Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem saraf manusia adalah suatu jalinan jaringan saraf yang kompleks,
sangat khusus dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Sistem saraf
mengkoordinasi, menafsirkan dan mengontrol interaksi antara individu dengan
lingkungan sekitarnya. Neuron berkontak satu dengan yang lain melalui taut
ang disebut sinapas; tempat inforasi dihantarkan dari satu neuron ke neuron
berikutnya melalui zat kimia penghatar yang disebut neurotransmitter. Secara
umum, neuron dapat dibagi menjadi dua kelas: eksitatorik dan inhibitorik.
Organisasi sistem saraf lebih mudah dipahami setelah penjelasan singkat
mengenai perkembangannya (ontogenik) (Baehr, 2014).
Autis atau autisme adalah suatu gangguan fungsi susunan saraf pusat
kelainan struktur otak, yang terjadi pada janin dalam usia dibawah tiga bulan.
Istilah “autisme” pertama kali diperkenalkan pada tahun 1943 oleh Leo
Kanner, seorang psikiater dari John Hopkins University yang menangani
sekelompok anak-anak yang mengalami kelainan sosial yang berat, hambatan
komunikasi dan masalah perilaku. Anakanak ini menunjukkan sifat menarik
diri (withdrawal), membisu, dengan aktivitas repetitif (berulang-ulang) dan
stereotipik (klise) serta senantiasa memalingkan pandangannya dari orang lain
(YPAC, 2013). Autisme memiliki tanda-tanda sejak masa pertumbuhan awal,
Kanner menyebutnya dengan infantile autism (autisme pada anak-anak).
Lebih lanjut Safaria menjelaskan bahwa gejala autisme termasuk ke adalam
katgori gangguan perkembangan perpasive (perpasive depelopmental
disorder). Gangguan perkembangan adalah bila terjadi keterlamabatan atau
penyimpangan perkembangan dan untuk gejala autis biasanya dintandai
dengan adanya distorsi perkembangan fungsi psikologis secara majemuk yang
meliputi perkembangan keterampilan, sosial dan berbahasa, seperti perhatian,
persepsi daya nilai, terhadap realitas, dan gerakan-gerakan motorik (Karyn,
2004).

1
Menurut Sutadi (2003), sebelum tahun 1990-an prevalensi ASD (Autism
Spectrum Disorder) pada anak berkisar 2-5 penderita dari 10.000 anak-anak
usia dibawah 12 tahun, dan setelah itu jumlahnya meningkat menjadi empat
kali lipat. Sementara itu, menurut Kelana dan Elmy (2007) menyatakan bahwa
prevalensi ASD di Indonesia berkisar 400.000 anak, laki-laki lebih banyak
daripada perempuan dengan perbandingan 4 : 1 (Handojo, 2004). Sebagai
akibatnya jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang memasuki usia sekolah
terus meningkat.
Autisme merupakan salah satu masalah gangguan kesehatan jiwa pada
anak sehingga perlu dipahami oleh mahasiswa kedokteran. Oleh karena itu,
kami dari kelompok 1 bermaksud untuk melakukan kegiatan Tugas
Pengenalan Profesi (TPP) dengan judul “Kasus Autisme Pada Anak”

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada pelaksanaan TPP kali ini yaitu:

1. Bagaimana manifestasi klinis dari autisme pada anak tersebut?


2. Bagaimana faktor risiko autisme pada anak tersebut?
3. Bagaimana penatalaksanaan yang diberikan pada anak yang menderita
autisme?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui manifestasi klinis yang dialami pada anak yang
menderita autisme.
2. Untuk mengetahui faktor resiko kasus autisme pada anak
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan yang diberikan pada anak yang
menderita autisme.

1.4 Manfaat Kegiatan


Manfaat yang didapatkan dari pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi kali ini
adalah agar mahasiswa dapat mengidentifikasi secara langsung anak yang
menderita autisme

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1 Definisi Autisme
Istilah autisme sudah cukup populer dikalangan masyarakat. Terdapat
bermacam-macam definsi autisme dari pendapat para ahli. Istilah autisme
pertama kali diperkenalkan oleh Leo Kanner pada tahun 1943
mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi
dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan
yang tertunda, echolalia, pembalikan kalimat, adanya aktifitas bermain yang
repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk
mempertahankan keteraturan di dalam lingkunganya. Dari deskripsi tersebut
muncullah istilah autisme. Istilah autisme itu sendiri berasal dari kata “auto”
yang berarti sendiri. Jadi anak autis seakan-akan hidup di dunianya sendiri.
Mereka cenderung menarik diri dari lingkungannya dan asyik bermain sendiri
(Handoyo,2004).
Autisme merupakan gangguan yang dimulai dan dialami pada masa
kanak-kanak. Autisme infantil (autisme pada masa kanak-kanak) adalah
gangguan ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan
berbahasa yang ditunjukan dengan penguasaan yang tertunda, echolalia
(meniru/membeo), mutism (kebisuan, tidak mempunyai kemampuan untuk
berbicara), pembalikan kalimat dan kata (menggunakan kamu untuk saya),
adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat,
dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam
lingkungannya, rasa takut akan perubahan, kontak mata yang buruk, lebih
menyukai gambar dan benda mati (Kaplan dkk, 1994).
Menurut Wright (2007), autisme adalah gangguan perkembangan yang
secara umum tampak di tiga tahun pertama kehidupan anak. Gangguan ini
berpengaruh pada komunikasi, interaksi sosial, imajinasi dan sikap. Menurut
Yuwono (2009), autis merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang
sangat kompleks/berat dalam kehidupan yang panjang, yang meliputi
gangguan pada aspek interaksi sosial, komunikasi dan bahasa dan perilaku
serta gangguan emosi dan persepsi sensori bahkan pada aspek motoriknya.
Gejala autistik muncul pada usia sebelum 3 tahun. Menurut Sastra (2011),
autisme adalah gangguan perkembangan otak pada anak yang berakibat tidak

3
dapat berkomunikasi dan tidak dapat mengekspresikan perasaan dan
keinginannya, sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu.
Menurut Danuatmaja (2003), autisme merupakan suatu kumpulan sindrom
akibat kerusakan syaraf dan penyakit ini mengganggu perkembangan anak.

2.2 Klasifikasi Autisme


Berdasarkan Yayasan Pembinaan Anak Cacat (2013), klasifikasi Autisme
dapat dibagi berdasarkan berbagai pengelompokan kondisi:
1. Klasifikasi berdasarkan saat munculnya kelainan
a. Autisme infantil istilah ini digunakan untuk menyebut anak autis yang
kelainannya sudah nampak sejak lahir
b. Autisme fiksasi adalah anak autis yang pada waktu lahir kondisinya
normal, tanda-tanda autisnya muncul kemudian setelah berumur dua
atau tiga tahun
2. Klasifikasi berdasarkan intelektual
a. Autis dengan keterbelakangan mental sedang dan berat (IQ dibawah
50) dengan prevalensi 60% dari anak autistik.
b. Autis dengan keterbelakangan mental ringan (IQ 50-70) dengan
prevalensi 20% dari anak autis
c. Autis yang tidak mengalami keterbelakangan mental (Intelegensi
diatas 70) dengan prevalensi 20% dari anak autis.
3. Klasifikasi berdasarkan interaksi sosial
a. Kelompok yang menyendiri, banyak terlihat pada anak yang menarik
diri, acuh tak acuh dan kesal bila diadakan pendekatan sosial serta
menunjukkan perilaku dan perhatian yang tidak hangat.
b. Kelompok yang pasif, dapat menerima pendekatan sosial dan bermain
dengan anak lain jika pola permainannya disesuaikan dengan dirinya.
c. Kelompok yang aktif tapi aneh, secara spontan akan mendekati anak
yang lain, namun interaksinya tidak sesuai dan sering hanya sepihak.
4. Klasifikasi berdasarkan prediksi kemandirian :
a. Prognosis buruk, tidak dapat mandiri (2/3 dari penyandang autis).
b. Prognosis sedang, terdapat kemajuan dibidang sosial dan pendidikan
walaupun masalah perilaku tetap ada (1/4 dari penyandang autis).
c. Prognosis baik mempunyai kehidupan sosial yang normal atau hampir
normal dan berfungsi dengan baik di sekolah ataupun ditempat kerja
(1/10 dari penyandang autis).

4
Selain klasifikasi berdasarkan kondisi, DSM-V dalam American
Psychiatric Association (2013), juga memberikan klasifikasi autis yang
didasarkan pada tingkat keparahannya. Berdasarkan tingkat keparahannya,
individu autis diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan 1, individu yang memerlukan dukungan
Gambaran komunikasi sosial untuk penyandang autis pada level ini
adalah: kelemahan komunikasi sosial terlihat saat tidak ada dukungan,
kesulitan memulai interaksi sosial dan penurunan ketertarikan dalam
interaksi sosial. Contohnya adalah individu autis yang mampu berbicara
dengan lancar namun gagal mempertahankan komunikasi dan gagal
membentuk jalinan pertemanan. Gambaran perilaku berulang untuk
penyandang autis pada level ini adalah: mengalami kesulitan dalam
peralihan aktivitas, permasalahan dalam mengorganisasi dan membuat
perencanaan sehingga menghambat kemandirian.
2. Tingkatan 2, individu memerlukan dukungan yang kuat
Gambaran komunikasi sosial untuk penyandang autis pada level ini
adalah: terlihat kelemahan dalam ketrampilan komunikasi sosial verbal
dan non-verbal, kelemahan sosial jelas terlihat bahkan saat disertai
dukungan, inisiatif interaksi sosial yang terbatas dan respon abnormal pada
stimulus sosial. Gambaran perilaku berulang untuk penyandang autis pada
level ini adalah: perilaku yang tidak fleksibel, kesulitan menghadapi
perubahan, perilaku berulang atau terbatas dengan frekuensi tinggi
sehingga menganggu fungsi individu dalam banyak konteks, distress dan
atau kesulitan saat mengganti fokus atau kegiatan.
3. Tingkatan 3, individu sangat memerlukan dukungan kuat
Gambaran komunikasi sosial untuk penyandang autis pada level ini
adalah kekurangan yang parah dalam ketrampilan komunikasi sosial
verbal dan non-verbal mengakibatkan kelemahan yang parah dalam
fungsi, inisiatif interaksi sosial sangat terbatas dan respon yang sangat
minim pada rangsangan sosial. Contohnya adalah seseorang dengan
sedikit berbicara yang jarang berinteraksi, hanya berinteraksi jika
membutuhkan sesuatu, pendekatan yang aneh dan tidak biasa saat
berinteraksi. Gambaran perilaku berulang untuk penyandang autis pada

5
level ini adalah: perilaku yang tidak fleksibel, kesulitan yang ekstrim
dalam menghadapi perubahan, perilaku berulang dan terbatas mengganggu
fungsi dalam semua bidang.

2.3 Faktor Risiko Autisme


Penyebab Autisme itu sendiri, menurut para ahli dalam hasil
penelitiannya menyatakan bahwa bibit autisme telah ada jauh hari sbelum bayi
yang dilahirkan bahkan sebleum vaksinasi dilakukan. Patricia Rodier, seorang
ahli embrio dari Amerika menyatakan bahwa gejala autisme dan cacat lahir itu
disebabkan karena terjadinya kerusakan jaringan otak yang terjadi sebelum 20
hari pada saat pembentukan janin. Peneliti lainnya, Minshew menemukan
bahwa anak yang terkena autisme bagian otak yang mengendalikan pusat
memori dan emosi menjadi lebih kecil dari pada anak normal. Penelitian ini
membuktikan bahwa gangguan perkembangan otak telah terjadi pada semester
ketiga saat kehamilan atau pada saat kelahiran bayi.
Menurut Handojo (2004), menyatakan penyebab autisme bisa terjadi
pada saat kehamilan. Pada tri semester pertama, faktor pemicu biasanya terdiri
dari infeksi (toksoplasmosis, rubella, candida, dsb), keracunan logam berat,
zat aditif (MSG, pengawet, pewarna), maupun obat-obatan lainnnya. Selain
itu, tumbuhnya jamur berlebihan di usus anak sebagai akibat pemakaian
antibotika yang berlebihan, dapat menyebabkan kebocoran usus (leaky-gut
syndrome) dan tidak sempurnanya pencernaan kasein dan gluten. Secara
neurobiologis diduga terdapat tiga tempat yang berbeda dengan mekanisme
yang berbeda yang dapat menyebabkan autisme yaitu:
1. Gangguan fungsi mekanisme kortikal menyeleksi atensi, akibat adanya
kelainan pada proyeksi asending dari serebelium dan batang otak.
2. Gangguan fungsi mekanisme limbic untuk mendapatkan informasi,
misalnya daya ingat.
3. Gangguan pada proses informasi oleh korteks asosiasi dan jaringan
pendistribusiannya (Handojo, 2004)
Berdasarkan Yayasan Pembinaan Anak Cacat (2013), secara pasti
penyebab autisme tidak diketahui namun autisme dapat terjadi dari kombinasi
berbagai faktor, termasuk faktor genetik yang dipicu faktor lingkungan. Ada

6
berbagai teori yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
autisme yaitu:
1. Teori Biologis
a. Faktor Genetik,
Keluarga yang terdapat anak autis memiliki resiko lebih tinggi
dibandingkan populasi keluarga normal. Abnormalitas genetik dapat
menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel – sel saraf dan sel otak.
b. Prenatal, natal dan post natal
Pendarahan pada kehamilan awal, obat-obatan, tangis bayi yang
terlambat, gangguan pernapasan dan anemia merupakan salah faktor
yang dapat mempengaruhi terjadinya autisme. Kegagalan pertumbuhan
otak karena nutrisi yang diperlukan dalam pertumbuhan otak tidak
mencukupi karena nutrisi tidak dapat diserap oleh tubuh, hal ini dapat
terjadi karena adanya jamur dalam lambungnya, atau nutrisi tidak
terpenuhi karena faktor ekonomi

c. Neuro Anatomi
Gangguan/fungsi pada sel-sel otak selama dalam kandungan yang
mungkin disebabkan terjadinya gangguan oksigenasi perdarahan atau
infeksi dapat memicu terjadinya autisme.
d. Struktur dan Biokimiawi Otak dan Darah
Kelainan pada cerebellum dengan sel-sel purkinje mempunyai
kandungan serotinin yang tinggi. Demikian juga kemungkinan
tingginya kandungan dopamin atau upioid dalam darah.
2. Teori Psikososial
Beberapa ahli (Kanner & Bruno Bettelhem) autisme dianggap
sebagai akibat hubungan yang dingin/tidak akrab antara orang tua ibu dan
anak. Demikian juga orang yang mengasuh dengan emosional kaku, obsesif
tidak hangat bahkan dingin dapat menyebabkan anak asuhnya menjadi
autistik.
3. Faktor Keracunan Logam Berat
Keracunan logam berat dapat terjadi pada anak yang tinggal dekat
tambang batu bara, emas dsb. Keracunan logam berat pada makanan yang
dikonsumsi ibu yang sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan

7
logam berat yang tinggi. Pada penelitian diketahui dalam tubuh anak-anak
penderita autism terkandung timah hitam dan merkuri dalam kadar yang
relatif tinggi.
4. Faktor Gangguan Pencernaan, Pendengaran, dan Penglihatan.
Menurut data yang ada 60% anak autistik mempunyai sistem
pencernaan kurang sempurna. Kemungkinan timbulnya autistik karena
adanya gangguan dalam pendengaran dan penglihatan.
5. Autoimun tubuh
Auto imun pada anak dapat merugikan perkembangan tubuhnya
sendiri karena zat – zat yang bermanfaat justru dihancurkan oleh tubuhnya
sendiri. Imun adalah kekebalan tubuh terhadap virus/bakteri pembawa
penyakit. Sedangkan autoimun adalah kekebalan yang dikembangkan oleh
tubuh sendiri yang justru kebal terhadap zat – zat penting dalam tubuh dan
menghancurkannya.

2.4 Epidemiologi Autisme


Setiap tahun di seluruh dunia, kasus autisme mengalami peningkatan.
Awal tahun1990-an, kasus autisme masih berkisar pada perbandingan 1 :
2.000 kelahiran.(Synopsis of Psychiatry). Di Amerika Serikat pada th 2000
angka ini meningkat menjadi 1 dari 150 anak punya kecenderungan menderita
autisme (Sutism Research Institute). Di Inggris, datanya lebih
mengkhawatirkan. Data terakhir dari CDC (Center for Disease Control and
Prevention) Amerika Serikat pada tahun 2002 juga menunjukkan prevalensi
autisme yang semakin membesar, sedikitnya 60 penderita dalam 10.000
kelahiran. Berdasarkan data International Congress on Autismem tahun 2006
tercatat 1 dari 150 anak punya kecenderungan autisme. Pada tahun yang sama
data dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Centers for Disease
Control and Prevention) Amerika Serikat menyebut, prevalensi penyandang
autisme di beberapa negara bagian adalah 1 dari 88 anak usia 8 tahun.
Penelitian di Korea Selatan tahun 2005-2009 menemukan, autisme pada 26,4
dari 1.000 anak usia 7-12 tahun (YPAC, 2013).
Meningkatnya jumlah kasus autisme ini kemungkinan karena semakin
berkembangnya metode diagnosis, sehingga semakin banyak ditemukan anak

8
penderita Autism Spectrum Disorder (ASD). Sampai saat ini, belum ada data
pasti mengenai jumlah penyandang autisme di Indonesia. Dari catatan praktek
dokter diketahui, dokter menangani 3-5 pasien autisme pertahun tahun 1980.
Data yang akurat dari autisme ini sukar didapatkan, hal ini disebabkan karena
orang tua anak yang dicurigai mengindap autisme seringkali tidak menyadari
gejala-gejala autisme pada anak. Akibatnya, mereka tidak terdeteksi dan
begitu juga keluarga yang curiga anaknya ada kelainan mencari pengobatan
ke bagian THT karena menduga anaknya mengalami gangguan pendengaran
atau ke poli tumbuh kembang anak karena mengira anaknya mengalami
masalah dengan perkembangan fisik. Menurut Sutadi (2003), sebelum tahun
1990-an prevalensi ASD pada anak berkisar 2-5 penderita dari 10.000 anak-
anak usia dibawah 12 tahun, dan setelah itu jumlahnya meningkat menjadi
empat kali lipat. Sementara itu, menurut Kelana dan Elmy (2007) menyatakan
bahwa prevalensi ASD di Indonesia berkisar 400.000 anak, lakilaki lebih
banyak daripada perempuan dengan perbandingan 4 : 1 (YPAC, 2013).

2.5 Patofisiologi Autisme


Saat ini telah diketahui bahwa autisme merupakan suatu gangguan
perkembangan, yaitu suatu gangguan terhadap cara otak berkembang. Akibat
perkembangan otak yang salah maka jaringan otak tidak mampu mengatu
pengamatan dan gerakan, belajar dan merasakan serta fungsi-fungsi vital
dalam tubuh (NIMH, 2017).
Penelitian post-mortem menunjukkan adanya abnormalitas di daerah-
daerah yang berbeda pada otak anak-anak dan orang dewasa penyandang
autisme yang berbeda-beda pula. Pada beberapa bagian dijumpai adanya
abnormalitas berupa substansia grisea yang walaupun volumenya sama seperti
anak normal tetapi mengandung lebih sedikit neuron (NIMH, 2017).
Kimia otak yang paling jelas dijumpai abnormal kadarnya pada anak
dengan autis adalah serotonin 5-hydroxytryptamine (5-HT), yaitu sebagai
neurotransmiter yang bekerja sebagai pengantar sinyal di sel-sel saraf. Anak-
anak penyandang autisme dijumpai 30-50% mempunyai kadar serotonin tinggi
dalam darah. Perkembangan norepinefrine (NE), dopamin (DA), dan 5-HT
juga mengalami gangguan (NIMH, 2017).

9
2.6 Manifestasi Klinis Autisme
Anak autis termasuk salah satu jenis Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) yang mengalami gangguan neurobiologis dengan adanya hambatan
fungsi syaraf otak yang berhubungan dengan fungsi komunikasi, motorik
sosial dan perhatian. Hambatan yang dialami anak autis merupakan kombinasi
dari beberapa gangguan perkembangan syaraf otak dan perilaku siswa yang
muncul pada tiga tahun pertama usia anak. Menurut Puspita (2003), Seorang
anak disebut sebagai penyandang autistic spectrum disorder, apabila ia
memiliki sebagian uraian dari gejala-gejala sebagai berikut:
1. Gangguan komunikasi
Gangguan komunikasi yaitu suatu kecenderungan yang memiliki hambatan
dalam mengekspresikan diri, sulit bertanya jawab, sering membeo ucapan
orang lain, atau bahkan bicara secara total dan berbagai bentuk masalah
gangguan komunikasi lainnya.
2. Gangguan perilaku
Gangguan perilaku yaitu adanya perilaku stereotip atau khas seperti
mengepakkan tangan, melompat-lompat, berjalan jinjit, senang pada benda
yang berputar atau memutar-mutar benda, mengetuk-ngetukan benda
kepada benda lain. Obsesi pada bagian benda yang tidak wajah dan
berbagai bentuk masalah perilaku yang tidak wajar bagi anak seusianya.
3. Gangguan interaksi
Gangguan interaksi yaitu keengganan seorang anak untuk berinteraksi
dengan anak-anak sebayanya bahkan seringkai merasa terganggu dengan
kehadiran orang lain disekitarnya, tidak dapat bermain bersama anak
lainnya dan lebih senang hidup menyendiri.

2.7 Kriteria Diagnosis Autisme


Menurut Widyawati (2001), autisme merupakan gangguan
perkembangan pervasif / Pervasive Developmental Disorder (PDD) atau
disebut Autism Specrtum Disorder (ASD) yang ditandai dengan adanya
abnormalitas dan / atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3
tahun, dan mempunyai fungsi yang abnormal dalam 3 bidang, yaitu interaksi :
sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas (restriktif) dan berulang

10
(repetitif). Menurut kriteria diagnostik dalam DSM IV dalam Elliott (2003),
karakteristik penderita harus ada sedikitnya 6 gejala dari butir (1), (2), dan (3),
dengan minimal 2 gejala dari butir (1) dan masing-masing satu gejala dari
butir (2) dan (3) dibawah ini.
(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik.Tak mampu
menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata sangat
kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang tertuju.
a. Tak bisa bermain dengan teman sebaya.
b. Tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.
c. Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi
a. Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tak berkembang (dan tidak
ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa
bicara)
b. Bila bisa bicara, bicara tidak dipakai untuk komunikasi
c. Sering menggunakan bahasa aneh yang diulang-ulang
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa
meniru
(3) Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku, minat, dan
kegiatan.
a. Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang sangat khas
dan berlebih-lebihan.
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tak ada
gunanya.
c. Ada gerakan aneh yang khas dan diulangulang.
d. Seringkali terpukau pada bagian-bagian benda.
Bila gejala autisme dapat dideteksi sejak dini dan kemudian dilakukan
penanganan yang tepat dan intensif, kita dapat membantu anak autis untuk
perkembang secara optimal. Menurut Sadock (2016), dalam mendiagnosis
autisme dapat dilihat dari:
1. Ciri Khas Fisik
Anak dengan gangguan autistik sering digambarkan sebagai anak
yang atraktif, dan pada pandangan pertama, tidak menunjukkan adanya
tanda fisik yang menunjukkan gangguan autistik. Mereka memiliki angka
kelainan fisik minor yang tinggi, seperti malformasi telinga. Anomali fisik
minor mungkin merupakan cerminan periode tertentu perkembangan janin

11
saat munculnya kelainan, karena pembentukan telinga terjadi kira-kira pada
waktu yang sama dengan pembentukan bagian otak (Sadock BJ, 2016).
Anak autistik juga memiliki insiden yang lebih tinggi untuk
mengalami dermatoglifik (contoh: sidik jari) yang abnormal dibandingkan
populasi umum. Temuan ini dapat mengesankan adanya gangguan
perkembangan neuroektodermal (Sadock BJ, 2016).
2. Ciri Khas Perilaku
a. Hendaya Kualitatif Dalam Interaksi Sosial
Anak autistik tidak dapat menunjukkan tanda samar keterkaitan
sosial kepada orangtua dan orang lain. Kontak mata yang lebih jarang
atau buruk adalah temuan yang lazim. Perkembangan sosial anak
autistik ditandai dengan gangguan, tetapi biasanya bukan benar-benar
tidak adanya perilaku pelekatan (Sadock BJ, 2016).
Anak autistik sering tidak memahami atau membedakan orang-
orang yang penting di dalam hidupnya(orang tua, saudara kandung,
dan guru) serta dapat menunjukkan ansietas berat ketika rutinitas
biasanya terganggu, tetapi mereka dapat tidak bereaksi secara terbuka
jika ditinggalkan dengan seorang yang asing. Terdapat defisit yang
jelas di dalam kemampuannya untuk bermain dengan teman sebaya
dan berteman; perilaku sosialnya aneh dan dapat tidak sesuai. Secara
kognitif, anak dengan gangguan autistik lebih terampil di dalam tugas
visual-spasial, tidak demikian dengan tugas yang memerlukan
keterampilan di dalam pemberian alasan secara verbal (Sadock BJ,
2016).
Satu deskripsi gaya kognitif anak dengan autisme adalah bahwa
mereka tidak mampu menghubungkan motivasi atau tujuan orang lain,
sehingga tidak dapat memberikan empati. Tidak adanya teori pikiran
ini membuat mereka tidak dapat menginterpretasikan perilaku sosial
orang lain dan menghasilkan tidak adanya timbal balik sosial (Sadock
BJ, 2016).
b. Gangguan Komunikasi dan Bahasa

Defisit perkembangan bahasa dan kesulitan menggunakan


bahasa untuk mengkomunikasikan gagasan adalah kriteria utama untuk

12
mendiagnosis gangguan autistik. Berlawanan dengan anak normal dan
anak yang mengalami retardasi mental, anak autistik memiliki
kesulitan yang signifikan di dalam menggabungkan kalimat yang
bermakna meskipun mereka memiliki kosakata yang luas (Sadock BJ,
2016).

c. Perilaku stereotipik
Pada tahun-tahun pertama kehidupan anak autistik, tidak terjadi
eksplorasi spontan yang diharapkan. Mainan dan objek sering
dimainkan dengan cara ritualistik, dengan sedikit gambaran simbolik.
Anak autistik umumnya tidak menunjukkan permainan pura-pura atau
menggunakan pantomim abstrak. Aktivitas dan permainan anak ini
sering kaku, berulang dan monoton. Banyak anak autistik, terutama
mereka dengan retardasi mental berat, menunjukkan kelainan gerakan.
Manerisme, stereotipik dan menyeringai paling sering jika seorang
anak ditinggalkan sendiri dan dapat berkurang pada situasi yang
terstruktur. Anak autistik umumnya menolak transisi dan perubahan
(Sadock BJ, 2016).
d. Gejala perilaku terkait
Hiperkinesis adalah masalah perilaku yang lazim pada anak
autistik yang masih kecil. Hipokinesis lebih jarang; jika ada,
hipokinesis sering bergantian dengan hiperaktivitas. Agresi dan
ledakan kemarahan dapat diamati, sering disebabkan oleh perubahan
atau tuntutan. Perilaku mencederai diri mencakup membenturkan
kepala, menggigit, menggaruk dan menarik rambut. Rentang perhatian
yang pendek, kemampuan yang buruk untuk berfokus pada tugas,
insomnia, masalah makan, dan enuresis juga lazim ditemukan pada
anak dengan autisme (Sadock BJ, 2016).
e. Penyakit fisik terkait
Anak kecil dengan gangguan autisme memiliki insiden infeksi
saluran napas atas dan infeksi ringan lain yang lebih tinggi daripada
yang diperkirakan. Gejala gastrointestinal lazim ditemukan pada anak
dengan gangguan autistik mencakup bersendawa, konstipasi, dan

13
hilangnya gerakan usus. Juga terdapat meningkatnya insiden kejang
demam pada anak dengan gangguan autistik. Beberapa anak autistik
tidak menunjukkan peningkatan suhu pada penyakit infeksi ringan dan
bisa tidak menunjukkan malaise yang khas pada anak yang sedang
sakit. Pada beberapa kasus, masalah perilaku dan hubungan tampak
membaik hingga suatu derajat yang jelas pada anak selama penyakit
yang ringan, dan pada beberapa kasus, perubahan tersebut merupakan
petunjuk adanya penyakit fisik (Sadock BJ, 2016).
f. Fungsi intelektual
Kemampuan visuomotor atau kognitif yang tidak biasa atau
prekoks terjadi pada beberapa anak autistik. Kemampuan ini, yang
dapat ada bahkan di dalam keseluruhan fungsi yang mengalami
retardasi, disebut sebagai splinter functions atau islet of precocity.
Mungkin contoh yang paling menonjol adalah pelajar autistik atau
idiot, yang memiliki daya ingat menghafal atau kemampuan berhitung
yang luar biasa, biasanya diluar kemampuan sebayanya yang normal.
Kemampuan prekoks lain pada anak autistik yang masih kecil
mencakup hiperleksia, kemampuan awal untuk membaca dengan baik
(meskipun mereka tidak dapat mengerti apa yang mereka baca),
mengingat dan menceritakan kembali, serta kemampuan musikal
(bernyanyi atau memainkan nada atau mengenali karya musik)
(Sadock BJ, 2016).

2.8 Diagnosis Banding Autisme


Ada beberapa jenis gangguan perkembangan pervasif yang dapat menjadi
diagnosis banding dari autisme, diantaranya adalah:
1. Autisme Masa Kanak-kanak (Childhood Autism)
Autisme pada masa kanak-kanak adalah gangguan perkembangan
pada anak yang gejalanya sudah tampak sebelum anak tersebut mencapai
umur tiga tahun. Ciri-ciri gangguan autisme ini adalah: kualitas
komunikasinya tidak normal, adanya gangguan dalam kualitas interaksi
sosial, dalam aktivitas, perilaku, serta interesnya sangat terbatas, diulang-
ulang, dan streotip (Prasetyono, 2008).
2. Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD-NOS)

14
Gejala ini tidak sebanyak seperti pada autisme masa kanak-kanak.
Kualitas dari gangguan tersebut lebih ringan, sehingga anak-anak ini
masih bisa bertatap mata, ekspresi facial tidak terlalu datar, dan masih bisa
diajak bergurau (Prasetyono, 2008).
3. Sindrom Rett (Rett’s Syndrome)
Gangguan perkembangan yang hanya dialami oleh anak wanita.
Sekitar umur enam bulan, bayi mulai mengalami kemunduruan
perkembangan. Pertumbuhan kepala mulai berkurang pada umur lima
bulan sampai empat tahun. Gerakan tangan menjadi tidak terkendali,
gerakan yang terarah hilang, dan disertai dengan gangguan komunikasi
serta penarikan diri secara sosial. Selain itu, terjadi gangguan berbahasa,
perseptivitas, ekspresif, serta kemunduran psikomotor yang hebat. Hal
yang sangat khas adalah timbulnya gerakan tangan yang terus-menerus
(Prasetyono, 2008).
4. Gangguan Disintegratif Masa Kanak-kanak (Childhood Disintegrative
Disorder)
Gejala timbul setelah umur tiga tahun. Perkembangan anak sangat
baik selama beberapa tahun sebelum terjadinya kemunduran yang hebat.
Petumbuhan yang normal terjadi pada usia 1 sampai 2 tahun. Kemudian,
anak akan kehilangan kemampuan yang sebelumnya telah dikuasai dengan
baik (Prasetyono, 2008).
5. Asperger Syndrome (AS)
Lebih banyak terdapat pada anak laki-laki. Perkembangan
bicaranya tidak terganggu, tetapi mereka kurang bisa berkomunikasi
secara timbal balik. Berbicara dengan tata bahasa yang baku dan dalam
berkomunikasi kurang menggunakan bahasa tubuh. Sangat terobsesi kuat
pada suatu benda. Mempunyai daya ingat yang kuat dan tidak mempunyai
kesulitan dalam pelajaran di sekolah (Prasetyono, 2008).

Tabel 1. Diagnosis Banding Autisme dengan Gangguan Perkembangan Pervasif lainnya


Klinis Autisme Sindrom Sindrom Gangguan PDD-NOS
Asperger Rett disintegrasi
anak
Usia(bulan) 0-36 Biasanya 5-30 >24 Variasi
>36

15
Jenis kelamin Laki laki Laki laki Wanita Laki laki Laki laki
lebih banyak lebih lebih banyak lebih banyak
banyak
Hilang Variasi Umumnya Berat Berat Umumnya
kemampuan tidak tidak
Kemampuan Sangat buruk Buruk Variasi Sangat Variasi
sosial buruk
Ketertarikan Variasi Berat (fakta) - - Variasi
khusus (mekanikal)
Riwayat Kadang Sering Umumnya Tidak Tidak
tidak diketahui
Bangkitan Awam Tidak awam Sering Awam Tidak awam
Deselerasi Tidak Tidak Ya Tidak Tidak
pertumbuhan
kepala
Rentang IQ RM berat- RM ringan- RM berat- RM berat RM berat
normal normal normal
Keluaran Buruk-biasa Biasa-baik Sangat Sangat Biasa-baik
buruk buruk
(Volkmar, 2003)
Selain diagnosis banding yang ada diatas terdapat juga diagnosis banding
berdasarkan Sadock (2016), yang terbagi menjadi:
1. Skizofrenia dengan onset masa anak-anak
Skizofrenia jarang pada anak-anak di bawah 5 tahun. Skizofrenia
disertai dengan halusinasi atau waham, dengan insidensi kejang dan
retardasi mental yang lebih rendah dan dengan I.Q yang lebih tinggi
dibandingkan dengan anak autistic (Sadock, 2016).

Tabel 2. Perbandingan antara autisme dan skizofrenia


Kriteria Gangguan Autistik Skizofrenia dengan Onset
Anak-Anak
Usia onset <36 bulan >5 tahun
Insiden 2-5 dalam 10.000 Tidak diketahui,
kemungkinan sama atau
bahkan lebih jarang
Rasio jenis kelamin (L:P) 3-4:1 1,67:1
Karakteristik perilaku Gagal untuk Halusinasi dan waham,
mengembangkan gangguan pikiran.
hubungan : tidak ada bicara
(ekolalia); frasa stereotipik;

16
tidak ada atau buruknya
pemahaman bahasa;
kegigihan atas kesamaan
dan stereotipik.
Fungsi adaptif Biasanya selalu terganggu Perburukan fungsi
Tingkat inteligensi Pada sebagian besar kasus Dalam rentang normal,
subnormal, sering sebagian besar normal
terganggu parah (70%) bodoh (15%)
Kejang Grand mal 4-32% Tidak ada atau insiden
rendah
(Sadock, 2016)
2. Retardasi mental dengan gangguan emosional/perilaku
Kira-kira 40% anak autistik adalah teretardasi sedang, berat atau
sangat berat, dan anak yang teretardasi mungkin memiliki gejala perilaku
yang termasuk ciri autistik. Ciri utama yang membedakan antara
gangguan autistik dan retardasi mental adalah (Sadock, 2016):
a. Anak teretardasi mental biasanya berhubungan dengan orang tua atau
anak-anak lain dengan cara yang sesuai dengan umur mentalnya.
b. Mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain.
c. Mereka memilki sifat gangguan yang relatif tetap tanpa pembelahan
fungsi.

3. Gangguan bahasa reseptif /ekspresif campuran


Sekelompok anak dengan gangguan bahasa reseptif/ekspresif memiliki
ciri mirip autistic (Sadock, 2016).

Tabel 3. Perbandingan antara autisme dan Gangguan bahasa reseptif


Kriteria Gangguan Autistik Gangguan Bahasa
Reseptif / Espresif
campuran
Insiden 2-5 dalam 10.000 5 dalam 10.000
Rasio Jenis Kelamin (L:P) 3-4:1 Sama atau hampir sama
Riwayat keluarga adanya 25% kasus 25% kasus
keterlambatan bicara/
gangguan bahasa
Kelainan bahasa (ekolalia, Lebih sering Lebih jarang
frasa stereotipik di luar

17
konteks)
Gangguan artikulasi Lebih jarang Lebih sering
Tingkat intelegensia Sering terganggu parah Walaupun mungkin
terganggu, sering kali
kurang parah
Pola tes IQ Tidak rata, rendah pada Lebih rata, walaupun IQ
skor verbal, rendah pada verbal lebih rendah dari IQ
sub test pemahaman kinerja.
Perilaku autistic, gangguan Lebih sering terjadi dan Tidak ada atau jika ada,
kehidupan social, aktivitas lebih parah kurang parah
stereotipik dan ritualistik
(Sadock, 2016)
4. Afasia didapat dengan kejang
Afasia didapat dengan kejang adalah kondisi yang jarang yang
kadang sulit dibedakan dari gangguan autistik dan gangguan disintegratif
masa anak-anak. Anak-anak dengan kondisi ini normal untuk beberapa
tahun sebelum kehilangan bahasa reseptif dan ekspresifnya selama periode
beberapa minggu atau beberapa bulan. Sebagian akan mengalami kejang
dan kelainan EEG menyeluruh pada saat onset, tetapi tanda tersebut
biasanya tidak menetap. Suatu gangguan yang jelas dalam pemahaman
bahasa yang terjadi kemudian, ditandai oleh pola berbicara yang
menyimpang dan gangguan bicara. Beberapa anak pulih tetapi dengan
gangguan bahasa residual yang cukup besar (Sadock, 2016).
5. Ketulian kongenital atau gangguan pendengaraan parah
Anak-anak autistik sering kali dianggap tuli oleh karena anak-anak
tersebut sering membisu atau menunjukkan tidak adanya minat secara
selektif terhadap bahasa ucapan. Ciri-ciri yang membedakan yaitu bayi
autistik mungkin jarang berceloteh sedangkan bayi yang tuli memiliki
riwayat celoteh yang relatif normal dan selanjutnya secara bertahap
menghilang dan berhenti pada usia 6 bulan – 1 tahun. Anak yang tuli
berespon hanya terhadap suara yang keras, sedangkan anak autistik
mungkin mengabaikan suara keras atau normal dan berespon hanya
terhadap suara lunak atau lemah. Hal yang terpenting, audiogram atau
potensial cetusan auditorik menyatakan kehilangan yang bermakna pada
anak yang tuli. Tidak seperti anak-anak autistik, anak-anak tuli biasanya

18
dekat dengan orang tuanya, mencari kasih sayang orang tua dan sebagai
bayi senang digendong (Sadock, 2016).
6. Pemutusan psikososial
Gangguan parah dalam lingkungan fisik dan emosional (seperti
pemisahan dari ibu, kekerdilan psikososial, perawatan di rumah sakit, dan
gagal tumbuh) dapat menyebabkan anak tampak apatis, menarik diri, dan
terasing. Keterampilan bahasa dan motorik dapat terlambat. Anak-anak
dengan tanda tersebut hampir selalu membaik dengan cepat jika
ditempatkan dalam lingkungan psikososial yang menyenangkan dan
diperkaya, yang tidak terjadi pada anak autistic (Sadock, 2016).

2.9 Tatalaksana Autisme


Banyak obat yang digunakan untuk mengobati gejala yang bisa
ditemukan pada pasien dengan ASD (autism spectrum disorder). Obat
golongan antipsikotik (risperidon, olanzapin, queteiapin, aripiprazol,
zipasidon, paliperidon, haloperidol dan tioridazine) digunakan bila terdapat
perilaku agresif, agitasi, iritabilitas, hiperaktif, dan perlakuan melukai diri
sendiri. Antikonfulsan dan lithium dapat digunakan untuk perilaku agresif.
Naltrekson telah digunakan untuk mengurangi perilaku kecenderungan untuk
melukai diri sendiri. Selektif serotonin reuktake inhibitor (SSRI) diberikan bila
terdapat kegelisahan, perseperasi, konpulsif, depresi dan isolasi sosial
(menarik diri). Obat golongan stimulant berguna untuk hiperaktif dan
gangguan pemusatan perhatian (respon yang lebih baik terlihat pada gangguan
asperger’s). Agonis alfha-2 (guanfasin, klonidin) digunakan untuk perilaku
hiperaktif, agresif, dan gangguan tidur, meskipun melatonin adalah obat lini
pertama untuk gangguan tidur umum (Marcdente, K.J.dkk. 2014).
Pelatihan manajemen perilaku bagi orang tua sangat membantu
mengajarkan anak mereka belajar mengenai perilaku yang sesuai atau pantas.
Pelayanan pendidikan khusus pun disesuaikan secara individu untuk setiap
anak. Terapi okupasi, wicara dan fisioterapi pun diperlukan. Ketersediaan
rujukan untuk para penyandang cacat dan dukungan bagi mereka merupakan
hal yang sangat penting. Terapi yang cenderung bermanfaat adalah terapi yang
disesuaikan dengan kebutuhan individu meliputi applied behaviour analysis

19
(ABA), discrete trial training, dan pengajaran terstruktur. Perlu adanya
kelompok dukungan keluarga dan konseling individu untuk mendukung
orangtua (Marcdente, K.J.dkk. 2014).
Prognosis untuk autism masih memerlukan peninjauan yang hati-hati.
Saat ini belum dikenal metode untuk pencegahan primer. Terapi dna intervensi
yang berorientasi pendidikan bertujuan untuk menurunkan morbiditas dan
memaksimalkan fungsi anak (Marcdente, K.J.dkk. 2014).

BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1 Lokasi Pelaksanaan


Tugas Pengenalan Profesi dilaksanakan di.

3.2 Waktu Pelaksanaan


Tugas Pengenalan Profesi akan dilaksanakan pada:
Hari : Senin
Tanggal : 18 september 2017.

3.3 SubjekTugasMandiri
Subjek tugas mandiri pada pelaksanaan TPP ini adalah anak-anak yang
menderita autisme.

3.4 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan pada Tugas Pengenalan profesi kali ini adalah
panduan observasi/ check list, alat tulis, dan alat perekam.

3.5 Langkah-Langkah Kerja


Langkah kerja yang dilakukan adalah:
1. Membuat proposal Tugas Pengenalan Profesi.
2. Menyiapkan daftar tilikan dalam melakukan observasi.
3. Konsultasi kepada pembimbing.

20
4. Menyiapkan surat permohonan izin melakukan kegiatan Tugas Pengenalan
Profesi.
5. Membuat janji dengan pihak pengelola/ narasumber.
6. Melakukan observasi .
7. Mencatat kembali hasil observasi.
8. Membuat laporan hasil Tugas Pengenalan Profesi.
9. Membuat kesimpulan hasil observasi.

21

Anda mungkin juga menyukai