Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN II PENGARUH ZAT

PENGATUR TUMBUH TERHADAP DAYA BERKECAMBAHAN BENIH


(BIJI)

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN II

PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP DAYA BERKECAMBAHAN


BENIH (BIJI)

Oleh :

Rina Andriyani
B1J009052

Ibrahim Kholilulloh
B1J009056

Lintang Dianing Ratri B1J009078

Rombongan I

Kelompok 4-B

Asisten : Erma Septyaningsih

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS BIOLOGI

PURWOKERTO

2011

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN II

Acara Praktikum : Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Daya Berkecambahan


Benih (Biji)

Tujuan : Untuk mengetahui konsentrasi zat pengatur tumbuh yang mampu meningkatkan
daya perkecambahan (viability) benih.

Hasil dan Pembahasan:


A. Hasil

Tabel 1. Data Hasil Pengamatan Perkecambahan Biji Cabai Lama

Jenis Kel. Konsentrasi Jumlah biji yang Berkecambah pada hari ke-
ZPT %
Cabai (ppm) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 5
5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 45
Biji
4 IAA 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
lama
15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Biji
5 NAA 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13 65
lama
15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 50
20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 60
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Biji 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 GA
lama 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Tabel 2. Data Hasil Pengamatan Perkecambahan Biji Cabai Baru

Jumlah biji yang Berkecambah pada hari


Kel. ZPT ke- %
Jenis Konsentrasi
Cabai (ppm) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 15
5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 10
Biji
1 IAA 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
baru
15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
20 0 0 0 0 0 0 0 0 3 4 35
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Biji
2 NAA 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
baru
15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Biji 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 GA
baru
5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 10
15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil praktikum dan data hasil pengamatan diperoleh hasil biji cabe baru
mulai mengalami perkecambahan pada hari ke-9 dan hari ke-10. Perkecambahan biji yang
lebih cepat yaitu pada biji cabe yang diberi zat pengatur tunbuh IAA (Indole Acetid Acid)
dengan konsentrasi 20 ppm sedangkan perkecambahan biji yang cukup lamban yaitu pada biji
cabe yang diberi zat pengatur tumbuh IAA (Indole Acetic Acid) dengan konsentrasi 0 ppm, 5
ppm dan 15 ppm sedangkan yang tumbuh di GA (Gibberelic Acid) dengan konsentrasi 10
ppm.

Hasil yang diperoleh dari praktikum dan berdasarkan pada data hasil pengamatan
pada biji cabe lama, biji mulai mengalami perkecambahan pada hari ke-10. Biji yang
mengalami perkecambahan lebih cepat yaitu pada biji cabe yang diberi zat pengatur tumbuh
IAA (Indole Acetic Acid) dengan konsentrasi 0 ppm dan 5 ppm serta NAA (Indole Acetic
Acid) dengan konsentrasi 10 ppm, 15 ppm dan 20 ppm. Hal ini tidak sesuai dengan
pernyataan Kusumo (1990) yang menyatakan bahwa pemberian Giberelin atau GA akan lebih
mempercepat perkecambahan dibandingkan dengan pemberian auksin atau NAA. NAA
merupakan derivat dari Asam Indole-Asetat yang biasa disebut auksin. Auksin berperan
dalam proses pertumbuhan tanaman vaskuler. NAA yang dimasukkan ke dalam jaringan
tanaman akan cepat diubah menjadi peptida-peptida dengan asam aspartat atau glutamat dan
menjadi glukosil eter. Peranan NAA inilah yang dapat mematahkan dormansi (Wilkins,
1989). GA merupakan salah satu jenis hormon giberelin. GA merangsang biji agar segera
melakukan perkecambahan (Wilkins, 1989). Menurut Salisbury dan Ross (1995), GA dapat
mempengaruhi perpanjangan batang, mempertinggi aktivitas pembelahan sel, memantau luas
daun dan berat kering tanaman, serta berpengaruh terhadap perkecambahan biji dorman dan
pertumbuhan kuncup dorman. Jadi GA juga dapat mematahkan terjadinya dormansi.

NAA (Naphthyl Acetic Amida) adalah zat pengatur tumbuh yang dikelompokan ke
dalam auksin. Penambahan NAA akan mempengaruhi pertumbuhan akar, yaitu mengenai
banyaknya akar yang dihasilkan. NAA lebih stabil sifat kimianya dan mobilitasnya dalam
tanaman rendah. Sifat kimianya yang mantap dan pengaruhnya yang lama serta keberadaan
hormon ini yang tidak menyebar sehingga tidak mempengaruhi pertumbuhan bagian lain
menyebabkan pemakaian hormon ini berhasil (Kusumo, 1990).

IAA (Indole Acetic Acid) adalah auksin endogen yang terbentuk dari tryptophan yang
merupakan suatu senyawa dengan inti indole yang selalu terdapat dalam jaringan tanaman.
Kandungan IAA dalam suatu tanaman menunjukkan adanya hubungan yang berbanding
terbalik dengan adanya aktivitas IAA oksidase. Umumnya di daerah meristematik kadar
auksinnya tinggi karena aktivitas IAA oksidasenya rendah (Prawiranata et al., 1989).

Giberelin merupakan hormon pertumbuhan yang terdapat pada organ-organ tanaman


yaitu pada akar, batang, tunas, daun, tunas bunga, bintil akar, buah dan jaringan khusus.
Respon terhadap giberelin meliputi peningkatan pembelahan sel. Giberelin juga dapat
merangsang pertumbuhan batang dan dapat juga meningkatkan besar daun beberapa jenis
tumbuhan, besar bunga dan buah. Giberelin juga dapat menggantikan perlakuan suhu rendah
(2-40C) pada tanaman (Kusumo, 1990).

Giberelin aktif pada tanaman utuh. Biji biasanya berkecambah dengan segera bila
diberi air dan udara yang cukup, mendapat suhu pada kisaran yang memadai dan pada
keadaan tertentu mendapat periode terang dan gelap yang sesuai. Tetapi pada sekelompok
tumbuhan yang bijinya tidak segera berkecambah meskipun telah diletakan pada kondisi
kandungan air, suhu, udara dan cahaya yang memadai. Perkecambahan tertunda selama
beberapa hari hari, minggu atau mungkin beberapa bulan. Tetapi dengan adanya giberelin
dormansi dapat dipatahkan (Prawiranata et al., 1989). Menurut (Kusumo, 1990) ada beberapa
macam giberelin yaitu GA1, GA2, GA3, GA4 dan menurut keaktifannya adalah GA3, GA, GA2
dan GA4.

Fosfor merupakan unsur makro yang sangat penting untuk pertumbuhan dan produksi
tanaman. Fosfor cenderung terkonsentrasi dalam biji dan titik tumbuh perkembangan akar
serabut. Kekurangan unsur ini bagi tumbuhan dapat berakibat fatal yaitu tanaman umumnya
pendek, berbunga lebih lambat, saat panen lambat, dan benih yang dihasilkan mempunyai
status vigor yang rendah (Agustin et al., 2010).

Menurut Villiers (1972), dormansi adalah kemampuan biji untuk mengundurkan fase
perkecambahannya hingga saat dan tempat itu menguntungkan untuk tumbuh. Sedangkan
menurut Lovelles (1990) dormansi adalah masa istirahat yang khusus yang hanya dapat
diatasi oleh isyarat-isyarat lingkungan tertentu. Kemampuan istirahat dengan jalan ini
memungkinkan tumbuhan untuk bertahan hidup pada periode kekurangan air atau pada suhu
dingin. Dormansi dapat dipatahkan dengan memberi zat pengatur tumbuh yaitu IAA, NAA,
dan GA.

Heddy (1986) menyatakan bahwa penambahan NAA akan mempersingkat massa


dormansi, begitu juga dengan penambahan GA akan memperpendek massa dormansi. Namun
penambahan GA lebih efektif dari NAA. Penambahan GA akan lebih cepat merangsang
pertumbuhan koleoptil pada biji. Selain jenis zat pengatur tumbuh (ZPT) yang digunakan,
konsentrasi ZPT juga dapat mempengaruhi kecepatan perkecambahan biji. Pemberian GA
pada konsentrasi yang semakin tinggi mengakibatkan semakin tinggi pula
perkecambahannya, tetapi hal ini tergantung pula pada jenis dari benih yang ada. Biji cabai
mempunyai kulit yang permeabel sehingga GA dapat lebih bebas masuk dan merangsang
perkecambahan lebih cepat (Sutopo, 1984).

Mekanisme perkecambahan biji diawali dengan berakhirnya dormansi dengan adanya


imbibisi air yang diperlukan biji untuk melakukan metabolisme tinggi sel-sel dalam embrio
dan organel subseluler berorganisasi yang akhirnya terjadi pemunculan kecambah. Sel-sel
dalam akar, daun, batang membesar, dan memanjang dengan pengambilan air. Fase
perkembangan ini dipacu oleh ZPT seperti IAA, NAA, dan GA (Rismunandar, 1988).

Villiers dalam Salim, (2004) menyatakan bahwa dormansi benih dapat disebabkan
antara lain adanya impermeabilitas kulit benih terhadap air dan gas (oksigen), embrio yang
belum tumbuh secara sempurna, hambatan mekanik kulit benih terhadap pertumbuhan
embrio, belum terbentuknya zat pengatur tumbuh atau karena ketidakseimbangan antara zat
penghambat dengan zat pengatur tumbuh di dalam embrio. Ekstraksi buah dapat mengurangi
senyawa-senyawa penghambat perkecambahan dan meningkatkan kemampuan benih untuk
mengabsorbsi air. Ekstraksi buah dapat mempercepat pembusukan buah dan merangsang
proses fisiologi perkecambahan.

Menurut Heddy (1986), faktor yang menyebabkan dormansi pada biji adalah :

1. Tidak sempurnanya embrio (rudimentery embrio)

2. Embrio belum matang secara fisiologis

3. Kulit biji yang tebal

4. Kulit biji impermeabel

5. Adanya inhibitor untuk perkecambahan

Adapun faktor-faktor (metode) yang dapat mematahkan dormansi menurut Meyer dan
Anderson (1952) antara lain:

a. Skarifikasi

Salah satu cara untuk mematahkan dormansi biji dengan perusakan pada testa atau
kulit biji yang keras. Perlakuannya secara mekanik maupun kimia yang bertujuan untuk
melemahkan kulit biji sehingga cukup memungkinkan terjadi perkecambahan. Perlakuan
mekanik yaitu merusak bagian biji dengan alat tajam, sedangkan perlakuan kimiawi
dilakukan dengan perendaman dalam pelarut organik (aseton), asam sulfat, dan air mendidih.

b. Suhu rendah

Pemasakan atau pematangan biji akan lebih cepat terjadi bila diberi perlakuan atau
disimpan pada suhu yang rendah daripada suhu yang tinggi. Keefektifan suhu rendah dalam
memecah dormansi terlihat pada interaksi beberapa spesies dengan relasi yang
menguntungkan, antara nilai respirasi dan nilai absorbsi oksigen atau pembebasan karbon
dioksida.

Perlakuan-perlakuan yang dapat mematahkan dormansi biji menurut (Wilkins, 1969)


dapat dikelompokan sebagai berikut:

a. Perlakuan mekanis

 Pelunakan, pemecahan atau melubangi kulit biji, sehingga terjadi lubang-lubang untuk
memudahkan air dan udara melakukan aliran yang mendorong perkecambahan.

 Skarifikasi yaitu pemarutan atau penggoresan kulit dengan cara menghaluskan kulit biji
dengan pendinginan/pencelupan dalam N2 cair, merebus dalam air atau alkohol atau
merendam dalam larutan pekat H2SO4.

b. Perlakuan cahaya

 Pemberian cahaya terhadap biji-biji yang bersifat fotoblastik positif akan memacu
perkecambahan.
 Pemberian cahaya secara fotoperiodik yaitu pencahayaan terhadap biji-biji dorman
dengan periode waktu tertentu.

c. Perlakuan temperatur

 Stratifikasi terhadap benih dengan temperatur rendah (cold stratification) atau


temperatur tinggi (warm stratification) selama waktu tertentu.

 Alternating (perubahan temperatur) yaitu dilakukan teknik perubahan-perubahan


temperatur, artinya direndahkan derajatnya (50-100C) atau ditinggikan derajatnya (20-
300C;25-350C) tergantung jenis benih. Penggunaan suhu tinggi dapat dilakukan
selama 8 jam, sedangkan temperatur rendah 16 jam.

d. Perlakuan dengan bahan kimia

Berbagai zat kimia dapat digunakan untuk mematahkan dormansi pada biji antara lain zat
pengatur tumbuh, misal giberelin, sitokinin dan 2,4-D serta KNO3.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan sebagai


berikut:

1. Zat pengatur tumbuh jenis IAA (Indole Acetic Acid) dan NAA (Naphthyl Acetic Acid)
berfungsi sebagai pertumbuhan tanaman, pertambahan panjang batang, jumlah daun serta
perpanjangan akar

2. Konsentrasi zat pengatur tumbuh yang paling cepat mengalami perkecambahan yaitu pada
IAA dengan konsentrasi 20 ppm.
Daftar Referensi

Agustin, Widi, Satriyas Ilyas, Sri Wilarso Budi, Iswandi Anas, dan Faiza C. Suwarno.
Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Pemupukan P untuk Meningkatkan
Hasil dan Mutu Benih Cabai (Capsicum annuum L.). 2010. J. Agron. Indonesia 38 (3)
: 218 - 224 (2010)

Heddy, S. 1986. Hormon Tumbuhan. CV Rajawali, Jakarta.

Kusumo, S. 1990. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. CV Yasaguna, Bogor.

Lovelles, A. R. 1990. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik. PT


Gramedia, Jakarta.
Meyer, B. S. And D. B. Anderson. 1952. Plant Physiology. D. Van Nostrand Company, Inc.,
Princeton, New Jersey.

Prawiranata, W., S. Harran dan P. Tjondronegoro. 1981. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan.


Departemen Botani Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

Rismunandar. 1988. Hormon Tanaman dan Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta.

Salim, M. S. 2004. Pematahan Dormansi Benih Aren Secara Fisik pada Berbagai Lama
Ekstraksi Buah. Agrosains, Vol. 6 No. 2: 79-83.
Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. ITB, Bandung.

Sutopo, L. 1984. Teknologi Benih. Rajawali, Jakarta.

Villiers, T.A., 1972. Seed Dormancy. 220 – 282 p. Dalam Seed Biology. Ed. By T.T.
Kozlowski. Vol. II Academic Press. New York and London.

Wilkins, M. B. 1989. Fisiologi Tanaman. Bina Aksara, Jakarta.

Diposting oleh riNa andRY di 6:41 PM


Reaksi:

Anda mungkin juga menyukai