Anda di halaman 1dari 34

SINDROM NEFROTIK

Definisi

Sindrom nefrotik merupakan keadaan klinik yang meliputi proteinuria massif,


hypoalbuminemia, hyperlipemia dan edema.

Kelainan tersebut dapat terjadi sebagai :

1. Penyakit primer yang dikenal dengan nama nefrosis idiopatik, nefrosis masa kanak-kanak
atau sindrom nefrotik dengan perubahan minimal (MCNS; minimal-change nephrotic
syndrome)
2. Gangguan skunder yang terjadi sebagai manifestasi klinis setelah atau menyerta kerusakan
glomerulus yang disebabkan oleh etiologi yang diperkirakan atau diketahui
3. Bentuk kongenital yang diturunkan sebagai kelinan autosomal-resesif.

Sindrom nefrotik ditandai dengan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap


protein plasma yang mengakibatkan kehilangan protein yang massif melalui urine. Glomerulus
bertanggung jawab dalam tahap awal pembentukan urine, dan laju filtrasi bergantung pada
keuntungan membran glomerulus. Pembahasan ini akan difokuskan pada MCNS karena
persentase sindrom tersebut sebesar 80% dari semua kasus sindrom nefrotik.

Patofisiologi

Minimal Change Nefrotik Syndrome

Terjadi pada semua usia, tetapi terutama di jumpai pada anak usia 2 dan 7 tahun. MCNs
jarang terjadi pada anak-anak yang berusia kurang dari 6 bulan, tidak umum pada bayi yang
kurang dari satu tahun dan tidak lazim terjadi setelah usia 8 tahun. Anak laki-laki mempunyai
kecenderungan dua kali lipat mengalami MCNS.

Membrane glomerulus, yang secara normal tidak permeable terhadap albumin dan
protein lainnya, menjadi permeable terhadap protein, khususnya albumin, sehingga protein ini
merembes keluar melalui membrane glomerulus, dan dieksresikan ke dalam urine.
(hiperalbuminuria). Keadaan ini akan mengurangi kadar albumin dalam serum darah
(hypoalbuminemia) yang selanjutnya akan menekan tekanan osmotic koloid dalam kapiler
darah. Sebagai akibatnya tekanan hidrostaltik vascular melebihi tarikan osmotic koloid yang
menyebabkan cairan berkumpul dalam ruang-ruang intestinal (edema) dan rongga tubuh
terutama abdomen (asites). Perpindahan cairan dari plasma kedalam ruang-ruang intestinal
akan mengurangi volume cairan dalam pembuluh darah (hypoalbuminemia) yang selanjutnya
akan menstimulasi sisten renin-angiotensin dan sekresi hormone antidiuretic serta aldesteron.
Reabsorbsi natrium dan air dalam tubulus ginjal akan meningkat sebagai upaya ginjal untuk
meningkatkan volume intravascular.

EVALUASI DIAGNOSTIK

Diagnosis MCNS dicurigai terjadi berdasarkan riwayat penyakit dan manifestasi


klinisnya ( edema, proteinuria, hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolmia tanpa hematuria dan
hipertensi) pada anak-anak berusia 2 dan 8 tahun. Petunjuk utama MNCS adalah proteinuria
masif (>3+ pada pemeriksaan dipstik urine). Silinder hialin, benda-benda lemak berbentuk oval
dan beberapa sel darah merah dapat ditemukan dalam urine pada beberapa anak penderita
sindrom ini, meskipun gejala hematuria makroskopis jarang di jumpai. Biasanya laju filtrasi
glomerulus (glomelular filtration rate). Pada sindrom ini memiliki angka yang normal atau
tinggi.

Konsentarsi total protein serum adalah rendah dengan penurunan yang signifikan pada
kadar albumin serum dan peningkatan kadar lipid plasma. Biasanya nilai hemoglobin dan
hematrokit tetap normal atau meninggi. Jumlah trombosit dapat meningkat. Kadar natrium
serum mungkin rendah, biopsi ginjal mungkin diperlukan untuk membedakan antara tipe-tipe
sindrom nefrotik yang lain.

Manifestasi klinis

1. Kenaikan berat badan


2. Wajah tampak sembap (edema fasialis)
- Terutama di sekitar mata
- Tampak pada saat bangun di pagi hari
- Berkurang pada siang hari
3. Pembengkakan abdomen (asites)
4. Efusi pleura
5. Pembengkakan labia atau skrotum
6. Edema pada mukosa intestinal dapat menyebabkan
- Diare
- Anoreksia
- Absorpsi intestinal buruk
7. Pembengkakan pergelangan kaki/tungkai
8. Iritabilitas
9. Mudah letih
10. Letargik
11. Tekanan darah normal atau sedikit menurun
12. Rentan terhadap infeksi
13. Perubahan urine
- Penurunan volume
- Urine berbuih

Penatalaksanaan terapeutik

Tujuan penatalaksanaan terapeutik antara lain:

(1) Mengurangi eksresi protein ke dalam urine


(2) Mengurangi retensi cairan dalam jaringan
(3) Mencegah infeksi, dan
(4) Meminimalkan komplikasi yang berhubungan dengan terapi

Pembatasan diet mencakup diet rendah garam dan pembatasan cairan. Jika terjadi
komplikasi edema, terapi diuretik dapat dimulai untuk mengurangi edema sementara waktu.
Kadang-kadang infus albumin 25% diberikan.

Pada sebagian besar anak yang mendapatkan terapi ini, responnya akan terjadi dalam
tempo 7 hingga 21 hari. Sekitar dua pertiga anak yang menderita MCNS akan mengalami sakit
berulang yang awalnya diisertai dengan peningkatan kadar protein dalam urine. MCNS
berulang dapat didiagnosis secara dini jika orang tua sudah diajarkan cara melakukan
pemantauan protein urine yang rutin dengan metode dipstick. MCNS berulang ditangani
dengan pemberian ulang serangkaian terapi steroid dosis-tinggi. Efek samping pemberian
preparat steroid antara lain kenaikan berat badan, wajah membulat, dan peningkatan selera
makan.

Komplikasi sindrom nefrotik antara lain, insufisiensi sirkulasi akibat hypovolemia, dan
tromboembolisme. Infeksi yang dapat terlihat pada anak sindrom nefrotik meliputi peritonitis,
selulitis, dan pneumonia; semua infeksi ini perlu diketahui dengan tepat dan ditangani secara
agresif dengan terapi antibiotic yang sesuai.
Prognosis.prognosis untuk kesembuhan akhir pada sebagian besar kasus adalah baik.
Penyakit ini bersifat sembuh sendiri dan pada anak-anak yang responsive terhadap terapi
steroid, kecendrungan terjadinya kekambuhan akan semakin berkurang dengan berlalunya
waktu.

Pertimbangan keperawatan
Pemantauan secara terus menerus terhadap retensi atau eksresi cairan merupakan fungsi
keperaatan yang penting. Pemasangan kantong penampungan urine sangat iriatif untuk kulit
edema yang mudah mengalami ruptur. Pemasangan popok atau bantalan penyerap urine
mungkin diperlukan
Metode lain dalam pemantauan dan perkembangan penyakit meliputi pemeriksaan
urine untuk mengukur jumlah albumin, pengukuran berat badan setiap hari dan pengukuran
lingkar perut. Pengkajian edema (mis., dengan memerhatikan pertambahan atau pengurangan
pembengkakan di sekitar mata dan pada bagian tubuh yang menggantung), derajat pitting
(pelekukan kulit di permukaan anterior tibia atau dorsalis pedis ketika ditekan) dan warna serta
tekstur kulit merupakan bagian dalam asuhan keperaatan. Tanda-tanda vital dipantau untuk
mendetksi tanda-tanda dini komplikasi seperti syok atau proses infeksi.
Infeksi merupakan sumber bahaya yang konstan bagi anak-anak yang mengalami
edema dan menerima terapi kostikosteroid. Terutama rentan terhadapa infeksi saluran nafas
atas sehingga harus dijaga tetap hangat dan kering, aktif serta dilindungi dari kontak dengan
orang-orang yang terinfeksi (yaitu teman sekamar, pengunjung, dan petugas rumah sakit)
Penurunan seleran makan yang menyertai nefrosis aktif menimbulkan masalah yang
membingungkan bagi para perawat. Biasanya garam dibatasi (tapi tidak dihilangkan sama
sekali) selama fase edema dan pembatasan cairan (jika diresepkan) dibatasi hanya dalam
jangka waktu pendek selama terdapat edema masif.
Anak-anak biasanya menyesuaikan aktivitas sesuai dengan tingkat toleransi mereka.
Meski demikian, mereka mungkin memerlukan bimbingan salam memilih jenis-jenis kegiatan
bermain. Aktivitas yang bersifat hiburan dan mengalihkan perhatian anak dari penyakitnya
merupakan bagian penting dalam perawatan anak.
Dukungan keluarga dan perawatan di rumah
Orang tua harus diajarkan cara mendeteksi tanda-tanda kekambuhan penyakit dan
menghubungi dokter secepat mungkin untuk mengganti pengobatan pada indikasi yang paling
dini. Perawatan di rumah lebih dianjurkan kecuali bila terjadi edema dan proteinuria berat atau
jika orang tua karena alasan tertentu, tidak sanggup meraata anaknya. Orang tua diajarkan
untuk memeriksa urine untuk medeteksi adanya albumin urine, memberikan obat dan
melaksanakan perawatan umum. Orang tua juga harus mendapatkan penjelasan bahwa anak
harus menghindari kontak dengan teman bermain yang menderita infeksi tetapi anak harus
tetap bersekolah.
Perjalanan remisi dan kekambuhan yang naik turun dengan gangguan periodik dalam
kehidupan keluarga akibat perawatan rumah sakit akan menimbulkan beban yang berat bagi
anak dan keluarganya baik secara psikologis maupun financial. Respons yang lebih
memuaskan akan diperoleh ketika kekambuhan dapat terdeteksi dan terapi dimuai secara dini,
keadaan remisi (bebas penyakit) akan berlangsung lebih lama jika instruksi medis dilaksanakan
dengan benar
THALASEMIA

DEFINISI

Istilah talasemia, yang berasal dari kata yunani thalassa dan memiliki makna "laut",
digunakan pada sejumlah kelainan darah bawaan yang ditandai dengan defisiensi pada
kecepatan produksi rantai globulin yang spesifik dalam hemoglobin.

Penyakit B-talasemia paling sering dijumpai diantara semua jenis penyakit talasemia
dan terdapat dalam tiga bentuk: bentuk heterozigot, talasemia minor/sifat pembawa talasemia,
yang menghasilkan anemia mikrositik ringan: talasemia intermedia, yang dimanifestasikan
dengan splenomegali dan anemia sedang hingga berat: dan bentuk homozigot, yakni
talasemia mayor (yang juga dikenal dengan nama anemia cooley), yang menimbulkan anemia
berat kemudian diikuti dengan gagal jantung dan kematian dalam awal masa kanak-kanak
jika tidak mendapat transfusi darah.

PATOFISIOLOGI

Hb pascanatal yang normal tersusun dari rantai polipeptida 2α- dan 2β-. Pada penyakit
β-Thalasemia terdapat defisiensi parsial atau total pada sintesis rantai –β dalam molekul Hb.
Sebagai akibatnya terdapat kompensasi berupa peningkatan sintesis rantai –α, sementara
produksi rantai –γ tetap aktif menghasilkan pembentukan Hb yang cacat. Unit polipeptida yang
tidak seimbang ini sangat tidak stabil; ketika terurai, polipeptida akan menghancurkan sel darah
merah, menghasilkan anemia berat.

Untuk mengimbangi proses hemolitik, akan dibentuk eritrosit dengan jumlah yang sangat
berlimpah kecuali jika fungsi sum-sum tulang disupresi melalui terapi transfuse. Zat besi yang
berlebihan akibat hemolisis sel darah merah tambahan dari transfuse dan akibat penghancuran
sel-sel cacat yang cepat akan disimpan dalam berbagai organ tubuh.

MANIFESTASI

ANEMIA (SEBELUM DIAGNOSE DITEGAKKAN)


 Demam yang penyebabnya tidak bisa dijelaskan
 Pola makan yang buruk
 Limpa sangat membesar
DENGAN ANEMIA PROGRESIF
 Ada tanda hipoksia kronis
 Sakit kepala
 Nyeri precordial dan nyeri tulang
 Penurunan toleransi terhadap olahraga
 Kegelisahan
 Anoreksia
CIRI LAIN
 Postur tubuh kecil
 Maturasi seksual lambat
 Rona wajah kelabu dengan bercak kecoklatan (jika tidak menjalani terapi kelasi)
PERUBAHAN TULANG (PADA ANAK YANG LEBIH BESAR JIKA TIDAK DIOBATI)
 Kepala membesar
 Tulang frontal dan parietal menonjol
 Eminensia malar menonjol
 Pangkal hidung datar atau melekuk kedalam
 Maksila membesar
 Protrusion bibir dan gigi seri sentral bagian atas serta akhirnya maloklusi
 Penampakan oriental pada mata
PENATALAKSANAAN TERAPEUTIK

Terapi suportif bertujuan mempertahankan kadar Hb yang cukup untuk mencegha


ekspansi sumsum tulang atau dampak khas pada pasien talasemia yang membuat tulang
menjadi tipis dan rapuh dan deformitas tulang yang diakibatkannya, serta menyediakan eritrosit
dengan jumlah cukup untuk mendukung pertumbuhan dan aktivitas fisik yang normal.
Transfusi darah merupakan dasar penatalaksanaan medis. Keuntungan dari terapi ini meliputi

1. Peningkatan kesehatan fisik dan psikologis karena anak mampu turut serta dalam
aktivitas normal.
2. Penurunan kardiomegali dan hepatosplenomegali
3. Perubahan pada tulang lebih sedikit
4. Pertumbuhan dan perkembangan normal atau mendekati normal sampai usia pubertas
5. Dan frekuensi infeksi lebih sedikit

Salah satu komplikasi yang potensial terjadi pada seringnya terapi transfusi adalah
kelebihan muatan zat besi. Karena tubuh tidak memilki cara efektif untuk mengeliminasi zat
besi yang berlebihan maka mineral tersebut akan ditimbun di dalam jarongan tubuh. Untuk
meminimalkan trerjadinya hemosiderosis dapat diberikan deferoksamin (desferal) yaitu suatu
agen kelasi berat bersama suplemen oral vitamin C dalam dosis kecil.
Pada sebagian anak denagn splenomegali berat yang menunjukkan peningkatan
kebutuhan transfusi, tindakan splenektomi mungkin diperlukan untuk mengurangi efek tekanan
abdomen yang membuat anak tidak berdaya dan untuk memperpanjang usia sel darah merah
yang di tambahakan lewat transfusi. Setelah melewati periode waktu tertentu, limpa dapat
mempercepat laju destruksi sel darah merah sehingga meningkatkan kebutuhan transfusi.
Setelah splenektomi, umumnya anak-anak tersebut lebih sedikit memerlukan transfusi darah,
walaupun defek dasar pada sinrtesis Hb tetap tidak dipengaruhi. Komplikasi mayor pasca
splenektomi adalah infeksi yang berat dan sangat banyak. Oleh karena itu, abak-anak yang
menjalani splenektomi harus terus mendapat terapi antibiotik profilaksis dengan pengawasan
medis yang ketat selama bertahun-tahun dan harus memperoleh imunisasi yang di jadwalkan
secara rutin.

PERTIMBANGAN KEPERAWATAN

Asuhan keperawatan bertujuan :

1. Meningkatkan kepatuhan dalam menjalani transfuse dan terapi kelasi


2. Membantu anak dalam menghadapi terapi yang menimbulkan rasa cemas dan efek penyakit.
3. Membantu penyesuaian diri anak dan keluarganya terhadap penyakit kronis
4. Mengamati komplikasi yang dapat terjadi pada transfuse darah yang berkali-kali.

Dari setiap tujuan ini adalah penjelasan kepada orang tua dan anak-anak yang lebih besar
mengenai defek yang menyebabkan gangguan. Akibatnya pada sel darah merah dan efek yang
potensial terjadi karena kelebihan zat besi yang tidak dapat diatasi (seperti penyakit diabetes
dan penyakit janutung). Perawat harus menanyakan pengetahuan keluarga mengenai penyakit
tersebut. Pada keluarga yang anaknya menderita talasemia harus menjalani tes untuk
memerikasa ada tidaknya penyakit bawaan dirujuk untuk memnadapat konseling genetic.
LEUKIMIA

A. DEFINISI
Leukemia, kanker pada jarinngan pembentuk darah adalah bentuk kanker pada masa
kanak-kanak yang paling sering ditemukan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak
laki-laki dibandingkan anak perempuan yang berusia diatas 1 tahun dan awitan
puncaknya terjadi di usia 2 dan 6 tahun. Leukemia merupakan istilah luas yang
diberikan pada sekelompok penyakit ganas pada sumsum tulang dan sistem limfatik
atau dikenal dengan kanker darah.
B. KLASIFIKASI
1. Leukemia Akut
Leukemia akut memiliki perjalanan klinis yang cepat, tanpa pengobatan penderita
akan meninggal rata-rata dalam 4-6 bulan. Leukemia ini dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Leukemia Limfositik Akut (LLA)
Lebih sering ditemukan pada anak-anak (82%) daripada umur dewasa (18%).
Tanpa pengobatan sebagian anak-anak akan hidup 2-3 bulan setelah
terdiagnosis terutama diakibatkan oleh kegagalan sumsum tulang.
b. Leukemia Mielostik Akut (LMA)
Lebih sering ditemukan pada orang dewasa (85%) dibanding anak-anak (15%).
Permulaannya mendadak dan progresif dalam masa 1 sampai 3 bulan dengan
durasi gejala yang singkat. Jika tidak diobati, bakal fatal dalam 3 sampai dengan
6 bulan.
2. Leukemia Kronik
Penyakit kronik yang ditandai dengan proliferasi neoplastic dari salah satu sel yang
berlangsung karena keganasan hematologi. Leukemia jenis ini dibagi menjadi 2
yaitu :
a. Leukemia Limfositik Kronis (LLK)
Cenderung dikenal sebagai kelainan ringan yang menyerang individu yang
berusia 50 sampai 70 tahun.
b. Leukemia Mielostik Kronik (LMK)
Paling sering dijumpai pada orang dewasa pertengahan (40-50 tahun). Sebagian
besar penderita LMK akan meninggal setelah memasuki fase akhir yang disebut
fase krisis blastik yaitu produksi berlebihan sel muda leukosit, biasanya berupa
promielosit, disertai produksi neutrophil, trombosit dan sel darah merah yang
kurang.
C. PATOFISIOLOGI
Leukemia dapat terjadi akibat perubahan kromosom yang dapat mengubah
bahan genetik dengan perkembangan gen yang berubah menyebabkan dimulainya
proliferasi sel yang abnormal (sel sel darah putih yang IMATUR atau SDP IMATUR).
SDP ini akan berpoliferasi atau memperbanyak diri tanpa dapat dibatasi dalam jaringan
tubuh maupun jaringan vaskuler yang membentuk darah dan bersifat neoplastik atau
ganas.
Jika proses pematangan dari stemsel menjadi SDP mengalami gangguan dan
perubahan kearah keganasan, pada akhirnya SDP ganas ini akan sumsum tulang dan
menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan SDP yang normal.
Dalam keadaan normal, SDP berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap
infeksi pada leukemia, SDP ini tidak berfungsi secara normal, sel imatur ini juga
merusak sel darah yang lain pada sumsum tulang termasuk SDM dimana SDM
berfungsi sebagai penyuplai O2 pada jaringan.
Sel seimatur ini berkompetisi dengan sel normal dan merampas hak dalam
mendapatkan usur gizi yang esensial bagi metabolisme. Sel sel imatur ini dapat
meyusup ke sumsum tulang, hati, limpa, kelenjar limpe, SSP, meninges dan tulang.
Misalnya pada tulang, invasi sel imatur atau leukemia kedalam sumsum tulang secara
perlahan-lahan akan melemahkan tulang dan cederung mengakibatkan fraktur, karena
sel-sel leukemia atau imatur menginvasi periosteum , peningkatan tekanan
menyebabkan rasa nyeri yang hebat.
D. EVALUASI DIAGNOSTIK
Diagnostik pasti dibuat berdasarkan aspirasi atau biopsy sumsum tulang. Secara
khas, sumsum tulang menjadi hiperseluler dan didominasi terutama oleh sel-sel blast.
Setelah diagnostik dipastikan, fungsi lumbal harus dilakukan untuk menentukan apakah
ada bagian sistem saraf pusat yang ikut terkena kanker yang mengakibatkan tekanan
intracranial. Beberapa anak menunjukkan kanker pada system saraf pusat ketika
diagnosanya ditegakkan, walaupun sebagian besar tidak memperlihatkan gejalanya
(asimtomatik).
E. PENATALAKSANAAN TERAPEUTIK
Terapi leukimia meliputi pemakaian agens kemoterapeutik dengan atau tanpa iradiasi
kranial dalam empat fase :
a. Terapi induksi
Menghasilkan remisi total atau remisi dengan kurang dari 5% sel-sel dalam sumsum
tulang. Hamper segera setelah diagnosis ditegakan, terapi ini mulai dilakukan,
berlangsung sekitar 4-6 minggu.
Obat-obatan untuk induksi pada ALL adalah kortikosteroid, vinkristin & L-
asparaginase dengan atau tanpa doksubirin.
Terapi obat pada penderita AML meliputi doksubirin dan sitosin arabinoside,
berbagai obat lainnya mungkin juga digunakan.
b. Terapi profilaksis SSP
Mencegah agar sel-sel leukimia tidak menginvasi SSP. Penanganannya melalui
kemoterapi intratekal dengan metotreksat, sitabirin dan hidrokortison. Karna adanya
kekhawatiran efek samping iradiasi kranial, biasanya metotekrat dan sitarobin dapat
disuntikan secara intratekal sebagai agens tunggal.
c. Terapi intensifikasi (konsolidasi)
Untuk menghilangakn sel-sel leukimia yang masih tersisa, diikuti dengan terapi
intensifikasi lambat untuk mencegah timbulnya klon leukimia yang resisten. Terapi
ini dilakukan setelah remisi total tercapai.
d. Terapi rumatan
Untuk memelihara remisi dan selanjutnya mengurangi jumlah sel leukimia.regimen
terapi obat kombinasi yang meliputi merkaptropurin setiap hari, metotreksat
seminggu sekali dan terapi intratekal secara periodek diberikan 2 tahun kemudidan.
Selama terapi ini, harus disertai dengan pemeriksaan hitung darah lengkap utnuk
mengevaluasi respon sumsum tulang terhadap obat yang digunakan.
1. Reinduksi sesudah relaps
Adanya sel leukimia dalam sumsum tulang, SSP atau testis menunjukan terjadinya
kekambuhan penyakit. Anak yang mengalami relaps meliputi terapi reinduksi
dengan prednisone dan vinkristin disertai kombinasi obat lain yang belum
digunakan.
2. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi dapat dilakuakn pada ALL dan AML, tetapi tidak direkomendasikan
pada anak yang menderita ALL selama remisi pertama, karena kemoterapi masih
mungkin memberikan hasil yang memuaskan, mengingat prognosis anak pada
AML lebih buruk, maka transplantasi bias dipertimbangkan pada remisi pertama.
Pendonoran bias dilakukan dari keluarga atau bukan keluarga, stem cell darah tepi
juga dapat digunakan. Karena tanpa memerhatikan tipe transplantasi, dapat
menyebabkan infeksi menyeluruh atau kerusakan organ berat.
3. Efek lanjut terapi
Efek lanjut pada terapi ini adalah perubahan yang merugikan sehubungan dengan
modalitas penanganan dan kekambuhan proses penyakit. Efek yang paling
berbahaya adalah adanya kelainan keganasan sekunder. Anak-anak yang
mendapatkan iradiasi kranial usia 5 tahun atau kurang merupakan kelompok paling
rentan terkena tumor otak.
F. PENGKAJIAN
Pada anak keluhan yang sering muncul adalah demam, perasaan letih,lesu dan malas
makan, nyeri pada ekstremitas, berkeringat dimalam hari, sakit kepala, anemia, dan
tidak enak badan dapat menjadi petunjuk utama leukemia.
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko cedera yang berhubungan dengan proses keganasan terapi.
2. Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh.
3. Risiko cedera berhubungan dengan gangguan pada proliferasi sel.
4. Resiko deficit volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
5. Perubahan membrane mukosa berhubungan dengan pemberian agens kemoterapi.
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubbungan dengan kehilangan
selera makan
7. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan kerontokan rambut,kelemahan.
8. Nyeri berhubungan dengan penegakkan diagnosis, terapi,efek fisiologis neoplasia.
9. Ketakutan berhubungan dengan uji diagnostic dan terapi.
10. Ketakutan berrhubungan dengan kketerbatasan lingkungan.
11. Deficit aktivitas berhubungan dengan keterbatasan lingkungan.
12. Perubahanproses keluarga berhubungan dengan memiliki anak yang yang
menderita penyakit yang mengancam jiwa.
H. IMPLEMENTASI
1. Mempersiapkan anak dan keluarganya dalam menghadapi prosedur diagnostic dan
terapeutik
Anak-anak yang menderita leukimia harus menjalani sejumlah tes, kejadian
yang paling traumatic adalah aspirasi atau biopsy sumsum tulang dan fungsi lumbal.
Oleh karena itu, anak memerlukan penjelasan mengenai setiap prosedur dan hasil
yang diharapkan dari prosedur tersebut. Terapi sedasi dengan anak tetap sadar dan
terapi sedasi yang menghilangkan kesadaran anak, serta berbagai strategi
nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyaman yang menyertai prosedur.
2. Meredakan rasa nyeri
Terapi analgesia yang merupakan tindakan penting jika proses keganasan tidak
terkendali. Takaran pemberian opioid (narkotik) dapat disesuaikan atau dititrasi
sesuai dengan kebutuhan anak yang diberikan selama 24 jam untuk menghasilkan
efek pengendalian nyeri yang optimal.
4. Mencegah komplikasi mielosupresi
Jumlah sel darah yang menurun menimbulkan permasalahan sekunder berupa
infeksi, kecenderungan perdarahan dan anemia.
a. Infeksi
Anak paling rentan terhadap infeksi berat selama 3 fase penyakit berikut :
1) Pada saat diagnosis ditegakkan dan saat relaps (kambuh) ketika proses
leukimia telah menggantikan leukosit normal.
2) Selama terapi imunosupresi.
3) Sesudah pelaksanaan terapi antibiotic yang lama sehingga mempredisposisi
mikroorganisme yang resisten.

Pertahanan pertama melawan infeksi adalah pencegahan. Cara ini khas meliputi
pemakaian ruang rawat pribadi, membatasi semua pengunjung dan petugas
kesehatan yang sedang menderita infeksi aktif dan teknik mencuci tangan yang
ketat dengan menggunakan larutan antiseptic.

Keadaan anak perlu dievaluasi untuk menentukan lokasi yang berpotensi


menjadi tempat infeksi (mis. Ulserasi mukosa, abrasi kulit, atau robekan pada
kulit seperti kuku yang patah) dan dipantau untuk mendeteksi setiap kenaikan
suhu tubuh.

Pencegahan infeksi tetap menjadi prioritas sesudah anak pulang dari rumah
sakit. Setiap saat anggota keluarga dianjurkan mencuci tangannya sampai
benar-benar bersih untuk mencegah penyebaran kuman pathogen ke dalam
rumah. Gizi merupakan komponen penting lain dalam pencegahan infeksi.
Asupan protein kalori yang adekuat akan memberi hospes pertahanan yang
lebih baik, terhadap infeksi dan meningkatkan toleransi terhadap kemoterapi
dan iradasi.

b. Perdarahan
Karena infeksi meningkatkan kecenderungan perdarahan dan karena
lokasi perdarahan lebih mudah terinfeksi, maka tindakan pungsi kulit sedapat
mungkin harus dihindari. Jika harus dilakukan penusukan jari tangan, pungsi
vena, penyuntikan IM dan aspirasi sumsum tulang, prosedur pelaksanaannya
harus menggunakan teknik aseptic dan pemantauan kontinu untuk mendeteksi
perdarahan.
Anak-anak dianjurkan untuk menghindari aktvitas yang dapat
menimbulkan cedera atau perdarahan, seperti bersepeda, memanjat pohon dan
melakukan olahraga kontak. Epistaksis dan perdarahan gusi merupakan
kejadian yang paling sering dijumpai. Perawat harus mengajarkan orang tua dan
pasien mengenai cara-cara mengandalikan perdarahan dari hidung.
Selama episode perdarahan, orang tua dan anak memerlukan dukungan
emosional yang benar. Perawat dapat menjadi sarana untuk meredakan
kecemasan dengan memahami perasaan anak dan keluarga.
c. Anemia
Pada awalnya, anemia dapat menjadi berat akibat penggantian total sumsum
tulang oleh sel-sel leukimia. Selama terapi induksi, transfuse darah mungkin
diperlukan.
5. Melaksanakan tindakan kewaspadaan dalam memberi dan menanganin agens
kemoterapi.
Hanya perawat yang berpengalaman dalam memberikan agens kemoteapi yang
boleh menyuntikan obat-obatan yang bersifa vesikan. Pedoman pemberian telah
tersedia dan harus diikuti dengan tepa untuk mencegah kerusakan jaringan pada
tubuh pasien.
Obat-obat kemoterapi harus diberikan melalui selang infus yang tidak
tersumbat. Pemberian infus harus dihentikan segera jika terlihat tanda-tanda
infiltrasi (nyeri, rasa tersengat, bengkak).
Kepatuhan terhadap jadwal pemberian obat sangat penting dan perawat
memainkan peranan penting dalam memberi penyuluha kepada keluarga mengenai
obat-obatan serta dorongan untuk memenuhi rencana kedokteran.
6. Mengelola permasalahan keracunan obat
Kemoterapi akan menimbulkan beberapa efek samping yang harus diketahui
perawat dan perawat harus memiliki kemampuan untuk menangani dan
menunjukkan efek samping maupun toksisitas, diantaranya:
a. Mual muntah : Pemberian ondansetron dapat dikombinasikan dengan
deksametason.
b. Anoreksia :
1) Pemasangan NGT atau nutrisi parenteral total (TPN).
2) Makanan yang disukai, yang hangat dan porsi sedikit tapi sering.
c. Ulserasi mukosa (ex: ulkusmulut) :
1) Sediakan makanan yang tidak merangsang.
2) Gunakan sikat gigi yang lembut.
3) Anjurkan anak untuk seering berkumur.
4) Gunakan obat anastesi lokal.
d. Neuropati :
1) Berikan pelunak feses.
2) Memoertahankan kesejajaran tubuh yang baik.
3) Melaksanakan upaya pengamanan selama mobilisasi.
4) Memberikan makanan lunak atau cair pada klien dengan nyeri rahang yang
hebat.
e. Sistitis hemoragika :
1) Meningkatkan asupan cairan.
2) Segera berkemih ketika timbul keinginan.
3) Memberi obat pada dini hari.
4) Pemberian mesna.
f. Alopesia : Memberikan topi dari katun yang lembut atau memakaikan
kerudung atau kopiah atau wig.
g. Moonface : Tidak menutup aktifitas pergaulan anak dengan teman dan
lingkungannya.
h. Perubahan mood :
Memberitahu orangtua bahwa akan terjadi efek samping obat yang
menyebabkan perubahan mood pada anak.
7. Memberikan perawatan fisik dan dukungan emosional secara kesinambungan
Karena harapan hidup anak yang menderita kanker darah semakin membaik,
pemantauan tumbuh kembang fisik dan intelektual merupakan hak yang teratur.
Aspek penting dalam pemberian dukungan emosional yang kontinu melibatkan
prognosis penyakit. Peluang hidup anak yang berisiko dan mungkin lebih baik,
namun bagi anak yang berisiko tinggi, prognosisnya secara signifikan lebih buruk.
I. EVALUASI
1. Membandingkan jumlah kunjungan pelayana kesehatan primer dengan jadwal
supervise kesehatan yang dianjurkan
2. Memantau pertumbuhan, perkembangan dan aspek lain dalam pengkajian
kesehatan yang umum, memeriksa mulut untuk mengetahui keadekuatan hygiene
gigi, meninjau kembali catatan imunisasi untuk mengecek pemberian vaksin yang
sesuai dengan usia dan penggunaan vaksin virus yang mati
3. Melaksanakan teknik pengkajian nyeri untuk rasa nyeri akibattindaka procedural
4. Mengobservasi status fisik secara cermat
a. Memeriksan TTV secara teratur
b. Mengamati tanda-tanda perdarahan, infeksi nueropati dan ulserasi mukosa
c. Mengamati dan mencatat asupan dan jaluaran urine
DIABETES MELITUS ( DM )

1. Definisi
Diabetes melitus ( DM ) adalah penyakit metabolisme yang ditandai dengan defisiensi
total atau parsial hormon insulin, yang mengakibatkan penyesuaian metabolik atau
perubahan fisiologis pada hampirsemua atau tubuh.
DM dapat diklasifikasikan kedalam tiga kelompok yaitu :
1) Diabetes tipe 1 : ditandai dengan destruksi sel-sel beta pankreas yang memproduksi
insulin yang menyebabkan defisiensi insulin absolut. Biasa terjadi pada anak-anak dan
remaja
2) Diabetes tipe 2 : timbul karena retensi insulin. Yang ditandai dengan kegagalan tubuh
untuk menggunakan insulin secara tepat. Biasanya terjadi setelah usia 40 tahun.
3) Maturity onset diabetes of the young ( moDy)
Sebagai gangguan dominan autosomal yang di tandai dengan pembentukan insulin
berstruktur abnormal yang menurunkan aktivitas biologis. Di usia 25 tahun.
2. Patofisiologi
Normalnya jika seseorang mengkonsumsi karbohidrat akan diuraikan melalui system
metabolism menjadi glukosa. Glukosa masuk kedalam aliran darah lalu tubuh mendeteksi
adanya peningkatan kadar glukosa. Sebagai respon kondisi tersebut pancreas mulai
menghasilkan hormone yang disebut insulin. Insulin berperan merubah glukosa menjadi
sumber energy. Insulin bertugas mengedarkan glukosa keseluruh tubuh yang memerlukan.
Insulin bertindak seperti kunci yang membuka pintu agar glukosa dapat masuk kedalam sel,
dengan cara ini kadar glukosa alam darah mulai turun. Pada saat glukosa kembali meningkat
maka pancreas akan kembali memproduksi insulin tambahan. Maka tubuh akan berfungsi
dengan baik. Ketika glukosa darah berada pada tingkat optimum. Pada normalnya akan terus
seperti itu atau berjalan dengan baik etiap kita mengkonsumsi makanan.
DM tipe 1 :
DM tipe 1 ini kekurangan / tidak menghasilkan insulin sama sekali. DM tipe 1 ini
dialami remaja dan anak anak. Dm tipe 1 ini terjadi akibat sel pancreas yang memproduksi
insulin mengalami kerusakan. Umumnya jika mengkonsumsi karbo diuraikan akan menjadi
glukosa. Tetapi karena pancreas tersebut mengalami kerusakan. Glukosa yang masuk
kedalam pembuluh darah untuk masuk kedalam sel akhirnya tidak bisa dan menumpuk di
pembuluh darah. Tubuh berusaha menurunkn kadar glukosa dengan cara mengeluarkan
melalui ginjal. Itulah sebabnya orang diabetes sering ingin BAK (poliuri), dan sering haus
(polidipsi). ketika kadar glukosa darah meningkat, jika terjadi luka maka bakteri akan
berkembang biak didaerah luka yang dapat mengakibatkan luka sukar sembuh. Ketika
glukosa tidak berubah menjadi energy maka penderita akan cepat lelah dan kesulitan
melakukan aktivitas. Tetapi tubuh terus memerlukan sumber energy dan akhirnya
tubuhmulai menguraikan cadangan lemak untuk menghasilkan energy yang pada akhirnya
dapat berujung pada turunnya BB secara drastis.
3. Manifestasi klinis
 Polifagi
 Poliuria
 Polidipsi
 Berat badan turun
 Enuresis atau nokturia
 Iritabilitas dan seperti menjadi orang lain
 Rentang perhatian menyempit
 Toleransi frustasi menurun
 Letih
 Kulit kering
 Pandangan kabur
 Penyembuhan luka jelek
 Kulit kemerahan
 Sakit kepala
 Sering infeksi
 Hiperglikemia :
 Kadar glukosa darah meningkat
 Glukosuria
 Ketosis diabetik :
 Keton, juga glukosa dalam urine
 Dehidrasi bisa terjadi atau tidak
 Ketoasidosis diabetikum :
 Dehidrasi
 Ketidak seimbangan elektrolit
 Asidosis
 Bernafas dalam, cepat ( kussmaul )
4. Evaluasi Diagnostik
Diagnosis berdasarkan pada kadar glukosa serum. Kadar glukosa serum puasa > 126
mg/dl yang disertai dengan tanda-tanda klasik DM tipe 1 hampir pasti menunjukkan
diabetes ( American Diabetes Association, 1998 ).
Penentuan glukosa darah postprandial dantset toleransi glukosa oraltidak selalu
diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Kadar insulin serum bisa normal atau sedikit
meninggi pada saat serangan diabetes : respons insulin yang melambat terhadap glukosa
mengindikasikan terganggu nya toleransi glukosa.
Ketoasidosisharus dibedakan dari penyebab lain asidosis atau koma, termasuk
hiperglikemia, uremia, gastroenteritis dengan asidosis metabolik, intoksikasi
salisilat,ensefalitis, dan lesi intrakranial lainnya.
KAD ditentukan dengan adanya hiperglikemia ( pengukuran glukosa darah ≥250
mg/dl ), ketonemia (positif kuat), asidosis ( Ph < 7,20 dan bikarbonat <15mEq/dl) glukosuria
dan ketonuria ( American Diabetes Association, 1998 )
Test yang digunakan untuk menentukan ketonuria adalah strip test urine seperti
ketostex.

5. Penatalaksanaan
 Terapi Insulin

Jumlah insulin didasarkan pada kadar glukosa darah kapiler anak atau anggota
keluarga yang diuji, dengan cara meneteskan darah diatas strip pengukur berwarna atau
dengan monitor glukosa. Insulin harian diberikan per subkutan dengan injeksi dua kali
sehari, injeksi multidosis atau dengan pompa portabel. Diabetes dikendalikan sesuai
harapan pada sebagian besar anak yg menjalani program insulin dua kali.

 Pemantauan Glukosa Darah

Dengan memeriksa darah mereka sendiri, anak anak dan orang tua mampu
mengubah program insulin untuk mempertahankan kadar glukosa mereka dalam rentang
yang normal yaitu 80-120 mg/dl

 Nutrisi

Kebutuhan nutrisi anak penderita diabetes membutuhkan kalori yg cukup untuk


menyeimbangkan kebutuhan energy harian dan untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhan dan perkembangan. Distribusi kalori, khususnya karbohidrat, ditentukan
sehingga sesuai dengan pada aktivitas anak. Asupan makanan di dasarkan pada diet
seimbang yg terdiri atas enam kelompok makanan : susu, daging, sayuran , lemak, buah
dan roti

 Olahraga

Sebagian besar aktivitas anak-anak tidak terencana, dan hasil penurunan kadar
glukosa dapat dikompensasi dengan menyediakan kudapan tambahan sebelum aktivitas.
Untuk kebugaran dan kesehatan jiwa, olahraga teratur membantu dalam penggunaan
makanan oleh tubuh dan sering kali menurunkan kebutuhan insulin.
6. pengkajian
Pemantauan harian kadar glukosa darah ; analisis urine berkala terhadap keton; dan
Observasi tanda-tanda hipoglikemia, hiperglikemia, dan komplikasi lainnya. Tanda
dan gejala antara hiperglikemia dan hipoglikemiasering kali sukar untuk dibedakan. Cara
sederhana untuk membedakan antara keduanya adalah dengan memeriksa kadar glukosa
darah ( rendah pada hipoglikemia & tinggi pada hiperglikemia ). Perawat juga harus
mewaspadai adanya komplikasi, meskipun hal ini biasanya tidak terlihat sampai dewasa.
Pengkajian kulit untuk mendeteksi adanya kerusakan yang nanti akan membantu
upaya implementasi perawatan yang tepat untuk memfasilitasi penyembuhan dan mencegah
infeksi.
7. Intervensi dan Implementasi
- Tujuan

Tujuan perawatan anak Dm dan keluarganya adalah

1. Anak dan keluarga akan mengetahui tentang penyakit , teknik pemeriksaan, dan terapi
2. Komplikasi diabetes anak akan minimum
3. Anak akan mengembangkan citra diri yang positif
4. Anak dan keluarga akan memperoleh dukungan adekuat
- Implementasi
1. Identifikasi : Perlunya anak memakai identifikasi medis, informasi yang
sangat penting ini dapat menyelamatkan nyawa anak, label identifikasi dapat berupa
kalung, gelang, dan label untuk sepatu
2. Sifat diabetes : semakin baik pemahaman orang tua terhadap patofisiologis
diabetes dan fungsi serta kerja insulin dan glukagon dalam hubungannya dengan
asupan kalori dan olahraga semaki baik pemahaman mereka tentang penyakit dan
efeknya bagi anak mereka
3. Perencanaan makan : anak anak dianjurkan untuk mengonsumsi pngganti gula dalam
jumlah sedang di bahan bahan minuman ringan, permen karet yang dbuat dari sorbitol
mungkin digunakan dalam batas normal.
4. Insulin : keluarga perlu memahami metode pengobatan dan
insulin yang diresepkan, termasuk durasi yang efektif , awitan dan kerja puncak,
mereka juga perlu mengetahui karakteristik berbagai tipe insulin dan pencampuran
serta pengenceran insulin yang tepat
5. Prosedur injeksi : insulin diinjeksikan dengan sudut 90˚ kedalam jaringan
subkutan agar insulin diserap dengan perlahan, injeksi harus dilatih dengan hati hati
jangan sampai masuk kedalam obat, teknik cubitan mrupakan metode yang paling
efektif untuk menghasilkan kerapatan yang efektif sehingga memudahkan jarum
memasuki jaringan subkutan anak, empat injeksi yang dipilih kadang kadang
bergantung pada anak atau orang tua yang memberikan insulin, lengan atas, paha,
pinggul dan abdomen merupakan injeksi untuk insulin
6. Pemantauan Glukosa : Perawat juga harus disiapkan untuk mengajar dan
mengawasi pemantauan glukosa darah, darah untuk pemeriksaan dapat diperoleh
dengan dua meted yang berbeda secara manual atau dengan alat penusuk
7. Pemeriksaan urine : strip tes harus digunakan secara akurat dan waktu pemeriksaan
ditentukan dengan tepat, karena strip tes dibaca, pencahayaan harus cukup terang.
pemeriksaan keton direkomendasikan selama masa sakit atau jika hasil pemeriksaan
darah tinggi
8. Hiperglikemia dan hipoglikemia:
- Hiperglikemia diatasi dengan meningkatkan dosis insulin segera etelah diketahui
adanya peningkatan glukosa.
- Hipoglikemia diatasi/dicegah dan orang tua perlu disiapkan untuk mencegah,
mengenali, tanda tanda hipoglikemia dan diinformasikan tentang pengobatnnya
9. Hyigene : anak harus sangat berhati hati jika memakai sepatu tanpa alas
kaki, mamakai sandal atau tanpa alas kaki
10. Perawatan akut :anak penderita KAD memerlukan asuhan keperawatan
intensif pada saat masuk rumah sakit, biasanya diunit perawatan intensif, infuse IV
segera diberikan untuk keperluan hidrasi anak dan untuk memberikan insulin,
biasanya infus kontinu. Kadar glukosa dipantau secara berkala dan insulin diberikan
sesuai program
11. Dukungan keluarga :
- mendorng keluarga untuk memathui program pengobatan dan penyesuaian gaya hidup
dengan menekankan pada ketergantungan mencegah komplikasi serta hipoglikemia .
- orang tua harus juga dilibatkan dalam sesi sesi khusus agar mereka tetap mengikuti
penatalaksaan anak dan membantu mereka tetap berpartisipasi dalam perawatan anak.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS) pada Anak

A. Epidemiologi

WHO memperkirakan tahun 1996, terdapat 2,6 juta anak diseluruh dunia terinfeksi
HIV dan 1,2 juta anak meninggal dunia. Tahun 2000, diperkirakan 5-10 juta anak menjadi
yatimpiatu karena pandemic (epidemi yang luas) HIV/AIDS.

Juni 1998, sesuai laporan CDC (Centers for Disease Control and Presentation),
terdapat 8280 anak yang menderita AIDS. Mempresentasekan 1% dari jumlah total kasis
AIDS di Amerika Serikat yang terdata sampai sekarang. Lebih dari 90% anak terjangkit
AIDS karena Ibunya sewaktu perinatal. Sebagian kecil dari transfuse darah/produk darah
yang terkontaminasi. Sebelum tahun 1985, infeksi HIV terjadi karena Penganiayaan
seksual. Sebaliknya, aktivitas seksual dan penggunaan obat Intra Vena (IV) menjadi
sumber utama infeksi HIV pada remaja. Lebih dari 3300 remaja terinfeksi HIV saat berusia
13-19 tahun yang dilaporkan hingga Juni 1998.

Jumlah anak-anak yang terinfeksi HIV saat perinatal mencapai puncaknya pada tahun
1997, tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan yang signifikan. Kecenderungan ini
merupakan immplementasi konseling HIV dan pelaksanaan tes secara sukarela. Seperti
yang direkomendasikan serta penggunaan terapi adavudine untuk mencegah penularan
melalui perinatal.

Tahun 1994, terapi zidovudine pada ibu hamil yang terinfeksi HIV, kemudian di ikuti
bayinya. Terlihat turun dua pertiga dari angka penularan, dari 25% menjadi 8%. (Connor
et all, 1994). Efektifitas obat-obatan HIV untuk mencegah penularan perinatal kini sedang
diteliti (Luzuriaga dan Sullivan, 1998). Konseling rutin HIV dan uji suka rela bagi ibu
hamil merupakan tindakan yang direkomendasikan (American Academy of Pediatrics,
1995). Pedoman pemakaian obat-obatan antiretrovirus pada ibu hamil yang terinfeksi HIV,
untuk mengurangi penularan perinatal, kini sudah tersedia (CDC, 1998).

B. Etiologi

Ada dua jenis strain virus HIV, yakni:

1. HIV1, dominan di Amerika Serikat dan negara lain.


2. HIV2, prevalensi di Afrika.
Penyebabnya:

1. Transmisi Horizontal HIV (hubungan intim atau pajanan parenteral dengan cairan
yang terlihat mengandung darah).
2. Transmisi Vertikal HIV (Ibu hamil).
C. Patofisiologi

Virus HIV menginfeksi sel-sel CD4 (Cluster Differentiation 4) dan mengambil alih
mesinnya, juga membuat replikasi sendiri sehingga sel CD4 mengalami disfungsi. Jumlah
sel CD4 akan menurun secara bertahap setelah melewati masa tertentu, yang akhirnya
mencapai titik terendah, titik klinis dan dibawahnya. Dengan nilai normal yaitu 500-1600
sel/mm3darah. Sehingga menimbulkan defisiensi imun secara progresif. Penderitanya akan
menghadapi risiko sangat besar untuk terjangkit infeksi oportunistik (IO) yang diikuti
kematian.

D. ManifestasiKlinis

Tanda dan gejalanyaantara lain:

1. Limfadenopati.
2. Hepatosplenomegaly.
3. Kandidiasis oral.
4. Diare kronis atau kambuhan.
5. Gagal tumbuh dan perkembangan lambat.
6. Parotitis.

Kondisi AIDS umum pada anak

1. Pneumonia Pneumocytis Carinii.


2. Pneumonitis Interstitial Limfoid.
3. Infeksi bakteri tahunan.
4. Syndrome Felisutan (Wasting Syndrome).
5. Enselopati HIV.
6. Esofagus Kandida.
a. Sitomegalovirus.
b. Infeksi kompleks Mycrobacteriumquium-intracellular.
c. Herpes Simplex berat.
d. Kandidiasis pulmonal.
7. Kriptosporidiosis.
E. PenatalaksanaanTerapeutik

Obat-obatanan tiretrovirus bekerja pada berbagai tahap dalam siklus hidup virus HIV
untuk mencegah reproduksi partikel virus baru yang fungsional. Meskipun bukan terapi
penyembuhan, namun dapat menekan replikasi virus dengan mencegah kemunduran
system imun yang lebih lanjut, sehingga memperlambat perkembangan penyakit.
Kelompok agent antiretrovirus meliputi:

1. Inhibitor enzyme reverse transcriptase non-nukleasida (zidovudine, didanosin,


stavudine, Iamivudine, Abacavir).
2. Inhibitor enzyme reverse transcriptase non-nukleoksida (nevirapine, delavirdine,
efavirenz).
3. Inhibitor enzyme reverse transcriptase non-nukleotida (indinavir, saquinavir,
ritonavir, nelfinavir, amprenavir).
4. Agent antiretrovirus tambahan (hidroksiurea).

Terapi bersifat seumur hidup sehingga kepatuhan prosedur sulit dicapai. Beberapa
hasil laboratorium (jumlahlimfosit CD4+, muatan virus) turut membantu dalam memantau
progresifitas penyakit dan responnya terhadap terapi. Semua bayi yang dilahirkan oleh ibu
yang terinfeksi HIV harus mendapatkan terapi profilaksis selama tahun pertama kehidupan
sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh CDC (1995). Setelah satu tahun kehidupan
terapi profilaksis ditentukan dari keberadaan imunosupresi yang berat atau riwayat
pneumonia pneumonitis carinii (CDC, 1995). Upaya profilaksis kerap kali dilakukan pada
infeksi oportunistik, seperti kompleks Mycobacterium avium intracellular (MAC) yang
menyebar luas (diseminata), kandidiasis dan herpes simplex. Satu-satunya perubahan pada
jadwal imunisasi yang umum adalah dengan menghindari pemberian vaksin varicella
(cacar air) dan menggunakan poliovirus yang inaktif (Inactivated Poliovirus (IPV)) dan
bukan vaksin poliovirus oral (OPV) pada anak-anak dan orang terdekatnya.

F. PertimbanganKeperawatan

Penyuluhan yang berkenaan dengan penularan dan pengendalian penyakit menular


seperti HIV merupakan persoalan penting bagi anak-anak penderita AIDS dan siapa saja
yang terlibat dalam perawatan mereka. Prinsip dasar dalam tindakan standar kewaspadaan
harus disampaikan sesuai usia peserta penyuluhan. Dengan mempertimbangkan tingkat
pendidikan secara cermat, persoalan keamanan, termasuk ketetapan penyimpanan
peralatan (jarum suntik atau spuit) dan obat-obatan khusus, harus ditekankan. Sayangnya,
sanak saudara, teman, dan masyarakat umum mungkin merasa takut terinfeksi HIV,
sehingga mereka mengancam dan mengucilkan klien dan keluarganya. Dalam
melindungin anak, keluarga dapatmembatasi anak bermain diluar rumah. Meskipun
tindakan penjagaan tertentu dapat dibenarkan untuk membatasi keterpajann terhadap
sumber infeksi, keluarga harus mengimbanginya dengan memberikan perhatian terhadap
kebutuhan perkembangan normal si anak.

Pencegahan merupakan komponen utama dalam penyuluhan tentang HIV. Materi


penyuluhan harus meliputi cara penularan, bahaya penyuntikan Intra Vena (IV) dan
pemberian obat-obatan demi kesenangan semata dan pentingnya tidak melakukan
hubungan seksual serta berhubungan seksual secara aman.

Peran perawat dalam perawatan anak penderita infeksi HIV bersifat multiaspek.
Perawat berperan sebagai pendidik, pelaksana perawatan berlaku, manajer kasus, dan
pembela. Anak-anak ini akan banyak terlibat dalam sistem perawatan kesehatan.
Kebutuhan akan obat-obatan HIV akan berlangsung seumur hidup. Perawat merupakan
sarana untuk mendorong dan memberdayakan anak-anak ini (seta pengasuh mereka)
dalam mematuhi regimen pengobatannya. Perawatan fisiologis anak diarahkan pada
meminimalkan pajanan/kontak terhadap infeksi, meningkatkan gizi, memberikan tindakan
kenyamanan yang meliputi penatalaksanaan nyeri, dan pengkajian serta pengenalan
perubahan terhadap status kesehatan yang dapat menunjukan adanya komplikasi baru.
Lingkup asuhan keperawatan akan berubah seiring dengan timbulnya gejala baru,
perubahan dan terapi, serta perkembangan penyakit.

Penatalaksanaan nyeri yang agresif merupakan hal yang asensial agar anak-anak
memiliki kwalitas hidup yang dapat diterima. Nyeri yang mereka rasakan bisa disebabkan
karena infeksi (misalnya otitis media, abses dental), ensefalopati (stastisitas), efek obat
yang merugikan (neuropati perifer), atau sumber yang tidak diketahui (nyeri
muskuloskeletal yang dalam). Waspadai tanda-tanda nyeri yang lain:

1. Emotional detechment (anak melepaskan diri dati keterkaitan emosional dengan


orang lain).
2. Anak kurang mau bermain secara interkatif.
3. Iritabilitas.
4. Depresi.
Permasalahan psikososial yang lazim adalah pengungkapan diagnosis kepada anak,
penyusunan rencana pengasuhan anak. Jika orang tuanya terinfeksi HIV, dan antisipasi
kemungkinan kematian anggota keluarga, sebagian besar ibu dengan anak penderita HIV
merupakan orang tua tunggal yang juga terinfeksi HIV. Sebagai pengasuh utama, ibu
sering kali memenuhi kebutuhan anaknya terlebih dahulu, dengan mengabaikan kesehatan
diri sendiridalam proses penyakitnya. Perawat dapat mendorong ibu untuk mendapatkan
perawatan kesehatan secara teratur. Anggota keluarga sering kali terlibat dalam perawatan
anak, terutama jika ibu menderita sakit simptomatik. Setelah ibu meninggal dunia, anggota
kelluarga lain pun memikul tanggung jawab atas perawatan si anak.
Anak-anak yang terinfeksi HIV dapat datang ke sekolah dan pusat day care. Ketua
lembaga tersebut diwajibkan untuk mengikuti pedoman CDC dan OSHA (Occupation
Safety Health Administration) untuk melaksanakan tindakan pengendalian infeksi.
Perawat sekolah memainkan peran penting dalam memberikan penyuluhan tentang HIV
kepada staf di sekolah, siswa, dan orang tua. Mereka juga membantu dalam memantau
kebutuhan anak-anak yang terinfeksi HIV.
Masalah kerahasiaan merupakan masalah pokok dalam day care dan sekolah. Orang
tuan dan wali yang sah memiliki hak untuk memutuskan apakah mereka akan
menginformasikan lembaga tersebut mengenai diagnosis HIV yang diderita anak mereka.
Sayangnya, mitos tentang infeksi HIV masih terus berlangsung, dan keluarga sering kali
berharap untuk menghindari kemungkinan dikecam atau dikucilkannya anak mereka.

G. Pemeriksaan Penunjang
DHF

Definisi

Demam dengue atau DHF adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai leokopenia, ruam,
limfademopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik ( sudoyo, 2010 ).

Patofisiologi

Virus dengue yang telah masuk ketubuh penderita akan menimbulkan viremia (masa
dimana virus berada dialiran darah sehingga dapat ditularkan kepada orang lain melalui gigitan
nyamuk). Hal tersebut akan menimbulkan reaksi oleh pusat pengatur suhu di hipotalamus
sehingga menyebabkan (pelepasan zat bradikinin, serothin, trombin, histamin) terjadinya :
peningkatan suhu. Selain itu viremia menyebabkan pelebaran pada dinding pembuluh darah
yang menyebabkan perpindahan cairan dan plasma dari intravascular ke intersisial yang
menyebabkan hipovolemia. Trombositipenia dapat terjadi akibat dari, penurunan produksi
trombosit sebagai reaksi dari antibodi.

Pada pasien dengan trombositipenia terdapat adanya perdarahan baik kulit seperti petekia
atau perdarahan mukosa dimulut. Hal ini mengakibatkan adanya kehilangan kemampuan tubuh
untuk melakukan mekanisme hemostatis secara normal. Hal tersebut dapat menimbulkan
perdarahan dan jika tidak tertangani maka akan menimbulkan syok. Masa virus dengue
inkubasi 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari (soegijanto, 2006).

MANIFESTASI KLINIS

Pada bayi dan anak kecil (muda) penyakit mungkin tidak terdiferensiasi atau ditandai
oleh demam 1-5 hari, radang, faring rhinitis, dan batuk ringan. Pada wabah sebagian besar yang
terinfeksi adalah anak yang lebih tua dan orang dewasa mempunyai kebanyan tanda-tanda yang
diuraikan berikut ini.

Sesudah masa inkubasi 1-7 hari, ada demam yang mulai mendadak, yang dengan cepat
naik sampai 39,4 – 41,1°C, biasanya disertai dengan nyeri frontal atau retoorbital. Kadang-
kadang nyeri punggung mendahului demam. Ruam sementara, makular, menyeluruh yang
memucat pada penekanan dapat dilihat selama 24-48 jam pertama demam. Frekuensi nadi
lambat relatif terhadap tingkat demam. Mialgia atau artralgia terjadi segera sesudah mulai dan
bertambah parah. Keterlibatan sendi mungkin terutama berat pada penderita dengan infeksi
chikungunya. Dari demam hari ke 2- ke 6, mual dan muntah tepat terjadi, dan limfadenopasti
menyeluruh, hiperparestesia kulit atau hiperalgesia, penyimpangan rasa, dan anoreksi yang
meninjol dapat terjadi.

Satu sampai dua hari sesudah demam turun, ruam morbilitasformis, makulopapular,
menyeluruh muncul, kecuali telapak tangan dan kaki. Ruam menghilang dalam 1-5 hari :
pengelupasan mungkin terjadi. Jarang ada edema telapak tangan dan kaki. Sekitar waktu itu
ruam kedua muncul, suhu tubuh, yang sebelumnya telah turun menjadi normal, dapat menjadi
sedikit naik dan membentuk kurva suhhu bifasik.

Epistaksis, petekie, dan lesi purpura tidak biasa tetapi dapat terjadi pada setiap stadium.

Tidak sering, sesudah stadium demam, asthenia yang lama, depresi, muntah, bradikardia,
dan ekstrasistole ventrikuler dapat terjadi pada anak.

DATA LABORATORIUM

Angka sel darah putih serendah 2.000/mm³ telaah terekam trombosit jarang dibawah
100.000 sel/mm³. Uji torniquet jarang positif. Asidosis ringan.

Pencegahan dan pengendalian

Vaksin dengue tipe 1,2,3 dan 4 yang di buat berada dalam pegembangan di Thailand,
dan vaksin mati untuk chikungunya berhasil membuat keadaan menjadi membaik tetapi
biasanya vaksin ini tidak banyak tersedia. Profilaksis untuk menghindari gigitan nyamuk yaitu
dengan menggunakan isektisida,menggunakan pakaian yang sesuai,memakai kelambu di
rumah, dan menghancurkan tempat-tempat pembiakan Aedes aegypti. Jika ada tempat
penyimpana air tutup rapat untuk menghindari tempat berkembang biaknya atau penyimpanan
telur nyamuk. Menggukana alar semprot volume ultra rendah secara efektif.

Diagnosis dan diagnosis banding

Diagnosis klinis berasal dari kecurigaan yang tinggi dan pengetahuan distribusi geografis
dan siklus lingkungan virus penyebab. Pemajaman terhadap dengue dapat terjadi di daerah
epidemik dan endemik.

Diagnosis banding meliputi sejumlah penyakit virus pernapasan dan seperti influenza
dan stadium awal malaria, scrub tifus, hepatitis, dan leptospirosis.
Karena tanda-tanda klinis bervariasi dan ada banyak kemungkinan agen penyebab, istilah
“penyakit seperti - dengue” harus digunakan sampai diagnosis spesifik di tegakkan. Diagnosis
etiologi dapat dibuat dengan pemeriksaan serologi atau isolasi virus dari leukosit darah atau
serum. Darah untuk pemeriksaan perbandingan antibodi dan pemeriksaan virus harus di ambil
selama masa demam, lebih disukai awal, dan selama masa konvalesen, 14-21 hari sesudah
mulai. Serum atau plasma fase akut dapat dibekukan, optimal pada suhu – 65oC atau lebih
dingin. Leukosit harus di dinginkan dalam lemari es, tidak dibekukan. Diagnosis serologis
tergantung pada kenaikan empat kali atau lebih besar dalam titer antibodi pada pasangan serum
dengan uji hemaglutinasi inhibisi, komplemen fiksasi imunoassay enzim, atau netralisasi.
Secara hati-hati imunoassay enzim imunoglobulin (Ig)M- dan IgG- tertangkap yang dibekukan,
sekarang digunakan secara luas untuk mengenali antibodi fase akut dari penderita dengan
infeksi dengue primer atau sekunder pada sampel serum – tunggal. Biasanya sampel demikian
harus dikumpulkan tidak lebih awal dari 5 hari atau tidak lebih lama dari 6 minggu sesudah
mulai. Virus dapat ditemukan dari fase akut serum sesudan inokulasi biakan jaringan atau
nyamuk hidup. RNA virus seperti di deteksi dalam darah atau jaringan dengan probe DNA
yang melengkapi atau diperbesar dengan reaksi rantai polimerasi (RRP).

Pengobatan

Pengobatan adalah suportif. Tirah baring diperlukan selma masa demam. Antipiretik atau
spons dingin harus digunakan untuk mempertahankan suhu tubuh di bawah 40 ⁰C. Analgesik
atau sedasi mungkin diperlukan untuk mengendalikan nyeri. Pengantian cairan mungkin
diperlukan jika disertai oleh keringat, puasa, haus, muntah atau diare.
Sindroma Lupus Eritematosus (SLE)
Definisi
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai
dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen pembentukan kompleks imun dan
disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh.
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk
melawan bakteri maupun virus yang masuk kedalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu
sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit.
Patofisiologi
SLE merupakan gangguan imun yang menyerang sel jaringan dan organnya sendiri.
Penyebab dari SLE dapat terjadi diluar dan didalam tubuh sendiri dapat terjadi akibat genetic,
kuman/virus, Sinar UV, dan obat-obatan tertentu. Ketika terjadi gangguan pad tubuh pada
penyakit SLE terjadi peningkatan autoimun yang berlebih dan autoimun menyerang organ
tubuhnya sendiri. Maka, akan terjadi respon inflamasi dalam tubuh. Autoimun yang menyerang
organ itu sendiri akan menstimulasi produksi antibody secara terus-menerus. Sehingga, terjadi
respon inflamasi yang besar-besaran dalam tubuh atau penyakit inflamasi multiorgan yang
dapat terjadi pada paru-paru, hati, darah, otak, ginjal, dan kulit.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah,
malaise, demam, penurunan nafsu makan dan penurunan BB.
1. Gejala Muskuloskeletal
Berupa artritis, atralgia, dan mialgia umumnya timbul mendahului gejala yang lain yang
paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan
tangan, siku dan pergelangan kaki.
2. Gejala Dikulit
Timbulnya ruam kulit yang khas yaitu ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash)
berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Pada bagian tubuh yang
terkena sinar matahari dapat timbul dan ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas lesi
cakram terjadi 10%-20% pasien SLE.
3. Gejala SLE pada Jantung
Sering ditandai adanya perikarditis, miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya
aorta/mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien
umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan hiperlidemia.
4. Gejala pada Paru-Paru
Yang meliputi pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak
napas, dan batuk. Gejala pada paru jarang terjadi namun mempunyai mortilitas yang tinggi.
5. Gejala Gastrointestinal (Saluran Pencernaan)
Pada gejala ini yang sering timbul yaitu mual, diare dan dispepsia. Selain itu dapat terjadi
vaskulitis, perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali.
6. Gejala Sususnan Saraf
Terjadinya neoropati perifer berupa gangguan sensorik dan motoril yang bersifat sementara.
Gejala lain yang timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang dan stroke.
7. Gejala Hematologik
Umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada sebagian besar pasien
saat lupusnya aktif. Pada pasien uji combosnya positif dapat mengalami anemia hemolitik.
Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan trombositopenia berat disertai perdarahan
dan purpura terjadi pada 5% pasien.
8. Gejalan Klinik Kerusakan Ginjal
Dapat dilihat dari tingginya serum kreatinin atau adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada
pasien SLE sering disebut lupus negritis.
Pada wanita dengam SLE yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan
mempercepat penyebaran penyakit selama kehamilan dan pada periode awal setelah
melahirkan. Selain itu juga dapat terjadi aborsi secara spontan atau kelahiran prematur.
Kemungkinan terjadinya preeklamsia atau hipertensi yang disebabkan kehamilan juga dapat
memperparah penyakitnya.
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:
1. Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia,
limfopenia/leukopenia.
2. Tes darah ANA (Anti Nuclear Antibody). Tes ini akan mengidentifikasi antibody
(autoantibody) yang memakan sel-sel berguna bagi tubuh. Hasil positif tes ANA tersebut
belum bisa dikatakan seseorang menderita lupus. Perlu dibutuhkan data lain seperti gejala,
catatan fisik pasien, dan tes lengkap labolatorium hingga dipastikan pasien apakah
menderita lupus.
3. Ruam kulit atau lesi yang khas.
4. Rontgen dada menunjukkan adanya pleuritis atau perikarditis.
5. Pemeriksaann dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau
jantung.
6. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari.
7. Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
8. Biopsi ginjal.
9. Tes vital lupus menunjukkan adanya pita Fg 6 yang khas dan atau deposit Ig M pada
persambungan dermo-epidermis pada kulit yang terlibat dan yang tidak.
Penatalaksanaan
Tidak ada kata sembuh untuk SLE, remisi komplit pun jarang terjadi. Oleh karena itu,
perlu diperhatikan untuk mengendalikan serangan akut dan mengatur strategi sehingga dapat
mensupresi terjadinya kerusakan target organ. Tatalaksana diberikan sesuai manifestasi klinis
yang terjadi dan dibagi dalam kelompok yang mengancam nyawa dan tidak mengancam
nyawa.
 Terapi non farmakologis
Penyuluhan dan edukasi penting di berikan pada pasien dengan SLE yang baru terdiagnosis.
Berikut adalah beberapa hal penting dalam edukasi SLE.
1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
2. Masalah terkait fisik misalnya penggunaan kortikosteroid untuk tatalakdana SLE bisa
menyebabkan osteoporosis sehingga perlu dibarengi dengan latihan jasmani, istirahat,
diet dan mengatasi infeksi secepatnya.
3. Menggunakan payung, lengan panjang atau cream sinar matahari jika terpapar matahari.
4. Memberikan edukasi mengenai terapi yang akan di berikan. Pasien dengan SLE
mengancam nyawa diberikan terapi agresif yakni imunusupresan dan kostikosteroid
dosis tinggi, sedangkan yang tidak mengancam nyawa diberikan terapi konservatif.
 Sistemik lupus eritematusus ringan.
Artitis, artalgia, mialgia, keluhan ringan diberikan analgetik atau nsaid. Jika tidak
membaik dipertimbangkan pemberians hidroksin lorokoin 400 mg/hari. Jika dalam 6 bulan
tidak berefek juga maka di stop. Dapat diberikan metrotreksat 7,5-15 mg/minggu atau bida
dipertimbangkan pemberian cox-2 inhibitor.
Lupus kutaneus, menggunakan suncreen untuk melindungi tubuh sehingga
mengurangi gejala fotosensitivitas. Sunscreen berupa cream, minyak, lotion atau gel yang
mengandung PABA, ester, benzofenon, salisilat dan sibamat. Sunscreen dipakai ulang
setelah mandi atau berkeringat. Dermatitis lupus diberikan kortikosteroid topikal krem,
salep atau injeksi. Antimalaria juga dapat digunakan karena memiliki efek sunblock dan
sunscreen.
Fatiq dan keluhan sistemik. Tidak memerlukan terapi spesifik, cukup menambah
waktu istirahat dan menunjukan empati.
Serotis, nyeri dada dan abdomen merupakan tanda serositis, keadaan ini diatasi
dengan NSAID. Antimalaria atau glukortikoid dosis 15mg/hari, pada keadaan berat
memerlukan kortikorteroid sistemik.

Anda mungkin juga menyukai