Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya
kami selaku penyusun dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Metode
Penemuan Hukum Islam”. kami mengucapkan terimakasih dosen pengampu mata
kuliah Ushul Fiqh yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Ucapan terimakasih juga kami ucapkan kepada rekan-
rekan mahasiswa Institut Agama Islam Muhammad Syafiuddin Sambas terutama
program studi PGMI yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi kepada
penyusun. Makalah ini mungkin masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu
kami memerlukan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah
ini. Akhir kata kami mengharapkan makalah ini dapat memberikan wawasan dan
pengetahuan kepada pembaca.

Sambas, 18 Maret 2019

Penyusun

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR.....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................1
C. Tujuan.......................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................2
A. Pengertian Metode Penemuan Hukum Islam...........................................................2
B. Metode Penemuan Hukum Bayani, Ta’lili dan Istislahi...........................................5
BAB III PENUTUP.....................................................................................................10
A. Simpulan.................................................................................................................10
B. Saran.......................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................11

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber pokok hukum islam adalah Al-Quran dan sunah. Pada masa Rasul,
muncul suatu persoalan hukum, baik yang berhubungan dengan Allah maupun
kemasyarakatan, Allah menurunkan ayat-ayat Al-Quran untuk menjelaskannya.
Setelah Rasul wafat, pengemban amanah untuk menyelesaikan masalah hukum
beralih kepada para sahabat meraka pun penyelesaian hukumnya menggunakan
Al-Quran dan sunah sebagai sumber penetapan hukum islam dan ketika tidak ada
dalam sumbernya tersebut mereka mnggunakan metode ijtihad terhadap makna-
makna dari aspek latar belakang historis. Memperhatikan jenis metode penemuan
hukum ataupun metode penerapan hukum dalam ilmu hukum Islam (istinbath al-
hukm) dan penerapan hukum (tathbiq alhukm), dalam hukum Islam sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan metode penemuan hukum dan penerapan hukum yang
digunakan oleh praktisi hukum umum. Demikian pula dengan metode yang
diberlakukan dalam suatu negara menurut hukum Islam yang telah dikemukan
oleh para Juris Islam (fuqaha‟) dan sangat mendasar metode yang mereka
temukan, seperti pemahaman hukum yang terdapat dalam teks hukum dikaji
dengan metode seperti dengan metode hermeneutika maupun dari segi bahasanya
yang disebut Ushul Fikih.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud metode penemuan hukum islam?
2. Apa saja jenis metode penemuan hukum islam?

C. Tujuan
1. Mengetahui metode penemuan hukum islam.
2. Mengetahui jenis metode penemuan hukum islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Metode Penemuan Hukum Islam


Dalam istilah ilmu Ushul Fikih metode penemuan hukum dipakai dengan
istilah ”istinbath”, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil, jalan istinbath ini
memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil. 1
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya”Al-Mustashfa, memasukan dalam bab III
dengan judul ”Thuruqul Istitsmar”. Jika dilihat tujuan mempelajari Ushul Fikih
maka kata kunci yang paling penting dalam mempelajari ilmu tersebut adalah
agar dapat mengetahui dan mempraktekkan kaidah-kaidah cara mengeluarkan
hukum dari dalilnya, dengan demikian metode penemuan hukum merupakan
thuruq al-istinbath yaitu cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam
mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah
bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushuliyah
lainnya.2 Ahli Ushul Fikih menetapkan ketentuan bahwa untuk mengeluarkan
hukum dari dalilnya harus terlebih dahulu mengetahui kaidah syar‟iyyah dan
Lughwiyah.

1
Asjmuni A. Rahman, Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, (Jakarta :PT. Bulan Bintang,
2004), hlm. 1.
2
A.Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Cet. 5,
Edisi Revisi, (Jakarta, Prebada Media, 2005), hlm.17.

2
4

1. Kaidah syar‟iyyah.
Kaidah syar‟iyyah ialah ketentuan umum yang ditempuh syara‟ dalam
menetapkan hukum dan tujuan penetapan hukum bagi subyek hukum
(mukallaf). Selanjutnya perlu juga diketahui tentang penetapan dalil yang
dipergunakan dalam penetapan hukum, urut-urutan dalil, tujuan penetapan
hukum dan sebaginya.
2. Kaidah lughawiyah
Kaidah lughawiyah, makna dari suatu lafaz, baik dari dalalah-nya
maupun uslub-nya dapat diketahui, selanjutya dapat dijadikan pedoman dalam
menetapkan hukum. Kaidah ini berasal dari ketentuan-ketentuan ahli lughat
(bahasa) yang dijadikan sandaran oleh ahli ushul dalam memahami arti lafaz
menurut petunjuk lafaz dan susunannya. Kemudian istinbath adalah cara
bagaimana memperoleh ketentuan Hukum Islam dari dalil-dalilnya
sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul Fikih. Beristinbath hukum dari dalil-
dalilnya dapat dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan
dalam dalil Al-Quran atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan dengan
jalan memahami jiwa hukum yang terkandung dalam dalilnya, baik yang
menyangkut latar belakang yang menjadi landasan ketentuan hukum ataupun
yang menjadi tujuan ketentuan hukum.3 Syarat untuk dapat beristinbath
dengan jalan pembahasan bahasa adalah harus memahami bahasa dalil Al-
Quran dan Sunnah Rasul, yaitu bahasa Arab. Tanpa memiliki pengetahuan
bahasa Arab, beristinbath melalui pembahasan bahasa tidak dapat dilakukan.
Dari sinilah dapat diketahui bahwa pengetahuan tentang bahasa Arab
merupakan hal yang mutlak wajib dipelajari oleh setiap orang yang ingin
berijtihad.

3
Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta, UII Pres,
1984), hlm. 32.
5

B. Metode Penemuan Hukum Bayani, Ta’lili dan Istislahi


1. Metode bayani (hermaneutika)
Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah
metode penemuan hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-
tabyin yaitu proses mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan
(al-izhar) dalam upaya memahami (alfahm) dan komunikasi pemahaman (al-
ifham), perolehan makna (al-talaqqi) dan penyampaian makna (al-tablig). 4
Dalam perkembangan hukum bayani atau setidak nya mendekati sebuah
metode yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang bermakna
“mengartikan‟, “menafsirkan‟ atau “menerjemah‟ dan juga bertindak sebagai
penafsir. Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu
dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, atau usaha mengalihkan diri dari
bahasa asing yang maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang
maknanya lebih jelas, atau suatu proses transformasi pemikiran dari yang
kurang jelas atau ambigu menuju ke yang lebih jelas/konkret. Bentuk
transformasi makna semacam ini, merupakan hal yang esensial dari pekerjaan
seorang penafsir / muffasir.
Dalam tradisi Hukum Islam sesungguhnya terminologi hermeneutika
telah lama dikenal dalam keilmuan Islam yang sering disebut dengan istilah
“ilmu tafsir” (ilm ta’wil dan ilm al bayan). Bahkan dalam perkembangan ilmu
tafsir mengalami kemajuan pesat dalam wacana keislaman, dalam perspektif
yang lebih spesifik, penggunaan istilah “ilmu tafisr‟ ditujukan (dikhitobkan)
pada terminologi “hermeneutika Al Quran” sebagaimana padanan kata dari
hermeneutika pada umumnya. Kata tafsir berasal dari bahasa Arab; fassara
atau safara yang artinya digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesisi
(penafsiran teks) di kalangan orang Islam sejak abad ke-5 hingga sekarang.

4
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi
Teks,( Yogyakata, UII Pres, 2004), hlm. 23.
6

Secara epistemologi kata tafsir (al-tafsir) dan ta’wil (al-ta’wil) sering


kali disinonimkan pengertiannya ke dalam “penafsiran‟ atau “penjelasan‟. Al-
Tafisr berkaitan dengan interprestasi eksternal, sedangkan al-ta’wil lebih
merupakan isnterprestasi yang berkaitan dengan makna batin teks dan
penafsiran metaforis terhadap Al Quran. Dengan kata lain al-tafsir suatu upaya
untuk menyingkap sesuatu yang samar-samar dan tersembunyi melalui
mediator, sedangkan ta’wil kembali ke sumber atau sampai pada tujuan, jika
kembali kepada sumber menunjukan tindakan yang mengupayakan gerak
reflektif, maka makna sampai ke tujuan adalah gerak dinamis. 5
Relevansi dari kajian penemuan hukum bayani mempunyai dua makna
sekaligus: Pertama, metode bayani dapat diahami sebagai metode interprestasi
atas teks-teks hukum atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif,
di mana berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat
maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat hukum. Kedua,
metode bayani juga mempunyai pengaruh besar atau relevansi dengan teori
penemuan hukum. Hal mana ditampilkan dalam kerangka pemahaman
lingkaran spriral hermenuetika (cyricel hermeneutics) yaitu berupa proses
timbal-balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta.
2. Metode ta’lili
Metode ta’lili yaitu metode yang bercorak pada upaya penggalian
hukum yang bertumpu pada penentuan ‘‘illah-‘‘illah hukum (suatu yang
menetapkan adanya hukum) yang terdapat dalam suatu nash.6 Berkembangnya
corak penalaran tak’lili ini karena didukung oleh suatu kenyataan bahwa nash
Al-Quran atau hadis dalam penuturannya tentang suatu masalah hukum
sebagian di iringi dengan penyebutan ‘‘illah-‘‘illah hukumnya. Atas dasar
‘‘illah yang terkandung di dalam suatu nash permasalahan-permasalahan
5
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi
Teks,( Yogyakata, UII Pres, 2004), hlm. 21.
6
Kutbudin Aibak, metodologi pembaruan Hukum Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 80.
7

hukum yang muncul diupayakan oleh mujtahid pemecahanya melalui


penalaran terhadap ‘‘illah yang ada dalam nash tersebut. Dalam
perkembangan pemikiran ushul fiqh, yang termasuk dalam corak penalaran
ta’lili ini adalah metode qiyas dann istihsan, dimana uraian dari kedua hal
tesebut yaitu:
a) Qiyas, secara etimologi kata qiyas berarti qadara, artinya mengukur
membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya.7 Sedangkan arti
qiyas menurut terminologi terdapat beberapa definisi yang berbeda-beda,
definisikan qiyas adalah pempersamakan peristiwa hukum yang tidak di
tentukan hukum nya oleh nash, dengan peristiwa hukum yang telah
ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukum nya sama dengan hukum
yang ditentukan nash.
b) istihsan
Istihsan merupakan salah satu metode ijtihad yang di perselisihkan
oleh para alim ulama, meskipun dalam kenyataanya, semua ulama
menggunakannya, para ulama menggunakannya secara praktis. Pada
dasarnya para ulama menggunakan istihsan dalam arti bahasa yaitu
berbuat sesuatu yang lebih baik atau mengikuti suatu yang lebih baik. 8
Sedangkan secara istilah menurut ahli ushul dari kalangan Hanafiah,
Malikiah dan Hanabilah dalam mendefinisikan istihsan adalah berpindah
dari suatu ketentuan terhadap beberapa peristiwa hukum kepada
ketentuan hukum lain, mendahulukan suatu ketentuan hukum dari
ketentuan yang lain, menyisihkan hukum dari ketentuan hukum umum
yang mencakupnya ataupun mentakhsiskan sebagian satuan hukum dari
hukum umum. Setelah menganalisis beberapa definisi istihsan di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat dari istihsan, yaitu seorang
7
Kutbudin Aibak, metodologi pembaruan Hukum Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 80.

8
Kutbudin Aibak, metodologi pembaruan Hukum Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008),
hlm 150.
8

mujtahid dalam melakukan ijtihad untuk menemukan dan menetapkan


suatu hukum tidak jadi menggunakan suatu dalil, baik dalil itu
menggunakan qiyas, dalam bentuk hukum kulli atau dalam kaidah umum,
sebagai gantinya ia menggunakan dalil lain dalam bentuk qiyas lain yang
dinilai lebih kuat.
3. Metode istislahi
Corak penalaran istislahi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu
pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang di simpulkan dari Alquran dan hadis.
Artinya kemaslahatan yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan yang
secara umum ditunjuk oleh kedua sumber hukum terssebut. Maksudnya
kemaslahatan itu tidak dapat dikembalikan kepada suatu ayat atau hadis
secara langsung baik melalui penalaran bayani atau ta’lili melainkan
dikembalikan pada prinsip umum kemaslahatan yang dikandung oleh nash.
Dalam perkembangan pemikiran ushul fikih, corak penalaran istihlahi ini
tampak dalam beberapa metode ijtihad,antara lain dalam metode al-mashlahah
al-mursalah dan saddudz-dzari’ah.
4. Metode Istishab
Menurut ulama fikih istishab berarti apa yang ada pada masa lalu
dipandang masih ada pada masa sekarang dan masa yang akan datang, atau
terus menetapkan apa yang telah ada dan meniadakan apa yang sebelumnya
tidak ada sehingga terdapat dalil yang mengubahnya.9 Alasan penggunaan
istishab sebagai sumber adalah bahwa secara syar’i hukum-hukum syara’
berlaku sesuai dengan dalil yang ada hingga ada dalil lain yang mengubahnya.
Abu zahrah mencotohkan dengan minuman anggur yang memabukan yang
haram berdasarkan syara’, namun jika kemudian minuman anggur itu
berubah wujud sehingga unsur yagn memabukan itu hilang, misalnya menjadi

9
Abdul Ghofur Anshori dan zulkarnaen harahap, Hukum Islam Dinamika dan
perkembangannya di indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2008), hlm. 188.
9

cuka, maka hilang pulalah keharamnnya.10 Istishab ini ada untuk


mengantisipasi kekosongan hukum atas suatu perkara. Artinya istishab adalah
merupakan jalan untuk mencapai suatu ketetapan hukum, misalnya ketika
terdapat perkara yang tidak ada nash hukum nya (setelah melalui proses
ijtihadiah) maka akan ditetapkan kebolehannya dengan berdasarkan pada
kaidah.
Kegiatan penemuan hukum menjadi model dalam kontruksi Hukum Islam
karena memang hukum Islam lebih bersifat aspiratif dalam menjawab berbagai
problema yang timbul dalam masyarakat. Tidak heran teori-teori tentang penemuan
hukum lahir dari fuqahak karena ilmu pengetahuan hukum Islam selalu dinamis
ketimbang dengan ilmu lainnya. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa dalam
msyarakat Islam justru persoalan fikih merupakan persoalan hidup sehari-hari
khsususnya dalam aspek fikih ibadah dan mu‟amalahnya.

10
Abdul Ghofur Anshori dan zulkarnaen harahap, Hukum Islam Dinamika dan
perkembangannya di indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2008), hlm. 188.
4
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Kegiatan penemuan hukum dengan bayani berarti mengerti sesuatu pada
intinya adalah sama dengan kegiatan menginterprestasi sehingga tercapai
pemahaman sesuatu. Hal demikian merupakan aspek hakiki dalam keberadaan
hukum dalam menjawab permasalahan yang mungkin timbul dengan pemahaman
aspek teks hukum itu sendiri baik yang berwujud tulisan, lukisan, perilaku dan
peristiwa. Pemahaman itu tidak saja terbatas pada tindakan intensitas, melainkan
juga mencakup hal-hal yang tidak dimaksud oleh siapapun, jadi mencakup tujuan
manifest dan tujuan laten.
Penemuan hukum istislahi dimaksudkan untuk mengetahui tujuan syariat dan
merealisasikannya sehingga mampu menyelesaikan permasalahan hukum yang
sedang dihadapi. Dalam keadaan demikian penemuan hukum dengan istislahi
merupakan suatu jalan keluar dari kekakuan hukum agar hukum bermuara
kepada keadilan dan tercapainya kemaslahataan. Istishab ini ada untuk
mengantisipasi kekosongan hukum atas suatu perkara. Artinya istishab adalah
merupakan jalan untuk mencapai suatu ketetapan hukum.

B. Saran
Kami selaku manusia biasa tak luput dari kesalahan, dan masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah, oleh karena itu saran dan masukan dari
kawan-kawan akan sangat membantu dalam penyempurnaan makalah ini.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ibarahim Duksi. 2008. Metode Penetapan Hukum Islam. Jogjakarta, AR-RUZZ


MEDIA.
Rahman, Asjmuni A. Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, Jakarta :PT. Bulan
Bintang.
Djazuli A. 2005. Ilmu Fikih Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam.
Cet. 5. Edisi Revisi. Jakarta: Prebada Media.
Basyir, Ahmad Azhar. Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam. UII Pres
Yogyakarta.
Hamidi, Jazim. 2004. Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan
Interprestasi Teks. Yogyakata. UII Pres.
Aibak, Kutbudin. 2008. Metodologi Pembaruan Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Abdullah, Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam Permasalahan Dan
Fleksibilitaasnya. Jakarta: Sinar Grafika.
Anshori, Abdul Ghofur dan Harahap Zulkarnaen. 2008. Hukum Islam Dinamika Dan
Perkembangannya Di Indonesia. Yogyakarta: Total Media.

11

Anda mungkin juga menyukai