Anda di halaman 1dari 21

JOURNAL READING

Helicobacter pylori and Gatric Cancer: Factor That Modulate


Disease Risk

Disusun oleh :

Amri Ashshiddieq

1810221009

Pembimbing :

dr. Hascaryo Nugroho, SpPD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN PENYAKIT DALAM

RSUD AMBARAWA KABUPATEN SEMARANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN ‘VETERAN’ JAKARTA

2019
LEMBAR PENGESAHAN

JOURNAL READING

Helicobacter pylori and Gatric Cancer: Factor That Modulate


Disease Risk

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Kepanitraan Klinik Bagian Ilmu Pemyakit Dalam

Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun oleh :

Amri Ashshiddieq

1810221009

Telah disetujui dan disahkan oleh :

Dokter pembimbing,

dr. Hascaryo Nugroho, SpPD


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Journal Reading yang berjudul
“Helycobacter pylori and Gastric Cancer; Factor that Modulate Disease Risk ”. Laporan
ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit
Dalam.

Penyusunan laporan ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang turut
membantu terselesaikannya laporan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Hascaryo Nugroho, SpPD
selaku pembimbing dan seluruh teman kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam atas
kerjasamanya selama penyusunan laporan ini.

Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna
perbaikan yang lebih baik. Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri,
pembaca maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Ambarawa, Januari 2019

Penulis
Helycobacter pylori dan Kanker Gaster ; Faktor yang
Memengaruhi Perjalanan Penyakit

ABSTRAK

Ringkasan: Helycobacter pylori adalah patogen gaster yang berkolonisasi pada


sekitar 50% populasi dunia. Infeksi H. pylori menyebabkan inflamasi kronik dan
meningkatkan risiko terjadinya ulserasi gaster, duodenum, dan kanker gaster.
Infeksi H. pylori merupakan faktor yang paling dikenal sebagai faktor risiko
terjadinya kanker gaster, merupakan penyebab kedua kematian di dunia akibat
kanker. Ketika H.pylori berkolonisasi pada gaster, mikroorganisme tersebut akan
tetap berkolonisasi seumur hidup, diperkirakan karena respon imun tidak efektif
membasmi bakteri. Dalam pembahasan ini, akan dibahas mengenai respon imun
host dan memeriksa faktor host lain yang meningkatkan bakteri, termasuk
polimorfisme host, hubungannya dengan kompleks apical-junctional, dan faktor
lingkungan.

PENDAHULUAN

Kurang dari 3 dekade yang lalu, Robin Warren dan Barry Marshall
mengidentifikasi Helicobater pylori dengan melakukan kultur organisme dari
biopsi gaster (196). Pada tahun 1994, H. pylori dikenal sebagai karsinogen tipe I,
dan saat ini dianggap sebagai agen etiologi tersering yang mengakibatkan kanker.
Pada tahun 2005, Marshall dan Warren mendapat hadiah nobel atas penemuan
bakteri ini dan peranannya terhadap kejadian ulserasi gaster.

H. pylori merupakan bakteri patogen gram negatif yang secara selektif


berkolonisasi di epitel gaster. Jenis bakterinya adalah urease, katalase, dan oksidase
positif, bentuk spiral, dan memiliki 3-5 flagella yang digunakan untuk motilitas.
Sebagian besar strain H. pylori memiliki virulensi yang memengaruhi host cell
signalling pathway. Karakteristik dari H. pylori adalah, dapat berada pada
lingkungan gaster selama beberapa puluh tahun pada lingkungan asam, karena
ketidakmampuan host untuk mengeliminasi infeksi. Tidak seperti virus dan bakteri
lain, H. pylori memiliki kemampuan untuk berkolonisasi pada lingkungan asam
dengan memetabolisme urea menjadi amonia menggunakan urease, yang
mengakibatkan lingkungan netral yang menyelimuti bakteri (332).

Sekitar 50% populasi dunia terinfeksi H. pylori, dan sebagian besar individu
mengalami inflamasi kronik. Sebagian besar, infeksi H. pylori tidak menimbulkan
gejala (242). Akan tetapi, carrier H. pylori dalam jangka waktu lama, meningkatkan
risiko timbulnya penyakit saluran cerna. Kurang lebih 10% berkembang menjadi
ulserasi lambung, 1-3% adenokarsinoma gaster, dan <0.1 % mengalami mucosal
associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma (244). Tahap awal MALT dapat
diobati dengan eradikasi H. pylori dan oleh karena itu dianggap sebagai lesi klonal
awal yang dapat dielminasi dengan pengobatan antibiotik (294).

Terdapat perdebatan mengenai hubungan antara infeksi H. pylori dengan kejadian


kanker gaster, akan tetapi beberapa penelitian saat ini membuktikan bahwa infeksi
H. pylori secara signifikan meningkatkan risiko kejadian kanker gaster (319).
Uemura dkk (319) melaporkan bahwa kanker gaster terjadi pada 3% individu yang
terinfeksi. Eradikasi H. pylori secara signifkan dapat menurunkan risiko kanker
gaster.

Meskipun H. pylori dapat ditemukan di seluruh negara, kolonisasinya lebih tinggi


pada negara berkembang dibandingkan negara maju. Sebagian besar terinfeksi
sejak masa kanak-kanak melalui transmisi fekal-oral atau oral-oral. Akibat infeksi
bergantung pada strain bakteri, respon inflamasi host, dan lingkungan. Semua
faktor tersebut akan memengaruhi interaksi antara patogen dan host.

Kanker gaster

Hampir 1 juta kasus kanker gaster didiagnosa tiap tahunnya, penyakit ini adalah
peringkat nomor 4 kejadian kanker di dunia. merupakan penyebab kedua terbanyak
kanker yang berhubungan dengan kematian, sekitar 700.000 orang menderita
adenokarsinoma gaster setiap tahunnya. Pada beberapa wilayah di dunia,
karsinoma gaster merupakan keganasan tersering, di Jepang, insidens kanker gaster
10 kali lipat dibandingkan Amerika Serikat. Biasanya, diagnosis kanker gaster
terlambat karana gejala awal yang minimal, sering pasien terdiagnosa setelah
kanker menyebar ke muskularis propria. Ini merupakan salah satu penjelasan
mengapa angka harapan hidup 5 tahun di Amerika serikat kurang dari 15 %.

Gambar 1. Beberapa faktor yang menyebabkan karsinoma gaster

Secara histologi , terdapat dua jenis karsinoma gaster yang telah diidentifikasi: tipe
difus, merupakan bentuk sel kanker yang tidak membentuk struktur glandular, dan
tipe intestinal (56). Tipe intestinal ditandai dengan adanya transisi mukosa normal
menjadi gastritis superfisial, diikuti dengan gastritis atrofi dan metaplasia
intestinal, berlanjut menjadi displasia dan metaplasia (55,289). Kanker jenis
intestinal dua kali lebih sering menyerang pria dibandingkan wanita dengan usia
rata-rata 50,4 tahun dan pada wanita 47.7 tahun (59, 128). Kanker yang menyerang
bagian korpus cenderung mengakibatkan penurunan sekresi asam lambung,
sebaliknya kanker pada antrum mengakibatkan peningkatan sekresi asam lambung,
mengakibatkan ulserasi duodenum, yang menurunkan risiko terjadinya kanker
gaster (23).
Faktor Virulensi H. pylori

cag PAI

Akibat dari keberagaman H. pylori, faktor virulensi bakteri memegang peranan


penting dalam menentukan keluaran penyakit akibat infeksi H. pylori. Cag
pathogenicity island (cag PAI) merupakan insersi DNA 40-kb yang mengandung
27-30 gen yang diapit langsung 31-bp dan mengkode protein yang paling sering
diteliti pada H. pylori, CagA (7,43,60). CagA dikenal pada awal 1990-an, dan
ekspresi gen tersebut ditemukan berhubungan kuat dengan ulserasi gaster (62,67).
Oleh karena hubungannya dengan klinis penyakit, cag PAI dikenal sebagai
determinan virulensi H. pylori dan sering digunakan sebagai indikator terhadap
keberadaan seluruh cag PAI.

Sekitar 60-70% strain H. pylori barat dan sekitar 100% strain Asia timur
mengekspresikan CagA(10, 43, 310). Meskipun strain H. pylori menginduksi
gastritis, strain yang mengandung cag PAI (cag+) meningkatkan risiko gastritis
berat, gastritis atropi, dan kanker gaster distal dibandingkan dengan dengan strain
yang sedikit mengandung cag island (cag-deficient mutants( 34, 62, 67, 68, 167,
240, 245, 252, 265, 287, 311, 325). Setidaknya 18 gen cag mengkode komponen
bakteri tipe IV yang berfungsi mengekspor protein bakteri menembus membran
bakteri dan memasukannya ke dalam epitel host.

CagA

Strain H. pylori sering dibedakan menjadi cagA postive dan cagA negatif,
tergantung ada tidaknya gen terminal yang memproduksi cag island, CagA. Protein
CagA H. pylori adalah protein dengan 120-140 kDa, ditranslokasikan kepada sel
host dengan sistem sekresi cag tipe IV setelah penempelan bakeri. Ketika materi
tersebut sudah masuk dalam sel host, CagA merukakan tyrosin terfosforilasi pada
glutamat-proline-isoleusin-tyrosine-alanine (EPIYA) dan menginduksi perubahan
morfologi sel, dikenal dengan “the hummingbird phenotype” yang dihubungkan
dengan peningkatan migrasi seluler (20,226, 279, 292, 293).
Saat ini, membedakan motif EPIYA (EPIYA A-A, -B, -C, dan -D) berdasarkan
polimorfik CagA pada karbon terminal, dan dibedakan pada jenis asam amino yang
mengelilingi EPIYA (128, 134, 215). EPIYA A-A dan -B ditemukan di seluruh
dunia, sedangkan EPIYA-C sering ditemukan hanya pada negara-negara barat
(Eropa, Amerika Utara, Australia). EPIYA-D secara ekslusif ditemukan di Asia
Timur ( Jepang, Korea Selatan, dan China), dan strain ini menginduksi interleukin-
8 dari epitel gaster lebih besar dibanding dengan strain lain (19, 128).

CagA phosphorylation-dependent host cell signalling. Ketika CagA mengalami


fosforilasi oleh AbI dan SRC kinase, phospo-CagA berinteraksi dengan efektor
intraseluler. Phospo-CagA mengaktivasi tyrosin eukariotik phosspatase (SHP-2),
menginduksi aktivasi sinyal extracelluler signal-regulated kinase 1 dan 2
(ERK1/2), Crk adaptor (133), dam C-terminal kinase pada tyrosine
phosphorilation-dependent pada tipe Asia timur A-B-D brikatan lebih kuat
terhadap SHP-2 dibandingkan tipe A-B-C (133). Interaksi fosfoCagA dengan C-
terminal SRc kinase secara cepat mengaktivasi feedback negatif untuk menurunkan
sinyal Src (315).

Pada adenokarsinoma pada manusia (AGS), translokasi dan fosforilasi subsequent


CagA mengakibatkan “hummingbird phenotype”, fenotip yang dihubungkan
dengan elongasi sel dan hamburan sel (209, 279). Pada sel AGS, interaksi antara
phospo-CagA dan SHP-2 meningkatkan durasi aktivasi ERK (132). Interaksi antara
CagA dan SHP-2 juga mendefosforilasi dan menginaktivasi focal adhesion kinase
(FAK), mengakibatkan elongasi sel (316). CagA terfosforilasi menginduksi
elongasi sel dengan menginduksi defek pada sel retraksi. Aktivitas katalitik oleh c-
Src dihambat oleh CagAterfosforilasi, mengakibatkan defosforilasi tyrosin pada
actin binding protein cortactin, ezrin, dan vinculin, memicu elongasi sel (208, 280,
281).

CagA phosphorylation-independent host cell signaling. CagA tak terfosforilasi


juga mempunyai efek terhadap patogenesis penyakit. Translokasi, namun tanpa
fosforilasi, CagA mengakibatkan aktivasi β-katenin, gangguan apical-juntional
complex, dan kehilangan polaritas sel (13, 27, 101, 212, 269, 303). CagA tak
terfosforilasasi menyasar protein sel adhesi, E caderin, hepatocyte growth factor c-
Met, phospolipase C gamma (PLC-γ), protein adaptor Grb2, dan kinase
partitioning-defective 1b/microtubule affinity-regulating kinase (PAR1b/MARK2)
(53, 205, 212, 269), memicu respon proinflamasi dan mitogenik, kerusakan cell-
junction, dan kehilangan polaritas sel. CagA nonfosforilasi berhubungan dengan
epitel tigh junction protein zonula occludens 1 (ZO-1) dan protein transmembrane
junctional adhesion molecule A (JAM-A), memicu timbulnya perlekatan pada
lokasi ektopik penempelan bakteri (13). Saat ini, CagA, menunjukkan perlekatan
PAR1b/MARK2, pusat regulator polaritas sel, dan menghambat aktivitas kinase
sehingga mengganggu pembentukan spindel mitosis, mengakibatkan sel kehilangan
polaritas (179, 269, 320).

CagA merupakan jenis protein H. pylori, saat ini, protein tersebut adalah satu-
satunya efektor protein bakteri yang dikenal mengalami translokasi oleh sistem
sekresi Cag tipe IV. Terdapat bukti bahwa fungsi CagA sebagai onkoprotein pada
mamalia. Meskipun, model eksperimental saat ini tidak semuanya dapat menjawab
dan menjelaskan fenomena ini.

Peptidoglycan

Selain CagA, sistem sekresi cag dapat melepaskan peptidoglikan kepada sel host.
Peptidoglikan berinteraksi dengan molekul pengenal intraseluler sel host, Nod1,
yang berperan sebagai sensor untuk komponen peptidoglikan yang berasal dari
bakteri gram negatif. Interaksi antara peptidoglikan H. pylori dengan Nod1 memicu
aktivasi NF-kB-dependent respon proinflamasi, memicu sekresi IL-8 (323) atau β-
defensin-2 (37). Translokasi peptidoglikan H. pylori dapat megaktivasi rangkaian
sinyal intraseluler yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker gaster.
Translokasi peptidoglikan H. pylori dapat mengaktivasi PI3K-AKT, yang dapat
menurunkan apoptosis dan meningkatkan migrasi sel (214).

VacA Toxin

Lokus H. pylory berhubungan dengan peningkatsn risiko vacA, sebuah gen yang
mengkode sekresi toxin VacA (61,64, 247, 276). VacA dikenal sebagai protein
sitotoksin yang menginduksi vakuolasi intraseluler (173). VacA menekan respon
sel T terhadap H. pylori, yang dapat memperpanjang waktu infeksi (35, 111, 299).

Gen vacA ditemukan pada sebagian besar strain H. pylori, meskipun dianggap
berbeda pada aktivitas vakuolisasi. Variasi ini mengakibatkan variasi struktur gen
vacA dalam regio signal (s), middle (m), dan saat ini ditemukan juga regio
intermediate (i), yang terletak antara regio s dan m (259). Regio s dibagi lagi
menjadi s1 dan s2, dan mengkode komponen sinyal peptide dan terminal N untuk
maturasi protein. Regio M secara parsial mengkode subunit C-terminal 55-kDa dan
diklasifikasikan menjadi tipe m1 dan m2, vacA s1/m1 menginduksi vakuolisasi
lebih besar dibandingkan s1/m2, dan tidak ada aktivitas vakuolisasi pada s2/m2
(24,61, 259, 321). Pada populasi orang barat, allele vacA s1m1 dihubungkan
dengan ulserasi duodenum, lambung, dan kanker gaster (24, 25, 203). Strain Asia
Timur hampir sebagian besar adalah vacA s1/m1 dan diperkirakan tidak
berhubungan dengan keluaran spesifik. Terdapat 2 subtipe regio , i1 da i2, regio i
memerankan peranan dalam aktivitas vakuolisasi, karena strain vacA s1/il/m2
adalah tipe vakuol dan vacA s1/i2/m2 tidak menginduksi vakuolisasi. Semua allel
s1/m1 vacA adalah tipe i1, semua s2/m2 adalah tipe i2, dan s1/m2 dapat merupakan
i1 atau i2 (259).

Saat ini, delesi pasangan basa 81 antara regio m dan i diidentifikasi sebagai regio
d, stari d1 tidak mengalami delesi, sedangkan strain d2 mengandung 69-81 delesi
pasang basa. Sebagian kecil strain wester, namun tidak pada strain Asia, vacA d1
secara signifikan berhubungan dengan infilrasi neutriful dan atrofi mukosa gaster,
membuat genotipe regio d meerupakan lokus yang berisiko menjadi kanker atau
ulserasi gaster pada strain barat (229).

Efek VacA terhadap sel host, sama dengan bagian yang disandi oleh cag PAI, vacA
memberikan efek multipel pada struktur epitel sel yang mengakibatkan gangguan
fungsi barrier epitel gaster dan modulasi respon inflamasi. Efek lain vacA termasuk
gangguan kompartemen endosom, mengakibatkan terbentuknya vakuol in vitro
(172, 237), dan menyasar mitokondria, memicu potensial membran mitokondria,
sekresi sitokrom c, aktivasi kaspase-8, dan kaspase-9, dan induksi apoptosis in vitro
(63, 107, 190, 243, 336).
Satu diantara resesptor VacA berikatan dengan epitel gaster adalah reseptor tipe
tirosyne fosfatase RPTPβ. Reseptor ini mengatur proliferasi, diferensiasi, dan
adhesi sel, yang memegang peranan penting dalam ulserogenesis (105). Pemberian
acid-activated secara peroral dan kemudian menetralisasi VacA menjadi wild -type
RPTPβ+/+ memberikan efek yang besar terhadap epitel gaster. Dalam 2 ahri
pemberian VacA, dapat terjadi perdarahan hebat di gaster, berlanjut menjadi
ulserasi dan kemudian atrofi gaster. Sebaliknya, pada tikus yang mendapatkan
RPTPβ-/- justru resisten terhadap kerusakan gaster (105). Kultur sel yang mendapat
RPTPβ-/- dan RPTPβ+/+, VacA sama-sama menginduksi vakuolisasi. Akan tetapi,
hanya, sel yang mendapat RPTPβ+/+ terpisah dengan Matrigel sebagai respon
terhadap VacA, menunjukan bahwa VacA menginduksi ulserasi gaster melalui
sinyal RPTPβ, bukan vakuolisasi (99).

cagA dapat menurunkan efek VacA pada vakuolisasi sel host, dan sebaliknya,
VacA menurunkan aktivitas CagA (232, 308). Tyrosine-phophorilated CagA
memblok aktivitas VacA, mencegah VacA mencapai target intraselulernya dan
menginduksi pembentukan vakuol. Melalui mekanisme yang berbeda, antagonis
CagA tak terfosforilasi mencegah vakuolisasi dengan memblok aktivitas VacA
pada mitokondria (232). Sebaliknya, VacA melawan efek CagA pada sebaran sel
dan elongasi dengan menginaktivasi epidermal growth factor receptor (EGFR) dan
HER2/Neu, yang menekan aktivitas ERK1/2 mitogen-activated protein (MAP)
kinase dan hummingbird phenotype (308). Temuan ini menjadi titik terang dalam
menjalaskan mekanisme H. pylori dapat menghindar dari induksi dan kerusakan
seluler dan tetap bisa berkolonisasi dalam gaster dalam jangka waktu yang lama.

Adehsi dan OMPs

Adhesi H. pylori pada epitel gaster memicu kolonisasi, infeksi persisten, dan
menghantarkan faktor virulensi pada sel host. Sebagian kecil strain H. pylori
mengkode Outer Membrane Proteins (OMPs), lebih banyak dibandingkan bakteri
spesies lain. Ekspresi OMP dihubungkan dengna kejadian kanker gaster.

BabA. Blood group antigen binding adhesian (BabA) dikode dari gen babA2, yang
berikatan dengan fucosylated Lewis pada permukaan epitel gaster dan merupakan
jenis OMP yang banyak diteliti pada H. pylori. (36,113, 143). Adhesi BabA terjadi
sebagai respon pada glikosilasi sehingga mengakibatkan H. pylori dapat
beradaptasi dengan lingkungan gaster dan dapat berkolonisasi (22, 248).
Keberadaan babA2 dihubungkan dengan ulserasi duodenum dan kanker gaster, dan
apabila ditemukan juga cagA dan vacA s1, dapat meningkatkan kemungkinan
kejadian sakit yang lebih hebat (113).

SabA dan OipA. Sialic acid-binding adhesion (SabA) adalah adhesin yang
berikatan dengan struktur karbohidrat Sialyl-Lewis, suatu antigen pada epitel
gaster, dan dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker gaster namun
menurunkan risiko ulserasi duodenal (354). Ekspresi Sialyl-Lewis diinduksi oleh
inflamasi gaster kronik. H. pylori menginduksi antigen sialyl dengan menginduksi
gen beta3 G1cNAc T5, tranferase yang esensial untuk sistesis antigen Lewis (95).
Aktivitas SabA juga dipegaruhi oleh lingkungan asam gaster (354).

H. pylori mengandung gen OipA fungsional dan non fungsional, keberadaan gen
OipA fungsional berhubungan dengan ulser duodenum, kanker gaster, dan
peningkatan infiltrasi neutrofil (102, 354). Ekspresi OipA meningkatkan IL-8, IL-
7, Tumor necrosis factor (TNF-α) dan inflamasi gaster (352). OipA juga
meningkatkan matrix metalloproteinase 1 (MMP-1), MMP berhubungan dengan
kejadian kanker gaster (347), inhibisi glycogen synthase kinase 3β (GSK 3β), dan
translokasi β-catenin (102). Akumulasi β-catenin pada nukleus mengakibatkan
pembentukan heterodimer dengan LEF/TCF dan aktivasi transkripsi gen
karsinogenesis.

DupA. Duodenal ulcer promoting gene (dupA) terletak pada zona plastisitas H.
pylori dan mungkin menjadi marker virulensi lain. Terjadi peningkatan risiko ulser
duodenum dan penurunan risiko kanker gaster pada orang dengan dupA positif
(178).

F1aA. H. pylori mempunyai flagella unipolar yang tersusun oleh 3 komponen;


badan, kail, dan filamen (112, 234). FiaA adalah subunit predominant, dan FiaB
adalah subunit minor. Mutasi FiaA mengakibatkan pemangkasan flagel dan
penurunan motilitas (149). FiaA dan protein lain dibutuhkan dalam pemasangan
flagela dan esesnsial untuk infeksi persisten (79, 157, 160). Tidak seperti flagelin
pada Salmonella atau patogen gram negatif lainnya, FiaA mempunyai efek
aktivitasi TLR-5 yang minimal, kondisi ini yang membuat H. pylori dapat
melakukan kolonisasi persisten dalam lambung (15, 114, 170).

Faktor Host

Polimorfisme Host yang Memegaruhi Perkembangan Kanker Gaster

IL-1β. Keberadaan H.pylori tidak menjadi penentu absolut apda virulensi, banyak
individu dengan infeksi bakteri ini tetap asimtomatik. Ini menunjukan bahwa faktor
host juga berpengaruh pada patogenesis penyakit. Faktor yang memengaruhi
perkembahan infeksi menjadi keganasan adaalah inflamasi gaster dan penurunan
sekresi asam lambung (81). Molekul efektor host berinteraksi baik dengan Th1 dan
Il-8, molekul peiotropik yang meningkat pada individu yang terinfeksi H. pylori
(222). Gen IL-1β, terdiri dari IL-1β dan IL-1RN, berhubungan dengan peningkatan
atau penurunan produksi IL-1β. Peningkatan ekspresi IL-1β meningkatkan kondisi
hipoklorida, atrofi gaster, dan adenokasrinoma gaster distal dibandingakan dengan
individu dengan ekskresi IL-1β yang minimal (82).

TNF-α. Adalah proinflamasi yang menekan keasaman lambung. Kadarnya akan


meningkat pada infeksi H. pylori. Polimorfisme yang meningkatkan ekspresi TNF-
α berhubungan dengan peningkatan risiko kanker gaster (83).

IL-10. Polimorfisme yang menurunkan produksi sitokin antiinflamasi


meningkatkan risiko kanker gaster, penurunan ekspresi lokus antiinflamasi IL-10
meningkatkan kejadian kanker gaster distal (82). Kombinasi efek IL-1β, TNF-α dan
IL-10 pada perkembangan kanker, terjadi peningkatan risiko kanker seiring dengan
meningkatnya jumlah sitokin proinflamasi, adanya polimorfisme ketiga faktor
tersebut meningkatkan risiko kanker 27x lipat dibanding populasi normal (83).

IL-8. Polimorfisme genetik yang memengaruhi respon imun cepat juga


berhubungan dengan kanker gaster. Ekspresi allel pada regio promoter kemokin IL-
8 meningkatkan risiko inflamasi hebat dan lesi premaligna. Polimorfisme
fungsional TLR4 juga meningkatkan atrofi gaster dan kanker gaster pada ras kulit
putih, mungkin berhubungan degan defisiensi produksi sitokin anti-inflamasi, IL-
10.

Strain cag+ menginduksi gastritis berat, memicu produksi sitokin proinflamasi IL-
1β dan TNF-α, tidak hanya meningkatkan inflamasi pada mukosa, akan tetapi juga
menghambat produksi asam. Kondisi ini membuat lingkungan yang kondusif untuk
pertumbuhan bakteri dan meningkatkan risiko kanker gaster.

COX-2. H. pylori juga mengaktivasi enzim cyclooxigenase (COX). COX


mengkatalisasi konversi asam arakidonat menjadi endoperoxide (PGH2), bagian
dari prostaglandin sintase yang mengkatalisasi pembentukan prostaglandin dan
eukosanoid lain (122). Prostaglandin mengatur banyak proses fisiologis, termasuk,
imunitas dan perkembangan (122). COX-1 diekspresikan oleh banyak jenis sel,
sedangkan COX-2 diinduksi dan dapat distimulasi oleh faktor pertumbuhan dan
sitokin proinflamaasi seperti TNF-α, IFN-γ, dan IL-1 (337). Kadar COX-2
meningkat pada individu yang terinfeksi H. pylori (150, 263). COX-2
meningkatkan lesi premaligna dan maligna, COX inhibitor seperti aspirin dan
NSAID jenis lain dapat menurukan kejadian kanker gaster distal. (8,92). H. pylori
juga mengaktivasi phospolipase A2, enzim yang mengkatalisasi pembentukan
prostaglandin (217, 249). COX-2 menstimulasi proliferasi dan inhibisi apoptosis,
memicu adhesi seluler, stimulasi angiogenesis, dan transformasi seluler (229, 231).

Gambar 2. Hubungan antara H. pylori, inflamasi, dan sekresi asam


Sekresi Asam

Gastrin, asetilkolin, dan histamin merupakan stimulan utama sekresi gaster. Pada
korpus gaster, gaster berperan langsung pada sel parietal dan secara tidak langsung
melalui pengeluaran histamin dari sel ECL, sehingga mengaktivasi reseptor
histamine-H2 pada sel parietal dan memicu pengeluaran asam. Asetil kolin berperan
secara langsung pada reseptor M3 pada sel parietal dan secara tidak langsung
melalui sekresi histamin dari ECL dan inhibisi somatostatin dari sel D (277).

H. pylori dapat menghambat atau menstimulasi sekresi asam, tergantung konteks


infeksi. Pada infeksi akut biasanya berhubungan dengan hipoklorida sebagai akibat
dari peningkatan produksi sitokin proinflamasi IL-1β dan inhibisi H+K+ATPase α-
subunit (277). VacA juga menginduki hipoklorida dengan protein ezrin,
mengganggu interaksi apical membrane-cytoskeleton pada sel parietal gaster yang
dibutukan untuk translokasi H+K+ATPase untuk sekresi asam (329). H. pylori juga
menurunkan sekresi asam melalui penekanan H+K+ATPase α-subunit dengan
ERK1/2.

Infeksi kronik H. pylori mengakibatkan hipoklorida atau hiperklorida, tergantung


beratnya dan distribusi gastritis. Sebagian besar pasien yang terinfeksi H. pylori
dalam jangka waktu lama akan mengalami pangastrtis akibat dari hypochlorida,
berlanjut menjadi ulserasi gaster dan atau adenokarsinoma. Sebaliknya, gastritis
dengan predominan antrum terjadi pada 12% pasien yang terinfeksi H. pylori kronis
, dicirikan dengan kondisi hiperklorida, dapat mengakibatkan ulserasi duodenum
(23).

Cedera Oksidatif

Faktor yang bekontribusi pada proses inflamasi menjadi bentuk keganasan adalah
stres oksidatif. Kerusakan DNA oksidatif yang diinduksi oleh infeksi H. pylori
akibat infiltrasi neutrofil dan kerusakan DNA. Pembentukan spesies oksigen reaktif
pada epitel gaster juga mengakibatkan disfungsi sel, berhubungan juga dengan
keberadaan cag PAI (72).
Sebagaiamana yang telah dibahas sebelumnya, polyamine juga mempunyai
peranan dalam patogensis infeksi H. pylori. Aspek spesifik bahwa oksidasi
poliamine oleh ezim spermine oxidase (SMO), diinduksi oleh upregulasi SMO pada
sel epitel gaster, mengakibatkan terbentuknya H2O2 (350). Beberapa metabolitnya
seperti radikal hidroksil (OH-), dapat merusak makromolekul sel, termasuk DNA.
Inhibisi atau small interfeing RNA (siRNA) SMO memblokir apoptosis dan
mengakibatkan kerusakan DNA pada sel epitel gaster (350).

Peran Respon Imun Host terhadap Karsinogenesis pada Infeksi H. pylori.

Imunitas bawaan. Imunitas bawaan merujuk pada respon yang tidak


membutuhkan paparan sebelumnya dan berperan sebagai mekanisme pertahanan
pertama terhadap respon patogen. Aktivasi non spesifik dengan stimulus dari
mikroorganisme dapat memicu efek antimikroba penting tapi juga dapat
mengakibatkan inflamasi dan luka karena pengeluaran mediator inflamasi seperi
sitokin, reactive oxygen species, dan nitrit oxide (NO).

Imunitas didapat. Imunitas didapat dianggap sebagai respon untuk mengantisipasi


stimulus imunologi yang pernah terpajan sebelumnya. Jadi, responnya lebih
spesifik terhadap patogen tertentu dan melibatkan memori imunologi. Meskipun
hubungan antara imunitas bawaan dan didapat masih belum jelas, seperti stimulasi
antigen presenting macrophages dan dendritic cells (DCs) mengakibatkan aktivasi
dan rekruitment limfosit dan perkembangan sel T-helper menjadi respon imun yang
lebih spesifik.

Perbedaan antara TH1 melibatkan ekspansi klonal akibat peran reseptor sel T (213).
Sel ini dipercaya akan berdiferensiasi menjadi CD4+, disebut sebagai sel TH1 yang
memproduksi sitokin termasuk IFN-γ dan IL-2 dan sel TH2. Yang memproduksi
sitokin IL-4, IL-5, IL-10, dan IL-13 (91). Sel Th1 mengaktifkan cell-mediated
immunity, untuk melawan parasit intraseluler, sedangkan Th2 berhubungan dengan
respon imunitas humoral dan proteksi terhadap cacing (213).
Respon Imun terhadap H. pylori

H. pylori menginduksi baik respon imun humoral maupun seluler. Respon antibodi
lokal dan sistemik termasuk IgA, IgM dan IgG (67, 255, 349). Studi pada hewan
coba menunjukkan bahwa imunisasi dengan antigen H. pylori dapat menginduksi
imunitas protektif (194).

Makrofag. Makrofag sangat esensial sebagai respon awal terhadap H. pylori.


Monosit dan makrofag penting sebagai respon imun terhadap patogen, dan dalam
kasus ini H. pylori, ini merupakan aktivator DC, imunitas bawaan dengan
memproduksi faktor seperti IL-12 (124, 201, 202), yang menstimulasi sel TH1,
mengakibatkan produksi sitokin inflamasi seperi IFN-γ (124, 201, 202).
Neutrophil-activating protein (NAP) H. pylori mengakibatkan polarisasi sel Th1
dengan menstimulasi sekeresi IL-12 dan IL-23 dari neutrofil dan monosit (11).
Produksi IL-12 pada mukosa gaster berhubungan dengan ulserasi gaster pada
infeksi dengan strain H.pylori cagA-positif . Makrofag juga terlibat dalam
amplifikasi respon inflamasi dengan produksi sitokin IL-1, TNF-α, dan IL-6 (115,
127, 189). Aktivasi IL-6 dihubungkan dengan aktivasi TLR4, MAP kinase, dan NF-
kB (241).

Sel T. Akivasi sel T oleh antigen spesifik menlibatkan ekspresi molekl , dan CTLA-
4 menghambat proses ini. Pada kasus infeksi H. pylori, fungsi inaktivasi sel T
mungkin berhubungan dengan ekspresi CTLA-4 pada permukaan sel T dan
mencegah kostimulasi ketika APCs mengaktivasi sel T (16). Blokade CTLA-4
mengakibatkan peningkatan aktivasi sel T dan menurunukan kolonisasi H.pylori
pada hewan coba. H. pylori dapat menghambat proliferasi limfosit (111, 202).

Sel B. Sel B dapat memproduksi antibodi spesifik antigen, sel B juga dapat
memproduksi antibodi autoreaktif yang mungkin patogenik (351). Peran interaksi
sel B dan sel T pada respon imun masih dalam penelitian.
Gambar 3. Peran sekresi iNOS oleh makrofag dan produksi NO pada infeksi H. pylori

Kompleks Apical-Junctional

Fungsi perlindungan mukosa gaster mencegah akses zat berbahaya mencapai


mukosa gaster. Terdapat gangguan fungsi ini pada infeksi H. pylori (298).
Kompleks apical-junctional, terdiri dari tight junction, terletak pada lokasi paling
superfisial, dan adherence junction yang teletak di bawahnya.

Gambar 4. Disregulasi kompleks apical-juctional pada infeksi H.pyloris


Transformasi seluler menjadi bentuk keganasan

Pemeliharaan integritas jaringan membutuhkan proliferasi dan laju apoptosis sel.


Pada infeksi H. pylori terdapat nekrosis epitel (210). H. pylori memicu terjadinya
apoptosis melalui berbagai mekanisme (63, 88, 138, 139, 147, 266, 327, 330).
MMP-7 adalah matrix metaloproteinase yang dieksresikan oleh sel epitel (57).
Ekspresi berlebih MMP-7 terjadi pada lesi premaligna dan maligna (2, 135, 147,
199, 270, 283, 355).

Gambar 4. Mekanisme apoptosis makrofag akibat infeksi H. pylori

Faktor Lingkungan

Peran Garam terhadap Risiko Kejadian Adenokarsinoma Gaster

Risiko karsinoma gaster tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik H. pylori dan
determinan genetik host, akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Konsumsi garam dalam jumlah tinggi dapat meningkatkan kejadian kanker gaster
(56, 104, 313). Terdapat laju inflamasi gaster yang lebih berat pada populasi yang
mengkonsumsi kadar garam tinggi dibandingkan dengan konsumsi garam dalam
kadar normal. Terdapat peningkatan sitokin proinflamasi seiring dengan
meningkatkan jumlah konsumsi garam, melalui peningkatan ekspresi IL-1β epitel
gaster. Garam yang tinggi dalam darah juga menurunkan ambang transformasi sel
menjadi bentuk ganas.

Infeksi Cacing

Koinfeksi cacing juga mempunyai efek terhadap keluaran penyakit pada individu
yang terinfeksi H. pylori. Infeksi cacing dapat menurunkan derajat inflamasi oleh
H. pylori, hal ini karena terjadi penurunan respon Th1 dan peningkatan sitokin Th2
(98).

Konsumsi Antioksidan

Terdapat peningkatan regresi lesi praneoplastik pada terapi eradikasi H. pylori


dengan penambahan pemberian vitamin C dan β-carotene. Meskipun terdapat juga
penelitian yang menyatakan tidak ada hubungan antara konsumsi antioksidan
dengan kejadian keganasan gaster. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
menentukan apakah konsumsi antioksidan mempunyai efek protektif terhadap
kejadian kanker gaster pada individu yang terinfeksi H. pylori.

Rokok

Merokok dapat meningkatkan kejadian kanker gaster pada individu yang terinfeksi
H. pylori.

KESIMPULAN

Kanker gaster merupakan penyakit yang mematikan., penegakan H.pylori sebagai


faktor risiko terhadap kejadian malignansi memberikan pendekatan dalam
identifikasi peningkatan risiko, meskipun infeksi oleh mikroorganisme ini sangat
banyak kita jumpai, dan banyak individu yang tidak berkembang menjadi kanker.
Oleh karena itu, teknik untuk mengidentifikasi subpopulasi dengan risiko tinggi
harus menggunakan marker biologi lain. Studi saat ini menunjukan bahwa kanker
merupakan sumasi dari polimorfik alami dari populasi bakteri pada sel host, genotip
host, paparan lingkungan, masing-masing memengaruhi interaksi jangka panjang
antara H. pylori dan manusia. Alat analisis saat ini, termasuk sekuen genom, fenotip
terukur, penelitian dengan hewan uji, bisa menjadi dasar dalam penelitian terkait
hubungan infeksi H. pylori dengan neoplasia, yang diharapka juga mempunyai
aplikasi klinis langsung. Sebagai contoh, individu dengan polimorfisme
berhubungan dengan peningkatan kadar IL-1β dan individu dengan cag+ akan
mempunyai keuntungan lebih dengan terapi eradikasi H. pylori. Sangat penting
untuk menggali patogenesis infeksi H. pylori menjadi adenokarsinoma, tidak hanya
untuk mengembangkan pengobatan yang lebih efektif, akan tetapi juga mungkin
dapat memberikan paradigma peran inflamasi kronik sebagai awal dari bentuk
keganasan sistem pencernaan.

Anda mungkin juga menyukai