Kriminalisasi Dokter Pada Kelalaian Medis Berdasarkan Uupk
Kriminalisasi Dokter Pada Kelalaian Medis Berdasarkan Uupk
PENDAHULUAN
I.3 Tujuan
Adapun tujuan dalam karya tulis ini untuk memberikan gambaran
mengenai kriminalisasi dokter pada kelalaian medis berdasarkan UU praktik
kedokteran.
I.4 Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari penulisan referat ini adalah :
1. Menambah wawasan penulis dan sejawat profesi dokter mengenai
kriminalisasi dokter pada kelalaian medis berdasarkan UU praktik
kedokteran.
2. Sebagai sumber informasi kepada masyarakat mengenai hak dan
kewajiban pasien maupun dokter.
3. Sebagai bahan masukan kepada pemerintah mengenai konsep kebijakan
praktik kedokteran khususnya terkait kriminalisasi dokter
BAB II
PEMBAHASAN
1) Adanya kegagalan tenaga medis untuk melakukan tata laksana sesuai standar
terhadap pasien. Standar yang dimaksud mengacu pada standar prosedur
operasional yang ditetapkan sesuai disiplin ilmu kedokteran. Yang dimaksud
dengan disiplin kedokteran adalah kepatuhan menerapkan aturan0aturan/
ketentuan penerapan ilmu kedokteran. Lebih khusu, kepatuhan menerapkan
kaidah-kaidah penatalaksanaan medis (asuhan medis) mencakup antara lain,
menegakan diagnosis, melakukan tindakan pengobatan, dan menetapkan
prognosis. Hal tersebut dilakuakan dengan menggunakan indicator yang
memebuhi standar. Indikator-indiktor tersebut meliputi, standar kompetensi,
standar pelayanan, standar perilaku etis, standar asuhan medis, dan standar
klinis. Kongkritnya dokter melaksanakan praktik kedokteran, harus dilakukan
sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi dan standar prosedur
operasional. Hal tersebut dilakukan agar dalam melaksanakan profesinyanya
menerapkan standar-standar yang sudah duatur dalam norma disiplin,
sebaliknya apabila dokter tidak melaksanakan standar-standar dalam norma
disiplin saat melakukan praktik kedokteran dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran norma disiplin sebagaimana yang tertuang dalam pasal 55
UPK.3,12
2) Minimnya ketrampilan dokter
Kurangnya ketrampilan dokter dapat disebabkan karena minimnya
pengalaman tenaga medis yang menyebabkan peluang terjadinya kesalahan
tindakan medis (malpraktek) saat memberikan tindakan kepada pasien seperti
contohnya, kesalahan pmberian obat, kesalahan prosedur/tindakan yang
semestinya harus dilakukan. Hal lain yang juga merupakan bentuk kurangnya
ketrampilan dokter adalah kesalahan dalam mendiagnosis. Kesalahan
diagnosis dapat berakibat fatal bagi pasien, akibatnya bisa bermacam-macam,
sperti kelumpuhan, keruskaan organ dalam, dan juga dapat berakibat fatal
yang berujung kematian.3,12
3) Faktor ketidaksengajaan, terjadi karena kelalaian dari para medis atau
ketidaktelitian petugas medis dalam menangani pasien.
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur professional;
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
professional;
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya;
dan
d. Menerima imbalan jasa.
2. Kewajiban Dokter
Kewajiban dokter terdapat dalam Pasal 51 UU No.29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran yaitu kewajiban untuk memberikan pelayanan medis sesuai
standar profesi dan standar prosedur operasional, kewajiban untuk merujuk pasien
ke dokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik apabila
tidak mampu melakukan pemeriksaan atau pengobatan. Kewajiban merahasiakan
segala sesuatu yang diketahuinya mengenai pasien bahkan setelah pasien
meninggal dunia. Kewajiban memberikan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya. Kewajiban untuk menambah dan mengembangkan ilmu
pengetahuan di bidang kedokteran.1,3,8
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban :
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur professional serta kebutuhan medis pasien;
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan;
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia;
d. Melakukan pertolongan darurat atau dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
atau kedokteran gigi.
3. Hak pasien
Menurut berbagai doktrin yang dikemukakan beberapa ahli, hak pasien
meliputi: Hak atas informasi yang jelas perihal penyakitnya, hak untuk menyetujui
tindakan medis yang akan dilakukan, hak untuk memberikan persetujuan dalam
bentuk informed consent. Informed consent adalah suatu kesepakatan/persetujuan
pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya setelah
pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat
dilakukan untuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala resiko
yang mungkin terjadi. Pasien juga memiliki hak atas rahasia kedokteran, hak
untuk mendapatkan pelayanan medis sebaik-baiknya, hak untuk menolak tindakan
medis yang akan dilakukan terhadap dirinya, hak atas rekam medis yaitu hak atas
berkas yang berisi catatan dan dokumen mengenai identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan, dan pelayanan yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan
terhadap pasien.1,3,8
Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak :
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapatkan isi rekam medis.
4. Kewajiban pasien
Kewajiban yang harus dipenuhi pasien adalah memberikan informasi yang
lengkap dan jujur mengenai penyakitnya kepada dokter, mematuhi nasehat dan
instruksi yang diberikan oleh dokter, memberikan imbalan jasa atas pelayanan
kesehatan yang telah diterima, dan mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana
pelayanan kesehatan. Kewajiban pasien ini tercantum dalam Pasal 53 UU No. 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.1,3,8
Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
kewajiban :
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Dokter dapat dikenakan suatu sanksi pidana jika memenuhi beberapa syarat2
yaitu:
1) Perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum yaitu perbuatan yang
dilakukan telah memenuhi unsur yang ada dalam perundang-undangan dan
diancam dengan sanksi pidana ataupun perbuatan yang dilakukan tersebut
dirasa tidak patut atau tercela oleh masyarakat (dalam hal peraturan tidak
tertulis).
2) Ada kesalahan.
Bentuk kesalahan yang dilakukan oleh dokter, menurut C. Berkhouwer & L.D.
Vorstman yang sering terjadi disebabkan 3 faktor, yaitu:
a. kurang pengetahuan
b. kurangnya pengalaman, dan
c. kurangnya pengertian.
Ukuran kesalahan dalam pelaksanaan tugas profesi dokter berupa kelalaian
besar (culpa lata), bukan kelalaian kecil (culpa levis). Penentuan adanya
kelalaian tersebut harus ada secara normative dan tidak secara fisik atau
psikis karena sulit untuk mengetahui keadaan batin seseorang yang
sesungguhnya.
3) Kemampuan bertanggungjawab
Seperti yang berbunyi dalam Pasal 44 KUHP, bahwa “barangsiapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena
jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa terganggu karena penyakit”.
Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur subjektif sebab melekat
pada diri seseorang. Begitu pula dalam kualitas diri seorang dokter.
4) Tidak ada alasan penghapus pidana.
Unsur terakhir yang harus ada agar seorang dokter dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya adalah tidak ada alasan yang dapat
menghapuskan pidana. Dasar penghapusan pidana yang dapat dipergunakan
dalam tindak medis menurut KUHP adalah sebagai berikut:
a. Jiwanya dalam keadaan sakit (Pasal 44 KUHP);
b. Overmacht (Pasal 48 KUHP);
c. Pembelaan diri karena terpaksa (Pasal 49 KUHP);
d. Melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50) KUHP; dan
e. Melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 KUHP).
Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan Pratik kedokteran
tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi
yang :
a. Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (1);
b. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam
pasal 46 ayat (1); atau
c. Dengan sengaja tidak memnuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Profesi dokter adalah suatu profesi yang krusial karena berhubungan
dengan tubuh pasien, hidup dan matinya. Dokter dituntut kehati-hatian, ketelitian,
kecermatan, dan kemampuan komunikasi yang baik. Hal ini menjadikan profesi
kedokteran penuh dengan resiko. Dalam praktik kedokteran sehari-hari, dokter
harus selalu mengantisipasi kemungkinan terjadinya resiko sebagai akibat
tindakan yang dilakukannya, dan sekaligus melakukan upaya pencegahan bila
mungkin dan menyiapkan upaya penanggulangannya apabila resiko tersebut tidak
dapat dihindarinya. Tidak jarang seorang dokter sering dianggap melakukan
kejahatan atau kelalaian dalam tindakannya yang sering disebut malpraktik medis.
Secara umum UU Praktik Kedokteran belum memberikan definisi mengenai
kesalahan medis dokter atau kelalaian medis. Namun demikian, MKDKI yang
merupakan amanah dari UU Praktik Kedokteran adalah satu majelis khusus yang
diberi tugas untuk melakukan penilaian terhadap ada tidaknya kesalahan tindakan
medis dokter, sekaligus melakukan pemeriksaan, dan memutuskan terkait dengan
tindakan dokter yang diduga melakukan satu kesalahan tindakan medis. Akan
tetapi, pengaduan pasien atau masyarakat kepada MKDKI tidak menghilangkan
haknya untuk melaporkan dugaan kesalahan tindakan medis ini kepada pihak
berwenang untuk diproses pidana maupun digugat secara perdata. Karena itu,
seorang dokter dapat dikenai sanksi pidana, tidak hanya sanksi perdata ataupun
administratif, apalagi jika unsur-unsur pidana itu terpenuhi. Hal ini seolah-olah
membuat kesalahan dokter menjadi suatu tindak kriminalis atau kejahatan dan
harus dipidana, padahal profesi kedokteran merupakan profesi yang mulia di mata
masyarakat.
III.2 Saran
1. Sebagaimana hak dan kewajiban dokter maupun pasien yang tercantum dalam
Pasal 50 sampai dengan Pasal 53 UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, disarankan agar dokter dapat memberikan pelayanan kesehatan
kepada pasien sesuai dengan hak pasien tanpa adanya diskriminatif. Begitu
juga dengan pasien agar dapat memahami apa yang menjadi hak dan
kewajibannya dan tidak selalu mengkriminalisasikan dokter.
2. Memperkuat kedudukan MKDKI dan menjadikannya sebagai lembaga yang
berwenang memutuskan untuk menentukan apakah dokter atau dokter gigi
dalam menjalankan praktik profesi medisnya telah sesuai dengan disiplin ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi, apakah dokter atau dokter gigi telah
menjalankan praktik profesinya sesuai dengan standar prosedur operasional,
dan memastikan apakah pasien telah mendapatkan pelayanan sesuai dengan
haknya.
DAFTAR PUSTAKA