Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Dokter atau tenaga kesehatan lainnya biasa berhubungan dengan
masyarakat terkait dengan pelaksanaan praktek pelayanan profesi medis maupun
dalam ikatan sosial tertentu. Kegiatan pelaksanaan upaya kesehatan yang
dilakukan oleh dokter terhadap pasien disebut sebagai praktik kedokteran. Dokter
yang menyelenggarakan praktik kedokteran harus memenuhi persyaratan yang
ditetapkan pemerintah seperti Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktik
(SIP).
Profesi sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan untuk
mengupayakan penyembuhan terhadap pasiennya kadangkala tidak lepas dari
risiko. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya risiko
medis yaitu kelalaian pada sebagian dokter, kondisi penyakit pasien yang cukup
berat, dan pasien yang tidak mengikuti anjuran dokter. Banyaknya risiko tersebut
dapat menyebabkan dokter berada dalam ancaman kriminalisasi.
Sengketa medis dapat terjadi pada masalah yang melibatkan hubungan
dokter pasien dimana terdapat ketidakpuasan dari salah satu pihak yang dianggap
merugikan pihak lainnya. Masyarakat awam dengan persepsi medis yang terbatas
akan melakukan kesalahan dalam menilai tindakan medis yang dilakukan dokter,
sehingga dapat berlebihan memvonis malpraktik bagi dokter tanpa disadari bahwa
perilaku tersebut berdampak pada praktik kedokteran.
Undang-undang yang berlaku di Indonesia tentang Kesehatan, Praktik
Kedokteran, dan tentang Rumah Sakit, tidak secara jelas menyebutkan bahwa
tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian dapat dipidana, tenaga kesehatan
yang dimaksud juga termasuk dokter. MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin
Kedoktern Indonesia) yang bertugas dalam melakukan penilaian tentang ada
tidaknya kesalahan dalam tindakan medis dokter, tetapi tidak menghilangkan hak
pasien atau masyarakat untuk melakukan pengaduan terhadap dugaan kesalahan
tindakan medis.
Dalam Undang-Undang Kesehatan pasal 58 ayat 1 menjelaskan tentang
hak setiap orang untuk menuntut ganti rugi terhadap tenaga kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan
kesehatan. Sedangkan pada UU Praktik Kedokteran tidak disebutkan kelalaian
tetapi menggunakan istilah pelanggaran disiplin. Undang-Undang Praktik
Kedokteran yang lebih dikhususkan untuk profesi dokter sendiri. Pelanggaran
disiplin yang dilakukan oleh seorang dokter akan langsung ditangani oleh
MKDKI yang mempunyai wewenang untuk melakukan penilaian pelanggaran,
melakukan tindakan dan memberikan sanksi terhadap pihak terkait.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
kriminalisasi dokter terkait tindakan medis yang dinilai sebagai kelalaian medis
dapat dilihat dari berbagai aspek yakni aspek Undang-Undang Kesehatan dan
Praktik kedokteran maupun dari segi hukum. Berdasarkan latar belakang tersebut
maka kami akan membahas tentang kriminalisasi dokter pada kelalaian medis
berdasarkan Undang Undang Praktik Kedokteran.

I.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Undang-Undang Praktik Kedokteran?
2. Apa itu kelalaian medis dan bagaimana pandangan Undang-undang
Praktik Kedokteran dan Undang-undang Kesehatan tentang kelalaian
medis?
3. Apa yang dimaksud dengan kriminalisasi dokter, hak dan kewajiaban
pasien serta hak dan kewajiban dokter?
4. Bagaimana kriminalisasi dokter di Indonesia?
5. Apa yang menyebabkan terjadinya kriminalisasi dokter?
6. Bagaimana pertanggungjawaban pidana profesi dokter?

I.3 Tujuan
Adapun tujuan dalam karya tulis ini untuk memberikan gambaran
mengenai kriminalisasi dokter pada kelalaian medis berdasarkan UU praktik
kedokteran.
I.4 Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari penulisan referat ini adalah :
1. Menambah wawasan penulis dan sejawat profesi dokter mengenai
kriminalisasi dokter pada kelalaian medis berdasarkan UU praktik
kedokteran.
2. Sebagai sumber informasi kepada masyarakat mengenai hak dan
kewajiban pasien maupun dokter.
3. Sebagai bahan masukan kepada pemerintah mengenai konsep kebijakan
praktik kedokteran khususnya terkait kriminalisasi dokter
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Undang-Undang Praktik Kedokteran


Menurut Pasal 1 ayat (1) UUPK, “Praktik kedokteran adalah rangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien dalam melaksanakan upaya
kesehatan”.1 Pada penyelengaraan praktik kedokteran, dokter yang membuka
praktik kedokteran atau layanan kesehatan harus memenuhi persyaratan yang
ditetapkan pemerintah. Seorang dokter mempunyai Surat Tanda Registrasi (STR)
saat telah resmi menyandang profesi dokter, dokter gigi, dokter spesialis, maupun
dokter gigi spesialis. Setelah mempunyai STR, seorang dokter yang hendak
menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mempunyai Surat Izin Praktik (SIP).
Kewajiban mempunyai SIP tertuang pada Permenkes No.
2052/MenKes/Per/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran.2

II.2 Kelalaian Medis


Kelalaian medis adalah bagian dari malpraktek dokter. Kelalaian dokter
terjadi karena tidak adanya unsur hati-hati dan berjaga-jaga dari dokter ketika
memberi suatu pelayanan kepada pasien. Kelalaian medis dapat menimbulkan
kerugian atau hilangnya nyawa dari pasien sehingga tergolongan sebagai kriminal
malpraktik. Tindakan ini terjadi apabila seorang dokter dalam menangani suatu
kasus bertindak kurang hati-hati menurut ukuran wajar sehingga melanggar
hukum pidana dan menempatkan dirinya sebagai seorang tertuduh. Kelalaian
mencakup 2 hal, yaitu : pertama, karena melakukan sesuatu yang
seharusnya tidak dilakukan; atau kedua, karena tidak melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukannya.13

Jenis kelalaian medis (medical malprakek):


Medical malpractice ada 2 macam yaitu ethical malpractice dan yuridical
malpractice. Setipa yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice,
tetapi tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice. Yuridival
malpractice dibagi menjadi 3 yaitu:14
1) Criminal malpractice
Terjadi bila seorang dokter menangani suatu kasus telah melanggar hukum
dan menyebabkan dia dituntut oleh Negara. Misalnya:14
a. Seorang dokter diminta untuk mengobati pasien dan dia melakukan
kesalahan terhadap pasien tersebut.
b. Seorang dokter spesialis bedah plastik yang mengubah wajah seorang
atau merusak sidik jari seseorang dengan tujuan mempersulit
identifikasi.
c. Seorang dokter dapat dituntu jika dengan sengaja memalsukan surat
kematian, atau surat kelahiran, atau memberi sumpah palsu untuk
mkasud tertentu, atau berusaha menyembunyikan kasus criminal.
d. Seorang dokter dapat dituduh melakukan criminal malpractice bila
dokter tersebut mengakibatkan luka atau kematian terhadap pasien
dengan pengobatan yang sama sekali tidak benar dan berbahaya.
e. Seorang dokter juga dapat dituntut melakukan criminal malpractice
bila:
- Melakukan abortus tanpa indikasi medis.
- Melakukan euthanasia.
- Membocorkan rahasia kedokteran.
- Tidak melakukan pertolongan darurat terhadap seseorang atas
dasar perikemanusian.
- Melakukan tindakan medis tanpa informed consent.
- Alpa atau kurang hati-hati sehingga pasien menderita luka atau
meninggal dunia.
- Alpa atau kurang hati-hati sehungga menimbulkan gunting
dalam perut pasien.
Pada criminal malpractice, tanggung jawabnya selalu bersifat individual
dan personal. Oleh sebab itu tidak dapat diahlikan kepada orang lain atau
kepada korporasi (misalnya perusahan atau badan hukum).
1. Civil malpractice
Civil malpractice adalah tipe malpractice dimana dokter karena
pengobatannya dapat mengakibatkan pasien meninggal atau luka tetapi
dalam waktu yang sama tidak melanggar hukum pidana. Sementara
Negara tidak dapat menuntut secara pidna, tetapi pasien atau
keluarganya dapat menggugat dokter secara perdata untuk medapatkan
uang sebagai ganti rugi.14
Tanggung jawab dokter tersebut tidak berkurang meskipun pasien
tersebut kaya atau tidak mampu membayar. Misalnya seorang dokter
yang menyebabkan pasien luka atau meninggal akibat pemakaian
metode pengobatan yang sama sekali tidak benar dan berbahaya tetapi
sulit dibuktikan pelanggaran pidananya, maka pasien atau
keluargannya dapat menggugat perdata.14
Pada civil malpractice, tanggung gugat dapat versifat individual
atau korporasi. Dengan prinsip ini maka rumah sakit dapat
bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan oleh dokter-
dokternya asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter itu dalam
rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.14
2. Administarsi malpractice
Didalam UU RI No.29 tahun 2004 dan dalam permenkes RI
No.5052/Menkes/Per/X/2011 dijelaskan bahwa seorang dokter yang
praktik harus punya sertifikat kompetensi, surat tanda registrasi, san
surat Ijin praktik, jika seorang dokter tidak mempunyai dokumen-
dokumen tersebut, maka selain dokter medapat sanksi pidana, sanksi
perdata, dokter jug mendapat sanksi administrative.14
Tindakan pidana dalam tindakan medis atau dikatakan malpraktik merupakan
kesalahan pengambilan tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis
professional maupun tenaga medis amatir secara sengaja atau tidak disengaja atau
dokter (tenaga medis) tersebut melakukan praktek yang buruk. Peraturan-
peraturan hukum di bidang tindakan medic meliputi kitab undang-undang hukum
pidana (KUHP), undang-undang No.29 tahun 2004, UU no. 36 tahun 2009 dan
UU no. 44 tahun 2009. Terdapat empat hal penting yang berkaitan dengan
kejadian malpraktik yaitu;12

1) Adanya kegagalan tenaga medis untuk melakukan tata laksana sesuai standar
terhadap pasien. Standar yang dimaksud mengacu pada standar prosedur
operasional yang ditetapkan sesuai disiplin ilmu kedokteran. Yang dimaksud
dengan disiplin kedokteran adalah kepatuhan menerapkan aturan0aturan/
ketentuan penerapan ilmu kedokteran. Lebih khusu, kepatuhan menerapkan
kaidah-kaidah penatalaksanaan medis (asuhan medis) mencakup antara lain,
menegakan diagnosis, melakukan tindakan pengobatan, dan menetapkan
prognosis. Hal tersebut dilakuakan dengan menggunakan indicator yang
memebuhi standar. Indikator-indiktor tersebut meliputi, standar kompetensi,
standar pelayanan, standar perilaku etis, standar asuhan medis, dan standar
klinis. Kongkritnya dokter melaksanakan praktik kedokteran, harus dilakukan
sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi dan standar prosedur
operasional. Hal tersebut dilakukan agar dalam melaksanakan profesinyanya
menerapkan standar-standar yang sudah duatur dalam norma disiplin,
sebaliknya apabila dokter tidak melaksanakan standar-standar dalam norma
disiplin saat melakukan praktik kedokteran dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran norma disiplin sebagaimana yang tertuang dalam pasal 55
UPK.3,12
2) Minimnya ketrampilan dokter
Kurangnya ketrampilan dokter dapat disebabkan karena minimnya
pengalaman tenaga medis yang menyebabkan peluang terjadinya kesalahan
tindakan medis (malpraktek) saat memberikan tindakan kepada pasien seperti
contohnya, kesalahan pmberian obat, kesalahan prosedur/tindakan yang
semestinya harus dilakukan. Hal lain yang juga merupakan bentuk kurangnya
ketrampilan dokter adalah kesalahan dalam mendiagnosis. Kesalahan
diagnosis dapat berakibat fatal bagi pasien, akibatnya bisa bermacam-macam,
sperti kelumpuhan, keruskaan organ dalam, dan juga dapat berakibat fatal
yang berujung kematian.3,12
3) Faktor ketidaksengajaan, terjadi karena kelalaian dari para medis atau
ketidaktelitian petugas medis dalam menangani pasien.

Berkaitan dengan isu kelalaian dalam profesi dokter, UU Praktik


Kedokteran tidak memberikan definisi pasti tentang kelalaian praktik kedokteran.
Namun demikian dapat ditafsirkan secara yuridis normatif berdasarkan teori dan
konsep kelalaian. Oleh sebab itu berikut akan dijelaskan mengenai kelalaian
dalam UU Praktik Kedokteran. 4

II.2.1 Kelalaian medis menurut UU Praktik Kedokteran


Secara umum tidak ditemukan kata kelalaian dalam UU Praktik Kedokteran.
Mengingat undang-undang ini adalah produk yang dikhususkan untuk profesi
dokter, kemungkinan kalangan dokter menganggap bahwa kata kelalaian cukup
konotatif sebab istilah itu merupakan bagian dari kesalahan dalam hukum pidana.
Asas dan tujuan daripada UU Praktik Kedokteran adalah memberikan
perlindungan kepada pasien sekaligus dokter dalam rangka melaksanakan
profesinya. Sebagaimana makna kelalaian secara umum, UU Praktik kedokteran
menggunakan istilah “pelanggaran disiplin kedokteran”. Istilah disiplin
kedokteran adalah sebagaimana tertuang dalam penjelasan Pasal 55 ayat 1 UU
Praktik Kedokteran, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan ketentuan penerapan
keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter
gigi. Menurut Sabir Alwy, disiplin kedokteran itu mencakupi standar profesi,
standar pelayanan dan standar operasional.7 Selain itu menurut Pasal 55 UU
Praktik Kedokteran, terdapat satu majelis khusus yang bertugas menegakan
disiplin kedokteran yang dikenali sebagai Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia, (MKDKI). Secara khusus pengaturan tentang MKDKI ada
dalam Pasal 55 - Pasal 70 UU Praktik Kedokteran. 5
Secara umum MKDKI adalah satu lembaga independen yang memiliki
wewenang melakukan penilaian pelanggaran, melakukan tindakan dan
memberikan sanksi terhadap dokter yang diduga melakukan pelanggaran dalam
malaksanakan praktik. Pelanggaran tersebut mancakupi pelanggaran etik,
pelanggaran disiplin profesi dan bahkan pelanggaran hukum. Terhadap
pelanggaran disiplin kedokteran dinilai atau diukur berdasarkan adakah standart
profesi yang dilanggar, adakah standart pelayanan yang tidak dijalankan dan
adakah standart operasional yang tidak dilaksanakan. Sementara itu dalam Pasal
51 huruf a UU Praktik Kedokteran menegaskan “bahwa dokter dalam
melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban untuk memberikan
pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar operasional prosedur”.
Menurut penjelasan Pasal 51 UU Praktik Kedokteran, standar profesi adalah
pedoman dan panduan dalam praktik kedokteran yang mencakupi knowledge, skill
dan professional attitude. Standar profesi ini ditentukan oleh kumpulan atau
kalangan dokter sendiri, sedangkan pihak pemerintah hanya menentukan
kewajiban dokter untuk mematuhi standar berkenaan melalui peraturan yang telah
ditetapkan dan memberikan hukuman terhadap yang melanggarnya. Menurut
Hermien, standar profesi adalah niat atau itikad baik dokter yang berasaskan kode
etik profesi, bersumberkan kesepakatan atau persetujuan daripada kalangan
profesional doktor guna menentukan mana-mana tindakan yang boleh dilakukan
maupun tindakan yang tidak boleh dilakukan dalam melaksanakan praktik.8
Standar profesi adalah ukuran tindakan dokter yang telah mendapat persetujuan
dari para profesional dokter. Karena dokter dalam menjalankan profesinya perlu
berpegang pada tiga ukuran umum, yaitu otoritas, kepakaran dan ketelitian yang
umum.5
Menurut sifatnya ada dua landasan otoritas, yaitu otoritas yang berasaskan
kepakaran yang dimiliki dokter (autoriti materil) dan otoritas menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan (autoriti formal). Otoritas materil terdapat pada
diri dokter, artinya dokter boleh melakukan tindakan pengobatan apabila sesuai
dengan kepakarannya. Sedangkan otoritas formal adalah dokter boleh melakukan
tindakannya jika mempunyai Surat Tanda Registrasi, dan Surat Izin Praktik sesuai
dengan undang-undang sah. Hal ini bermakna, dokter yang mempunyai keizinan
secara formal mempunyai otoritas untuk melakukan tindakan. Walau
bagaimanapun tindakan dokter mesti sesuai dengan kepakarannya. Umpamanya,
seseorang dokter pakar bedah usus tidak boleh melakukan tindakan bedah tulang.
Dokter bedah tulang tidak boleh memaksakan diri untuk mengobati pasien yang
tidak menderita kelainan tulang. 5
Standar kedua dalam profesi kedokteran adalah kepakaran atau spesialisasi.
Bidang kepakaran ini merangkumi tiga ciri utama, yaitu kemampuan menguasai
pengetahuan (knowledge), kemampuan dalam bidang spesialiti atau kepakaran
(skill), dan juga bersikap professional dalam urusan seharian (professional
attitude). Tiga ciri penting tersebut pada asasnya tidak mudah untuk ditentukan,
banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor tersebut antara lain adalah
pengalaman berdasarkan banyaknya tindakan kedokteran, lamanya praktik,
kawasan praktik, fasilitas praktik dan pergaulan dalam hubungan sesama dokter.
Menurut Guwandi, kepakaran seorang dokter selain ditentukan oleh tingkatan
pendidikan, juga dipengaruhi oleh tingkatan pengalaman melakukan praktik.
Setiap dokter memiliki kepakaran atau spesialisasi yang berbeda. Seseorang
dokter yang baru melakukan amalan selama satu tahun adalah berbeda dengan
seseorang dokter yang telah melakukan amalan selama 5 sehingga 10 tahun. Oleh
itu, ukuran kelalaian dokter harus dibandingkan dengan seorang dokter dengan
tingkat kepakaran yang sama.5
Isi ketiga dari standar profesi adalah ketelitian yang umum. Ukuran
ketelitian adalah melakukan amalan dan melakukan tindakan perubatan secara
cermat dan berhati-hati, tidak sembrono. Sikap yang kurang cermat, sembrono
atau kurang berhati-hati dari seorang dokter dapat menjadikan satu perbuatan
sehingga menyebabkan kerugian pasien. Namun begitu, sikap kecermatan dan
berhati-hati ini mesti diukur dengan kecermatan dan kehati-hatian dokter yang
malaksanakan praktik dan melakukan tindakan perubatan yang sama.
Umpamanya, tingkat kecermatan dan kehatian-hatian tindakan seksio cesarea
mesti ditentukan atau diukur secara umum dengan dokter lain yang melakukan
tindakan seksio cesarea. Amalan atau tindakan dokter sepatutnya tidak
berseberangan dengan standar profesi. Standar profesi merupakan panduan praktik
dan tindakan kedokteran kepada pasien yang diukur menurut keilmuan, keahlian
dan ketelitian dari kalangan para dokter dengan kualitas yang sama.5
Selain standard profesion, amalan dokter juga mengikut pada standard
prosedur operasional sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 50 dan Pasal 51 UU
Praktik Kedokteran. Standar prosedur operasional atau disebut protap (prosedur
tetap) merupakan tatacara atau tahapan yang harus dilalui dalam suatu proses
kerja tertentu yang dapat diterima oleh seseorang yang bertanggungjawab untuk
mempertahankan tingkat “penampilan atau kondisi” tertentu sehingga suatu
kegiatan dapat diselesaikan secara efektif dan efisien. Berdasarkan kepada
penjelasan Pasal 50 UU Praktik Kedokteran, standar prosedur operasional adalah
suatu instruksi atau langkah- langkah untuk menyelesaikan suatu proses kerja
rutin tertentu. Standar prosedur operasional memberikan langkah yang benar dan
terbaik berdasarkan kensensus bersama untuk menjalankan pelbagai kegiatan dan
fungsi perlayanan pengobatan berdasarkan standar profesi. Menurut Umar Qadafi,
standar profesi dan standar prosedur operasional tidak dapat dipisahkan dan saling
berkaitan. Standar profesi sifatnya lebih umum, manakala standar prosedur
operasional bersifat teknikal dan rinci mengikut standar profesi. Standar prosedur
operational dikenali sebagai “aturan kerja atau cara kerja”. Namun begitu, kedua-
duanya saling berkaitan dan bersandingan semasa melakukan proses pengobatan
kepada pasien.5

II.3 Kriminalisasi Dokter


II.3.1 Pengertian kriminalisasi dokter
Kriminalisasi merupakan objek studi hukum pidana materil yang
membahas penentuan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan
sanksi pidana tertentu. Perbuatan tercela yang sebelumnya tidak dikualifikasikan
sebagai perbuatan terlarang dijustifikasi sebagai tindak pidana yang diancam
dengan sanksi pidana. Menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan
tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang
oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan
yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana atau membuat suatu perbuatan
menjadi perbuatan kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan
cara kerja atas namanya.
Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa kriminalisasi ialah
suatu pernyataan bahwa perbuatan tertentu harus dinilai sebagai perbuatan pidana
yang merupakan hasil dari suatu penimbangan-penimbangan normatif yang wujud
akhirnya adalah suatu keputusan (decisions). Kriminalisasi dapat pula diartikan
sebagai proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat
dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang di mana
perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana.
Pengertian kriminalisasi dapat pula dilihat dari perspektif nilai. Dalam hal
ini yang dimaksudkan dengan kriminalisasi adalah perubahan nilai yang
menyebabkan sejumlah perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan yang
tidak tercela dan tidak dituntut pidana, berubah menjadi perbuatan yang
dipandang tercela dan perlu dipidana.6 Pengertian kriminalisasi tersebut
menjelaskan bahwa ruang lingkup kriminalisasi terbatas pada penetapan suatu
perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana. Namun
menurut Paul Cornill, pengertian kriminalisasi tidak terbatas pada penetapan suatu
perbuatan sebagai tindak pidana dan dapat dipidana, tetapi juga termasuk
penambahan (peningkatan) sanksi pidana terhadap tindak pidana yang sudah ada.6
Kriteria kriminalisasi berdasarkan hasil rumusan (kesimpulan) Simposium
Pembaruan Hukum Pidana yang menyebutkan beberapa kriteria umum sebagai
berikut:
1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena
merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat
mendatangkan korban?
2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan
dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan
hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, dan pelaku kejahatan itu sendiri
harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai?
3. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak
seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang
dimilikinya?
4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi citacita
bangsa Indonesia sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat?

II.3.2 Hak dan Kewajiban Dokter Maupun Pasien


Profesi dokter adalah suatu profesi yang krusial karena berhubungan
dengan tubuh pasien, hidup, dan matinya. Dokter dituntut kehati-hatian, ketelitian,
kecermatan, dan kemampuan komunikasi yang baik. Hal ini menjadikan profesi
kedokteran penuh dengan resiko. Maka tidak jarang seorang dokter sering
dianggap melakukan kejahatan atau kelalaian dalam tindakannya yang sering
disebut malpraktik medis. Seorang dokter dapat dikenai sanksi pidana, tidak
hanya sanksi perdata ataupun administratif, apalagi jika unsur-unsur pidana itu
terpenuhi. Malpraktik merupakan suatu tindakan yang salah dalam dunia
kedokteran dan kesehatan sering dikatkan dengan perbuatan kealpaan yang
mengakibatkan kematian atau kelukaan, dan digolongkan sebagai malpraktik
dibidang hukum pidana yang terutama diatur dalam pasal-pasal 359, 360 dan 361
KUH pidana. 7
Hal ini seolah-olah membuat kesalahan dokter menjadi suatu kejahatan
dan harus dipidana, padahal profesi kedokteran merupakan profesi yang mulia di
mata masyarakat. Oleh karena itu sangatlah penting bagi seorang dokter untuk
mengerti standar profesinya dan kewajibannya. Dokter juga harus menambah
kemampuan dan pengetahuannya di bidang ilmu pengetahuan agar meningkatkan
kemampuannya untuk menghindari kesalahan praktik disamping kecerobohan
atau ketidakhati-hatian dalam menangani pasien. Pasien diharapkan juga mengerti
hal-hal yang menjadi kewajibannya disamping hak-hak yang dimilikinya. Dokter
juga memiliki hak yang juga harus dihormati oleh pasien.7
1. Hak dokter
Adapun hak-hak yang dimiliki oleh dokter yang diatur dalam Pasal 50 UU
No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yaitu hak untuk mendapatkan
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional, hak untuk memberikan pelayanan medis menurut
standar profesi dan standar prosedur operasional, hak atas informasi yang lengkap
dan jujur dari pasien atau keluarga tentang keluhan penyakit yang diderita, hak
atas imbalan jasa dari pelayanan kesehatan yang telah diberikan.1,3,8

Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur professional;
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
professional;
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya;
dan
d. Menerima imbalan jasa.

2. Kewajiban Dokter
Kewajiban dokter terdapat dalam Pasal 51 UU No.29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran yaitu kewajiban untuk memberikan pelayanan medis sesuai
standar profesi dan standar prosedur operasional, kewajiban untuk merujuk pasien
ke dokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik apabila
tidak mampu melakukan pemeriksaan atau pengobatan. Kewajiban merahasiakan
segala sesuatu yang diketahuinya mengenai pasien bahkan setelah pasien
meninggal dunia. Kewajiban memberikan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya. Kewajiban untuk menambah dan mengembangkan ilmu
pengetahuan di bidang kedokteran.1,3,8
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban :
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur professional serta kebutuhan medis pasien;
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan;
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia;
d. Melakukan pertolongan darurat atau dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
atau kedokteran gigi.

3. Hak pasien
Menurut berbagai doktrin yang dikemukakan beberapa ahli, hak pasien
meliputi: Hak atas informasi yang jelas perihal penyakitnya, hak untuk menyetujui
tindakan medis yang akan dilakukan, hak untuk memberikan persetujuan dalam
bentuk informed consent. Informed consent adalah suatu kesepakatan/persetujuan
pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya setelah
pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat
dilakukan untuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala resiko
yang mungkin terjadi. Pasien juga memiliki hak atas rahasia kedokteran, hak
untuk mendapatkan pelayanan medis sebaik-baiknya, hak untuk menolak tindakan
medis yang akan dilakukan terhadap dirinya, hak atas rekam medis yaitu hak atas
berkas yang berisi catatan dan dokumen mengenai identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan, dan pelayanan yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan
terhadap pasien.1,3,8

Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak :
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapatkan isi rekam medis.

4. Kewajiban pasien
Kewajiban yang harus dipenuhi pasien adalah memberikan informasi yang
lengkap dan jujur mengenai penyakitnya kepada dokter, mematuhi nasehat dan
instruksi yang diberikan oleh dokter, memberikan imbalan jasa atas pelayanan
kesehatan yang telah diterima, dan mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana
pelayanan kesehatan. Kewajiban pasien ini tercantum dalam Pasal 53 UU No. 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.1,3,8

Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
kewajiban :
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

II.4 Pertanggungjawaban Pidana Profesi Dokter

Pemerintah melalui UU Praktik Kedokteran membentuk satu majelis


khusus bagi memberikan perlindungan kepentingan kedua belah pihak. Majelis
khusus tersebut bernaung dibawah Konsil Kedokteran Indonesia yang dikenali
sebagai Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, (selanjutnya
disingkat MKDKI).1
Pengaturan mengenai MKDKI ini diatur dalam Bab VIII, Pasal 55 UU
Praktik Kedokteran, yaitu:
1) Untuk menegakan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan
praktik kedokteran dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia, (selanjutnya disingkat MKDKI).
2) MKDKI merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia.
3) MKDKI dalam menjalankan tugasnya adalah bersifat mendiri.

Secara umum tugas MKDKI adalah melakukan penegakan hukum atas


penyelenggaraan praktik kedokteran yang merugikan kepentingan pasien. Hal ini
adalah sebagaimana tertuang dalam Pasal 64 UU Praktik Kedokteran, yaitu:
1) MKDKI bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus
pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan; dan
2) Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin
dokter atau dokter gigi.

Sementara itu, dalam Pasal 66 UU Praktik Kedokteran adalah:


1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat
mengadukan secara tertulis kepada ketua MKDKI.
2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Identitas pengadu,
b. Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu
tindakan dilakukan; dan.
c. Alasan pengaduan.

Namun demikian, pengaduan sebagaimana dimaksud pada Pasal 66 ayat 1


dan ayat 2 tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya
dugaan tindak pidana kepada pihak berwenang dan/atau menggugat kerugian
perdata ke pengadilan.1
Secara umum UU Praktik Kedokteran belum memberikan definisi
mengenai kesalahan medis dokter atau kelalaian medis. Namun demikian,
MKDKI yang merupakan amanah dari UU Praktik Kedokteran adalah satu majelis
khusus yang diberi tugas untuk melakukan penilaian terhadap ada tidaknya
kesalahan tindakan medis dokter, sekaligus melakukan pemeriksaan, dan
memutuskan terkait dengan tindakan dokter yang diduga melakukan satu
kesalahan tindakan medis. Akan tetapi, pengaduan pasien atau masyarakat kepada
MKDKI tidak menghilangkan haknya untuk melaporkan dugaan kesalahan
tindakan medis ini kepada pihak berwenang untuk diproses pidana maupun
digugat secara perdata.1
UU nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran memuat 6 Pasal
yang mengatur mengenai ketentuan pidana yaitu Pasal 75 sampai dengan Pasal
80. Dilihat dari subjeknya ada tindak pidana yang subjeknya khusus untuk subjek
tertentu dan ada yang subjeknya setiap orang. Tindak pidana yang hanya dapat
dilakukan oleh subjek tertentu/khusus diatur dalam pasal 75, pasal 76, pasal 79
yaitu tindak pidana hanya dapat dilakukan khusus oleh dokter atau dokter gigi.
Tindak pidana yang bisa dilakukan oleh setiap orang diatur dalam Pasal 80. Yang
dimaksud dengan “setiap orang” adalah orang perseorangan dan korporasi. Tindak
pidana dalam UU praktek kedokteran,ditinjau dari rumusannya hanya terdapat
Tindak pidana formil dirumuskan sebagai wujud perbuatan yang tanpa
menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu.1

Dokter dapat dikenakan suatu sanksi pidana jika memenuhi beberapa syarat2
yaitu:
1) Perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum yaitu perbuatan yang
dilakukan telah memenuhi unsur yang ada dalam perundang-undangan dan
diancam dengan sanksi pidana ataupun perbuatan yang dilakukan tersebut
dirasa tidak patut atau tercela oleh masyarakat (dalam hal peraturan tidak
tertulis).
2) Ada kesalahan.
Bentuk kesalahan yang dilakukan oleh dokter, menurut C. Berkhouwer & L.D.
Vorstman yang sering terjadi disebabkan 3 faktor, yaitu:
a. kurang pengetahuan
b. kurangnya pengalaman, dan
c. kurangnya pengertian.
Ukuran kesalahan dalam pelaksanaan tugas profesi dokter berupa kelalaian
besar (culpa lata), bukan kelalaian kecil (culpa levis). Penentuan adanya
kelalaian tersebut harus ada secara normative dan tidak secara fisik atau
psikis karena sulit untuk mengetahui keadaan batin seseorang yang
sesungguhnya.
3) Kemampuan bertanggungjawab
Seperti yang berbunyi dalam Pasal 44 KUHP, bahwa “barangsiapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena
jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa terganggu karena penyakit”.
Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur subjektif sebab melekat
pada diri seseorang. Begitu pula dalam kualitas diri seorang dokter.
4) Tidak ada alasan penghapus pidana.
Unsur terakhir yang harus ada agar seorang dokter dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya adalah tidak ada alasan yang dapat
menghapuskan pidana. Dasar penghapusan pidana yang dapat dipergunakan
dalam tindak medis menurut KUHP adalah sebagai berikut:
a. Jiwanya dalam keadaan sakit (Pasal 44 KUHP);
b. Overmacht (Pasal 48 KUHP);
c. Pembelaan diri karena terpaksa (Pasal 49 KUHP);
d. Melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50) KUHP; dan
e. Melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 KUHP).

II. 5 Ketentuan Pidana Terhadap Dokter Berdasarkan UUPK


Ketentuan pidana terhadap dokter tercantum dalam pasal 75 sampai
dengan pasal 80 UU nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Pasal 75
1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2) Setiap dokter atau dokter gigi warga Negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3) Setiap dokter atau dokter gigi warga Negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan Pratik kedokteran
tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi
yang :
a. Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (1);
b. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam
pasal 46 ayat (1); atau
c. Dengan sengaja tidak memnuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

II.6 Kasus kriminalisasi dokter di Indonesia


Dalam hubungan terapeutik (professional conduct), sengketa medis di
Indonesia dipicu oleh adverse event (kejadian tidak diharapkan) dan menjadi opini
3,9
bahwa setiap adverse event digeneralisasi adalah malpraktik, Hal ini
dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal pasien. Kasus dugaan
malpraktik yang dilaporkan ke Konsil Kedokteran Indonesia kurun waktu tahun
2006-2015 sebanyak 317 kasus, 114 diantaranya adalah dokter umum, disusul
dokter bedah 76 kasus, dokter obsgyn (spesialis kandungan) 56 kasus dan dokter
spesialis anak 27 kasus.3
Tuduhan maupun laporan dugaan kelalaian dokter di Indonesia saat ini
bukanlah hal baru. Bahkan, kasus kelalaian dokter telah terjadi di Indonesia sejak
tahun 1981 yang melibatkan dr. Setianingrum di Kabupaten Pati Jawa Tengah.
Dokter Setyaningrum adalah seorang dokter umum di Puskesmas Kecamatan
Wedarijaksa, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kasusnya terjadi di awal tahun 1979
di mana pasiennya mengalami syok anafilaktik setelah penyuntikan antibiotik
Streptomisin. Meski telah dilakukan penanganan syok dengan menyuntikkan
Adrenalin, Cortison, dan Delladryl namun nyawa pasien tidak tertolong. Suami
pasien yang merupakan seorang tentara melaporkan kejadian yang menimpa
istrinya ke polisi. Dalam proses selanjutnya, dokter Setyaningrum dijatuhkan
hukuman pidana penjara tiga bulan dengan masa percobaan 10 bulan oleh
Pengadilan Negeri Pati. Selanjutnya dalam proses banding ditahun 1982,
Pengadilan Tinggi Semarang memperkuat putusan Pengadilan Negeri Pati.
Namun pada proses kasasi, Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan
Negri Pati dan putusan Pengadilan Tinggi Semarang. Putusan MA ini terjadi pada
tanggal 27 Juni 1984. Dari peristiwa yang dialami oleh dokter Setyaningrum ini
menimbulkan beberapa dampak bagi pelayanan kedokteran saat itu, salah satunya
yang dominan adalah para dokter menjadi lebih berhati-hati bahkan sebagai besar
menimbulkan ketakutan akan akibat tindakan kedokteran yang diambil. Situasi ini
lebih dikenal dengan "defensive medicine". Para dokter merasa bahwa profesi
dokter sangat mudah dikriminalisasi.9
Kasus ini pada akhirnya menjadi rentetan munculnya laporan maupun
pengaduan tentang dugaan kelalaian dokter di Indonesia. Laporan maupun aduan
tentang dugaan kelalaian dokter pada dasarnya disebabkan karena kegagalan
dokter menyembuhkan pasien, atau bahkan kondisi pasien menjadi bertambah
parah setelah dokter melakukan tindakan medik. Menjadi permasalahan adalah
apakah memburuknya kondisi pasien, atau kegagalan medis tersebut adalah
akibat dari tindakan dokter. Apakah ada hubungan sebab akibat antara terjadinya
musibah dengan tindak laku dokter. Selanjutnya adalah, apakah dokter telah
melaksanakan tindakan sesuai dengan standar medis maupun standar operasional
prosedur. Peristilahan kelalaian dokter pada dasarnya belum diatur dalam
perundang-undangan Indonesia, oleh karena itu menjadi isu yang berujung kepada
ketidakpastian hukum.
Media massa banyak memberitakan kasus dugaan malpraktek, salah satu
kasus malpraktek yang membuat para dokter se Indonesia melakukan demonstrasi
dikarenakan mereka merasa dikriminalisasi adalah putusan oleh Mahkamah
Agung dengan nomor 365 K/pid/2012 tentang kelalaian yang dilakukan oleh
dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani, dokter Hendry Simanjuntak, dokter Hendy
Siagian dalam tindakan operasi Cito Secsio Sesoria yang mengakibatkan kematian
terhadap pasiennya.
Pada saat itu tepatnya tanggal 27 November 2013, ribuan dokter di seluruh
Indonesia turun ke jalan. Mereka mengklaim putusan Mahkamah Agung yang
memvonis 10 bulan penjara tiga rekan mereka dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani,
Hendry Simanjuntak, dan Hendy Siagian, merupakan bentuk kriminalisasi
terhadap profesi kedokteran.
Bagaimana sesungguhnya kronologi kasus ini? Berikut pemaparan versi
Kementerian Kesehatan dan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia (POGI). 10

Dilansir dari berita nasional viva.com tanggal 28 november 2013, Ketua


POGI Jakarta, Frizar Irmansyah, mengatakan kematian Siska 20 menit setelah
operasi caesar bukan kejadian malapraktik, melainkan insiden medis yang tak
dapat dicegah dan berakibat fatal.
Siska awalnya mendatangi puskesmas. Di puskesmas, dilakukan
pemeriksaan ketuban untuk mempercepat kelahiran bayinya. Standar operasional
prosedur menyatakan, kelahiran harus diupayakan normal. Kondisi Siska di
puskesmas terus dimonitor sampai akhirnya muncul tanda kegawatan di mana
bayi bisa meninggal jika tidak juga dilahirkan.
Puskesmas pun memberitahu Siska perlu ada tindakan operasi untuk
menyelamatkan dia dan bayinya. Oleh sebab itu diputuskan Siska dirujuk ke RS
Prof dr Kandou untuk ditangani lebih lanjut. Di rumah sakit itu, dokter mengambil
tindakan 8 jam kemudian, setelah tahu ada gawat janin pada kandungan Siska.
“Selama 8 jam itu, pasien bukannya ditelantarkan, tapi ditunggu untuk melahirkan
secara normal,” kata Frizar.
Selanjutnya saat operasi caesar berlangsung, terjadi insiden emboli –
ketuban melebar, udara masuk ke pembuluh darah dan lari ke paru-paru,
mengakibatkan pembuluh darah pecah. Aliran darah pun tersumbat seketika
karena air ketuban masuk ke dalam pembuluh darah. Saat itu Siska langsung
terserang sesak nafas hebat.
Menghadapi hal ini, dokter Ayu dan timnya segera mengambil tindakan.
Suntikan steroid diberikan untuk menanggulangi peradangan. Mereka juga
berupaya mempertahankan oksigenisasi dengan memasang alat bantu yang
disebut ventilator. Sayangnya nyawa pasien tidak tertolong. Meski demikian bayi
lahir dengan sehat.
Frizar menyatakan, kemungkinan terjadinya emboli pada ibu melahirkan
hanya 3 persen, Namun kesembuhannya hanya 10 persen dan itu pun di luar
negeri yang berhasil sembuh. Di Indonesia, belum ada yang bisa selamat dari
emboli. Emboli bisa terjadi pada ibu yang melahirkan secara caesar maupun
normal.
Dokter Ayu memang belum berstatus dokter spesialis saat menangani
persalinan Siska. Ia hanya residen senior dengan pendidikan dokter spesialis
kebidanan dan kandungan. Tapi praktiknya sudah melalui ujian-ujian tertentu dan
bukannya tanpa wewenang. Sementara berikut rincian kesalahan dokter Ayu
seperti tertera di putusan Mahkamah Agung:
Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr Hendry Simanjuntak, dan dr Hendy
Siagian, baik secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, telah dengan
sengaja melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (SIP). Perbuatan tersebut dilakukan
para terdakwa dengan cara dan uraian kejadian sebagai berikut:
Saat korban Siska Makatey (Julia Faransiska Makatey) sudah tidur
terlentang di atas meja operasi, dilakukan tindakan asepsi antiseptis pada dinding
perut dan sekitarnya. Selanjutnya korban ditutup dengan kain operasi kecuali pada
lapangan operasi. Saat itu korban telah dibius total.
Dr Ayu mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai pada rahim milik
korban, kemudian bayi yang berada di dalam rahim korban diangkat. Rahim
korban lalu dijahit sampai tidak terdapat pendarahan lagi dan dibersihkan dari
bekuan darah. Selanjutnya dinding perut milik korban dijahit.
Saat operasi dilakukan, dr Hendry sebagai asisten operator I dan dr Hendy
sebagai asisten operator II membantu dr Ayu sebagai pelaksana operasi. Dr
Hendry dan dr Hendy yang memotong, menggunting, dan menjahit agar lapangan
operasi bisa terlihat, supaya mempermudah operator yaitu dr Ayu dalam
melakukan operasi.
Sebelum operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan, para
terdakwa tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung,
foto rontgen dada, dan lain-lain. Sedangkan tekanan darah sebelum korban
dianastesi atau dilakukan pembiusan sedikit tinggi, yaitu menunjukkan angka
160/70 mmHg. Pemeriksaan jantung terhadap korban dilaksanakan setelah operasi
selesai. Pemeriksaan jantung tersebut dilakukan setelah dr Ayu melaporkan
kepada saksi Najoan Nan Waraouw sebagai konsultan jaga bagian kebidanan dan
penyakit kandungan bahwa nadi korban 180 kali per menit.
Saat itu saksi Najoan menanyakan kepada dr Ayu apakah telah dilakukan
pemeriksaan jantung terhadap diri korban. Selanjutnya dijawab oleh dr Ayu
tentang hasil pemeriksaan adalah denyut jantung sangat cepat. Saksi Najoan
mengatakan bahwa denyut nadi 180 kali per menit – bukan denyut jantung sangat
cepat tetapi fibrilasi atau kelainan irama jantung.
Berdasarkan hasil rekam medis No. 041969 yang telah dibaca oleh saksi
ahli dr. Erwin Gidion Kristanto, SH. Sp. F bahwa saat korban masuk RSU Prof
RD Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit
korban adalah berat.
Dr Ayu, dr Hendry, dan dr Hendy sebagai dokter dalam melaksanakan
operasi cito secsio sesaria terhadap korban Siska Makatey, hanya memiliki
sertifikat kompetensi. Tapi para terdakwa tidak mempunyai Surat Izin Praktik
(SIP) kedokteran/yang berhak memberikan persetujuan. Sedangkan untuk
melakukan tindakan praktik kedokteran, termasuk operasi cito yang dilakukan
para terdakwa terhadap diri korban, para terdakwa harus memiliki SIP kedokteran.
Akibat perbuatan para terdakwa, korban Siska Makatey meninggal dunia.
Sebab kematian korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan
jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan
fungsi paru, dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.

Pertanggung Jawaban Pidana Dokter Dalam Putusan Mahkamah Agung


Nomor 365K/PID/2012 11
Syarat mahakamah agung menerima permintaan kasasi adalah ada
peraturan hukum yang tidak diterapkan atau ditetapkan tidak sebagai mana
mestinya, cara mengadili tidak dilaksanakan dengan benar menurut ketentuan
undang-undang dan pengadilan melampaui batas wewenang, seperti yang terjadi
di pengadilan negeri manado yang tidak mempertimbangkan rekam medis nomor
0041969 yang telah dibaca oleh dr. Erwin Gidion Kristanto, SH.Sp.F. sehingga
Mahkamah Agung menerima kasasi yang diajukan oleh pihak korban. rekam
medis merupakan salah satu syarat untuk dokter melakukan tindakan kedokteran,
karena didalam rekam medis terdapat riwayat penyakit pasien dan menjadi
landasan untuk dokter melakukan tindakan kepada pasiennya, bisa dijadikan
barang bukti jika dokter atau dokter gigi melakukan kelalaian atau kesengajaan
terhadap pasiennya.
Mahkamah agung menjatuhkan pidana kepada para dokter, karena
menyebabakan matinya korban dikarenakan emboli, sedangkan emboli tidak bisa
di prediksi oleh tenaga kesehatan dikarenakan emboli merupakan reaksi tubuh
manusia terhadap sesuatu yg terjadi didalam tubuhnya, sehingga penulis
mengganggap bahwa putusan mahkamah agung ini tindakan keliru. Dikarenakan
emboli tidak ada hubunganya dengan tindakan yang para dokter lakukan, karena
mereka telah melakukan sesuai standar yang harus dilakukan dalam operasi Cito
Secsio Sesaria. Mahakamah Agung dan Jaksa Penuntut Umum kurang teliti
menelaah teori tentang sebab akibat atau teori kausalitas, teori yang dipakai dalam
yurisprudensi Indonesia teori adequate subyektif yaitu seseorang dapat
membayangkan, dapat diketahui dan dapat diramalkan dengan kepastian kuat oleh
pembuat delik. Teori sebab akibat atau kusalitas tidak terpenuhi, karena terdakwa
sebagai pelaku tindakan tidak bisa memprediksi, membayangkan dan meramalkan
akan terjadi emboli yang mengakibatkan gagal jantung dan kematian korban. Jika
hubungan sebab akibat ini tidak terpenuhi maka pasal 359 KUHP tidak bisa
diterapkan, karena unsur pasal ini menyatakan adanya hubungan kausal antara
perbuatan yang dilakukan sehingga menyebabkan matinya orang lain, perbuatan
para terdakwa tidak menyebabkan korban mati, tetapi kematian korban akibat
resiko medis yaitu komplikasi yang terjadi oleh reaksi tubuh korban.
BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Profesi dokter adalah suatu profesi yang krusial karena berhubungan
dengan tubuh pasien, hidup dan matinya. Dokter dituntut kehati-hatian, ketelitian,
kecermatan, dan kemampuan komunikasi yang baik. Hal ini menjadikan profesi
kedokteran penuh dengan resiko. Dalam praktik kedokteran sehari-hari, dokter
harus selalu mengantisipasi kemungkinan terjadinya resiko sebagai akibat
tindakan yang dilakukannya, dan sekaligus melakukan upaya pencegahan bila
mungkin dan menyiapkan upaya penanggulangannya apabila resiko tersebut tidak
dapat dihindarinya. Tidak jarang seorang dokter sering dianggap melakukan
kejahatan atau kelalaian dalam tindakannya yang sering disebut malpraktik medis.
Secara umum UU Praktik Kedokteran belum memberikan definisi mengenai
kesalahan medis dokter atau kelalaian medis. Namun demikian, MKDKI yang
merupakan amanah dari UU Praktik Kedokteran adalah satu majelis khusus yang
diberi tugas untuk melakukan penilaian terhadap ada tidaknya kesalahan tindakan
medis dokter, sekaligus melakukan pemeriksaan, dan memutuskan terkait dengan
tindakan dokter yang diduga melakukan satu kesalahan tindakan medis. Akan
tetapi, pengaduan pasien atau masyarakat kepada MKDKI tidak menghilangkan
haknya untuk melaporkan dugaan kesalahan tindakan medis ini kepada pihak
berwenang untuk diproses pidana maupun digugat secara perdata. Karena itu,
seorang dokter dapat dikenai sanksi pidana, tidak hanya sanksi perdata ataupun
administratif, apalagi jika unsur-unsur pidana itu terpenuhi. Hal ini seolah-olah
membuat kesalahan dokter menjadi suatu tindak kriminalis atau kejahatan dan
harus dipidana, padahal profesi kedokteran merupakan profesi yang mulia di mata
masyarakat.
III.2 Saran

1. Sebagaimana hak dan kewajiban dokter maupun pasien yang tercantum dalam
Pasal 50 sampai dengan Pasal 53 UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, disarankan agar dokter dapat memberikan pelayanan kesehatan
kepada pasien sesuai dengan hak pasien tanpa adanya diskriminatif. Begitu
juga dengan pasien agar dapat memahami apa yang menjadi hak dan
kewajibannya dan tidak selalu mengkriminalisasikan dokter.
2. Memperkuat kedudukan MKDKI dan menjadikannya sebagai lembaga yang
berwenang memutuskan untuk menentukan apakah dokter atau dokter gigi
dalam menjalankan praktik profesi medisnya telah sesuai dengan disiplin ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi, apakah dokter atau dokter gigi telah
menjalankan praktik profesinya sesuai dengan standar prosedur operasional,
dan memastikan apakah pasien telah mendapatkan pelayanan sesuai dengan
haknya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.


2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2052/MenKes/Per/X/2011 Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran.
3. Trisnadi S. Perlindungan Hukum Profesi Dokter Dalam Penyelesaian
Sengketa Medis. Fakultas Kedokteran Unissula Semarang. Jurnal
pembaharuan hukum 2017; 4 (1).
4. Aprilianto S. Peran Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI) Terhadap Dugaan Kelalaian Medis Dokter. Fakultas Hukum
Universitas Airlangga. Yuridika 2015; 30 (3).
5. Ronoko KGY. Pertanggungjawaban Dokter Atas Tindakan Malpraktek Yang
Dilakukan Menurut Hukum Positif Indonesia. Lex crimen 2015; 4(5).
6. Luthan S. Asas dan kriteria kriminalisasi. Jurnal Hukum. Vol 16. No. 1.
Januari 2009.p 1-17
7. Kristanti FN, Purwanti NP. Kriminalisasi profesi dokter. Bali: Program
Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana. p. 1-5
8. Isfandyarie A. Tanggung jawab hukum dan sanksi bagi dokter. Jakarta:
Prestasi Pustaka; 2006.
9. Hari kesadaran hukum kedokteran, ada 3 catatan kriminalisasi dokter. Cited
from internet [20 Februari 2019] Publish on Juni 2018. Available from:
https://www.jawapos.com/kesehatan/30/06/2018/hari-kesadaran-hukum-
kedokteran-ada-3-catatan-kriminalisasi-dokter
10. Kasus dr Ayu, ini kronologi dokter vs mahkamah agung. Cited from internet
[February 2019] Publish on November 28th 2018. Available from:
https://www.viva.co.id/berita/nasional/462229-kasus-dr-ayu-ini-kronologi-
dokter-vs-mahkamah-agung
11. Widiyani H. Analisis pertanggung jawaban pidana dokter (studi putusan
Mahkamah Agung No 365K/Pid/2012). USU Law Journal, Vol. 4. No. 4.
Oktober 2016. p 107-115.
12. Batubara Airini Sonya dkk. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam
Penanganan Tindak Pidana di Bidang Tindak Medik. Usu Law Journal, (4)(1).
13. Wiriadinata Wahyu. Dokter, Pasien dan Malpraktik. Mimbar Hukum
(26)(1).Jakarta;2014.
14. Hoediyanto.Ilmu kedokteran forensic dan medikolegal.fakultas kedokteran
universitas airlangga.Ed 8.Surabaya:2012.

Anda mungkin juga menyukai