PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling sempurna. Di antara
makhluk lainnya manusialah yang memiliki bentuk dan struktur yang paling sempurna. Maka
dari itu sebagai manusia yang bersyukur kita wajib menggunakan pemberian itu dengan
sebaik-baiknya dengan cara merawat serta mengembangkan potensinya semaksimal mungkin
pada kenyataannya masih banyak manusia yang memiliki keterbatasan dalam hal fisik
maupun mental, salah satunya penyandang tunadaksa disekitar kita. Tunadaksa (cacat tubuh)
adalah salah satu bentuk keterbatasan manusia yang terjadi pada fisiknya, seperti pada sistem
otot, tulang dan persendian akibat dari adanya penyakit dari kecelakaan, bawaan sejak lahir
atau kerusakan di otak. Kelainan atau kecacatan yang disandang oleh seseorang memiliki
dampak langsung (primer) dan tidak langsung (sekunder) baik terhadap diri anak yang
memiliki kecacatan itu sendiri maupun terhadap keluarga dan masyarakat. Karena itu
masalah tersebut perlu memperoleh penanganan sesuai dengan kebutuhan. Pada dasarnya
penyandang tunadaksa dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu, kebutuhan untuk memperoleh
pelayanan medis guna mengurangi permasalahan yang dialami anak di bidang medis.
Kebutuhan untuk memperoleh pelayanan rehabilitasi dan habilitasi guna mengurangi
gangguan fungsi sebagai dampak dari adanya kecacatan tunadaksa dan kebutuhan untuk
memperoleh pendidikan khusus.
B. Rumusan Masalah
Dari beberapa penjelasan di atas, maka dalam makalah ini penulis akan merumuskan
beberapa masalah, sebagai berikut :
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah PAI bagi Anak Berkebutuhan Khusus.
2. Untuk mengetahui arti dari anak tunadaksa.
3. Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi anak tunadaksa.
4. Untuk mengetahui karakteristik yang dimiliki dari anak tunadaksa.
5. Untuk mengetahui cara yang tepat dalam merehabilitasi anak tunadaksa.
BAB II
PEMBAHASAN
Tunadaksa merupakan suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan
bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini
dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan
sejak lahir (White House Conference, 1931). Tunadaksa sering juga diartikan sebagai suatu
kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada
tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan
dan untuk berdiri sendiri.
Dari berbagai pengertian di atas dapatkami simpulkan bahwa anak tunadaksa adalah
seseorang yang mengalami kerusakan atau kelainan pada tulang, otot, dan sendi dalam
fungsinya secara normal sehingga mengakibatkan gangguan pada komunikasi, bersosialisasi,
dan berkembang bagi dirinya.
B. Klasifikasi Tunadaksa
a. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan, meliputi:
Erb’s palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik waktu
kelahiran).
Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah).
c. Infeksi:
e. Tumor:
1) Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran, yaitu faktor keturunan, trauma dan
infeksi pada waktu kehamilan, usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan
anak, pendarahan pada waktu kehamilan, dan keguguran yang dialami ibu.
2) Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran, yaitu penggunaan alat-alat pembantu
kelahiran (seperti tang, tabung, vacum, dll.) yang tidak lancar, serta penggunaan obat
bius pada waktu kelahiran..
3) Sebab-sebab sesudah kelahiran, yaitu infeksi, trauma, tumor.
Aspek fisik merupakan potensi yang berkembang dan harus dikembangkan oleh
individu. Pada anak tunadaksa, potensi itu tidak utuh karena ada bagian tubuh yang tidak
sempurna. Potensi itu tidak utuh karena ada bagian Secara umum perkembangan fisik anak
tunadaksa dapat dikatakan hampir sama dengan anak normal kecuali bagian-bagian tubuh
yang mengalami kerusakan atau bagian-bagian tubuh lain yang terpengaruh oleh kerusakan
tersebut.
Tunadaksa di bagi menjadi dua yaitu tunadaksa ortopedi dan tunadaksa saraf, meski
keduanya termasuk dalam tunadaksa yang memiliki gejala kesulitan yang sama, namun jika
ditelaah lebih lanjut terdapat perbedaan yang mendasar. Dari segi kognitif misalnya, wujud
konkretnya dapat dilihat dari angka indeks kecerdasan (IQ). Kondisi ketunadaksaan pada
anak sebagian besar menimbulkan kesulitan belajar dan perkembangan kognitif. Khususnya
anak cerebral palsy, selain mengalami kesulitan dalam belajar dan perkembangan fungsi
kognitifnya, mereka pun seringkali mengalami kesulitan dalam komunikasi, presepsi,
maupun control geraknya, bahkan beberapa penelitian sebagian besar diketahui terbelakang
mental (tunagrahita).
Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan kerusakan di dalam otak pada anak-
anak yang kemudian mengakibatkan cacat cerebral palsy. Hal itu bisa terjadi sebelum anak
dilahirkan, pada saat dilahirkan, maupun setelah dilahirkan.
Penggunaan alat-alat pada waktu proses kelahiran yang sulit, misalnya: tang, tabung,
vacum, dll.
Penggunaan obat bius pada waktu proses kelahiran.
Penyakit tuberculosis.
Radang selaput otak.
Radang otak.
Keracunan arsen atau karbon monoksida.
Untuk mengetahui tingkat intelegensi anak tunadaksa dapat digunakan tes yang telah
dimodifikasi agar sesuai dengan anak tunadaksa. Tes tersebut antara lain Hausserman
Test (untuk anak tunadaksa ringan), Illinois Test (The Psycholinguistis Ability), dan Peabody
Picture Vocabulary Test. Lee dalam Soemantri (2007:129) mengungkapkan hasil penelitian
yang menggunakan tes Binet untuk mengukur tingkat intelegensi anak tunadaksa yang
berumur antara 3 sampai 16 tahun sebagai berikut:
Setiap manusia memilki potensi untuk berbahasa, potensi tersebut akan berkembang
menjadi kecakapan berbahasa melalui proses yang berlangsung sejalan dengan kesiapan dan
kematangan sensori motoriknya. Pada anak tunadaksa jenis polio, perkembangan
bahasa/bicaranya tidak begitu anak normal, lain halnya dengan anak cerebral palsy.
Terjadinya kelainan bicara pada anak cerbral palsy disebabkan oleh ketidakmampuan dalam
kondisi motorik organ bicaranya akibat kerusakan atau kelainan sistem neumotor. Gangguan
bicara pada anak cerebral palsy biasanya berupa kesulitan artikulasi, phonasi, dan sistem
respirasi.
Adanya gangguan bicara pada anak cerebral palsy mengakibatkan mereka mengalami
problem psikologis yang disebabkan kesulitan dalam mengungkapkan pikiran, keinginan,
atau kehendaknya. Mereka biasanya menjadi mudah tersinggung, tidak memberikan
perhatian yang lama terhadap sesuatu, merasa terasing dari keluarga dan temannya.
Banyak masalah yang muncul sehubungan dengan sikap dan perlakuan anak-anak
normal yang berinteraksi dengan anak-anak tunadaksa. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa usia ketika ketunadaksaan mulai terjadi turut mempengaruhi perkembangan emosi
anak tersebut. Anak tunadaksa sejak kecil mengalami perkembangan emosi sebagai
tunadaksa secara bertahap. Sedangkan anak yang mengalami ketunadaksaan setelah besar
mengalaminya sebagai suatu hal yang mendadak, disamping anak yang bersangkutan pernah
menjalani kehidupan sebagai orang yang normal sehingga keadaan tunadaksa dianggap
sebagai suatu kemunduran dan sulit untuk diterima oleh anak yang bersangkutan. Dukungan
orang tua dan orang-orang di sekelilingnya merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap
perkembangan kehidupan emosi anak tunadaksa. Orang tua anak tunadaksa sering
memperlakukan anak-anak mereka dengan sikap terlalu melindungi, misalnya dengan
memenuhi segala keinginannya dan memenuhi secara berlebihan. Di samping itu ada juga
orang tua yang menyebabkan anak-anak tunadaksa merasakan ketergantungan sehingga
merasa takut serta cemas dalam menghadapi lingkungan yang tidak dikenalnya.
Sikap orang tua, keluarga, teman sebaya, teman sekolah, dan masyarakat pada
umumnya sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak tunadaksa. Dengan
demikian akan mempengaruhi respon sebagian terhadap lingkungannya. Ejekan dan
gangguan anak-anak normal terhadap anak tunadaksa akan menimbulkan kepekaan efektif
pada anak tunadaksa yang tidak jarang mengakibatkan timbulnya perasaan negatif pada diri
mereka terhadap lingkungan sosialnya. Keadaan ini menyebabkan hambatan pergaulan sosial
anak tunadaksa. Keterbatasan kemampuan anak tunadaksa seringkali menyebabkan mereka
menarik diri dari pergaulan masyarakat yang mempunyai prestasi yang jauh di luar
jangkauannya.
Secara umum anak-anak normal menunjukkan sikap yang berbeda terhadap anak-
anak tunadaksa bila dibadingkan dengan sikap mereka terhadap anak-anak normal. Demikian
pula hanya sikap guru. Perbedaan perlakuan ini nampaknya berkaitan dengan refrence group
yang berbeda antara anak normal dan anak tunadaksa.
Hal lain yang menjadi problem penyesuaian anak tunadaksa adalah perasaan bahwa
orang lain terlalu membesar-besarkan ketidakmampuannya. Ketiadaan kesempatan untuk
berpartisipasi praktis menyebabkan anak tunadaksa sukar untuk mengadakan penyesuaian
sosial yang baik. Demikian juga sikap masyarakat, secara langsung atau tidak langsung
memiliki pengaruh yang besar terhadap penyesuaian anak tunadaksa. Sikap masyarakat
terhadap anak kondisi ketunaan yang dialami anak tunadaksa seringkali bertentangan dengan
penilaian penderita sendiri. Konfrontasi antara sikap masyarakat dengan penilaian anak
sendiri terhadap ketunaan, dalam mencari penyelesaiannya terdapat kemungkinan-
kemungkinan sebagai berikut:
Berdasarkan latar belakang anak tunadaksa yang mengalami kesulitan dalm proses
penyesuaian sosialnya, berikut ini beberapa petunjuk yang dapat digunakan anak tunadaksa
dalam mencapai proses penyesuaian sosial yang sehat antara lain:
Maksud rehabilitasi disini adalah suatu upaya yang dilakuakan pada penyandang
kelainan fungsi tubuh atau tunadaksa, agar memiliki kesanggupan untuk berbuat sesuatu yang
berguna baik bagi dirinya maupun orang lain. Sebagaimana telah di singgung pada bagian
sebelumnya bahwa kelainan pada fungsi anggota tubuh, baik yang tergolong pada tunadaksa
ortopedi maupun neurologis akan berpengaruh terhadap kemampuan fisik, mental, dan sosial
dalam meniti tugas perkembangannya. Oleh karena itu, tekanan rehabilitasi penderita
tunadaksa hendaknya menitikberatkan kepada aspek-aspek tersebut. Jenis rehabilitasi bagi
penyandang tunadaksa menurut kebutuhannya antara lain:
a. Rehabilitasi Medis
Dalam rehabilitasi medis ada beberapa teknik yang dapat digunakan, antara lain
operasi ortopedi, fisioterapi, actives in daily living (ADL), occupational therapy atau terapi
tugas, pemberian pemberian protease, pemberian alat-alat ortopedi, dan bantuan teknis
lainnya.
Operasi ortopedi dilakukan sebagai usaha untuk memperbaiki salah bentukdan salah
gerak dengan mengurangi atau menghilangkan bagian yang menyebabkan terjadinya
kesalahan bentuk atau gerak.
Fisioterapi adalah melatih otot-otot bagian badan yang mengalami kelainan, yang
dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan medis. Dalam latihan ini
melibatkan otot atau gerak secara aktif melalui berbagai kegiatan fisik, latihan
berjalan, latihan keseimbangan, dan lain-lain. Untuk latihan fisioterapi ini sarana dan
metode yang digunakan sangat bervariasi, meliputi pengunaan air (bydrotherapy),
penggunaan panas sinar (thermotherapy), penggunaan listrik (electric therapy),
penggunaan gerak-gerak (kinesiotherapy), atau melalui pemijatan (massage).
Activities daily living adalah latihan berbagai kegiatan sehari-hari, dengan maksud
untuk melatih penderita agar mampu melakukan gerakan atau perbuatan menurut
keterbatasan kemampuan fisiknya. Latihan kegiatan sehari-hari dapat dikaitkan
dengan aktivitas di lingkunganrumah maupun dalam hubungannya dengan pekerjaan
dan kehidupan sosialnya.
Occupational therapy adalah bentuk usaha atau aktifitas bersifat fisik dan psikis
dengan tujuan membantu penderita tunadaksa agar menjadi lebih baik dan kuat dari
kondisi sebelumnya melalui sejumlah tugas atau pekerjaan tertentu. Sarana yang
dapat digunakan dalam kegiatan terapi tugas ini antara lain melukis, memahat,
membuat kerajinan tangan, menyulam, merajut, untuk melatih kemampuan tangan.
Pemberian protease adalah pemberian perangkat tiruan untuk mengganti bagian-
bagian dari tubuh yang hilang atau cacat, misalnya kaki tiruan, tangan tiruan, mata
tiruan, gigi tiruan, dan sebagainya. Dilihat dari kegunaannya protease bagi
penyandang tunadaksa dapat bersifat fungsional (mampu menggantikan funfsi tubuh
lain) dan bersifat kosmetik (sebagai pelengkap untuk menambah kepantasan atau
keindahan).
Perangkat ortopedi adalah perangkat yang berfungsi untuk menguatkan bagian-bagian
tubuh yang lemah atau layu. Perangkat tersebut dapat berupa brance dan spint. Dilihat
dari fungsinya perangkat ortopedi dapat dibagi menjadi:
1) Perangkat yang berfungsi sebagai penguat bagian tulang punggung dan badan.
2) Perangkat yang berfungsi sebagai penguat bagian-bagian anggota gerak atas.
3) Perangkat yang berfungsi sebagai penguat anggota gerak bawah.
b. Rehabilitasi Vokasional
Rehabilitasi vokasional atau karya adalah rehabilitasi penderita kelainan fungsi tubuh
bertujuan member kesempatan anak tunadaksa untuk bekerja. Metode atau pendekatan yang
lazim digunakan dalam rehabilitasi vokasi ini antara lain:
c. Rehabilitasi Psikososial
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan
oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal
akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna sehingga untuk kepentingan
pembelajarannya perlu layanan secara khusus. Seperti juga kondisi ketuntasan yang lain,
kondisi kelainan pada fungsi anggota tubuh atau tunadaksa dapat terjadi pada saat sebelum
anak lahir (prenatal), saat lahir (neonatal), dan setelah anak lahir (postnatal). Insiden kelainan
fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi sebelum bayi lahir atua ketika dalam
kandungan, diantaranya dikarenakan faktor genetik dan kerusakan pada system saraf pusat.
Sama seperti bentuk kelainan atau ketuntasan yang lain, kelainan fungsi anggota tubuh atau
tunadaksa yang dialami seseorang memiliki konsekuensi atau akibat yang hampir serupa,
terutama pada aspek kejiwaan penderita, baik berefek langsung maupun tidak langsung.
1. rehabilitasi medis
2. rehabilitasi vokasional
3. rehabilitasi psikososial.
DAFTAR PUSTAKA
Dra. Hj. T. Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: PT. Refika Aditama,
2005), hlm. 121.
http://maimunhazmi.blogspot.co.id/2015/06/makalah-anak-berkebutuhan-khusus_2.html
(Diakses pada tanggal 20 Maret 2018 pada pukul 15:00 Wib)