Bab 1
Bab 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit rematik dan keradangan sendi merupakan penyakit yang banyak dijumpai di
masyarakat, khususnya pada orang yang berumur 40 tahun keatas. Lebih dari 40 persen
dari golongan umur tersebut menderita keluhan nyeri sendi otot. Dalam hal ini masalah
rematik dipandang sebagai salah satu masalah kesehatan utama sejak tahun 2000 (Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2010). Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2008
penyakit sendi/reumatik/encok/osteoartritis adalah penyakit yang sering terjadi dengan
pertambahan umur terutama setelah berumur 45 tahun ke atas.
Saat ini diperkirakan paling tidak 355 juta penduduk dunia menderita rematik, yang
artinya 1 dari 6 penduduk dunia mengalami penyakit rematik. Sementara itu, hasil
survei di benua Eropa pada tahun 2004 menunjukkan bahwa penyakit rematik
merupakan penyakit kronik yang paling sering dijumpai. Kurang lebih 50% penduduk
Eropa yang berusia diatas 50 tahun mengalami keluhan nyeri muskuloskeletal paling
tidak selama 1 bulan pada waktu dilakukan survei (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera
Utara, 2010). Berdasarkan American College Of Rheumathology (2013) menyatakan
bahwa sebanyak 52,5 juta atau sekitar 23 persen penduduk dewasa Amerika Serikat
menderita rheumatoid arthritis.
Menurut Kalim, (2008) prevalensi rematik di kota Semarang sekitar 46% dan Bali
56%. Prevalensi rheumathoid arthtritis di Sumatera Utara sebanyak 22,2 % dari total
penduduk wilayah daerah (Nainggolan, 2011). Dinas Kesehatan Kab. Simalungun,
Pamatang Raya dari 10 penyakit terbanyak Reumathoid Arthritis merupakan angka
kejadian kedua terbesar setelah ISPA yang di derita pada lansia yakni sebanyak 829
kunjungan.
1
2
Seseorang yang sudah mengalami lanjut usia akan mengalami beberapa perubahan pada
tubuh/fisik, psikis/intelektual, sosial kemasyarakatan maupun secara spiritual atau
keyakinan. Salah satu perubahan tersebut terjadi pada Sistem Muskuloskletal dimana
tulang kehilangan cairan dan makin rapuh, tafosis, tubuh menjadi lebih pendek,
persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan menjadi sklerosis, atrofi
serabut otot (Wahjudi Nugroho, 2000). Dengan meningkatnya usia fungsi otot dapat
dilatih dengan baik namun usia lanjut tidak selalu mengalami atau menderita rematik.
Bagaimana timbulnya kejadian reumathoid arthritis ini sampai sekarang belum
sepenuhnya dimengerti (Bjelle, 2004).
2
3
Salah satu intervensi non farmakologi yang dapat dilakukan perawat secara mandiri
dalam menurunkan skala nyeri rheumathoid arhtritis yaitu dengan kompres jahe
(Santoso, 2013). Jahe (Zinger Officinale (L) Rosc) mempunyai manfaat yang beragam,
antara lain sebagai rempah, minyak atsiri, pemberi aroma, ataupun sebagai obat. Secara
tradisional, kegunaannya antara lain untuk mengobati rematik, asma, stroke, sakit gigi,
diabetes, sakit otot, tenggorokan, kram, hipertensi, mual, demam dan infeksi ( Ali et al,
2008 dalam Hernani & Winarti, 2010). Beberapa komponen kimia jahe, seperti
gingerol, shogaol dan zingerone memberi efek farmakologi dan fisiologi seperti
antioksidan, anti inflamasi, analgesik, antikarsinogenik (stoilova et al.2007 dalam
Hernani & Winarti, 2010).
Kandungan air dan minyak tidak menguap pada jahe berfungsi sebagai enhancer yang
dapat meningkatkan permeabilitas oleoresin menembus kulit tanpa menyebabkan
iritasi atau kerusakan hingga ke sirkulasi perifer (Swarbrick dan Boylan, 2002).
Senyawa gingerol telah terbukti mempunyai aktivitas sebagai antipiretik, antitusif,
hipotensif anti inflamasi dan analgesik (Surch et al. 1999 dalam Hernani & Winarti,
2010)
Berdasarkan penelitian Nurul Fitriyah, FMIPA UI,2012 tentang “Efek Ekstrak Etanol
70% Rimpang Jahe Merah (Zingiber Officinale Rosc. Var Rubrum) Terhadap
Peningkatan Kepadatan Tulang Tikus Putih Betina RA (Rheumathoid Arthritis) Yang
Diinduksi oleh Complete Freund’s Adjuvant” dimana hasil penelitian menunjukkan
3
4
bahwa dosis 56 mg/200 g berat badan tikus ekstrak jahe merah memiliki persentase
penghambatan udem terbesar, setara dengan natrium diklofenak dosis 1 mg/200 g bb
tikus, dan ketiga dosis ekstrak jahe merah memiliki efek dalam meningkatkan kadar
kalsium tulang setara dengan natrium diklofenak dosis 1 mg/200 g berat badan tikus dan
kontrol normal.
Badan Pusat Statistik 2010 menyatakan bahwa pada tahun 2025 jumlah lansia akan
berkisar 34,22 juta jiwa hal ini akan mempengaruhi tingginya jumlah penderita
reumathoid artritis di Indonesia. Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan
bahwa jumlah penduduk lansia di Indonesia berjumlah 18,57 juta jiwa, meningkat
sekitar 7,93% dari tahun 2000 yang sebanyak 14,44 juta jiwa. Diperkirakan jumlah
lansia di Indonesia akan terus bertambah sekitar 450.000 jiwa per tahun. Dengan
demikian, pada tahun 2025 jumlah penduduk lansia di Indonesia akan sekitar 34,22 juta
jiwa (Badan Pusat Statistik, 2010).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat pengaruh kompres jahe
terhadap intensitas nyeri pada penderita rheumathoid arthritis di lingkungan kerja
Puskesmas Helvetia tahun 2019?”
4
5
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh kompres jahe terhadap intensitas nyeri pada penderita
rheumathoid arthritis usia diatas 40 tahun di lingkungan kerja Puskesmas
helvetia tahun 2019.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi data demografi : usia, jenis kelamin, pendidikan dan
pekerjaan penderita rhematoid arthritis di lingkungan kerja puskesmas
Helvetia tahun 2019.
b. Mengidentifikasi intensitas nyeri pada penderita rheumatoid arthritis pada
usia diatas 40 tahun sebelum dan sesudah dilakukan kompres jahe di
Lingkungan Kerja Puskesmas Helvetia tahun 2019.
c. Menganalisa perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudah dilakukan
kompres jahe pada penderita rheumatoid arthritis usia diatas 40 tahun di
Lingkungan Kerja Puskesmas Helvetia Tahun 2019.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Responden
Memberikan masukaan pengetahuan dalam mengatasi nyeri rheumathoid
arthritis, dimana responden dapat mandiri mengolah jahe sebagai terapi
komplementer dalam mengatasi nyeri rheumathoid arthritis.
2. Bagi Praktek Keperawatan
Memberikan masukan pengetahuan terapi komplementer dengan kompres
jahe yang dapat digunakan sebagai tindakan keperawatan baik di komunitas
maupun di rumah sakit untuk mengurangi intensitas nyeri pada penderita
rheumatoid arthritis.
3. Bagi Pendidikan Keperawatan
Memberikan masukan ilmiah kepada pendidik dan mahasiswa terhadap
manajemen nyeri pada kasus rheumatoid arthritis yaitu melalui kompres
jahe dapat dijadikan sebagai komplementer.
5
6
4. Peneliti Selanjutnya
Sebagai salah satu data dasar dalam pengembangan penelitian tentang
keefektifan kompres jahe terhadap penurunan intensitas nyeri pada penderita
rheumatoid arthritis.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
8
Lamanya rhematoid arthritis berbeda dari tiap orang ditandai dengan masa
adanya serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang
sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Ada juga
klien terutama yang mempunyai faktor rhematoid (seropositif gangguan
rhematoid) gangguan akan menjadi kronis yang progresif (Mujahidullah,
2012).
10
Gangguan Anemia
Hambatan mekanis dan Osteoporosis
Nyeri mobilitas fungsional pada Kelemahan generalisata
fisik sendi fisik
Gambaran
khas nodul Neuropati
subkutan Perubahan perifer
Defisit Resiko
bentuk tubuh
perawatan trauma
pada tulang
diri
dan sendi
Gangguan
Sensorik
Perikarditis,
Kebutuhan miokarditis, dan
Ansietas Informasi radang katup jantung
Kegagalan fungsi
Gangguan konsep jantung
diri, citra diri
5. Manifestasi Klinis
Kriteria rheumathoid arthritis menurut ARA (American Rheumatism
Association) (ARA, 1987; Daud, 2000).
a. Kaku pada pagi hari (morning stiffness)
Pasien merasa kaku pada persendian dan di sekitarnya sejak bangun
tidur sampai sekurang-kurangnya 1 jam sebelum perbaikan maksimal.
b. Artritis pada 3 daerah
Terjadi pembengkakan jaringan lunak atau persendian (soft tissue
swelling) atau lebih efusi, bukan pembesaran tulang (hipeerostosis).
Terjadi pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan dalam
observasi seorang dokter. Terdapat 14 persendian yang memenuhi
kriteria, yaitu interfalang proksimal, metakarpofalang, pergelangan
tangan, siku, pergelangan kaki, dan metatarsofalang kiri dan kanan.
c. Artritis pada persendian
Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan
seperti tertera di atas.
d. Artritris Simetris
Maksudnya keterlibatan sendi yang sama ; tidak mutlak bersifat
simetris pada kedua sisi secara serentak (symmetrical polyarthritis
simultaneously).
e. Nodul reumatoid
Yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan
ektensor atau daerah jukstarartrikular dalan observasi seorang dokter.
f. Faktor rheumatoid serum positif.
Terdapat titer abnormal faktor reumathoid serum yang diperiksa
dengan cara yang memberikan hasil positif kurang dari 5% kelompok
kontrol.
g. Terdapat perubahan gambaran radiologis yang khas
pada pemeriksaan sinar rontgen tangan posteroanterior atau
pergelangan tangan, yang harus menunjukkan adanya erosi atau
12
6. Pemeriksaan Penunjang
Tidak banyak berperan dalam diagnosis rheumatoid arthritis, namun dapat
menyokong bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis pasien. Pada
pemeriksaan laboratorium terdapat :
a. Tes faktor reuma
Biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis reumatoid terutama
bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis
paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis,
penyakit kolagen, dan sarkoidosis.
b. Protein C-reaktif biasanya positif
c. LED meningkat
d. Leukosit normal atau meningkat sedikit
e. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik
f. Trombosit meningkat
g. Kadar albumin serum turun dan globulin naik
h. Pada pemeriksaan rontgen
Semua sendi dapat terkena, tapi yang tersering adalah sendi
metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka juga sering
terkena. Pada awalnya terjadi pembengkakan jaringan lunak dan
demineralisasi juksta artikular. Kemudian terjadi penyempitan. (Kapita
Selekta Kedokteran, jilid 1, Edisi ketiga)
7. Penatalaksanaan
Kekurangan terapi farmakologi dari golongan analgesik dan antiinflamasi
seperti non steroidal anti inflamatory drugs (NSAID) dan disease modifyng
antirhematoid drugs (DMARD) dapat memperberat kondisi osteoarthritis/RA
karena konsumsi dalam jangka waktu yang lama merupakan faktor penyebab
morbiditas dan mortalitas utama (Brunner & Suddarth, 2010).
13
NSAID tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang
efek analgesiknya lemah, tidak menghentikan kerusakan muskuloskeletal
(WHO, 2010). Kekurangan terapi NSAID pada sistem organ yang lain dapat
menyebabkan erosi mukosa lambung, ruam atau erupsi kulit, menimbulkan
nekrosis papilar ginjal, gangguan fungsi trombosit dan meningkatkan tekanan
darah (Brunner & Suddarth, 2010).
a. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang
akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik dan terjamin ketaatan
pasien untuk tetap berobat dalam jangka waktu yang lama.
b. Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) diberikan sejak dini untuk
mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai. OAINS yang
dapat diberikan :
1) Aspirin
Pasien dibawah 65 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1 g/hari,
kemudian dinaikkan 0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan
atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl.
2) Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya
c. DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses
dekstruksi akibat reumathoid arthritis. Mula khasiatnya baru terlihat
setelah 3-12 bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya
dalam menekan proses reumatoid akan berkurang. Keputusan
penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh dokter.
Umumnya segera diberikan setelah diagnosis reumathoid arthritis
ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak baik, meski masih dalam status
tersangka.
Jenis-jenis yang digunakan adalah :
1) Klorokuin
Paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun
efektivitasnya lebih rendah dibanding dengan yang lain. Dosis anjuran
klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari.
Efek samping bergantunng pada dosis harian, berupa penurunan
14
d. Rehabilitasi
Bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya antar lain dengan
mengistirahatkan sendi yang terlibat; latihan, pemanasan dan sebagainya.
Fisioterapi dimulai segera setelah rasa sakit pada sendi berkurang atau
minimal. Bila tidak juga berhasil, mungkin diperlukan pertimbangan untuk
tindakan operatif. Sering pula diperlukan alat-alat. Karena itu, pengertian
tentang rehabilitasi termasuk:
1) Pemakaian alat bidai, tongkat/tongkat penyangga, walking machine,
kursi roda, sepatu dan alat.
2) Alat ortotik protek lainnya
3) Terapi mekanik
4) Pemanasan : baik hidroterapi maupun elektroterapi.
5) Occupational therapy
e. Pembedahan
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta
terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan.
Jenis pengobatn inni pada pasien artritis reumatoid umumnya bersifat
16
B. Konsep Nyeri
1. Definisi nyeri
International Association for Study of Pain (1979), mendefinisikan nyeri
sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual atau
potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimmana terjadi
kerusakan.
2. Fisiologi Nyeri
Nyeri selalu dikaitkan dengan adanya stimulus (rangsang nyeri) dan reseptor.
Reseptor yang dimaksud adalah nosireseptor, yaitu ujung-ujung saraf bebas
pada kulit yang berespon terhadap stimulus yang kuat.
Impuls nyeri diteruskan oleh serat afferen (A-delta & C) ke medulla spinalis melalui
dorsal horn
Slow Pain
3. Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan awitan nyeri dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu nyeri akut dan
kronik.
a. Nyeri akut
Biasanya timbul secara mendadak dengan durasi yang singkat, terbatas dan
pada umumnya berhubungan dengan suatu lesi yang dapat diidentifikasi.
b. Sedangkan nyeri kronik
Sifatnya menetap dan melampaui batas kesembuhan penyakit dan biasanya
tidak ditemukan suatu penyakit atau kerusakan jaringan. Nyeri kronik pada
lansia dapat menyebabkan lansia sangat tergantung pada orang lain,
depresi dan kehilangan rasa percaya diri.
18
Menurut Potter & Perry (2005) ada beberapa macam klasifikasi nyeri
berdasarkan lokasi yakni:
1) Nyeri superficial/kutaneus (Nyeri akibat stimulasi kulit)
Karakteristik Nyeri berlangsung sebentar dan terlokalisasi. Nyeri
biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam. Contoh penyebabnya :
Jarum suntik, luka potong kecil atau terserasi.
2) Viseral dalam Nyeri akibat stimulasi organ-organ internal
Nyeri bersifat difus dan dapat menyebar ke beberapa arah. Durasi
bervariasi tetapi biasanya berlangsung lebih lama daripada nyeri
superficial. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul atau unik tergantung dari
organ yang terlibat.
3) Nyeri alih Terjadi pada nyeri visceral karena banyak organ-organ
yang tidak punya reseptor nyeri. Jalan masuk neuron sensoris dan
organ yang terkena kedalam segmen medulla spinalis sebagai neuron
dari tempat asal nyeri dirasakan, persepsi nyeri pada daerah yang tidak
terkena. Nyeri terasa dibagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri
dan dapat terasa dengan berbagai karakteristik
4) Radiasi
Sensasi nyeri meluas dari tempat awal cedera ke bagian tubuh yang
lain. Nyeri serasa akan menyebar ke bagian tubuh bawah atau
sepanjang bagian tubuh. Nyeri dapat bersifat intermitten atau konstan.
Nyeri punggung bagian tubuh akibat diskus intravertebral yang
rupture disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi
saraf.
g. Budaya, dan
Budaya mempengaruhi bagaimana seseorang mengartikan nyeri,
bagaimana mereka memperlihatkan nyeri serta keputusan yang mereka
buat tentang nyeri yang dirasakannya. Masyarakat dalam suatu
kebudayaan mungkin merasa bangga bila tidak merasakan nyeri karena
mereka menganggap bahwa nyeri tersebut merupakan sesuatu yang dapat
ditahan (Berger, 1997).
h. Orang-orang yang memberi dukungan.
Adanya orang-orang yang memberi dukungan berpengaruh terhadap nyeri
yang dirasakannya, misalnya seorang anak tidak akan berfokus pada nyeri
yang dirasakannya jika ia berada didekat kedua orang tuanya (Taylor,
1997).
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak Nyeri Nyeri Ringan Nyeri Sedang Nyeri Hebat
Gambar 2.2 : Skala Intensitas Nyeri Numerik (0-10) ( McCaffery et al, 1989)
Gambar 2.4 : Skala nyeri wajah Wong & Baker (Kozier & Erb, 2009)
5) Durasi (T : Time)
Perawat menanyakan pada pasien untuk menentukan awitan, durasi,
dan rangkaian nyeri. Perawat menyakan : “Kapan nyeri mulai
dirasakan?”, “Sudah berapa lama nyeri dirasakan?”, “Apakah nyeri
yang dirasakan terjadi pada waktu yang sama setiap hari?”, “Seberapa
sering nyeri kambuh?” atau dengan kata-kata lain yang semakna.
c. Respon fisiologis
Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan
thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari
respon stres, stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom
menghasilkan respon fisiologi.
d. Respon prilaku
Respon prilaku terhadap nyeri yang biasa ditunjukkan oleh pasien antara
lain : merubah posisi tubuh, menngusap bagian yang sakit, menopang
bagian nyeri yang sakit, menggeretakkan gigi, menunjukkan ekspresi
wajah meringis, mengerutkan alis, ekspresi verbal menangis, mengerang,
mengaduh, menjerit, meraung.
e. Respon Afektif
Respon afektif juga perlu diperhatikan oleh seorang perawat dalam
melakukan pengkajian. Ansietas (kecemasan) perlu digali dengan
menanyakan pada pasien.
Pada “tangga kedua” bila rasa nyeri sedang sampai berat asetaminofen
dapat ditambah golongan opioid (hidrokodon, oksikodon, kodein) dan
tramadol. Tramadol dapat digunakan pada lansia yang mengalami
gangguan gastrointesital (konstipasi) dan ginjal Bila digunakan golongan
opioid maka dosis asetaminofen atau oksikodon dapat diturunkan (Kasran
& Kusumaratna, 2006).
Untuk mengobati rasa nyeri yang berat (“tangga analgesik” ketiga) dapat
digunakan obat golongan opioid. Sebuah studi di Amerika Serikat tentang
strategi untuk mengobati rasa nyeri pada lansia menunjukkan penggunaan
obat analgesik merupakan strategi yang paling banyak digunakan. Obat-
obat yang digunakan adalah golongan asetaminofen, aspirin, COX-2
inhibitors dan opioids. Beberapa penulis menambahkan dan memodifikasi
menjadi empat “tangga pengobatan” yaitu dengan prosedur intervensi
seperti blok sistem saraf, pembedahan, prosedur operatif, dan pengobatan
29
perilaku kognitif bagi penderita dengan rasa nyeri yang tidak dapat
dikendalikan (Kasran & Kusumaratna, 2006).
Interpretasi dari prosedur intervensi ini sudah menerima banyak kritik dari
berbagai studi dan perlu dikaji lebih lanjut. Polifarmasi dan frekuensi
kondisi “komorbid” pada lansia merupakan faktor utama yang harus
dipertimbangkan ketika membuat keputusan dalam pemberian obat
sebagai terapi rasa nyeri. Monitoring harus dilakukan secara seksama pada
pasien lansia yang memperoleh pengobatan multipel tidak saja untuk
menilai efektivitas pengobatan tetapi juga memonitor kemungkinan
muncul reaksi efek samping dari pengobatan yang diperoleh (Kasran &
Kusumaratna, 2006).
C. Konsep Jahe
1. Definisi Jahe
Tanaman jahe (Zingiber officinale) telah lama dikenal dan tumbuh baik di
indonesia. Jahe merupakan salah satu rempah-rempah penting. Rimpangnya
sangat luas dipakai, antara lain sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa
pada makanan seperti roti, kue, biscuit, kembang gula dan berbagai minuman.
Jahe adalah tumbuhan tahunan dengan tinggi 50-100 cm. Tumbuhan ini
memiliki rimpang tebal berwarna coklat kemerahan. Daunnya sempit berbentuk
lanset dengan panjang tangaki 10-25 cm dan terdapat daun kecil pada dasar
bunga. Mahkota bunga bentuk corong, panjang 2-2,5 cm, berwarna ungu tua
31
Berdasarkan bentuk, warna dan ukuran rimpang, ada 3 jenis jahe yang dikenal,
yaitu jahe putih besar/jahe badak, jahe putih kecil atau emprit dan jahe sunti atau
merah secara umum ketiga jahe tersebut mengandung pati, minyak atsiri, serat,
sejumlah kecil protein, vitamin, mineral, dan enzim proteolik yang disebut
Zingibain (Denyer et al 1994 dalam Hernani dan Winarti, 2010).
Tanaman jahe memiliki beberapa sebutan, antara lain gember (Aceh), halia
(Gayo). Goraka (Manado). halia, sipadao (Minangkabau), lai (Sunda), jahe
(Jahe), jae (Madura), lia tana’,lia (Gorontalo), gihoro, gisoro (Ternate). (Heyne,
1987). Di luar negeri dikenal dengan nama ginger, red ginger (Inggris), sunthi
(Kanada), adrak, sunthi (Hindi) Djahe (Belanda) (Ross,1999; Khare, 2007).
2. Kandungan Kimia
Jahe mengandung minyak atsiri (1-3%), oleoresin, dan protease. Oleoresin jahe
mengandung banyak zat aktif dan sebagian besar memberikan efek rasa pedas,
yaitu gingerol (Monografi ekstrak, 2004 ; Singh, Kpoor, Singh, P., Heluani,
Lampasona, & Catalan, 2008) Minyak atsirinya terdiri dari monoterpen seperti
geranial (citral a) dan neral (citral b) dan sesquiterpen seperti bisabolone,
zingiberen dan sesquithujen. Gingerol, shogaol, dan paradol merupakan senyawa
identitas dalam jahe merah yang dikenal memiiki berbagai macam aktivitas
biologis termasuk sebagai antiinflamasi, shogaol dan zingeron banyak terdapat
pada jahe yang sudah menjadi serbuk, sebaliiknya jumlahnya sedikit pada jahe
yang masih segar. Gingerol memiliki gugus fenol yang bersifat termolabil,
sehingga bila terkena panas dan udara maka akan berubah menjadi shogaol dan
zingerol. Shogaol bisa berubah menjadi paradol (Sing et all, 2008).
Hasil penelitian Nasuda et al.1995 dan Kim et all. 2005 menyatakan bahwa
senyawa antioksidan alami dalam jahe cukup tinggi. Beberapa senyawa,
termasuk gingenol, shagaol dan zingeron memberikan aktivitas farmakologi dan
fisiologis seperti efek antioksidan, anti inflamasi, analgesik, antikarsinogenik
dan kondiokton.
Penelitian tentang manfaat jahe adalah Jolad, (2004) meneliti kandungan rizoma
jahe segar dan Wohlmuth, (2005) meneliti kandungan zat aktifnya dari oleoresin
yang terdiri dari giingerol, sungaol dan zingeberence yang merupakan homolog
dari fenol melalui proses pemanasan. Degradasi panas dari gingerol menjadi
gingerone, shogaol dan kandungan lain terbentuk dengan pemanasan rimpang
kering dan segar pada suhu pelarut air 100𝑜 C (Badreldin, 2007). Komponen jahe
mampu menekan inflamasi dan mampu mengatur proses biokimia yang
mengaktifkan inflamasi akut dan kronis seperti osteoarthritis dengan menekkan
pro-inflamasi sitokinin dan cemokin yang diproduksi oleh sinoviosit, condrosite,
leukosit dan jahe ditemukan secara efektif menghambat ekspresi cemokin (Phan,
2005).
3. Kegunaan
Jahe memiliki banyak kegunaan. Penelitian untuk menguji aktivitas farmakologi
maupun untuk mengisolasi komponen aktif sudah banyak dilakukan dan
semakin berkembang. Pada pengobatan tradisional China dan India, jahe merah
digunakan untuk mengatasi penyakit batuk, diare, mual, asma, gangguan
pernapasan, sakit gigi, dan arthritis reumatoid, dyspepsia, dan morning sickness.
Beberapa efek farmakologi yang sudah diuji baik pada hewan coba maupun
33
D. Kompres Jahe
Kompres jahe dapat menurunkan nyeri reumathoid artritis (Santoso, 2013).
Mengompres berarti memberikan rasa hangat pada klien dengan menggunakan
cairan atau alat yang menimbulkan rasa hangat pada bagian tubuh tertentu yang
memerlukannya (Poltekes Kemenkes maluku, 2011 dalam Fanada, 2012).
Komponen utama dari jahe segar adalah senyawa homolog fenolik keton yang
dikenal sebagai gingerol. Pada suhu tinggi gingerol akan berubah menjadi shogaol
yang memiliki efek panas dan pedas dibanding gingerol (Misrah, 2009). Efek panas
dan pedas pada jahe inilah yang dapat meredakan nyeri, kaku dan spasme otot pada
arthritis reumatoid. Sehingga jahe juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit,
jahe juga banyak mempunyai khasiat seperti antihelmetik, antirematik, dan peluruh
masuk angin. Jahe mempunyai efek untuk menurunkan sensasi nyeri juga
meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan,
penggunaan panas pada jahe selain memberikan reaksi fisiologis, antara lain :
meningkatkan respon inflamasi (Utami, 2005).
34
E. Kerangka Konsep
Variabel Confounding
1. Lingkungan
2. Kelelahan
3. Riwayat penyakit sebelumnya
4. Kepercayaan/agama
5. Budaya
6. Orang-orang yang memberi dukungan
Keterangan :
: Diteliti
: Tidak Diteliti
F. Hipotesis Penelitian
Ha : Ada pengaruh kompres jahe terhadap intensitas nyeri pada penderita
rheumatoid arthritis usia diatas 40 tahun di wilayah kerja Puskesmas
Helvetia.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian quasy eksperiment atau percobaan dimana
kegiatan percobaan bertujuan untuk mengetahui suatu gejala atau pengaruh yang
timbul, sebagai akibat dari adanya perlakuan tertentu.
01 P 02
35
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan januari 2019
2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah penderita dengan nyeri rheumathoid arthtritis usia
diatas 40 tahun di lingkungan kerja Puskesmas helvetia sejak 2018. Adapun
pengambilan sample pada penelitian ini dengan teknik Purposive Sampling dengan
rumus sampel tunggal untuk perkiraan rerata (Sastromoro, 2010).
𝑍𝛼 𝑥 𝑆
𝑛=[ ]²
𝑑
Rumus sampel tunggal perkiraan rerata (Sastroasmoro, 2010)
Keterangan :
n : Besar sampel
𝑍𝑎 : Nilai Z pada derajat kemaknaan (Biasanya 90% = 1,28)
S : Simpang baku nilai rerata dalam populasi, s (dari pustaka)
d : Tingkat ketepatan absolut yang diinginkan : 10% (0,10), 5% (0,05)
atau 1% (0,01)
1,28 𝑥 0,410
𝑛=[ ]²
0,1
0,5248
𝑛=[ ]²
0,1
𝑛 = [5,248]²
𝑛 = 27,5 + (10 % 𝑥 27,5 )
𝑛 = 27,5 + 2,75
𝑛 = 30
36
Jadi sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 30 responden, dengan kriteria sebagai
berikut :
a. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian yang memenuhi
syarat sebagai sampel (Notoatmodjo, 2012 ). Kriteria dalam penelitian ini
adalah :
1) Berusia diatas 40 tahun yang menderita penyakit reumathoid arthritis.
2) Pasien dengan intensitas nyeri 1- 6.
3) Dapat berkomunikasi dengan baik.
4) Sedang tidak mengkonsumsi obat RA.
b. Kriteria eksklusi
1) Pasien tidak berada dilokasi pada saat penelitian dilakukan.
2) Menderita komplikasi penyakit lain.
3) Tidak bersedia menjadi responden.
4) Tidak dapat berkomunikasi dengan baik.
E. Defenisi Operasional
Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang menjelaskan bagaimana caranya
menentukan variabel dan mengukur suatu variabel, sehingga defenisi operasional ini
merupakan suatu informasi ilmiah yang akan membantu peneliti lain yang ingin
menggunakan variabel yang sama (Setiadi, 2007).
37
No Variabel Defenisi Cara Hasil Skala
Pengukuran Ukur Ukur
1 Independen: Memberikan rasa nyaman pada SOP Dilakukan Nominal
Kompres klien yang merasakan nyeri
jahe dengan menggunakan jahe
sebanyak 20 gr, jahe segar dikupas
dan dibersihkan kemudian diparut
dan tempel jahe ke daerah sendi
yang sakit selama 20 menit lalu
ukur intensitas nyeri setelah 20
menit itervensi kompres. lakukan
pengompresan jahe setiap nyeri
menyerang.
2 Dependen : Tingkat ketidaknyamanan pada Observasi 0 Rasio
Skala Nyeri daerah sendi yang dirasakan 1
seseorang yang bersifat aktual 2
atau potensial akibat terjadinya 3
kerusakan jaringan. 4
5
6
7
8
9
10
Tabel 3.1 : Defenisi Operasional
F. Aspek Pengukuran
Penelitian ini tidak menggunakan uji validitas dan reliabilitas instrument. Adapun aspek
pengukuran pada penelitian ini menggunakan lembar observasi nyeri dengan skala intensitas
nyeri numberik ( 0 – 10 ).
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
38
disediakan. Setelah mendapat persetujuan peneliti melakukan penelitian dengan etika peneliti
meliputi :
1. Lembar persetujuan (Informed Consent).
Sebelum kompres hangat dilakukan, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan
peneliti kepada responden yang memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian. Setelah
mendapat persetujuan dari responden baru peneliti mulai melakukan penelitian
dengan melakukan kompres hangat jahe.
2. Tanpa nama (Anonymity)
Tidak mencantumkan nama responden dalam lembar wawancara yang digunakan,
tetapi menukarnya dengan kode inisial nama responden, termasuk dalam penyajian
hasil penelitian.
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Kerahasiaan informasi tersebut dijamin oleh peneliti, hanya kelompok dan tertentu
saja yang disajikan atau dilaporkan hasil penelitian (Notoatmodjo, 2012).
H. Pengolahan Data
1. Editing
Setelah selesai melakukan penelitian, maka lembar wawancara demografi dan lembar
observasi dikumpulkan dan peneliti melakukan pemeriksaan ulang dari lembar
wawancara demografi dan observasi dengan benar dan tidak ada tertinggal satu
kuisionerpun.
2. Coding
Mengubah data responden dan hasil wawancara demografi tersebut yakni dengan
memberi pengkodean (Bilangan) seperti Jenis Kelamin “Laki-Laki” diberi kode 1,
“Perempuan” diberi kode 2, Pendidikan “SD” diberi kode 1, “SMP” diberi kode 2,
“SMA” diberi kode 3, “D3/S1” diberi kode 4, dan Pekerjaan “Karyawan” diberi kode 1,
“Petani” diberi kode 2, “Pegawai” diberi kode 3.
3. Entry data
Setelah peneliti mengubah data responden dan hasil observasi kedalam bentuk angka
(Kode), selanjutnya peneliti memasukkan data tersebut kedalam program computer
yaitu dalam bentuk master tabel.
39
4. Tabulating
Selanjutnya peneliti memasukkan data tersebut kedalam bentuk distribusi frekuensi
tabel-tabel sesuai dengan tujuan penelitian atau yang diinginkan peneliti untuk
mempermudah pengolahan data berikutnya.
40