Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

Perdarahan Uterus Abnormal

Disusun oleh:

Bimasena Arya Y 1102013060

Pembimbing:

dr. KGS Abdul Halim Lutfi, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAHARJAWINANGUN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan perdarahan uterus abnormal merupakan suatu penyakit,


dimana salah satunya adalah Disfungsional Uterine Bleeding.
Disfungsional uterine bleeding merupakan suatu perdarahan dari uterus
yang tidak ada hubungannya dengan sebab organik, dimana terjadi
perdarahan abnormal di dalam atau diluar siklus haid oleh karena gangguan
mekanisme kerja poros hipotalamus-hipofisis-ovarium-endometrium.
Perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap umur antara menarche
dan menopause. Tetapi, kelainan ini lebih sering dijumpai sewaktu masa
permulaan dan masa akhir fungsi ovarium. Klasifikasi jenis endometrium
yaitu jenis sekresi atau nonsekresi sangat penting dalam hal menentukan
apakah perdarahan yang terjadi jenis ovulatoar atau anovulatoar.1

Adapun gambaran terjadinya perdarahan uterus disfungsional antara


lain perdarahan sering terjadi setiap waktu dalam siklus haid. Perdarahan
dapat bersifat sedikit-sedikit, terus-menerus atau banyak dan berulang-
ulang dan biasanya tidak teratur. Penyebab perdarahan uterus disfungsional
sulit diketahui dengan pasti tapi biasanya dijumpai pada sindroma polikistik
ovarii, obesitas, imaturitas dari poros hipotalamik-hipofisis-ovarium,
misalnya pada masa menarche, serta ganguan stres bisa mengakibatkan
manifestasi penyakit ini.2

Diagnosis perdarahan uterus disfungsional memerlukan suatu


anamnesis yang cermat. Karena dari anamnesis yang teliti tentang
bagaimana mulainya perdarahan, apakah didahului oleh siklus yang pendek
atau oleh oligomenorea/amenorea, sifat perdarahan, lama perdarahan, dan
sebagainya. Selain itu perlu juga latar belakang keluarga serta latar
belakang emosionalnya. Pada pemeriksaan umum perlu diperhatikan tanda

2
– tanda yang menunjukkan ke arah kemungkinan penyakit metabolik,
penyakit endokrin, penyakit menahun dan lain – lain. Pada pemeriksaan
ginekologik perlu dilihat apakah tidak ada kelainan – kelainan organik yang
menyebabkan perdarahan abnormal ( polip, ulkus, tumor, kehamilan
terganggu ). Pada seorang perempuan yang belum menikah biasanya tidak
dilakukan kuretase tapi wanita yang sudah menikah sebaiknya dilakukan
kuretase untuk menegakkan diagnosis. Pada pemeriksaan histopatologi
biasanya didapatkan endometrium yang hiperplasia. 2

Penanganan atau penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional


sangat komplek, jadi sebelum memulai terapi harus disingkirkan
kemungkinan kelainan organik. Adapun tujuan penatalaksaan perdarahan
uterus disfungsional adalah menghentikan perdarahan serta memperbaiki
keadaan umum penderita. Terapi yang dapat diberikan antara lain kuretase
pada panderita yang sudah menikah, tetapi pada penderita yang belum
menikah biasanya diberikan terapi secara hormonal yaitu dengan pemberian
estrogen, progesteron, maupun pil kombinasi. Adapun tujuan pemberian
hormonal progesteron adalah untuk memberikan keseimbangan pengaruh
pemberian estrogen. Dan pemberian pil kombinasi bertujuan merubah
endometrium menjadi reaksi pseudodesidual.2

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Perdarahan uterus abnormal meliputi semua kelainan haid baik


dalam hal jumlah maupun lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan
banyak, sedikit, siklus haid yang memanjang atau tidak beraturan.
Terminologi menoragia saat ini diganti dengan perdarahan haid banyak atau
heavy menstrual bleeding (HMB) sedangkan perdarahan uterus abnormal
yang disebabkan faktor koagulopati, gangguan hemostasis lokal endometrium
dan gangguan ovulasi merupakan kelainan yang sebelumnya termasuk dalam
perdarahan uterus disfungsional (PUD).

Perdarahan uterus abnormal termasuk didalamnya adalah perdarahan


menstruasi abnormal, dan perdarahan akibat penyebab lain seperti kehamilan,
penyakit sistemik, atau kanker. Diagnosis dan manajemen dari perdarahan uterus
abnormal saat ini menjadi sesuatu yang sulit dalam bidang ginekologi. Pasien
mungkin tidak bisa melokalisir sumber perdarahan berasal dari vagina, uretra,
atau rektum. Pada wanita menyusui, komplikasi kehamilan harus selalu
dipikirkan, dan perlu diingat adanya dua keadaan sangat mungkin terjadi secara
bersamaan (misal mioma uteri dan kanker leher rahim).3

Pola dari perdarahan uterus abnormal


Penggolongan standar dari perdarahan abnormal dibedakan menjadi 7 pola:
1) Menoragia (hipermenorea) adalah perdarahan menstruasi yang banyak dan
memanjang. Adanya bekuan-bekuan darah tidak selalu abnormal, tetapi dapat
menandakan adanya perdarahan yang banyak. Perdarahan yang ‘gushing’ dan
‘open-faucet’ selalu menandakan sesuatu yang tidak lazim. Mioma

4
submukosa, komplikasi kehamilan, adenomiosis, IUD, hiperplasia
endometrium, tumor ganas, dan perdarahan disfungsional adalah penyebab
tersering dari menoragia.
2) Hipomenorea (kriptomenorea) adalah perdarahan menstruasi yang sedikit,
dan terkadang hanya berupa bercak darah. Obstruksi seperti pada stenosis
himen atau serviks mungkin sebagai penyebab. Sinekia uterus (Asherman’s
Syndrome) dapat menjadi penyebab dan diagnosis ditegakkan dengan
histerogram dan histeroskopi. Pasien yang menjalani kontrasepsi oral
terkadang mengeluh seperti ini, dan dapat dipastikan ini tidak apa-apa.
3) Metroragia (perdarahan intermenstrual) adalah perdarahan yang terjadi
pada waktu-waktu diantara periode menstruasi. Perdarahan ovulatoar terjadi
di tengah-tengah siklus ditandai dengan bercak darah, dan dapat dilacak
dengan memantau suhu tubuh basal. Polip endometrium, karsinoma
endometrium, dan karsinoma serviks adalah penyebab yang patologis. Pada
beberapa tahun administrasi estrogen eksogen menjadi penyebab umum pada
perdarahan tipe ini.
4) Polimenorea berarti periode menstruasi yang terjadi terlalu sering. Hal ini
biasanya berhubungan dengan anovulasi dan pemendekan fase luteal pada
siklus menstruasi.
5) Menometroragia adalah perdarahan yang terjadi pada interval yang iregular.
Jumlah dan durasi perdarahan juga bervariasi. Kondisi apapun yang
menyebabkan perdarahan intermenstrual dapat menyebabkan
menometroragia. Onset yang tiba-tiba dari episode perdarahan dapat
mengindikasikan adanya keganasan atau komplikasi dari kehamilan.
6) Oligomenorea adalah periode menstruasi yang terjadi lebih dari 35 hari.
Amenorea didiagnosis bila tidak ada menstruasi selama lebih dari 6 bulan.
Volume perdarahan biasanya berkurang dan biasanya berhubungan dengan
anovulasi, baik itu dari faktor endokrin (kehamilan, pituitari-hipotalamus)
ataupun faktor sistemik (penurunan berat badan yang terlalu banyak). Tumor
yang mengekskresikan estrogen menyebabkan oligomenorea terlebih dahulu,
sebelum menjadi pola yang lain.

5
7) Perdarahan kontak (perdarahan post-koitus) harus dianggap sebagai
tanda dari kanker leher rahim sebelum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Penyebab lain dari perdarahan kontak yang lebih sering yaitu servikal eversi,
polip serviks, infeksi serviks atau vagina (Tichomonas) atau atropik vaginitis.
Hapusan sitologi negatif tidak menyingkirkan diagnosis kanker serviks
invasif, kolposkopi dan biopsi sangat dianjurkan untuk dilakukan.3

Perdarahan Bukan Haid

Yang dimaksudkan disini ialah perdarahan yang terjadi dalam masa antara 2 haid.
Perdarahan itu tampak terpisah dan dapat dibedakan dari haid, atau 2 jenis
perdarahan ini menjadi satu; yang pertama dinamakan metroragia,yang kedua
menometroragia. Metroragia atau menometroragia dapat disebabkan oleh
kelainan organik pada alat genital atau oleh kelainan fungsional.1

2.2 Etiologi

Sebab-sebab organik

Perdarahan dari uterus, tuba, dan ovarium disebabkan oleh kelainan pada:

a) Serviks uteri, seperti polipus servisis uteri, erosio porsionis uteri, ulkus pada
porsio uteri, karsinoma servisis uteri;
b) Korpus uteri, seperti polip endometrium, abortus iminens, abortus sedang
berlangsung, abortus inkompletus, mola hidatidosa, koriokarsinoma,
subinvolusio uteri, karsinoma korporis uteri, sarkoma uteri, mioma uteri;
c) Tuba Falopii, seperti kehamilan ektoplik terganggu, radang tuba, tumor tuba;
d) Ovarium, seperti radang ovarium, tumor ovarium.

Sebab-sebab fungsional
Perdarahan dari uterus yang tidak ada hubungannya dengan sebab organik,
dinamakan perdarahan disfungsional. Perdarahan disfungsional dapat terjadi
pada setiap umur antara menarche dan menopause. Tetapi , kelainan ini lebih
sering dijumpai sewaktu masa permulaan dan masa akhir fungsi ovarium. Dua

6
pertiga dari wanita-wanita yang dirawat di rumah sakit untuk perdarahan
disfungsional berumur diatas 40 tahun, dan 3% dibawah 20 tahun. Sebetulnya
dalam praktek banyak dijumpai pula perdarahan disfungsional dalam masa
pubertas, akan tetapi karena keadaan ini biasanya dapat sembuh sendiri, jarang
diperlukan perawatan di rumah sakit.1

2.3 Patologi
Schröder pada tahun 1915, setelah penelitian histopatologik pada uterus dan
ovarium pada waktu yang sama, menarik kesimpulan bahwa gangguan
perdarahan yang dinamakan metropatia hemoragika terjadi karena persistensi
folikel yang tidak pecah sehingga tidak terjadi ovulasi dan pembentukan
korpus luteum. Akibatnya, terjadilah hiperplasia endometrium karena
stimulasi estrogen yang berlebihan dan terus–menerus. Penjelasan ini masih
dapat diterima untuk sebagian besar kasus-kasus perdarahan disfungsional.1,4
Akan tetapi, penelitian menunjukkan pula bahwa perdarahan disfungsional
dapat ditemukan bersamaan dengan berbagai jenis endometrium, yakni
endometrium atrofik, hiperplastik, proliferatif, dan sekretoris, dengan
endometrium jenis nonsekresi merupakan bagian terbesar. Pembagian

Gambar 1. Siklus Menstruasi Manusia


endometrium dalam endometrium jenis nonsekresi dan endometrium jenis
sekresi penting artinya, kakarena dengan dengan demikian dapat dibedakan
perdarahan yang anovulatoar dan yang ovulatoar. Klasifikasi ini mempunyai
nilai klinik karena kedua jenis perdarahan disfungsional ini mempunyai dasar
etiologi yang berlainan dan memerlukan penanganan yang berbeda. Pada
perdarahan disfungsional yang ovulatoar gangguan dianggap berasal dari
faktor-faktor neuromuskular, vasomotorik, atau hematologik, yang
mekanismenya belum seberapa dimengerti, sedangkan perdarahan anovulatoar
biasanya dianggap bersumber pada gangguan endokrin.1

2.4 Gambaran Klinik


Perdarahan Ovulatoar
Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10% dari perdarahan disfungsional
dengan siklus pendek (polimenorea) atau panjang (oligomenorea). Untuk
menegakkan diagnosis perdarahan ovulatoar, perlu dilakukan kerokan pada
masa mendekati haid. Jika karena perdarahan yang lama dan tidak teratur
siklus haid tidak dikenali lagi, maka kadang-kadang bentuk kurve suhu badan
basal dapat menolong. Jika sudah dipastikan bahwa perdarahan berasal dari
endometrium tipe sekresi tanpa adanya sebab organik, maka harus dipikirkan
sebagai etiologinya:
1. Korpus luteum persistens; dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang-
kadang bersamaan dengan ovarium membesar. Sindrom ini harus
dibedakan dari kehamilan ektopik karena riwayat penyakit dan hasil
pemeriksaan panggul sering menunjukkan banyak persamaan antara
keduanya. Korpus luteum persistens dapat pula menyebabkan pelepasan
endometrium tidak teratur (irregular shedding). Diagnosis irregular
shedding dibuat dengan kerokan yang tepat pada waktunya, yakni
menurut Mc Lennon pada hari ke-4 mulainya perdarahan. Pada waktu ini
dijumpai endometrium dalam tipe sekresi disamping tipe nonsekresi.
2. Insufisiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting,
menoragia, atau polimenore. Dasarnya ialah kurangnya produksi
progesteron disebabkan oleh gangguan LH releasing factor. Diagnosis

8
dibuat, apabila hasil biopsi endometrial dalam fase luteal tidak cocok
dengan gambaran endometrium yang seharusnya didapat pada hari siklus
yang bersangkutan.
3. Apopleksia uteri : pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya
pembuluh darah dalam uterus.
4. Kelainan darah, seperti anemia, purpura trombositopenik, dan gangguan
dalam mekanisme pembekuan darah.

Perdarahan anovulatoar
Stimulasi dengan estrogen menyebabkan tumbuhnya endometrium. Dengan
menurunnya kadar estrogen dibawah tingkat tertentu, timbul perdarahan yang
kadang-kadang bersifat siklis, kadang-kadang tidak teratur sama sekali.

Fluktuasi kadar estrogen ada sangkut-pautnya dangan jumlah folikel yang


pada suatu waktu fungsional aktif. Folikel-folikel ini mengeluarkan estrogen
sebelum mengalami atresia, dan kemudian diganti oleh folikel-folikel baru.
Endometrium dibawah pengaruh estrogen tumbuh terus, dan dari
endometrium yang mula-mula proliferatif dapat terjadi endometrium bersifat
hiperplasia kistik. Jika gambaran itu dijumpai pada sediaan yang diperoleh
dengan kerokan, dapat diambil kesimpulan bahwa perdarahan bersifat
anovulatoar.

Walaupun perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap waktu dalam


kehidupan menstrual seorang wanita, namun hal ini paling sering terdapat
pada masa pubertas dan pada masa pramenopause. Pada masa pubertas
sesudah menarche, perdarahan tidak normal disebabkan oleh gangguan atau
terlambatnya proses maturasi pada hipotalamus, dengan akibat bahwa
pembuatan Releasing Factor dan hormon gonadotropin tidak sempurna. Pada
wanita dalam masa pramenopause proses terhentinya fungsi ovarium tidak
selalu berjalan lancar.

Bila pada masa pubertas kemungkinan keganasan kecil sekali dan ada harapan
bahwa lambat laun keadaan menjadi normal dan siklus haid menjadi

9
ovulatoar, pada seorang wanita dewasa dan terutama dalam masa
pramenopause dengan perdarahab tidak teratur mutlak diperlukan kerokan
untuk menentukan ada tidaknya tumor ganas.

Perdarahan disfungsional dapat dijumpai pada penderita-penderita dengan


penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit darah, penyakit umum yang
menahun, tumor-tumor ovarium, dan sebagainya.1,5 Akan tetapi, disamping itu,
terdapat banyak wanita dengan perdarahan disfungsional tanpa adanya
penyakit-penyakit tersebut diatas. Dalam hal ini stress yang dialami dalam
kehidupan sehari-hari, baik didalam maupun di luar pekerjaan, kejadian-
kejadian yang mengganggu keseimbangan emosional seperti kecelakaan,
kematian dalam keluarga, pemberian obat penenang terlalu lama, dan lain-
lain, dapat menyebabkan perdarahan anovulatoar. Biasanya kelainan dalam
perdarahan ini hanya untuk sementara waktu saja.

2.5 Diagnosis

Pembuatan anamnesis yang cermat penting untuk diagnosis. Perlu ditanyakan


bagaimana mulainya perdarahan, apakah didahului siklus yang pendek atau
oleh oligomenorea/amenorea, sifat perdarahan (banyak atau sedikit-sedikit,
sakit atau tidak), lama perdarahan, dan sebagainya. Pada pemeriksaan umum
perlu diperhatikan tanda-tanda yang menunjuk ke arah kemungkinan penyakit
metabolik, penyakit endokrin, penyakit menahun, dan lain-lain. Kecurigaan
terhadap salah satu penyakit tersebut hendaknya menjadi dorongan untuk
melakukan pemeriksaan dengan teliti ke arah penyakit yang bersangkutan.
Pada pemeriksaan ginekologik perlu dilihat apakah tidak ada kelainan-
kelainan organik, yang menyebabkan perdarahan abnormal (polip, ulkus,
tumor, kehamilan terganggu). Dalam hubungan dengan pemeriksaan ini, perlu
diketahui bahwa di negeri kita keluarga sangat keberatan dilakukan
pemeriksaan dalam pada wanita yang belum kawin, meskipun kadang-kadang

10
hal itu tidak dapat dihindarkan. Dalam hal ini dapat dipertimbangkan untuk
melakukan pemeriksaan dengan menggunakan anestesia umum.

Pada wanita dalam masa pubertas umumnya tidak perlu dilakukan kerokan
guna pembuatan diagnosis. Pada wanita berumur antara 20 dan 40 tahun
kemungkinan besar ialah kehamilan terganggu, polip, mioma submukosum,
dan sebagainya. Disini kerokan diadakan setelah dapat diketahui benar bahwa
tindakan tersebut tidak mengganggu kehamilan yang memberi harapan untuk
diselamatkan. Pada wanita dalam pramenopause dorongan untuk melakukan
kerokan ialah untuk memastikan ada tidaknya tumor ganas.

2.6 Penanganan

Kadang-kadang pengeluaran darah pada perdarahan disfungsional sangat


banyak: dalam hal ini penderita harus istirahat baring dan diberi transfusi
darah. Setelah pemeriksaan ginekologik menunjukkan bahwa perdarahan
berasal dari uterus dan tidak ada abortus inkompletus, perdarahan untuk
sementara waktu dapat dipengaruhi dengan hormon steroid. Dapat diberikan:

a. Estrogen dalam dosis tinggi, supaya kadarnya dalam darah meningkat dan
perdarahan berhenti. Dapat diberikan secara intramuskulus dipropionas
estradiol 2,5 mg, atau benzoas estradiol 1,5 mg, atau valeras estradiol 20
mg. Keberatan terapi ini ialah bahwa setelah suntikan dihentikan,
perdarahan timbul lagi.
b. Progesteron : pertimbangan disini ialah bahwa sebagian besar perdarahan
fungsional bersifat anovulatoar, sehingga pemberian progesteron
mengimbangi pengaruh estrogen terhadap endometrium. Dapat diberikan
kaproas hidroksi-progesteron 125 mg, secara intramuskulus, atau dapat
diberikan per os sehri norethindrone 15 mg atau asetas medroksi-
progesterone (Provera) 10 mg, yang dapat diulangi. Terapi ini berguna
pada wanita dalam masa pubertas.

11
Androgen mempunyai efek baik terhadap perdarahan disebabkan oleh
hiperplasia endometrium. Terapi ini tidak dapat diselenggarakan terlalu lama
mengingat bahaya virilisasi. Dapat diberikan proprionas testosteron 50 mg
intramuskulus yang dapat diulangi 6 jam kemudian. Pemberian
metiltestosteron per os kurang cepat efeknya.

Kecuali pada wanita dalam masa pubertas, terapi yang paling baik ialah
dilatasi dan kerokan. Tindakan ini penting, baik untuk terapi maupun
diagnosis. Dengan terapi ini banyak kasus perdarahan tidak terulang lagi.
Apabila ada penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit darah, dan lain-
lain yang menjadi sebab perdarahan, tentulah penyakit itu harus ditangani.

Apabila setelah dilakukan kerokan perdarahan disfungsional timbul lagi, dapat


diusahakan terapi hormonal. Pemberian estrogen saja kurang bermanfaat
karena sebagian besar perdarahan disfungsional disebabkan oleh
hiperestrinisme. Pemberian progesteron saja berguna apabila produksi
estrogen secara endogen cukup. Dalam hubungan dengan hal-hal tersebut
diatas, pemberian estrogen dan progesteron dalam kombinasi dapat
dianjurkan; untuk keperluan ini pil-pil kontrasepsi dapat digunakan. Terapi ini
dapat dilakukan mulai hari ke-5 perdarahan terus untuk 21 hari. Dapat pula
diberikan progesteron untuk 7 hari, mulai hari ke-21 siklus haid.

Androgen dapat berguna pula dalam terapi terhadap perdarahan disfungsional


yang berulang. Terapi per os umumnya lebih dianjurkan daripada terapi
suntikan. Dapat diberikan metiltestosteron 5 mg sehari; dalil dalam terapi
androgen ialah pemberian dosis yang sekecil-kecilnya dan sependek mungkin.

Terapi dengan klomifen, yang bertujuan untuk menimbulkan ovulasi pada


perdarahan anovulatoar, umumnya tidak seberapa banyak digunakan. Terapi
ini lebih tepat pada infertilitas dengan siklus anovulatoar sebagai sebab.

12
Sebagai tindakan yang terakhir pada wanita dengan perdarahan disfungsional
terus-menerus (walaupun sudah dilakukan kerokan beberapa kali, dan yang
sudah mempunyai anak cukup) ialah histerektomi.

13
PUD Perimenarche ( 10 – 15 tahun )
Px fisik umum Hb, trombosit
Px ginekologi

Singkirkan kelainan organik

Jenis perdarahan

Akut Kronis
Hematologi
Hb<8gr% Hb?gr%

Transfusi Normal Abnormal

Hentikan perdarahan Rujuk untuk penanganan


Pramarin 25 mg IV/5JAM hematologi

HEMATOLOGI

ABNORMAL NORMAL

Selama belum ada Lab rutin


pemeriksaan, cegah haid BMR
dengan Depoprovera 150
mg IM/2 minggu Normal Hipotiroid

3 minggu kemudian sitologi Rujuk


Endokrin peny.dalam
serial & hormonal darah

Obesitas, FSH, Anovulasi,


LH normal FSH, LH
anovulasi
Picu ovulasi (simak dengan
Konsultasi gizi SBB/progesterone darah)
(turunkan BB )

Picu ovulasi (simak dengan


SBB/progestone darah ) Gambar 2. Algoritme PUD Perimenarche

14
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Diagnosis
Seorang pasien wanita 17 tahun datang dengan keluhan menstruasi yang
lama dan banyak sejak tanggal 2 April 2011. Darah yang keluar adalah
darah segar, dan tiap harinya pasien harus mengganti pembalut 5-10 kali.
Keluhan serupa pernah dialami pasien pada bulan Agustus 2010 dan
Januari 2011. Nyeri pada perut disangkal, BAK dan BAB pasien normal.
Riwayat menstruasi pasien dikatakan berubah sejak dua tahun lalu, dimana
menstruasinya dikatakan semakin banyak dan lama hingga 1-2 minggu.
Saat menstruasi yang dialami cukup banyak, pasien akan mengalami
penurunan nafsu makan. Riwayat penyakit lain disangkal.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah yang rendah yaitu
100/70 mmHg dan Nadi yang cepat 98 kali/menit. Ini mengarah ke
keadaan pre-shock. Status general didapatkan anemis pada kedua mata,
yang menandakan pasien mengalami anemia. Dari pemeriksaan rectal
toucher, didapatkan uterus yang normal.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia sedang dengan morfologi
hipokromik mikrositer. Dari pemeriksaan USG tidak ditemukan adanya
massa pada uterus, adnexa maupun vagina.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dicurigai adanya perdarahan uterus
yang abnormal. Karena dari USG tidak ditemukan adanya kelainan
organik, maka kemungkinan besar pasien mengalami perdarahan
disfungsional dari uterus. Sehingga pasien didiagnosa sebagai
“Disfungsional Uterine Bleeding” + Anemia sedang hipokromik
mikrositer.
4.2 Faktor Predisposisi atau etiologi
Faktor penyebab perdarahan uterus abnormal tidak selalu diketahui
dengan pasti. Perdarahan disebabkan baik akibat faktor organik, maupun
faktor fungsional. Perdarahan uterus disfungsional paling sering

15
disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon akibat dari korpus luteum
persistens, insufisiensi korpus luteum, apopleksia uteri, dan kelainan
darah.
4.3 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan utama pada pasien dengan perdarahan adalah hentikan
perdarahan. Obat yang dipilih untuk menghentikan perdarahan pada kasus
ini adalah asam traneksamat sebagai anti-trombolitik, dan regumen
(Norethisterone) yang membantu kerja progesteron dalam menghentikan
perdarahan.
Darah yang hilang diestimasi cukup banyak, terlihat dari tekanan darah,
nadi, dan kadar Hemoglobin yang tidak normal, sehingga perlu dilakukan
resusitasi cairan. Pada pasien ini, sudah dilakukan transfusi darah,
diusahakan agar Hb menjadi 10 gr/dL.
Dilatasi dan kuretase pada pasien ini tidak dianjurkan dalam pembuatan
diagnosis, mengingat keganasan pada usia pubertas sangat jarang terjadi.
4.4 Prognosis
Prognosis pada pasien ini adalah dubius ad bonam, karena kemungkinan
keganasan kecil sekali, dan ada harapan bahwa lambat-laun siklus haid
menjadi normal.

16
BAB V

KESIMPULAN

Telah diuraikan kasus wanita 17 tahun, belum menikah dengan keluhan


menstruasi yang lama dan banyak. Dari hasil pemeriksaan klinis didiagnosa
dengan ‘disfungsional uterine bleeding’ dan anemia sedang hipokromin
mikrositer. Pasien diberikan asam traneksamat, dan norethisterone untuk
menghentikan perdarahan, serta transfusi darah sebanyak 4 kantong, dan
sampai saat tulisan ini dibuat, pasien masih dirawat di ruangan untuk pemulihan
keadaan umum.

Perdarahan uterus disfungsional adalah perdarahan dari uterus yang


tidak ada hubungannya dengan sebab organik. Perdarahan disfungsional dapat
terjadi pada setiap umur antara menarche dan menopause. Tetapi , kelainan ini
lebih sering dijumpai sewaktu masa permulaan dan masa akhir fungsi ovarium.
Dua pertiga dari wanita-wanita yang dirawat di rumah sakit untuk perdarahan
disfungsional berumur diatas 40 tahun, dan 3% dibawah 20 tahun.

Pengeluaran darah pada perdarahan disfungsional biasanya sangat


banyak: dalam hal ini penderita harus istirahat baring dan diberi transfusi darah.
Setelah pemeriksaan ginekologik menunjukkan bahwa perdarahan berasal dari
uterus dan tidak ada abortus inkompletus, perdarahan untuk sementara waktu
dapat dipengaruhi dengan hormon steroid lalu dapat diberikan terapi hormonal
seperti estrogen atau progesteron.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Simanjuntak Pandapotan. Gangguan Haid dan Siklusnya. Dalam :


Wiknjosastro GH, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kandungan.
Edisi 5. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 2005 : pp.
223-228
2. Karkata Kornia Made, et al, Perdarahan Uterus Disfungsional, dalam :
Pedoman Diagnosis-Terapi dan Bagan Alir Pelayanan Pasien, 2003 : pp 68 -
71
3. Silberstein Taaly, Complications of Menstruation; Abnormal Uterine
Bleeding. Dalam : DeCherney Alan H; Nathan Lauren, Current Obstetric &
Gynecologic Diagnosis and Treatment, 9th Edition, Los Angeles:Lange
Medical Books/McGraw-Hill; 2003 : pp 623-630
4. Bulun E Serdar, et al, The Physiology and Pathology of the Female
Reproductive Axis, dalam William Textbook of Endocrinology, 10th Edition,
Elsevier 2003 : pp 587-599
5. Chou Betty, Vlahos Nikos, Abnormal Uterine Bleeding, dalam : The John
Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics, 2nd Edition , 2002 : p.42
6. Prof. Dr. med. Ali Baziad, SpOG(K) dr. Andon Hestiantoro, SpOG(K) dr.
Budi Wiweko, SpOG(K) dr. Kanadi Sumapradja, SpOG, MSc, Panduan Tata
Laksana Perdarahan Uterus Abnormal, Himpunan Endokrinologi Reproduksi
Dan Fertilitas Indonesia Perkumpulan Obstetri Dan Ginekologi Indonesia

18

Anda mungkin juga menyukai