orang ini meninggalkan tanah kelahirannya sejak abad XVIII. Daerah
persebarannya adalah Kepulauan Sulu, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan pulau-pulau di
Nusantara untuk mencari nafkah dengan cara merompak khususnya menangkap orang untuk
dijadikan budak. Keberadaan kelompok ini di kawasan pantai timur Sumatra sudah berlangsung
sejak abad XIV atau bahkan jauh sebelum itu. Dalam kaitannya dengan Palembang, dikatakan
bahwa berdasarkan sumber Cina pada Abad XV Palembang terkenal sebagai ―pusat bajak laut‖
(Lapian, 2009:127, 137-138). Tokoh bajak laut awal Abad XIX yang paling terkenal di Kesultanan
Palembang adalah Raden Jafar (bangsawan Palembang). Kekuatan dan kebangsawanannya
menyebabkan sebagian bangsawan segan untuk menangkapnya, bahkan pihak Belanda
mensinyalir diam-diam sultan mempunyai ―hubungan‖ dengan Pangeran ini. Sumber arsip
menyebutkan, dibutuhkan kekuatan besar untuk menaklukkannya (sampai ribuan serdadu).
Kekuasaannya tidak saja di perairan Selat Bangka dan pantai timur Sumatra tetapi sampai pantai
laut Jawa. Pos-posnya terdapat di Bangka dan Belitung. Komoditi yang dirampas tidak saja timah
atau lada tetapi juga beras yang sangat diperlukan oleh para pekerja tambang di Bangka. Tindak
kejahatan yang dilakukan oleh Raden Jafar dan komplotannya telah berulang kali diberantas baik
Universitas Indonesia
63
dapat mengontrol wilayah itu lagi. Residen VOC di Palembang telah berulang kali
mengajukan protes kepada Sultan Muhamad Bahauddin (1776--1804) mengenai
hal tersebut. Sesungguhnya, pihak Sultan telah berulang kali menghalau elanong
dari kawasan perairan Palembang. Agaknya, tindakan itu belum mampu
mengatasi perompakan di laut. Akibatnya, Sultan Palembang hanya mampu
menjual 4.280 pikul timah dan 500 pikul lada ke Cina. Hasil yang diperoleh dari
penjualan timah yang disetorkan kepada Belanda hanya sebesar 16.000 ringgit.
Terbatasnya timah yang diperoleh juga disebabkan oleh kurangnya tenaga kerja
untuk bekerja di tambang-tambang timah (para elanong membawa wabah
penyakit menular ke Pulau Bangka, sehingga banyak penduduk yang meninggal
dunia akibat penyakit menular itu) (ANRI, Bundel Palembang No. 24; Een en
Ander…, 1914: 397-398; Kaiser, 1857: 85).
Kontrol VOC yang lemah, tidak cukup membuat Sultan Bahauddin ingin
melepaskan diri dari Belanda. Dari data yang ada, tampak bahwa Sultan tidak
memiliki cukup kemampuan atau keinginan untuk melepaskan diri. Hal ini tidak
terlepas dari ―hubungan baik‖ yang selama ini terjalin antara Palembang dan
wakil pemerintah Belanda di Palembang. Terbukti dari pengakuan residen
Belanda tentang sultan Palembang yang ―baik hati, tiada yang mampu
menyamainya‖. Bagi Sultan Bahauddin pada waktu itu, hubungan antara dirinya
dan wakil pemerintah Belanda berjalan sebagai ―mitra‖ dalam bidang ekonomi
perdagangan. sehingga seolah-olah terjadi ―perdagangan bebas‖ yang membawa
keuntungan bagi Palembang, akibat lemahnya VOC. Di samping itu, Sultan juga
―sibuk‖ dengan masalah perompakan dan penyakit yang memaksa Palembang
untuk lebih fokus pada urusan di dalam kerajaan. Jadi, jelaslah bahwa sosok
Sultan Bahauddin bukan tipe orang yang ambisius untuk merebut ―kemerdekaan‖
dari Belanda. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah bentuk hubungan
Palembang dan Belanda pada waktu itu adalah hubungan dagang, tidak
melibatkan diri dalam pemerintahan apalagi dominasi teritorial. Kedaulatan sultan
oleh sultan maupun VOC. Kekuatan Raden Jafar mampu mengalahkan armada laut
PanglimaRahman pemimpin bajak laut dari Lingga. Pada 1802 Panglima Rahman berlayar dengan
membawa armada sebanyak 70 perahu menyerang Muntok (pusat kekuasaan Raden Jafar). Tokoh
bajak laut lainnya adalah Panglima Raja yang berasal dari Belitung, wilayah jelajahannya Pulau
Belitung, Pulau Bangka,dan pulau-pulau di sekitarnya, pantai timur Sumatra dan pantai utara
Pulau Jawa (Cirebon dan pantai utara Pulau Jawa) (ANRI. Bundel Palembang No.19; No. 24).
Universitas Indonesia
64
pada waktu itu dapat dilihat dari ―bebasnya‖ hubungan datang antara pedagang-
pedangan Palembang dan para pedagang lainnya, yang membawa keuntungan
(ANRI, Bundel Palembang No. 38.1; Tarling, 1994:13)
Maraknya perdagangan gelap juga dipicu oleh rendahnya harga yang
ditetapkan oleh pihak Belanda41. Akibatnya, sultan melakukan berbagai cara agar Comment [DKM37]: Istilah pemerintah kolon
Belanda digunakan setelah VOC dibubarkan! Pada
tidak dirugikan oleh berbagai kontrak42 antara Kesultanan Palembang dan VOC. masa VOC pemerintahannya disebut Kompeni.
Harap Konsisten!
Salah satunya yang cukup efektif untuk menaikkan pemasukan Kesultanan Comment [DKM38]: VOC atau pemerintah
kolonial???
Palembang adalah melalui perdagangan gelap. Di sisi lain, para petualang Inggris
sejak lama terus berusaha mendekati para sultan untuk menyelundupkan timah.
Kapal-kapal milik Inggris membeli timah dan lada dengan harga yang lebih baik
atas dasar komersil. Di samping itu, Inggris juga memperdagangkan lilin dan kayu
cendana di pelabuhan-pelabuhan Palembang (ANRI, Bundel Palembang No. 19;
Tarling, 1994: 13Ricklefs, 2008: 147).
Pada awal abad XIX Inggris terus gencar memblokade Batavia dan Comment [DKM39]: Kapan?? Blokade
dilakukan pada awal abad XIX dan bukan
pelabuhan-pelabuhan milik Belanda di pantai utara Pulau Jawa. Inggris berusaha sebelumnya!
menghancurkan perdagangan dan wilayah kolonial Belanda, juga menghasut Comment [DKM40]: Kapan ini??
41
Harga monopoli VOC untuk timah 6,5 sampai 7 dollar Spanyol perpikul,
sedangkan harga di pasaran bebas mencapai 12 sampai 13 dolar Spanyol setiap pikul.
Komoditi dari Palembang dijual ke Riau (berada di bawah kendali pedagang-pedagang
Bugis), dari Riau dibawa ke Cina (Masyhuri, 1983:104). Woelders menyatakan bahwa
harga yang ditetapkan oleh VOC 8 ringgit per pikul, sedangkan harga Inggris 16 ringgit
per pikul (Woelders, 1975: 84).
42
Kontrak-kontrak yang terjadi antara Palembang dan VOC terjadi pada Tahun
1642, 1662, 1678, 1679, 1681, 1722, 1755, 1763, 1775 dan 1791 (Paulus, 1918: 162).
Universitas Indonesia
65
43
Gelar ‗Pangeran Adipati‘ dalam beberapa naskah Melayu berarti ‗Menteri Pertama‘
atau ‗Perdana Menteri‘. Di Kesultanan Palembang, Pangeran Adipati berarti pejabat pertama
kerajaan (Bataviaasch Courant, Sabtu, 4 Agustus 1821).
Universitas Indonesia
66
orang Bugis44. Lebih lanjut dikatakan bahwa kehadiran orang-orang Bugis akan
mempengaruhi Pangeran Adipati untuk menentang Sultan. Dalam situasi
demikian, Residen Aarquim Palm menasehati Sultan Badaruddin II untuk lebih
berhati-hati terhadap Pangeran Adipati yang menunjukkan sikap mencurigakan.
Walaupun demikian, ternyata apa yang dikhawatirkan oleh residen Belanda itu
tidak terbukti karena kedatangan orang-orang Bugis hanya merupakan kunjungan
persahabatan biasa. Sejauh tidak ada bukti-bukti yang mengarah kepada
penentangan, Sultan Badaruddin II tidak melakukan tindakan apapun (ANRI,
Bundel Palembang No. 22.1). Walaupun tidak terjadi hal-hal sebagaimana yang
dikhawatirkan oleh pihak Belanda, namun dengan adanya sumber tersebut dapat
diindikasikan bahwa sejak awal Pangeran Adipati telah menunjukkan sikap
menentang Sultan.
Sejak Sultan Badaruddin II naik tahta, pihak Belanda terus berusaha
mendekati Sultan, agar kontrak-kontrak yang telah disetujui sebelumnya dengan
para pendahulu Sultan dapat diamankan. Salah satu langkah yang mereka tempuh
adalah dengan memberikan berbagai informasi kepada Sultan Badaruddin II,
44
Orang-orang Bugis dalam jumlah yang cukup banyak, dengan menggunakan
perahu dari Jawa tiba di ibu kota Palembang. Mereka ditempatkan oleh Pangeran
Adipati di dekat kediamannya (ANRI, Bundel Palembang No. 22.1). Di pesisir utara Pulau
Jawa, migrasi besar-besar orang-orang terjadi pada 1674 pascaperang Bone (1669).
Mereka aktif terlibat dalam perang Trunajaya. Kehadiran orang-orang Bugis yang ahli
dalam pelayaran akan berdampak terganggunya perdagangan VOC khususnya beras dan
kayu di kawasan itu. Untuk itu, pada 1676 VOC memutuskan untuk mengusir
pemukiman Bugis di sana. Jadi, Belanda sudah banyak belajar dari pengalaman bahwa
kehadiran orang-orang Bugis di wilayah-wilayah yang menjadi “garapannya” akan
menjadi batu sandungan bagi kelancaran usahanya (Nagtegaal, 1996: 21). Dengan
demikian, dimana pun kehadiran orang-orang Bugis, merupakan ancaman di mata para
penguasa Belanda.
Universitas Indonesia
67
pelanggaran terhadap isi kontrak yang ada, namun tidak mendapat respon dari
Sultan. Dalam konteks ini, mereka malah membandingkan antara Sultan
Badaruddin II dan ayahnya. Dapat diketahui dari pernyataan Residen Aartquim
Palm yang membandingkan Sultan Badaruddin II dengan ayahnya. Menurutnya,
Sultan Muhamad Bahauddin sangat baik, tidak ada yang mampu menyamainya
(ANRI, Bundel Palembang No. 38.1).
Kebaikan Sultan Bahauddin tentunya tidak terlepas dari hubungan baik
yang terjalin antarkeduanya, namun sikap-sikap yang ditunjukkan oleh Sultan
Badaruddin II membuat mereka meragukan tetap terbinanya hubungan yang ada.
Sebagai contoh, semasa Sultan Badaruddin II masih sebagai Pangeran Ratu,
terjadi peristiwa penjarahan terhadap kapal Belanda yang mengangkut kebutuhan
bahan oleh penduduk Palembang. Residen melaporkan peristiwa tersebut
kepadanya, akan tetapi laporan itu tidak dihiraukan, sehingga harus diserahkan
kepada Sultan Bahauddin II.
Setelah naik tahta, Sultan Badaruddin II dala usia 38 atau 39 tahun, usia
yang cukup matang untuk memegang tampuk pemerintahan atas Kesultanan
Palembang. Sultan cepat belajar mengenai segala sesuatu tentang pemerintahan di
45
Kontrak 1791 menyebutkan antara lain bahwa VOC adalah pemegang
monopoli timah dan lada di Kesultanan Palembang, larangan keras bagi kapal-kapal
asing untuk berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Palembang, dan perdagangan gelap harus
dicegah (Kaiser, 1857:85).
Universitas Indonesia
68
Kesultanan itu, dan Sultan mampu melaksanakan pemerintahan dengan baik. Dia
dikenal sebagai sultan yang sangat teguh pada pendiriannya. Akan tetapi di sisi
lain, putra mahkota sultan yang bergelar Pangeran Ratu46 melemahkan citra
pemerintahannya karena tingkah lakunya yang buruk seperti hidup bebas dan
tinggi hati. Meskipun demikian, di sisi lain Pangeran Ratu juga mempunyai sikap Comment [DKM49]: Maksudnya apa???
positif yaitu mudah bergaul (ANRI, Bundel Palembang No. 38.1; Java
Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812).
Disebutkan pula bahwa sejak awal pemerintahannya, Sultan Badaruddin II
telah bercita-cita akan masa depan negerinya yang lepas dari cengkeraman
pemerintah kolonial. Oleh karena itu Sultan mempersiapkan diri untuk
melepaskan diri dari pengaruh kolonial Belanda, Daendels hadir sebagai
pemimpin baru di wilayah Hindia Timur. Daendels melakukan berbagai
perubahan yang tentunya berpengaruh terhadap Kesultanan Palembang. Dalam
perdagangan timah, Daendels menetapkan sistem hutang atau dibayar dengan
beras (pemerintah Belanda mengalami krisis keuangan akibat berbagai
pertempuran dan blokade Inggris) dalam pembayarannya. Padahal sebelumnya Comment [DKM50]: Lebih detil!!
46
Sultan Badaruddin II memiliki tiga putera yang berasal dari permaisuri. Pada
1812, ketiga pangeran itu adalah Pangeran Ratu (21 tahun), Pangeran Nadi (17 tahun),
dan putera bungsu yaitu Pangeran Prabu/Rhabu (10 tahun) (Java Gouvernement
Gazette, 4 Juli 1812; Thorn, 2004:161).
47
Contohnya di Kesultanan Banten. Daendels memaksa sultan mengerahkan
tenaga cuma-cuma sebanyak 1000 orang per hari untuk membangun pangkalan armada
Belanda di Selat Sunda, mengancam akan memindahkan istana “Puri Intan” dan
memaksa sultan Banten memindahkan keratonnya, sampai akhirnya pasukan Belanda
menghancurkan keraton pada bulan November 1808 (Marihandono, 2005: 87-89)
Universitas Indonesia
69
yang kuat, cekatan, cerdik, berani, berwibawa, bersahabat dan ahli perang48. Di
sisi lain, Sultan memiliki sifat negatif yaitu emosional dan keras kepala (menolak
orang lain menentang kemauannya) (ANRI, Bundel Palembang No.38.1; Kemp, Comment [DKM53]: Dari mana Sultan
Palembang bisa tahu kalau tindakan Daendels
1900: 332; Woelders, 1975:15, 85-86; Kaiser, 1857: 86). terhadap pribumi mengakibatkan citra Pemerintah
Belanda menjadi terpuruk!!
Delapan tahun pertama masa pemerintahan Sultan Badaruddin II,
Kesultanan Palembang sangat maju. Palembang merupakan salah satu kerajaan
yang paling kaya di antara raja-raja Melayu lainnya, terutama di Sumatra.
Sebagian besar kekayaannya diperoleh dari timah49. Hal itu dapat diketahui dari
laporan Raffles kepada Gubernur Jenderal Lord Minto yang menyatakan bahwa
Kesultanan Palembang sangat makmur. Berkaitan dengan itu, Raffles Comment [DKM54]: Sumber!
mata Inggris Kesultanan Palembang juga sangat penting karena letaknya yang
strategis antara Jawa dan semenanjung Malaya (ANRI, Bundel Palembang No.
62.2; Kielstra, 1892: 81). Dengan demikian, sangat wajar apabila Raffles
menempatkan Kesultanan Palembang pada urutan pertama kerajaan yang harus
didekati.
Ketika Gubernur Jenderal India Lord Gilbert Elliot Minto memutuskan untuk Comment [DKM56]: Terbalik namanya!
48
Sultan Badaruddin II digelari oleh ahli-ahli sejarah Belanda dengan nama
“macan” dan “srigala”, karena pasukan Palembang berhasil menghancurkan benteng-
benteng dan armada Belanda dalam dua kali peperangan pada 1819 (ANRI, Bundel
Palembang No.38.1; Kemp, 1900: 332; Sevenhoven, 1971:6).
49
Kondisi itu sangat berbeda dengan kerajaan tetangganya yaitu Jambi yang
pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Raja Minangkabau dari Pagaruyung dan
dihadapkan pada perang saudara antara Sultan Mohildin dan kerabatnya (Locher-
Scholten, 2008: 45-46).
50
Sejak Juli 1910 Raffles meminta kepada Lord Minto, agar ditempatkan di
daerah Melayu yang saat itu berkedudukan sebagai Ajun Sekretaris di Penang.
Tujuannya adalah untuk memuluskan ekspedisi Inggris ke Pulau Jawa. Menurutnya yang
harus dilakukan adalah mendekati raja-raja Melayu, untuk melepaskan mereka dari
pengaruh Belanda. Diantara kerajaan Melayu yang terdapat di Sumatra dan Kalimantan,
yang terpenting adalah Kesultanan Palembang, karena Palembang adalah kerajaan yang
sangat kaya. Jika berhasil mendekati Palembang dan membuat kontrak dengan kerajaan
Universitas Indonesia
70
Oktober 1810 Raffles ditugaskan sebagai Agen Politik Gubernur Jenderal Inggris
untuk kerajaan-kerajaan Melayu. Dalam rangka melaksanakan tugas itu, Raffles
berangkat ke Malaka dan tiba di sana pada 3 Oktober 181051. Dalam rangka
mempersiapkan ekspedisi ke Pulau Jawa, pemerintah Inggris membangun markas
besar di Malaka pada 10 Oktober 1810 (ANRI, Bundel Palembang No.67;
Woelders, 1975: 5; Bastin, 1953: 305; Wurtzburg, 1949: 38). Pembangunan
markas besar di Malaka, merupakan awal dijadikannya Malaka sebagai basis
kekuatan militer dalam rangka rencana penyerangan ke Batavia.
Strategi yang ditempuh oleh Raffles adalah menjalin hubungan dengan
raja-raja dan bangsawan Melayu. Hal itu dimaksudkan agar kepercayaan raja-raja
tersebut kepada Inggris meningkat, sehingga memudahkan Inggris menanamkan
pengaruhnya kepada raja-raja tersebut. Raffles mengharapkan agar para raja itu
melakukan perlawanan kepada Belanda, dan minimal bersikap netral pada saat
Inggris menyerang Pulau Jawa. Untuk keperluan itu Raffles berusaha
mengamankan jalur ekspedisi ke Pulau Jawa. Jalur yang harus aman tentunya di
samping Selat Malaka, adalah Selat Bangka, yang merupakan jalur terpendek
menuju Batavia. Untuk itu jalur tersebut harus diamankan dengan menjalin
hubungan baik dengan Sultan Palembang. (ANRI, Bundel Palembang No.67;
Woelders, 1975: 5; Wurtzburg, 1949:39). Comment [DKM57]: Terputus idenya!
tersebut, maka seluruh produksi timahnya akan jatuh ke tangan Inggris. Untuk itu, yang
harus dijalankan adalah mengirimkan utusan. Utusan tersebut harus melakukan
pendekatan kepada Sultan Palembang. Dalam pendekatan tersebut, strategi yang harus
ditempuh adalah, bahwa kehadiran mereka di sana dalam rangka menyelidiki penyebab
hilangnya kapal Inggris di lepas pantai Muntok (Bastin, 1953: 302-303; Woelders, 1975:
5).
51
Menurut Bastin tanggal 4 Desember 1810, sedangkan Kaiser menyatakan
Raffles tiba di Malaka pada 1809.
Universitas Indonesia
71
samping itu, Inggris juga melakukan pendekatan dengan Belanda, agar Belanda
melepaskan diri dari Perancis yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan
Prancis. Artinya, pendudukan Belanda di Hindia Timur juga merupakan
perpanjangan tangan kekuasaan Prancis. Hal itu terbukti adanya maklumat Raja
Willem agar wilayah Belanda di Hindia Timur ―diselamatkan‖ Inggris (The
Asiatic Journal, 1824, vol 17; Marihandono, 2005:9-13;Baud,1854:9-10;
Bastin,1953:305). Comment [DKM58]: Bagian ini juga tidak per
ada di sini! Idenya loncat!
Di Malaka, Raffles mendapat informasi bahwa sejak September 1810,
Daendels telah mengirimkan kapal perang di bawah pimpinan Letnan Kolonel
Voorman untuk menyerang Palembang atau Lingga. Belanda telah menempatkan
armadanya di lepas pantai muara Sunsang (Bastin, 1953: 306; Kaiser, 1857:86).
Informasi tersebut mendorong Raffles untuk segera menjalin hubungan dengan
Sultan Palembang. Ia mencoba meyakinkan Gubernur Jenderal Lord Minto
tentang rencananya tersebut. Menurutnya membina hubungan dengan Sultan
Palembang merupakan tindakan penting, mengingat kesultanan itu sangat kaya.
Pendekatan itu juga dimaksudkan untuk mendapatkan hak monopoli atas timah.52
Langkah yang ditempuh oleh Raffles terhadap Palembang adalah mengirim surat
kepada Sultan Badaruddin II melalui utusannya yaitu Raden Muhamad (Tuanku
Syarif Muhamad atau Raden Muhamad bin Hussein bin Shehal ed Din53) dan Said
Abubakar Rumi atau Sayed Abubakar bin Husein Roem (orang Arab) yang
bermukim di Penang. Dalam menjalankan tugasnya mereka menyamar sebagai
pedagang (Wolders, 1975: 5; Wurtzburg, 1949: 40-41, Baud, 1853: 10,28).
52
Sejak abad XVIII Inggris sudah menjadi pesaing Belanda di Kesultanan
Palembang. Inggris merupakan salah satu faktor dominan dalam berlangsungnya
perdagangan gelap di kesultanan Palembang. Inggris pula yang menyebabkan
terhalangnya pengiriman timah dari Palembang ke Batavia, akibat diblokadenya laut
Jawa (Kielstra, 1892: 81; Baud, 1853: 17).
53
Raden Muhamad adalah orang Palembang yang masih memiliki hubungan
kerabat dengan Sultan Badaruddin II. Ayahnya orang Arab, sedangkan ibunya berasal
dari kalangan ningrat Palembang. Ia menikah dengan perempuan Muntok dari
keturunan Yang. Pernikahan itu tidak disetujui oleh Sultan Badaruddin II, karena yang
berhak menikahi perempuan dari golongan itu hanya kerabat Sultan Palembang. Raden
Muhamad merasa sakit hati karena perceraiannya dipaksakan. Raden Muhamad
meninggalkan Palembang dan menetap di Kedah. Dari Kedah menuju Penang dan
mengabdikan dirinya pada pemerintah Inggris di sana (Woelders, 1975: 90).
Universitas Indonesia
72
sejalan dengan Baud, tetapi berbeda dengan pendapat Kaiser. Menurut Kaiser Comment [DKM61]: Pendapat yang mana???
(1857: 86), Raffles berhubungan dengan sultan Palembang setelah tiba di Malaka
pada 1809. Bastin54 (1953: 305-306) menyatakan bahwa surat pertama Raffles
dibuat pada 10 Desember 1810 (isi surat itu sama dengan surat ke dua dari
pendapat Wurtzburg dan Baud). Dalam suratnya Raffles menyatakan bahwa
dirinya adalah utusan Gubernur Jenderal Lord Minto. Lebih lanjut ia menyatakan Comment [DKM62]: Maksudnya agen apa???
54
Tulisan Bastin berdasarkan pada tiga surat Raffles yang tidak diterbitkan oleh
Baud. Isinya antara lain menyebutkan bahwa Inggris menawarkan persahabatan dan perlindungan karena
adanya ancaman kapal-kapal Belanda di perairan Sungai Musi dan pendirian pos militer Belanda di Tulang
Bawang Lampung. Raffles juga menyesalkan Sultan Badaruddin II tidak mengirimkan wakilnya ke Malaka
untuk berunding dengannya (1953: 301-313)
55
Tampaknya jumlah 10.000 orang serdadu yang dimaksudkan oleh Rafless, adalah
untuk menunjukkan keseriusan Inggris membantu Palembang dalam usaha mengusir Belanda dari
wilayah itu (sesuai pernyataan Raffles dalam suratnya bahwa Inggris adalah sahabat yang paling
Universitas Indonesia
73
dapat diandalkan). Terbukti jumlah penghuni Loji Belanda di Sungai Aur pada saat diduduki (14
September 1814) penghuninya hanya sebanyak 110 orang. Jumlah tersebut sesuai dengan laporan
Daendels kepada Kaisar Napoléon Bonaparte pada 20 april 1811, yang menyebutkan bahwa
jumlah serdadu Belanda yang terkumpul pada bulan Mei 1811 sebanyak 17.774 orang serdadu.,
Semua terkonsentrasi di Jawa, kecuali sebanyak 400 orang yang tersebar di Palembang, Makasar
dan Timor (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Marihandono, 2005:94; Bastin, 1953: 305-306;
Baud, 1854:10; Stapel, 1940: 95; Kielstra, 1892: 81).
56
Isi surat yang ditelaah oleh Bastin dan Kielstra hampir sama, tetapi waktunya
berbeda satu tahun (Bastin menyatakan surat itu merupakan surat kedua tertanggal 15
Desember 1810, sedangkan Baud, Kielstra, Stapel dan Wurtzburg berpendapat surat itu
dibuat pada Desember 1809). Tahun surat menyurat antara Sultan Badaruddin II dan
Raffles dapat dipastikan terjadi tahun 1810-1811, berdasarkan surat jawaban Sultan
Badaruddin II tanggal 10 Januari 1811 dalam versi Bahasa Inggris dibuat pada 3 Maret
1811 atau dalam versi Robison pada 4 Maret 1811 (Bastin, 1954: 81). Dalam hal ini agak
mustahil kalau jarak antara surat pertama tahun 1809, surat-surat berikutnya tahun
1811. Jarak Palembang ke Malaka cukup jauh padahal kondisi saat itu mendesak
sehingga Raffles berkali-kali mengirim surat. Hal itu dikaitkan pula dengan peristiwa
pendudukan Inggris atas Mauritius pada Oktober 1810 (milik Belanda-Prancis) (Furnivall,
2009: 59).
Universitas Indonesia
74
kepada Sultan dan kepala kampung Sunsang pada 13 Januari 1811. Dalam
suratnya kepada penguasa Sunsang, Raffles meminta agar penduduk Sunsang
tidak berhubungan lagi dengan Belanda. Manuver kapal perang Inggris di
Sunsang juga dimaksudkan agar penduduk Sunsang menuruti permintaannya.
Dalam laporannya kepada Raffles, Bowen menginformasikan bahwa armada
Belanda terdiri dari tiga kapal jelajah, empat kapal meriam dan sepuluh kapal
dagang57 telah meninggalkan Palembang pada 10 Januari 1811. Armada-armada
itu tidak berhasil mendapatkan apa yang mereka inginkan, karena Sultan
Palembang menolak menyerahkan timah tanpa uang kontan. Sultan Badaruddin II
juga telah mengetahui bahwa Belanda telah menyelundupkan senjata-senjata ke
Palembang untuk persiapan menduduki Palembang, akibatnya Sultan menolak
armada mereka lebih jauh masuk ke Sungai Musi (uluan) (Bastin, 1953: 308-309;
Wurtzburg, 1949: 41-42).
Sampai awal Februari 1811 Raden Muhamad tetap berada di Palembang
dalam rangka menunggu jawaban dari Sultan Badaruddin II, ia juga belum
mengirimkan kabar lanjutan kepada Raffles. Atas dasar itu, Raffles mengirim
Kapten Mac Donald ke Palembang untuk menemui Raden Muhamad sekaligus
menyelidiki kekuatan pasukan Belanda di Lampung dan Palembang. Dari hasil
pertemuan keduanya diperoleh informasi bahwa misi Raden Muhamad gagal,
sebab Sultan Badaruddin II menolaknya sebagai wakil Raffles karena tidak
mempunyai bukti resmi, ia hanya berbekal surat Raffles yang ditujukan kepada
sultan. Sultan akan menerimanya sebagai wakil Raffles apabila telah memperoleh
surat keterangan resmi tentang penunjukannya. Meskipun demikian, sultan tetap
membalas surat Raffles. Dalam suratnya Sultan Badaruddin II menyatakan bahwa Comment [DKM63]: Surat Sultan yang mana?
57
Menurut Wurtzburg (1949: 48), armada Belanda terdiri dari tiga kapal jelajah
dengan masing-masing empat meriam, empat perahu meriam dan sepuluh kapal
dagang.
Universitas Indonesia
75
Belanda harus dienyahkan dari bumi Palembang. Dalam surat itu pula Raffles
mengemukakan kekecewaannya karena sampai saat itu Sultan Badaruddin II
belum mengirimkan utusan ke Malaka.58 Selain itu, Raffles juga menekankan
bahwa apabila perjanjian antara keduanya terwujud sebelum penaklukan Pulau
Jawa, berarti semua kontrak yang selama ini berlaku antara Palembang dan
Belanda dibatalkan. Sebaliknya, hal itu tidak berlaku apabila kesepakatan
terwujud setelah Inggris menduduki Pulau Jawa. (Baud, 1853: 11-12; Kielstra,
1892: 81; Stapel, 1940:95; Wurtzburg, 1949:42-43; Bastin, 1953: 311-312). Jadi,
jelas bahwa semua tawaran Raffles hanya demi kepentingan memperlancar
pendudukan atas Pulau Jawa. Untuk itu, Sultan Badaruddin II benar-benar dituntut
untuk sesegera mungkin mengusir Belanda dari Palembang.
Pada saat itu waktu semakin mendesak bagi Inggris untuk segera
mewujudkan misinya menyerang Pulau Jawa. Oleh sebab itu, Raffles melalui
utusannya Raden Muhamad menuntut sultan untuk membuat kontrak penting
yang akan mengatur hubungan antara Palembang dan Inggris. Raffles
mengusulkan agar perjanjian itu dibuat di Palembang dan diserahkan kepadanya
untuk disahkan dengan cap kerajaan. Selanjutnya, surat perjanjian itu segera
58
Bastin (1953: 310) menyatakan bahwa Inggris menuntut Sultan untuk
mengalihkan kontrak penjualan timah, lada dari Belanda kepada pemerintah Inggris.
Untuk mengurus segala sesuatunya, sultan sepakat akan mengirimkan seorang wakil ke
Malaka (sebelumnya tidak pernah terwujud walaupun berulang kali Raffles
memintanya).
Universitas Indonesia
76
dibawa kembali kepada Sultan (sebulan sejak tanggal dicap, diperkirakan pada
akhir Maret 1811). Semua yang telah dilakukannya dalam usaha mempengaruhi
sultan, dilaporkannya kepada Gubernur Jenderal Lord Minto di Calcutta. Dalam
laporannya itu, ia meyakini bahwa perundingannya dengan Sultan Palembang
akan menghasilkan hal positif yaitu sultan menyetujui usul-usul yang diajukannya
(Bastin, 1953: 313).
Isi perjanjian itu antara lain menyebutkan bahwa apabila sultan
Badaruddin II mengalami kesulitan untuk mengusir Belanda dari Palembang,
Raffles akan mengusir mereka, dan atas izin sultan, Raffles akan menguasai loji
Belanda. Selanjutnya, ia akan mengamankan muara Sungai Musi. Raffles juga
menawarkan harga baru yang lebih tinggi untuk pembelian timah, dan akan
mengeluarkan peraturan perdagangan Inggris seperti yang berlaku di Riau, Siak,
dan Trengganu. Harga ini fluktuatif sebagaimana terjadi dalam perdagangan
internasional. Kenyataannya, apa yang diharapkan oleh Raffles tidak terwujud,
Sultan Badaruddin II tidak mengesahkan kesepakatan tersebut.59 Raden Muhamad
mengirimkan penolakan tersebut kepada Raffles di Malaka (ANRI, Bundel
Palembang No. 67; Baud, 1853: 12; Wurtzburg, 1949:43).
Jawaban Sultan Badaruddin II pada 2 Maret 1811 antara lain menyatakan
bahwa mengenai keberadaan orang-orang Belanda di Palembang, akan
ditanganinya dengan baik, agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
Langkah nyata yang akan diambil adalah mendesak Gubernur Jenderal Belanda
di Batavia agar segera menarik pulang orang-orang mereka dari Palembang.
Sultan juga menjelaskan tentang sejarah panjang hubungan leluhurnya dengan
59
Bastin (1953: 314; 1954: 68) berpendapat lain, ia menyatakan bahwa Sultan
Badaruddin II menerima perjanjian tersebut dan membubuhkan capnya. Pernyataan itu terbukti
pada saat komisi yang diutus oleh Raffles tiba di Palembang pada Nopember 1811. Komisi itu
bertugas mengambil alih Bangka dan memperbaharui perjanjian dengan sultan, pada saat itu
mereka menyerahkan Surat Perjanjian antara Sultan Badaruddin II dan Raffles yang telah dibubuhi
cap, yang membuktikan surat perjanjian itu telah sah, padahal, Raffles belum menerima surat itu
kembali dan isinya berbeda dari rancangan semula. Sehubungan dengan hal tersebut Bastin (1954:
75-78) memberikan argumennya, bahwa telah terjadi konspirasi yang dilakukan oleh utusan
Raffles (Raden Muhamad dan Said Abubakar Rumi), sehingga seolah-olah perjanjian itu telah
diratifikasi oleh sultan. Hal itu dapat dilacak dari pendapat Robison yang menyatakan bahwa
utusan Raffles bukanlah orang-orang yang jujur. Robison menekankan bahwa telah terjadi
rekayasa yang dirancang oleh utusan Raffles demi kepentingan Inggris.
Universitas Indonesia
77
Universitas Indonesia
78
60
Menurut Baud (1853;13-14), setelah surat Raffles yang terakhir (pengiriman
senapan dan mesiu), tidak ada lagi komunikasi antara Sultan Badaruddin II dan Raffles.
Raffles kecewa pada Sultan Badaruddin II, karena Sultan tidak merespon permintaan
Raffles untuk meresmikan rancangan perjanjian yang disodorkannya. Langkah
selanjutnya yang ditempuh oleh adalah Raffles memerintahkan utusannya untuk
melakukan peneliti kekayaan alam, pemerintahan, dan penduduk.
Universitas Indonesia
79
pulau itu. Mereka bermaksud untuk menetap sementara di Muntok Bangka kalau
diizinkan oleh sultan. Seandainya tidak mendapat izin mereka harus ikut ambil
bagian dalam ekspedisi penaklukan Pulau Jawa. Pada kenyataannya justru Sultan
Badaruddin II mengundang mereka ke ibu kota Palembang. Pada saat mereka
masih berada di ibu kota Palembang, peristiwa pendudukan Loji Belanda di
Sungai Aur 14 September 1811 (Wurtzburg, 1949: 44; Baud, 1853: 14). Dengan Comment [DKM67]: Apa maksudnya??
Kabar tentang pendudukan Inggris atas Batavia pertama kali diketahui oleh Sultan
pada 3 September 1811. Akan tetapi, informasi itu tidak digubris oleh sultan
karena ia tidak yakin akan kebenarannya. Informasi kedua diterima sultan pada 11
September 1811, berasal dari Sayid Sin Bil Pake (Said Zain Bafakih, menantu dari
Pangeran Syarif Umar, tokoh orang Arab di Palembang), yang baru kembali dari Comment [DKM68]: Ini siapa? Tiba-tiba mun
silsilah seperti itu. Perlu keterangan yang relevan!
Semarang dan menyaksikan langsung peristiwa menyerahnya Gubernur Jenderal
Universitas Indonesia
80
61
Menurut kesaksian Louisa van de Wateringe Buys (istri Wakil Residen), yang
datang ke loji pada jam 7.00 adalah Raden Ngabehi Carik, Tumenggung Lanang, Raden
Muhamad. Sedangkan berasarkan kesaksian Najamuddin II, mereka adalah Pangeran
Citradireja, Pangeran Natawikrama, Pangeran Suradilaga, Pangeran Syarif Usman, Kyai
Mas Tumenggung Notonegoro dan Kyai Demang Usman. Willem van de Wateringe Buys
bersaksi bahwa yang datang ke loji pada jam 9.00 adalah Tumenggung Suronindito,
empat bangsawan rendahan, dan 160 orang bersenjata Mereka melucuti senjata para
prajurit jaga dan menduduki loji (Baud, 1853: 29-32).
Universitas Indonesia
81
itu sebanyak dua orang tanpa menyebutkan nama) untuk menemui Sultan
Badaruddin II. Sementara itu, para petinggi kerajaan juga mengirim utusan
menghadap sultan untuk memberitahukan maksud kedatangan utusan residen
tersebut. Permohonan itu disambut baik oleh sultan. Sultan segera mengutus dua
orang bangsawan untuk mengawal residen, asisten residen, komandan pasukan
dan sekretaris residen menghadap sultan. Dalam perjalanan menuju keraton,
Residen Jacob Groenhof van Woortman dan rombongan disambut oleh para para
bangsawan dan menanyakan maksud dari keinginan mereka menghadap Sultan62.
Residen menjelaskan bahwa mereka meminta disiapkan perahu yang akan
membawa mereka ke Batavia. Mendengar hal itu, para petinggi kerajaan itu
menawarkan dua perahu dan memaksa para penghuni loji menaikinya.
Selanjutnya semua penghuni loji diperintahkan untuk menaiki perahu pancalang
hingga sore hari63, kecuali perempuan.64 Malam harinya mereka dibawa ke muara
Sunsang dan dibunuh (ANRI, Bundel Palembang No. 67; No. 62.2; No. 5.1;
ANKL, House of Lord, vol.109, 1819; Woelders, 1975: 6, 88).
Kejadian itu begitu cepat berlangsung, sehingga tidak ada kesempatan para
penghuni loji mempersiapkan diri. Keinginan residen dan para pengawalnya untuk
menemui sultan gagal, padahal sultan telah mengirimkan kurir untuk menjemput
mereka. Tampaknya pada saat itu sultan hanya mengikuti keinginan para
bangsawan untuk membawa mereka secepatnya keluar dari ibu kota Palembang.
Sultan sendiri melihatnya sebagai saat yang tepat untuk mengenyahkan Belanda
62
Versi lain dapat dilihat dari laporan Gillespie kepada Raffles, disebutkan bahwa Sultan
mengirim pesan melalui Pangeran Ratu kepada residen, komandan dan para perwira garnizun agar
mereka menghadapnya. Dengan alasan menyampaikan pesan inilah Pangeran Ratu bersama
sejumlah besar pasukan memasuki loji, mereka terlebih dahulu meredam semua meriam yang
terdapat di loji itu. Selanjutnya, mereka dibawa para penghuni loji ke Sunsang untuk dibunuh
(Java Gouvernement Gazette, 18 Juni 1812 No.16).
63
Berdasarkan laporan Komandan Malaka kepada Lord Minto, diketahui bahwa para
penghuni loji ditempatkan di atas perahu selama dua hari, sedangkan, kesaksian Loisa van de
Watering Buys dalam Baud (1853:36) menyebutkan bahwa para penghuni loji berada di atas
perahu selama tiga hari.
64
Kesaksian Louisa van de Wateringe Buys dalam lampiran 8 menyebutkan
bahwa perempuan-perempuan yang berhasil meloloskan diri ke kampung Cina dan
rumah orang Arab adalah istri juru tulis Folkers, istri Kopral Reinwits dan istri
Katsenbeitzer. Dari sana mereka dibawa Pangeran Wiradinata menuju Pulau Seribu,
Padang Rura dan Pancalang Lampon. Di sana mereka dibawa ke tempat lain yang tidak
disebutkan namanya dalam pengawasan petugas secara bergantian (Baud, 1853: 36-37).
Universitas Indonesia
82
dari bumi Palembang. Terlalu lama keinginan untuk mengusir mereka, apalagi
sultan selama sekitar Sembilan bulan dalam tekanan Raffles untuk mengusir
Belanda. Comment [DKM71]: Bukankah pada paragraf
sebelumnya mereka sudah dibunuh???
Dari Java Gouvernement Gazette, 18 Juni 1812 No.16 diperoleh data
bahwa terdapat seorang perempuan Eropa yang diikutsertakan dalam salah satu
perahu, ia dibunuh dan dibuang ke sungai bersama korban-korban lainnya. Dari
sumber Thorn (2004: 145; 1816:147) diketahui bahwa ada seorang perempuan
bersama bayinya mengikuti suaminya naik ke atas geladak kapal. Baud (1853:36)
mendukung pendapat di atas dengan mengatakan bahwa perempuan itu adalah
istri Sersan Scheffer. Dari sumber-sumber tersebut dapat disimpulkan bahwa
terdapat korban perempuan dalam peristiwa pembunuhan di Sunsang. Comment [DKM72]: Apa relevansinya???
Universitas Indonesia
83
baik Residen Jacob Groenhof van Woortman dengan Perdana Menteri (Pangeran
Adipati), peringatan itu ditepisnya. Willem van de Weteringe Buys juga
mengetahui akan ada penyerangan terhadap loji, dan ia berhasil meloloskan diri
ke pedalaman. Selain Willem van de Weteringuis terdapat beberapa perempuan
yang berhasil meloloskan diri, termasuk Louise (istri dari wakil residen
Haarvlegter) (Waey, 1875: 100-101; Woelders, 1975: 6). Menurut Wurtzburg
(1949: 44), yang selamat hanya Willem van de Weteringuis dan Louise. Jadi, dari
sumber-sumber di atas dapat disimpulkan bahwa hanya satu orang laki-laki dan
beberapa perempuan yang berhasil meloloskan diri.
Dari berbagai sumber diketahui sebanyak 24 orang Eropa, 63 orang
pribumi penghuni loji yang dibunuh di muara Sunsang. Orang-orang Eropa
dibunuh di atas perahu, sedangkan, orang-orang Jawa dibunuh dengan cara perahu
mereka dilobangi dasarnya dan dihanyutkan. Berdasarkan sumber arsip (ANRI,
Bundel Palembang No. 67) disebutkan bahwa loji Belanda dihuni oleh 110 orang,
sedangkan yang terbunuh 87 orang. Berarti sebanyak 27 orang yang berhasil
meloloskan diri. Menurut sumber-sumber yang dapat dilacak, disebutkan bahwa Comment [DKM73]: Maksudnya apa???
hanya beberapa perempuan dan seorang laki-laki yang lolos (jumlah yang tidak
mewakili untuk 27 orang yang lolos). Langkah selanjutnya yang diambil pihak
Sultan pada 17 September 1811 (16 September 1811 menurut kesaksian Raden
Muhamad dan Said Abubakar bin Husein Roem) adalah membongkar loji dan
meratakannya dengan tanah, serta menanaminya dengan tumbuh-tumbuhan
seolah-olah kondisi tersebut sudah lama terjadi (Baud, 1853: 14; Kielsra, 1892:
81; Kaiser, 1857: 86; Woelders, 1975: 6; Wurtzburg, 1949: 44). Comment [DKM74]: Dari sini mundur sampa
red mark sebelumnya, tidak ada relevansinya deng
Tindakan kejam oleh para bangsawan, kemungkinan disebabkan adanya disertasi. Ada kesan hanya mau memanjang-
manjangkan halaman di bab II.
kesempatan untuk melenyapkan orang-orang Belanda yang terlalu lama bercokol
di Palembang. Faktor lain adalah adanya dukungan yang besar dari Raffles,
melalui agen-agennya (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; Bataviaasch Courant,
Sabtu, 4 Agustus 1821). Hasil penelitian Kolonel Gillespie yang dilaporkan oleh
Lady Raffles (1835: 173), menyebutkan bahwa Pangeran Ratu berperan besar
dalam aksi pembantaian tersebut. Hal senada dikemukakan oleh Baud (1853: 18),
yang menyatakan bahwa pembunuhan itu terjadi karena kebencian Pangeran Ratu
Universitas Indonesia
84
terhadap orang-orang Belanda, tetapi tidak ada saksi-saksi yang membenarkan hal
tersebut.
Sejarah Palembang mencatat bahwa para elite Palembang telah mengambil
keputusan membunuh para penghuni loji dan menghancurkan bangunannya,
seolah-olah di lokasi tersebut tidak pernah ada bangunan sebelumnya. Semua itu
dilakukan untuk mengelabuhi pihak Inggris, apabila mempertanyakan keberadaan
Belanda di Palembang. Dari apa yang dilakukan, tampak bahwa semua dilakukan
demi menutupi peristiwa tersebut dari Inggris. Hal ini karena peran Raffles yang
berusaha dengan berbagai cara agar sultan mengusir Belanda dari Palembang.
Setelah berhasil mengusir Belanda dan sadar akan adanya ancaman dari
Inggris, langkah yang diambil oleh Sultan Badaruddin II adalah mempersiapkan
diri dengan cara memperbaiki dan membangun benteng-benteng pertahanan di
titik-titik strategis di Sungai Musi. Benteng-benteng itu terdapat di Sunsang,
Muntok, Pulau Anyar, Palembang Lamo, Batu Ampar, dan Gunung Meru. Kubu-
kubu pertahanan itu dipersenjatai meriam dan penjagaannya diserahkan kepada
para pangeran, menteri, depati, hulubalang, penggawa, dan rakyat. Palembang
juga menyiapkan meriam-meriam, perahu-perahu bersenjata dan rakit-rakit yang
mudah terbakar. Keraton sebagai pusat pemerintahan dipertahankan dengan
menempatkan sebanyak 242 meriam (Woelders, 1975: 7, 86-91). Comment [DKM75]: Kalimatnya lucu!
Universitas Indonesia
85
surat yang ditujukan kepada Raffles dari agen-agennya (Raden Muhamad dan
Said Abubakar). Keduanya menyatakan bahwa Belanda telah meninggalkan
Palembang sebelum Batavia jatuh ke tangan Inggris dan loji telah diratakan
dengan tanah68.
Ketika mereka memasuki muara Sungai Musi, kehadiran mereka sempat
ditolak oleh wakil sultan yang menyambut mereka. Setelah dijelaskan maksud
kedatangan mereka untuk menyerahkan surat Raffles kepada Sultan, mereka
diperkenankan mengirimkan kurir ke keraton. Selama dalam pelayaran menelusuri
Sungai Musi menuju ibu kota, mereka menemukan banyak orang yang sedang
membangun kubu pertahanan. Pada hari keempat, masih dalam pelayaran (hari ke
empat), mereka disambut tiga orang utusan Sultan dan pengawal mereka dengan Comment [DKM78]: Ini dimasukkan dalam
kalimat!
membawa hadiah berupa makanan, buah-buahan dan sayuran serta menyampaikan
salam dari Sultan Badaruddin II. Ketiganya adalah Tumenggung, Ronggo dan
Demang. Ketiganya menanyakan maksud kedatangan mereka, yang dijawab
bahwa tujuan mereka adalah untuk mengambil alih loji Belanda sesuai kapitulasi
Gubernur Jenderal Janssens dan membujuk Sultan Badaruddn II mengubah
kontrak. Pada kesempatan itu komisi menyerahkan surat dan hadiah dari Raffles
sebagai lambang persahabatan. Raffles juga menawarkan bantuan kepada Sultan
untuk melumpuhkan para perompak dan melawan musuh-musuh Palembang.
Kepada Sultan Badaruddin II mereka juga menyampaikan tentang perubahan
pemerintahan dari Belanda kepada Inggris, dan menuntut semua dokumen kontrak
untuk diserahkan kepada pejabat residen yang baru yaitu Letnan Thomas C.
68
Dalam laporan Raffles kepada Gubernur Jenderal Lord Minto dinyatakan bahwa
Pangeran Ratu mengatasnamakan Sultan Badaruddin II, yang pada 22 atau 23 September 1811
memaksa Raden Muhamad dan Said Abubakar yang berada di Palembang saat peristiwa
pendudukan loji Belanda, untuk membuat dan menandatangani laporan palsu di atas sumpah
tentang para penghuni loji Belanda yang telah meninggalkan Palembang sebelum Inggris
menduduki Jawa. Apabila mereka melanggar janji, maka mereka akan dibunuh, begitu pula
seluruh keluarga mereka yang ada di Palembang. Setelah itu, mereka diperkenankan tinggal di
Sunsang. Setelah tiga hari di sana, mereka didatangi oleh utusan Sultan (Kyai Mas Hahil dan
Ngabehi Jilal) untuk membawa mereka kembali ke Palembang, namun mereka menolak. Akhirnya
mereka memutuskan untuk berlayar menuju Malaka guna menghindari ancaman Sultan. Di
Malaka mereka membuat kesaksian di depan anggota Pengadilan Tinggi Malaka di bawah
pimpinan Mayor Farquhar. Kesaksian mereka ditandatangani oleh J.H. Stocken, A. Koeck dan C.
Walbechim (anggota Pengadilan Tinggi). Diterjemahkan oleh van Beuchem (Java Gouvernement
Gazette, 2 Mei 1812 No.10; Baud, 1853: 14, 30; Thorn, 2004: 147).
Universitas Indonesia
86
Jackson (ANKL, House of Lord, vol. 109, 1819; Java Gouvernement Gazette, 2
Mei 1812 No.10; Woelders, 1975, 7; Lady Raffles, 1835: 156;).
Di balik dari semua alasan yang telah dikemukakan, intinya adalah
―menempatkan Pulau Bangka di bawah kekuasaan Inggris secara permanen.‖
Dengan menguasai Bangka-Belitung yang kaya timah dan pangkalan-
pangkalannya, berarti Inggris akan mendapat keuntungan besar. Di samping itu,
Inggris juga akan mengamankan perairan Bangka-Palembang yang selama ini
rawan perompakan. Keamanan perairan itu mutlak dipertahankan demi lancarnya
perdagangan dan perairan (ANKL, House of Lord, vol. 109, 1819). Comment [DKM79]: Tidk logis!
Universitas Indonesia
87
tersebut. Di samping itu, Sultan Badaruddin II tidak yakin Inggris akan berhasil
menaklukkan Pulau Jawa. Jadi jelaslah bahwa Sultan Palembang menolak untuk Comment [DKM81]: Jangan menggunakan ka
kesimpulan di sini!!!!
berunding dengan komisi yang dikirimkan oleh Raffles dan mempertahankan
kebebasannya. Bagi Sultan Badaruddin II, mengusir orang-orang Belanda bukan
bertujuan untuk menjadikan Inggris sebagai penggantinya. Sultan juga melarang
mereka berhubungan dengan penduduk dan mengusir mereka dari Palembang.
Karena merasa terancam, ketiga orang anggota komisi Inggris itu secepatnya
meninggalkan Palembang dan kembali ke Batavia (ANRI, Bundel Palembang No.
67; ANKL, House of Lord, 109: 1819; Java Gouvernement Gazette, 2 Mei 1812
No.10; 30 Mei 1812;, vol. 109, 1835; Lady Raffles, 1835:158; Bastin, 1954: 67-
68; Kaiser, 1857: 92; Woelders, 1975:7; Baud, 1853:15).
Ini menjadi awal konflik Palembang dengan Inggris, Sultan Badaruddin II
bertahan dengan keputusannya bahwa Kesultanan Palembang adalah kerajaan
yang bebas menolak intervensi dari mana pun. Hal itu ditopang pula pada
keyakinan bahwa Raffles sebagai penguasa Inggris pada saat itu akan menepati
janjinya untuk membebaskan Palembang dari segala ketentuan kontrak dengan
Belanda. Dengan demikian, Sultan sudah menakar kemampuan kerajaan untuk
menanggung berbagai resiko akibat menolak utusan Inggris dari Batavia, terbukti
dari berbagai persiapan yang dilakukan sebelum kedatangan utusan Inggris.
Setibanya komisi di Batavia pada 13 Desember 1811, mereka menjumpai
beberapa orang Arab utusan Pangeran Adipati untuk menemui para pejabat
Inggris di sana. Dari penjelasan mereka dapat diketahui langkah yang ditempuh
oleh oleh penguasa Palembang untuk ―mengakhiri‖ keberadaan orang-orang
Belanda di sana69. Versi lain menyebutkan bahwa rahasia itu terbongkar pada 12
Desember 1811 dengan adanya laporan dari Raden Muhamad dan Said Abubakar
dari Malaka. Dalam laporannya, agen-agen Raffles itu menyatakan bahwa mereka
tengah berada di Palembang pada saat peristiwa pendudukan loji Belanda (Stapel,
1940: 96; Lady Raffles, 1835: 157).
69
Berdasarkan salinan surat dari komandan Malaka kepada Gubernur Jenderal Lord
Minto di India tanggal 11 Desember 1811, diketahui bahwa informasi pertama tentang peristiwa
pembunuhan di Palembang diterima beberapa hari sebelum salinan surat itu dibuat, pengakuan itu
diterima dari Raden Muhamad. Selanjutnya, pada 12 Desember 1811 Raden Muhammad dan Said
Abubakar membuat pengakuan tentang masalah tersebut di depan Komite Pengadilan (ANKL,
House of Lord, vol. 109, th. 1819).
Universitas Indonesia
88
70
Menurut Woelders (1975: 89), yang diutus sultan adalah Tumenggung
Suranandita dan Tumenggung Suradiraja. Pendapat ini agak mirip dengan sumber dari
Bastin (1954: 69) yang menyatakan bahwa yang diutus sultan terdiri dari Tumenggung
Suranandita, Demang Suara Derpa dan Derya Nata. Dari berbagai sumber itu, dapat
dipastikan bahwa jabatan tertinggi yang diutus ke Batavia adalah tumenggung.
71
Tumenggung Lanang adalah penasehat sultan dengan jabatan sebagai
penghulu. Menurut Gillespie, Tumenggung Lanang adalah salah seorang yang berperan
dalam penghancuran loji Belanda (Java Gouvernement Gazette, 18 Juni 1812 No.16).
Universitas Indonesia
89
Baik secara langsung atau tidak langsung Raffles terlibat dalam peristiwa yang
memakan korban 87 jiwa, yang terdiri dari orang-orang Belanda maupun pribumi
(beberapa sumber menyebutkan 63 orang Jawa tetapi sumber lain menuliskan
kata-kata pribumi). Berdasarkan surat-surat Raffles kepada sultan yang ditemukan
oleh Baud, surat-surat itu dikirimkan oleh Sultan Badaruddin II kepada bekas
sahabatnya di Batavia. Selanjutnya, surat-surat itu diserahkan kepada Komisaris
Jenderal, sedangkan tembusannya disimpan. Tembusan ini diteliti oleh Baud72 dan
72
J.C. Baud adalah sekretaris pemerintah Hindia Belanda (1818). Ia lahir tahun
1789, dididik di Inggris, selanjutnya masuk Angkatan Laut (AL) dan bersama-sama
Universitas Indonesia
90
Hooykas, makna kalimat tersebut adalah ―akhiri semuanya, jangan ada yang
tersisa‖. Sedangkan Richard Winstedt memaknainya dengan ―sultan harus
mengusir semua orang Belanda dan Residen untuk menyelesaikan pekerjaannya‖.
Menurut Bastin dalam versi Bahasa Inggrisnya, maknanya adalah ―saya akan Comment [DKM85]: Cantumkan bahasa
Inggrisnya agar seimbang!!!
mengusulkan kepada paduka untuk mengusir mereka (orang-orang Belanda) dari
dengan Janssens tiba di Batavia pada 1810. Setelah Pulau Jawa jatuh ke tangan Inggris,
Baud menjadi asisten sekretaris. Puncak karirnya adalah sebagai Gubernur Jenderal
(1833-1836) (Wurtzburg, 1949:38).
Universitas Indonesia
91
dikirimkan pada Maret 1811), ditambah pula, pengiriman senjata dan amunisi. Ini
berarti Raffles secara nyata terlibat dalam usaha Sultan Palembang mengusir
Belanda dari Palembang. Akan tetapi tentunya tidak dimaksudkan untuk
―membantai‖ para penghuni loji. Mereka seharusnya diperlakukan dengan baik
dan terhormat. Dari berbagai pendapat tersebut, tampak bahwa isi surat Raffles
yang disitir Bastin, W. Ph. Coolhaas-C.Hooykaas dan Richard Winstedt,
menggunakan kata ―usir semua orang Belanda‖, sedangkan, Baud dan Cense
menggunakan ―usir/buang dengan kekerasan.‖ Walaupun demikian, semuanya
sepakat bahwa kedudukan Belanda di Palembang ―harus diakhiri‖. (Baud, 1853:
8,15-17; Bastin, 1954: 65; Kaiser, 1857: 87).
Setelah mengetahui kejatuhan Batavia, Sultan Badaruddin II melakukan
tindakan mengusir orang Belanda sesuai permintaan Raffles dalam berbagai
suratnya, tambahan pula, dengan adanya pengiriman senapan dan amunisi yang Comment [DKM88]: Selesaikan kalimat ini!!!
dapat ditafsirkan sebagai bantuan langsung yang dikirimkan Raffles agar Sulan
Badaruddin II mengusir Belanda dari Palembang. Raffles juga menjanjikan akan
mengakui Sultan Palembang sebagai penguasa merdeka, apabila berhasil
mengusir Belanda sebelum Pulau Jawa jatuh (secara de jure jatuh pada tangal 18
September 1811 dengan ditandatanganinya Kapitulasi Tuntang). Oleh sebab itu,
Sultan menolak keinginan komisi yang dikirim oleh Raffles (Phillip, Wardenaar
dan Hare) untuk menggantikan posisi Belanda di Palembang. Raffles juga tidak
Universitas Indonesia
92
menuntut agar sultan melaporkan atas apa yang dilakukannya terhadap loji
Belanda.
Perdebatan tentang terlibat tidaknya Raffles dalam pembunuhan penghuni
loji, membawa Kaiser (1857: 87-79) menuliskan pendapatnya, bahwa kata-kata
Raffles sangat luas pengertiannya, sehingga menimbulkan berbagai interpretasi,
Oleh sebab itu, wajar apabila Sultan Badaruddin menafsirkannya dengan boleh
melakukan apa saja, asal orang-orang Belanda berhasil dikeluarkan dari
Palembang berupa pengusiran, penagkapan atau bahkan pembunuhan. Sultan
Badaruddin II menerima dan memanfaatkan bujukan Raffles, terbukti dengan
terjadinya peristiwa pembunuhan itu. Sturler sependapat dengan Kaiser yang
mengatakan bahwa pembantaian itu merupakan bukti keberhasilan Raffles
membujuk sultan. Sultan menerima bujukan Raffles dan memanfaatkan
momentum yang ada secara tepat. Ternyata dengan cara ini Raffles yang cerdik
telah terjebak oleh Sultan yang lebih cerdik lagi. Maksudnya Sultan menafsirkan Comment [DKM89]: Tidak jelas maksud
Anda!!!
semua bantuan Raffles untuk mengusir Belanda dari Palembang dengan cara
apapun termasuk membunuh sebagian besar penghuni loji, yang mungkin tidak
seperti itu yang diharapkan oleh Raffles.
Dalam laporannya Gillespie menyampaikan bahwa Pangeran Ratu adalah
orang yang sangat kejam dan berperan besar dalam pembunuhan terhadap orang-
orang Belanda. Pendapat itu dibantah oleh Baud (1853: 19) dan Bastin (1854: 65).
Menurut keduanya, tudingan tersebut hanya merupakan konspirasi politik dari
musuh-musuh Pangeran Ratu. Walaupun nama Pangeran Ratu disebut-sebut
dalam berbagai laporan, tetapi perannya tidak penting. Dengan demikian, terlalu
berlebihan apabila menerima pendapat Gillespie yang tidak didukung oleh data
yang akurat.
Untuk menentukan besar kecilnya pengaruh Raffles dalam perkara tersebut
bukanlah perkara mudah, sebab tidak ada penjelasan lebih lanjut apa makna dari
kata-katanya dan maksud pengiriman senapan dan amunisi dari Raffles. Sebagai
wakil Lord Minto di bidang politik, Raffles wajib membangun persekongkolan Comment [DKM90]: Kena apa muncul kata ag
lagi???
dengan para penguasa pada waktu itu untuk melemahkan kedudukan Belanda,
sehingga semua kesalahan ditimpakan kepada pemerintah Inggris. Menurut
hukum Inggris penggunaan wakil-wakil dalam bidang politik dalam kondisi Comment [DKM91]: ????
Universitas Indonesia
93
seperti itu dibenarkan, namun, tetap diperlukan batas-batas yang jelas sehingga
tidak menimbulkan masalah (Kaiser, 1857: 88).
Dari uraian di atas, dalam menganalisis keterlibatan Raffles dalam
peristiwa 14 September 1811 seolah-seolah terdapat pendapat yang berbeda atau
bertolak belakang. Untuk itu perlu dilihat hubungan antara Sultan Badaruddin II
dan Raffles. Baik motif, langkah-langkah yang telah dilakukannya dalam
mempengaruhi Sultan sampai terjadinya ekspedisi (1812) menduduki Kesultanan
Palembang. Sejak awal hubungan kedua tokoh tersebut, terlihat usaha keras yang
dilakukan oleh Raffles untuk mempengaruhi Sultan melalui surat-surat dan
utusannya. Raffles mempengaruhi dengan janji-janjinya kepada sultan. Dalam Comment [DKM92]: ???
salah satu suratnya, Raffles berjanji akan memenuhi apapun yang diminta oleh
sultan apabila mengalami kesulitan dalam usaha mengusir Belanda. Raffles juga
memberikan penawaran lebih menguntungkan dalam perdagangan khususnya
timah, berjanji akan mengakui kemerdekaan Palembang apabila berhasil mengusir Comment [DKM93]: ????
Belanda sebelum Inggris menguasai Jawa dan mengirimkan senjata serta amunisi
ke Palembang. Raffles berani mengambil resiko dengan bertindak sendiri dalam
memutuskan menyerang dan menduduki Kesultanan Palembang. Berdasarkan
bukti-bukti tersebut, dapat disimpulkan bahwa Raffles telah melakukan segala
cara agar sultan memenuhi permintaannya untuk mengenyahkan Belanda dari
Palembang.
Meskipun Palembang merupakan kerajaan yang berdaulat, akan tetapi
kehadiran loji Belanda di daerah itu sejak abad XVII telah membuat para
penguasa Palembang tidak bebas bergerak dalam mengelola hasil buminya. Hal
itu disebabkan mereka terikat dengan berbagai kontrak yang mengikat dengan
Kompeni, dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Para raja dan sultan Comment [DKM94]: Kalimat ini tidak fokus!
Jadikan dua kalimat!
Palembang, dengan berbagai cara ―melanggar‖ ketentuan kontrak-kontrak
tersebut. Bukan rahasia lagi kalau dikatakan bahwa Sultan terlibat aktif dalam
berbagai penyelundupan komoditi perdagangan yang dihasilkan oleh Palembang,
khususnya yang menjadi primadona dalam perdagangan internasional yaitu timah
dan lada. Ancaman-ancaman Daendels juga ikut memicu ―buruknya‖ hubungan
Palembang dengan Belanda. Jadi jelas bahwa mustahil Raffles tidak mempunyai
andil besar dalam memicu didudukinya loji Belanda. Tanpa dorongan dan
Universitas Indonesia
94
tindakan nyata dari Raffles, tidak akan ada tindakan ―radikal‖ yang dilakukan oleh
para bangsawan atas perintah Sultan pada tragedi September 1811. Terbukti
Sultan selalu bersifat menunggu dan mengulur-ngulur waktu dan menolak
perjanjian yang disodorkan oleh Raden Muhamad (utusan Raffles). Hal itu Comment [DKM95]: Siapa lagi ini???
Universitas Indonesia
95
BAB 3
SUKSESI DI KESULTANAN PALEMBANG (1811-1816) Comment [DKM96]: Kapan?
Universitas Indonesia
96
Menurut Raffles, loji Belanda pada waktu itu sudah berada di bawah
perlindungan pemerintah Inggris, berdasarkan pendudukan Inggris atas Batavia
(Agustus 1811). Sesungguhnya Raffles tidak terlalu mempermasalahkan hal
tersebut, seandainya Sultan Badaruddin II tidak menolak usul-usul Raffles yang
intinya bermaksud mengambil alih Pulau Bangka melalui komisi yang
dikirimkannya ke Palembang pada Nopember 1811. Bagi Raffles, penolakan
tersebut merupakan penghinaan terhadap martabat dan wibawa Inggris.
Sebagai penguasa tertinggi, Gubernur Jenderal Lord Minto merestui
ditegakkannya hak dan kekuasaan Inggris di Palembang. Sesungguhnya Lord
Minto tidak terlalu mempermasalahkan ―pembantaian‖ terhadap para penghuni
loji (isi surat Lord Minto kepada Raffles pada 15 Mei 1812). Lord Minto juga
belum menemukan bentuk hukuman yang paling tepat untuk Palembang. Untuk
itu, Lord Minto menyerahkan sepenuhnya kepada Raffles atas kebijakan yang
akan diambilnya. Atas dasar ini, Raffles memutuskan untuk mengirim ekspedisi
ke Palembang (Bastin, 1954: 72)
Menyadari bahaya akan datangnya serangan Inggris, Sultan Badaruddin II
mengumpulkan para mantri, bangsawan dan depati dari uluan untuk membahas
persiapan menghadapi serangan Inggris. Semuanya dilibatkan untuk menyiapkan
73
Klaim Inggris ini mendapat banyak bantahan, karena kapitulasi Janssens
terjadi empat hari (18 September 1811) setelah peristiwa pendudukan loji. Dengan
tegas Baud dalam Kaiser (1857:93) menyatakan bahwa “anakronisme beberapa hari
diperlukan untuk membenarkan tindakan itu”.
Universitas Indonesia
97
preseden buruk bagi raja-raja lainnya di kawasan itu. Oleh karena itu, ekspedisi
terhadap Palembang menjadi penting yang akan mengakibatkan penguasaan atas
Bangka sebagai penghasil timah dan lada akan terwujud. Dalam instruksi ini Comment [DKM99]: Kalimat ini harap ditata
kembali
terdapat pula lampiran No.4, yang berisi tentang perlunya disampaikan kepada
penduduk Palembang bahwa ekspedisi Inggris bertujuan untuk memberikan
perlindungan, meningkatkan kesejahteraan, dan membebaskan mereka dari
kesewenang-wenangan Sultan Badaruddin II. Ditegaskan pula bahwa tindakan
Inggris semata-mata untuk menghukum Sultan Palembang yang telah membunuh
para penghuni loji dan menghancurkan bangunan-bangunannya. (ANRI, Bundel
74
Benteng Borang sengaja dijadikan benteng terpenting karena berada pada
posisi yang strategis dan lokasinya jauh dari keraton, tetapi telah melewati Sunsang yang
merupakan pintu masuk Sungai Musi. Maksudnya, Borang adalah pertahanan terkuat
setelah musuh berhasil meruntuhkan pertahanan Sunsang.
75
Instruksi No. 3 dan lampirannya dibuat di Dewan Negara Batavia, pada tanggal 19
Maret 1812. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu oleh G. Kool (Java Gouvernement Gazette,
30 Mei 1812).
Universitas Indonesia
98
Palembang No. 62.2; Java Gouvernement Gazette, 2 Mei 1812 No.10; Kaiser,
1857: 93; Bastin, 1954: 70). Pengumuman kepada penduduk Palembang dianggap
penting, agar rakyat tidak melakukan perlawanan pada saat armada Inggris
memasuki wilayah Palembang. Suatu strategi untuk meminimalisir resiko pada
saat menyerang Palembang.
Pada 20 Maret 1812 Gillespie berangkat menuju Palembang dengan tujuan
untuk menyelesaikan masalah dengan Sultan Palembang dan aparatnya. Tugas
tersebut untuk menggulingkan Sultan Badaruddin II dan mengangkat adiknya
Pangeran Adipati sebagai sultan. Ia juga harus menyingkirkan Pangeran Ratu
(putera mahkota Sultan Badaruddin II). Ternyata, dalam penerapannya mandat Comment [DKM100]: Koreksi kalimat ini!
tersebut tidak kaku, Kolonel Gillespie diberi kelonggaran dengan cara melihat
situasi dan kondisi yang ada di lapangan. Jika, kondisi di Palembang tidak
memungkinkan Sultan diturunkan dari tahta,, sebagian kekayaannya harus
diserahkan kepada pemerintah Inggris (Lady Raffles, 1835:157; Bastin, 1954: 72-
73). Hal ini berarti bahwa sampai saat itu belum ada kesepakatan langkah apa Comment [DKM101]: s.d.a
76
Thorn (2004:128) berpendapat sedikit berbeda, yaitu kesatuan artileri
berkuda Madras dan pasukan kaveleri, kesatuan artileri Bengala, perlengkapan dan
kesatuan hussar Sepoy batalyon ke-5 dan ke-6.
77
Kapal perang Proeri mungkin sama dengan kapal Procris dalam sumber
Raffles atau Sloop Procris dari sumber Thorn.
Universitas Indonesia
99
Mary Ann. Keberangkatan pasukan itu sempat tertunda karena musim penghujan,
yang tengah berlangsung pada waktu itu, sehingga menghambat pelayaran (Lady Comment [DKM106]: Lengkapi!
April 1812, kondisi pelayaran tersebut kembali memburuk, sehingga mereka Comment [DKM109]: Maksudnya apa?
tidak bisa berbuat banyak, selain menyusuri sungai secara perlahan. Dalam
pelayaran tersebut, pada 20 April 1812 pagi Gillespie kembali menerima utusan
Sultan yaitu Pangeran Syarif78 (Pemimpin para sayid di Palembang), untuk
menanyakan maksud dan tujuan armada yang dipimpin Gillespie. Gillespie
menyatakan bahwa dirinya berkeinginan untuk berkenalan langsung dengan
Sultan Palembang dan membawa usulan yang diembankan kepadanya. Keesokan
harinya untuk ketiga kalinya Sultan Badaruddin II mengirimkan utusan lagi yaitu
78
Woelders (1975: 158) menyatakan bahwa utusan sultan adalah Pangeran
Marta, empat orang mentri, danmasing-masing satu orang tumenggung, rangga, dan
demang serta ngabehi. Utusan itu ditolak oleh Gllespie dengan alasan irinya bermaksud
bertemu langsung dengan Sultan, guna menyampaikan misi yang dibawanya sebagai
utusan Raffles.
Universitas Indonesia
100
Universitas Indonesia
101
Kapten Owen, melainkan Kapten Owen dengan Mayor Butler. Mereka dihadang
perahu-perahu bersenjata pada saat akan mendekati kapal milik orang Arab80.
Akibatnya terjadi pertempuran singkat dan perahu-perahu Palembang menarik diri Comment [DKM113]: Bedanya apa peperang
pertempuran dan perang??
(Java Gouvernement Gazette, 30 Mei 1812; Java Gouvernement Gazette, 4 Juli
1812; Lady Raffles, 1835: 163-166).
Malam harinya armada Inggris bergerak mendekati benteng Borang
dengan mengikutsertakan ajudan Pangeran Marto yang disandera. Melalui Kapten
R. Meares selaku penerjemah, Gillespie meminta ketegasan kepada pemimpin
benteng Borang apakah mereka akan menyerahkan kubu-kubu meriam atau tidak.
Sementara itu, kesatuan Resimen ke-59 dan ke-89 terus maju bersama dengan
kapal-kapal pengangkut yang membawa pelempar api dan artileri lapangan serta
perahu-perahu bersenjata. Pagi harinya, pada 24 April 1812, jarak antara benteng
Borang dan armada Gillespie hanya setengah tembakan meriam. Dalam kondisi
demikian, Pangeran Adipati didampingi Meares sebagai penerjemah menyerahkan
benteng kepada pimpinan pasukan ekspedisi. Selanjutnya, pasukan Inggris segera
melakukan pengambilalihan benteng Borang. Peristiwa itu sangat mengejutkan
pasukan penjaga benteng, sehingga mereka meloloskan diri dengan menggunakan
perahu-perahu dari sisi timur benteng dan bagian barat Pulau Binting. Dalam
pelarian tersebut, mereka berhasil menyelamatkan 120 meriam81. Comment [DKM114]: Di halaman 6 ada 102
meriam. Mana
Dilihat dari persiapan mempertahankan benteng Borang, dapat dipastikan
bahwa benteng itu akan sangat sulit ditembus oleh pasukan yang dipimpin oleh
Gillespie. Akan tetapi, kenyataannya benteng diterima Gillespie hampir tanpa
perlawanan sama sekali. Hal itu disebabkan adanya perintah dari Pangeran
79
Mayor Thorn yang berkedudukan sebagai wakil Markas Besar dan pelaku
dalam peristiwa tersebut, memiliki bobot kesaksian lebih besar dibandingkan Gillespie
yang menjadi memimpin umum dalam ekspedisi tersebut (2004: 136).
80
Kelompok etnis Arab berperan penting dalam penyediaan kapal-kapal dalam
perang Palembang. Mereka umumnya pemilik modal besar di Palembang, bahkan
lebih besar dari kelompok etnis Cina. Jumlah mereka pada waktu itu sekitar 500 jiwa
(Berg, 2010: 108,123).
81
Berdasarkan laporan Kolonel Gillespie kepada Raffles bahwa sebanyak 102
meriam berhasil dibawa oleh pasukan Palembang dari benteng Borang (Java
Gouvernement Gazette, 30 Mei 1812 No.10; Lady Raffles, 1835: 166 ).
Universitas Indonesia
102
telah terjadi perundingan antara Pangeran Adipati dan Meares di benteng Borang.
Hasil perundingan tersebut adalah Pangeran Adipati (Raffles tidak menyebutkan
nama pangeran yang melakukan perundingan, tetapi yang berhak berunding
tentunya Pangeran Adipati karena dialah yang menjadi pemimpin benteng
Borang) menyerahkan benteng tersebut kepada Inggris (Java Gouvernement
Gazette, 30 Mei 1812; Lady Raffles, 1835: 163-166; Woelders, 1975: 7, 91;
Thorn, 2004:137).
Kuatnya pertahanan benteng Borang membuat Gillespie kagum dan
menyatakan bahwa apabila benteng itu dipertahankan oleh prajurit pilihan dengan
sungguh-sungguh, maka kerugian yang akan dialami Inggris jauh lebih besar.
Apalagi kondisi kapal-kapal Inggris pada saat itu sangat lemah. Tambahan pula,
para serdadu khususnya Eropa tidak mampu menghadapi cuaca yang tidak
bersahabat. Hujan deras siang dan malam hari atau cuaca yang sangat terik di
siang hari yang menyebabkan banyak di antara mereka jatuh sakit. Tambahan lagi,
pada periode April sampai Juni angin berhembus sangat kencang ke Timur dan
Tenggara. Dalam kondisi demikian, Gillespie tidak yakin mampu bertahan dan
bila keadaan memaksa, kemungkinan pasukan Inggris akan mundur. Selain itu,
kapal-kapal Proeris, Teignmount dan Mercury yang dikirim dari Batavia untuk
memperkuat pasukan Inggris belum juga tiba di Palembang. Dalam keadaan
demikian, apabila pasukan Palembang melakukan penyerangan dengan kekuatan
besar, dapat dipastikan pasukan Inggris akan kalah. Pada kenyataannnya armada Comment [DKM117]: Sejarah tidak bisa
berandai-andai seperti ini.
82
Tidak diketahui kapan tepatnya perundingan tentang penyerahan benteng
Borang, antara Pangeran Adipati dan Meares dilakukan. Perundingan antara keduanya
mulai dilakukan pada 22 April 1812 malam, sedangkan penyerahan terjadi pada 24 April
1812 pagi hari. Dengan demikian, perundingan tentang penyerahan terjadi pada kisaran
waktu 22-23 April malam hari.
Universitas Indonesia
103
83
Salah seorang perwira Belanda yang terlibat dalam Perang Palembang kedua
(Oktober 1819), dan memimpin pembangunan benteng Belanda di Toboali (1820).
Universitas Indonesia
104
Apa yang dilakukan oleh Pangeran Adipati tersebut, dapat pula dikaitkan
dengan adanya utusan yang dikirimkannya sebelum 13 Desember 1811 (sebelum
komisi yang dikirim Raffles tiba di Batavia) ke Batavia. Berarti, Pangeran Adipati
cepat bertindak, dengan mengirimkan utusan ke Batavia setelah mengetahui
keputusan Sultan Badaruddin II menolak permintaan Inggris. Hal ini dapat pula
dihubungkan dengan ―sikap menolak‖ yang ditunjukkannya pada awal
pemerintahan Sultan Badaruddin II. Jika tidak ada peluang ―gagalnya‖ misi yang
diutus oleh Raffles (Nopember 1811), tentunya Pangeran Adipati tidak
mengirimkan utusan. Terbukti tidak ada pengiriman utusan dari Pangeran Adipati
sebelum Nopember 1811. Utusan itu membawa berita tentang peristiwa Loji
Sungai Aur kepada para pejabat Inggris di sana. Artinya, walaupun keberangkatan
Gillespie memimpin ekspedisi ke Palembang belum memegang mandat pasti
apakah akan menurunkan Sultan Badaruddin atau mengangkat Pangeran Adipati,
tergantung kondisinya. Meskipun demikian, mengangkat Pangeran Adipati sudah
menjadi salah satu alternatif. Artinya, misi yang dikirimkan oleh Pangeran Adipati
ke Batavia pada Desember 1811 berhasil dengan baik.
Lebih lanjut Sevenhoven (1971: 51-52) menyatakan, bahwa ketidakakuran
keduanya dikaitkan dengan adanya tahayul bahwa pada masa keturunan yang
ketujuh, dari keturunan raja-raja yang memerintah di Kesultanan Palembang, yang
akan menjadi sultan bukan putera mahkota tapi anak laki-laki yang lain atau
bahkan putera bungsu. Seberapa jauh pengaruh tahayul tersebut, sulit
diperkirakan, yang jelas dengan adanya sumber tersebut, berarti pada saat itu hal-
hal yang berbau tahayul masih cukup berkembang di Palembang. Selama delapan
tahun masa pemerintahan Sultan Badaruddin II, tidak terdapat celah bagi
Pangeran Adipati untuk mewujudkan keinginannya menjadi sultan. Kesempatan
itu terbuka dengan hadirnya ekspedisi Inggris, ketika posisinya pada waktu itu
sebagai panglima perang yang berhak memutuskan perang atau damai.
Keputusannya untuk melakukan perdamaian terlihat dilakukan secara tergesa-
gesa. Pangeran Adipati tidak sempat memberitahukan kesepakatan tersebut
kepada anggota pasukannya, atau hal tersebut sengaja dilakukan agar pasukan
yang bertugas mempertahankan benteng tidak dalam kondisi ―siaga‖. Hal itu
terbukti mereka terkejut atas kehadiran pasukan Inggris yang menyerang secara
Universitas Indonesia
105
84
Menurut Gillespie, Sultan Badaruddin II telah memerintahkan tenaga kuli
sebanyak dua ratus orang untuk membawa sebagian besar harta bendanya ke dalam
hutan, di bawah pimpinan Pangeran Ratu. Harta-harta tersebut ditimbun di dalam
tanah, setelah penimbunan selesai, semua tenaga kuli dibunuh agar tidak diketahui oleh
siapapun (Lampiran No.6 dalam Java Gouvernement Gazette, 30 Mei 1812).
Universitas Indonesia
106
dari Pangeran Sjarif. Dengan mundurnya Sultan Badaruddin II ke uluan, ibu kota
Palembang mengalami kekacauan. Pasukan dari uluan dipersiapkan Sultan untuk
menghadapi pasukan Inggris. Setelah menyadari Sultan dan keluarganya telah
mundur ke uluan, pasukan dari uluan berubah menjadi anarkis. dan menimbulkan
kekacauan khususnya di ibu kota Palembang. Sementara itu, Panglima Gillespie
bersama-sama dengan Pangeran Sjarif, Meares, Villneruhy (orang Spanyol yang Comment [DKM121]: Pilih salah satu saja!
juga berfungsi sebagai penerjemah bahasa Melayu), Kapten Bowen (angkatan laut
kerajaan), Mayor Butler (ajudan jenderal), Mayor Thorn, 10 orang serdadu
pelempar granat, Letnan Monday, R.N dan Letnan Forrest dari kapal Phoenix
serta anggota pasukan yang tersisa, di bawah komando Letnan Kolonel McLeod
dari Kesatuan Grenadir ke-59 memasuki kota untuk mengamankan keadaan yang
tengah kacau (Java Gouvernement Gazette, 2 Mei 1812 No.10; Thorn, 2004: 139-
140; Lady Raffles, 1835: 168).
Armada Inggris yang membawa Gillespie dan rombongan merapat di
depan keraton pada sekitar pukul 20.00. Di gerbang besar dan pelataran keraton
mereka menemukan kondisi yang kacau. Kekacauan itu disebabkan, para
pendukung Sultan Badaruddin II yang dipersiapkan untuk menghadapi pasukan
Inggris, melakukan penghancuran terhadap keraton dan tempat-tempat penting
lainnya, setelah Sultan mundur ke uluan. Pada saat Gillespie akan mendekati
keraton, terjadi insiden yang hampir membahayakan dirinya. Pada saat itu
seseorang berhasil menyelinap dan melakukan penyerangan dengan menggunakan
pisau yang telah dilumuri racun, namun disaat kritis itu Gillespie berhasil
menyelamatkan dirinya, sedangkan penyerangnya berhasil meloloskan diri.
Selanjutnya, dalam rangka menguasai keraton, terjadi pertempuran antara pasukan
Gillespie dan para pendukung Sultan. Pertempuran itu terus berlangsung dengan
sengit. Mendekati tengah malam posisi pasukan Belanda semakin kuat dengan
tibanya tambahan pasukan sebanyak 60 orang serdadu dari Resimen ke-89 di
bawah pimpinan Mayor Trench. Akibatnya, mereka berhasil mengendalikan
keadaan di dalam dan luar keraton. Banyak korban jatuh dalam pertempuran itu,
baik dari pihak Palembang maupun Belanda, namun tidak ditemukan data jumlah
korban yang tewas atau luka-luka. Dari berbagai sumber yang ada, hanya
disebutkan bahwa sejak kedatangan pasukan Gillespie mereka menemukan
Universitas Indonesia
107
kondisi yang kacau, tidak hanya di sekitar keraton juga diseluruh ibu kota
Palembang. Orang-orang Cina umumnya menjadi korban, baik harta maupun
nyawa dalam kondisi tersebut. (Thorn, 2004: 139-143; Lady Raffles, 1935: 169-
170)
Keesokan harinya tiba pula Letnan Kolonel McLeod dengan pasukannya,
sehingga kekuatan militer Belanda semakin besar dan mampu menguasai keraton
dan ibu kota Palembang. Dari hasil pengamatan mereka tampak bahwa keraton
dipertahankan dengan 240 pucuk meriam, namun semua itu tidak ada artinya Comment [DKM122]: Dengan
karena telah ditinggalkan oleh pimpinannya, sebagai akibat dari lepasnya benteng
Borang. Setelah itu, Panglima Gillespie membebaskan sisa penghuni loji Belanda Comment [DKM123]: Kalimat Anda!!!
yang dikuasai pasukan Palembang pada September 1811. Mereka terdiri dari
perempuan dan anak-anak. Mereka dijadikan budak atau keluar dari Comment [DKM124]: Loji yang mana lagi
ini???
persembunyian mereka di hutan (Lady Raffles, 1835:171; Thorn, 2004: 142-143).
Dengan demikian, langkah pertama yang diambil oleh Gillespie adalah
menyelamatkan sisa penghuni Loji Belanda yang masih selamat setelah tujuh
bulan berada dalam kondisi serba kekurangan.
Menurut data arsip (Bundel Palembang No. 67) bahwa penghuni loji
sebanyak seratus sepuluh orang, sedangkan yang dibunuh di muara Sunsang Comment [DKM125]: Loji di mana? Sungai
Sungsangkah??
sebanyak 87 orang. Disebutkan pula bahwa yang selamat hanya satu orang yaitu
Willem van de Wateringbuis. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebanyak 22 orang
lainnya adalah perempuan dan anak-anak yang berhasil melarikan diri ke hutan
atau dijadikan budak. Meskipun ibu kota telah berhasil dikuasai oleh pasukan
Inggris, pada malam 26 April 1812 kembali pasukan Palembang yang tersisa
melancarkan serangan. Pasukan Palembang berusaha menghancurkan armada
Inggris, namun serangan itu berhasil dipatahkan oleh pasukan Inggris. Selanjutnya
pasukan Inggris berhasil menguasai sepenuhnya ibu kota kesultanan. Pada siang Comment [DKM126]: Siapa mereka itu???
Universitas Indonesia
108
85
Dalam lampiran No. 6 surat Panglima Gillespie yang ditujukan kepada
Sekretaris Pemerintah, disebutkan bahwa ia telah mengangkat Pangeran Adipati
sebagai sultan atas permintaan Pangeran Adipati sendiri. Pengangkatan itu didasarkan
atas jasa-jasanya dan dukungan rakyat, kelompok etnis Arab dan Cina di Palembang.
Terbukti pada saat pelantikan rakyat hadir dipimpin para depati, saat memberikan
penghormatan mereka mencium tangan, lutut atau kaki Sultan. ( Java Gouvernement
Gazette, 30 Mei 1812 ; Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812).
Universitas Indonesia
109
Palembang. Pangeran Adipati memasuki Balai Umum pada pukul 09.30, di sana
sudah tersedia tahta yang di dekatnya terdapat payung sutera kuning (warna
khusus untuk Sultan di keraton Palembang). Pangeran Adipati dan Gillespie
duduk di tempat yang ditutupi seprei warna merah tua sebelah kiri tahta. Setelah
itu, pada pukul 10.00 Gillespie membimbing dan mendudukkan Pangeran Adipati
di atas tahta, diiringi tembakan penghormatan sebanyak 21 kali dan pengibaran
panji-panji kesultanan Palembang di dinding keraton menggantikan bendera
Inggris. Pangeran Adipati yang kini telah menjadi Sultan, menerima ucapan
selamat dari para bangsawan, perwira Eropa dan rakyat Palembang (ANRI, Bundel
Palembang No. 67; Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Woelders, 1975: 93;
Kielstra, 1892: 82; Thorn, 2004: 152-155).
Berpindahnya kekuasaan di Kesultanan Palembang dari Sultan Badaruddin
II kepada Sultan Najamuddin II, menandakan bahwa di kesultanan itu kekuasaan
Sultan Badaruddin II cukup rapuh, sehingga dengan mudah berpindah tangan.
Peristiwa itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Tarling (1994:131)
bahwa kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara pada awal abad XIX, lembaga
pemerintahannya umumnya bersifat informal, tidak permanen dan pribadi, serta
mudah berubah. Kondisi demikian, mengakibatkan sering terjadi persaingan
antara sesama golongan bangsawan atau elite lokal dalam memperebutkan tampuk
kekuasaan. Dalam kaitannya dengan Kesultanan Palembang, jelas terlihat yaitu
terjadinya persaingan antara dua bersaudara kandung yang berujung pada
perpindahan kekuasaan dengan memanfaatkan bangsa asing yaitu Inggris.
Pada 17 Mei 1812 (5 Jumadilawal 1227), Sultan Najamuddin II memasuki
keraton Kuta Besak, dan pada hari itu juga Sultan Najamuddin II disodori sebuah
kontrak oleh Inggris. Isinya menyatakan bahwa Sultan menyerahkan kepada
pemerintah Inggris dan Kompeni India Timur Inggris, Pulau Bangka dan Belitung
serta pulau-pulau yang tunduk padanya (cede to his Majesty the King of Great
Universitas Indonesia
110
Britain and to the honorable East India Company in full and unlimited
sovereignty, the islands of Banca and Billiton, and the islet thereon depending) Comment [DKM129]: ?
(ANRI, Bundel Palembang No. 5,1; No. 67; ANKL, The Asiatic Journal, 1819, vol
7).
Dalam laporannya kepada Raffles, Gillespie menyatakan bahwa semua
dokumen telah dibuat dan disahkan tentang penyerahan Pulau Bangka dan
Belitung untuk kepentingan Inggris. Dalam kontrak disebutkan pula bahwa Sultan
Najamuddin II akan mengambil alih harta kekayaan Sultan Badaruddin II.
Sebagian hasilnya akan diserahkan kepada Inggris, sebagai ganti rugi ekspedisi
penaklukan Palembang. Sultan juga harus mencari pelaku pembunuhan terhadap
orang-orang Belanda pada 1811. Sesudah itu, Sultan Najamuddin II harus
melakukan pembalasan terhadap para pelaku pembunuhan tersebut. Harta
kekayaan mereka harus menjadi milik para janda dan anak-anak dari korban
pembunuhan tersebut86. Najamuddin II juga wajib memasok kebutuhan makanan
Inggris di Bangka dan agen-agennya di Palembang, juga harus mengirimkan
utusan ke Batavia (Lady Raffles, 1835: 178-179; Kaiser, 1857: 94-95).
Poin-poin yang termaktub di dalam kontrak tersebut, sangat merugikan
Kesultanan Palembang, khususnya penyerahan Pulau Bangka Belitung, sedangkan
pendapatan utama kerajaan itu adalah dari perdagangan timah. Dalam kondisi
demikian, Najamuddin II juga dituntut untuk mengganti rugi biaya ekspedisi yang
jumlahnya tidak sedikit, ditambah kewajibannya memasok kebutuhan makanan
bagi Inggris di dua lokasi (Muntok dan Paembang). Tuntutan agar Sultan
Najamuddin II mengambil harta Sultan Badaruddin II, jelas tidak dapat terlaksana,
karena harta Sultan Badaruddin II telah diangkut ke uluan. Jadi, keinginan Sultan
Najamuddin II untuk berkuasa dengan memanfaatkan Inggris harus dibayar mahal
dengan berbagai ketentuan di atas. Hal tersebut sama dengan apa yang
digambarkan oleh Nategaal dalam karyanya Riding the Dutch Tiger: The Dutch
East Indies Company and The Northeast Coast of Java 1680-1743 (1996), bahwa
keinginan para penguasa Jawa untuk memanfaatkan VOC demi kepentingan
86
Berdasarkan laporan Gillespie kepada Raffles, disebutkan bahwa beberapa poin dari
perjanjian 17 Mei 1812 yaitu tentang ―semua penasihat dan provokator dalam peristiwa
pembantaian 1811 diperlakukan dengan kejam, kekayaan mereka disita dan sebagian akan
digunakan untuk membiayai kebutuhan para janda dan anak-anak yatim korban pembunuhan‖,
berasal dari Sultan Najamuddin II (Java Gouvernement Gazette, 18 Juni 1812 No.16).
Universitas Indonesia
111
mereka, justru yang terjadi adalah mereka dikendalikan oleh VOC dengan
berbagai konsesi yang dituntutnya.
Setelah tujuan ekspedisi tercapai, Kolonel Gillespie meninggalkan
pasukan sebanyak 100 orang87 terdiri dari perwira dan serdadu (orang Sepoy dan
orang Ambon) dan satu buah kapal perang. Tugas pasukan itu adalah mengawasi
pelaksanaan kontrak Palembang-Inggris dan melakukan perlindungan dalam
rangka pemulihan dan kestabilan keamanan di Palembang. Untuk memasok
barang-barang kebutuhan untuk Pulau Bangka, Gillespie mengangkat Villeroube88
sekaligus menjadikannya sebagai mata-mata dengan gaji 350 dolar Spanyol per
bulan. Setelah segala sesuatunya selesai, Gillespie menuju Pulau Bangka dalam
rangka mengambil alih pulau tersebut. Sebelumnya Gillespie telah
89
memerintahkan Mayor Raban untuk menguasai Pulau Bangka . Armada yang
ditumpangi Gillespie merapat di Muntok pada 19 Mei 1812.
Pulau Bangka diterima secara resmi oleh Inggris pada 20 Mei 1812.
Penyerahan ini bersifat mutlak dan tidak terbatas. Dengan demikian, Pulau
Bangka-Belitung sepenuhnya menjadi milik Inggris. Gillespie mengganti nama
Pulau Bangka dengan ―Duke of York‖ sebagai bentuk penghormatan terhadap
Duke of York, paman raja Inggris George III . Sementara itu, nama kota Muntok
digantinya menjadi Minto sesuai dengan nama Gubernur Jenderal Lord Minto
yang berkedudukan di Calcutta India (Lady Raffles, 1835: 179).
Gillespie juga mengangkat Meares sebagai residen Bangka dan
Palembang, dengan pangkat Mayor. Wewenang yang diberikan kepadanya bidang
sipil dan militer. Dengan kekuasaan yang cukup besar itu, Gillespie
mengharapkan R. Meares mampu mengendalikan kedua wilayah tersebut dengan
baik. Untuk kelengkapan urusan pemerintahan, Gillespie mengangkat Perkin
87
Sumber lain menyebutkan bahwa pasukan yang ditinggalkan oleh Gillespie di
Palembang adalah 400 orang serdadu, dua kapal, dua kici, tujuh langbut dan sepuluh
lanca (Woelders, 1975: 159).
88
Seorang bangsawan Spanyol yang ikut dalam ekspedisi, ia berinisiatif agar
dirinya tetap ditempat di Palembang (ANKL, House of Lord, vol.19, 1835).
89
Untuk menguasai Pulau Bangka, langkah yang diambil oleh Mayor Raban adalah
melakukan pendekatan kepada para kepala daerah di pulau itu agar mereka mendukung kekuasaan
Inggris. Usaha itu cukup berhasil, terbukti mereka bersumpah setia kepada Inggris (ANKL, House
of Lord, vol.19, 1835).
Universitas Indonesia
112
90
Letnan Gubernur Jenderal Raffles, di Semarang mengeluarkan Perintah
Umum yang berisi ucapan terimakasih kepada Kolonel Gillespie atas jasa-jasa dan
keberanian yang luar biasa dalam melakukan penaklukan terhadap Palembang (Java
Gouvernement Gazette, 18 Juni 1812 No.16).
91
Berdasarkan informasi lisan diketahui bahwa jarak dari Boya Langu (sekarang
disebut Bailangu,yaitu sebutan sultan Palembang terhadap daerah tersebut karena
disaat sultan tiba di sana, ia melihat ada perempuan yang tengah duduk termangu
(bai=perempuan, langu=termangu) ke ibu kota Palembang selama lima hari lima malam
dengan perahu. Sebaliknya, dari ibu kota ke Boya Lango membutuhkan waktu lebih
lama, yaitu tujuh hari tujuh malam (wawancara dengan Bapak Adenin usia 83 tahun
pada 28 Juni 2011 di desa Bailangu)
Universitas Indonesia
113
dukungan dari penduduk uluan yang terdiri dari dari orang-orang Rawas, Melayu
dan Minangkabau. Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah memblokade
daerah uluan khsususnya hulu Sungai Musi tempat pusat kekuasaan Sultan.
Dengan blokade tersebut, ibu kota Palembang akan mengalami kesulitan
mendapatkan bahan makanan. Hal tersebut disebabkan kebutuhan hidup (bahan
baku dan komoditi ekspor) ibu kota sangat tergantung pada suplai dari uluan92
(ANRI, Bundel Palembang No. 67; Stapel,1940: 98; Kielstra, 1892: 82). Besarnya
dukungan yang diberikan oleh penduduk uluan terhadap Sultan Badaruddin II,
menunjukkan bahwa selama pemerintahannya rakyat merasakan kenyamanan dan
ketenangan. Tudingan para tokoh Belanda (antara lain Sevenhoven, dan
Muntinghe) bahwa bentuk pemerintahan tradisional membuat rakyat menderita
tidak terbukti. Menurut Tarling (1994:134), ikatan kesetiaan rakyat terhadap
rajanya tergantung pada kuat atau lemahnya kekuasaan raja. Raja yang kuat akan
mampu mengontrol rakyatnya sedemikian rupa sehingga rakyat patuh padanya,
demikian pula sebaliknya, rakyat akan berpaling jika kekuasaan raja lemah.
Dukungan yang diberikan rakyat uluan kepada Sultan Badaruddin II
menunjukkan besarnya pengaruh Sultan terhadap rakyat, baik melalui kekuasaan
politik, keuangan, maupun kharisma. Imbalan yang diterima rakyat dari kesetiaan
itu adalah keamanan, kemakmuran, dan status93. Hal seperti itu tidak dimiliki oleh
Sultan Najamuddin II yang memperoleh kekuasaan politik melalui campur tangan
asing.
Menyadari apa yang dilakukan oleh Sultan Badaruddin II di pedalaman, dan
adanya desas-desus tentang akan adanya penyerangan terhadap ibu kota dari
daerah Boya Lango, Sultan Najamuddin II memberitahukan masalah tersebut
kepada Kapten R. Meares di Muntok. Berdasarkan laporan tersebu,t Meares
92
Sungai Musi merupakan induk dari sungai-sungai (Batanghari Sembilan) yang
ada di Kesultanan Palembang. Terdapat dua sungai yang bermuara di ibu kota
Palembang, yaitu Sungai Komering dan Sungai Ogan. Walaupun demkian, posisi Sultan
Badaruddin II di hulu Sungai Musi mengakibatkan kebutuhan hidup penduduk di ibu
kota menjadi terganggu. Hal itu tergambar jelas dari sumber-sumber sejarah seputar
masa pendudukan Inggris di Kesultanan Palembang kurun waktu 1812-1813.
93
Sultan Badaruddin II mengangkat orang-orang yang berjasa dengan gelar-gelar
kehormatan, memberi hadiah-hadiah baik berupa uang maupun pesalin atau pakaian
dengan segala atributnya yang merupakan simbol status seseorang atau kelompok.
Periksa Woelders, 1975: 162.
Universitas Indonesia
114
94
Pernyataan resmi atas wafatnya Kapten R. Meares dikeluarkan Raffles pada
tanggal 22 Oktober 1812. Dalam laporannya kepada Raffles pada 15 April 1812, Kolonel
Gillespie menggambarkan Kapten R. Meares sebagai orang yang berkualitas, baik
sebagai ajudan maupun sebagai penerjemah (Java Gouvernement Gazette, 30 Mei
1812).
Universitas Indonesia
115
Palembang No. 5.1; No. 67; Java Gouvernement Gazette,30 Mei 1812 Java
Gouvernement Gazette; 4 Juli 1812; Java Gouvernement Gazette 24 Oktober
1812 No. 35).
Dalam pertempuran tersebut pasukan Badaruddin II berhasil merebut
sembilan meriam milik pasukan Meares. Kerugian besar bagi Badaruddin II
adalah tertangkapnya Pangeran Wirodinoto, salah seorang pembantu terdekatnya.
Kepada pimpinan pasukan Inggris, Sultan Badaruddin II meminta agar Pangeran
Wirodinoto tidak dibunuh tetapi diasingkan. Dalam perjalanan menuju Batavia
Pangeran Wirodinoto wafat. Tidak disebutkan penyebab kematiannya. Permintaan
khusus yang disampaikan oleh sultan Badaruddin II mengisyaratkan adanya
kekhawatiran Sultan atas keselamatan Pangeran Wirodinoto (Java Gouvernement
Gazette, 24 Oktober 1812 No. 35; Woelders, 1975: 94).
Setelah kubu pertahanan di Boya Lango mengalami kehancuran, Sultan
Badaruddin II mundur dan mendirikan benteng di Tanjung Rawas Mata daerah
Muara Rawas. Di tempat baru itu, kembali Sultan mendirikan kubu pertahanan
dan menyusun kekuatan. Sultan menghimpun orang-orang Musi, Bliti, Batu
Kuning, Kikim, Melayu Kerinci, Pegagan dan Rawas. Bahkan, Sultan mendapat
bantuan dari Sultan Jambi. Sultan mengangkat empat panglima perang, yaitu
Panglima Perang Besar, Panglima Didalam Raja, Panglima Besar Raja dan
Panglima Muda. Mereka masing-masing diberi lambang kebesaran berupa: kain,
baju, sapu tangan, ikat pinggang, dan pedang. Mereka semuanya bersumpah setia
untuk mendukung sultan dengan upacara penyembelihan kerbau (Woelders, 1975:
162).
Berkaitan dengan hal itu, Sultan Najamuddin II memerintahkan untuk
segera mendirikan benteng di sebelah hilir Muara Rawas. Tujuannya adalah untuk
menahan serangan dari pasukan Sultan Badaruddin II. Sultan Najamuddin II
membuat kebijakan, yaitu tidak memperkenankan orang-orang dari ibu kota
mudik ke Muara Rawas, namun menerima kehadiran orang-orang dari Muara
Rawas ke ibu kota. Semua itu terjadi karena adanya kekhawatiran Sultan
Najamuddin II terhadap orang-orang yang mudik ke Muara Rawas dan tidak
kembali lagi ke ibu kota, yang berarti akan mengurangi jumlah penduduk atau
bahkan pasukan di sana. Sebaliknya, pasukan Sultan Badaruddin II di Muara
Universitas Indonesia
116
Rawas akan menambah kekuatannya. (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Comment [DKM133]: Siapakah –nya di sini?
Universitas Indonesia
117
tidak menjalankan tugasnya, tetapi malah melarikan diri (Kielstra, 1892: 83;
Sturler, 1843:9).
Disini tampak bahwa para bangsawan dan rakyat lebih mendukung Sultan
Badaruddin II yang berada di uluan daripada Sultan Najamuddin II yang berusaha
menguasai keraton. Peristiwa tersebut membuktikan besarnya dukungan
bangsawan dan rakyat Palembang kepada Sultan Badaruddin II. Penjelasan ini
mematahkan apa yang digambarkan oleh Gillespie tentang Najamuddin II yang
dicintai oleh rakyatnya, Gillespie hanya melhat dari banyaknya penduduk yang
menghadiri upacara pelantikan Najamuddin II. Hal itu pula yang menjadi salah
satu pertimbangan Gillespie mengangkat Najamuddin II. Sebagai penguasa
pendatang di daerah tersebut, Gillespie tidak memahami kondisi kerajaan
Palembang dan rakyatnya serta kapasitas dan kapabilitas Sultan Najamuddin II.
Oleh karena itu, Robison berketetapan hati untuk membuka perundingan dengan
Sultan Badaruddin II.
Pada 18 Juni 1813 Pangeran Adipati (adik kedua Sultan Badaruddin II)
dan Pangeran Aryo Kesumo (adik bungsu Sultan Badaruddin II) menemui Mayor
Robison. Pada kesempatan itu keduanya menjelaskan bahwa rakyat Kesultanan
Palembang tidak mendukung Najamuddin II sebagai sultan. Mempertahankan
Najamuddin II adalah sia-sia. Mengenai peristiwa loji Sungai Aur, kedua
pangeran itu berpendapat bahwa kedua sultan (Badaruddin II dan Najamuddin II)
sama-sama bersalah95. Semua informasi itu diterima dan ditelaah dengan baik
oleh Mayor Robison. Berbekal informasi-informasi yang diterimanya, Mayor
Robison memutuskan untuk melakukan perundingan dengan Badaruddin II. Pada
19 Juni 1812 Mayor Robison dan rombongannya berangkat menuju Muara
Rawas. Setiba mereka di sana disambut oleh Sultan Badaruddin II dengan penuh
rasa persahabatan (Bastin, 1954: 74; Woelders, 1975: 9).
Pertemuan pertama terjadi pada 27 Juni 1813. Mayor Robison meminta
penjelasan kepada Sultan Badaruddin II tentang sikapnya terhadap Inggris pada
ekspedisi 1812. Sultan Badaruddin II menjelaskan latar belakang keputusannya
untuk mundur ke daerah uluan. Hal itu disebabkan utusan yang dikirimkannya
95
Dalam arsip Bundel Palembang No 5.1, disebutkan bahwa di mata pemerintah
Belanda, Najamuddin II tidak melakukan tindakan untuk menentang atau mencegah
terjadinya peristiwa pembunuhan orang-orang Belanda 1811.
Universitas Indonesia
118
b) Sultan harus menyetorkan 15000 pikul lada setiap tahun dengan harga 3
dolar Spanyol per pikul, lada itu harus diserahkan di gudang Inggris di
Muntok.
c) Sultan Palembang harus membangun loji Belanda yang telah hancur atau
menggantinya dengan uang sebesar 20000 dolar Spanyol kepada Inggris.
d) Sultan akan mengesahkan penyerahan Pulau Bangka-Belitung dan pulau-
pulau disekitarnya kepada Inggris.
Universitas Indonesia
119
96
Fenomena tersebut dapat dikaitkan dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang
ini, dalam kaitannya dengan pemilihan secara langsung terhadap kepala-kepala daerah
atau pusat, yang sangat rawan “Politik Uang”. Akibatnya, dana yang besar yang telah
dikeluarkan menuntut pihak yang terpilih untuk “mengembalikan” dana yang sudah
Universitas Indonesia
120
hilang sama sekali. Tambahan pula, kondisi yang terus bergolak antarkedua
pendukung akan membuat rakyat semakin menderita.
Berdasarkan temuannya di uluan tentang peristiwa September 1811,
Residen Robison sampai pada kesimpulan bahwa telah terjadi ―pembunuhan
karakter‖ atas Badaruddin II. Kenyataannya Badaruddin II seorang yang sangat
taat, penuh kasih dan perhatian terhadap anak-anak dan saudaranya serta bersikap
liberal terhadap para bangsawan. Setelah para bangsawan mengetahui adanya
perjanjian antara Sultan Badaruddin II dan Mayor Robison, sebagian besar dari
mereka berangkat ke Muara Rawas, meninggalkan Sultan Najamuddin II untuk
menemui Sultan Badaruddin II dan menyatakan tunduk kepadanya. Setelah
urusannya di Kesultanan Palembang dianggap selesai, Mayor Robison kembali ke
Batavia pada akhir Juli 1813. Sesuai perjanjian, Mayor Robison membawa
Pangeran Ratu, beberapa priyayi dan menteri. Sementara itu, Najamuddin II juga
mengirim Pangeran Wiradiraja sebagai utusan ke Batavia dan uang empat puluh
laksa ringgit untuk diserahkan kepada penguasa Inggris di Batavia. Dalam Comment [DKM134]: Untuk apa???
dikeluarkan. Keadaan ini membuat makin “suburnya” korupsi di segala lini. “Janji-janji”
yang diumbar kepada rakyat pemilih “hanya tinggal janji”.
Universitas Indonesia
121
97
Menurut Stapel (1940: 85), Sultan Najamuddin II mendapat gelar Sultan Ogan
sebagai pengganti gelar Sultan Bangka yang sebelumnya telah diberikan kepadanya.
Setelah Sultan Badaruddin II wafat, kemungkinan dirinya diperbolehkan
menggantikannya.
Universitas Indonesia
122
ini juga merupakan bukti bahwa Najamuddin II tidak memiliki pengaruh apapun
di Kesultanan Palembang.
Apa yang dilakukan oleh Mayor Robison terjadi tanpa sepengetahuan
pemerintah Inggris di Batavia98, sehingga ditolak oleh pemerintah Inggris dan
mengambil tindakan untuk memulihkan kedudukan Najamuddin II sebagai satu-
satunya sultan. Pemerintah Batavia mengirimkan dua ratus pasukan darat dan laut
untuk menurunkan Badaruddin II. Colebrooke diangkat sebagai komandan
ekspedisi, agen polisi dan residen untuk Bangka-Palembang. Tugasnya
membentuk komisi untuk memulihkan jabatan Najamuddin II. Pasukan ekspedisi
ini tiba di Palembang pada 13 Agustus 1813. Keesokan harinya (14 Agustus
1813) digelar upacara penurunan Sultan Badaruddin II dan penobatan kembali
Sultan Najamuddin II dengan pembacaan dekrit yang dikeluarkan di Batavia 4
Agustus 1813 (7 Syaban 1228 Hijriah). Pemerintah Inggris mengembalikan semua
uang yang telah diserahkan oleh Badaruddin II kepada Mayor Robison, beserta
bunganya. Selama masa pemerintahan Sultan Badaruddin II yang singkat, ia telah
menunjukkan kesetiaan kepada Inggris. Atas kesetiaan itu, Raffles memberikan
ampunan dan perlindungan kepada Badaruddin II, dengan syarat Badaruddin II
tidak melawan Sultan Najamuddin II, demi terciptanya perdamaian di Palembang
(ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; No.67; Bataviaasche Courant, 4 Agustus Comment [DKM136]: Menyebut ANRI nya
sekali saja.
1821; Kaiser, 1857: 95; Stapel, 1940: 98-99; Kielstra, 1892: 85).
Untuk itu, pemerintah Inggris mewajibkan Sultan Najamuddin II untuk
memenuhi kebutuhan makanan Badaruddin II berupa dua koyang beras setiap
bulan dan sewaktu-waktu menyediakan seratus orang pendayung dan dua ratus
orang pekerja (Perjanjian 21 Agustus 1813 pasal 7), serta menyediakan sebidang
tanah untuk berburu. Badaruddin II yang sudah dua kali diturunkan dari tahta,
sangat marah dengan adanya dekrit tersebut. Akan tetapi ia pasrah dengan
nasibnya dan memilih untuk tetap tinggal di ibu kota Palembang sebagai orang
biasa yang menempati keraton Kuto lamo. Dengan tetap tinggalnya Sultan
Badaruddin II di ibu kota Palembang, kondisi di uluan menjadi tenang. Hal ini
tidak terlepas dari usaha pemerintah Inggris menjaga keamanan di Kesultanan
98
Dengan peristiwa tersebut Robison dipecat, posisinya digantikan oleh
Colebrooke (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Kaiser, 1857: 95).
Universitas Indonesia
123
Palembang. Sementara itu, kedua orang puteranya tetap dibawa ke Batavia sesuai
perjanjian antara Sultan Badaruddin II dan Mayor Robison (ANRI, Bundel
Palembang No. 67; No. 5.1; Kemp, 1900: 336-337; Woelders, 1975: 96). Comment [DKM137]: s.d.a
Universitas Indonesia
124
99
Terjadi perbedaan pendapat antara Raffles dan Gubernur Jenderal Lord
Minto tentang uang sogokan yang dipermasalahkan oleh Raffles. Ada dua kemungkinan
hal itu terjadi, pertama, karena Robison tidak terbukti melakukan hal itu, kedua, eratnya
hubungan antara Robison dan Lord Minto, sehingga Minto melindunginya. Akan tetapi,
pembelaan Minto tidak membatalkan pemecatan Robison sebagai residen Inggris di
Palembang. Itu semua membuktikan bahwa otonomi penguasa Inggris di daerah koloni
besar.
100
Pada saat pendudukan Pulau Jawa, Robison bertugas sebagai ajudan Gubernur
Jenderal Lord Minto. Selanjutnya menjadi sekretaris pemerintah Inggris di Batavia. Sejak itulah
telah terjadi pertentangan antara Raffles dan Robison. Dengan tuduhan Robison terlibat dalam
Universitas Indonesia
125
beberapa kekacauan, ia dipecat oleh Raffles (laporan kepada Lord Minto pada bulan Januari 1812).
Raffles baru menerima Robison kembali dengan mengangkatnya sebagai Residen Bangka-
Palembang. Peristiwa pengangkatan kembali Badaruddin II sebagai sultan oleh Robison
menyebabkan Raffles berang dan melaporkan hal ini kepada Lord Minto di Calcutta. Akan tetapi
laporan ini tidak mendapat tanggapan, sehingga Raffles membawanya ke London (Kemp, 1900:
75; Kemp, 1898: 335). Sementara itu, Badaruddin II juga melakukan pembelaan diri. Surat-surat
pembelaannya diserahkan oleh Robison pada pemerintah Inggris di Calcutta tahun 1814. Dalam
pembelaannya Badaruddin II mengajukan permintaan agar kedudukannya dipulihkan (Kaiser,
1857: 96; Bastin, 1954: 77).
Universitas Indonesia
126
101
Batin adalah gelar kepala wilayah di Johor (sekarang Lingga dan Singapura), posisinya
berada di bawah Orang Kaya dan di atas Pengulu. Kemungkinan hal itu dapat dikaitkan dengan
banyaknya orang Johor di Pulau Bangka. Batin diangkat sultan Palembang yang berfungsi sebagai
pemimpin penduduk pada wilayah tertentu di Pulau Bangka. Penduduk Bangka sangat taat pada
para depati/batin. Mereka menyerahkan persembahan berupa beberapa gantang padi setiap
tahunnya kepada para depati/batin. Di Kesultanan Palembang, kata Batin berkembang menjadi
Perwatin atau Proatin (orang yang memiliki kekayaan lebih dari masyarakat umumnya yang juga
bisa diartikan sebagai ―anak buah‖ Depati) (Clercq, 1845: 125; Korten Schets.., 1846: 132-133).
Universitas Indonesia
127
Universitas Indonesia
128
Universitas Indonesia
129
benteng itu strategis102, perairannya dalam, dan tanah di sekitar benteng Nugent
kering, sehingga memudahkan kapal-kapal Inggris merapat. Tambahan pula, dan
perahu-perahu dapat merapat ke pantai. Di sisi timur Pulau Bangka juga akan
dibangun Fort Wellington untuk menghormati Jenderal Lord Viscount
Wellington, dari angkatan darat Inggris (ANKL, House of Lord vol.19, 1835; Java
Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Thorn, 2004: 173; Waey, 1875: 102; Veth,
1959: 534).
Sesuai dengan tujuan utama Inggris menduduki Kesultanan Palembang
untuk menguasai Pulau Bangka, sejak diserahkan berdasarkan Perjanjian 17 Mei
1912, Pulau Bangka dikelola dengan baik di bawah pimpinan residen militer
Kapten R. Meares, Mayor W, Robison, Colebrooke dan Mayor M.H. Court.
Inggris membuka lahan-lahan pertambangan timah baru, mendatangkan pekerja
dari Kanton Cina, memberantas penyelundupan. Akibat kebijakan tersebut
produksi timah meningkat empat kali lipat pada kurun waktu 1814-1816 (lihat
tabel 1 dan 2) (Woelders, 1975: 10). Pemerintah Inggris juga menerapkan harga
yang layak untuk timah yaitu delapan dollar Spanyol per pikul, sebagai usaha
menghindari terjadinya perdagangan gelap sebagaimana selama ini terjadi pada
masa pemerintahan Belanda (Inggris terlibat secara aktif di dalamnya). Strategi itu
ternyata tidak menguntungkan pemerintah Inggris, sehingga dibentuk sebuah
komisi yang dipimpin oleh Dr. Horsfield (orang Amerika) guna menyelidiki hal
tersebut. Ia juga melakukan penelitian tentang kekayaan alam Pulau Bangka
sekaligus mengeksploitasi lahannya (Bastin, 1954: 98; Korte Schets…,1846:126).
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian itu adalah bahwa pola
eksploitasi harus diubah yaitu dengan cara sistem pengupahan timah secara
langsung dengan harga enam dollar Spanyol per pikul. Pengawasannya dilakukan
secara langsung oleh para pengawas Eropa yang dipimpin oleh seorang inspektur
pertambangan103. Petugas tersebut juga memberikan insentif kepada para
102
Pelabuhan sebelumnya adalah Muntok yang kurang menguntungkan, karena
pelabuhannya dangkal, dan tanahnya basah sehingga menyulitkan kapal-kapal dan
perahu-perahu merapat. Kondisi itu diperparah dengan adanya celah karang yang
membahayakan kapal-kapal yang mendekati pelabuhan tersebut. Contohnya pada 1820
kapal perang Inggris Galathea tenggelam di perairan tersebut.
103
Pada masa sebelumnya yang bertugas menangani masalah tersebut adalah
teko (orang-orang keturunan Cina yang sudah memeluk Islam dan diangkat oleh Sultan
Universitas Indonesia
130
Universitas Indonesia
131
Universitas Indonesia
132
Universitas Indonesia
133
keamanannya, dari 200 orang serdadu pribumi menjadi 40 orang serdadu (Java
Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Kemp, 1900: 337; Waey, 1875: 103; Kaiser,
1857: 99; Thorn, 2004: 163).
Kondisi tersebut berubah dengan adanya perubahan konstelasi politik di
Eropa, yang menempatkan Belanda kembali sebagai negara bebas lepas dari
kekuasaan Prancis. Pada 2 Desember 1813 Pangeran Orange menerima kekuasaan
tersebut dengan gelar Raja Willem I. Tindak lanjut dari terbebasnya Belanda dari
pengaruh kekuasaan Prancis, adalah ditandatanganinya Traktat London pada 13
Agustus 1814 (diumumkan di Java Government Gazette pada 13 Juli 1816) antara
pemerintah Inggris dan Belanda. Traktat London pasal 1 menyatakan bahwa
semua loji dan pangkalan yang menjadi milik Belanda sebelum 1 Januari 1803
akan dikembalikan kepada Raja Belanda yang berdaulat, kecuali Tanjung Harapan
dan koloni Demerary, Essequebo dan Berbice di Barat. Berarti Palembang juga Comment [DKM141]: Anda cek, bunyi pasal
dari Traktat London I!
kembali berada di bawah pengaruh Belanda. Dalam pasal 2 dari traktat yang sama
disebutkan bahwa Pulau Bangka diserahkan sepenuhnya kepada Belanda, sebagai
penggantinya Belanda memberikan Cochin dan sekitarnya di pantai Malabar
kepada Inggris (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Bataviaasch Courant, 26 Juni
1819, nomor 26).
Ketentuan tersebut tidak berkaitan dengan posisi Pulau Bangka yang
menjadi milik Kesultanan Palembang, yang telah diserahkan oleh Sultan
Najamuddin II kepada Inggris sejak Mei 1812. Menurut sumber Inggris, wilayah
Belanda yang harus dikembalikan kepada Belanda tidak termasuk Pulau Bangka
di dalamnya. Inggris berpatokan bahwa Pulau Bangka tidak pernah menjadi milik
Belanda. Pasal 2 Traktat London ditolak pelaksanaannya oleh pemerintah Inggris
di Hindia Timur. Langkah yang ditempuh oleh Inggris adalah ―memberikan
perlindungan kepada Sultan Najamuddin II‖, sesuai isi kontrak Mei 1812 antara
wakil pemerintah Inggris di Hindia Timur dan Sultan Najamuddin II. Atas dasar Comment [DKM142]: Berikan catatan kaki,
sekalian pasal berapa yang menyatakan demikian!
ketentuan tersebut, Gubernur Inggris mengajukan protes kepada pemerintah
Belanda atas pelanggaran hak-hak Sultan Palembang yang dijamin oleh
pemerintah Inggris. Lebih lanjut, Inggris menolak pula untuk menyerahkan Pulau
Bangka dengan alasan bahwa pulau tersebut telah diserahkan kepada Inggris yang
pada waktu itu berstatus merdeka. Menurut versi Inggris, dasar yang digunakan Comment [DKM143]: Rujukan Anda!
Universitas Indonesia
134
dan raja Belanda menerimanya. (ANKL, The Asiatic Journal, 1819 Vol. 7).
Komisaris Belanda menolak klaim Inggris tersebut, karena mengacu pada
Traktat London Pasal 1 dan Pasal 2. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa Inggris
harus menyerahkan Pulau Bangka tanpa syarat kepada Belanda. Komisaris
Belanda mempertanyakan, atas dasar apa Sultan Palembang dianggap sebagai
sultan merdeka, sedangkan pada waktu itu Palembang di bawah perlindungan
pemerintah Inggris (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; No. 67; Bataviaasch
Courant, 26 Juni 1819, nomor 26; Woelders, 1975: 11). Terjadi penafsiran yang Comment [DKM145]: s.d.a
diduduki oleh Belanda. Pada 1822 pemerintah Belanda telah pula menempatkan Comment [DKM147]: Dari mana Anda tahu?
Sumber perlu!!
seorang Assisten Residen, dengan kekuatan militer sebanyak delapan sampai
104
Inggris dan Belanda) menyadari bahwa kedua bangsa tersebut harus
menghindari konflik di wilayah Nusantara, sebab hal tersebut akan mengudang hadirnya
pihak ketiga yang mulai meluaskan kekuasaannya di Asia Tenggara yaitu Amerika. Untuk
itu Traktad London 1824 merupakan jalan keluar bagi penyelesaian masalah antara
keduanya. Dengan traktad tersebut, maka terdapat garis pemisah yang tegas dari
kawasan sebelah utara Riau sampai Selat Malaka (Tarling, 1994: 17).
Universitas Indonesia
135
sepuluh orang serdadu, di bawah komando seorang yang berpangkat sersan atau
kopral di Pulau Belitung (Paulus, 1917: 306; Veth, 1917: 506; Baud, 1853: 41-
42).
Tidak adanya nama Pulau Belitung dalam Traktat London (1814),
disebabkan penyusunan traktat tersebut dilakukan secara tergesa-gesa, sehingga
tidak memikirkan akibat yang ditimbulkannya. Khususnya aturan-aturan yang Comment [DKM148]: Apa dasar dari
interpretasi Anda ini??
dimuat dalam pasal 3 dan pasal 5 tentang pelaksanaan traktat tersebut. Disebutkan
pula bahwa koloni akan dikembalikan dalam waktu tiga minggu sampai enam
bulan setelah ratifikasi traktat, tanpa memikirkan kondisi koloni pada waktu itu105.
Protes-protes yang diajukan oleh agen-agen Inggris terhadap pemerintah Belanda,
tidak berpengaruh terhadap Komisaris Belanda. Menurut pihak Belanda, protes-
protes tersebut tidak berdampak luas. Komisaris Jenderal menegaskan bahwa
mereka adalah wakil penguasa di negeri Belanda, fungsi mereka hanya sebagai
pelaksana, dan tidak berhak memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan koloni
Belanda di Hindia Timur (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; No. 67; Bataviaasch
Courant, 26 Juni 1819, nomor 26; Woelders, 1975: 11). Comment [DKM149]: s.d.a
105
Kembali berkuasanya Napoleon pada awal tahun 1815, mengakibatkan
keberangkatan Komisaris Jenderal yang terdiri dari Vn der Capellen, Elout dan Buyskes
ke Batavia tertunda. Keberangkatan mereka baru terlaksana pada 29 Oktober 1815.
Mereka berangkat dari Texel dan tiba di Batavia pada awal Mei 1816.
Universitas Indonesia
136
Universitas Indonesia
137
Universitas Indonesia
138
BAB 4
PEMBAGIAN KEKUASAAN
Universitas Indonesia
139
106
Berdasarkan surat Komisaris Jenderal Elout kepada Direktur Jenderal pada 18
Januari 1817, dinyatakan bahwa penyerahan kepada K. Heynis terjadi pada 26
Nopember 1816 (Hoek, 1862: 111).
107
Pada 12 Maret 1816 Badaruddin II mengirimkan utusan ke Batavia untuk menyerahkan
suratnya dengan melampirkan surat-surat yang pernah diterimanya dari Raffles pada 1810-1811.
Dalam suratnya Badaruddin II menyatakan bahwa Raffles harus ikut ―bertanggungjawab‖ atas
peristiwa Loji Sungai Aur (1811), karena membujuknya dengan berbagai upaya agar mengusir
Belanda dari Palembang. Ia berharap agar diri dan keturunannya segera dibebaskan setelah
Belanda berkuasa kembali di Palembang. Di samping itu, Sultan Najamuddin II juga melakukan
hal yang sama dengan mengirimkan utusan yang tiba di Batavia pada Oktober 1816, namun
utusan itu dicurigai leh pemerintah Belanda membawa misi dari pemerintah Inggris (Kemp, 1900:
338-340; Woelders, 1975: 11; Baud, 1853: 8).
Universitas Indonesia
140
108
Sultan Najamuddin II membuat pernyataan berbeda, bahwa Badaruddin II
adalah satu-satunya otak alam peristiwa tersebut. Pernyataan itu disampaikannya pada
saat ditanya oleh pihak Belanda pada 18 April 1820 di Cianjur (Kemp, 1900: 342). Hal itu
dapat dikarenakan posisinya pada saat itu sebagai tawanan yang membutuhkan
perlindungan dan dukungan pihak Belanda. Dengan pernyataan tersebut, Najamuddin II
berharap akan mendapat pengampunan dan Badaruddin II dihukum dengan
menurunkannya dari tahta.
Universitas Indonesia
141
Universitas Indonesia
142
Permusuhan tersebut menyebabkan rakyat menderita. Hal itu tampak jelas di mata
pemerintah kolonial Belanda ketika mereka tiba di Palembang
Apa yang diharapkan oleh pihak Belanda agar permusuhan kedua
bersaudara mereda, dengan ditiadakannya kewajiban Sultan Najamuddin II untuk
menyediakan beras dan tenaga pendayung tidak tercapai. Pemerintah Belanda
memiliki kepentingan dengan redanya permusuhan kedua bersaudara kandung,
karena dengan berakhirnya permusuhan maka kondisi di Kesultanan Palembang
akan damai dan roda pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Akan tetapi,
permusuhan itu sudah begitu dalam, sehingga upaya penghapusan kewajiban
Sultan Najamuddin II justru makin memperlebar ―jurang‖ permusuhan antara
kedua pihak yang bertikai. Rakyat terbelah dua masing-masing mendukung salah
satu dari kedua sultan. Kedua kubu saling berhadapan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Akibatnya, kebutuhan hidup sehari-hari penduduk jadi
terbengkalai. Kondisi itu diperparah dengan tindakan Sultan Najamuddin II yang
membagi tanah-tanah di daerah uluan sebagai apanage (tanah yang diberikan oleh
sultan kepada para bangsawan) kepada keluarganya. Tanah-tanah itu dieksploitasi
oleh para bangsawan109, sehingga perampokan, pembunuhan, penculikan dan
perdagangan budak makin berkembang. Di pihak lain, pelaksanaan pemerintahan
Belanda di Palembang belum berlangsung dengan baik. Mereka dihadapkan pada
keterbatasan dana, sehingga sarana dan prasarana sangat terbatas. Mereka juga
kesulitan mendapatkan pegawai, sedangkan para pejabat yang mereka datangkan
dari negara induk Belanda, tidak banyak berbuat untuk memperbaiki keadaan.
Akibatnya, banyak terjadi pelanggaran hukum. Sebagai residen, Heynis
seharusnya berusaha maksimal untuk mengendalikan keadaan. Akan tetapi, yang
terjadi justru sebaliknya. Ia sibuk memperhatikan kepentingan pribadinya110.
Heynis justru terlibat dalam berbagai kejahatan, sehingga di mata pemerintah
pusat ia orang yang tidak layak dipercaya. Akhirnya, pada 13 Juni 1817
109
Pada masa pemerintahan sultan-sultan sebelumnya, golongan bangsawan
tidak diperkenankan terjun langsung ke uluan, karena untuk urusan tersebut sudah
ditangani oleh Jenang yang berkedudukan di uluan (Kemp, 1900: 343).
110
Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Belanda di Hindia Belanda
pasca1816 adalah tetap menggunakan sistem VOC yaitu mengeksploitasi, namun yang
terjadi saat itu justru penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh wakil mereka di
Kesultanan Palembang (Day, 1972:128).
Universitas Indonesia
143
Universitas Indonesia
144
111
Sebagian informasi tentang kondisi di Palembang diperoleh R. Coop A. Groen
dari Badaruddin II (Kemp, 1900: 357-358). Tampaknya, Badaruddin II memanfaatkan
situasi yang ada untuk memperkokoh posisinya, khususnya di mata Groen.
112
Untuk menghadapi gangguan keamanan tersebut, pemerintah Inggris di Bengkulu
telah beberapa kali melakukan penertiban dengan cara menguasai daerah Pasemah Ulu Manna.
Pada 1808 pemerintah Inggris di Bengkulu mengirimkan Kolonel Clayton dengan tiga ratus orang
serdadu Bengala untuk menghukum penduduk Pasumah Ulu Manna. Ketika mereka tiba di daerah
tersebut, ternyata daerah itu telah mereka kosongkan, dengan terlebih dahulu membakar dusun-
dusun dan bersembunyi di dalam hutan. Sejak itu keamanan dapat dipulihkan, tetapi tidak lama
berselang kembali terjadi hal yang sama. Untuk memulihkan keamanan, kembali pemerintah
Inggris di Bengkulu mengirim Raden Mohamad Zaid dan Daeng Indra (tempat peristirahatan
mereka di Pasumah Ulu Manna dikenal penduduk dengan nama ―perhentian Daeng‖) dengan
kekuatan dua ratusan orang serdadu pribumi untuk menaklukkan daerah tersebut dan membakar
beberapa dusun. Pada 1813 kembali terjadi perampokan dari daerah Pasumah, bahkan mereka
berusaha menyerang seorang pejabat Inggris di Padang Guci (Manna) yang pada waktu itu tengah
melakukan transaksi pembelian lada. Usaha tersebut berhasil digagalkan oleh para pengawalnya
dan beberapa perampok berhasil dibunuh. Pada 1815 Residen Manna (residen lokal yang
berkedudukan di ibukota Fort Marlborough) Steele berangkat ke Pasemah Ulu Manna, untuk
membujuk para kepala depati daerah tersebut agar tidak melakukan perampokan lagi di wilayah
Inggris. Untuk itu, dibuat kesepakatan bersama dan pemberian hadiah kain kepada mereka.
Perdamaian itu tidak berlangsung lama, kembali penduduk perbatasan Bengkulu mengeluh kepada
Residen Siddon tentang gangguan keamanan dari orang-orang Pasumah. Kondisi tidak aman itu
terus berlangsung sampai tibanya Raffles di sana (Maret 1818). Pada Mei 1818 Raffles melakukan
perjalanan menuju Pasumah Ulu Manna, dan tiba di sana pada 21 Mei 1818. Pada 22 Mei 1818 di
dusun Tanjung Alam Pasumah diadakan permupakatan dengan melibatkan para depati/kalipa dan
proatin di daerah itu. Hasilnya yaitu penduduk Pasumah Ulu Manna bersedia tunduk kepada
Inggris dengan imbalan 30 dollar Inggris per bulan, uang itu diberikan kepada wakil dari beberapa
Marga (Sumbai Besar dan Ulu Lurah) di Pasemah. Penaklukan daerah itu dilakukan Raffles dalam
rangka membendung kekuasaan Belanda (Visser, 1883: 315-323).
Universitas Indonesia
145
113
Dalam kontrak antara Sultan Najamuddin II dan Inggris pada 1812 dan 1813,
menyebutkan bahwa masalah penghapusan budak dan membuka hubungan serta
menjamin keamanan dengan Bengkulu dan Lampung menjadi poin penting yang harus
dipatuhi oleh Sultan.
Universitas Indonesia
146
rotan, dan kerbau, dan menaikkan harganya. Apabila pada masa sultan-sultan
sebelumnya, ketentuan tibang-tukong hanya berlaku pada kalangan tertentu
(matagawe), tidak demikian halnya pada masa pemerintahan Sultan Najamuddin
II. Disebutkan bahwa, tidak seorangpun bebas dari ketentuan tersebut. Di samping
itu, Sultan juga sering melakukan hukuman fisik berupa pukulan terhadap
penduduk yang dianggap tidak patuh, perompakan dan perdagangan budak di
perairan Palembang juga makin marak.
Melihat kondisi tersebut, Sultan tidak bertindak dan membiarkan masalah
tersebut berlarut-larut, bahkan disinyalir Sultan ikut menikmati keuntungan dari
berbagai ―kegiatan‖ tersebut. Sehubungan dengan itu, pemerintah kolonial
Belanda di Palembang dan Batavia mempertimbangkan untuk segera bertindak
agar ada kepastian hukum di daerah tersebut terjamin. Apabila tidak segera
diambil tindakan, akan berpengaruh terhadap kredibilitas pemerintah Belanda
khususnya di Kesultanan Palembang, baik terhadap penduduk Palembang,
perbatasan Lampung dan Bengkulu (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; No. 15.7;
No. 47.6; No. 67; No. 66.6; Bataviaasche Courant, 26 Juni 1819, nomor 26).
Dalam kondisi yang tidak menentu tersebut, pemerintah Belanda di Batavia
memutuskan untuk mengirimkan Komisaris Muntinghe114. Penunjukkan
Muntinghe sebagai komisaris di Kesultanan Palembang dianggap tepat,
mengingat karir panjang yang telah ditempuhnya baik pada masa pemerintahan
kolonial Inggris (anggota Dewan Hindia) maupun pada masa pemerintah Belanda
(sekretaris, dan ketua Mahkamah Agung). Untuk itu, pada 27 Oktober 1817
Komisaris Jenderal memberhentikan Muntinghe dari jabatannya sebagai ketua
Dewan Keuangan, dan mengangkatnya sebagai Komisaris Palembang-Bangka
(ANRI, Bundel Palembang No.67; Kemp, 1900: 350-353; Woelders, 1975: 13).
Berita tentang rencana kedatangannya di Muntok dibawa oleh Kapten
Scott, seorang nahkoda Inggris pada 3 Januari 1818. Selanjutnya, tiba pula kapal
perang di sana pada 23 Januari 1818 (berangkat dari Batavia sejak 2 Januari 1818)
114
Muntinghe terkenal cerdas dan sangat berbakat, ahli di bidang hukum, pemerintahan
dan keuangan. Ia juga terkenal sebagai orang yang netral, dan cinta pada keadilan, sehingga baik
pemerintah Belanda maupun Inggris tetap memanfaatkan tenaga. Atas jasa-jasanya pemerintah
Belanda menganugerahinya gelar Edelheer atau Edeleer (―Idelir Menteng‖ dalam literatur
Melayu), yang artinya bangsawan tinggi (ANRI, Bundel Palembang No.67; Kemp, 1900: 350-53;
Woelders, 1975: 13).
Universitas Indonesia
147
yang dipimpin Kapten-Letnan Taco Bakker dengan berita yang sama. Kehadiran
armada itu diikuti pula oleh Kapten Zeni Van der Wijck yang akan bertugas
sebagai direktur pembangunan proyek sipil di Muntok. Jadi, sebelum
kedatangannya, kehadiran Muntinghe sudah membuat sebagian orang merasa
khawatir, baik yang ada di Muntok maupun di Palembang (Kemp,1900: 356-357).
Pada 13 April 1818 Muntinghe berangkat dari Batavia, tiba di Muntok
pada 20 April 1818 dengan menggunakan kapal perang Eendracht. Kedatangan
mereka disambut oleh A.P. Smissaert (Inspektur Jenderal pertambangan timah
Bangka), Residen R. Coop A. Groen, para perwira, orang-orang pribumi dan
Cina. Setelah itu, Komisaris Muntinghe mengambil alih kekuasaan atas Bangka.
Di pulau itu Muntinghe menemukan kondisi kritis. Mereka umumnya kekurangan
bahan makanan dan tertekan oleh ancaman dari para perompak (laporan Smissaert
kepada gubernur jenderal pada 11 Juni 1819). Selanjutnya, Komisaris Muntinghe
menyerahkan kekuasaan atas Muntok kepada A.P. Smissaert. Muntinghe
bermaksud memfokuskan perhatiannya pada pelaksanaan pemerintahan di
Palembang (Kemp, 1900: 358-361; Woelders, 1975: 13). Walaupun Pulau Bangka
mengalami krisis, di mata Muntinghe kawasan daratan Kesultanan Palembang
yang tengah bergolak jauh lebih penting untuk ditangani secepatnya. Apalagi
wilayah uluan berbatasan dengan kekuasaan Inggris di Bengkulu.
Muntinghe membawa misi untuk menegakkan pemerintahan Belanda di
Kesultanan Palembang, menyatukan Palembang dengan Lampung dan mengakhiri
pertikaian antara Najamuddin II dan Badaruddin II. Untuk itu, kedua bersaudara
itu harus menyerahkan sebagian dari wilayah Kesultanan Palembang kepada
Belanda, dengan alasan keamanan. Sisanya dibagi dua, masing-masing mendapat
sebagian melalui kontrak. Penduduk Palembang juga harus dibebaskan dari
berbagai tekanan dalam menjalankan perekonomiannya (ANRI, Bundel
Palembang No. 70.3).
Informasi yang diperoleh Muntinghe selama di Muntok, menyebutkan
bahwa rakyat di wilayah Kesultanan Palembang akan melakukan pemberotakan,
khususnya di daerah Blida, Komering dan Rawas. Pemberontakan itu akan
dipimpin para depati masing-masing. Penduduk di sana resah dengan adanya
berbagai pemerasan yang dilakukan Sultan Najamuddin II dan golongan
Universitas Indonesia
148
Universitas Indonesia
149
115
Raja Akil adalah Pangeran dari Siak, bersama pengikutnya meninggalkan Kerajaan Siak
karena diusir oleh penguasa Siak Raja Ali (Abdulrahman). Bersama pengikutnya ia berlayar ke
Lingga dan terus ke Bangka-Belitung. Melihat kemampuannya, Residen M.H. Court
memanfaatkan jasanya untuk menangkap Raden Kling (penguasa Pulau Bangka, wakil Sultan
Palembang) yang mundur ke Belitung akibat peristiwa pembunuhan terhadap Inspektur Brown.
Usaha Raja Akil itu tidak berhasil tetapi ia mampu melindungi penarikan pasukan Inggris dalam
ekspedisi tersebut, sehingga ia tetap dianggap berjasa bagi Inggris. Pada masa Residen Klaas
Heynis, ia tetap memanfaatkan Raja Akil karena Raja Akil telah membuktikan kemampuan dan
kesetiaannya kepada Belanda, dengan imbalan 125 pikul beras setiap bulan. Atas rekomendasi dari
K. Heynis, Muntinghe tetap memakai jasa Raja Akil (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Kemp,
1900: 367-368; Kemp, 1898: 260)
Universitas Indonesia
150
116
Kekuasaan Belanda di Muntok dikendalikan oleh Residen Smissaert, dengan
kekuatan militer yang sangat minim. Pulau Bangka- Belitung dan pulau-pulau lainnya di sekitar itu
sejak dahulu terkenal sebagai tempat bersarangnya para bajak laut (abad XV menjadi pusat bajak
laut atau elanong). Akibatnya, pantai-pantai di pesisir pulau itu menjadi daerah rawan dari
serangan dan pendudukan bajak laut. Contohnya pada 28 Mei 1819 para bajak laut menyerang
benteng Belanda di Toboali, sehingga empat puluh serdadu Belanda mundur ke Bayor dan Pangkal
Pinang. Para bajak laut mengusai benteng dan gudang timah Belanda di sana. (ANRI, Bundel
Palembang No. 67; Lapian, 2009:137-138).
117
Para wakil pemerintah Belanda di ibu kota Palembang menangani perkara sipil dan
memungut bea masuk sebesar 10 sampai 25 dollar Spanyol dari setiap perahu yang berlabuh.
Biaya yang mereka butuhkan dalam menjalankan pemerintahan hanya beberapa ratus gulden per
bulan, karena sedikitnya aparat dan bidang garapan yang mereka lakukan (Kielstra, 1892: 89).
Universitas Indonesia
151
118
Wilayahnya terdiri dari: Sungai Bawang 5 dusun, Sungai Oling, Sungai Bunging 10
dusun, Sungai Serma, Sungai Lampang 12 dusun, Sungai Lampoing, Sungai Siayu, dan Sungai
Kurou 20 dusun. Di aliran kiri Sungai Plaju 7 dusun, dan di aliran kiri Sungai Kayu Agung 8
dusun. Batas-batas wilayahnya di utara sungai Kombang, di timur sungai Kurou, di selatan sungai
Babatan, dan di sebelah barat sungai Blitan dan perbatasan Lampung, serta sungai Plaju (ANRI,
Bundel Palembang No. 12 D II). Daerah-daerah tersebut pada saat ini meliputi sebagian wilayah
kabupaten Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, dan Banyuasin.
Universitas Indonesia
152
Sultan dan seorang bangsawan. Dalam pertemuan itu dibahas tentang penyerahan
sebagian wilayah Palembang yaitu daerah hulu dan hilir termasuk wilayah yang
berbatasan dengan Bengkulu dan Lampung kepada Belanda. Artinya, wilayah
yang menjadi bagian Belanda di Kesultanan itu merupakan wilayah terluas
dibandingkan wilayah untuk kedua sultan. Pendudukan langsung sebagian besar
wilayah Palembang oleh Belanda, dimaksudkan untuk mencegah perampokan,
penculikan dan perdagangan budak yang marak terjadi pada waktu itu.
Selanjutnya, Sultan Najamuddin II akan memperoleh dana tunjangan sebesar
seribu dollar Spanyol per bulan, sepuluh koyang garam dan seratus sampai dua
ratus koyang beras per tahun119, serta bebas dari berbagai bentuk penyetoran
kepada pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda juga akan menghapuskan
perbudakan, dan hukuman mati. Dalam bekerja, penduduk dibebaskan tanpa
paksaan atau tekanan, mereka bebas bekerja sesuai keinginan dan keterampilan
masing-masing, sedangkan hak monopoli candu, garam dan bea masuk akan
dipegang pemerintah Belanda120. Selanjutnya, Sultan Najamuddin II harus segera
meninggalkan keraton, dan diserahkan kepada Sultan Badarudin II. Sultan
Najamuddin II terpaksa menerima ketentuan-ketentuan yang disodorkan, dengan
catatan kedudukannya sebagai sultan tetap terjamin (ANRI, Bundel Palembang
No. 67; No. 5.1; Bataviaasche Courant, 4 Agustus 1821; The Asiatic Journal,
Pebruari 1819; Kemp, 1900: 371-374; Kemp, 1898: 260).
Dalam waktu yang sangat singkat, Sultan Najamuddin II dihadapkan pada
berbagai ―ketentuan‖ yang memaksanya untuk menerimanya. Ia harus
menyerahkan sebagian besar wilayah, yang otomatis menyerahkan kekuasaannya.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah bahwa ia harus keluar dari keraton Kuto
Besak yang merupakan simbol kekuasaan sultan, untuk menyerahkannya kepada
―musuh‖nya yaitu Sultan Badaruddin II. Suatu kondisi yang tidak pernah
terbayangkan sebelumnya. Situasi yang sangat menyakitkan itu, membuat
Najamuddin II meminta perlindungan kepada Raffles di Bengkulu. Najamuddin II
119
Dalam The Asiatic Journal (Pebruari 1819) menyatakan bahwa sultan
mendapatkan seribu dollar per bulan, lima koyang beras, seratus gantang garam, dan 25
ribu dollar untuk merenovasi keratonnya.
120
Semua ketentuan itu juga berlaku pada Sultan Tuo.
Universitas Indonesia
153
121
Daerahnya terdiri dari Blida, Kramasan, Glakar, Maranjar, Trusa Kilip, Bankula, Batu
Caway, Rambang, Kouang, Neru, Lamatang dan Lobi. Di samping itu, terdapat pula dusun-dusun
yang terletak di pesisir sungai-sungai, yakni Sungai Ogan 12 dusun, Sungai Glakar 12 dusun,
Sungai Maranjang 6 dusun, Sungai Pulau Cawang 6 dusun, Sungai Bengkula 5 dusun, Sungai
Rambang 26 dusun, Sungai Lobi 8 dusun, Sungai Niru satu dusun dan satu distrik, Sungai
Lamatan 6 dusun, Sungai Muda satu dusun, Sungai Blida 6 dusun, Sungai Kramesan satu dusun
dan lahan penggembalaan kerbau. Total mencapai 84 dusun (ANRI, Bundel Palembang No. 12 D
II).
Universitas Indonesia
154
122
The Asiatic Journal (IX, 1820: 548), jumlah uang 200.000 dollar Spanyol
Universitas Indonesia
155
Terlepas benar tidak maslah ―uang sogokan‖ tersebut, uang tetap menjadi salah
satu faktor penentukan dalam gerak sejarah Kesultanan Palembang awal abad
XIX.
Setelah bersepakat dengan Sultan Tuo, Muntinghe harus membereskan
masalah yang belum rampung dengan Sultan Mudo. Untuk itu, pada 23 Juni 1818
09.00, berkas-berkas yang harus ditandatangani Sultan Najamuddin II diserahkan
kepada juru tulis Sultan yaitu Ingabehi Carik dan Mohamad. Sultan terkejut
dengan rancangan yang harus ditandatanganinya dalam waktu maksimal 24 jam.
Sultan meminta waktu lebih lama, tetapi usul itu ditolak. Muntinghe bahkan telah
menempatkan kapal perang Eendracht dalam posisi siap menembak ke arah
kraton123. Penempatan kapal perang tersebut menunjukkan telah terjadi tekanan
hebat terhadap Sultan, untuk segera menandatangani kontrak yang disodorkan
kepadanya. Dalam kondisi terdesak Sultan menyerahkan penanganan kontrak
tersebut kepada Perdana Menteri, sehingga cap dan nama Sultan dalam lembar
kontrak itu dibuat oleh Perdana Menteri (Pangeran Adipati) atas perintah Sultan
pada sekitar pukul 2.00-3.00124 (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; No. 67;
123
Dalam The Asiuatic Journal (Pebruari, 1819) dipaparkan bahwa Sultan Najamuddin II
menolak meninggalkan keraton meskipun ditekan dengan kekerasan. Sultan menyatakan ―semua
disiapkan untuk mengancam dirinya‖.
124
Proposal yang disodorkan Muntinghe pada 7 Juni 1818 membuat Sultan
Najamuddin syok dan terdesak. Untuk itu, langkah yang diambilnya adalah meminta
waktu untuk berpikir. Waktu yang ada dimanfaatkannya untuk meminta bantuan
kepada Raffles di Bengkulu. Hal itu menyebabkan Muntinghe mengirimkan utusan pada
23 Juni 1818, dengan ultimatum kontrak harus segera ditandatangani. Nantinya, hal itu
menjadi masalah yang besar, karena dianggap tidak sah. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Muntinghe kepada para bangsawan, dapat disimpulkan bahwa raja-raja
Palembang umumnya tidak membubuhkan cap dan tandatangannya sendiri. Biasanya
sultan akan memerintahkan orang lain menuliskan nama dan cap. Sesuai kesaksian
Sultan Badaruddin II, yang menyatakan bahwa kontrak dapat dianggap sah apabila telah
dibubuhi cap kerajaan. Dalam kaitannya dengan kasus Sultan Najamuddin II, apakah
kontrak itu ditandatangani dan dicap oleh Sultan Najamuddin II atas keinginan dan
sepengetahuannya? Semua itu harus dilihat dari proses awal terjadinya kontrak
tersebut. Menurut kesaksian para Pangeran, Tumenggung dan Mantri di atas sumpah,
bahwa menurut ketentuan di Kesultanan Palembang, cap kerajaan harus disimpan oleh
sultan. Tidak diperkenankan seorangpun menggunakannya tanpa persetujuan sultan
(tidak terkecuali Pangeran atau Pangeran Adipati). Pada saat ditanyakan oleh sekretaris
Muntinghe setelah kejatuhan Sultan Najamuddin II, Najamuddin II menyatakan bahwa
dirinya tidak pernah mengingkari perjanjiannya dengan Muntinghe dan bersedia diambil
sumpah untuk mengesahkannya (Kemp, 1900: 412). Untuk kesekian kalinya Najamuddin
Universitas Indonesia
156
Bataviaasche Courant, 26 Juni 1819, nomor 26; Kemp, 1898: 260-263; Kemp,
1900: 378-380). Dengan demikian, berakhirlah ―drama‖ penandatanganan kontrak
antara Sultan Najamuddin II dan Muntinghe. Bagaimana sikap Sultan Najamuddin
II selanjutnya akan terlihat pada pembahasan selanjutnya.
Setelah pembagian kekuasaan antara kedua saudara itu selesai, mereka
dihadapkan pada masalah pembagian jabatan pegawai rendahan, antara lain
masalah tenaga kerja, pasukan pengawal, petugas pengawas, dan petugas
pembawa payung. Masalah lain yang menjadi sumber sengketa adalah
sembahyang Jumat. Sultan Tuo menganggap dirinya adalah satu-satunya wakil
kesultanan. Oleh karena itu, ia menetapkan Penghulu harus mendoakannya.
Sebaliknya, Sultan Mudo menolak hal tersebut dengan alasan, selama ini
dirinyalah yang didoakan oleh Penghulu. (Kemp, 1900: 281-282). Berbagai
masalah itu muncul karena keduanya merasa orang yang paling berhak atas posisi
tertinggi di Kesultanan Palembang. Harga diri menjadi ukuran segalanya,
sehingga membawa suasana di kesultanan itu semakin tidak menentu. Rakyat
menjadi korban karena saling mencurigai dari masing-masing pendukung sultan.
Pascapembagian kekuasaan, menunjukkan masih banyak masalah krusial
di kesultanan itu. Hal itu tidak terlepas dari adanya dua kubu yang saling bertikai
sejak 1812. Akibatnya, persoalan tersebut terus menggorogoti persatuan dan
kesatuan di kesultanan itu. Inti dari berbagai permasalahan di Palembang adalah
perebutan kekuasaan antara kedua kakak-adik Badaruddin II dan Najamuddin II,
Inggris dan Sultan Badaruddin II, Belanda dan Sultan Najamuddin II serta antara
Belanda dan Inggris. Berbagai persoalan tersebut selalu melibatkan Muntinghe
dalam penyelesaiannya. Di sini tampak, bahwa sesungguhnya yang mempunyai
kuasa di daerah ini adalah Belanda yang dikendalikan oleh Komisaris Muntinghe.
Universitas Indonesia
157
125
Raffles mengajukan permohonan kepada gubernur jenderal di Calcutta agar
diperkenankan menyandang gelar gubernu jenderal untuk Bengkulu. Alasan yang
dikemukakannya adalah bahwa gelar residen tidak pantas disandang oleh wakil
pemerintah Inggris di wilayah yang seharusnya diperintah oleh seorang gubernur.
Permohonan itu dikabulkan oleh gubernur jenderal Calcutta dengan catatan
kekuasaannya sama dengan seorang residen. Dengan demkian, Raffles tidak memiliki
kekuasaan politik (ANRI, Bundel Palembang No. 67).
Universitas Indonesia
158
Sesuai misinya dan atas permintaan Sultan Najamuddin II, pada 20 Juni
126
1818 Raffles mengirim ekspedisi melalui darat ke Palembang. Ekspedisi itu
merupakan ekspedisi pertama orang Eropa dari Bengkulu sampai Palembang di
bawah pimpinan Kapten Salmond. Pilihan Raffles jatuh kepada Kapten Salmond
karena dia orang yang sangat dipercaya oleh Raffles. Pada kesempatan itu, Raffles
mengeluarkan instruksi yang menyatakan bahwa sesuai dengan kontrak tahun
1812 antara Inggris dan Palembang, Inggris wajib mempertahankan kedudukan
Sultan Najamuddin II yang terancam atas kehadiran Belanda di Palembang.
Selanjutnya, akan dibuat kontrak baru dengan Sultan Najamuddin II yang
menyatakan, bahwa Kesultanan Palembang berada di bawah perlindungan Inggris.
Dengan berbekal kontrak tersebut Raffles bermaksud untuk berkuasa kembali di
Palembang. Lebih lanjut untuk memuluskan langkahnya, Raffles mengirimkan
pengumuman kepada seluruh penduduk agar melepaskan diri dari cengkeraman
kolonial Belanda. Setelah persiapan selesai, ekspedisi Inggris dipimpin Kapten
Salmond didampingi oleh Letnan Haslam (Komandan pasukan Sepoy), Samuel
Garling (penguasa pelabuhan Bengkulu) dan dua orang raja Bengkulu (Raja
Bangsawan dan Raden Arif) serta Raden Karim, seorang bangsawan Madura yang
memihak Inggris (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; The Asiatic Journal,
Pebruari 1819; Kemp, 1898: 265-268; Woelders, 1975: 98; Kemp, 1898: 265).
Setelah beberapa hari berjalan mereka tiba di Muara Bliti127. Kehadiran
mereka di sambut oleh utusan Sultan Najamuddin II. Utusan itu telah menyiapkan
segala kebutuhan untuk melanjutkan perjalanan ke ibu kota Palembang, disertai
tambahan pasukan. Selanjutnya, Salmond memutuskan untuk meninggalkan
sebanyak 150-200128 orang anggota pasukan di Muara Bliti di bawah pimpinan
Letnan Haslam. Keputusan itu diambil Salmond karena adanya surat dari Raffles
tertanggal 24 Juni 1818, yang menyatakan bahwa pihak Belanda telah
126
The Asiatic Journal (Pebruari 1819) menyebutkan bahwa surat yang
dikirimkan oleh Raffles kepada sultan, tertanggal 21 Juni 1818.
127
Muara Bliti adalah tempat yang sangat strategis antara Bengkulu dan
Palembang. Di daerah inilah nantinya pada Nopember 1818 pasukan Inggris dan Belanda
berhadapan langsung. Pertempuran tidak berlanjut karena pasukan Belanda memilih
mundur kembali ke ibu kota Palembang. Lokasi ini sekarang berada di Kabupaten Musi
Rawas.
128
Menurut Kemp (1898: 268), serdadu sepoy yang ditinggalkan di Muara Bliti
sebanyak 70-100 orang serdadu.
Universitas Indonesia
159
Universitas Indonesia
160
Juni 1819, nomor 26; The Asitic Journal, Pebruari 1819; Woelders, 1975: 98;
Kemp, 1898: 265-271).
Ternyata hal itu merupakan ―cara‖ Sultan Mudo untuk mengingkari
kontrak dengan Belanda. Sultan Mudo ingin menegaskan bahwa tanda tangan
yang tertera di dalam kontrak dengan Belanda tidak sah. Hal itu karena tidak
ditandatanganinya sendiri, berbeda dengan kontraknya dengan Inggris.
Beberapa hari setelah keberangkatan pasukan pertama, sekitar 200 orang
serdadu menyusul kesatuan Kapten Salmond129. Kesatuan itu tiba di daerah Muara
Rawas bersamaan waktunya dengan merapatnya Kapten Salmond dan
rombongannya di ibu kota Palembang pada 4 Juli 1818. Selanjutnya, kesatuan itu
terus bergerak mencapai Bayo Lango. Di sana mereka berhenti sambil menunggu
perkembangan selanjutnya dari Kapten Salmond (Stapel 1940: 170).
Dengan adanya pasukan Inggris yang dipimpin oleh Kapten Salmond di
ibu kota Palembang, Sultan Mudo mengirimkan utusan untuk memberitahukan hal
tesebut kepada Muntinghe. Tidak lama berselang, Kapten Salmond juga mengutus
Raden Karim dan Powell untuk menyerahkan surat Raffles kepada Muntinghe dan
Komisaris Jenderal Belanda. Dalam suratnya yang ditulis pada 24 Juni 1818,
Raffles menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Muntinghe terhadap
Kesultanan Palembang tidak sah. Untuk itu, ia tidak akan menyerahkan Padang
kepada Belanda, walaupun telah ditetapkan dalam Traktat London (1814), sampai
masalah Palembang diselesaikan dengan baik130. Lebih lanjut Raffles menyatakan
bahwa apa yang dilakukan oleh Muntinghe terhadap Palembang, menunjukkan
bahwa ia telah mengabaikan isi perjanjian antara Belanda dan Inggris yang
menyatakan bahwa raja Inggris menyerahkan Pulau Bangka kepada raja Belanda,
dengan ketentuan pemerintah Belanda wajib melindungi status dan kedudukan
Sultan Mudo yang berada di bawah perlindungan Inggris. Dengan demikian,
pemerintah Belanda tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam urusan
129
Woelders menyatakan bahwa serdadu yang dikirimkan Raffles ke Palembang
berjumlah 300 orang (1975: 98).
130
Raffles menyerahkan Padang setelah dikeluarkannya surat Gubernur Jenderal Inggris
pada 28 Agustus 1818 dan 6 November 1818 (ANRI, Bundel Palembang No. 67).
Universitas Indonesia
161
Palembang. (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; Asiatic Journal, Pebruari 1819:
210; Kemp, 1898: 265-268). Berbekal hal di atas, Raffles berjuang untuk
melepaskan Palembang dari kekuasaan Belanda.
Menghadapi tekanan Raffles, Muntinghe membalas surat Salmond dengan
tawaran agar Salmond menemuinya di atas kapal Eendrach untuk membahas
berbagai permasalahan. Undangan itu ditolak oleh Salmond dan hanya bersedia
berurusan dengan Sultan Mudo. Pada hari itu telah terjadi kesepakatan antara
Sultan Mudo dan Salmond untuk menaikkan bendera Inggris di keraton Sultan
Mudo. Pengibaran bendera tersebut merupakan masalah serius dan
membahayakan bagi Belanda. Menurut Muntinghe, pengibaran bendera tersebut
menandakan bahwa Inggris tidak mengakui eksistensi Belanda atas Palembang.
Kondisi ini tidak dapat ditolelir. Untuk itu, Muntinghe mengutus Kapten Zeni van
der Wijck menemui Kapten Salmond guna mendapatkan jawaban atas surat
sebelumnya. Menghadapi hal itu Salmond bersikukuh menyatakan bahwa
kehadirannya di Palembang, semata-mata untuk bertemu dengan Sultan Mudo, ia
tidak mendapat mandat untuk melakukan perundingan dengan Belanda. Terdapat
tiga alasan Salmond menolak tawaran tersebut, pertama, tuntutan Muntinghe agar
Salmond dan pasukannya segera meninggalkan Palembang kembali ke Bengkulu.
Kedua, dalam perjalanan kembali ke Bengkulu, mereka harus berada dalam
pengawalan pasukan militer Belanda sampai perbatasan Palembang-Bengkulu,
dan ketiga, bendera Inggris harus segera diturunkan (The Asiatic Journal, Pebruari
1819; The Asiatic Journal, IX, 1820: 451).
Ketiga ketentuan tersebut, membuat Salmond merasa terhina. Pengawalan
pasukan Belanda sampai perbatasan Bengkulu akan membahayakan, karena akan
terjadi ―pertemuan‖ dua kekuatan di uluan antara pasukan Belanda yang
mengawal pasukan Salmond dan pasukan Inggris yang menunggu di sana.
Apabila hal itu terjadi, pertempuran tidak dapat dielakkan yang akan berdampak
negatif bagi kedua bangsa.
Menghadapi sikap Salmond, melalui surat balasannya Muntinghe
menjelaskan secara rinci tentang hak Belanda sesuai isi Traktat London (1814)
atas Kesultanan Palembang. Untuk itu, Inggris tidak berhak ikut campur dalam
urusan Belanda dengan Kesultanan Palembang. Alasan lain adalah bahwa
Universitas Indonesia
162
131
Sumber The Asiatic Journal (Pebruari 1819) menyebutkan bahwa keraton
Sultan Najamuddin II dikepung oleh banyak serdadu, yang terdiri dari orang-orang
Belanda, orang-orang Sultan Tuo dan orang-orang Siak. Jumlahnya mencapai sekitar
tujuh ratusan orang.
Universitas Indonesia
163
Universitas Indonesia
164
Kondisi kritis itu berakhir, karena Salmond tidak mempunyai pilihan lain.
Pasukan yang dibawanya sangat sedikit dibandingkan dengan pasukan gabungan
Belanda dan Sultan Tuo, sedangkan Sultan Mudo tidak memiliki kekuatan yang
kuat. Bertahan berarti akan menerima kekerasan dari pasukan Belanda. Di pihak
Belanda, sebagai pimpinan pada waktu itu Muntinghe harus berhati-hati karena
Salmond dan pasukannya adalah wakil Raffles, yang berarti wakil bangsa Inggris.
Apabila penanganannya dengan kekerasan, akan menimbulkan masalah bagi
kelangsungan hubungan kedua negara induk (Belanda dan Inggris).
Dengan berakhirnya ―drama‖ di keraton Kuto Lamo, para penghuni
keraton lainnya segera meninggalkan keraton. Para tokoh yang terlibat dalam
penyambutan terhadap Salmond dan pasukannya ditangkap. Meskipun demikian,
pasukan Muntinghe tidak melakukan pengepungan terhadap keraton. Apabila itu
dlakukan, akan memancing kemarahan ummat Islam yang keesokan harinya akan
memulai ibadah Puasa Ramadhan. Untuk mengindarkan hal-hal yang tidak
diinginkan, Sultan Mudo dan pengikutnya ditempatkan di ruangan yang terdapat
di dalam keratonnya dengan pengawasan yang ketat. Sementara itu, Sultan Tuo
memperoleh keuntungan karena tanah-tanah yang menjadi milik Sultan Mudo
sesuai kontrak 23 Juni 1818, dialihkan kepadanya. Dengan demikian, kekuatan
Sultan Tuo semakin besar (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; The Asitic Journal,
Pebruari 1819; Kemp, 1898: 275; Kielstra, 1892: 92).
Sejak itu, Sultan Badaruddin II berkuasa atas wilayah peninggalan Sultan
Najamuddin II. Untuk membantu tugas-tugasnya sultan mengangkat adiknya
Pangeran Arya Kusuma sebagai Adipati, sehingga di Kesultanan Palembang
terdapat dua orang yang menjabat sebagai Adipati yaitu Adipati Tuo dan Adipati
Mudo (Woelders, 1975: 100). Peristiwa tersebut menjadi sejarah bagi Kesultanan
Palembang, karena belum pernah terjadi sebelumnya terdapat dua orang adipati di
kesultanan itu. Hal itu terjadi karena kedua adik Sultan Tuo dan Sultan Mudo itu
tidak memihak kepada Sultan Mudo, padahal Pangeran Adipati Tuo adalah
Adipati Sultan Mudo.
Setelah tiga hari menjadi ―tamu‖ Komisaris Muntinghe, Kapten Salmond
dan pasukannya sepakat meninggalkan Palembang kembali ke Bengkulu melalui
Batavia. Sebelumnya Komisaris Muntinghe menawarkan dua pilihan untuk
Universitas Indonesia
165
kembali ke Bengkulu, jalur darat atau laut. Salmond memilih lewat laut, karena
sulitnya jalur darat, sebagaimana yang mereka tempuh beberapa waktu
sebelumnya dari Bengkulu ke Palembang. Pada Rabu sore, 8 Juli 1818 mereka
menumpang kapal The Sea Horse132, yang disewa dari orang Arab seharga f 1000.
Dalam pelayaran itu mereka berlabuh di Muntok pada 11 Juli 1818, untuk
selanjutnya pada 17 Juli 1818 berlayar menuju Batavia. Tiba di sana pada Sabtu, 1
Agustus 1818 (Kielstra, 1892: 91; Kemp, 1898: 276).
Sesampainya rombongan Kapten Salmond di Batavia, segala kebutuhan
mereka khusus diurus oleh J.C. Baud selaku Sekretaris pemerintah pada waktu itu.
Di sana mereka diperlakukan istimewa dan ditempatkan di penginapan
Weltevreden133. Semua itu dilakukan untuk memberikan kesan yang baik kepada
pasukan Inggris. Baud membebaskan mereka untuk menentukan tanggal
keberangkatan kembali ke Bengkulu, namun yang terjadi justru Slamond
menuntut agar dikembalikan ke Palembang. Alasan yang dikemukakannya adalah
untuk menuntaskan tugasnya di sana. Suatu permintaan yang tidak mungkin
dikabulkan oleh pemerintah Belanda di Batavia. Pilihan yang diberikan adalah ke
Bengkulu. Akhirnya, Kapten Salmond menyerah dan memutuskan untuk kembali
ke Bengkulu melalui jawaban tertulis pada 7 Agustus 1818, setelah selama tiga
pekan di Batavia. Beberapa hari kemudian, Salmond dan pasukannya berangkat
ke Bengkulu134 dengan kapal Junnon, di bawah pimpinan Kapten Nalbrow
(Kemp, 1898: 277-278; The Asiatic Journal, IX, 1820: 451).
132
Menurut Kemp (1900: 421), kapal yang digunakan adalah Zeepaard.
133
Weltevreden adalah pusat pemerintahan Hindia Belanda yang dibangun oleh
Daendels (1809). Konsep pembangunannya menyerupai kota-kota lama di Hindia
Belanda. Ditandai dengan bangunan dan halaman luas. Bentuk bangunan umumnya
merupakan perpaduan gaya Eropa dan nusantara (Gunawan, 2010: 42-43).
134
Dalam surat terakhirnya yang ditulis di Weltevreden pada 18 Agustus 1818, Salmond
menyampaikan protes keras dari Raffles atas perlakuan Muntinghe terhadap dirinya dan
rombongan yang merupakan wakil resmi pemerintah Inggris di Palembang. Menurutnya, tindakan
itu tidak bertanggungjawab dan tidak dapat dibenarkan karena pemerintah Belanda telah
melanggar hak-hak dan kesepakatan yang dibuat antara pemerintah Inggris dan Sultan Najamuddin
II. Lebih lanjut, dikatakan bahwa sistem politik Belanda hanya mengutamakan kepentingannya
sendiri tidak menghormati kepentingan Inggris. Akan tetapi, Salmond juga mengakui perlakuan
baik yang mereka terima dari pemerintah Belanda, sebagaimana pengakuannya dalam surat yang
ditujukan kepada Raffles, yang dikirimkannya melalui jalur darat dari Palembang. (The Asiatic
Journal, Pebruari 1819)
Universitas Indonesia
166
Universitas Indonesia
167
135
Nama Pulau Belitung tidak disebutkan dalam pasal 2 tersebut, sehingga
Inggris menganggap pulau itu tidak termasuk dalam Traktat London (1814) (ANRI,
Bundel Palembang No, 67).
Universitas Indonesia
168
136
Dengan pengerahan kapal-kapal tersebut, mengakibatkan pulau itu tidak
memiliki pertahanan laut. Kondisi itu diperparah karena janji-janji pemerintah pusat
di Batavia untuk mengirimkan bala bantuan tidak kunjung tiba di sana (surat Residen
Smissaert pada 30 Juli 1818 kepada Laksamana Wolterbeek, dalam Kemp, 1900: 424).
Universitas Indonesia
169
12 Juli 1818 pasukan bergerak menuju Muara Bliti, selama dua belas hari. Berarti,
pasukan itu tiba di Muara Bliti pada 24 Juli 1818. Pada 23 Juli 1818 Muntinghe
mengutus juru tulis de Groot, untuk menyerahkan suratnya kepada Letnan Haslam
dan Raffles, sekaligus menyelidiki situasi dan kondisi di sana. Setiba de Groot di
Muara Bliti, daerah telah ditinggalkan oleh pasukan Inggris. Agaknya, mereka
tergesa-gesa meninggalkan daerah itu, terbukti dari sisa-sisa makanan yang
mereka tinggalkan. Ditemukan juga empat dayung dan tiga meriam besar dari
tembaga. Beberapa hari kemudian ditemukan pula dua peti amunisi dan peluru
(ANRI, Bundel Palembang No. 66.1; Kemp, 1898: 280-281; Kielstra, 1892: 91-
92).
Di ujung Muara Bliti, pasukan Bengkulu juga meninggalkan empat puluh
karung beras. Tindakan tersebut ditempuh guna menghindarkan diri dari pasukan
Belanda. Kondisi itu diperparah karena mereka sulit mendapatkan kuli untuk
mengangkut barang-barang kebutuhan ekspedisi. Akibatnya, mereka memaksa
penduduk dengan cara kekerasan (todongan senjata atau kurungan). Akan tetapi,
cara itu tidak banyak berhasil, sehingga serdadu-serdadu Sepoy terpaksa
merangkap sebagai kuli. Kekerasan yang mereka lakukan terhadap penduduk
menyebabkan munculnya perlawanan, terbukti dengan ditemukannya serdadu
Sepoy di Rejang yang telah dipancung kepalanya (Kemp, 1900: 423).
Sepeninggal Kapten Salmond, pasukan yang ditinggalkannya bergerak
menuju ibu kota Palembang dan berlabuh di Boya Lango. Sebelumnya, pada 4
Juli 1818 (11.00) Kapten Salmond telah mengirimkan surat kepada Letnan
Haslam dan Raffles. Dalam suratnya Salmond meminta agar Haslam tidak
melanjutkan perjalanan ke Palembang. Disarankannya agar mereka segera
kembali ke Muara Bliti sambil menunggu perintah lebih lanjut dari Raffles.
Dalam suratnya, ia menggambarkan kesiapan pasukan Palembang untuk
menyambut kehadiran pasukan Inggris, dengan menempatkan kapal perang di
depan keraton. Sebelum pasukan itu mundur ke Muara Bliti, mereka telah
mendengar bahwa pasukan Kapten Salmond telah tertangkap. Pada 6 Juli 1818
kembali Kapten Salmond mengirim surat kepada Letnan Haslam dan tetap
menuntut mereka secepatnya mundur ke Muara Bliti. Melihat situasi pada waktu
itu, Salmond meragukan surat yang dikirimkannya sampai ke tangan Letnan
Universitas Indonesia
170
Haslam (Kemp, 1900: 420). Itu semua menunjukkan betapa genting situasi pada
waktu itu. Tampaknya Kapten Salmond menyadari kesiapan pasukan Belanda
untuk menghadang pasukan Inggris apabila mendekati ibu kota Palembang.
Menyadari hal itu, Letnan Haslam segera membawa pasukannya mundur
ke Muara Bliti. Pada saat itu mereka juga dihadapkan pada kondisi kekurangan
dana dan bahan makanan. Dalam perjalanan di Sukarame (sebelum Muara Bliti),
pasukan Inggris menghasut penduduk setempat untuk melakukan pemberontakan
terhadap para depati setempat. Tujuannya agar penduduk mendukung keberadaan
mereka. Akibatnya, terjadi pemberontakan yang didukung oleh pasukan Inggris.
Dalam peristiwa itu seorang serdadu Inggris terbunuh dan tiga serdadu lainnya
mengalami luka parah. Insiden tersebut menyebabkan beberapa Pangeran, Mantri
Sultan Mudo dan para yang sudah bergabung dengan pasukan Inggris sejak
pasukan Salmond tiba di Muara Bliti mengundurkan diri. Dengan demikian,
pasukan Inggris mengalami banyak kesulitan, antara lain kekurangan anggota
pasukan dan tenaga pendayung. Dalam kondisi serba kekurangan, Haslam
berhasil membawa pasukan mencapai Muara Bliti (ANRI, Bundel Palembang No.
66.1). Tampaknya pasukan Inggris tidak memperhitungkan adanya hubungan
emosional antara pasukan Sultan Mudo dan para depati dengan penduduk uluan.
Akibatnya, fatal bagi kekuatan pasukan Inggris di sana.
Di Muara Bliti mereka menantikan berita lebih lanjut dari Salmond,
namun apa yang mereka tunggu tidak pernah datang. Mereka tidak mengetahui
bahwa Salmond dan pasukannya telah dikirim ke Batavia (8 Juli 1818). Hal itu
dapat dilihat dari surat yang dikirimkan oleh salah seorang serdadu Inggris yaitu
Robert Bogle pada 12 Juli 1818137. Dalam suratnya Bogle menyampaikan bahwa
mereka telah berada di Bliti selama dua belas hari, dan terus menunggu berita dari
Salmond. Mereka juga menyatakan keinginan untuk sampai di ibu kota
Palembang. Kenginan itu tidak dapat diwujudkan tidak mereka tidak memiliki
perahu atau rakit, bahan makanan dan uang. Dalam keadaan seperti itu memaksa
mereka ―meminta‖ beras, kambing, ayam dan barang kebutuhan lainnya kepada
penduduk setempat. Akibatnya kehadiran mereka membuat penduduk setempat
137
Pasukan Letnan Haslam memaksa Jenang Bliti ke ibu kota Palembang untuk
untuk menyerahkan surat Bogle dan Raffles (tertanggal 24 Juni 1818) kepada Salmond
(Kemp, 1900: 421-422)
Universitas Indonesia
171
138
Dalam suratnya, Raffles menyampaikan keinginannya untuk bertemu dengan
Muntinghe. Menanggapi permintaan tersebut, Muntinghe memutuskan untuk bertemu Raffles di
Kosambi (dekat perbatasan Palembang-Bengkulu), namun pertemuan itu tidak pernah terwujud
(Kemp, 1900: 396,400).
Universitas Indonesia
172
139
Kosambi adalah dusun terdekat dengan Pulo Geta, Pulo Geta terletak di
lereng Bukit Barisan, sebagian penduduk menganggapnya masuk wilayah Bengkulu, akan
tetapi sebagian lain menempatkannya berada di wilayah Kesultanan Palembang (ANRI,
Bundel Palembang No. 66.1).
Universitas Indonesia
173
karena ancaman terhadap Belanda dan Palembang akan segera berakhir (ANRI,
Bundel Palembang No. 66.1; Kemp, 1898: 281-282; Kielstra, 1892: 92).
Muntinghe penasaran ingin membuktikan sendiri kebenaran berita
tersebut. Ia bermaksud untuk menancapkan bendera Belanda di perbatasan
Palembang-Bengkulu, sebagai bukti bahwa daerah tersebut telah berada di bawah
perlindungan Belanda. Akan tetapi, keinginan itu terpaksa ditunda karena,
pertama, Muntinghe belum meminta izin pada pemerintah pusat di Batavia.
Kedua, jalan-jalan dari Muara Bliti sangat rusak, sehingga menyulitkan mereka
untuk melaluinya dengan peralatan seadanya. Hal lain yang sangat mengganggu
adalah kondisi kesehatan Muntinghe yang tidak memungkinkan mereka
melanjutkan perjalanan. Ketiga, Muntinghe takut penduduk di Muara Klingi dan
Muara Bliti melarikan diri kembali ke hutan, karena adanya ekspedisi yang
mereka lancarkan. Muntinghe menginginkan hubungan baik yang telah terbina
dengan penduduk setempat tetap dipertahankan. Sebelumnya, Muntinghe telah
mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan para serdadu dan semua yang
terlibat dalam ekspedisi ke Muara Bliti bersikap bersahabat, tenang dan sabar
terhadap penduduk. Diharapkan agar setelah daerah ini ditinggalkan, tidak terjadi
permusuhan antara penduduk setempat dan serdadu Belanda yang akan
ditinggalkan. Muntinghe menjaga dengan hati-hati hubungan baik yang telah
terjalin. Apabila usaha tersebut gagal, kemungkinan besar penduduk setempat
tidak akan menepati janji mereka untuk menanam tiga sampai empat ribu pohon
lada di tiap dusun (ANRI, Bundel Palembang No. 66.1; Kemp, 1898: 284).
Pemerintah Belanda di Batavia telah menyadari pentingnya memperkuat
pertahanan militer di Palembang. Untuk itu, pada 4 Juli 1818 Gubernur Jenderal
mengeluarkan instruksi kepada Wolterbeek untuk memperkuat pasukan di
Palembang, dan memberantas para perompak di Selat Bangka. Sesuai dengan
instruksi yang diterimanya, Wolterbeek bergerak memimpin armada menuju
Palembang. Kesatuan itu tiba di sana pada akhir Juli 1818, namun bantuan yang
ditawarkan oleh Woltebeek ditolak oleh Muntinghe. Selanjutnya, Wolterbeek
segera meninggalkan Palembang. Pada 5 Agustus 1818, ia menerima surat dari
komandan Bakker yang mengabarkan tentang kondisi di ibu kota Palembang yang
aman. Dikatakan bahwa pengawasan keamanan dikendalikan oleh pasukan
Universitas Indonesia
174
Universitas Indonesia
175
Universitas Indonesia
176
140
Uang Semuhan (Saomahan) adalah pajak rumah tangga. Pajak itu dihitung setengah
rupiah per orang untuk 500 ribu jiwa. Penduduk Sindang juga diwajibkan membayar uang
Semuhan, begitu pula orang-orang Cina dan Arab sebesar f 50 per kepala. Total nilainya
diperkitakan mencapai f 500.000. Ketentuan tersebut diusulkan oleh Komisaris Muntinghe melalui
surat kepada Komisaris Jenderal pada 31 Oktober 1818. Rencananya akan dilaksanakan mulai
Pebruari 1819 untuk lima ribu dusun di wilayah Palembang (ANRI, Bundel Palembang No. 15.7).
Universitas Indonesia
177
wilayah Palembang berada di tangan Belanda. Oleh sebab itu semua bentuk
gangguan khususnya dari Inggris harus dihancurkan. Kebijakan yang
dilaksanakan oleh Muntinghe tersebut, menurut Day (1972: 129), sejalan dengan
kebijakan yang telah digariskan oleh negara induk terhadap semua koloni yaitu
untuk kemakmuran Belanda.
Strategi yang dijalankan oleh Muntinghe dan aparatnya dalam melakukan
pendekatan kepada penduduk, menyebabkan penduduk dukungan usaha-usaha
yang dijalankan oleh pemerintah belanda di Palembang. Semua itu tidak terlepas
dari dukungan penuh dari bawahannya, khususnya Fabritius dan Kapten insinyur
Van der Wijck. Keduanya banyak berjasa dalam pelaksanaan ekspedisi ke uluan.
(ANRI, Bundel Palembang No. 66.1; Kemp, 1898: 284). Kepada kedua
pembantunya tersebut, Muntinghe memberikan penghargaan yang besar, baik
berupa pujian maupun dalam memberikan berbagai tugas penting di Palembang.
Sesuai ketentuan undang-undang yang akan diterapkan, Muntinghe
menyiapkan beberapa lokasi di ibu kota yang cocok dijadikan pasar. Pasar yang
dimaksud adalah tempat bertemunya para pedagang dari pedalaman dengan
pedagang di ibu kota serta para pembali. Dengan demikian, arus keluar-masuk
barang akan semakin lancar, yang berarti akan meningkatkan perekonomian
penduduk umumnya. Selain itu, ketentuan larangan perbudakan atas penduduk
asli Palembang dan penduduk dari daerah-daerah lain di Sumatra diperketat.
Walaupun faktanya sebagian besar budak yang ada di Palembang adalah orang-
orang asing yang dijual oleh orang-orang Siam. Budak di Palembang disebut
orang abdi (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6).
Ini berarti budak disamakan dengan penduduk asli. Sesungguhnya,
pelarangan terhadap perbudakan sudah dilakukan jauh sebelumnya, baik pada
masa Inggris (Kontrak Mei 1812 dan Agustus 1813) maupun Belanda (Kontrak
Juni 1818). Akan tetapi, masalah perbudakan belum berhasil dihilangkan, karena
adanya kebutuhan tenaga budak dan banyaknya para pedagang yang
mendatangkan budak ke Palembang. Budak-budak itu berasal dari berbagai
daerah di Nusantara, antara lain orang Bali dan Ambon serta budak-budak hasil
penjarahan di daerah perbatasan Palembang-Bengkulu maupun Palembang-
Universitas Indonesia
178
Lampung. Budak menjadi salah satu komoditi di Kesultanan Palembang pada saat
itu.
Semua tindakan dan rencana yang akan dilaksanakannya di Kesultanan
Palembang, dilaporkan oleh Muntinghe kepada pemerintah pusat pada 31 Oktober
1818. Dalam laporannya ia menjelaskan tentang usahanya membina hubungan
dengan Lampung melalui surat-menyurat secara intensif dengan Asisten Residen
Banten J.A. Du Bois. Muntinghe merencanakan untuk menggabungkan
Palembang dengan Lampung, sehingga J.A. Du Bois berada di bawah
pengawasannya. Penggabungan itu didasari letak kedua daerah ini berdekatan,
yaitu daerah Komering (Palembang) dan Bumi Agung (Lampung). Hanya
dibutuhkan waktu satu hari dari Bumi Agung ke Kujungang Njawa (Sekarang
disebut Kurungan Nyawa di Sungai Komering). Kurungan Nyawa adalah tempat
pengapalan terakhir barang-barang dari ibu kota Palembang menuju daerah
Komering Ulu dan Lampung dengan waktu tempuh lima sampai tujuh hari karena
melawan arus. Sementara itu jarak dari Kurungan Nyawa ke Palembang adalah
tiga sampai empat hari, tergantung arus air waktu itu. Akan tetapi, usahanya
untuk menangani masalah empat puluhan orang laki-laki, perempuan dan anak-
anak di perbatasan Palembang-Lampung tidak mendapat respon yang
menggembirakan dari Asisten Residen J.A. Du Bois. Orang-orang malang itu
dirampok dan diperjualbelikan oleh para penjahat di sana. Penyelesaian yang
ditempuh oleh Muntinghe pada waktu itu adalah menebus orang-orang tersebut
dengan biaya dari Sultan Mudo dan mengembalikan mereka ke daerahnya
masing-masing (ANRI, Bundel Palembang No. 66.1).
Rencana Muntinghe menggabungkan Palembang-Lampung semata-mata
karena letaknya yang berdekatan. Penggabungan tersebut akan memudahkan
pengawasan, terutama karena adanya ancaman dari Inggris di Bengkulu, karena
wilayah Lampung bagian barat berbatasan langsung dengan Bengkulu. Akan
tetapi, berdasarkan laporan J.A. Du Bois disebutkan bahwa kekhawatiran
Muntinghe tersebut tidak terbukti.
Masalah lain yang dilaporkan Muntinghe kepada Komisaris Jenderal
adalah mengenai Nahkoda Mohamad dan pengikutnya. Kelompok itu terkenal
sebagai pengacau yang selalu mengganggu ketenteraman penduduk dengan cara
Universitas Indonesia
179
Universitas Indonesia
180
141
Raden Badar membenci Inggris, karena permusuhan antara Raden Kling
dan Inggris. Pada masa pemerintahan Inggris di Bangka, Raden Kling membunuh
inspektur Brown sehingga melarikan diri ke Belitung. Sejak itu permusuhan terus
berlangsung, walaupun Inggris telah meninggalkan Bangka (1816).
Universitas Indonesia
181
500.000 (dalam Kielstra 1892 hal 92, dikatakan bahwa Najamudin II bersedia
membayar sebesar sekitar f 30.000142). Uang itu dibagikan sebagai tambahan yang
diperhitungkan sesuai dengan gaji bulanan kepada orang-orang yang berjasa
dalam ekspedisi ke uluan. Tambahan itu diberikan berbarengan dengan
peringatan Ulang Tahun Raja Willem I yang dihadiri oleh Sultan Tuo pada 24
Agustus 1818. Diharapkan pemberian tunjangan dapat meningkatkan motivasi
para serdadu untuk lebih berprestasi. Pemberian tunjangan tersebut dihentikan
pada 10 Januari 1819, karena berdampak negatif kepada para serdadu yang hanya
memikirkan hadiah, bukan prestasi (Kemp, 1898: 285).
Masih dalam suasana merayakan keberhasilan, mereka dikejutkan oleh
berita tentang orang-orang Bengkulu yang masih berkeliaran di perbatasan
Palembang atau bahkan sedang menyiapkan serangan susulan dari Bengkulu.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Sultan Tuo menginstruksikan Tumenggung
untuk mengawasi daerah Rejang, suatu daerah yang berbatasan langsung dengan
Bengkulu. Selama ini daerah tersebut menjadi titik pertemuan pasukan Bengkulu
dan Palembang (ANRI, Bundel Palembang No. 66.1; Kemp, 1898: 284-285).
Dengan penangkapan Salmond dan pasukannya (Juli 1818), Sultan Mudo sebagai
pihak yang mengundang pasukan Inggris harus menerima konsekuensinya. Sultan
Mudo bersama beberapa Pangeran ditempatkan di keraton dalam pengawasan
ketat. Satu-satunya jalan keluar yang ada, dijaga oleh sembilan sampai dua belas
orang serdadu Eropa dan pasukan dari Sultan Tuo. Begitu pula para bangsawan
yang dianggap memihak Sultan Mudo ikut diamankan. Usaha itu untuk mencegah
terjadinya hubungan dengan pihak Inggris di Bengkulu. Sebelumnya, menyadari
posisinya yang berbahaya pada saat keratonnya dikepung, sedangkan Salmod
sudah ditangkap, Sultan Modo masih sempat mengirimkan kurir untuk menemui
Salmond. Dalam pesannya, Sultan Mudo menyatakan keinginannya untuk
bergabung dengan Salmond dan pasukannya. Ia mengkhawatirkan
142
Florin (f) adalah uang lama Kerajaan Belanda, pada Abad XVII diganti dengan
gulden dengan simbol yang sama yaitu f.
Universitas Indonesia
182
143
Berdasarkan laporan Komisaris Muntinghe kepada Komisaris Jenderal pada
11 Juli 1818, bahwa pada awal penahanannya, Sultan Mudo bersama dengan Pangeran
Adipati dan Ingebehi Carik (Kemp, 1900: 391). Tentunya pendapat itu kurang tepat
karena kedua adik Sultan Tuo diangkat sebagai Pangeran Adipati (Adipati Tuo dan
Adipati Mudo).
144
Sultan Mudo juga mengingkari kontrak yang telah ditandatangani dengan Komisaris
Muntinghe pada 23 Juni 1818, pada saat ia melakukan perundingan dengan Salmond pada 4 Juli
1818.
Universitas Indonesia
183
145
Alasan yang dikemukakan oleh Sultan Mudo sulit diterima, karena suatu
kemustahilan seorang sultan mau manandatangi suatu kontrak tanpa memahami isinya.
Dalam suatu perundingan dan penandatanganan suatu kontrak akan selalu didampingi
oleh seorang penerjemah, apalagi ekspedisi Inggris ke Palembang telah direncanakan
sebelumnya. Hal lain dapat ditelaah dari ikut sertanya beberapa orang raja dan tokoh
masyarakat dari Bengkulu yang dapat dipastikan mampu berbahasa Inggris, mengingat
lama dan eratnya hubungan antarmereka. Adanya penerjemah dalam ekspedisi Inggris
dapat dirujuk pada ekspedisi Inggris ke Palembang pada 1812. Dalam ekspedisi itu
terlibat dua orang penerjemah yaitu Meares dan Villneruhy.
Universitas Indonesia
184
146
Batas alami antara Bengkulu dan Palembang terletak pada empat derajat Lintang Selatan
dengan ketinggian sekitar dua ribu kaki. Daerah yang berbatasan langsung adalah Rejang (Rejang
terbagi antara Rejang Bengkulu dan Rejang Palembang. Daerah Rejang Palembang terdiri dari
Rejang lebong, Rejang Tengah dan Rejang Musi) yang menduduki posisi sebagai Sindang
Mardika (Penjaga batas merdeka). Akan tetapi, orang-orang Rejang di daerah itu merasa lebih
terikat pada Rejang Bengkulu, dibandingkan dengan Rejang Palembang. Hal itu disebabkan etnis
dan jarak dengan Bengkulu lebih dekat dibandingkan dengan Palembang. Kedekatan ―emosional‖
itu dimanfaatkan Raffles untuk mendapatkan pijakan yang kuat di Rejang Palembang. Atas dasar
itu, Raffles memerintahkan Hayes dan pasukannya tinggal di dusun Pulo Geta (termasuk dalam
wilayah Rejang Palembang, namun sebagian orang memasukkannya ke dalam wilayah Bengkulu).
Daerah itu sangat strategis untuk menyerang Palembang. Untuk mencapai daerah tersebut, hanya
membutuhkan waktu dua hari dari Bengkulu. Pasukan Hayes harus melakukan pendekatan yang
baik kepada dusun-dusun di Rejang, agar mereka mengobarkan perlawanan terhadap Belanda.
Akan tetapi, usaha Hayes tidak berhasil, karena para depati menyatakan diri netral dalam konflik
antara Inggis dan Belanda di daerah mereka, walaupun mereka telah melakukan perundingan
dengan Hayes (Kemp, 1900: 435-436)
Universitas Indonesia
185
berbahasa Melayu dari Letnan Haslam, Hayes147 dan jenang Zaenal Abidin.
Semuanya berisi hasutan kepada para depati dan penduduk setempat agar bangkit
melawan Belanda. Dinyatakan pula bahwa akan segera tiba di sana dua ratus
serdadu Inggris dari Bengkulu. Menyadari kondisi yang ada, dan semua protes
Muntinghe tidak ditanggapi oleh Raffles dan bawahannya. Hal itu memaksa
Muntinghe mempersiapkan ekspedisi militer yang besar ke wilayah uluan,
khususnya daerah yang berbatasan dengan Bengkulu (Kemp, 1900:423).
Langkah pertama yang diambil oleh Muntinghe dimulai pada 14
September 1818 yaitu Muntinghe memerintahkan Kolonel Bakker (Pimpinan
Angkatan Laut dan Komandan kapal Eendracht), Kapten Nepping (Komandan
pasukan Palembang-Bangka) dan Kapten M. Ege (Komandan pasukan
Palembang) untuk menyiapkan pasukan militer guna menjaga keamanan ibu kota
Palembang. Selanjutnya, mereka harus mengamankan Muara Bliti dari
pendudukan pasukan Inggris. Akan tetapi, permintaan itu kurang mendapat
dukungan dari pihak militer148. Terlihat dari tanggapan Kapten Nepping atas surat
yang dikirimkan oleh Muntinghe pada 14 September 1818. Nepping tidak
membalas surat tersebut, dan hanya mengirimkan 32 orang serdadu Ambon dari
Muntok, di bawah pimpinan seorang serdadu berpangkat sersan pada 19
September 1818. Menurut Nepping, pengiriman para serdadu Ambon merupakan
jawaban atas surat yang dikirimkan oleh Muntinghe kepadanya. Akan tetapi, apa
yang dilakukan oleh Nepping di mata Muntinghe belum memadai. Oleh sebab itu,
pada 21 September 1818 Muntinghe kembali mengirimkan surat kepadanya.
147
Dalam ekspedisi ke wilayah Palembang, Raffles mengangkat Hayes sebagai
komisaris Inggris untuk daerah Musi, Klingi dan Muara Bliti (Kemp, 1900:423).
148
Muntinghe sangat berkeinginan untuk menyatukan komando pasukan militer dengan
kekuasaan sipil di bawah kendalinya, tetapi hal itu tidak terwujud. Ketiga petinggi militer (Kolonel
Bakker, Kapten Nepping dan Kapten M. Ege) khususnya Kapten Nepping, ia secara terang-
terangan menolak perintah Komisaris Muntinghe, sehingga membawa Nepping pada sanksi
dipecat dan dipenjarakan. Sementara itu Kolonel Bakker menolak dengan alasan yang jelas,
sehingga tidak bernasib sama dengan Nepping. Pertentangan Muntinghe dengan pihak militer
kembali terjadi pada perang kedua (Oktober 1819). Berdasarkan laporan Laksamana Wolterbeek
kepada Gubernur Jenderal pada 11 Nopember 1819 disebutkan bahwa, dirinya tidak cocok dengan
Muntinghe, karena Muntinghe adalah orang yang sulit bekerja sama dengan orang lain.
Akibatnya, sering terjadi konflik dengan orang-orang disekitarnya khususnya dari kalangan
militer. Sebagai panglima dalam ekspedisi militer di Palembang, Wolterbeek sering menjadi
mediator antara Muntinghe dan pihak-pihak yang tidak sejalan dengannya. Misalnya konflik
antara Muntinghe dan komandan garnisun Letnan Kolonel Keer dan sekretaris van der Kop
(ANRI, Bundel Palembang No, 67; Kemp, 1900: 441-442).
Universitas Indonesia
186
149
Penyelesaian kasus Kapten Nepping diambil alih oleh Smissaert selaku
penguasa Pulau Bangka dengan cara menonaktifkannya dan posisinya ditempati oleh
Kapten Snoek yang berkedudukan di Palembang. Selanjutnya, Nepping dikenai tahanan
militer dan berdasarkan keputusan pemerintah pada 23 November 1818 ia dikirim ke
Batavia (Kemp, 1900: 441-444).
Universitas Indonesia
187
Bliti. Sementara itu, Kolonel Bakker juga menolak dengan tegas perintah
Muntinghe, dengan alasan ia harus melindungi wilayah yang berada di bawah
tanggungjawabnya yaitu perairan Bangka-Palembang. Tambahan pula, pada
waktu itu tengah berjangkit wabah penyakit, sedangkan sebagian dari awak
kapalnya harus ditempatkan di keraton untuk menjaga keamanan. Beberapa bulan
sebelumnya, Muntinghe juga kecewa dengan penolakan yang dilakukan oleh
orang yang sangat diharapkannya yaitu Kapten Van der Wijck. Pada 27 Juli 1818
Van der Wijck meninggalkan ibu kota Palembang untuk berkonsentrasi
mengamankan Pulau Bangka. Penolakan-penolakan yang diterimanya membuat
Muntinghe sangat kecewa. Kekecewaan Muntinghe sedikit terobati dengan
tibanya bantuan pada 31 September 1818 sebanyak enam puluh sampai tujuh
puluh orang serdadu di bawah pimpinan Kapten Hartman dengan kapal layar Sea
Horse dari Batavia (ANRI, Bundel Palembang No. 66.1; Kemp, 1898: 285;
Kemp, 1900: 438, 440-444).
Berbagai kendala yang harus dihadapi oleh Muntinghe dalam usahanya
mempertahankan daerah uluan Palembang dari serangan pasukan Inggris.
Muntinghe mendapat penentangan dari pihak militer. Para petinggi militer pada
waktu itu menganggap pengerahan militer yang besar sulit dilakukan, mengingat
lemahnya kondisi pasukan dan peralatan yang dimiliki oleh Belanda waktu itu
baik di Palembang maupun di Bangka.
Di pihak lain, pasukan Inggris bergerak kembali memasuki wilayah
Palembang. Pada 1 September 1818 Raffles mengeluarkan pengumuman tentang
kehadiran pasukan Inggris di wilayah Palembang. Pada kesempatan itu untuk
menarik simpati rakyat, diperlihatkan pula berkas-berkas rahasia berupa
tembusan surat menyurat antara Komisaris Muntinghe dan Kapten Salmond (Juli
1818), dokumen kontrak antara Sultan Mudo dan Kapten Salmond (4 Juli 1818)
dan dokumen kontrak yang dianggap ―tidak sah‖ oleh Raffles antara Sultan Mudo
dan Muntinghe (23 Juni 1818). Posisi pasukan Inggris pada waktu itu sudah
berada di Pulo Geta. Dari sana pasukan Inggris bergerak menuju Kosambi, terus
ke daerah Ujan Panas dan akhirnya sampai di Muara Bliti dengan kekuatan 120
orang serdadu Sepoy, 160 orang Melayu, seratus orang kuli dan dua puluh orang
Cina. Mereka juga membawa dua pucuk meriam. Di Muara Bliti mereka menjarah
Universitas Indonesia
188
dua puluhan rumah orang-orang Cina yang terbuat dari bambu. Akibatnya, terjadi
pertempuran dengan penduduk setempat yang menyebabkan tewasnya seorang
penduduk dan tujuh orang serdadu Inggris. Pasukan Inggris bertahan di daerah itu,
namun selama empat hari di sana, mereka tidak bertemu dengan pasukan Belanda
(ANRI, Bundel Palembang No. 66.1; Kemp, 1900: 405-406, 438).
Dengan kehadiran pasukan Inggris di Muara Bliti, berarti di lokasi yang
sama terdapat dua kekuatan yaitu Belanda dan Inggris. Meskipun keduanya belum
berhadapan secara langsung, namun tetap menandakan bahwa dalam waktu dekat
akan terjadi ―pertemuan‖ dua kubu yang saling bermusuhan. Sebagaimana
beberapa peristiwa sebelumnya yang terjadi di daerah uluan, apabila terjadi suatu
ekspedisi baik dari Inggris maupun Belanda di sana, akan menyebabkan penduduk
setempat melarikan diri ke hutan. Dengan demikian, dapat dipastikan dalam
kondisi di atas rumah dan mata pencaharian mereka terbengkalai. Di samping itu,
mereka juga harus terlibat dalam persiapan maupun pelaksanaan ekspedisi, antara
lain sebagai kuli angkut, pendayung maupun sebagai serdadu serta menyiapkan
bahan makanan bagi peserta ekspedisi. Jadi, kehadiran pasukan Belanda dan
Inggris menyebabkan penduduk uluan sengsara.
Setelah pasukan Inggris diberangkatkan menuju perbatasan Bengkulu-
Palembang, pada 2 Oktober 1818 Raffles berangkat ke Calcutta. Tujuannya
adalah untuk melaporkan semua permasalahan yang terjadi antara Inggris dan
Belanda di Palembang kepada Gubernur Jenderal Lord Moira (Marquess of
Hastings) 1813-1823. Raffles juga membujuk Lord Moira agar pemerintah Inggris
mengusir Belanda dari Palembang. Akan tetapi, apa yang diharapkan oleh Raffles
tidak terwujud. Hal itu disebabkan adanya protes yang diajukan oleh Komisaris
Jenderal Elout pada 5 Oktober 1818 kepada Lord Moira dan Raffles. Komisaris
Jenderal memaparkan tentang berbagai hal yang telah dilakukan oleh Raffles di
wilayah Palembang. Akibatnya, Lord Moira memerintahkan agar Kapten
Salmond segera kembali ke Bengkulu, walaupun pada kenyataannya Kapten
Salmond sudah berada di Bengkulu dua bula sebelumnya. Faktor lain adalah
pengakuan Kapten Salmond atas penghormatan yang diterimanya dari pihak
Belanda, baik di Palembang maupun di Batavia. Semua itu mengakibatkan Raffles
dianggap bersalah dan diperingatkan akan diturunkan dari jabatannya (Kemp,
Universitas Indonesia
189
1900: 416; Kemp, 1898: 279). Dengan peringatan tersebut memaksa Raffles harus
mengakhiri usahanya memasuki daerah Palembang.
Realisasi dari rencana Muntinghe melakukan ekspedisi ke uluan, ia
memerintah agar komandan militer untuk wilayah Palembang Kapten Ege
menyiapkan segalanya. Selanjutnya, Ege memerintahkan Letnan Goossens
memimpin tiga puluh orang serdadu menuju Muara Bliti. Tugasnya adalah
mengamankan instruksi Muntinghe yang dikeluarkan pada 17 September 1818.
Dalam instruksinya, Muntinghe memerintahkan agar Letnan Goossens meneliti
kondisi di uluan. Selanjutnya, ia diperbolehkan melancarkan serangan apabila
keadaannya memungkinkan. Akan tetapi, jika kekuatan musuh lebih besar, ia
diperbolehkan mundur. Semua persiapan harus dilakukan secara cepat, sebelum
pasukan dari Inggris meninggalkan Pulo Geta menuju Muara Bliti. Setibanya di
Muara Bliti, Letnan Goossens dan pasukannya membangun kubu pertahanan.
Akan tetapi, karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan, Gossens kembali
ke ibu kota Palembang. Selanjutnya, kekuatan pasukan Palembang sepenuhnya
berada di bawah De Groot dan Sersan Estema. Mereka menyiagakan dua meriam,
160 orang Melayu, beberapa pangeran dan mantri dengan pengikutnya masing-
masing. Kelompok tersebut disiapkan sebagai pasukan terdepan yang akan
menghadapi pasukan musuh dari Bengkulu. Di luar pasukan itu, masih terdapat
pasukan lain yang tengah disiagakan. Dengan semua kekuatan yang ada,
diharapkan pasukan Belanda mampu mempertahankan sepanjang Klingi dan
Rawas150. Posisi pasukan Belanda menjadi semakin kuat, karena adanya
tambahan dukungan dari penduduk Klingi dan Rawas, kecuali orang-orang
Melayu yang sebagian berasal dari Minangkabau. Dalam hitung-hitungan
Muntinghe, pasukan Belanda akan mampu mengimbangi pasukan Inggris (ANRI,
Bundel Palembang No. 66.1). Dukungan itu tidak dapat dilepaskan dari
pendekatan yang dilakukan oleh Muntinghe selama berada di pedalaman.
Setelah beberapa hari pasukan Inggris menyusuri daerah Muara Bliti. Pada
26 Nopember 1818, Letnan Haslam, Raja Brahim (Raja Brain), dua perwira
150
Dari Ujan Panas terdapat dua jalur menuju ibu kota Palembang yaitu melalui
Klingi ke Muara Bliti, selanjutnya menuju Muara Lakitan, Rupit dan Rawas. Melalui
kedua jalur itu pasukan Belanda dapat melakukan pengepungan terhadap pasukan
Bengkulu (ANRI, Bundel Palembang No. 66.1).
Universitas Indonesia
190
Inggris, dan lima puluh orang serdadu di bawah pimpinan Komisaris Hayes
bertemu pasukan Belanda. Dua kekuatan berhadapan langsung. Ketika hal itu
terjadi, De Groot dihadapkan pada situasi sulit. Kondisi pasukannya lemah,
pasukan yang tersisa hanya tinggal empat belas orang151. Kedua belah pihak
sepakat untuk berhenti di posisi masing-masing, untuk selanjutnya melakukan
perundingan. De Groot mewakili Belanda, sedangkan dari pihak Inggris diwakili
Komisaris Hayes. Terjadi perdebatan antara keduanya. De Groot bertahan bahwa
pasukan Inggris harus kembali ke Bengkulu, karena mereka sudah memasuki
wilayah Belanda. Sebaliknya, Komisaris Hayes tetap ngotot akan membawa
pasukannya ke ibu kota Palembang. Perdebatan itu berakhir dengan kesepakatan
akan membicarakan hal itu dengan melibatkan pimpinan masing-masing. Usul itu
diterima De Groot dengan catatan ia akan merundingkannya terlebih dahulu
dengan komandan militer Estema. De Groot kembali ke markas, bukan untuk
berunding tetapi memutuskan mundur kembali ke ibu kota. Mereka tergesa-gesa
meninggalkan Muara Bliti pada saat hujan deras, sehingga bahan makanan berupa
beras dan ikan kering tertinggal. Pasukan Inggris mengejar mereka dengan
melepaskan tembakan-tembakan, tetapi tidak berhasil melumpuhkan pasukan
Belanda. Pasukan Belanda terus menyusuri Sungai Musi dan berhasil mencapai
ibu kota Palembang. Mundurnya pasukan Belanda merupakan kemenangan besar
bagi pihak Inggris (Kemp, 1898: 286-87).
Insiden 26 Nopember 1818 merupakan pukulan berat bagi pasukan
Belanda. Untuk itu, Muntinghe mengajukan protes keras kepada pemerintah
Inggris di Bengkulu. Tiga hari kemudian Muntinghe melaporkan peristiwa di
Muara Bliti kepada pemerintah di Batavia. Berkaitan dengan hal itu, Komisaris
Jenderal Elout kembali melayangkan protes kepada Lord Moira. Akhirnya, pada
31 Desember 1818 terjadi kesepakatan antara dua kubu yang bertikai. Pasukan
151
Menurut Kemp (1900: 437), pasukan Belanda yang tersisa 21 orang serdadu.
Berkurangnya jumlah serdadu Belanda iitu disebabkan terserang penyakit dan kondisi alam yang
ganas (Kielstra, 1892: 93; Kemp, 1898: 285-86). Dari fakta itu, jelaslah bahwa terjadi pengurangan
anggota pasukan yang besar dari sebelumnya mendekati jumlah dua ratusan, hanya dalam kurun
waktu sekitar dua bulan. Tidak ditemui keterangan jenis penyakit yang mewabah pada waktu itu.
Wajarlah apabila dari beberapa sumber disebutkan bahwa wilayah Kesultanan Palembang sangat
luas, sangat tidak seimbang dengan jumlah penduduknya yang sedikit. Kecilnya kekuatan pasukan
Belanda menyebabkan kekuatan kedua kubu tidak seimbang, kekuatan pasukan Inggris lebih besar
dan kuat daripada Belanda.
Universitas Indonesia
191
152
Daerah Ampat Lawang adalah daerah yang berbatasan langsung dengan daerah
Rejang selatan (Bengkulu) dan dihuni oleh penduduk dengan etnis yang sama dengan Rejang
(Veth, 1869: 22).
Universitas Indonesia
192
kekuatan Inggris yang mendapat dukungan penuh dari Raffles (Raffles adalah
sosok yang paling berambisi untuk tetap ―berkuasa‖ di Palembang), membuatnya
menepis semua kekhawatiran akan ―pengkhianatan‖ Sultan Badaruddin II.
Perbedaan pandangan itu tidak terlepas dari latar belakang yang berbeda.
Muntinghe adalah seorang komisaris sipil yang tidak memiliki kemampuan
militer, namun membawahi pihak militer. Muntinghe berkeinginan agar golongan
militer mendukung ambisinya. Sebaliknya, golongan militer menolak permintaan
tersebut atas dasar pertimbangan rasional atas lemahnya kekuatan militer Belanda
pada waktu itu. Di samping itu, tampaknya golongan militer telah mencium
adanya usaha Sultan Badaruddin II untuk menyusun kekuatan. Situasi itu tidak
terbaca oleh Muntinghe atau ia tidak mau mendengar masukan dari pihak militer.
Muntinghe hanya memfokuskan perhatiannya pada usaha mengeluarkan pasukan
Inggris dari wilayah Palembang. Apa yang dikhawatirkan oleh golongan militer
nantinya terbukti dan Muntinghe menjadi orang yang dipersalahkan.
Dalam kondisi yang kurang kondusif dengan pihak militer, Muntinghe
tetap mempersiapkan diri. Ekspedisi militer di bawah pimpinan Muntinghe
bergerak ke daerah Musi pada Desember 1818, dan berada di sana selama empat
bulan. Di pihak lain, setelah mendengar datangnya pasukan dari Palembang,
pasukan Inggris mundur. Peristiwa itu juga disebabkan adanya perintah dari
Gubernur Jenderal Lord Moira, agar pasukan Inggris tidak ikut campur dalam
permasalahan di pedalaman Palembang. Raffles dipersalahkan dengan berbagai
insiden tersebut, yang berarti Inggris mencampuri urusan pemerintah Belanda.
Akan tetapi, berbagai kesalahan Raffles tersebut dihapuskan oleh pemerintah
Inggris, bahkan dibenarkan oleh rakyat Inggris. Hal tersebut tidak dapat
dilepaskan dari gencarnya usaha Raffles mengekspos berbagai sepak terjangnya di
kawasan Hindia Timur melalui berbagai media massa di Inggris. Dalam surat
yang dikirimkannya kepada Lord Moira pada 31 Desember 1818, Raffles
mengemukakan bahwa apa yang dilakukannya demi menjunjung tinggi martabat
Inggris di dunia (Inggris adalah bangsa yang sangat menjunjung tinggi martabat).
Di samping itu, juga untuk mempertahankan kontrak antara Inggris dan Sultan
Najamuddin II (1812, 1813 dan 1818). Raffles juga menyampaikan bahwa
ketidaktahuan pasukannya atas batas-batas wilayah antara Bengkulu dan
Universitas Indonesia
193
Universitas Indonesia
194
153
Orang Melayu adalah orang-orang yang tinggal di sepanjang Musi, Batang Leko dan
kawasan lainnya di uluan. Untuk menghindarkan penduduk dari serangan kelompok tersebut,
Muntinghe memandang perlu untuk menempatkan pasukan militer sebesar 250 orang serdadu di
perbatasan Rawas (ANRI, Bundel Palembang No. 15.7). Dari berbagai sumber, dapat disimpulkan
bahwa ―Orang Melayu‖ adalah penyebutan warga setempat terhadap kelompok pendatang yang
berasal dari Minangkabau dan Kerinci. Walaupun keberadaan mereka di daerah tersebut sudah
berlangsung lama, namun tetap dibedakan berdasarkan bahasa yang mereka gunakan.
Universitas Indonesia
195
154
Dengan demikian, kesepakatan Januari 1819 hanya berlaku di atas kertas.
Terbukti serdadu Inggris masih berkeliaran di daerah perbatasan bahkan sampai Muara
Bliti. Adanya suplai uang dan candu dari Bengkulu, membuktikan keberadaan serdadu-
serdadu Inggris di wilayah Palembang atas dukungan pemerintah di sana. Hal ini
memaksa Muntinghe untuk terus “memperhatikan” daerah uluan dan lengah di pusat
yaitu ibu kota Palembang. Padahal Palembang dijadikan sebagai pusat pemerintahan,
setelah Muntinghe memindahkannya dari Muntok. Berarti perangkat pemerintahan
dengan segala daya dukungnya di ibu kota Palembang masih lemah.
Universitas Indonesia
196
Muntinghe adalah mengumpulkan para depati dari Klingi dan Bliti yaitu pasirah
Muara Bliti, Lobo Mumpa, Benu Agung, dan Ujan Panas untuk meminta
kesediaan mereka menyiapkan seratus orang dari daerah masing-masing dan 150
orang dari daerah Rejang. Selanjutnya, terkumpul sebanyak 250 orang.
Menghadapi kekuatan Belanda yang besar, membuat pasukan Melayu mundur
melalui Sungai Lakitan. Akibatnya, hubungan dengan Muara Bliti pulih kembali.
Usaha itu cukup berhasil, sehingga pada 2-3 April 1819 pasukan Belanda dapat
melanjutkan perjalanan meninggalkan Ujan Panas menuju dusun Ulu Lebar
(posisinya di tengah-tengah antara Ujan Panas dan Tabah Jemeke), tanpa
gangguan apapun (ANRI, Bundel Palembang No. 66.7; Woelders, 1975: 101).
Berbagai peristiwa tersebut, menunjukkan bahwa pemerintah Inggris di
Bengkulu tetap berkeinginan untuk menduduki wilayah Palembang. Terbukti
dengan adanya suplai mesiu, dana dan candu terhadap pasukannya yang
bergabung dengan orang-orang Melayu. Bergabungnya pasukan Inggris dengan
orang-orang Melayu, dimungkinkan agar keberadaan mereka tidak terlalu tampak
di mata pemerintah Belanda, sekaligus untuk menambah kekuatan.
Banyaknya perlawanan yang dihadapi oleh pasukan Muntinghe,
membuatnya mengabarkan hal itu kepada Sultan Badaruddin II di ibu kota. Sultan
Badaruddin II menanggapinya dengan mengirimkan Ngambai Balmi (utusan
Sultan untuk mengetahui kondisi yang sesungguhnya di daerah tersebut).
Setibanya di Rantau Menitang, utusan itu mendapat informasi bahwa di Muara
Rawas, orang-orang Melayu telah berhasil membangun benteng dan persenjataan
untuk melawan Belanda. Selanjutnya Ngambai Balmi meneruskan perjalanan
menuju pusat pertahanan Muntinghe di Ujan Panas. Setibanya di sana, ia ditahan
dengan alasan berbagai perlawanan yang terjadi di daerah itu berkaitan dengan
Sultan Badaruddin II. Menurut Muntinghe telah terjadi persekongkolan antara
para pemberontakan dan Sultan Badruddin II (Woelders, 1975: 123-124).
Menyadari kemampuan militer pasukannya lemah, Muntinghe menempuh
jalur damai dalam usaha meredam perlawanan orang-orang Melayu. Melalui
depati Lobo Mumpa dan Pangeran Muara Kati, Muntinghe berhasil mengajak
Panglima Prang untuk berunding. Dari perundingan-perundingan yang mereka
lakukan, terungkap bahwa motif mereka mengobarkan perlawanan terhadap
Universitas Indonesia
197
155
Pangeran Semangus adalah depati dari dusun Semangus yang sebelumnya
memihak Belanda, berubah arah menjadi mendukung Sultan Palembang (ANRI, Bundel
Palembang No. 66.7)
Universitas Indonesia
198
Universitas Indonesia
199
Universitas Indonesia
200
Universitas Indonesia
201
BAB 5
PERANG PALEMBANG (1819 dan 1821)
Pada 1819 terjadi dua kali peperangan (Juni dan Oktober 1819) antara pasukan
Palembang dan pasukan Belanda. Terjadinya peperangan pertama disebabkan
Universitas Indonesia
202
Universitas Indonesia
203
pengikutnya dibuang ke Ternate, dan tetap sebagai ―orang buangan‖ sampai akhir
hayatnya.
Dengan dibuangnya Sultan Mudo, Sultan Tuo menjadi satu-satunya sultan yang
berkuasa di Kesultanan Palembang. Akan tetapi, walaupun posisinya telah
dikembalikan sebagai satu-satunya sultan Palembang, ia tidak memiliki banyak
kekuasaan sebagaimana tahun-tahun sebelum 1812 (Bangka tetap di tangan
Belanda). Kini Sultan hanya berkuasa di sebagian wilayah Palembang, selebihnya
berada di bawah kendali pemerintah Hindia Belanda. Untuk itu, Sultan menyusun
rencana untuk mendapatkan kembali kekuasaannya. Beberapa faktor yang
mendukung usahanya itu adalah adanya intervensi Inggris dari Bengkulu. Hal itu
menyebabkan Komisaris Muntinghe memfokuskan perhatiannya pada masalah
itu, sehingga melakukan ekspedisi ke pedalaman dalam jangka waktu lima
bulan156. Faktor lainnya adalah karena dibuangnya Sultan Mudo bersama
pengikutnya ke Pulau Jawa (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1).
Selama Muntinghe tinggal di pedalaman, memberi peluang besar bagi
Sultan Badaruddin II mempersiapkan diri guna merebut kembali kebebasannya.
Orang-orang Belanda yang tinggal di ibu kota mengamati sikap Sultan
Badaruddin II yang mulai mencurigakan, namun mereka tidak mampu berbuat
apa-apa. Kondisi itu tidak mudah untuk disampaikan ke uluan, karena sulitnya
hubungan ke pedalaman melalui jalur sungai yang membutuhkan waktu lama.
Sementara itu, Muntinghe banyak mendapat perlawanan rakyat di pedalaman. Ia
menuduh semua itu berkaitan erat dengan Sultan. Akibatnya, setibanya di
Palembang pada 20 Mei 1819, Muntinghe langsung memanggil Sultan, dan
meminta pertanggungjawaban Sultan atas apa yang menimpa pasukannya di
uluan. Sebaliknya, Sultan Badaruddin II menyatakan bahwa dirinya tidak terlibat
156
Selama di pedalaman Muntinghe dan pasukannya melakukan pendekatan
kepada penduduk setempat yang sempat melarikan diri ke hutan, karena adanya
ekspedisi pasukan Inggris. Muntinghe juga melakukan penelitian tentang keadaan
penduduk dan potensi alam di sana, membuat jalan, menganjurkan penduduk untuk
menanam kopi dan lada.
Universitas Indonesia
204
dalam masalah tersebut. Pada kesempatan itu Muntinghe menuntut agar Sultan
menyerahkan beberapa orang pangeran dan bangsawan sebagai jaminan agar hal
serupa tidak terulang. Sehubungan dengan permintaan tersebut, Sultan
Badaruddin II menjawabnya dengan menyatakan bahwa dirinya berjanji akan
menyerahkan para sandera yang dimaksud157 (ANRI, Bundel Palembang No. 67;
Bataviaasch Courant, 4 Agustus 1821).
Sultan Badaruddin II memiliki pengaruh besar terhadap bangsawan dan
penduduk, sehingga dengan mudah mendapat dukungan besar dari para
bangsawan. Selanjutnya, langkah yang diambil oleh Sultan adalah membenahi
sistem pemerintahan, setelah ditinggalkan oleh Sultan Najamuddin II. Di samping
itu, Sultan juga mengawasi jalannya pemerintahan yang selama pemerintahan
Sultan Najamuddin II cenderung disalahgunakan oleh golongan bangsawan.
Sultan juga mengakhiri berbagai pungutan, penindasan dan menerapkan hukum
yang jelas khususnya di daerah uluan. Sultan juga memperkokoh pertahanan
keraton158, menyiagakan perahu-perahu perang di sebelah hulu dan hilir keraton,
membangun kubu pertahanan di muara Sungai Ogan (ANRI, Bundel Palembang
N0. 5.1; No. 67; Bataviaasch Courant, 4 Agustus 1821).
Di pihak lain, Muntinghe juga memperkokoh kekuatan militernya dengan
cara mengajukan permintaan ke Batavia. Sesuai permintaan tersebut, pada 4 Mei
1819 tiba di ibu kota Palembang sebanyak 209 orang serdadu. Para serdadu itu
diangkut dengan menggunakan kapal Elisabeth di bawah pimpinan Mayor
Tierlam. Mereka ditempatkan di keraton Kuto lamo. Langkah lain yang ditempuh
oleh Muntinghe adalah menuntut Residen Bangka159 Smissaert terlibat aktif untuk
157
Menurut Woelders, bahwa Sultan Badaruddin II menanggapi tuntutan
tersebut dengan jawaban “melawan tiada, dikasihkan tidak” (Woelders, 1975: 125-126).
Dari pernyataan itu tampak bahwa Sultan Badaruddin II sudah siap melawan, dengan
tidak memenuhi permintaan Muntinghe tersebut.
158
Di keraton Kuto Besok ditempatkan meriam di buluarti (empat sudut keraton), sebelah
hulu dikomandoi oleh Pangeran Kramadiraja, sebelah hilir dipimpin Pangeran Kramajaya, sebelah
darat bagian hilir dipimpin Pangeran Citra Saleh dan gerbang keraton dikendalikan oleh empat
orang mentri (Woelders, 1975; 126).
159
Sejak Komisaris Muntinghe mengendalikan kekuasaan Belanda di Kesultanan
Palembang, pusat pemerintahan Belanda dipindahkan ke ibu kota Palembang. Kedudukan Belanda
di Pulau Bangka-Belitung dikendalikan oleh Residen Smissaert. Pertahanan dan keamanan di
kedua pulau itu sangat minim, sedangkan pulau-pulau di daerah itu sejak dahulu terkenal sebagai
tempat bersarangnya para bajak laut (elanong). Kawasan tersebut pada abad XV menjadi pusat
Universitas Indonesia
205
memperkuat Palembang. Untuk itu, hampir semua aparat militer yang terdiri dari
lima puluh orang serdadu, tiga puluh mesiu (separuh dari seluruh mesiu), kapal-
kapal perang dan perahu-perahu di Muntok dikerahkan ke Palembang. Yang
tersisa hanya kapal Zeehond dan beberapa perahu. Meskipun demikian,
tampaknya Muntinghe belum puas, sehingga pada 5 Juni 1819 ia menuntut agar
Smissaert secepatnya bergabung dengannya di Palembang. Akan tetapi, Smissaert
tidak sependapat dengan rencana tersebut. Menurut Smissaert, tidak hanya ibu
kota Palembang yang harus dipertahankan, tetapi juga pangkalan Muntok.
Apalagi pada saat itu para perwira yang tersisa di Muntok adalah orang-orang
yang tidak berguna karena pemabuk dan pemalas160. Akibatnya, pertahanan
Belanda di Muntok jauh lebih lemah dibandingkan daerah lainnya. Keadaan itu
memaksa Smissaert mendesak Gubernur Jenderal untuk segera mengirimkan
tambahan pasukan, kapal, perahu, mesiu, peluru, amunisi, beras, dan minyak serta
uang. Permintaan itu disampaikan melalui suratnya pada Juni 1819.
Sesungguhnya, permintaan itu sudah diajukan Smissaert sejak satu tahun
sebelumnya, namun belum mendapat respon na sehingga Smissaert frustasi. Atas
berbagai pertimbangan tersebut, Smissaert berketetapan hati untuk tidak
meninggalkan Bangka yang sangat rawan. Daerah itu menjadi sasaran empuk
para bajak laut, dan penolakan itu berarti ia harus berhadapan dengan Muntinghe
sebagai seorang pembangkang atasannya (ANRI, Bundel Palembang No.67;
Missive van Smissaert 11 Juni 1819 No. Litt A Algemeneen Secretarie; Besluit
van Gouverneur Generaal 5 Agustus 1819 No. 1, Bundel Algemeen Secretarie).
Dengan tibanya berbagai bala bantuan tersebut, total serdadu Belanda di
Palembang mencapai sekitar 500 orang. Selanjutnya, kepemimpinan pasukan
elanong. Akibatnya, pantai-pantai di pesisir pulau itu menjadi daerah rawan dari serangan dan
pendudukan elanong. Contohnya pada 28 Mei 1819 para elanong menyerang benteng Belanda di
Toboali, sehingga empat puluh serdadu Belanda mundur ke Bayor dan Pangkal Pinang. Para
elanong mengusai benteng dan gudang timah Belanda di sana. Usaha merebut kembali Toboali
berhasil setelah Smissaert dan Kapten Snoeck mengerahkan empat puluh orang serdadu (ANRI,
Bundel Palembang No. 67; ANRI, Besluit van Gouverneur Generaal 5 Agustus 1819 No. 1,
Bundel Algemeen Secretarie; Lapian, 2009:137-138). Kemenangan itu memberi mereka semangat
untuk terus bertahan, walaupun tidak memiliki persenjataan yang cukup.
160
Para perwira tersebut antara lain: Donker, Kansjeboom, letnan Burry dan
Letnan Kaseboom, sedangkan dua lainnya yaitu Letnan Alewijn dan Goozens sedang
sakit (ANRI, Besluit van Gouverneur Generaal 5 Agustus 1819 No. 1, Bundel Algemeen
Secretarie).
Universitas Indonesia
206
diserahkan oleh Muntinghe kepada Mayor Tierlam. Sementara itu, kondisi di ibu
kota Palembang semakin genting, karena di keraton Kuto Besak terjadi kesibukan
luar biasa yang mencurigakan. Kesibukan itu menimbulkan protes dari Muntinghe
yang menuntut agar aktifitas itu dihentikan. Meskipun demikian, pihak Belanda
juga mempersiapkan diri dengan menyiagakan kapal perang Ajax (berkekuatan
enam belas meriam ukuran delapan pon), Eendracht (berkekuatan 32 meriam
ukuran tiga puluh pon) di bawah komando Kapten Letnan Taki Bakker dan
Letnan klas-1 J. van Ginkel (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Kielstra, 1892:
94).
Masing-masing pihak dalam posisi siaga, persiapan Sultan Badaruddin II
sudah matang, ditandai dengan telah siaganya berbagai persenjataan yaitu meriam,
granat, lila, tombak, pedang dan senapan. Untuk memantapkan kesiapan mental,
Sultan mmerintahkan agar dilakukan zikir161, yang pelaksanaannya dilakukan di
luar keraton sehingga suaranya sampai ke keraton Lamo tempat para serdadu
Belanda ditempatkan. Suara zikir itu menyebabkan sebelas serdadu Belanda
memeriksa lokasi tersebut. Kehadiran serdadu-serdadu itu memicu terjadinya
bentrokan senjata. Dalam ―insiden‖ itu Haji Zain memimpin penyerangan
terhadap sebelas serdadu Belanda, dan pertempuran antara kedua belah pihak
tidak terhindarkan. Dalam pertempuran itu Haji Zain, Kemas Said, dan Haji
Lanang terbunuh (Woelders, 1975: 103, 124; Syair Perang Muntinghe).
Dalam kondisi genting itu, para serdadu Palembang juga mengarahkan
meriam-meriam ke kapal-kapal dan garnizun Belanda. Sultan juga mengumpulkan
rakyat Palembang, lengkap dengan persenjataan mereka masing-masing.
Menjelang magrib pada 11 Juni 1819, pihak Belanda menempatkan kapal perang
Ajax di depan keraton Sultan. Dua kompi dari resimen infanteri ke-3 disiagakan di
keraton Kuto Lamo. Pada malam harinya pukul 22.00, dua orang Pangeran
Adipati menghadap Muntinghe untuk menyampaikan jawaban Sultan Badaruddin
161
Dalam “Syair Perang Muntinghe/Perang Menteng atau Perang Palembang”
disebutkan bahwa ajaran tasawuf menjadi aspek penting dalam kehidupan keraton
maupun rakyat. Dengan demikian, peran para “haji” menjadi begitu sentral (bait 7, 8, 9,
10, 11, 12), terbukti dari pembacaan zikir secara bersama-sama dalam rangka persiapan
perang. Syair ini juga menggambarkan perang jihad rakyat Palembang melawan kolonial
Belanda yang kafir (bait 1, 6, 21, 33, 55, 74, 118, 118-122, 144, 146, 162, 173, 191-192,
204, 210, 247).
Universitas Indonesia
207
II. Pada intinya Sultan sepakat untuk menyerahkan Pangeran Ratu dan beberapa
orang pangeran lainnya, sesuai tuntutan Muntinghe dan telah menghentikan
semua aktivitas ―mencurigakan‖ pihak Belanda di dalam keraton (ANRI, Bundel
Palembang No.67; Missive van Banca 14 Juni 1819 Bundel Algemeen Secretarie).
Sampai saat itu kondisinya genting, menunggu terjadinyanya perang antara dua
kubu yang berlawanan.
Perang Palembang dimulai dengan serangan singkat terhadap pasukan
Belanda pada pukul 03.30, 12 Juni 1819. Penyerangan itu merupakan aksi balasan
atas insiden penembakan yang dilakukan oleh serdadu Belanda, yang
menyebabkan seorang penduduk Palembang terbunuh. Melihat situasi yang ada,
Muntinghe mengambil sikap dengan memerintahkan Mayor Tierlam agar segera
membawa pasukannya meninggalkan keraton Kuto Lamo. Mereka diperintahkan
untuk menghuni sebuah bangunan yang tengah dibangun untuk kebutuhan
mereka. Pada saat pasukan Belanda tengah menuju bangunan tersebut, mereka
diserang oleh laskar Palembang sehingga meletus pertempuran (ANRI, Bundel
Palembang No. 67; ANRI, Missive van Smissaert 11 Juni 1819 No. Litt A
Algemeneen Secretarie).
Dalam pertempuran itu, laskar Palembang di bawah pimpinan putera-putera
Sultan Badaruddin II, antara lain Pangeran Ratu, dan Pangeran Prabu. Terlibat
pula secara langsung adik Sultan yaitu Pangeran Adipati Tuo dan dua orang
menantu Sultan yaitu Pangeran Kramadiraja dan Pangeran Kramajaya. Dari
keraton mereka mengarahkan serangannya kepada kapal-kapal Belanda yang
tengah ditempatkan di depan keraton. Digambarkan dari naskah lokal yang
dikutip oleh Woelder (Woelders, 1975: 126) sebagai berikut:
―…bergeraklah bumi dan berguncanglah air laut. Maka gegak
[gegap] gempitalah negeri Palembang, gemuruh seperti langit
akan runtuh. Dan bunyi meriam seperti bunyi halontar
[halilintar] membelah bumi bunyinya. Tiada nampak sesuatu lagi
oleh asap bedil, hanyalah kilat meriam juga yang nampak
muncar ke langit. Demikianlah halnya perang itu terlalu
besarnya. Dan tiadalah kedengaran suatu lagi apa-apa, hanya
bunyi meriam dan sorak seala ra‘yat laut dan darat. Dan waktu
itu dahsatlah orang yang penakut dan lupalah kepada matinya
orang yang berani‖.
Universitas Indonesia
208
162
Rakit-rakit yang telah dibakar diluncurkan untuk menghantam kapal-kapal
Belanda, sehingga kapal-kapal itu terbakar dan hancur (The Asiatic Journal, 1820). Rakit-
rakit itu terbuat dari bambu dan papan yang dibangun di atas rakit besar, yang dililitkan
dengan tali rotan. Pembuatan rakit itu dipercayakan sultan kepada Raden Kijing (Waey,
1975: 107; Woelders, 1975: 128).
Universitas Indonesia
209
Universitas Indonesia
210
(2,13 meter) dengan tinggi 27-30 kaki (8,23-9,14 meter). Kejadian itu
menimbulkan keheranan pada semua anggota pasukan Belanda. Setelah melihat
ada peluang, langkah yang diambil oleh Mayor Tierlam dan Kapten van der Wijck
adalah menyerbu gerbang keraton. Selanjutnya, kapal perang Ajax mengikutinya
dengan menggunakan meriam-meriam panjang berukuran delapan pon, dan kapal
Eendracht dengan meriam-meriam berukuran 24 pon. Semuanya dikerahkan
untuk menguasai keraton. (ANRI, Bundel Palembang No. 67; ANRI, Bundel
Palembang No. 5.1; ANRI, Missive van Smissaert 11 Juni 1819 No. Litt A
Algemeneen Secretarie; Bataviaasch Courant, 4 Agustus 1821; ―Syair Perang
Muntinghe‖; Woelders, 1975: 127-128).
Melalui lubang yang mereka temukan pada tembok keraton, pasukan
Belanda terus melepaskan tembakan ke arah pasukan Palembang. Sebaliknya, dari
balik dinding keraton laskar Palembang gencar membalas pasukan Belanda
dengan meriam-meriam, sehingga membuat pasukan Belanda sulit melindungi
diri. Dalam posisi terdesak, pasukan Belanda terpaksa menarik diri dan tembakan-
tembakan dari kapal-kapal Belanda mereda pada pukul 21.30. Hal itu disebabkan
kapal-kapal dan perahu-perahu milik Belanda kehabisan amunisi. Perahu kora-
kora nomor 10 ditarik dan ditempatkan di samping kapal Elizabeth. Pada 22.00
seluruh kekuatan yang tersisa diangkut malam itu. Pada peperangan hari kedua
itu, pihak Belanda mengalami kerugian dengan terbunuhnya delapan belas orang
serdadu, dan 142 orang luka-luka (ANRI, Bundel Palembang No. 67; ANRI,
Missive van Smissaert 11 Juni 1819 No. Litt A Algemeneen Secretarie).
Besarnya kerugian yang diderita oleh pihak Belanda, menunjukkan bahwa
pertempuran pada hari itu berlangsung sangat gigih dari kedua belah pihak, di
pihak Palembang diperoleh data dari ―Syair Perang Muntinghe‖ bahwa yang
gugur dalam pertempuran itu adalah Kemas Said, dan Sayyid Zain. Dapat
disimpulkan bahwa mengingat pasukan Belanda ditopang oleh peralatan perang
yang cukup canggih untuk ukuran pada waktu itu, dan habisnya amunisi yang
mereka miliki, tentunya pertempuran itu sangat dahsyat dan menelan korban yang
besar. Di samping itu, timbul pertanyaan mengapa pasukan Belanda kehabisan
amunisi? Apakah disebabkan jumlah amunisi yang mereka siapkan terbatas, atau
amunisi yang mereka muntahkan terlalu banyak dalam menghadapi perlawanan
Universitas Indonesia
211
163
Dalam “Syair Perang Menteng” disebutkan bahwa yang diutus oleh
Muntinghe adalah Pangeran Nataagama (bait 48), sedangkan waktu yang diminta untuk
mundur adalah tiga hari (bait 60).
Universitas Indonesia
212
Universitas Indonesia
213
Universitas Indonesia
214
serangan balik dari Plaju. Pada saat itu kekuatan militer yang tersisa adalah dua
kapal perang yaitu Eendracht dan Ajax, dengan 350 orang serdadu. Para serdadu
yang sakit dan terluka sebanyak 75 orang, dikirim ke Muntok menggunakan kapal
Emma (ANRI, Besluit van Gouverneur Generaal 5 Agustus 1819 No. 1 Bundel
Algemeen Secretarie).
Pertahanan di Plaju tidak dapat dipertahankan, karena mereka mendapat
serangan gencar dari pasukan Palembang. Akibatnya, pasukan Belanda tidak
mampu bertahan dan Muntinghe memutuskan untuk seluruhnya mundur ke
Bangka pada 19 Juni 1819, Tindakan itu menuai kritik dari banyak pihak. Para
petinggi militer Belanda yakin bahwa seandainya pasukan mereka tetap bertahan
di Plaju dan segera mendapat bantuan amunisi dari Batavia, dengan tambahan
bantuan tersebut, mereka dapat segera kembali menyerang keraton Palembang.
Artinya, apabila hal itu terjadi, kegagalan besar pada perang 1819 kemungkinan
tidak terjadi. Kegagalan itu juga disesalkan oleh Waey, salah seorang yang terlibat
dalam peperangan itu dalam memorinya. Ia menyatakan bahwa kegagalan itu
disebabkan terkonsentrasinya semua kekuasaan militer baik darat maupun laut di
tangan satu orang, yaitu Muntinghe yang bukan berasal dari militer, juga karena
kekurangpahamannya tentang kekuatan militer yang dimiliki oleh Kesultanan
Palembang. Akibatnya, sering terjadi kesalahan strategi. Kegagalan strategi
militer Muntinghe dalam ―drama‖ di Kesultanan Palembang disebabkan
ambisinya yang berlebihan dengan mengendalikan seluruh kekuatan militer di
tangannya. Akibatnya, pihak Belanda mengalami kerugian yang besar (ANRI,
Bundel Palembang No. 67; ANRI, No. 5.1; Bataviaasch Courant, 4 Agustus 1821;
The Asiatic Juurnal 1820; Waey, 1875: 107).
Terlepas dari kekecewaan yang dinyatakan oleh berbagai kalangan
khususnya para petinggi di Batavia atas mundurnya pasukan Belanda ke Muntok,
yang pasti, bahwa kondisi pada waktu itu tidak memungkinkan mereka untuk
bertahan. Laskar Palembang tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk terus
menggempur pasukan Belanda yang sudah berada pada posisi terdesak. Dari bait
111—117 dari ―Syair Perang Muntinghe‖ jelas terlihat dukungan yang sangat
besar dari para priyayi untuk menghancurkan kekuatan militer Belanda. Melihat
Universitas Indonesia
215
164
Residen Smissaert juga mengirimkan laporan tentang kondisi kapal-kapal di
Muntok kepada Laksamana Wolterbeek (ANRI, Besluit van Gouverneur Generaal 5
Agustus 1819 No. 1 Bundel Algemeen Secretarie).
Universitas Indonesia
216
diharapkan tidak seperti yang mereka bayangkan. Jalur itu tetap menjadi milik
para bajak laut dan pedagang pribumi, yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan
dari jalur tersebut. Kelompok-kelompok inilah yang nantinya ―bermain‖ untuk
menembus blokade Belanda demi memenuhi kebutuhan penduduk Palembang
berupa garam, bahan pakaian dan lainnya.
Setelah segala sesuatunya dianggap selesai, Muntinghe meninggalkan
Muntok menuju ke Batavia. Setiba di sana, ia mendesak pemerintah pusat untuk
segera mengirimkan bantuan ke Pulau Bangka, mengingat minimnya pertahanan
militer di sana. Di samping itu, hal yang sangat penting adalah menebus
kekalahan terhadap Palembang. Pengiriman ekspdisi militer yang besar
merupakan suatu tindakan yang tepat untuk memberi pelajaran kepada Sultan
Palembang. Pemerintah Belanda meyakini bahwa dengan kekalahan Belanda pada
perang Juni 1819, Sultan Badaruddin II dan penduduk Palembang menganggap
Belanda dalam kondisi lemah. Apalagi Belanda baru saja dihadapkan pada
pemberontakan selama dua tahun (1817) Cirebon dan Maluku. Mereka takut
penarikan pasukan mereka dari Palembang akan menimbulkan kesan mendalam
pada penduduk Palembang bahwa kekuatan militer mereka lemah. Untuk itu,
langkah yang harus diambil adalah secepat mungkin menghilangkan kesan negatif
itu dengan mengirimkan ekspedisi militer (ANRI, Bundel Palembang No. 67; No.
5.1). Keyakinan yang berkembang pada waktu itu adalah hanya dengan ekspedisi
militer, kekuatan dan prestise Belanda dapat diperoleh kembali.
Universitas Indonesia
217
165
Penyandang bintang jasa militer Willems Order (ANRI, Besluit van Gouverneur
Generaal 30 Jili 1819 No. 1 Bundel Algemeen Secretarie).
Universitas Indonesia
218
166
Informasi tentang kekayaan Lampung dan timah Palembang, diperoleh Laksamana
Wolterbeek dari Francis seorang partikelir yang pernah bekerja di Lampung di bawah Dubois
(ANRI, Budel Palembang No. 66.10).
Universitas Indonesia
219
telah disiapkan pula seorang ahli bedah dengan korps daruratnya, sedangkan
Inspektur administrasi Emmet menyiagakan korps perawat. Demi lancarnya
ekspedisi ke Palembang, De Kock dan Residen Batavia mengawasi langsung
persiapan armada ke Palembang dan Lampung. Di Lampung kapal ekspedisi
ditempatkan di muara Sungai Mesuji167, sedangkan tujuh perahu jelajah
disiagakan di pantai Lampung. Semua kekuatan berada di bawah tanggung jawab
Dubois. Melalui Sungai Mesuji yang terhubung dengan Sungai Komering, pihak
Belanda merencanakan penyerangan.
Berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal pada 30 Juli 1819, ekspedisi ke
Palembang akan dilaksanakan pada 15 Agustus 1819168, Armada Belanda
membawa lima ratus orang perwira dan personil Eropa dari resimen infanteri ke-
5, ditambah seratus sampai 150 orang serdadu, meriam, amunisi, beberapa cunia
dan bahan makanan serta barang kebutuhan lainnya (ANRI, Besluit van Governor
Generaal 30 Juli 1819 No. 1 Bundel Algemeen Secretarie). Sumber arsip lain
menyebutkan bahwa ekspedisi bergerak dari Batavia pada 22 Agustus 1819, tiba
di Muntok Bangka pada 30 Agustus 1819. Armada yang terlibat dalam ekspedisi
itu adalah kapal pengangkut Tromp, kapal layar Irene, kapal meriam nomor 17
dan 18 serta kapal-kapal angkut swasta antara lain Arinus, Marinus, Admiraal
Buyskes, de Emma, Waterbik, Blucher, Ajax dan Henriette Betthy. Ekspedisi itu
melibatkan serdadu Eropa, yang terdiri dari delapan ratus orang serdadu infanteri
dan seratus orang serdadu artileri169 (ANRI, Bundel Palembang No. 67).
Mengingat banyak hal yang harus dipersiapkan, maka keberangkatan
armada ekspedisi jadi tertunda. Mengenai jumlah anggota pasukan yang
diterjunkan berbeda dari berbagai sumber, harus dipahami bahwa jumlahnya
mencapai ribuan orang. Hal itu berdasarkan pesiapan yang dilakukan oleh
167
Sungai Mesuji adalah sungai yang mengalir dari barat ke timur melalui daerah
Tulang Bawang Lampung. Sungai itu dapat dilayari oleh kapal-kapal besar. Sungai Mesuji
terhubung dengan Sungai Komering Palembang melalui Sungai Babatan (Sturler,
1843:44-45).
168
Berdasarkan pengamatan De Kock terhadap persiapan untuk melakukan
ekspedisi, ia tidak yakin ekspedisi dapat diberangkatkan dari Batavia pada 15 Agustus
1819 (ANRI, Bundel Palembang No. 66.10).
169
Menurut Stapel (1940: 193), pasukan infantri yang diterjunkan sebanyak
1600 orang.
Universitas Indonesia
220
Universitas Indonesia
221
disebabkan adanya gangguan keamanan baik dari para pejuang setempat maupun
bajak laut, sehingga mereka meninggalkan Toboali. Penduduk etnis Cina yang
tersisa sebanyak 153 orang di bawah pimpinan Kappo, mereka merasa tidak aman
dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Untuk itu, yang bisa dilakukan adalah
mendatangkan tenaga kerja dari daerah lain (ANRI, Besluit van Gouvernor
Generaal 5 Agustus 1819 No. 1 Bundel Algemeen Secretarie).
Sebagai salah satu daerah penting di Pulau Bangka, Toboali juga menjadi
basis perlawanan rakyat setempat. Perlawanan penting yang terjadi di sana di
bawah pimpinan Batin Pa Amin. Menghadapi perlawanan itu, pemerintah Belanda
kembali mengirimkan kekuatan yang yang terdiri dari 35 orang pasukan infanteri
di bawah pimpinan Sersan Smith, ditambah dua ratusan orang Cina yang
didatangkan dari daerah lain di Bangka di bawah kendali Vernet dan Moritz.
Dalam pertempuran itu Batin Pa Amin terkena tusukan, namun ia berhasil
menyelamatkan diri. Selanjutnya, pasukan Batin Pa Amin mengundurkan diri
memasuki hutan. Banyaknya orang-orang Cina yang memihak Belanda dalam
pertempuran itu, menunjukkan bahwa pihak Belanda berhasil mempengaruhi
orang-orang Cina untuk mendukung kekuasaan mereka di sana. Kegagalan
perlawanan Batin Pa Amin karena adanya dukungan dari pemimpin setempat
seperti Demang Minyak dan pengikutnya yang berpihak kepada pihak Belanda
(ANRI, Bundel Palembang No. 67). Dengan demikian, jelas bahwa perlawanan
penduduk Toboali terpecah antara melawan Belanda dan mendukungnya. Itu
semua menguntungkan pihak Belanda karena mendapat bantuan dari orang-orang
Cina dan sebagian penduduk setempat. Kekalahan perlawanan Batin Pa Amin
juga karena Belanda mengerahkan jumlah pasukan yang lebih besar, dan sebagian
anggota pasukannya mengetahui medan.
Kekacauan juga terjadi di sepanjang pantai Pangkal Pinang, yang
merupakan bentuk perlawanan rakyat Bangka terhadap Belanda. Untuk itu,
pasukan Belanda mengalihkan penyerangan ke pos-pos di Kapo, Berikat, Muson
dan Pangkal Pinang di bawah pimpinan Letnan-2 Infanteri Buzi. Setelah berhasil
mengamankan daerah itu, mereka memperkuat pos-pos pertahanan di sana agar
terhindar dari serangan penduduk Bangka. Walaupun demikian, secara umum
pantai-pantai Bangka dikendalikan oleh penduduk setempat di bawah para
Universitas Indonesia
222
pemimpin mereka yang bekerjasama dengan para bajak laut. Kekuatan para
pejuang Bangka pada waktu itu terbagi dua kelompok besar. Masing-masing
berkekuatan seratus perahu, dengan kekuatan tersebut mereka acap kali
melakukan penyerangan terhadap pos-pos pertahanan Belanda, bahkan mampu
mendekati pusat kekuasaan Belanda di Muntok. Perlawanan mereka juga
mendapat dukungan besar dari Sultan Badaruddin II. Dukungan tersebut membuat
mereka semakin percaya diri untuk terus berjuang. Sebaliknya, pasukan Belanda
yang kalah perang di Palembang, mentalnya jatuh, banyak yang jatuh sakit, luka-
luka dan meninggal dunia. Untuk menghadapi perlawanan rakyat Bangka yang
menjalar ke seluruh pulau itu, Mayor Tierlam170 sepakat dengan Smissaert untuk
mengirimkan lima puluh orang serdadu dengan kapal perang Ajax, 37 orang
serdadu dengan kapal perang Eendracht dan sembilan belas orang dengan perahu
sekoci nomor 10. Masing-masing dipimpin oleh tiga orang perwira. Para serdadu
itu ditugaskan untuk memperkuat pertahanan garnisun di Jebus Bangka yang
merupakan daerah terdekat dengan Muntok (ANRI, Bundel Palembang No. 67).
Berbagai perlawanan penduduk Bangka membuat pemerintah Belanda di
sana kewalahan menghadapinya. Mereka harus mengerahkan tenaga dan
persenjataan serta armada untuk mematahkan perlawanan-perlawanan tersebut.
Dilain pihak, perlawanan rakyat Bangka semakin berkobar dengan kemenangan
Palembang dalam peperangan Juni 1819.
Perlawanan rakyat Bangka memiliki ciri yang unik, yaitu terjalinnya
kerjasama yang erat antara para pejuang rakyat Bangka dan para bajak laut yang
umumnya orang Bugis, Bangka dan Palembang. Dalam sumber-sumber Belanda
dinyatakan bahwa hampir tidak bisa dibedakan antara pejuang lokal dan para
bajak laut. Di mata Belanda semuanya adalah ―musuh dan pemberontak‖.
Contohnya Raden Kling (kerabat Sultan Palembang) yang berdomisili di Toboali.
Raden Kling mempunyai pengaruh besar terhadap penduduk. Ia juga berhubungan
erat dengan Depati Belitung yaitu Kiagus Batam. Raden Kling sudah mulai
melakukan pemberontakan sejak masa pemerintahan Inggris di sana. Ia juga
membunuh inspektur Inggris Brown, dan mundur ke Belitung. Selanjutnya
170
Mayor Tierlam menjadi pemimpin militer di Bangka sejak Juli 1819 (ANRI,
Bundel Palembang No. 67).
Universitas Indonesia
223
171
Bangka Kotta terletak di Bangka Tengah, sungainya bermuara ke pantai barat Pulau
Bangka. Sejak abad XVII daerah itu telah menjadi pusat pemukiman penduduk. Bangka Kotta
didirikan oleh Syarah, seorang pemimpin Arab yang berhasil mengusir suku Malukut dari Sumatra
yang menduduki wilayah itu. Sejak itu, Syarah bersama-sama penduduk membangun pemukiman
dan kubu-kubu pertahanan. Dengan demikian, Bangka Kotta telah berkembang sebelum
pertambangan timah ditemukan di sana. Bangka Kotta juga berkaitan erat dengan Kesultanan
Palembang, karena putera bungsu Sultan Abdul Rahman pada waktu itu, tidak lama setelah 1671
mendirikan kubu pertahanan muara Sungai Bangka Kotta yang merupakan tempat strategis. Di
samping itu, pihak Kesultanan Palembang juga mengembangkan Permisang dan Balar di Pulau
Bangka, sebagai pusat-pusat pemukiman. Keberadaan kubu-kubu petahanan itu didukung oleh
orang-orang Bugis yang terkenal sebagai elanong. Sejak itu keberadaan Bangka Kotta makin
penting. Kelak perannya agak surut setelah pemerintah Belanda mengembangkan Muntok sebagai
pelabuhan dan pusat pemerintahan (Heidhues. 2008: 3,90; Clercq, 1845: 124; Korten Schets..,
1846: 137).
Universitas Indonesia
224
Universitas Indonesia
225
172
Dalam sumber lain disebutkan bahwa yang memimpin penyerangan terhadap
Bangka Kotta dari sisi timur adalah Kapten Kaffijn atas perintah Kolonel Bischoff selaku
komandan ekspedisi (ANRI, Bundel Palembang No. 66.10)
Universitas Indonesia
226
Universitas Indonesia
227
pertahanan Bangka yang mereka temukan di tengah hutan rawa. Sebuah kubu
yang dibangun kokoh dan kuat, dilengkapi senapan letup dan senapan kecil.
Membutuhkan usaha ekstra bagi pasukan Belanda untuk berhasil menduduki kubu
pertahanan itu, yang dipertahankan dengan gigih oleh pemiliknya. Akibatnya,
anggota pasukan Belanda banyak yang terluka dalam pertempuran itu. Pasukan
Bangka kembali menarik diri ke pusat pertahanan yang terletak tidak jauh dari
lokasi pertempuran sebelumnya. Pusat pertahanan itu berupa benteng yang sangat
kokoh, dikelilingi dinding yang terbuat dari balok-balok kayu dan dilengkapi
meriam ukuran tiga pon. Pertempuran mempertahankan benteng itu sangat
dahsyat. Pasukan Bangka terpaksa melepaskan benteng itu ke tangan pasukan
Belanda, Pasukan Bangka mundur dengan menggunakan perahu-perahu. Pasukan
yang tersisa mencoba terus bertahan, namun pasukan Belanda membakar
bangunan-bangunan itu. Pihak Belanda berkeyakinan bahwa perlawanan rakyat
Bangka akan berakhir jika semua kubu pertahanan dan pemukiman mereka
dimusnahkan (ANRI, Bundel Palembang No. 67).
Apa yang diharapkan oleh para pemimpin pasukan Belanda tidak terbukti.
Perlawanan penduduk terus berkobar dengan cara gerilya diberbagai tempat di
Pulau Bangka. Dari persembunyian mereka di hutan-hutan, secara tiba-tiba
mereka
menyerang dengan tembakan-tembakan meriam. Pada mulanya pemimpin
pasukan Belanda Kapten Laemlin mengira itu adalah pasukan Belanda dari arah
lain. Dugaannya meleset, karena yang terjadi adalah serangan dari kubu
pertahanan Bangka yang tersembunyi di balik pepohonan. Ternyata pasukan
Bangka membangun kubu pertahanan yang kokoh di dalam hutan. Kubu-kubu
pertahanan itu terletak di lokasi yang strategis yang dikelilingi rawa-rawa.
Serangan pertama yang dikerahkan oleh Kapten Laemlin mendapat perlawanan
sengit, sehingga pasukan Belanda harus mundur. Dalam peperangan itu pihak
Belanda mengalami kerugian empat orang terbunuh dan sembilan belas orang
serdadu terluka. Kapten Laemlin mencoba melakukan serangan kedua, namun
terpaksa diurungkan mengingat banyak anggota pasukan Belanda yang terluka
dan sakit. Mereka juga kekurangan peluru dan perbekalan. Hujan yang lebat juga
menjadi penghalang penyerangan mereka. Akibatnya, yang mampu mereka
Universitas Indonesia
228
lakukan hanya menghancurkan apapun yang ada di dekat mereka, baik berupa
bangunan-bangunan maupun perahu-perahu milik pasukan Bangka. Penghancuran
semua bangunan menyebabkan mereka mengalami kesulitan untuk beristirahat,
padahal banyak anggota pasukan yang sakit, terluka dan meninggal (ANRI,
Bundel Palembang No. 67). Suatu tindakan gegabah di medan yang begitu berat
berupa hutan dan rawa-rawa serta kurangnya perbekalan. Semangat ingin
memusnahkan apa yang menjadi milik pasukan Bangka, menyebabkan mereka
harus berhadapan dengan alam yang ganas tanpa tempat berlindung ditengah
banyak anggota pasukan yang sakit dan terluka.
Langkah Kapten Leamlin selanjutnya adalah mundur dengan segala
resiko yaitu menghadapi medan yang berat, membawa para serdadu yang sakit
dan terluka dengan sarana pengangkutan yang sangat terbatas. Dengan susah
payah akhirnya mereka tiba di Koba pada 25 September 1819. Di sana mereka
harus menunggu lebih dari sepekan lamanya, karena inspektur tambang timah
Rotier dan Vernet menolak mengangkut mereka dengan sewa rendah. Menurut
keduanya, mengangkut timah jauh lebih menguntungkan dan mendesak dari pada
mengangkut korban pertempuran di Bangka Kotta. Akibatnya, jumlah korban
bertambah menjadi 46 orang. Akhirnya, pelayaran mereka kembali ke Muntok
baru terlaksana pada 2 Oktober 1819 menggunakan kapal Admiraal Buyskes, tiba
di sana pada 8 Oktober 1819. Sesampainya di Muntok, jumlah serdadu yang sakit
bertambah menjadi 65 orang. Semua itu menunjukkan bahwa kondisi pasukan
Belanda sudah kritis173. Mundurnya pasukan Belanda membuat Bangka Kotta
173
Pihak Belanda di Bangka telah mereka melakukan berbagai cara untuk memperkuat
kemampuan militer mereka di Bangka. Akan tetapi, sampai September 1819, kondisi pertahanan
mereka di pulau itu masih memprihatinkan khususnya kekurangan amunisi. Berdasarkan laporan
Mayor komandan Phitsinger pada 27 September 1819 kepada Smissaert, disebutkan bahwa di
Bangka mesiu yang tersisa hanya seberat dua ribu pon. Selain itu, terdapat pula dua ribu pon
dengan kualitas rendah, yang hanya cocok untuk tembakan penghormatan. Selain itu, kapal-kapal
milik mereka umumnya dalam kondisi rusak. Kapal Zeehond yang selama itu mangkal di Bangka,
mengalami patah tiang layar, sehingga harus digantikan oleh kapal Zephijn. Begitu pula kapal
Auspicious dan kapal De Generaal Stewart mengalami hal yang sama, Kapal-kapal itu hanya
mampu mengangkut beban seberat tiga koyang tiap kapal. Kondisi itu membuat Smissaert
semakin kecewa terhadap pemerintah pusat di Batavia. Beberapa kali ia sudah mengajukan
permintaan tambahan pasukan, mesiu dan peralatan perang tetapi belum juga berhasil. Akhirnya,
dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Va der Capellen pada 27 September 1819 No. 32,
Smissaert mengemukakan bahwa pihak Batavia tidak mau melakukan sesuatu untuk Pulau
Bangka. Dilain pihak, ternyata keterlambatan pengiriman bantuan dari Batavia, disebabkan para
nahkoda umumnya menolak diberangkatkan ke Bangka dan Palembang. Mereka tidak ingin
peristiwa pada 1812 terulang kembali. Pada waktu itu, Inggris tidak membayar upah para nahkoda
Universitas Indonesia
229
terlepas dari gangguan dan penghancuran lebih lanjut. Keadaan itu, mereka
manfaatkan untuk memperbaiki dan memperkuat pertahanan sekaligus menambah
jumlah pasukan (ANRI, Bundel Palembang No. 67).
Pasukan Belanda tidak mampu berbuat banyak menghadapi perlawanan
penduduk Bangka yang berjumlah lebih banyak dan menguasai medan. Suatu hal
yang jamak di sana, untuk menguasai lokasi tertentu harus dilakukan berulang-
ulang, karena pendudukan Belanda biasanya tidak permanen. Hal itu tidak dapat
dilepaskan karena terbatasnya personil, persenjataan dan bahan makanan yang
mereka miliki. Mundurnya pasukan Belanda memberi peluang bagi pasukan
Bangka untuk merebut daerah itu kembali, menyusun kekuatan untuk bertahan,
atau bahkan melakukan serangan balik. Akibatnya, penaklukan atas Pulau Bangka
menjadi lebih sulit dan lama.
Berbagai usaha telah mereka lakukan untuk memperkuat pertahanan di
Bangka. Akan tetapi, sampai September 1819, kondisi pertahanan Belanda di
pulau itu masih memprihatinkan khususnya kekurangan amunisi. Berdasarkan
laporan Mayor komandan Phitsinger pada 27 September 1819 kepada Smissaert,
diketahui bahwa di Bangka mesiu yang tersisa hanya seberat dua ribu pon. Selain
itu, terdapat pula dua ribu pon dengan kualitas rendah, yang hanya cocok untuk
tembakan penghormatan, sedangkan kapal-kapal yang ada umumnya dalam
kondisi rusak. Kapal Zeehond yang selama itu mangkal di Bangka, mengalami
patah tiang layar, sehingga harus digantikan oleh kapal Zephijn. Begitu pula kapal
Auspicious dan kapal De Generaal Stewart mengalami hal yang sama, Kapal-
kapal itu hanya mampu mengangkut beban seberat tiga koyang tiap kapal. Kondisi
yang membawa kapal-kapal Inggris ke Palembang. Bahkan mereka tidak mendapat ganti rugi atas
kerusakan atau kehilangan kapal-kapal milik mereka. Penolakan tersebut menempatkan
pemerintah Belanda pada posisi sulit. Di satu sisi, mereka dituntut untuk secepatnya mengirimkan
pasukan dari Batavia. Akan tetapi, di sisi lain residen Batavia mengalami kesulitan mendapatkan
nahkoda yang bersedia membawa kapal-kapal ke Palembang. Akibatnya pengiriman perahu-
perahu itu tertunda (ANRI, Missive van Smissaert, 27 September 1819 No. 32 Bundel Algemeneen
Secretarie). Kondisi tersebut tidak diketahui oleh Smissaert. Baginya, sekalipun armada dari
Batavia telah tiba di Muntok, namun itu tidak berpengaruh bagi pertahanan keamanan Pulau
Bangka, karena semua armada yang ada akan dilibatkan dalam eskpedisi ke ibu kota Palembang.
Dengan demikian, kemampuan militer Bangka tetap dalam kondisi kritis, karena hanya
dikendalikan oleh satu kompi flankeur (pasukan pengintai) dari resimen ke-18 yang ditempatkan
di Muntok. Akan tetapi, mereka mampu bertahan, karena para pemimpin Bangka juga tengah
memfokuskan diri menunggu hasil dari perang di Palembang, sehingga tidak banyak melakukan
pemberontakan.
Universitas Indonesia
230
Universitas Indonesia
231
Universitas Indonesia
232
Universitas Indonesia
233
Universitas Indonesia
234
174
Sunsang adalah jalur paling ramai yang digunakan sebagai pintu keluar masuk
pelayaran dan perdagangan dari dan ke ibu kota Palembang.
Universitas Indonesia
235
kebutuhan mereka. Selain itu, blokade hanya dilakukan oleh dua kapal perang,
Ternyata walaupun keluar sebagai pemenang dalam perang melawan Belanda,
armada Palembang tetap tidak mampu menghadapinya. Itu semua
mengindikasikan bahwa sebagai negeri yang dialiri oleh banyak sungai, juga
menyeberangi laut, Palembang hanya mengembangkan armada yang sesuai
dengan kebutuhan saat itu dengan teknologi sederhana. Sebaliknya, Belanda
sudah memiliki armada laut yang besar dan kuat, sehingga mampu melakukan
pelayaran dari Nusantara sampai Eropa. Untuk mengantisivasi masuknya pasukan
Belanda melalui jalur darat, Sultan Badaruddin II memerintahkan pembangunan
kubu pertahanan di daerah Sungai Komering yang disebut Kurungan Nyawa
(perbatasan Palembang-Lampung). Kubu pertahanan itu dipimpin Pangeran
Wiradiwangsa (Woelders, 1975: 105). Apa yang dikhawatirkan oleh Sultan
terbukti, yaitu jalur tersebut sengaja disiapkan oleh pihak Belanda untuk
menyerang Palembang dari Tulang Bawang Lampung. Kawasan itu sejak awal
abad XIX sudah dimanfaatkan oleh Belanda sebagai jalur alternatif memasuki
wilayah Palembang.
Setelah persiapan perang selesai dikerjakan, Sultan mengangkat Pangeran
Ratu sebagai panglima perang dan menempatkan beberapa orang kerabat atau
saudaranya sebagai panglima. Di setiap posisi meriam, Sultan menunjuk seorang
priyayi atau mantri untuk mengawasinya. Pada posisi-posisi strategis Sultan
menempatkan putera-puteranya, untuk membangkitkan semangat juang para
prajurit dan rakyat yang terlibat (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Woelders,
1975: 131). Dalam persiapan itu jelas sekali terlihat bahwa Sultan lebih
mengefektifkan pengawasan dengan cara memberi peran lebih besar pada putera-
putera dan orang-orang kepercayaannya.
Pada saat Kesultanan Palembang tengah mempersiapkan diri menghadapi
ekspedisi Belanda, berkembang kabar yang dihembuskan oleh orang-orang
Belanda, bahwa Inggris akan terlibat dalam ekspedisi mereka dengan melakukan
penyerangan dari arah barat (Bengkulu). Penyerangan akan dilaksanakan
bersamaan waktunya dengan serangan Belanda dari timur. Bahkan disebutkan
bahwa kapal-kapal Inggris menjadi bagian dalam blokade Sunsang. Berita itu
menimbulkan kekhawatiran pada diri Sultan Badaruddin II. Untuk
Universitas Indonesia
236
175
Perlawanan rakyat Bangka sudah terjadi sejak Inggris mengambil alih Pulau Bangka-
Belitung dan pulau-pulau disekitarnya pada Mei 1812, yang berarti terputus pula hubungan antara
Bangka-Belitung dengan Palembang. Inggris menerapkan kebijakan menempatkan aparatnya
untuk mengawasi langsung tambang-tambang timah, yang sebelumnya berada di tangan penguasa
lokal seperti depati dan batin. Kebijakan itu dilanjutkan oleh pemerintah Belanda karena dianggap
Universitas Indonesia
237
lebih menguntungkan. Akibatnya, para pemimpin Pulau Bangka (depati dan batin) mengobarkan
perlawanan terhadap Belanda (ANRI, Bundel Palembang No. 67).
Universitas Indonesia
238
176
Pada 9 Oktober 1819 kapal Admiraal Buyskes berlayar dari Muntok ke Sunsang untuk
bergabung dengan armada Belanda (ANRI, Bundel Palembang No. 67).
Universitas Indonesia
239
Universitas Indonesia
240
berikutnya di dekat Pulau Salanama, dalam jarak satu tembakan meriam kembali
terjadi saling serang antara laskar Palembang dan kapal layar Jreno. Dalam
pertempuran itu di pihak Belanda banyak jatuh korban luka. Meskipun demikian,
armada Belanda tetap meneruskan ekspedisi mendekati pusat pertahanan pertama
di Pulau Gombora. Untuk sampai di lokasi itu, membutuhkan waktu tiga pekan.
Pada lokasi yang dianggap cocok, mereka berlabuh untuk menyiapkan
penyerangan. Pada kesempatan itu, mereka manfaatkan waktu yang ada untuk
mengetahui kekuatan pertahanan Palembang. Dari informasi yang mereka
peroleh, dikatakan bahwa Pulau Gombora memiliki pertahanan yang sangat kuat.
Keadaan itu membuat para peserta ekspedisi terkejut. Sesuatu di luar perhitungan
mereka. Hanya dalam waktu empat bulan, Sultan Palembang dan rakyatnya telah
berhasil membangun sistem pertahanan yang sangat kuat. sebagaimana
dinyatakan oleh Kapten Meis dalam memorinya, bahwa ―Badarudin telah
mempersiapkan suatu proyek pertahanan raksasa‖. Di samping itu, Sultan
Badaruddin II juga membangun pertahanan di Plaju dan pulau buatan di tengah
Sungai Musi sekaligus mendirikan benteng Manguntama (ANRI, Bundel
Palembang No. 67; No. 5.1).
Pada waktu itu, berkembang pula berita bahwa Inggris telah memasok
sebanyak 400 pucuk senapan dan amunisi ke Palembang (The Asiatic Journal,
Desember 1820). Berita itu otomatis membuat pasukan Belanda khawatir akan
kemampuan tempur pasukan Palembang. Selain itu, di kalangan pasukan
Palembang juga berkembang desas-desus yang bertolak belakang yaitu bahwa
telah terjadi kesepakatan antara Belanda dan Inggris untuk menyerang Palembang.
Yang menarik dari semua itu adalah tokohnya sama yaitu Inggris. Jelas, Inggris
merupakan kekuatan yang diperhitungkan baik oleh Palembang maupun Belanda
pada waktu itu. Kedua pihak berharap agar Inggris memihak mereka, namun isu
yang berkembang tidak terbukti kebenarannya.
Melihat kesiapan Kesultanan Palembang menyambut ekspedisi Belanda,
makin berat pula tantangan yang harus mereka hadapi. Hambatan-hambatan itu
hanya mampu diatasi dengan kebijakan panglima perang, dengan tetap menjaga
semangat juang para serdadu dan para awak kapal Belanda. Akibatnya, armada
Belanda baru berhasil mendekati pusat pertahanan Palembang (Plaju dan
Universitas Indonesia
241
177
Di pihak Palembang, muncul tokoh-tokoh yang gagah berani melawan Belanda,
antara lain Pangeran Kramadiraja, Pangeran Puspadiraja, Pangeran Puspakrama,
Pangeran Puspadilaga, Pangeran Sutadiwangsa, Pangeran Sumawijaya, Rangga
Satyagati, Pangeran Suradilaga, Pangeran Suta Kesuma, Pangeran Wirasentika, Pangeran
Bupati, Pangeran Dipati, Demang Darpayuda, Pangeran Natadiwangsa, Sayyid
Abdurahman, Sayyid Husin Panglima Dalam, Sayyid Akil bin Muhammad, dan Sayyid
Ahmad bin Ali (“Syair Perang Menteng”).
Universitas Indonesia
242
Universitas Indonesia
243
Universitas Indonesia
244
lebat), sehingga awak kapal banyak yang terserang penyakit. Akhirnya, dicapai
kata sepakat bahwa meneruskan peperangan adalah suatu kesia-siaan, bahkan
akan makin melemahkan kekuatan Belanda. Laksamana Wolterbeek memutuskan
untuk menarik diri mundur ke Sunsang dan memblokade daerah itu (ANRI,
Bundel Palembang No. 67; No.4, 1971: 86; Bataviaasch Courant, 4 Agustus 182).
Sebagian pasukan dikirim ke Pulau Jawa yaitu empat kompi pengawal dari
resimen infanteri dikirimkan dengan kapal Arinus Marinus dan kapal Admiraal
Buyskes. Para prajurit dan awak kapal yang terluka dan sakit diangkut dengan
kapal Henrieta Elisabeth ke Batavia. Keputusan lain yang diambil oleh
Laksamana Wolterbeek untuk pasukan darat, adalah sebanyak satu kompi pasukan
infanteri diberangkatkan ke Malaka untuk memperkuat garnisun di sana. Serdadu
yang tersisa dan ditempatkan di atas kapal-kapal yang ada adalah : 150 serdadu
infanteri di kapal Tromp, 80 orang serdadu infanteri dan artileri di kapal
Wilhelmina, 50 orang serdadu infanteri di kapal Eendracht, 50 orang serdadu
infanteri di kapal Ajax, 5 orang serdadu artileri di kapal meriam nomor 17, dan 5
orang serdadu artileri di kapal meriam nomor 18. Untuk memperkuat Pulau
Bangka, Laksamana Wolterbeek memutuskan untuk menempatkan Letnan
Kolonel Riestz bersama empat puluh orang serdadu artileri. Komandan militer
Pulau Bangka dipegang Letnan Kolonel Keer, sedangkan pengawasan terhadap
kapal-kapal dipercayakan kepada Mayor Tierlam. Disamping itu, masih tersisa
dua kompi pasukan perintis di Muntok di bahwa pimpinan Kapten zeni van der
Wijck. Sambil menunggu perintah lebih lanjut dari Gubernur Jenderal Van der
Capellen, pada 30 Oktober 1819 pasukan armada Belanda mundur dari
Palembang, tiba di Sunsang pada 3-4 November 1819 (ANRI, Bundel Palembang
No. 67; No.4,1971: 86; Bataviaasche Courant, 4 Agustus 1821; The Asiatic
Journal, vol 10, Agustus 1820).
Pasukan Belanda mendapat pelajaran yang sangat berharga dari
peperangan yang banyak menelan korban. Apa yang mereka ramalkan tentang
ketidakmampuan mereka membobol kekokohan benteng Gombora, benar-benar
terjadi. Pertahanan yang kuat, pasukan yang memiliki semangat juang yang tinggi,
dan kondisi alam yang mendukung, membuat pasukan Belanda harus mengakui
keunggulan Palembang dalam peperangan itu.
Universitas Indonesia
245
178
Kapal perang Wilhelmina, dan kapal Eendracht pada Nopember 1819 dikirim ke
Batavia karena semakin rusak, sejak terlibat dalam perang Palembang (ANRI, Bundel Palembang
No. 66.10).
Universitas Indonesia
246
Blucher, Leeuwrik, Galathe, kapal meriam nomor 17 dan empat perahu meriam
serta sebuah perahu dengan kanon berkekuatan tiga pon. Di samping itu, kapal
Prins Blucher juga bertugas untuk mengibarkan panji-panji sebagai tanda
kehadiran kapal-kapal perang di sana. Selanjutnya, kekuatan blokade Belanda
bertambah, dengan tibanya kapal layar de Hoop dari Malaka. Kapal itu membawa
seratus orang serdadu di bawah pimpinan Kapten Sneijder. Semua kekuatan itu
bersatu untuk menutup Sunsang, sampai adanya perintah dari Van der Capellen
untuk kembali melaksanakan ekspedisi ke Palembang. Dalam usaha mereka
menutup Sunsang, armada Belanda dihadapkan pada kendala yaitu terjadi
pendangkalan di daerah itu179, sehingga sulit dilayari. Di pihak lain, untuk
mengatisivasi dampak dari Blokade Belanda, pihak Palembang melakukan
berbagai cara sebagaimana telah mereka lakukan pada blokade pertama. Mereka
kembali mengefektifkan jalur Kwala Upang dan Banyuasin serta jalur darat
melalui perbatasan Jambi-Palembang. Akan tetapi, blokade kali itu lebih
menyulitkan mereka untuk menembusnya, karena pihak Belanda lebih
memperketat pengamanannya dengan melibatkan lebih banyak kapal dan perahu
(ANRI, Bundel Palembang No. 66.10; No. 67).
Setelah melakukan pemetaan di sekitar Sunsang, pada 11 Nopember 1819
Pietersen dan H. Jurgens berangkat ke Batavia membawa 250 orang serdadu
dengan kapal Arimus Marinus. Sebelumnya, kapal pengangkut Henderiette Betsy
dan perahu Kora-Kora nomor 4, di bawah pimpinan Letnan Rembaldo melakukan
hal yang sama mengangkut orang-orang sakit dan luka ke Batavia (ANRI, Bundel
Palembang No. 66.10).
Dalam memorinya, Wolterbeek memaparkan berbagai persoalan yang
dihadapinya dalam ekspedisi ke Palembang. Menurutnya, peperangan di
Palembang adalah bencana besar dan sangat mahal bagi Belanda, dengan dampak
yang tidak dapat diperhitungkan. Tidak satu pun di antara mereka yang
mengetahui kondisi dan kekuatan yang sesungguh yang dimiliki oleh Kesultanan
179
Berdasarkan penelitian Letnan-1 Pietersen dan H. Jurgens di daerah Sunsang,
Sungai Sleino dan sekitarnya, diketahui bahwa kawasan itu terjadi pendangkalan
sehingga menyulitkan kapal-kapal untuk menutup perairan itu (ANRI, Bundel Palembang
No. 66.10). Hal itu akan berdampak pada lemahnya pengawasan atas daerah tersebut,
dan itu memberi peluang bagi armada Palembang menembus blokade tersebut.
Universitas Indonesia
247
Universitas Indonesia
248
memikirkan kemampuan militer pada waktu itu yang sangat minim. Apa yang
dikhawatirkan pihak militer benar-benar terbukti, dengan mundurnya pasukan
militer Belanda dari uluan setelah berhadapan langsung dengan pasukan Inggris
(Nopember 1818).
Kemenangan Kesultanan Palembang atas Belanda sangat diharapkan
rakyat Bangka, dengan kemenangan itu akan memudahkan perjuangan mereka
untuk mengusir Belanda. Keyakinan rakyat Bangka tersebut berkaitan dengan
upaya Sultan Badaruddin II untuk mengobarkan pemberontakan terhadap Belanda
di seluruh wilayah Kesultanan Palembang, termasuk Pulau Bangka-Belitung. Bagi
rakyat Bangka, kemenangan Palembang adalah kemenangan mereka, karena
perlawanan mereka bagian dari Kesultanan Palembang dan dipimpin para
bangsawan Palembang. Mereka juga mendapat pasokan senjata dari Palembang
melalui pedagang-pedagang gelap Palembang. Dengan demikian, keberhasilan
Palembang mengusir Palembang dari wilayahnya, membawa pengaruh besar pada
semangat juang rakyat Pulau Bangka. Kekuatan terbesar mereka terkonsentrasi di
Bangka Kotta. Sebanyak delapan ratus orang telah siaga di Nieri. Kekuatan itu
terus bertambah, sehingga pasukannya mencapai 1200 orang. Menghadapi kondisi
demikian, Residen Smissaert mengambil langkah untuk mencari jalan damai. Cara
yang ditempuhnya adalah mengadakan perjalanan mendekati lokasi kekacauan.
Pada 14 November 1819, Smissaert kembali dari perjalanan dinasnya. Di
kampung Dauwet (satu hari perjalanan dari Pangkal Pinang), mereka diserang dan
dibunuh oleh pasukan Bangka di bawah pimpinan Batin Barin. Barin
mengerahkan pasukan berkekuatan sebanyak 150-200 orang, sedangkan Smissaert
hanya dikawal oleh lima sampai enam orang serdadu. Berita kematian Smissaert
sampai di Muntok pada 18 November 1819. Menyadari situasi yang ada,
Muntinghe melanjutkan usaha untuk damai yang telah dirintis oleh Smissaert,
namun hasilnya tidak seperti yang diharapkannya. Bangka terus bergolak (ANRI,
Bundel Palembang No. 67).
Para pemimpin Bangka menolak tawaran damai yang disodorkan oleh
Muntnghe. Bagaimana mungkin mereka mau berdamai, sedangkan Palembang
menang perang melawan Belanda. Kemenangan itu memberi mereka semangat
juang yang lebih besar untuk mengusir Belanda. Apabila mereka berhasil
Universitas Indonesia
249
Universitas Indonesia
250
180
Penambahan itu berdasarkan hasil pertemuan yang diadakan pada 18
Nopember 1819 antara Komisaris Muntinghe, Letnan Kolonel Keer dan sekretaris
Bangka van der Kop (ANRI, Bundel Palembang No. 67).
Universitas Indonesia
251
Belanda di wilayah Kesultanan Palembang hanya tinggal nama. Atas dasar itu,
Wolterbeek dan aparatnya melakukan berbagai cara untuk meningkatkan
pertahanan.
Di lain pihak, para pejuang Bangka di bawah pimpinan Batin Barin
melakukan berbagai terobosan untuk memperkuat posisi. Cara yang ditempuh
adalah menarik dukungan yang lebih besar dari orang-orang Cina yang menjadi
kuli di tambang-tambang timah Belanda. Kebijakan itu diambil karena peran etnis
Cina cukup menentukan di pulau itu, khususnya di pertambangan. Untuk itu, pada
November 1819 di Pangkal Pinang Batin Barin mengeluarkan maklumat atas
nama Sultan Badaruddin II. Maklumat itu memuat ajakan kepada para kuli
tambang Cina agar bergabung dengan gerakan melawan Belanda. Mereka
diiming-imingi dengan janji timah hasil tambang mereka akan dibeli oleh Sultan
Badaruddin II seharga 10 real Spanyol per pikul. Mengetahui hal itu, Laksamana
Wolterbeek segera bertindak dengan mengirimkan pasukan sebanyak seratus
orang serdadu Eropa dan pribumi menuju Pangkal Pinang, di bawah komando
Kapten Ege. Para petinggi Belanda di Muntok sangat mengkhawatirkan hal itu
terjadi, yang berarti ancaman serius bagi keberadaan Belanda di sana (ANRI,
Bundel Palembang No. 67).
Serangan pertama dilancarkan oleh kapal The Stunter181, segera disusul
serangan kedua di bawah kendali Keer. Serangan susulan itu berkekuatan lebih
besar yaitu tiga ratus orang serdadu Eropa. Pertempuran pecah di daerah
pertambangan sebelah timur Pangkal Pinang. Gabungan dua kekuatan yang
menyerang pusat perlawanan Batin Barin (delapan jam dari Pangkal Pinang dan
Kusi), menyebabkan Batin Barin tidak mampu berbuat banyak dan mundur pada
21 Nopember 1819 (ANRI, Bundel Palembang No. 67).
Mundurnya kelompok Batin Barin, bukan berarti menyurutkan
perlawanan. Mereka menyebar di sepanjang sungai-sungai, rawa-rawa dan hutan.
Posisi itu menyulitkan pasukan Belanda untuk menyerangnya. Untuk
menumpasnya perlawanan Batin Barin, Wolterbeek mengirimkan pasukan di
bawah pimpinan Letnan Kolonel Rietsz pada Desember 1819. Di samping itu,
181
Munculnya kapal nama Inggris, dimungkinkan karena pihak Belanda
menyewa kapal-kapal Inggris guna memenuhi kebutuhan perang pada waktu itu.
Universitas Indonesia
252
Universitas Indonesia
253
wilayah pulau Bangka yang sangat luas (membutuhkan waktu 50 jam untuk
mengelilinginya dan 13-17 jam waktu untuk menyusuri lebarnya). Pulau itu juga
memiliki banyak sungai (antara lain Sungai Hering, Sungai Kota Waringin,
Sungai Mundo, Sungai Selan dan Sungai Bangka Kota182). Untuk menjelajahi
wilayah itu, Belanda membutuhkan perahu-perahu kecil, padahal pada waktu itu
pemerintah Belanda tidak memilikinya. Fasilitas yang dimiliki Belanda
berbanding terbalik dengan penduduk Pulau Bangka. Sebagai penduduk asli,
mereka memiliki banyak perahu dan kecakapan untuk mengendalikannya dalam
kondisi apapun. Di daerah itu pemerintah Belanda juga tidak memiliki serdadu,
persenjataan dan armada yang memadai untuk menunjang kemampuan
tempurnya. Salah satu daerah yang harus terus diperhatikan dan dipertahankan
oleh Belanda adalah Toboali, karena secara berkala daerah itu mendapat serangan
pasukan Bangka. Berbagai serangan itu dilaporkan Keer kepada Departemen
Peperangan di Batavia pada 4 Pebruari 1820. Di samping itu, pihak Belanda juga
harus menjaga keselamatan orang-orang Bangka yang memihak mereka.
Contohnya Batin di daerah Nyatau (pertemuan antara Muntok dan Lebu) yang
terancam keselamatannya karena memihak Belanda, sehingga Keer
memerintahkan Letnan-1 Cavelier memimpin satu kesatuan untuk melindungi
daerah itu. Meskipun demikian, usaha itu tidak berhasil. Semua lapisan
masyarakat dari berbagai etnis di Bangka secara terus menerus memberi
dukungan kepada para pemimpin mereka (ANRI, Bundel Palembang No. 67).
Ketidakmampuan Belanda untuk mengendalikan wilayah Pulau Bangka,
mendorong para pemimpin Belanda di sana untuk membagi pulau itu dalam
beberapa distrik, yaitu Kota Waringin (Mando), Bangka Kotta dan Muara Kwala.
Untuk mengamankan daerah-daerah dikerahkan kapal Eendrach dan kapal dan
kapal meriam nomor17. Untuk kawasan timur Pulau Bangka dikerahkan kapal
meriam nomor 12 dan kapal Hunter. Pembagian itu dimaksudkan untuk
memudahkan pendudukan. Setelah itu, mereka membangun kubu pertahanan di
182
Sungai-sungai tersebut dijadikan sarana untuk memutuskan hubungan
pasukan Belanda dengan distrik timur Pangkal Pinang, Sungai Liat dan Marawang.
Sehingga menyulitkan pihak Belanda untuk menaklukkan daerah-daerah itu secara
permanen (ANRI, Bundel Palembang No. 67). Jadi, sungai penting perannya dalam
usaha penduduk Bangka mempertahankan wilayah mereka dari cengkeraman kolonial
Belanda.
Universitas Indonesia
254
Marawang dan Pangkal Pinang, yang dilengkapi dengan meriam, amunisi. Untuk
menjaganya dikerahkan dua kompi infantri serdadu, yang terdiri dari orang
Madura dan Ambon dari Batavia. Sementara itu, pemerintah Belanda di Batavia
mengalami kesulitan untuk memenuhi permintaan tambahan pasukan dari
Bangka, karena di Batavia khususnya dan Pulau Jawa umumnya juga dihadapkan
pada masalah yang sama. Selain itu, kebijakan pemerintah pusat di Batavia adalah
memfokuskan diri untuk melakukan ekspedisi kembali ke Palembang. Belanda
berpendapat bahwa merebut Palembang adalah hal penting, karena tanpa merebut
Palembang, berarti Bangka juga tidak akan dapat mereka kuasai (ANRI,Bundel
Palembang No. 66.10).
Usaha menundukkan perlawanan rakyat Bangka terus berlangsung. Pada
pertengahan Maret 1820 kekuatan yang dipimpin oleh Keer dan Raja Akil,
bergabung untuk menaklukkan Kota Waringin. Armada yang disiapkan antara
lain, kapal perang Eendracht, Ajax, Tromp, de Emma dan sepuluh perahu cunia,
serta dua howitzer. Kesatuan yang terlibat terdiri dari sepuluh orang perwira, dua
ratus orang serdadu. Kesatuan itu tiba di Kota Waringin pada 20 Maret 1820.
Medan yang harus mereka lalui sangat berat, yaitu sungai-sungai yang sempit
dipenuhi batang dan ranting-ranting pohon. Dibutuhkan waktu lima hari untuk
membersihkannya. Setelah itu, Letnan-1 Gemet memimpin pasukannya
menyerang pertahanan pasukan setempat. Dalam pertempuran itu pasukan
Belanda dengan mudah berhasil meredam perlawanan penduduk setempat, yang
hanya bersenjata tombak dan senapan bermoncong besar. Sebaliknya, pasukan
Belanda sudah menggunakan bayonet. Eskipun demikian, pihak Belanda tetap
mengalami kerugian dengan tewasnya dua orang serdadu, lima orang luka parah
dan delapan orang luka ringan. Di pihak Bangka, kerugian jauh lebih besar,
walaupun tidak ditemukan jumlah orang yang tewas atau sakit. Kerugian secara
fisik dapat dilihat dari semua kubu pertahanan, rumah-rumah penduduk dan harta
benda mereka dirampas oleh pasukan Belanda (ANRI, Bundel Palembang No. 67;
No. 66.10).
Pendudukan Belanda atas Kota Waringin terus berlanjut, sehingga
beberapa kepala distrik di sebelah kanan dan kiri sungai di daerah itu
menyerahkan diri dan bergabung dengan pasukan Belanda. Selanjutnya, untuk
Universitas Indonesia
255
meraih simpati rakyat, Keer memberikan pengampunan kepada semua orang yang
berinisiatif kembali ke rumahnya mereka masing-masing. Selama terjadinya
pertempuran antara pasukan Belanda dan pasukan Kota Waringin, penduduk
meninggalkan rumah dan kampung mereka. Begitu pula anggota pasukan Bangka
yang kalah mundur ke hutan. Akibatnya, kampung-kampung sepi tidak
berpenghuni. Dengan upaya yang dilakukan oleh Keer, penduduk kembali ke
kampung mereka di bawah pengawalan dari serdadu Belanda. Di lain pihak,
bergabungnya sebagian penduduk dengan pasukan Belanda, sangat
membahayakan keselamatan jiwa mereka, karena dianggap berkhianat oleh
kelompok Batin Barin dan Kusi. Akhirnya, untuk menghancurkan perlawanan
Batin barin, pihak Belanda mengambil kebijakan menjanjikan hadiah sebesar
lima ratus dollar Spanyol bagi siapa saja yang berhasil menangkap dan
menyerahkan hidup atau mati Batin Barin dan Kusi (ANRI, Bundel Palembang
No. 67). Pemberian hadiah yang besar membuktikan bahwa rakyat Bangka sangat
gigih melawan Belanda, dan perlawanan yang dikerahkan oleh Batin Barin sangat
merugikan dan membahayakan pemerintah Belanda di sana.
Sebagai pemimpin pasukan Belanda, Keer juga harus menangani daerah
lain yang juga bergolak, sehingga harus meninggalkan Kota Waringin yang sudah
tenang. Akan tetapi, setelah Keer dan pasukannya meninggalkan Kota Waringin,
pasukan Bangka segera mengambilalih daerah itu. Mereka memutuskan jalur yang
menghubungankan Kota Waringin dan pusat kekuasan Belanda di Muntok.
Pasukan Bangka membangun kubu-kubu pertahanan di sepanjang jalan menuju
Kota Waringin (ANRI, Bundel Palembang No. 67). Inilah bukti bahwa
pendudukan Belanda atas daerah-daerah di Pulau Bangka tidak dapat berlangsung
permanen. Keterbatasan personil, persenjataan dan bahan makanan untuk wilayah
seluas pulau itu, memaksa mereka harus meninggalkan daerah-daerah yang telah
berhasil diduduki. Daerah yang telah ditinggalkan tersebut, membuka peluang
untuk diduduki kembali oleh para pejuang Bangka. Hal ini berlangsung terus,
yang berdampak pada lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menguasai Pulau
Bangka.
Daerah-daerah lain di Pulau Bangka juga bergolak, misalnya di
Marawang, Pangkal Baru, Toa Tono, Ayer Dorin, Bangkal, dan Kamboja,
Universitas Indonesia
256
Universitas Indonesia
257
183
Pulau ini terletak di ujung timur selatan Pulau Bangka, berdekatan dengan
Toboali (kota terpenting di daerah itu).
Universitas Indonesia
258
memperkuat pertahanan daerahnya. Pada awal Agustus 1820, Raden Ali bersama-
sama dengan Panglima Raja menyerang Batu Rusa (tempat gudang-gudang
amunisi Belanda) dengan mengerahkan 1500 orang. Letnan Guichard dan
pasukannya tidak mampu menghadapinya, sehingga mundur ke muara Kwalla.
Tindakan tersebut sangat disesalkan oleh Keer. Dalam pertempuran itu dua belas
orang pasukan Belanda terluka. Dari Batu Rusa, armada Raden Ali menyusuri
sungai sampai kampung Ayer Dingin. Di sana mereka bergabung dengan pasukan
setempat dan menjarah serta membakar kampung tersebut. Tindakan itu untuk
menghindarkan daerah tersebut dimanfaatkan oleh pasukan Belanda setelah
mereka tinggalkan. Selanjutnya, Raden Ali dan Raden Kling terus mengobarkan
perlawanan terhadap Belanda di berbagai daerah di pulau itu (ANRI, Bundel
Palembang No. 67).
Sementara itu, Nieri kembali bergolak. Untuk menumpas perlawanan
tersebut, Letnan Kolonel Keer bersama-sama dengan Kapten Letnan Dibbetz
(komandan armada perairan Bangka-Palembang) mengerahkan semua armada
untuk mendudukinya. Keer juga tengah merancang penyerangan terhadap Pulau
Lepar yang menjadi pusat kedudukan Raden Kling dan Raden Ali, dan Pulau
Belitung. Akan tetapi, mereka tidak memiliki armada yang memadai. Sehubungan
dengan itu, Keer meminta bantuan kepada pemerintah pusat di Batavia, namun
pemerintah di sanaa tidak dapat memenuhinya, karena tengah memfokuskan diri
untuk ekspedisi ke Palembang. Di pihak lain, distrik Pangkal Pinang kembali
diserang oleh pasukan gabungan Bangka dan bajak laut. Begitu pula daerah
Marawang dan Koba menjadi semakin kuat setelah dimasuki oleh kelompok Batin
Barin dan Tusin. Pasukan Belanda berusaha keras merebut kembali daerah-daerah
itu, namun gagal. Akhirnya, Keer mengubah strategi, yaitu melalui Pulau Lepar
melancarkan serangan besar-besaran ke Toboali terus ke Nieri dan Ketia. Pada 6
September 1820 Keer dan pasukannya sampai di Sungai Liat terus bergerak ke
Marawang. Akan tetapi, setiba mereka di sana ternyata daerah tersebut telah
ditinggalkan oleh pasukan Bangka. Untuk mempertahankan daerah tersebut, Keer
mempersenjatai para kuli tambang Cina, sebagaimana dilakukannya di Pangkal
Pinang. Sementara itu, kelompok Batin Barin yang mundur dari Marawang,
Universitas Indonesia
259
Universitas Indonesia
260
layar dan kapal meriam nomor 1, serta meriam-meriam di bawah pimpinan Letnan
Laut Tarup. Pada awal Oktober 1820 Keer mulai bergerak memimpin pasukan
menuju Koba dan Selat Lepar. Penyerangan tersebut menyebabkan pasukan
Bangka mundur. Kubu-kubu pertahanan mereka diduduki dan dibakar oleh
pasukan Belanda (Waey, 1875: 112).
Dalam pelayaran di sekitar Pulau Tinggi (pusat pertahanan Raden Kling
setelah mundur dari Toboali), pasukan Belanda dihadang oleh kapal-kapal milik
Raden Kling, sehingga terjadi pertempuran. Dalam pertempuran itu, Pasukan
Belanda memilih untuk mundur, guna menyusun kekuatan yang lebih besar.
Selanjutnya, Keer mengerahkan dua pasukan yang masing-masing dipimpin oleh
Raja Akil dan Kapten Van der Wijck. Tugas mereka adalah menemukan dan
menghancurkan pusat pertahanan Raden Kling di daerah Pulau Tinggi. Pada 10
Oktober 1820 pasukan Belanda menyerbu dari dua sisi, yaitu sisi darat dipimpin
Van der Wijck, sedangkan Raja Akil dari sisi rawa dan sungai. Raden Kling
menyambut serangan itu dengan mengerahkan tiga ratus orang serdadu yang
dilengkapi dengan senjata meriam dan lila. Dalam pertempuran itu pasukan
Raden Kling terdesak dan mundur ke arah sungai. Di sana mereka diserang secara
bersamaan oleh pasukan Kapten Van der Wijck dan Raja Akil. Dalam
pertempuran itu Raden Kling dan pengikutnya terbunuh, sedangkan di pihak
Belanda lima orang yang terbunuh dan sepuluh orang terluka, termasuk Kapten
van der Wijck dan Letnan-1 de Fruy. Setelah itu, pada 11 Oktober 1820 Keer
menduduki Toboali. Agar pendudukan Belanda di sana permanen, Keer
menempatkan kapal Zwalluw, kapal layar Yohanna dan kapal meriam nomor I. Di
samping itu, kekuatan pertahanan Belanda di Toboali diperkuat dengan tambahan
anggota pasukan sebanyak 450 orang serdadu (ANRI, Bundel Palembang No. 67;
Waey, 1875: 112).
Sepeninggal Raden Kling, perlawanan diteruskan di Nieri di bawah
pimpinan Batin Ganing. Sebelumnya Batin Ganing telah mendapat limpahan
wewenang dari Raden Kling. Akan tetapi, setelah wafatnya Raden Kling,
sebagian besar pengikut Batin Ganing meninggalkannya ( Oktober 1820). Dalam
kondisi demikian, Batin Ganing memerintahkan agar semua meriam
ditenggelamkan ke dalam sungai. Selanjutnya, Batin Ganing bersama sisa-sisa
Universitas Indonesia
261
187
Jalan-jalan rahasia itu ditemukan oleh pasukan Belanda atas petunjuk Batin
Lojo (mata-mata Belanda) pada akhir 1820. Dengan ditemukannya jalan-jalan rahasia
tersebut memudahkan pasukan Belanda menyerang kubu-kubu pertahanan rakyat
Bangka secara tiba-tiba dan menghancurkannya (ANRI, Bundel Palembang No. 67).
Universitas Indonesia
262
Letnan de Vries dengan kekuatan tiga kanon berukuran delapan pon. Dalam
kontak senjata itu pasukan yang dipimpin de Vries lebih unggul, sehingga pasukan
Bangka mundur. Setelah mundur, dengan cepat pasukan Bangka menyerang balik
dari dua sisi yaitu barat dan selatan. Serangan armada Bangka dari arah selatan
berhasil mereka bendung, sedangkan serangan dari barat tidak mampu mereka
patahkan. Akibatnya, untuk kesekian kalinya pasukan Belanda harus mundur.
Selang beberapa saat kembali terjadi pertempuran di Ujung Benteng. Pada
pertempuran itu pihak Belanda memperoleh kemenangan. Dalam pertempuran itu
kedua pihak mengalami banyak kerugian dengan banyaknya korban yang tewas
dan luka-luka (ANRI, Bundel Palembang No. 67).
Menyerang dan mundur, merupakan strategi yang sangat ampuh untuk
menghancurkan lawan dalam medan yang sebagian besar adalah perairan yang
mengandalkan armada. Tanpa semangat juang yang tinggi dan keahlian
mengendalikan perahu-perahu serta kelihaian memainkan senjata, sulit terjadi
pertempuran yang begitu dahsyat. Meskipun demikian, kedua pihak telah
menunjukkan kehebatan masing-masing. Tampaknya, kalah dan menang
merupakan hal biasa dalam peperangan antara kedua kubu. Meskipun akhirnya
perlawanan pihak Bangka harus berakhir.
Keberhasilan menguasai Bangka selatan yang merupakan pusat pertahanan
Raden Kling dan Raden Ali, adalah suatu kemenangan besar bagi pasukan
Belanda. Kemenangan itu memberi mereka motivasi untuk terus mendesak
perlawanan rakyat Bangka. Langkah selanjutnya adalah menyiapkan segala
kebutuhan untuk menyerang pusat pertahanan Batin Barin188 di Nieri.
Penyerangan mulai dilancarkan pada akhir Desember 1820, di bawah pimpinan
Kapten Le Jean. Penyerangan itu melibatkan 86 orang serdadu. Dalam perjalanan
mendekati Nieri mereka menemukan jalan-jalan rahasia atas petunjuk Batin Lojo
(batin yang memihak Belanda). Ternyata, jalan-jalan rahasia itu membawa
mereka pada kubu-kubu pertahanan rakyat Bangka. Akibatnya, mereka dengan
mudah menaklukkan kubu-kubu pertahanan tersebut, dengan melakukan serangan
secara tiba-tiba. Selanjutnya, pasukan Belanda terus bergerak ke Nieri. Terjadi
188
Raden Badar, Raden Ali, dan Batin Ganing, bersama dengan pasukannya
masing-masing menggabungkan diri dengan pasukan Batin Barin.
Universitas Indonesia
263
pertempuran dahsyat di sana. Dalam pertempuran itu pasukan yang dipimpin oleh
Kapten Le Jean berhasil mendesak pasukan gabungan Bangka, dan mereka
mundur ke hutan-hutan. Agar senjata-senjata yang ditinggalkan oleh pasukan
Bangka tidak dapat mereka gunakan kembali, Le Jean memerintahkan untuk
melemparkan semua senjata ke dalam sungai. Pasukan belanda juga membakar
kubu pertahanan di Nieri dan tiga puluh rumah di komplek itu. Dari Nieri, Kapten
Le Jean bergerak ke Mudon. Di sana ia memerintahkan pasukannya untuk
menebang pohon-pohon buah dan membakar rumah-rumah serta kubu-kubu
pertahanan yang ada di kampung itu. Semua itu dilakukan agar orang-orang
Bangka tidak menguasai lagi daerah itu, karena tidak ada lagi penghidupan di
sana. Dari Mudon pasukan Belanda bergerak ke Koba dan tiba di sana pada 30
Desember 1820. Kembali terjadi pertempuran di Koba, dalam pertempuran
tersebut, pasukan Bangka harus mengakui keunggulan pasukan Belanda (ANRI,
Bundel Palembang No. 67).
Sejak pasukan Bangka dapat dikalahkan pasukan Belanda di bagian timur
pulau itu, tidak ada lagi peristiwa penting yang menyangkut perlawanan rakyat di
sana. Raden Ali dan kelompoknya terpaksa menyerahkan diri kepada pemerintah
Belanda. Ia dan anak buahnya dipekerjakan dalam dinas pemerintahan Belanda
dengan gaji f100, satu koyang beras, dan setengah koyang garam per bulan.
Mereka ditempatkan di Pulau Lepar (pusat pertahanan Raden Ali sebelum
menyerah) dengan pengawasan ketat. Mereka ditugaskan untuk membersihkan
pulau itu dari semak belukar. Meskipun demikian, perlawanan rakyat Bangka
secara sporadis tetap ada. Hal itu terbukti dengan ditemukannya beberapa orang
Eropa yang menjadi korban di pulau itu. Masalah lain yang senantiasa
mengkhawatirkan orang-orang Eropa di Bangka adalah gangguan kesehatan. Dari
tiga ratus orang serdadu Belanda di Toboali di bawah pimpinan Kolonel Du
Perron, hanya delapan orang yang sehat. Dalam kurun waktu tujuh bulan
sebanyak tiga puluh orang dari kesatuan artileri meninggal189. Seiring dengan
189
Kondisi itu terus berlangsung sampai beberapa tahun kemudian, terbukti
hanya dalam waktu empat belas hari 150 orang sakit demam, satu orang meninggal
dunia. Penyakit tersebut menjadi kendala bagi pemerintah Belanda di sana. Untuk itu,
Komisaris Sevenhoven membawa obat-obatan dari Batavia untuk mengobati penyakit
tersebut (The Asiatic Journal Vol.17, 1824: 361).
Universitas Indonesia
264
Universitas Indonesia
265
Universitas Indonesia
266
Atas dasar berbagai pertimbangan tersebut, pada 28 April 1821 (25 Rajab
1236H) pemerintah Belanda mengadakan pertemuan dengan Sultan Najamuddin
II dan Prabu Anom. Pemerintah Belanda diwakili oleh anggota Dewan Hindia
Ranier Dozy dan Sekretaris Umum Pemerintah Christiaan Baud, sedangkan
Sultan Najamuddin II dan Pangeran Prabu Anom191 yang mengatasnamakan
Kesultanan Palembang. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan antara kedua
belah pihak yang ditetapkan di Buitenzorg. Kesepakatan itu terdiri atas 52 pasal
yang disahkan oleh Gubernur Jenderal pada 28 April 1821. Pada pertemuan itu
Sultan Najamuddin II menyampaikan permintaan maaf atas semua kesalahannya
kepada pemerintah Belanda, dan mereka menerima permintaan maaf tersebut.
Pada hari itu Sultan Najamuddin II dan puteranya Prabu Anom menandatangani
kontrak yang memuat antara lain:
190
Di mata pemerintah Belanda, Sultan Najamuddin II tidak pernah diturunkan
dari tahta, dia hanya tidak difungsikan. Dengan demikian, dikembalikannya Sultan
Najamuddin II ke Palembang adalah pencabutan hukuman atas dirinya, yang berarti
kedudukan itu akan dengan mudah diperolehnya kembali, namun pada kenyataannya
pemerintah Belanda berkehendak lain yaitu menempatkan Najamuddin II sebagai
susuhunan (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1)
191
Prabu Anom adalah Pangeran Ratu (putera tertua) dari Sultan Najamuddin II.
Sultan memberi gelar Prabu Anom pada tertuanya karena pada waktu itu sudah ada
Pangeran Ratu yaitu putera tertua dari Sultan Badaruddin II (The Asiatic Journal Vol.17
1824: 32).
Universitas Indonesia
267
Universitas Indonesia
268
12) Semua ketentuan di atas, akan akan menjamin hak-hak Susuhunan dan
Sultan, serta penduduk Palembang (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; No.
4, 1971: 89-90; Bataviaasche Courant, 4 Agustus 1821; Veth, 1869: 655).
Penyerahan kekuasaan kepada putera mahkota, sebagaimana yang diterapkan pada
waktu itu, bukan hal baru bagi Kesultanan Palembang. Sesuai dengan tradisi yang
berlaku di sana, disebutkan bahwa jika seorang sultan sudah tua atau karena
berbagai alasan lainnya, sultan akan menyerahkan kekuasaan kepada penerusnya
yaitu putera mahkota (Pangeran Ratu) yang sudah dewasa192, sedangkan dirinya
menyandang gelar Susuhunan (yang dipuji atau ditaruh di atas kepala). Jadi,
susuhunan adalah orang yang dijunjung atau dimuliakan. Gelar itu dapat
disamakan dengan ―orang tua‖, namun, pengaruhnya masih sangat besar. Pada
masalah penting posisi susuhunan masih kuat dan sultan hanya sebagai pelaksana
dari perintah-perintah susuhunan.193 (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6;
Moedjanto dalam Antlov& Sven Cederrotl, 2001:x).
Dengan demikian, pengaruh susuhunan atas penduduknya tidak berubah.
Apabila tidak ada perubahan, otomatis tidak ada perubahan dalam pemerintahan.
Dengan adanya jabatan susuhunan, jabatan sultan mirip dengan perdana menteri.
Jadi jabatan susuhunan lebih penting di mata penduduk dari pada sultan. Seorang
raja yang bergelar susuhunan lebih besar kekuasaan dan pengaruhnya
dibandingkan jabatan raja disebut sultan, sedangkan kekuasaannya diserahkan
kepada seorang pangeran. Dalam kaitannya dengan Kesultanan Palembang,
Sultan Najamuddin II menduduki posisi sebagai susuhunan, sedangkan jabatan
192
Pangeran Ratu memiliki simbol-simbol seperti perahu, payung, dayung dan
sebagainya. Setelah menjadi sultan, simbol-simbol itu tetap dimilikinya. Jadi, sesungguhnya sultan
masih memiliki kedudukan seperti putra mahkota. Sebagai orang buangan, simbol-simbol tersebut
tidak dimiliki oleh Pangeran Ratu Perabu Anom, maka yang dipakai adalah makna dari perubahan
gelar tersebut (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6).
193
Hal itu dapat dibuktikan pada saat Sultan Badaruddin II mengangkat
Pangeran Ratu sebagai sultan pascakemenangan melawan Belanda yang kedua (1819).
Akan tetapi, pada kenyataannya semua keputusan tetap berada di bawah kendali sultan.
Sumber-sumber luar tidak satu pun yang menyebutkan Sultan Badaruddin II
menyerahkan posisinya kepada Pangeran Ratu, kecuali Wolters dalam disertasinya.
Penyerahan kekuasaan dari Sultan Najamuddin II kepada Prabu Anom yang termaktub
dalam kontrak yang ditandatangani di Bogor April 1821, dalam pelaksanaannya
kekuasaan tetap berada di bawah kendali Susuhunan Husin Dhiauddin sampai ia dibuang
pada 1824.
Universitas Indonesia
269
sultan harus diberikan kepada Prabu Anom dengan gelar Sultan Ahmad
Najamuddin III Prabu Anom (disingkat Sultan Najamuddin III) sebagai putera
tertua. Jika ada kebijakan lain, maka kebijakan itu dianggap tidak adil dan
menyimpang dari pola umum (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6).
Setelah urusan dengan Sultan Najamuddin II dan Prabu Anom selesai,
fokus perhatian pemerintah Belanda di Batavia tertuju kembali pada usaha
mengakhiri kekuasaan Sultan Badaruddin II. Pemerintah Belanda menyadari
kekuatan dan kebesaran Sultan Badaruddin II. Di mata pemerintah Belanda,
Sultan Badaruddin II merupakan sosok yang tegas dalam menjalankan kekuasaan.
Dalam usaha melakukan ekspedisi kedua, pemerintah pusat di Batavia
memandang perlu adanya sosok lain untuk mengimbangi atau untuk mengalihkan
perhatian rakyat Palembang terhadap Sultan Badaruddin II. Pihak Belanda tidak
memiliki banyak pilihan. Mereka memutuskan untuk melibatkan Sultan
Najamuddin II yang berada dalam pengasingan di daerah Cianjur. Sultan
Najamuddin II dijadikan sebagai imbangan terhadap saudaranya Sultan
Badaruddin II (Kielstra, 1892:98).
Universitas Indonesia
270
194
Dalam rencana ekspedisi akan dilibatkan pula dua Prabu Anom yaitu
Pangeran Jayadiningrat dan Pangeran Jayawikrama (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6).
Universitas Indonesia
271
Universitas Indonesia
272
Universitas Indonesia
273
kepala dari dinas angkatan laut Cornelissen dan ahli bedah Mayor van Racle. Di
dalam rombongan itu terdapat pula kapal-kapal Inggris yang disewa oleh Belanda
(Bataviaasche Courant, Sabtu, 4 Agustus 1821; Bataviaasche Courant, 11 Juli
1821; The Asiatic Journal, vol.10 September 1820).
Dalam pelayaran di Sungai Musi, pasukan Belanda menghadapi berbagai
kesulitan, antara lain, kondisi sungai yang sangat dangkal karena tengah musim
kemarau, sempit dan berkelok-kelok serta arusnya sangat deras menuju laut.
Kondisi tersebut menyebabkan gerak laju armada ekspedisi lambat. Akibatnya,
pada 26 Mei 1921 mereka baru berhasil mencapai ujung selatan Pulau Panjang.
Setelah itu, terus bergerak menyusuri Sungai Musi. Tiga hari kemudian armada-
armada itu berhasil melewati Pulau Kramat dan Pulau Singgries. Pada saat armada
mereka memasuki Kwala Upang, pasukan ekspedisi menemukan sepucuk meriam
yang digunakan untuk menembaki kapal perang Eendracht pada perang 1819
(ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; No. 4, 1971: 86; Bataviaasche Courant, 4
Agustus 1821; Bataviaasche Courant, 11 Juli 1821).
Dari Kwala Upang pada 1 Juni 1821 armada bergerak menuju Selat Jarang
dan berlabuh di sana. Sepekan kemudian mereka berhasil melampaui Pulau
Borang. Di pulau itu, De Kock melakukan pemantauan menggunakan perahu-
perahu ringan dan kapal rakit bersenjata. Utusan Susuhunan Husin Dhiauddin
juga diikutsertakan dalam pemantauan itu. Mereka adalah orang-orang
kepercayaan Susuhunan dari daerah di sekitar Sunsang. Mereka ditugaskan untuk
mencari informasi tentang ibu kota Palembang. Untuk menarik hati penduduk di
sepanjang aliran Sungai Musi yang mereka lalui, De Kock memberi hadiah
berupa garam dan beras. Pemberian hadiah itu dimaksudkan agar penduduk di
wilayah itu tidak menolak kehadiran pasukan Belanda, dan memberikan informasi
yang mereka butuhkan tentang pertahanan Kesultanan Palembang. Dalam
pemantauan itu De Kock menemukan sisa kubu pertahanan dalam perlawanan
Inggris (1812), ternyata, walaupun tidak digunakan lagi, tetap mampu
penghambat laju armada Belanda. Hal ini membuktikan bahwa benteng Borang
merupakan benteng terbesar dan terkuat pada waktu itu, yang dipersiapkan untuk
membendung ekspedisi Inggris. Selanjutnya, De Kock memerintahkan Letnan-1
Scheidius dan Lans dari angkatan laut untuk melakukan pemantauan pula
Universitas Indonesia
274
terhadap kawasan Pulau Salanama. Di sisi timur daerah itu terdapat tonggak-
tonggak kayu pertahanan yang disiapkan Sultan Badaruddin II untuk menghambat
laju armada Belanda. Pemantauan berhasil dengan baik, sehingga mereka dengan
mudah memasuki Sungai Musi. Pada petang 2 Juni 1921 armada ekspedisi
berhasil mendekati kubu-kubu pertahanan Palembang. Pada saat menjelang
malam kapal perang van der Werf dan beberapa kapal lainnya juga berhasil
berlabuh di depan kubu-kubu pertahanan tersebut. Sementara itu, kapal-kapal
lainnya baru berhasil berkumpul dengan kelompok kapal perang van der Werf
pada keesokan harinya (Bataviaasche Courant,11 Juli 1821).
Setelah sepekan berada di depan kubu-kubu pertahanan Palembang, pada
10 Juni 1821 De Kock berusaha merebut salah satu kubu pertahanan Palembang
dengan cara mengirimkan perahu bersenjata meriam ukuran enam pon.
Penyerangan itu berlangsung di bawah komando Kapten George dan Letnan laut
Michel. Selanjutnya, segera oleh pasukan yang dipimpin Letnan Laut Le Jeune
dan Letnan-1 van Geen mengikuti dengan menggunakan dua meriam berukuran
12 pon. Pendudukan itu berhasil dengan baik. Selanjutnya, Kolonel Bischoff,
Kolonel La Fontaine, Letnan Kolonel Taets van Amerongen, Riesz, Mayor
Cochius, dan Kapten Insinyur van der Wijck (ahli benteng) mengerahkan pasukan
infantri yang kuat menyusuri Sungai Plaju. Pada kesempatan itu mereka mencari
lokasi strategis untuk menempatkan meriam-meriam yang akan dimanfaatkan
untuk menyerang kubu pertahanan Palembang. Akan tetapi, usaha itu belum
berhasil, walaupun sudah berusaha selama tujuh sampai delapan jam. Usaha itu
dilanjutkan pada keesokan harinya, tampaknya penentuan lokasi meriam-meriam
menjadi begitu penting yang akan berpengaruh pada keberhasilan penyerangan.
Dalam upaya pencarian tersebut, tanpa sengaja mereka menemukan jalan berawa-
rawa yang dapat digunakan pasukan infantri untuk melakukan penyerangan.
Medan itu cukup berat, sehingga tidak memungkinkan bagi para serdadu
mengangkut senjata berat seperti meriam, namun jalur tersebut dapat dijadikan
jalur alternatif penyerangan (Bataviaasche Courant,11 Juli 1821; Bataviaasche
Courant, 4 Agustus 1821).
Pada 14 Juni 1821 De Kock memutuskan untuk melakukan serangan
penyerangan besar-besaran sejak malam hari, dengan melibatkan pasukan infantri
Universitas Indonesia
275
artileri dan pionir sebanyak tujuh ratus sampai 800 orang serdadu di bawah
pimpinan Kolonel Bischoff. Penyerangan itu dilancarkan dari belakang benteng
dan depan Tambakbaya melalui Sungai Komering. Di samping itu, penyerangan
dilancarkan dari arah depan. Penyerangan dari depan dipimpin Kapten Letnan
Kolonel Tieman bersama-sama dengan Letnan laut Pieke dan Letnan klas-2
Freudenberg. Mereka menggunakan kapal perang Dageraad. Sementara itu,
Letnan laut Le Jeune dan Willink melakukan pemantauan terhadap kekuatan
meriam-meriam Palembang. ,dengan menggunakan perahu dayung di antara
tonggak-tonggak yang dipasang oleh balatentara Palembang untuk menghambat
satuan musuh. Hasil pemantauan itu memudahkan De Kock untuk menentukan
posisi yang tepat bagi kapal-kapal yang akan melakukan penyerangan. Usaha itu
sangat besar pengaruhnya dalam menentukan langkah penyerangan, mengingat
tonggak-tonggak kayu itu adalah kubu pertahanan yang sangat sulit ditembus
sebagaimana terjadi pada perang 1819 (Bataviaasche Courant, 11 Juli 1821). Dua
kali peperangan dengan Palembang memberi mereka pelajaran berharga, sehingga
mampu mengantisipasi setiap kemungkinan yang dapat menghambat penyerangan
mereka.
Sebagai pihak yang diserang, pasukan Palembang memperkuat pertahanan
dengan menempatkan perahu-perahu bersenjata di sepanjang Sungai Ogan dan
Sungai Musi. Keberadaan perahu-perahu bersenjata itu cukup efektif untuk
membalas gempuran dari armada Belanda. Kondisi itu memaksa De Kock
mengubah strategi perang dengan memerintahkan mundur sementara. Pada 17
Juni 1821 Kolonel Bischoff merealisasikan perintah itu dengan mundur selama 24
jam, sambil menunggu perintah lebih lanjut. Sehari sebelumnya kapal Emerentia,
kapal Schipman bergabung dengan armada De Kock, disusul kapal Jessi pada 17
Juni 1821. Semuanya mundur untuk memberi kesan kepada pihak Palembang agar
melakukan hal yang sama (Bataviaasche Courant,11 Juli 1821). Melihat armada
Belanda mundur, pasukan Palembang menghormatinya dengan melakukan hal
yang sama, sehingga sejak hari itu pertempuran reda.
Pada 20 Juni 1821 pertempuran meletus kembali. Kapal-kapal milik
Belanda menghantam dan menghancurkan kubu-kubu pertahanan Sultan
Badaruddin II di Gombora. Pada malam sebelumnya, pasukan Belanda sudah
Universitas Indonesia
276
195
Pasukan Belanda diperkuat kapal Santa Maria dan tujuh perahu dibawah
pimpinan Raja Akil. Mereka bergabung dengan 300 orang serdadu infanteri, beberapa
orang serdadu artileri dan serdadu perintis yang dipimpin Letnan Kolonel Keer
(Bataviaasch Courant,11 Juli 1821).
196
Kapal Nassau paling parah kondisinya, badan kapal itu penuh lubang “bagai
ayakan” akibat tembakan pasukan Palembang dan sauhnya tenggelam. Nantinya sauh
itu ditempatkan di gudang penyimpanan garam di ibu kota Palembang (Woelders, 1975:
129).
Universitas Indonesia
277
kencang di perairan Sungai Musi, sehingga jangkar dan tali kapal sulit ditarik, De
Kock memutuskan untuk mundur. Keputusan itu dilakukan dalam rangka
mempersiapkan serangan berikutnya. Sore harinya pasukan Sultan Badaruddin II
berhasil menguasai kembali semua kubu pertahanannya. Dalam peperangan itu,
pasukan Belanda menderita banyak kerugian. Selain kerugian materi, pasukan
Belanda juga kehilangan serdadunya dengan terbunuhnya 46 orang, 55 orang luka
berat dan 42 orang luka ringan (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; No. 4, 1971:
86; Bataviaasche Courant,11 Juli 1821; Bataviaasche Courant, 4 Agustus 1821).
Keesokan harinya sejak pukul 03.00, pihak Belanda kembali melancarkan
serangan dengan kekuatan yang sudah jauh berkurang dibanding hari sebelumnya.
Hal yang sama juga dialami oleh laskar Palembang. Tembakan-tembakan meriam
dari benteng Gombora dan Plaju berkurang. Dengan kondisi demikan, kembali De
Kock terpaksa menarik pasukannya. Saat itu salah satu kapal meriam terjebak
pada tonggak-tonggak di Sungai Musi karena air surut. Akibatnya, kapal itu sulit
bergerak dan jatuh ke tangan laskar Palembang. Akan tetapi, kapal itu berhasil
direbut kembali oleh pasukan Belanda. Di sisi lain, laskar Palembang terus
menembaki kapal-kapal meriam milik Belanda. Untuk kesekian kalinya, armada
Belanda memutuskan mundur (Bataviaasche Courant, 11 Juli 1821).
Pada 24 Juni 1821 kapal-kapal Belanda kembali mempersiapkan segala
keperluan untuk melanjutkan pertempuran. Sejak pukul 03.00 De Kock dengan
kapal Johanna dan armada lainnya bergerak mendekati kubu pertahanan
Palembang. Peperangan terjadi pada pukul 04.00. Setelah pertempuran
berlangsung sengit, pasukan Belanda berhasil merebut posisi dengan cepat.
Pendudukan itu merupakan keberhasilan pertama bagi kubu Belanda. Peperangan
terus berlanjut pada pukul 05.00-06.00. Setelah itu tembakan dari benteng
Gombora melemah. Melihat kondisi itu, De Kock memerintahkan Kolonel
Bischoff dan Letnan Kolonel Riesz (komandan artileri) untuk menggempur pusat
pertahanan itu. Empat puluh lima menit kemudian benteng Gombora berhasil
direbut pasukan Belanda. Letnan laut Le Jeune segera mengibarkan bendera
Belanda di pulau itu sebagai simbol bahwa daerah itu telah mereka kuasai. Dalam
pertempuran sengit hari itu, pihak Belanda mengalami kerugian sebanyak 29
Universitas Indonesia
278
orang serdadu terbunuh, 145 orang luka-luka (ANRI, Bundel Palembang No. 4,
1971: 86; Bataviaasche Courant, 11 Juli 1821).
Langkah selanjutnya adalah menyerang kubu pertahanan Palembang di
Plaju di bawah komando Kolonel de La Fontaine dan Mayor de Leeuw, diikuti
Bischoff dan de Leeuw mengerahkan 10 kapal meriam di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Laut Bakker. Mereka bergerak dari belakang Gombora untuk menyerang
Plaju. Armada Belanda bergerak perlahan melewati tonggak-tonggak pertahanan.
Setelah itu, kapal Venus, Ajax dan perahu-perahu mereka berhadapan langsung
dengan pasukan Palembang yang menembakkan meriam-meriam pantai. Pada
pertempuran itu pasukan Palembang berhasil melumpuhkan kapal perang Venus
dan Ajax. Pasukan Palembang juga mengerahkan rakit-rakit yang dibakar. Akan
tetapi rintangan itu berhasil ditangkis pasukan Belanda dengan perjuangan yang
berat. Sementara itu, pertempuran terus berlangsung (Bataviaasche Courant,11
Juli 1821).
Menjelang 09.00, kedua kubu mulai lemah, tembakan pasukan Palembang
dari benteng Plaju berkurang, begitu pula pasukan Belanda. Kapal van der Werf
dan Dageraad kekurangan amunisi, sehingga penyerangan dari kedua kapal itu
harus dihentikan. Menjelang pukul 10.00 posisi Kapal Dageraad yang strategis
bergeser akibat serangan pasukan Palembang. Perubahan posisi kapal itu
menyebabkan armada lainnya semakin tidak dapat dilindungi. Hal itu
menyebabkan gerakan pasukan Belanda menjadi terhambat. Walaupun demikian,
peperangan terus berlangsung. Tanda-tanda kemenangan pasukan Belanda mulai
tampak pada pukul 11.30 dengan berhasilnya Kolonel Bischoff memimpin
pasukannya menyerang meriam ke-4 (meriam terakhir, setelah sebelumnya
mereka berhasil melumpuhkan tiga meriam Palembang) di Plaju. Pasukan yang
dipimpin letnan-1 Wagener dan van Stijrum mampu memaksa pasukan
Palembang meninggalkan meriam pertama, sehingga dalam waktu hampir satu
jam seluruh kubu pertahanan di Plaju berhasil dikuasai oleh pasukan Belanda.
Setelah itu, pasukan Belanda mulai mencabuti tonggak-tonggak kayu dan bambu
yang terdapat di Sungai Musi. Hal itu dimaksudkan agar kapal-kapal Belanda
lainnya dapat melewati Sungai Musi dan mendekati keraton. Dalam pertempuran
itu di pihak Belanda dua orang serdadu terbunuh, dan enam orang menderita luka,
Universitas Indonesia
279
sedangkan di pihak Palembang tidak ada sumber yang menyatakan jumlah korban
dalam peperangan itu. Akan tetapi dapat dipastikan banyak korban tewas dan
luka-luka. Selama peperangan berlangsung, pasukan Belanda juga mengalami
kekurangan bahan makanan yang parah (Bataviaasche Courant, 11 Juli 1821;
Veth, 1869: 655).
Setelah berhasil melumpuhkan benteng Gombora dan Plaju, armada
Belanda mendekati keraton. Dua hari kemudian (26 Juni 1821) semua pasukan
Belanda bergerak siaga di depan keraton Sultan Badaruddin II. Keraton yang pada
waktu itu diperkuat dengan tujuh belas meriam197. Keraton yang dikelilingi
tembok yang tebal dan tinggi, (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; Bataviaasche
Courant, 11 Juli 1821). Kehebatan keraton sudah terbukti dalam perang 1819
mampu menangkis serangan dari pasukan Belanda.
Ketika kapal-kapal perang Belanda tiba di depan keraton (jarak satu
tembak senapan dari tembok kraton), Sultan Badaruddin II memutuskan untuk
menempuh jalur perundingan. Untuk itu, Sultan mengutus Pangeran Adipati Tuo
menemui De Kock di atas kapal Johanna. Dalam pertemuan itu, Pangeran
Adipati Tuo menyatakan kesediaannya untuk menyerahkan saudaranya Sultan
Badaruddin II kepada pemerintah Belanda, dengan permintaan dirinya diizinkan
untuk tetap tinggal di Palembang. Jenderal Mayor De Kock menolak tawaran
tersebut. Sementara itu, Pangeran Adipati Mudo menyatakan bahwa Sultan
Badaruddin II bersedia menyerah tanpa syarat untuk mencegah terjadinya
pertumpahan darah. Sultan juga meminta penundaan waktu untuk berangkat ke
Batavia, dengan alasan akan menyiapkan para istri, anak-anak dan para pengikut
setianya yang akan ikut menyertainya. De Kock mengabulkan permintaan tersebut
dengan memberi waktu selama dua hari, dengan syarat Sultan harus segera
membongkar semua meriam di keraton. Pada saat yang bersamaan ketika De
Kock berunding dengan wakil Sultan, De Kock memerintahkan semua armada
Belanda menutup jalan masuk ke dan dari Sungai Musi untuk mencegah Sultan
Badaruddin II keluar dari ibu kota Palembang (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1;
197
Sumber Bataviaasche Courant (11 Juli 1821), menyebutkan bahwa keraton
dipertahankan dengan tujuh puluh meriam.
Universitas Indonesia
280
Universitas Indonesia
281
kali198 (Bataviaasche Courant, Rabu 11 Juli 1821). Para perwira dan serdadu yang
berjasa dalam peperangan itu dianugerahi anugerah militer tertinggi ― Militaire
Willemsorde‖ berupa lencana yang disematkan pada upacara penganugerahan dan
digubah syair-syair kemenangan. Berita kemenangan itu sampai di negeri Belanda
pada 6 Nopember 1821, disambut antusias di sana. Kemenangan itu dibahas di
rapat majelis rendah Parlemen Belanda, dan Raja Willem I memberikan ucapan
selamat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda atas nama parlemen. Menurut
mereka keberhasilan gemilang tersebut sangat penting bagi pengukuhan
kekuasaan Belanda di Nusantara (Kielstra, 1892:99; Woeldwes, 1975: 24-25).
Betapa pentingnya kemenangan atas Palembang bagi pemerintah Belanda baik di
Batavia maupun di negeri Belanda. Semua itu untuk menebus dua kali kekalahan
dalam perang 1819.
Sesampainya rombongan Sultan Badaruddin II di Ternate pada tahun 1822,
mereka di tempatkan di Fort Oranje, dengan tunjangan sebesar f 800 per bulan.
Fort Oranje adalah sebuah benteng Belanda di Ternate yang menjadi pusat
pemerintahan Belanda di wilayah Maluku. Setelah beberapa bulan Sultan
Badaruddin II dan keluarganya menghuni benteng itu, Residen setempat
memandang perlu memperbaiki bangunan tersebut mengingat kondisinya yang
memprihatinkan. Sebagai tindak lanjut, Residen Ternate mengusulkan perbaikan
gedung itu kepada pemerintah pusat. Usul itu diajukan melalui surat nomor: 19,
tertanggal 23 September 1822. Gubernur Jenderal menerima usul tersebut dengan
mengeluarkan keputusan pada 13 Nopember 1922 nomor: 11. Berdasarkan surat
keputusan tersebut, Sultan Badaruddin II dan pengikutnya dipindahkan ke lokasi
sebelah selatan Fort Oranje, dan tetap diawasi secara ketat. Fort Oranje
diperuntukkan bagi markas komandan militer setempat. Selanjutnya, lokasi yang
ditempati oleh Sultan Badaruddin II dan pengikutnya dikenal dengan nama
―kampung Palembang‖. Lokasi itu berbatasan sebelah utara dengan Fort Oranje,
sebelah selatan dengan penjara, kantor residen, rumah kediaman residen, hotel,
societiet, sekolah dan rumah para pejabat Belanda. Di sebelah timur berbatasan
198
Jumlah tembakan maksimal dalam suatu upacara penghormatan, tembakan
itu dianugerahkan atas jasa-jasa para perwira dan serdadu Belanda yang telah berhasil
mengalahkan Kesultanan Palembang. Atas jasa-jasa tersebut mereka memperoleh
bintang dan kenaikan pangkat.
Universitas Indonesia
282
dengan pasar, rumah dan pertokoan Cina. Di sebelah barat berbatasan dengan
kampung Sarani, yang dihuni oleh kelompok Belanda dan Portugis Terdapat akses
keluar dari lokasi tersebut, tetapi pihak Belanda telah menyiapkan pos penjagaan
di sana (Woelders, 1975:24; ―Sejarah‖, 1984, 98-99).
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Godert Alexander Gerard Phillip Baron
van der Capellen melakukan kunjungan ke Keresidenan Ternate pada 10 Mei
1824. Tiga hari setelah kunjungan resmi Sultan Tidore dan Ternate menemui
Gubernur Jenderal van der Capellen, pada 18 Mei 1824 Sultan Badaruddin II
diperkenankan menghadap van der Capellen di sana. Pada kesempatan itu, Sultan
Badaruddin II mengakui kekalahannya, tetapi tidak sedikitpun mengajukan
keinginan agar pemerintah kolonial Belanda mengizinkannya kembali ke
Palembang. Sesungguhnya, Sultan Badaruddin II memang terkenal sebagai raja
yang memiliki sikap yang tegas dan keras. Di mata pers kolonial pada waktu itu,
Sultan dikenal angkuh dan nekad karena tidak memohon agar dapat dikembalikan
ke Palembang (Bataviasche Courant, 31 Juli 1824 nomor 31). Dari pernyataan
tersebut, tersirat bahwa van der Capellen ingin agar Sultan Badaruddin II
memohon kepadanya agar diampuni dan dipulangkan ke asalnya. Ternyata semua
keinginan itu tidak tercapai, karena Sultan Badaruddin II tidak mau
menghambakan dirinya demi sebuah ―kebebasan di bawah kendali Belanda‖ di
tanah leluhurnya Palembang.
Keteguhan jiwa seorang Sultan Palembang, yang memiliki sejarah panjang
dalam berjuang mempertahankan kedaulatannya. Ia tidak pernah rela hidup dalam
kungkungan penjajahan Belanda. Jeritan batinnya dapat dilihat dari karyanya
dalam bentuk untaian bait-bait syair Nuri.
… Sudahlah nasip (b) untung yang malang
Mengambah lautan berulang-ulang
Mudharatnya bukan lagi kepalang
Senantiasa di dalam nasip dan walang
Universitas Indonesia
283
Universitas Indonesia
284
BAB 6
KERUNTUHAN KESULTANAN PALEMBANG
Dengan berakhirnya peperangan antara Palembang dan Belanda (Juni 1821), sejak
itu pula Kesultanan Palembang berada di bawah kendali pemerintah kolonial
Belanda. Sesuai isi Kontrak April 1821, Sultan Najamuddin III mengendalikan
pemerintahan atas Kesultanan Palembang didampingi oleh residen Belanda.
Dengan demikian, sebagian kekuasaannya telah diserahkan kepada pemerintah
kolonial Belanda. Kekuasaan yang telah terbagi itu, pada Agustus 1823
sepenuhnya dikendalikan oleh pihak Belanda, kecuali peradilan Agama Islam.
Seiring dengan peralihan kekuasaan dari Sultan Najamuddin III kepada
pemerintah kolonial Belanda, terjadi berbagai kebijakan yang merugikan rakyat.
Akibatnya, terjadi berbagai pergolakan khususnya di daerah uluan. Pergolakan itu
juga dipicu oleh dibuangnya Sultan Badaruddin II dan peralihan kekuasaan
kepada Belanda. Pergolakan yang marak terjadi, menyebabkan pihak kolonial
Belanda mengirimkan pasukan untuk menghancurkan perlawanan-perlawanan
tesebut.
Di ibu kota Palembang juga terjadi berbagai ketegangan antara Sultan
Najamuddin III-Susuhunan Husin Dhaiauddin dan Belanda. Puncaknya terjadi
penyerangan terhadap benteng Belanda. Peristiwa itu mengakibatkan Susuhunan
dibuang ke Batavia, sedangkan Sultan Najamuddin III lari ke uluan menggalang
kekuatan. Tanpa dukungan sarana dan prasarana yang memadai, Sultan harus
menghadapi kekuatan Belanda yang besar dan kuat. Akhirnya, Sultan dan
pengikutnya menyerah dan dibuang pada 1825. Dengan dibuangnya Sultan
Najamuddin III, Kesultanan Palembang dihapuskan.
Universitas Indonesia
285
199
Pihak Belanda memperkirakan harta kekayaan yang sangat besar dari Sultan
Badaruddin II, digunakan untuk membiayai proyek pertahanan, membeli amunisi,
meriam juga untuk menggaji dan memberi makan pasukan di kubu-kubu pertahanan
Palembang, serta untuk menambah jumlah pendukungnya (Bataviaasch Courant, Sabtu,
4 Agustus 1821).
Universitas Indonesia
286
diberi gelar Pangeran Aryo Kesumo, serta adiknya yang terkecil naik menjadi
Pangeran Suryo Kesumo (sebelumnya bergelar Pangeran Citradiningrat) (ANRI,
Bundel Palembang No. 5.1; No. 4, 1971: 87; Bataviaasche Courant, 11 Juli 1821;
Woelders, 1975: 24, 112; Veth, 1869: 655).
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa terdapat dualisme pemerintahan.
Hal itu tampak dari diangkatnya Pangeran Adiwijaya sebagai juru bicara dengan
gelar Pangeran Perdana Menteri. Dalam struktur pemerintahan di Kesultanan
Palembang, Perdana Menteri dapat disamakan dengan Pangeran Adipati, namun
tampaknya penamaan gelar Perdana Menteri semata-mata hanya gelar, tidak
terkait dengan jabatan Adipati (orang kedua setelah sultan). Walaupun demikian,
penamaan tersebut merupakan penyimpangan dari pola umum yang berlaku di
Kesultanan Palembang. Dengan diangkatnya Pangeran Jayaningrat sebagai
Pangeran Adipati, maka di Kesultanan Palembang terdapat tiga orang yang
bergelar Pangeran Adipati. Pertama, adalah Pangeran Adipati (adik kandung
pertama Sultan Najamuddin II yang diangkatnya sebagai Pangeran Adipati sejak
dirinya menyandang gelar sultan pada 1812), yang disebut juga dengan nama
Pangeran Adipati Tuo200. Kedua, Pangeran Adipati Mudo (diangakt Sultan
Badaruddin II setelah pembagian kekuasaan), dan ketiga, Pangeran Adipati
Jayaningrat. Setelah Sultan Najamuddin III naik tahta, Susuhunan Husin
Dhiauddin menetapkan Pangeran Adipati Tuo sebagai Pangeran Bupati
Panembahan.
Dalam rangka melaksanakan pendudukan atas Kesultanan Palembang
secara efektif, pada 13 Juli 1821 panglima ekspedisi Palembang Jenderal Mayor
de Kock mengeluarkan instruksi kepada Residen Keer, agar segera mengambil
langkah-langkah nyata. Lebih lanjut disebutkan bahwa hendaknya segera menata
pemerintahan, infrastruktur, gelar dan jabatan di Kesultanan Palembang. Semua
200
Penamaan demikian untuk membedakan antara Pangeran Adipati Mudo,yang
diangkat oleh Sultan Badaruddin II pascapembagian kekuasaan atas Kesultanan
Palembang pada Juni 1818.
Universitas Indonesia
287
itu berpedoman pada nota salinan yang telah diberikan oleh Muntinghe201 (ANRI,
Bundel Palembang no 47.6).
Setelah Sultan Najamudin III berkuasa, ia sulit menjalankan kewajibannya
untuk mengatasi masalah gangguan keamanan baik di ibu kota dan uluan maupun
di perairan antara Pulau Bangka dan Palembang. Menurut pemerintah Belanda di
Palembang pada waktu itu, Sultan terlalu lemah untuk mengendalikan kondisi
yang ada. Pada kenyataannya pemegang kendali pemerintahan adalah Susuhunan.
Oleh karena itu, untuk menegakkan keamanan di ibu kota Palembang, pemerintah
Belanda menambah pasukan keamanan baik dari angkatan laut maupun darat. Di
depan keraton Kuto Besak, mereka menempatkan kapal Zeepaard, Ajax, Venus,
Zeevaluwe, dan Emma serta perahu-perahu, dengan posisi yang telah ditentukan.
Posisi kapal dan perahu itu tidak boleh berubah kecuali atas izin komandan
angkatan laut. Kapal Emma dan beberapa perahu berfungsi untuk melayani
pelayaran antara Palembang dan Muntok. Apabila kondisi di Palembang sudah
aman, akhir Oktober atau awal November 1821 kapal Ajax dan de Zwaluwe akan
ditarik ke Batavia. Meriam-meriam yang tidak digunakan secepatnya dikirim ke
Jawa. Mereka juga membuat peta tentang sungai-sungai di Palembang, yang
jumlahnya banyak. Pemetaan itu penting, mengingat sungai merupakan sarana
transportasi utama di Kesultanan Palembang. Usaha itu juga untuk mengantisipasi
kemungkinan perlawanan dari daerah uluan yang pasti memanfaatkan jalur
sungai. Pelaksanaannya memanfaatkan bantuan Sultan Palembang berupa perahu,
pendayung dan penunjuk jalan dalam. Hal itu disebabkan hanya Sultan yang
memiliki sarana dan prasarana yang dibutuhkan, dan hanya orang Palembang
yang mampu menjadi penunjukkan jalan dalam tugas tersebut (ANRI, Bundel
Palembang No. 47.6; Kielstra, 1892: 100).
Selanjutnya kepemimpinan Belanda atas Kesultanan Palembang
202
diserahkan kepada Komisaris Van Sevenhoven . Ia bertugas di Palembang sejak
201
Muntinghe memperoleh data tersebut diperoleh dari Pangeran Wirawikrama
dan laporan hasil wawancara dengan orang-orang Palembang tentang jabatan-jabatan
di Palembang dari Baud (ANRI, Bundel Palembang no 47.6).
202
Dipilihnya Sevenhoven sebagai residen Palembang, karena dianggap berhasil
menjalankan tugasnya sebagai residen Cirebon. Sosok Sevenhoven dianggap tepat untuk
memerintah Palembang yang baru saja berhasil dikuasai oleh Belanda. Ia berfungsi
sebagai penasehat Sultan Najamuddin III, walaupun pada kenyataannya Sevenhoven
Universitas Indonesia
288
yang mengendalikan kekuasaan. Tugas utamanya adalah meneliti kondisi sosial, politik,
dan ekonomi di kesultanan itu. Selanjutnya, melaporkan hasil penelitiannya kepada
pemerintah pusat di Batavia. Menurut pengamatannya, dinyatakan bahwa pengeruh
Sultan di uluan sangat kecil. Dengan demikian, Sultan tidak akan mampu memenuhi
ketentuan kontrak (April 1821), antara lain tentang ketentuan mengembangkan
perdagangan dengan membuka pasar-pasar, mencegah perdagangan budak dan lainnya
(Kielstra, 1892:100-101; Woelders, 1975:25).
203
Keer menjabat sebagai Residen Palembang-Bangka sekaligus sebagai
komandan militer, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 6 Mei 1821 nomor
3. Dibuatnya keputusan tersebut, mengingat sejak Juni 1819, pemerintahan Belanda di
Palembang tidak ada. Penggabungan pemegang kekuasaan Bangka dan Palembang
untuk memudahkan koordinasi dalam rangka menaklukkan Kesultanan Palembang,
(ANRI, Bundel Palembang No. 47.6).
Universitas Indonesia
289
Universitas Indonesia
290
204
Muntinghe pada saat itu menjabat sebagai anggota Dewan Hindia. Namun,
sebagai orang yang pernah menjabat sebagai komisaris di Palembang (1818-1819) dan
telah melakukan penelitian tentang kehidupan masyarakat Palembang, Ia tetap
memberikan pandangannya tentang cara terbaik memperkokoh kekuasaan Belanda di
Palembang dan mengeksploitasinya.
205
Pada prinsifnya Sevenhoven memiliki pandangan yang sama yaitu
menghapuskan kekuasaan feudal, untuk selanjutnya melakukan pembaharuan
(Woelders, 1975: 25).
Universitas Indonesia
291
Universitas Indonesia
292
dalam pembangunan benteng tersebut antara lain, tidak adanya tanah yang cocok
untuk pembuatan batu bata dan genting di sekitar ibu kota Palembang. Selain itu,
di sekitar ibu kota sulit diperoleh kayu bakar, kayu untuk bahan bangunan, dan 25
ribu perahu untuk pembangunan selama empat tahun. Semua kebutuhan tersebut
harus didatangkan dari daerah-daerah lain, sehingga dibutuhkan sarana angkutan
dan tenaga kerja tambahan (kuli angkut, kuli tebang kayu, tukang kayu dan tukang
batu). Total tenaga kerja yang dibutuhkan lebih dari seribu orang per hari,
sedangkan jumlah matagawe di Kesultanan Palembang hanya sekitar delapan ribu
orang. Penduduk Palembang hanya mampu bekerja di proyek umum selama tiga
bulan dalam setahun, karena mereka juga harus melakukan kerja harian di
gudang-gudang milik Belanda, membersihkan jalan dan keraton. Dengan
demikian, pemerintah Belanda akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan
tenaga kuli sebagaimana yang diharapkan (ANRI, Besluit van Govenour Generaal,
tanggal 14 Agustus 1822 Nomor: 11, Bundel Algemeen secretarie).
Atas pertimbangan berbagai kesulitan yang akan dihadapi apabila proyek
pembangunan benteng Frederik diteruskan, Sevenhoven menyatakan
keberatannya kepada Gubernur Jenderal. Menurutnya, apabila pembangunan
benteng itu dipaksakan, akan timbul gejolak di Kesultanan Palembang. Sebagai
gantinya, Sevenhoven menyodorkan keraton Kuto Besak untuk dijadikan benteng.
Pada waktu itu keraton telah dijadikan tempat untuk pasukan Belanda. Lebih
lanjut Sevenhoven menyatakan bahwa keraton Kuto Besak sangat sesuai untuk
dijadikan benteng yang mampu menampung 400 orang serdadu. Bangunan di
bagian tengah keraton cocok dijadikan tempat tinggal Sevenhoven. Di dekat
keraton cocok dibangun tempat beristirahat para perwira dan pejabat tinggi
Belanda di Palembang (ANRI, Besluit van Govenour Generaal, tanggal 14
Agustus 1822 Nomor: 11, Bundel Algemeen secretarie; Bataviaasch Courant,
Sabtu, 4 Agustus 1821). Dilihat dari berbagai segi keraton, sangat memadai untuk
dijadikan benteng. Di samping besar dan kokoh, keraton juga berada pada posisi
yang sangat strategis.
Pada mulanya Jenderal Mayor De Kock menyatakan persetujuannya atas
rencana pembangunan benteng Frederik. Ia tidak memikirkan kesulitan-kesulitan
yang akan timbul dalam pembangunan benteng itu, antara lain kebutuhan tenaga
Universitas Indonesia
293
kerja, material dan dana, sedangkan Keraton lamo (dekat keraton Kuto Besak)
yang pada saat itu dihuni Sevenhoven kondisinya telah rapuh dan gelap. Kondisi
itu juga membutuhkan penanganan segera. Sementara itu, banyak hal yang harus
dilakukan guna membenahi keraton Kuto Besak. Berdasarkan hasil penelitian
Kapten van der Wijck terhadap keraton Koto Besak (termaktub dalam memori
pada 28 Juni 1822), dinyatakan bahwa sarana pertahanan keraton belum memadai
untuk dijadikan benteng sebagai pengganti benteng Frederik. Akan tetapi, jika
pembangunan benteng Frederik dilanjutkan akan terbentur dana yang sangat
besar. Jalan yang terbaik adalah menggunakan salah satu bagian dari keraton
sebagai benteng. Cara itu dinilai lebih hemat tenaga kerja, material dan biaya
(ANRI, Missive van H.M. de Kock, tanggal 18 Juli 1822 nomor 19, Bundel
Algemeen Secretarie).
Berdasarkan paparan Sevenhoven yang menyeluruh tentang berbagai
kemungkinan mewujudkan benteng dengan biaya serendah mungkin, ditopang
pula dengan kondisi keraton Koto Besak sebagai satu-satunya bangunan yang
paling kokoh dan terletak di lokasi yang sangat strategis, Panglima Angkatan
Darat Letnan Jenderal de Kock mengubah pikirannya yang sebelumnya
mendukung pembangunan benteng Frederik, menjadi menyetujui menjadikan
keraton sebagai benteng. Selanjutnya, Gubernur Jenderal mengeluarkan
keputusan tentang penetapan keraton Palembang sebagai benteng pertahanan.
Tujuannya untuk melindungi para pejabat dan garnisun Belanda di Palembang
dari serangan penduduk. Suatu kesalahan besar apabila residen dan para pegawai
sipil tinggal di luar benteng. Untuk itu, Gubernur Jenderal memerintahkan
Komisaris Palembang melaksanakan proyek tersebut bersama-sama dengan
Kapten insinyur van der Wijck206. Dalam mewujudkan rencana tersebut, mereka
juga meminta persetujuan dari Sultan Palembang. Setelah segala persiapan
selesai, pembangunan segera dilaksanakan (ANRI, Besluit van Gouverneur
Generaal, tanggal 21 Agustus 1822 nomor 10, Bundel Algemeen Secretarie).
206
Dipilihnya van der Wijck sebagai patner dalam proyek tersebut, karena di mata
Sevenhoven, Van der Wijck adalah sosok yang berbakat, teliti, dan baik. Ia juga juga seorang
mitra kerja yang menyenangkan dan telah lama tinggal di Palembang sehingga paham betul seluk
beluk daerah tersebut (ANRI, Besluit van Governour Generaal, tanggal 21 Agustus 1822 nomor
10, Bundel Algemeen Secretarie).
.
Universitas Indonesia
294
Universitas Indonesia
295
207
Menurut para pemimpin Belanda di Palembang (Sevenhoven, J.C. Reijns dan
J. Kruseman), Sultan Najamuddin III adalah orang yang lemah, ia banyak dipengaruhi
oleh golongan bangsawan bahkan dalam banyak hal Susuhunan Husin Dhiauddin lebih
“menentukan” dari Sultan. Dalam pandangan para wakil pemrintah Belanda di
Palembang, Sultan Najamuddin III tidak mampu memenuhi ketentuan Kontrak 1821,
antara lain tentang memajukan perdagangan, memberantas perampokan dan
perdaganan manusia, menghapuskan perdagangan budak (Kielstra, 1898: 100-103).
Argumen yang dikemukakan oleh pihak Belanda sumir, karena dalam kondisi habis
berperang dan baru kembali dari pembuangan, serta tidak memiliki kekayaan juga
pengalaman memerintah bahkan di bawah kendali “penguasa” Belanda. Adalah sesuatu
yang mustahil bagi Sultan Najamuddin III bebas bergerak untuk mewujudkan berbagai
ketentuan yang menjeratnya. Dengan demikian, alasan-alasan yang dikemukan terlihat
hanya sebagai “alat” untuk mengesahkan berbagai “kebijakan” yang telah dan akan
dilaksanakan atas kesultanan itu.
208
Menurut Kielstra (1892: 104), kontrak itu disetujui pemerintah pusat pada 7
Oktober 1823.
Universitas Indonesia
296
Universitas Indonesia
297
Universitas Indonesia
298
Universitas Indonesia
299
210
Pemerintah Belanda menerapkan pajak tanah sebesar tiga gulden, pungutan pajak itu
yang menjadi salah satu faktor penting mereka memberontak, sebagaimana dilansir oleh Singapore
Chroniek (6 Januari 1825) (The Asiatic Journal, vol. 20, 1825: 96).
211
Besluit No. 83, 27 Agustus 1824 memuat tentang persenjataan yang dibawa
terdiri dari tiga senapan logam satu pon, tiga senapan moncong letus setengah pon, 150
peluru satu pon, 150 peluru setengah pon, 200 pon mesiu artileri, dua periuk tembaga,
dua lepel dengan penarik, enam tanduk mesiu, 2000 peluru senapan, 91 senapan, 100
pon mesiu infanteri, 150 tumpuk kertas pola, 70 batu api. Residen juga memberikan
pinjaman berupa satu kumparan logam seberat 221 pon, delapan senapan, empat
senapan bermoncong besar. Residen menyewa 41 senapan dan senapan bermoncong
lebar seharga f 2,5 (ANRI, Bundel Palembang No. 5.5).
Universitas Indonesia
300
kunjungan ke daerah uluan. Tradisi itu adalah dusun-dusun yang dilewati oleh
pangeran itu ikut menyertakan penduduknya212 guna memperkuat rombongan
tersebut. Di samping itu, terlibat pula beberapa orang tokoh dari keraton, antara
lain Pangeran Kramayudo, Raden Mohamad Said, Raden Sabudin, Demang
Wiratama, Demang Walo Sentiko Adenan, Kiagus Kling bin Tanjung, Kiagus
Kling, Pangelima Tama, Pangelima Dalam, dan Nahuda Kahar. Pemerintah
Belanda juga meminta tambahan pasukan militer dari Pulau Bangka. (ANRI,
Bundel Palembang No. 5.5; No. 4, 1971: 91-92).
Dilihat dari persiapan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, baik
personil maupun peralatan persenjatan, dapat disimpulkan bahwa mereka
menanggapi perlawanan dari penduduk uluan dengan serius. Pihak Belanda sudah
banyak belajar dari pengalaman selama ini, bahwa sekecil apapun suatu
pembangkangan harus dihadapi dengan penuh kewaspadaan. Sebab penduduk
Palembang terkenal militan dan dapat melakukan serangan secara tiba-tiba tanpa
mereka mampu mempredikasikannya sebelumnya.
Ekspedisi yang dipimpin Pangeran Suradilaga berhadapan dengan pasukan
Rawas. Pertempuran terjadi di sana, yang sebagian besar melibatkan sesama
penduduk Palembang. Dalam pertempuran itu, jumlah pemberontak Rawas jauh
lebih besar dari yang diperkirakan semula. Akibatnya pasukan yang dipimpin
Pangeran Suradilaga tidak mampu mengatasi keadaan dan terpaksa mundur ke ibu
kota (ANRI, Bundel Palembang No. 5.5; No. 4, 1971: 91-92). Dengan demikian,
penyerahan kekuasaan dari Sultan kepada pemerintah Belanda diikuti berbagai
peraturan yang menekan penduduk, misalnya pajak. Yang menyebabkan
penduduk uluan memberontak.
Berbagai bentuk perlawanan di uluan, tidak dapat dilepaskan dari usaha Sultan
Najamuddin III untuk mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah Belanda
yang didukung oleh para ulama setempat. Sultan dan Susuhunan juga dihadapkan
212
Delapan orang dari Bailangu, empat puluh orang dari Sekayu, delapan orang
dari Sukarami, seratus orang dari Lawang Wetan, dan lima puluh orang dari Suka
Punjung (ANRI, Bundel Palembang No. 5.5).
Universitas Indonesia
301
Universitas Indonesia
302
mereka berusaha sungguh-sungguh agar hal itu tidak terjadi, dengan cara
mencegah terjadinya perpindahan penduduk dari kedua wilayah tersebut. Bliti dan
Klingi memiliki sejarah panjang perlawanan terhadap Belanda. Penduduk
setempat, sejak mundurnya Sultan Badaruddin II ke sana (1812). meneruskan
perjuangan melawan Inggris dan Sultan Najamuddin II. Begitu pula enam tahun
kemudian, ketika Muntinghe bersama pasukannya tetap di sana setelah menghalau
pasukan Inggris. Kawasan tersebut menjadi pendukung setia Sultan Badaruddin II
dan sangat gigih melawan pendudukan asing (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6;
No. 4, 1971: 93-94; Kielstra, 1892: 96).
Situasi di ibu kota Palembang makin tegang. Untuk itu, pemerintah
kolonial Belanda menyiapkan diri menghadapi berbagai kemungkinan. Langkah
yang ditempuh adalah mengerahkan pasukan dari Muntok, dan mendatangkan
kapal perang Dolphijn di bawah komando Kapten-Letnan Bloemendal. Kapal itu
sudah berada di perairan Sungai Musi pada Nopember213, dan tetap di sana hingga
Desember 1824, Akan tetapi, kehadiran kapal perang dan tambahan serdadu tidak
membuat kondisi di ibukota menjadi kondusif, terbukti pada 21 November 1824,
sebanyak 22 orang serdadu Belanda yang terdapat di garnisun diracun, tetapi
berhasil diselamatkan. Residen mencurigai pelakunya adalah salah seorang
pengawal Sultan Najamuddin III (ANRI, Bundel Palembang No. 5.5; No. 50.2;
Bataviaasche Courant, 18 Desember 1824 nomor 51).
Dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut, Residen mengirim
beberapa orang utusan untuk menangkap pelaku. Akan tetapi, setibanya petugas-
petugas tersebut di kediaman Sultan, mereka ditangkap dan dipenjarakan atas
perintah Sultan. Sore214 harinya, Susuhunan Husin Dhiauddin mengundang semua
pejabat kesultanan yang ditempatkan di kantor residen. Sebagian besar pejabat
tersebut memenuhi undangan itu, kecuali beberapa orang yang mendapat tugas
dari residen. Setibanya para pejabat itu di rumah Susuhunan, ia memerintahkan
213
Sumber arsip lainnya (ANRI, Bundel Palembang No. 5.5) menyebutkan
bahwa kapal perang Dolphijn sudah ada di pelabuhan Palembang sejak Pebruari 1824.
214
Sumber Bataviaasche Courant (18 Desember 1824, No. 51), menyebutkan
hal itu terjadi pada siang hari.
Universitas Indonesia
303
untuk menangkap para pejabat tersebut215, bahkan salah satu dari pejabat yang
terlibat dalam pertemuan tersebut diciderai karena berusaha melarikan diri.
Menghadapi insiden itu, Residen Palembang menuntut Sultan Najamuddin III
agar segera mengirimkan orang kepercayaannya untuk menghadap dirinya. Sultan
tidak menggubris tuntutan tersebut, bahkan menahan pertugas yang membawa
pesan dari Residen. Sultan memperingatkan Residen bahwa malam itu juga ia
akan menyerang kediaman Residen (keraton Kuto Besak) (ANRI, Bundel
Palembang No. 4, 1971: 92; Bataviaasche Courant, 18 Desember 1824, No.51)
Menghadapi situasi seperti itu, Residen menyiagakan para serdadu
angkatan darat dan laut serta armada. Pada 22 Nopember 1824, pukul 04.00
setelah lonceng benteng berdentang, sebanyak tiga hingga empat ratus orang
keluar dari rumah Sultan mendekati keraton. Dalam kegelapan malam pasukan
Belanda mengenali suara Sultan yang memimpin penyerangan dan suara para
serdadunya. Sambil meneriakkan Sabil Allah (berjuang demi Allah) pasukan
Sultan maju menyerang pertahanan Belanda. Terjadi pertempuran selama hampir
satu jam. Peperangan berakhir setelah pasukan sultan menarik diri. Pasukan
Belanda tidak mengejar pasukan Sultan karena gelap. Pagi harinya ditemukan
tujuh mayat pasukan sultan termasuk Pangeran Citrawijaya di keraton Kuto
Besak. Akan tetapi, berita yang berkembang pada waktu itu adalah jumlah yang
terbunuh mencapai dua puluh hingga tiga puluhan orang dari pihak sultan.
Sedangkan dari pihak Belanda sebanyak dua puluh tiga orang serdadu yang
terluka, termasuk dua orang yang kemudian meninggal216 (ANRI, Bundel
Palembang No. 4, 1971: 92; Bataviaasche Courant, 18 Desember 1824 No. 51).
Dua jam setelah pertempuran berakhir, para pejabat yang ditahan oleh
Susuhunan diizinkan kembali ke keraton. Sebelum mereka kembali ke keraton, ia
meminta kepada mereka untuk menyampaikan permintaan maaf atas nama diri
dan puteranya kepada Residen Palembang. Mereka berjanji akan menyerahkan
215
Sumber Bataviaasche Courant ( 18 Desember 1824, No.51), menyebutkan
bahwa penangkapan itu terjadi bukan atas perintah Susuhunan, tetapi atas perintah
Sultan Najamuddin III. Hal itu diketahui oleh Residen pada 21.00.
216
Serdadu Belanda yang terluka adalah Letnan-1 artileri Bastiaanze, letnan-2 infanteri
Boelhouwer, penjabat wakil inspektur administrasi militer Schultze, letnan-2 angkatan laut W.
Steffens, letnan-2 angkatan laut kolonial J. Steffens, Letnan Schrijner dan Bosman (Bataviaasche
Courant, 18 Desember 1824, No. 51).
Universitas Indonesia
304
senjata yang dimilikinya kepada residen. (ANRI, Bundel Palembang No. 4, 1971:
92-93; Bataviasche Courant, 18 Desember 1824 No, 51).
Dari berbagai tindakan Sultan Najamuddin III, tampak bahwa Sultan telah
melakukan kecerobohan dan kenekadan dalam serangan itu. Pada umumnya
perlawanan yang dilakukan oleh para penguasa Kesultanan Palembang selalu
dipersiapkan dengan matang. Tindakan yang ditempuh oleh Sultan menunjukkan
bahwa ia melakukannya dengan keragu-raguan. Beberapa hari sebelum
penyerangan itu terjadi, sudah menjadi rahasia umum bahwa Sultan akan
melakukan penyerangan. Otomatis berita itu mendorong pihak Belanda
mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan yang direncanakan tersebut,
sedangkan Sultan hanya memiliki senjata berupa meriam-meriam yang hanya
layak untuk tembakan penghormatan. Padahal jarak keraton dengan rumah Sultan
hanya satu tembakan senapan. Artinya, apa yang terjadi di kedua lokasi tersebut
akan dengan cepat diketahui oleh mereka masing-masing. Hanya dengan
tembakan meriam-meriam dari benteng Residen ke rumah Sultan, kediaman
Sultan dapat dengan mudah dihancurkan (Bataviasche Courant, 18 Desember
1824 nomor 51).
217
Joan Cornelis Reynst sejak 1 Juli 1823 sudah menjabat sebagai ajun komisaris
di Palembang. Selanjutnya ia menjadi residen Palembang sampai dengan 1826
(Encyclopedi Netherlands Indie Jilid IV, 421).
218
The Asiatic Journal (Vol.17, 1824: 361), menyebutkan bahwa Susuhunan
bersama empat belas pengikutnya yang dirantai dibawa ke Batavia dengan kapal The
Dolphin
Universitas Indonesia
305
219
Berdasarkan sumber arsip lain dan koran, disebutkan bahwa Susuhunan wafat 25
Pebruari 1825 (ANRI, Bundel Palembang No. 4, 1971: 93; Bataviasche Courant, 18 Desember
1824 No. 51), sedangkan The Asiatic Journal (vol. 20, 1825) dan Kielstra (1892: 108)
menyebutkan bahwa Susuhunan wafat pada 22 Pebruari 1825. Perbedaan tanggal wafatnya
Susuhunan bisa jadi disebabkan berita yang diterima koran menyebutkan tersebut tanggal tersebut,
begitu pula dengan sumber yang diterima oleh arsip Bundel No. 4 atau The Asiatic Journal. Akan
tetapi peneliti berpatokan pada sumber arsip yang memuat hal tersebut berdasarkan surat sekretaris
umum Bouguez kepada Residen Palembang Nomor: 1, 28 Pebruari 1825 (ANRI, Bundel
Palembang No, 50.2)
Universitas Indonesia
306
Pada saat ekspedisi dimulai, pasukan Sultan telah tiba di Pan Rejang
bersama lima puluh orang pengikutnya. Dari sana Sultan bermaksud menuju
Rawas dan Kikim. Sewaktu berada di Rawas, Sultan mendapat serangan dari
pasukan Belanda di bawah pimpinan Pangeran Suradilaga dan Kranggaunut.
Dalam peperangan itu, Sultan berhasil memukul pasukan Palembang. Walaupun
demikian, dengan adanya ekspedisi itu, kekuatan Sultan di Rawas semakin lemah
(ANRI, Bundel Palembang No. 46.4). Selanjutnya, Sultan bergerak ke Kikim. Di
sana ia mendapat banyak bantuan dari Demang Rema Bonjol (Pangeran Bajau).
Di Kikim Sultan mendirikan kubu pertahanan. Setelah itu, ia bersama dengan
Demang Rema Bonjol menghimpun dukungan dari orang-orang Pasemah dan
penduduk setempat. Akan tetapi, selanjutnya orang-orang Pasemah menarik
dukungan mereka terhadap Sultan dan membunuh Demang Rema Bonjol.
Universitas Indonesia
307
Peristiwa itu terjadi karena dihasut anggota pasukan Belanda (ANRI, Bundel
Palembang No. 46.4; Woelders, 1975: 114-115). Betapa rapuh kekuatan yang
dihimpun Sultan, sehingga Sultan sulit mengembangkan diri dan kondisi itu
diperparah dengan tidak adanya dukungan sarana dan prasarana. Sultan cenderung
hanya mengandalkan kesetiaan segelintir orang.
Ekspedisi lain untuk mengejar Sultan adalah pasukan yang dipimpin oleh
Pangeran Purbayou. Ia mendarat di Pelawe bersama 130 orang serdadu. Dari
Pelawe Pangeran Purbayou mengirimkan utusan Si Blewak untuk menemui
sultan. Sesampainya di sana Si Blewak ditahan oleh sultan selama beberapa
waktu, tetapi kemudian dilepaskan. Berdasarkan informasi Si Blewak kepada
Sturler, mereka dapat mengetahui kekuatan persenjataan, serdadu dan gerak
mundur sultan menuju Bengkulu. Sementara itu, komandan militer Belanda di
Palembang memberi instruksi kepada Sturler bahwa tujuan utama ekspedisi
adalah menangkap Sultan dan memulihkan ketenangan di Rawas. Akan tetapi,
Sturler mempunyai pendapat yang berbeda. Menurutnya, hal pertama yang harus
dilakukan adalah menaklukkan Rawas. Setelah misi itu berhasil, langkah
berikutnya adalah mengejar Sultan. Jika mereka lebih mengutamakan mengejar
Sultan dengan meninggalkan musuh di belakang, bukan mustahil Sultan melalui
pengikutnya memperkuat kedudukan di Rawas. Daerah itu akan tetap berada
dalam kondisi darurat yang akan membahayakan kedudukan Belanda. Akan
tetapi, sampai saat itu usaha mereka untuk menaklukkan Rawas belum juga
berhasil (ANRI, Bundel Palembang No. 46.4).
Pada awal Agustus 1825 Residen Reynst kembali mengirimkan pasukan ke
uluan. Pengiriman pasukan kali itu membuat posisi Sultan makin terdesak. Ia
tidak banyak mendapat dukungan dari penduduk uluan, bahkan sebagian besar
meninggalkannya. Akibatnya, Sultan tidak mampu lagi meneruskan perlawanan
dan menyerah220. Setelah Sultan ditangkap, pemerintah Belanda memutuskan
untuk tidak lagi mengirimkan kesatuan militer ke uluan. Bagi mereka langkah
terbaik adalah mendirikan pos-pos penjagaan yang akan memantau kondisi
220
Berdasarkan surat Asisten Residen Donker (7 Oktober 1825 No. 289) kepada
Residen Bengkulu, diketahui bahwa seluruh Palembang sudah tenang karena Sultan
Najamuddin III telah tertangkap. Ia dan dua puluhan pengikutnya dikirim ke Batavia
(ANRI, Bundel Palembang No. 44.4)
Universitas Indonesia
308
221
Selain itu, sebanyak lima orang dikenakan hukuman mati, 34 orang dihukum
seumur hidup (Woelders, 1975: 26).
Universitas Indonesia
309
dan garap dari nenek moyang mereka. Menurut mereka, semua tanah adalah milik
sultan yang boleh dikelola sebaik-baiknya demi kepentingan mereka sendiri. Jika
mereka harus menyerahkan sesuatu kepada sultan, itu hanya berupa hasil bumi
dan tenaga. Semua kewajiban rakyat kepada sultan dirasakan rakyat tidak
memberatkan dan dikaitkan sebagai bakti terhadap ―junjungan‖ mereka yang
berkedudukan di ibu kota kesultanan. Di kalangan rakyat Palembang berkembang
rasa ―menolak‖ atas kehadiran ―orang-orang kafir” di wilayah mereka. Penolakan
itu berubah menjadi aksi perlawanan di bawah para pemimpin tradisional (depati
dan ulama) setempat terhadap pemerintah Belanda. Di kota Palembang, kelompok
yang ingin kembali kepada kondisi lama jumlahnya cukup besar yang terdiri dari
keturunan bangsawan. Pada mulanya mereka masih menduduki posisi penting
dalam kehidupan sosial di pusat pemerintahah, namun posisi mereka semakin
turun seiring kemiskinan yang melanda. Di bawah pimpinan Pangeran Bupati
Panembahan dan adik Sultan Najamuddin III, bersama-sama dengan keluarga
bangsawan lainnya menggalang kekuatan menolak pemerintahan Belanda.
Mereka bermaksud mengembalikan kekuasaan lama. Akan tetapi, di mata
pemerintah Belanda penolakan itu tidak akan berkembang, karena penduduk
Palembang tidak memiliki dukungan dana atau kemampuan luar biasa untuk
mewujudkannya (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2). Dengan demikian, usaha
pemiskinan terhadap golongan bangsawan merupakan sarana efektif membuat
mereka ―diam‖, sehingga usaha-usaha mereka untuk menggalang kekuatan tidak
akan banyak membantu mereka untuk kembali kepada masa lalu. Kejayaan masa
lalu hanya layak dikenang tanpa ―kemampuan‖ yang memadai untuk kembali ke
masa itu.
Menghadapi situasi yang ada, memaksa golongan itu untuk bertahan.
Salah satunya dengan cara tetap ―memamerkan‖ sedikit kekayaan masa lalu
dengan tetap mempertahankan budak dan anak semang222. Mereka hidup dalam
sisa-sisa kebesaran masa lampau yang telah redup. Hal itu akan memicu
terjadinya ledakan kekecewaan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Bara itu
222
Orang (satu keluarga yang terdiri orang dan anak-anak) yang tidak mampu
membayar hutang. Mereka mengabdi pada orang tempat berhutang sampai lunas.
Apabila ada yang bersedia membayar hutang mereka, berarti mereka berpindah tangan
mengikuti orang yang membayar hutang tersebut (The Asiatic Journal Vol. 17, 1824: 34).
Universitas Indonesia
310
223
Wilayah ibu kota Palembang sebagian besar terdiri dari dataran rendah
(rawa) dan sungai-sungai, sehingga tidak cocok untuk pertanian. Apalagi sebagai
keturunan bangsawan mereka tidak mampu bertani.
Universitas Indonesia
311
BAB 7
KESIMPULAN
Universitas Indonesia
312
telah lama terpendam, karena pihak Belanda sejak awal pemerintahan Sultan
Badaruddin II telah mencurigai Pangeran Adipati sebagai orang yang
―membahayakan‖ karena gerak-geriknya pada waktu itu. Meskipun demikian, hal
itu tidak muncul ke permukaan. Jadi, berdasarkan fakta yang ada dapat
disimpulkan bahwa keinginan untuk menduduki tampuk pemerintahan di
Kesultanan Palembang, sudah ada sejak Sultan Badaruddin II naik tahta. Silih
gantinya kepemimpinan di suatu kerajaan, merupakan gambaran umum yang
terjadi pada kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara. Hal itu dapat dirujuk pada
pendapat Tarling (1994), bahwa kelembagaan pemerintahan di kerajaan-kerajaan
Asia Tenggara awal abad XIX umumnya bersifat informal, tidak permanen, dan
bersifat pribadi. Kondisi itu memberi peluang kepada golongan bangsawan atau
elite lokal untuk senantiasa menggoyang dan menghancurkannya, baik dengan
kekuatan sendiri atau menggunakan kekuatan pihak lain. Bentuk seperti inilah
yang terjadi di Kesultanan Palembang, dengan menggunakan kekuatan militer
Inggris, Pangeran Adipati menggapai impiannya berada ditampuk pemerintahan
Kesultanan Palembang.
Perubahan pemegang kekuasaan di Palembang, dikaitkan pula dengan
mitos yang berkembang di masyarakat pada waktu itu. Mitos akan munculnya
penguasa, yang bukan putera mahkota dan bukan pula putera bungsu. Pangeran
Adipati memaknai mitos itu dengan adanya ―peluang‖ untuk mewujudkan
impiannya. Sebagai orang kedua, ia merasa berhak menurunkan kakaknya dari
singgasana kerajaan. Padahal, kalau diruntut maka Pangeran Aryo Kesumo juga
mempunyai peluang. Sebab ia bukan anak tertua, dan bukan pula anak bungsu.
Akan tetapi, Pangeran Aryo Kesumo tidak memaknai mitos itu sebagaimana
Pangeran Adipati memaknainya. Dari segi kemampuan kepemimpinan, Pangeran
Aryo Kesumo juga mempunyai kemampuan yang besar, terbukti sepanjang masa
pemerintahan Sultan Najamuddin II, Sultan itu senantiasa ―bergantung‖ pada
kebijakan-kebijakan Pangeran Aryo Kesumo. Dengan demikian, Pangeran Adipati
sejak awal pemerintahan Sultan Badaruddin II atau malah jauh sebelumnya telah
menginginkan jabatan tersebut. Mitos yang tidak jelas asal muasalnya tersebut,
merupakan memori kolektif rakyat Palembang pada waktu itu, yang dapat dipakai
Universitas Indonesia
313
Universitas Indonesia
314
Lebih dari sekadar dokumen.
Temukan segala yang ditawarkan Scribd, termasuk buku dan buku audio dari penerbit-penerbit terkemuka.
Batalkan kapan saja.