Anda di halaman 1dari 54

OTITIS MEDIA AKUT

TUGAS MATA KULIAH PERSEPSI SENSORI

NAMA KELOMPOK 3 :
1. ABDUL QODAS (1410001)
2. ANA SULISTIYOWATI (141000)
3. FANDI FATULLAH (14100)
4. IKA RETNO PALUPI N. H (1410021)
5. LULUK BADRIYAH (1410028)
6. SYAIFUL ANAM (14100)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ARTHA BODHI ISWARA
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmatNya sehingga penulis menyelesaikan penulisan makalah ini. Adapun tujuan
makalah kami yang berjudul ”OTITIS MEDIA AKUT (OMA)” ini adalah untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Persepsi Sensori.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pembimbing Bapak Heri,


S.Kep, Ns. yang telah banyak membantu memberikan bimbingan dan arahan.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh


karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Surabaya, 7 Desember 2015

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... 2


DAFTAR ISI........................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 5
C. Tujuan ..................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi OMA .......................................................................................... 7
B. Anatomi dan Fisiologi ............................................................................. 7
C. Etiologi OMA .......................................................................................... 12
D. Faktor Risiko ........................................................................................... 13
E. Gejala Klinis ............................................................................................ 14
F. Patofisiologi ............................................................................................. 15
G. Pemeriksaan Diagnostik ........................................................................... 23
H. Penatalaksanaan ....................................................................................... 24
I. Komplikasi ............................................................................................... 28
J. Pencegahan ............................................................................................... 28
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN OMA
A. Pengkajian ............................................................................................... 30
B. Diagnosa Keperawatan ............................................................................ 31
C. Intervensi Keperawatan ........................................................................... 31
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 34
B. Saran ........................................................................................................ 34
DAFTARPUSTAKA .......................................................................................... 35
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut telinga tengah. Penyakit ini masih
merupakan masalah kesehatan khususnya pada anak-anak. Diperkirakan 70% anak
mengalami satu atau lebih episode otitis media menjelang usia 3 tahun. Penyakit ini terjadi
terutama pada anak dari baru lahir sampai umur sekitar 7 tahun, dan setelah itu insidennya
mulai berkurang.
Anak umur 6-11 bulan lebih rentan menderita OMA. Insiden sedikit lebih tinggi
pada anak laki-laki dibanding perempuan. Sebagian kecil anak menderita penyakit ini pada
umur yang sudah lebih besar, pada umur empat dan awal lima tahun. Beberapa bersifat
individual dapat berlanjut menderita episode akut pada masa dewasa. Kadang-kadang,
orang dewasa dengan infeksi saluran pernafasan akut tapi tanpa riwayat sakit pada telinga
dapat menderita OMA.
Faktor-faktor risiko terjadinya OMA adalah bayi yang lahir prematur dan berat
badan lahir rendah, umur (sering pada anak-anak), anak yang dititipkan kepenitipan anak,
variasi musim dimana OMA lebih sering terjadi pada musim gugur dan musim dingin,
predisposisi genetik, kurangnya asupan air susu ibu, imunodefisiensi, gangguan anatomi
seperti celah palatum dan anomaly kraniofasial lain, alergi, lingkungan padat, sosial
ekonomi rendah, dan posisi tidur tengkurap.
Penatalaksanaan OMA tanpa komplikasi mendapat sejumlah tantangan unik.
Pilihan terapi OMA tanpa komplikasi berupa observasi dengan menghilangkan nyeri
(menggunakan asetaminofen atau ibuprofen), dan atau antibiotik. Di Amerika Serikat (AS),
kebanyakan anak dengan OMA secara rutin mendapat antibiotik. Cepatnya perubahan
spectrum patogen menyebabkan sulitnya pemilihan terapi yang paling sesuai.
Berkembangnya pengetahuan baru tentang patogenesis OMA, perubahan pola resistensi,
dan penggunaan vaksin baru memunculkan tantangan yang lebih lanjut pada
penatalaksanaan efektif pada OMA. Food and Drug Administration (FDA) menyetujui
penggunaan vaksin pneumokokus konjugat sebagai cara baru dalam menurunkan
prevalensi OMA dan mencegah
sekuele dari infeksi telinga.
Beberapa peneliti dari Eropa Barat, Inggris, dan AS menyarankan bahwa anak
dengan OMA dapat diobservasi saja daripada diterapi segera dengan antibiotik. Di Belanda,
pengurangan penggunaan antibiotik untuk OMA sudah dipraktekkan sejak tahun 1990an.
Pada tahun 2004, American Academy of Pediatrics dan the American Academy of Family
Physicians mengeluarkan rekomendasi diagnosis dan penatalaksanaan OMA. Menurut
petunjuk rekomendasi ini, observasi direkomendasikan tergantung pada umur pasien,
kepastian diagnosis dan berat-ringannya penyakit. Sekitar 80% anak sembuh tanpa
antibiotik dalam waktu 3 hari.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dari Otitis Media Akut (OMA) ?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada OMA ?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami Asuhan Keperawatan pada pasien
dengan Otitis Media Akut (OMA)

2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami pengkajian dalam asuhan keperawatan dengan
Otitis Media Akut (OMA).
b. Mahasiswa mampu mengelompokkan data sesuai dengan tanda dan gejala pada
Otitis Media Akut (OMA)
c. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan dalam asuhan
keperawatan dengan Otitis Media Akut (OMA)
d. Mahasiswa mampu membuat perencanaan dalam asuhan keperawatan Otitis
Media Akut (OMA)
e. Mahasiswa mampu melakukan intervensi/tindakan keperawatan dalam rangka
penerapan asuhan keperawatan dengan Otitis Media Akut (OMA)
f. Mahasiswa mampu mengevaluasi terhadap intervensi yang telah dilakukan
dalam asuhan keperawatan dengan Otitis Media Akut (OMA).
D. Manfaat
1. Manfaat bagi Mahasiswa
a. Mahasiswa mendapatkan pemahaman tentang konsep Penyakit Otitis Media
Akut (OMA).
b. Mahasiswa mendapatkan pemahaman tentang asuhan keperawatan pada
Penyakit Otitis Media Akut (OMA)

2. Manfaat bagi Akademik


a. Akademik mendapatkan tambahan referensi untuk melengkapi bahan
pembelajaran.
b. Akademik mendapatkan dorongan untuk memotivasi mahasiswa tentang Otitis
Media Akut (OMA) melalui proses belajar dan praktik dilapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media berdasarkan gejalanya
dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di mana masing-masing
memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik,
seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis
media adhesiva (Djaafar, 2007).
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan
tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik
dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual,
muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada
pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya
efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada
membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada membran timpani, terdapat
cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner, 2007).
B. Anatomi
Anatomi Telinga Tengah
Telinga dibagi menjadi 3 bagian yaitu : telinga luar, telinga tenga, dan telinga
dalam. Telinga tenga adalah suatu rongga yang terletak di tulang tengkorak dan terdiri dari
membrane timpani, kavum timpani, antrum mastoid, dan Tuba Eustachius.

GAMBARAN UMUM TELINGA


Membran Timpani
Membran timpani dibagi menjadi dua bagian yaitu : pars tensa (Membran
Sharpnell) yang terletak pada bagian atas dan pars tensa (membrane proria) yang terletak
pada bagian bawah.

Pars Tensa yang merupakan bagian yang paling besar terdiri dari tiga lapisan.
Lapisan luar disebut Kutaneus (cutaneous layer) terdiri dari lapisan epitel berlapis semu
yang halus yang normalnya merefleksikan cahaya. Lapisan dalam disebut lapisan mukosa
(mucosa layer) merupakan lapisan yang berbatasan dengan cavum timpani serta lapisan
yang terletak di antara keduanya.
Lapisan ini terdiri dari 2 lapis jaringan ikat fibrosa yang bersatu dengan cincin
fibrokartilago yang mengelilingi membrane timpani. Pars flaksida tidak memiliki lapisan
fibrosa sehingga bagian ini pertama kali akan mengalami retraksi bila terjadi tekanan
negatif dalam telinga.

Kavum timpani
Kavum timpani di bagi menjadi tiga bagian yang berhubungan dengan lempeng
membran timpani, yaitu epitimpanum,mesotimpanum,dan hipotimpanum
Epitimpanum dibatasi oleh suatu penonjolan tipis,yaitu tegmen timpani.
Bagian anterior epitimpanum terdapat ampula kanali superior.Pada bagian anterior dari
ampula kanlis superior terdapat ganglion genikulatum yang merupakan tanda ujung
anterior ruang atik.Atik pada bagian posterior menyempit
menjadi jalan masuk ke antrum mastoid yaitu aditus ad antrum.
Mesotimpanum,pada bagian medial dibatasi oleh kapsula otik yang terletak lebih
rendah daripada n.fasilialis pars timpani. Promotorium berisi saraf-saraf yang membentuk
plektus timpanikus. Promotorium pada bagian posterosuperior terdapat foramen ovale
(vestibuler) pada bagian posteroinferior terdapat foramen rotundum (koklear) Orificium
timpani tuba Eustachius terletak pada anterosuperior mesotimpanum.
Hipotimpanum merupakan suatu ruang dangkal yang terletak lebih rendah
dari membran timpani. Hipotiompanum berbatasan dengan bulbus vena jugularis dan sel-
sel mastoid.
Batas-batas kavum timpani meliputi
1. Atap : tegmen timpani
2. Dasar : dinding jugularis dan tonjolan stiloideus
3.Anterior:dinding karotis ostium tuba Eustachius, tensortimpani
4. Posterior : mastoid, stapedius tonjolan piramidal
5. Latelal : membran timpani, skutum
6. Medial : dinding labirin
Rangkaian tulang pendengaran di telinga tengah berukuran kecil dan di hubungkan
oleh tendon-tendon otot yang tipis (tensor timpani dan stapedius) manubrium rnaleus
menempel pada membran timpani dimana bagian atasnya. membentuk umbo yang
merupakan landrmark yang penting clalam mengevaluasi
membran timpani. Tulang selanjutnya adalah inkus yang berartikulasi dengan maleus.
Kepala maleus dan badan inkus terletak di epitimpani.
Prosesus longus inkus berartikulasi dengan stapes. Dasar stapes dihubungkan
dengan tingkap lonjong oleh sebuah ligamentum yang elastis. Didalam kavum timpani juga
terdapat korda timpani yang terletak transversal yang berasal dari nervus fasialis dan
mengandung serat-serat pengecapan untuk 2/3 anterior lidah.

Antrum Mastoid
Antrum mastoid adalah suatu rongga didalam proses mastoid yang terletak persis
dibelakang epitirnpanum. Aditus ad antnrm adalah saluran yang menghubungkan antrum
dengan epitimpani. Lempeng dura adalah bagian tipis yang biasanya lebih keras dari tulang
sekitarnya yang membatasi rongga mastoid dengan duramater. Lempeng sinus adalah
bagian tulang yang tipis yang membatasi rongga mastoid dengan sinus lateralis. Sudut
sinodura adalah sudut yang dibentuk oleh pertemuan duramater fossa media dan fossa
posterior otak di superior dengan sinus lateral di posterior. Sudut ini ditemukan dengan
cara membuang sebersih-bersihnya sel-sel pneumatisasi mastoid di bagian posterior
inferior lempeng dura dan posterior superior lempeng sinus.
Sudut keras (solid angle, hard angle) adalah penulangan yang keras sekali yang
dibentuk oleh pertemuan 3 kanalis semisirkular posterior di sebelah anteromedial sinus
sigmoid. Sudut ini akan ditemukan dengan membuang sebersih-bersihnya sel-sel
pneumatisasi mastoid di antara kanalis semisirkularis lateral dengan sudut sinodura.
Segitiga Trautmann adalah daerah yang terletak di balik antrum yang dibatasi oleh sinus
sigmoid, sinus lateral, dan tulang labirin. Batas medialnya adalah lempeng dura fossa
posterior.

Tuba Eustachius
Tuba Eustachius menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring. panjang tuba
Eustachius dewasa bervariasi antara 31 sampai 38 mm. Pada bayi dan anak-anak
ukurannya lebih pendek dan lebih horizontal sehingga sekret dari nagofaring lebih
mudah masuk ke telinga tengah. Dua pertiga bagian anteromedial tuba (arah nasofaring)
berdinding tulang rawan, sedangkan sisanya (arah kavum timpani) berdinding tulang.
Dinding tulang rawan ini tidak lengkap, dinding bawah dan lateral bawah merupakan
jaringan ikat yang bergabung dengan M. tensor dan levator velli palatini. Tuba
Eustachius akan terus berkembang bertambah panjang dan akan lebih membentuk sudut
yang lebil besar dari bidang horizontal pada usia 5 sampai 7 tahun.

Fisiologi Tuba Eustachius


Fungsi tuba pertama kali dijelaskan oleh Du Veruey (1963), yang menyatakan
bahwa tuba bukan merupakan suatu saluran baik untuk pernafasan maupun pendengaran,
tetapi merupakan saluran untuk pembaharuan udara di kavum timpani. Antonio Valsava
mempublikasikan ‘de Aure Humana Tractus', yang memberikan eponom untuk TE,
dengan mengasosiasikan pada suatu tehnik untuk memaksa masuknya udara dari
nasof'aring ke dalam kavum timpani. Udara di telinga tengah secala normal
berhubungan dengan atmosfer melalui TE. Orifisium tuba terletak di nasofaring dengan
ujung yang sedikit terbuka Tuba Eustachius memiliki tiga fungsi lisiologis terhadap
telinga tengah, yaitu (1) fungsi ventilasi untuk mengatur agar tekanan telinga tengah
sama dengan telinga luar, (2) fungsi proteksi adalah untuk melindungi telinga tengah
terhadap tekanan suara dan sekret nasofaring, (3) fungsi drainase yaitu mengalirkan sekret
yang diproduksi mukosa telinga tengah ke arah nasofaring.
Fungsi TE yang paling penting adalah mengatur tekanan telinga tengah, karena
fungsi pendengaran akan optimum bila tekanan udara di telinga tengah lebih kurang
sama dengan tekanan diluar telinga. Dalam keadaan normal teriadi pembukaan TE secara
intermiten aktif akibat kontraksi dari M. Tensor veli platini selama proses menelan,
yang akan mempertahankan tekanan di telinga tengah relatif sama dengan telinga
luar.
Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan baru terbuka
apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan dan
menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh kontraksi muskulus tensor veli palatini apabila
terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dan tekanan udara luar antara 20 sampai dengan
40 mmHg. Tuba Eustachius mempunyai tiga fungsi penting, yaitu ventilasi, proteksi, dan
drainase sekret. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah
selalu sama dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu melindung telinga tengah dari
tekanan suara, dan menghalangi masuknya sekret atau cairan dari nasofaring ke telinga
tengah. Drainase bertujuan untuk mengalirkan hasil sekret cairan telinga tengah ke
nasofaring (Djaafar, 2007; Kerschner, 2007)

Stadium OMA
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada
perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium
hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium
resolusi (Djaafar, 2007).
Gambar 4. Membran Timpani Normal

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius


Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh
retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam
telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi
dan posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema
yang terjadi pada tuba Eustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi,
membran timpani kadang- kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya
berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi.
Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan
oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).

2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi


Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani,
yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan
adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi
tuba yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik.
Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti.
Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien
mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih
normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis.
Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani.
Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).

Gambar 5. Membran Timpani Hiperemis

3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau
bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada
mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur.
Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran
timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat
serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat
tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi
demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan
submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung
di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan
kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis
terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi.
Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani
sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka
insisi pada membran timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi
ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup kembali. Membran timpani
mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra,

2007).


Gambar 6. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen


4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret
berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang
telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut).
Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan
tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih
tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.
Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap
berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif
subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah
sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik
(Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
Gambar 7. Membran Timpani Peforasi

5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan
berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran
timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan
sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal.
Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika membran timpani masih
utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis
media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani
menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.
Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis
media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani
tanpa mengalami perforasi membran timpani (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

C. Etiologi
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian,
65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri
terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-
patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri
penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh
Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus
dijumpai patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A beta-
hemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus
dan organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani
rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis
mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada
anak-anak (Kerschner, 2007).
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau
bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada
anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus
(sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau
enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius,
menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat
antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). Dengan
menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked
immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah
pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003).
Penyebab-penyebab Anak Mudah Terserang OMA
Dipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding dengan orang
dewasa. Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya
lebih horizontal dari tuba orang dewasa, sehingga infeksi saluran pernapasan atas lebih
mudah menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak di
bawah umur 9 bulan adalah 17,5 mm (Djaafar, 2007). Ini meningkatkan peluang terjadinya
refluks dari nasofaring menganggu drainase melalui tuba Eustachius.
Insidens terjadinya otitis media pada anak yang berumur lebih tua berkurang,
karena tuba telah berkembang sempurna dan diameter tuba Eustschius meningkat, sehingga
jarang terjadi obstruksi dan disfungsi tuba. Selain itu, sistem pertahanan tubuh anak masih
rendah sehingga mudah terkena ISPA lalu terinfeksi di telinga tengah. Adenoid merupakan
salah satu organ di tenggorokan bagian atas yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada
anak, adenoid relatif lebih besar dibanding orang dewasa.
Posisi adenoid yang berdekatan dengan muara tuba Eustachius sehingga adenoid
yang besar dapat mengganggu terbukanya tuba Eustachius. Selain itu, adenoid dapat
terinfeksi akibat ISPA kemudian menyebar ke telinga tengah melalui tuba Eustachius
(Kerschner, 2007).
Gambar 3. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan Orang Dewasa

D. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik,
status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula,
lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital,
status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba
Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2007).
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA
pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang
atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi anak
juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi
dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan
Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras
lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti
kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah, dan
pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak- anak.
ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya
asupan ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak
mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya
riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak,
insidens OMA juga meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital
mudah terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah
menderita penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi
akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus (Kerschner, 2007).

E. Patofisiologi OMA
OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran pernapasan atas
(ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran napas atas,
termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit, sehingga
terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung
lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam
telinga tengah melalui tuba Eustachius.
Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur proses
ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba,
akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga
tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi. Bila
tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta
terjadi akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen
pada sekret.
Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator
inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori
juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan
imum pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses
inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang- tulang
pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu
banyak akhirnya dapat merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi
(Kerschner, 2007).
Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal.
Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul
edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian
besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba
Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti
tumor, dan hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007).

F. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang umumnya dirasakan oleh penderita otitis media akut, antara lain :
1. Keluar cairan putih dari telinga.
2. Edema pada membran timpani.
3. Nadi dan suhu meningkat.
4. Nyeri hebat di telinga.
5. Terdapat sensasi penuh ditelinga.
6. Penurunan fungsi pendengaran.
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak
yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di samping
suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang
lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran
berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala
khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak
gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan
kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani,
maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar,
2007).
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu
penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien
tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang
kemerahan dan membengkak atau bulging.
Menurut Dagan (2003) dalam Titisari (2005), skor OMA adalah seperti berikut:
Tabel 1. Skor OMA
Kemerahan Bengkak
Tarik Pada Pada
Skor Suhu Gelisah
telinga Membran Membran
Timpani Timpani
0 < 38,0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
1 38,0 – 38,5 Ringan Ringan Ringan Ringan
2 38,6 – 39,0 Sedang Sedang Sedang Sedang
3 > 39,0 Berat Berat Berat Berat,
termasuk
otore

Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 3,
berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.
Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat atau
sedang, suhu lebih atau sama dengan 39°C oral atau 39,5°C rektal. OMA ringan bila nyeri
telinga tidak hebat dan demam kurang dari 39°C oral atau 39,5°C rektal (Titisari, 2005).

G. Penatalaksanaan Medis
Terapi bergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal
ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik,
dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik.
1. Stadium Oklusi
Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan
negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,25 %
untuk anak < 12 tahun atau HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologis untuk anak
diatas 12 tahun dan dewasa. Sumber infeksi lokal harus diobati. Antibiotik
diberikan bila penyebabnya kuman.
2. Stadium Presupurasi
Diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Bila membran timpani sudah
terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi. Dianjurkan pemberian
antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat
diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal
diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah
sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai
gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari.
3. Stadium Supurasi
Selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran
timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur.
4. Stadium Perforasi
Terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut. Diberikan obat cuci telinga
H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya
sekret akan hilang dan perforasi akan menutup sendiri dalam 7-10 hari.
5. Stadium Resolusi
Membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan perforasi
menutup. Bila tidak, antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila tetap,
mungkin telah terjadi mastoiditis.

Pengobatan yang biasa diberikan adalah:


1. Antibiotik
OMA umumnya adalah penyakit yang akan sembuh dengan sendirinya.
Sekitar 80% OMA sembuh dalam 3 hari tanpa antibiotik. Penggunaan antibiotik
tidak mengurangi komplikasi yang dapat terjadi, termasuk berkurangnya
pendengaran. Observasi dapat dilakukan pada sebagian besar kasus. Jika gejala
tidak membaik dalam 48-72 jam atau ada perburukan gejala, antibiotik diberikan.
American Academy of Pediatrics (AAP) mengkategorikan OMA yang dapat
diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam
<39°C dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang –
berat atau demam 39°C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat
dilakukan pada anak usia enam bulan – dua tahun dengan gejala ringan saat
pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Untuk dapat
memilih observasi, follow-up harus dipastikan dapat terlaksana. Analgesia tetap
diberikan pada masa observasi.
British Medical Journal memberikan kriteria yang sedikit berbeda untuk
menerapkan observasi ini. Menurut BMJ, pilihan observasi dapat dilakukan
terutama pada anak tanpa gejala umum seperti demam dan muntah. Jika diputuskan
untuk memberikan antibiotik, pilihan pertama untuk sebagian besar anak adalah
amoxicillin.
a. Sumber seperti AAFP (American Academy of Family Physician) menganjurkan
pemberian 40 mg/kg berat badan/hari pada anak dengan risiko rendah dan 80
mg/kg berat badan/hari untuk anak dengan risiko tinggi. Risiko tinggi yang
dimaksud antara lain adalah usia kurang dari dua tahun, dirawat sehari-hari di
daycare, dan ada riwayat pemberian antibiotik dalam tiga bulan terakhir.
b. WHO menganjurkan 15 mg/kg berat badan/pemberian dengan maksimumnya
500 mg.
c. AAP menganjurkan dosis 80-90 mg/kg berat badan/hari. Dosis ini terkait
dengan meningkatnya persentase bakteri yang tidak dapat diatasi dengan dosis
standar di Amerika Serikat. Sampai saat ini di Indonesia tidak ada data yang
mengemukakan hal serupa, sehingga pilihan yang bijak adalah menggunakan
dosis 40 mg/kg/hari. Dokumentasi adanya bakteri yang resisten terhadap dosis
standar harus didasari hasil kultur dan tes resistensi terhadap antibiotik.
d. Buku ajar THT UI menganjurkan pemberian pada anak, ampisilin diberikan
dengan dosis 50-100 mg/BB per hari, dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40
mg/BB/hari dibagi dalam 3 dosis, atau eritromisin 40 mg/BB/hari.

Antibiotik pada OMA akan menghasilkan perbaikan gejala dalam 48-72


jam. Dalam 24 jam pertama terjadi stabilisasi, sedang dalam 24 jam kedua mulai
terjadi perbaikan. Jika pasien tidak membaik dalam 48-72 jam, kemungkinan ada
penyakit lain atau pengobatan yang diberikan tidak memadai. Dalam kasus seperti
ini dipertimbangkan pemberian antibiotik lini kedua. Misalnya:
a. Pada pasien dengan gejala berat atau OMA yang kemungkinan disebabkan
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, antibiotik yang kemudian
dipilih adalah amoxicillin-clavulanate. Sumber lain menyatakan pemberian
amoxicillin-clavulanate dilakukan jika gejala tidak membaik dalam tujuh hari
atau kembali muncul dalam 14 hari.
b. Jika pasien alergi ringan terhadap amoxicillin, dapat diberikan cephalosporin
seperti cefdinir, cefpodoxime, atau cefuroxime.
c. Pada alergi berat terhadap amoxicillin, yang diberikan adalah azithromycin atau
clarithromycin.
d. Pilihan lainnya adalah erythromycin-sulfisoxazole atau sulfamethoxazole-
trimethoprim. Namun kedua kombinasi ini bukan pilihan pada OMA yang tidak
membaik dengan amoxicillin.
e. Jika pemberian amoxicillin-clavulanate juga tidak memberikan hasil, pilihan
yang diambil adalah ceftriaxone selama tiga hari.Perlu diperhatikan bahwa
cephalosporin yang digunakan pada OMA umumnya merupakan generasi kedua
atau generasi ketiga dengan spektrum luas. Demikian juga azythromycin atau
clarythromycin. Antibiotik dengan spektrum luas, walaupun dapat membunuh
lebih banyak jenis bakteri, memiliki risiko yang lebih besar. Bakteri normal di
tubuh akan dapat terbunuh sehingga keseimbangan flora di tubuh terganggu.
Selain itu risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik akan
lebih besar. Karenanya, pilihan ini hanya digunakan pada kasus-kasus dengan
indikasi jelas penggunaan antibiotik ini kedua.
Pemberian antibiotik pada otitis media dilakukan selama sepuluh hari pada
anak berusia di bawah dua tahun atau anak dengan gejala berat.6 Pada usia enam
tahun ke atas, pemberian antibiotik cukup 5-7 hari. Di Inggris, anjuran pemberian
antibiotik adalah 3-7 hari atau lima hari. Ulasan dari Cochrane menunjukkan tidak
adanya perbedaan bermakna antara pemberian antibiotik dalam jangka waktu
kurang dari tujuh hari dibandingkan dengan pemberian lebih dari tujuh hari. Dan
karena itu pemberian antibiotik selama lima hari dianggap cukup pada otitis media.
Pemberian antibiotik dalam waktu yang lebih lama meningkatkan risiko efek
samping dan resistensi bakteri.

2. Analgesik
Selain antibiotik, penanganan OMA selayaknya disertai penghilang nyeri
(analgesia). Analgesia yang umumnya digunakan adalah analgesia sederhana
seperti paracetamol atau ibuprofen. Namun perlu diperhatikan bahwa pada
penggunaan ibuprofen, harus dipastikan bahwa anak tidak mengalami gangguan
pencernaan seperti muntah atau diare karena ibuprofen dapat memperparah iritasi
saluran cerna.

3. Pembedahan
Myringotomy (myringotomy: melubangi gendang telinga untuk
mengeluarkan cairan yang menumpuk di belakangnya) juga hanya dilakukan pada
kasus-kasus khusus di mana terjadi gejala yang sangat berat atau ada komplikasi.
Cairan yang keluar harus dikultur.

H. Upaya Pencegahan
Beberapa hal yang tampaknya dapat mengurangi risiko OMA adalah:
1. Pencegahan ISPA pada bayi dan anak-anak,
2. Pemberian ASI minimal selama 6 bulan,
3. Penghindaran pemberian susu di botol saat anak berbaring,
4. Penghindaran pajanan terhadap asap rokok.
5. Berenang kemungkinan besar tidak meningkatkan risiko OMA

I. Pemeriksaan Penunjang
1. Otoscope untuk melakukan auskultasi pada bagian telinga luar
2. Timpanogram untuk mengukur keseuaian dan kekakuan membrane timpani.
3. Kultur dan uji sensitifitas ; dilakukan bila dilakukan timpanosentesis (Aspirasi
jarum dari telinga tengah melalui membrane timpani).
4. Laboratorium
Biasanya tidak diperlukan tes laboraturium sampai infeksi mereda dan
pemeriksaan tindak lanjut akan mencakup audiometri dan timpanometri bila
terdapat otore, contoh nanah dapat diambil untuk pemeriksaan kultur dan
sensitivitas antimikroba.
5. CT Scan dan MRI

J. Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses
subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi
tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough
(2003) dalam Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi
intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut , paresis nervus fasialis,
labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak,
tromboflebitis). Komplikasi yang serius adalah: Infeksi pada tulang di sekitar telinga
tengah (mastoiditis atau petrositis) Labirinitis (infeksi pada kanalis semisirkuler)
Kelumpuhan pada wajah, Tuli Peradangan pada selaput otak (meningitis).

K. Kriteria Diagnosa
Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut.
1. Penyakitnya muncul mendadak (akut)
2. Ditemukannya tanda efusi (efusi: pengumpulan cairan di suatu rongga tubuh)
ditelinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut:
a. Menggembungnya gendang telinga
b. Terbatas/tidak adanya gerakan gendang telinga
c. Adanya bayangan cairan di belakang gendang telinga d. cairan yang keluar
dari telinga
3. Adanya tanda/gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya
salah satu di antara tanda berikut:
a. Kemerahan pada gendang telinga
b. Nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal

Anak dengan OMA dapat mengalami nyeri telinga atau riwayat menarik-narik daun
telinga pada bayi, keluarnya cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran, demam,
sulit makan, mual dan muntah, serta rewel. Namun gejala-gejala ini (kecuali keluarnya
cairan dari telinga) tidak spesifik untuk OMA sehingga diagnosis OMA tidak dapat
didasarkan pada riwayat semata.
Efusi telinga tengah diperiksa dengan otoskop (alat untuk memeriksa liang dan
gendang telinga dengan jelas). Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga
yang menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau agak
kuning dan suram, serta cairan di liang telinga.
OMA harus dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai OMA.
Untuk membedakannya dapat diperhatikan hal-hal berikut:
Gejala dan tanda OMA Otitis media dengan
efusi
Nyeri telinga, demam, + -
rewel
Efusi telinga tengah + +
Gendang telinga suram + +/-
Gendang yang +/- -
menggembung
Gerakan gendang + +
berkurang
Berkurangnya + +
pendengaran
(http://kelompok8fkep.wordpress.com/2009/10/12/kasus-3-otitis-media-akut/)

L. Prognosis
Prognosis otitis media akut yang sangat baik. Durasi adalah variabel. Mungkin ada
perbaikan dalam waktu 48 jam bahkan tanpa pengobatan apapun. Pengobatan dengan
antibiotik selama seminggu sampai 10 hari biasanya efektif.
Bakteri otitis media akut dapat menyebabkan rasa sakit yang mengarah ke malam
tanpa tidur untuk anak-anak dan orang tua, dapat menyebabkan perforasi gendang
telinga, tidak semua yang menyembuhkan, dan dapat menyebar ke menyebabkan
mastoiditis dan / atau meningitis, abses otak, dan bahkan kematian jika infeksi parah
berjalan cukup lama tidak diobati. demam tinggi dapat terjadi dan dapat menyebabkan
kejang demam. administrasi antibiotik yang tepat mencegah komplikasi seperti
kebanyakan.
WOC Otitis Media Akut

Infeksi sekunder (ISPA) Trauma Benda Asing


Bakteri Streptococcus
Hemophylus Influenza
Rupture Gendang Telinga

Invansi Bakteri

Infeksi Telinga Tengah


Kavum Timpani, Tuba
Eutachius

Proses Peradangan Peningkatan Tekanan Udara Retraksi


Produksi Cairan Pada Telinga Membran Kurang
Serosa Tengah (-) Timpani Informasi
Nyeri

Akumilasi Cairan Retraksi Infeksi Kurang


Mucus dan Serosa Membran Berlanjut dapat Pengetahuan
Timpani sampai ke
Telinga Dalam

Rupture Membran Hantaran


Timpani karena suara/udara yang Terjadi Erosi
diterima menurun : Pada Kanal Merusak Tulang
Desakan
 Tinitus Semisirkularis Karena Adanya
 Penurunan Fungsi Epitel
Pendengaran Skuamosa
Secret Keluar dan dalam Rongga
 Tuli Konduktif
Berbau Tidak  Pening/Vertigo Telinga Tengah
Enak (Otorrhoe)  Keseimbangan (Kolesteatom)
tubuh Menurun
Gangguan
Gangguan Harga Pesepsi Sensori
Diri Pendengaran Tindakan Operasi
Resiko
dengan
Cedera
Mastoidektomi

Cemas
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Kasus Pemicu Otitis Media Akut


An. H, Usia 3 Tahun, Agama Islam, Suku Bangsa Jawa, Alamat Jalan Nanda
Baru, Thehok Jambi. Masuk ke Rumah Sakit R pada tanggal 11 November 2015
diantar oleh orangtuanya, Ny. K, 32 tahun seorang Ibu Rumah Tangga, dengan keluhan
sejak 2 hari ini nyeri pada daerah bagian telinga sebelah kanannya, rasa sakit tidak
hilang bahkan klien sampai demam, mual, muntah, dan tidak ada nafsu makan.
Setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan adanya pembengkakan pada telinga
kanan klien, bengkak tampak merah dan meradang. Pada membran timpani sebelah
kanan klien tampak bulging dan hiperemis. Klien tampak rewel dan terus meringis.
Klien juga tampak memegangi dan menarik-narik telinga yang sakit.
Dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital diperoleh Respiratory Rate 22
kali/menit, nadi 110 kali/menit, dan suhu tubuh klien 400C. Klien tampak menderita
nyeri sedang dengan skala nyeri 6, nyeri dirasakan semakin hebat pada malam hari atau
pada saat anak sedang bermain dan melakukan aktivitas lainnya. Kulit tubuh klien
tampak kemerahan. Saat ditimbang berat badan klien 11 kg. Klien hanya menghabiskan
¼ dari porsi makan yang disediakan. Klien masih mengalami muntah dengan frekuensi
muntah 3 kali/24 jam. Dari hasil pemeriksan Laboratorium diperoleh peningkatan
jumlah sel leukosit, yaitu 16.000/ml3 darah.
Ibu klien mengatakan bahwa anaknya pernah menderita batuk dan pilek. tidak
ada riwayat keluarnya cairan dari rongga telinga, dan tidak pernah mengorek-ngorek
telinga dengan benda tajam atau benda yang berbahaya lainnya. Sebelumnya dari
keluarga klien tidak ada yang menderita sakit seperti yang klien alami dan tidak ada
riwayat alergi dari anggota keluarga. Keluarga klien juga tidak ada yang menderita
penyakit Diabetes Mellitus.
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
1) Nama Klien : An. H
2) Usia : 3 Tahun
3) Agama : Islam
4) Suku bangsa : Jawa
5) Alamat : Jalan Nanda Baru, Thehok Jambi

b. Penanggung Jawab
1) Nama Klien : Ny. K
2) Usia : 32 Tahun
3) Agama : Islam
4) Suku bangsa : Jawa
5) Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
6) Alamat : Jalan Nanda Baru, Thehok Jambi

c. Tanggal Masuk Rumah Sakit


Klien masuk Rumah Sakit R Pada tanggal 11 November 2015 dan dirawat di
ruang THT.

d. Alasan masuk rumah sakit :


An. H dibawa ke Rumah Sakit Raden Mattaher Jambi dengan alasan ibu klien
mengatakan bahwa sejak 2 hari ini An. H menderita demam, dengan suhu tubuh
mencapai 40oC. Klien juga merasakan nyeri pada daerah bagian telinga sebelah
kanannya, rasa sakit tidak hilang.

e. Riwayat Kesehatan Sekarang :


P : Nyeri dirasakan klien pada saat klien sedang bermain dan melakukan
Aktivitas lainnya.
Q : Nyeri tekan dan berasa ngenyut-ngenyut dan telinga terasa penuh.
R : Nyeri dirasakan pada telinga sebelah kanan tepatnya pada telinga tengah.
S : Skala nyeri 6 (nyeri sedang). Klien tampak meringis dan memegangi serta
menarik-narik bagian telinga yang sakit.
T : Nyeri semakin hebat dirasakan klien pada malam hari.

Saat ini klien juga mengalami demam dengan suhu tubuh mencapai 40oC.
Kulit tubuh klien tampak kemerahan. Klien juga mengalami mual dan muntah
dengan frekuensi muntah 3 kali/24 jam.

f. Riwayat Kesehatan Dahulu


Ny. K mengatakan bahwa An. H pernah menderita batuk dan pilek. tidak ada
riwayat keluarnya cairan dari rongga telinga, dan tidak pernah mengorek-ngorek
telinga dengan benda tajam atau benda yang berbahaya lainnya.

g. Riwayat Kesehatan Keluarga


Ny. K mengatakan bahwa sebelumnya dari anggota keluarganya tidak ada yang
menderita sakit seperti yang klien alami dan tidak ada riwayat alergi dari
anggota keluarga. Keluarga juga tidak ada yang menderita Diabetes Mellitus.

h. Pemeriksaan Laboratorium
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan bahwa terjadi peningkatan pada
jumlah sel leukosit, yaitu 16.000/ml3 darah.

i. Anamnesa Persistem
1) Syaraf : Tidak ada keluhan.
2) Respirasi : Tidak ada keluhan.
3) Kardiovaskular : Tidak ada keluhan.
4) Gastrointestinal : Klien mengalami mual dan muntah dengan
Frekuensi muntah 3 kali/24 jam.
5) Urogenital : Tidak ada keluhan.
6) Muskuloskeletal : Tidak ada keluhan.
j. Pemeriksaan Fisik
1) Status Generalis
a) Keadaan Umum : Cukup, klien tampak sakit sedang.
b) Kesadaran : Compos Mentis
c) berat badan : 11 kg
d) Tanda – Tanda Vital :  RR : 22 Kali/menit
 Suhu : 40oC
 Nadi : 110 kali/menit
2) Status Lokalis
a) Telinga
 Inspeksi
 Aurikula
 AD : Dalam batas normal
 AS : Dalam batas normal
 Canalis auditorius
 AD : Tampak hiperemis
 AS : Dalam batas normal
 Otoskopi
 Membran timpani
 AD : Tampak bulging dan hiperemis
 AS : Dalam batas normal
 Palpasi
 Nyeri tekan tragus
 AD : (-)
 AS : (-)
 Nyeri tekan aurikula
 AD : (+)
 AS : (-)
b) Hidung dan sinus paranasalis
 Inspeksi : Deformitas (-)
 Palpasi : Nyeri tekan (-)
 Rinoskopi anterior :
 Deviasi septum : (-)
 Discharge : (-)
 Mukosa hiperemis : (-)
 Konka hipertrofi : (-)
c) Rongga mulut
 Lidah : Tremor (-)
 Mulut : Mukosa bukal dalam batas normal, hiperemis (-)
 Gigi geligi : Caries (-)
 Palatum : Dalam batas normal
d) Tenggorokan
 Inspeksi regio nasofaring
 Mukosa hiperemis (-)
 Tonsil tidak membesar, T1 – T1
 Post nasal drip (-)
2. Analisa Data
Nama Klien : An. H
Usia : 3 tahun

No Data Etiologi Problem


1. DS : Klien mengeluh nyeri pada Inflamasi , tekanan Nyeri
telinga sebelah kanannya. Nyeri pada membran
semakin terasa pada malam hari atau tympani
pada saat klien sedang bermain atau
melakukan aktivitas lainnya.
DO :- Setelah dilakukan pemeriksaan
terdapat adanya pembengkakan pada
telinga kanan klien, bengkak tampak
merah dan meradang. Membran
timpani tampak bulging dan
hiperemis.
- Klien tampak rewel dan terus
meringis
- Klien tampak memegangi dan
menarik-narik telinga yang sakit
- RR : 22 kali/menit
- Nadi : 110
- Skala nyeri 6

2. DS : Ibu klien mengatakan bahwa Infeksi Hypertermi


anaknya menderita demam sejak 2
hari yang lalu.
DO :
- Klien tampak rewel
- Suhu tubuh 40oC
- Jumlah sel leukosit 16.000/ml3
3. DS : Ibu klien mengatakan bahwa Anoreksia Perubahan
anaknya tidak ada nafsu makan dan nutrisi kurang
mengalami mual dan muntah. dari kebutuhan
tubuh
DO:
 Klien hanya menghabiskan ¼ dari
porsi makan yang disediakan
 Klien mengalami muntah dengan
frekuensi muntah 3 kali/24 jam
 Berat badan klien 11 kg.
3. Diagnosa Keperawatan
Nama Klien : An. H
Usia : 3 tahun

No Tanggal Diagnosa keperawatan


ditegakkan
1. 11 November Nyeri berhubungan dengan inflamasi, tekanan pada
2015 membran timpani ditandai dengan:
DS : Klien mengeluh nyeri pada telinga sebelah
kanannya. Nyeri semakin terasa pada malam hari atau
pada saat klien sedang bermain atau melakukan aktivitas
lainnya.
DO :- Setelah dilakukan pemeriksaan terdapat adanya
pembengkakan pada telinga kanan klien, bengkak
tampak merah dan meradang. Membran timpani tampak
bulging dan hiperemis.
- Klien tampak rewel dan terus meringis
- Klien tampak memegangi dan menarik-narik telinga
yang sakit
- RR : 22 kali/menit
- Nadi : 110
- Skala nyeri 6

2. 11 November Hipertermi berhubungan dengan infeksi ditandai dengan:


2015 DS : Ibu klien mengatakan bahwa anaknya mengalami
demam sejak 2 hari yang lalu.
DO :
- Klien tampak rewel
- Suhu tubuh 40oC
- Jumlah sel leukosit 16.000/ml3
3. 11 November Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
2015 berhubungan dengan anoreksia ditandai dengan:
DS : Ibu klien mengatakan bahwa anaknya tidak ada
nafsu makan dan mengalami mual dan muntah.

DO:
 Klien hanya menghabiskan ¼ dari porsi makan yang
disediakan
 Klien mengalami muntah dengan frekuensi muntah 3
kali/24 jam
 Berat badan klien 11 kg.
4. Rencana Asuhan Keperawatan
Nama Klien : An. H
Usia : 3 tahun

No Diagnosa Perencanaan
Keperawatan Tujuan/Kriteria Intervensi Rasional
Hasil
1. Nyeri berhubungan dengan Tujuan : Mandiri :
inflamasi, tekanan pada Setelah dilakukan 1. Tentukan riwayat nyeri, misalnya Informasi memberikan data dasar untuk
membran timpani ditandai tindakan keperawatan lokasi nyeri, frekuensi, durasi, mengevaluasi kebutuhan atau keefektifan
dengan: diharapkan Nyeri dan intensitas dan tindakan intervensi. Catatan: pengalaman nyeri
DS : klien mengeluh nyeri berkurang, hilang atau penghilang yang digunakan. adalah individual yang digabungkan
pada telinga sebelah teradaptasi dengan dengan baik respons fisik dan emosional.
kanannya. Nyeri semakin Kriteria hasil :
terasa pada malam hari  Klien tidak lagi Merupakan indikator/derajat nyeri yang
atau pada saat klien sedang memegangi dan 2. Observasi adanya tanda-tanda tidak langsung yang dialami oleh anak.
bermain atau melakukan menarik-narik nyeri nonverbal, seperti ekspresi
aktivitas lainnya. telinganya yang wajah, menangis/ meringis,
DO : mengindikasikan rewel, posisi tubuh, gelisah,
- Setelah dilakukan rasa nyeri pada memgangi atau menarik-narik
pemeriksaan terdapat klien. daerah telinga yang sakit. Ketinggian dapat mengurangi tekanan
adanya pembengkakan  Tanda-tanda vital dari cairan pada telinga tengah.
pada telinga kanan dalam rentang 3. Biarkan anak duduk, atau
klien, bengkak tampak normal tinggikan kepala dengan bantal.
merah dan meradang.  Klien tida rewel Hindari daerah telinga yang sakit. Hal ini dilakukan untuk mengurangi nyeri
- Klien tampak rewel dan dan tidak meringis yang timbul.
terus meringis lagi. 4. Berikan kompres panas pada
- Klien tampak daerah luar telinga. Dapat mengindikasikan rasa sakit akut
memegangi dan dan ketidaknyamanan.
menarik-narik telinga 5. Kaji tanda-tanda vital, perhatikan
yang sakit peningkatan tekanan darah, nadi
- RR : 22 kali/menit dan pernafasan. Memberikan anak sejumlah pengendali
- Nadi : 110 nyeri dan/atau dapat mengubah
- Skala nyeri 6 6. Gunakan teknik sentuhan yang mekanisme sensasi nyeri dan mengubah
terapeutik, visualisasi atau persepsi nyeri.
dengan musik.

Analgesik mengubah persepsi atau


Kolaborasi respons terhadap nyeri.
Berikan analgesik seperti
acetamenofen, gunakan analgesik
tetes telinga.
2. Hipertermi berhubungan Setelah dilakukan Mandiri
dengan infeksi ditandai tindakan keperawatan 1. Pantau suhu klien, perhatika Suhu 38,9oC – 41,1oC menunjukkan
dengan: diharapkan masalah menggigil/diaforesis. proses penyakit infeksius. Pola demam
DS : klien dibawa ke hipertermia pada anak dapat membantu dalam diagnosis.
rumah sakit dengan alasan dapat teratasi dengan
demam kriteria hasil: 2. Pantau suhu lingkungan, Suhu ruangan/jumlah selimut harus
DO :  Klien tidak rewel batasi/tambahkan linen tempat diubah untuk mempertahankan suhu
- Klien tampak rewel lagi tidur, sesuai indikasi. mendekati normal.
- Suhu tubuh 40oC  Suhu tubuh dalam
- Jumlah sel leukosit rentang nornal 3. Berikan kompres mandi hangat, Dapat membantu mengurangi demam.
16.000/ml3 (antara 36,5 – hindari penggunaan alkohol. Catatan: penggunaan air es/alkohol
37,5oC) mungkin emnyebabkan kedinginan,
 Jumlah sel peningkatan suhu secara aktual. Selain
leukosit dalam itu, alkohol dapat mengeringkan kulit.
batas normal
(5.000-10.000/ ml3 4. Longgarkan atau lepaskan Hal ini dapat membantu menurunkan
darah) pakaian klien. panas tubuh melalui cara evaporasi.
Kolaborasi
1. Berikan antipiretik, misalnya Digunakan untuk mengurangi demam
ASA (aspirin), acetaminofen yang aksi sentralnya di hipothalamus,
(Tylenol) meskipun demam mungkin dapat berguna
dalam membatasi pertumbuhan
organisme, dan meningkatkan
autodestruksi dari sel-sel yang terinfeksi

Dapat membasmi/memberikan imunitas


2. Berikan obat antiinfeksi sementara untuk infeksi umum atau
sesuai indikasi: antibiotik khusus.

3. Mandiri
1. Observasi tekstur dan turgor Hal ini dilakukan untuk mengetahui
kulit. status nutrisi klien.

2. Lakukan oral higiene Kebersihan mulut dapat merangsang


nafsu makan.
3. Catat pemasukan dan Nafsu makan biasanya berkurang dan
haluaran peroral jika di nutrisi yang masuk pun berkurang.
indikasikan. Anjurkan klien Anjurkan klien memilih makanan yang
untuk makan. disenangi dapat dimakan (bila sesuai
anjuran).

Mencegah terjadinya kelelahan,


4. Berikan makanan kecil dan memudahkan masuknya makanan dan
lunak. mencegah gangguan pada lambung.

Fungsi sistem gastrointestinal sangat


5. Kaji fungsi sistem penting untuk memasukkan makanan.
gastrointestinal yang
meliputi suara bising usus,
catat terjadi perubahan di
dalam lambung seperti mual
dan muntah. Observasi
perubahan pergerakan usus
misalnya diare dan
konstipasi.

Kolaborasi
1. Konsul ahli gizi/nutrisi Metode makan dan kebutuhan kalori
pendukung tim untuk didasarkan pada situasi/kebutuhan
memberikan makanan yang individu untuk memberikan nutrisi
mudah di cerna, secara nutrisi maksimal dengan upaya minimal
seimbang, misalnya nutrisi pasien/penggunaan energi.
tambahan oral/selang, nutrisi
parenteral.

2. Kaji pemeriksaan laboratorium Mengevaluasi/mengatasi kekurangan dan


misalnya albumin serum, mengawasi keefektifan terapi nutrisi.
transferin, profil asam amino,
besi, pemeriksaan keseimbangan
nitrogen, glukosa, pemeriksaan
fungsi hati, elektrolit, berikan
vitamin/ mineral/elektrlit sesuai
indikasi.
5. Implementasi
Nama Klien : An. H
Umur : 3 Tahun

No Hari/Tgl/ Diagnosa Catatan Keperawatan Paraf


Jam keperawatan
1. 11 November Diagnosa Ns. A,
2015 Keperawatan 1 S.Kep

10.00 WIB
1. Menentukan lokasi nyeri
10.00 WIB dan intensitas nyeri
2. Mengamati adanya tanda-
10.30 WIB tanda nyeri non verbal
3. Meninggikan kepala anak
11.00 WIB dengan bantal
4. Memberikan kompres
13.00 WIB panas pada daerah luar
telinga
14.00 WIB 5. Mengkaji tanda-tanda vital
6. Berkolaborasi dalam
pemberian obat analgesik
dan sesuai indikasi
2. 11 November Diagnosa Ns. A,
2015 Keperawatan 2 S.Kep

10.15 WIB
10.15 WIB 1. Mengontrol suhu klien
11.15 WIB 2. Mengontrol suhu
lingkungan
11.30 WIB 3. Memberikan kompres
14.00 WIB mandi hangat
4. Melonggarkan pakaian
klien
5. Berkolaborasi dalam
pemberian antipiretik dan
antibiotik sesuai indikasi

3. 11 November Diagnosa Ns. A,


2015 Keperawatan 3 S.Kep

10.00 WIB
1. Mengobservasi tekstur dan
11.30WIB turgor kulit
11.30 WIB 2. Melakukan oral higiene
3. Mencatat pemasukan dan
12.30 WIB haluaran oral
4. Berkolaborasi dengan ahli
gizi untuk memberikan
makanan yang mudah
13.15 WIB dicerna dan nutrisi
seimbang
5. Memberikan makanan
kecil dan lunak

6. Evaluasi
Nama Klien : An. H
Umur : 3 Tahun

No Hari/Tgl Diagnosa Catatan Perkembangan Paraf


Keperawatan (SOAP)
1. 12 Diagnosa S : klien mengeluh masih merasakan Ns. A,
Novem- Keperawatan 1 nyeri pada telinga sebelah kanannya S.Kep
ber 2015 O:
- klien masih tampak rewel dan
sesekali meringi
- RR : 22 x/menit
- Nadi : 110 x/menit
- Skala nyeri 4
A : Masalah keperawatan nyeri teratasi
sebagian
P : Intervensi dilanjutkan

2. 12 Diagnosa S : Ibu klien mengatakan bahwa Ns. A,


Novem- Keperawatan 2 anaknya masih demam S.Kep
ber 2015 O:
- Klien masih tampak rewel
- Suhu tubuh 38,5oC
- Jumlah sel leukosit 15.800 ml3
A : Masalah Hypertermi belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan

3. 12 Diagnosa S : Ibu klien mengatakan bahwa Ns. A,


Novem- Keperawatan 3 anaknya masih mual dan muntah S.Kep
ber 2015 namun telah ada peningkatan pada
nafsu makan
O:
 Klien hanya menghabiskan ½ dari
porsi makan yang disediakan
 Klien mengalami muntah dengan
frekuensi muntah 2 kali/24 jam
 Berat badan klien 11 kg.
A : Masalah keperawatan perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
teratasi sebagian.
P : Intervensi dilanjutkan
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Telinga tengah terdiri dari Membran timpani, Kavum timpani, Prosesus mastoideus,
dan Tuba eustachius
2. Otitis media akut (OMA) adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid.
3. Penyebab otitis media akut (OMA) dapat merupakan virus maupun bakteri. Bakteri
penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae, diikuti oleh
Haemophilus influenzae dan Moraxella cattarhalis
4. Anak lebih mudah terserang otitis media dibanding orang dewasa.
5. Gejala klinis otitis media akut (OMA) tergantung pada stadium penyakit dan umur
pasien.
6. Terapi bergantung pada stadium penyakitnya
7. Jika diputuskan untuk memberikan antibiotik, pilihan pertama untuk sebagian besar
anak adalah amoxicillin dan pemberian antibiotik adalah 3-7 hari atau lima hari.
8. Kasus pemicu dari Otitis Media Akut adalah: An. H, Usia 3 Tahun, Agama Islam,
Suku Bangsa Jawa, Alamat Jalan Nanda Baru, Thehok Jambi. Masuk ke Rumah
Sakit Raden Mattaher Jambi pada tanggal 01 Juli 2010 diantar oleh orangtuanya, Ny.
K, 32 tahun seorang Ibu Rumah Tangga, dengan keluhan sejak 2 hari ini nyeri pada
daerah bagian telinga sebelah kanannya, rasa sakit tidak hilang bahkan klien sampai
demam, mual, muntah, dan tidak ada nafsu makan.
Setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan adanya pembengkakan pada telinga kanan
klien, bengkak tampak merah dan meradang. Pada membran timpani sebelah kanan
klien tampak bulging dan hiperemis.Klien tampak rewel dan terus meringis. Klien
juga tampak memegangi dan menarik-narik telinga yang sakit.
Dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital diperoleh Respiratory Rate 22 kali/menit,
nadi 110 kali/menit, dan suhu tubuh klien 400C. Klien tampak menderita nyeri
sedang dengan skala nyeri 6, nyeri dirasakan semakin hebat pada malam hari atau
pada saat anak sedang bermain dan melakukan aktivitas lainnya. Kulit tubuh klien
tampak kemerahan. Saat ditimbang berat badan klien 11 kg. Klien hanya
menghabiskan ¼ dari porsi makan yang disediakan. Klien masih mengalami muntah
dengan frekuensi muntah 3 kali/24 jam. Dari hasil pemeriksan Laboratorium
diperoleh peningkatan jumlah sel leukosit, yaitu 16.000/ml3 darah.
Ibu klien mengatakan bahwa anaknya pernah menderita batuk dan pilek. tidak ada
riwayat keluarnya cairan dari rongga telinga, dan tidak pernah mengorek-ngorek
telinga dengan benda tajam atau benda yang berbahaya lainnya. Sebelumnya dari
keluarga klien tidak ada yang menderita sakit seperti yang klien alami dan tidak ada
riwayat alergi dari anggota keluarga. Keluarga klien juga tidak ada yang menderita
penyakit Diabetes Mellitus.
Setelah dilakukan pengkajian dan asuhan keperawatan terhadap kasus Otitis Media
Akut (OMA) yang diderita oleh Anak H ini, maka masalah keperawatan yang dapat
diangkat adalah nyeri berhubungan dengan inflamasi, tekanan pada membran
timpani, hipertermia berhubungan dengan infeksi, dan perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
Implementasi yang di lakukan dari rencana asuhan keperawatan yang dibuat
berdasarkan masalah keperawatan yang timbul adalah mengupayakan sedapat
mungkin agar nyeri yang dirasakan oleh Anak H dapat terkontrol/teradaptasi,
mengupayakan agar suhu tubuh tetap dalam rentang yang normal, dan kebutuhan
nutrisi dapat terpenuhi secara adekuat sesuai dengan kebutuhan tubuh, yang
kesemuanya itu dilakukan dengan berbagai tindakan keperawatan dan tindakan
medis.

B. Saran
1. Bagi Mahasiswa
Setelah mempelajari dan memahami secara lebih dalam tentang konsep dan
gambaran umum serta asuhan keperawatan dari Penyakit Otitis Media Akut (OMA)
diharapkan mahasiswa mampu mengapresiasikan apa yang telah dipelajari dan
diperolehnya dengan menerapkannya langsung melalui praktik di lapangan terhadap
pasien dengan Penyakit Otitis Media Akut (OMA) dalam rangka memberikan
Asuhan keperawatan yang kompetitif dan terarah sehingga dapat memberikan
manfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya.
Makalah ini diharapkan agar dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
dalam penyusunan skripsi di semester VIII nanti.
DAFTAR PUSTAKA

Alho, O., Laara, E., Oja, H., 1996. Public Health Impact of Various Risk Factors for Acute
Otitis Media in Northern Finland. Am. J. Epidemiol 143 (11).

American Academy of Pediatrics and America Academy of Family Physicians, 2004.


Diagnosis and Management of Acute Otitis Media. Pediatrics 113(5):1451-1465.

Berman, S., 1995. Otitis Media in Children. N Engl J Med 332 (23): 1560-1565.

Bluestone, C.D., Klein, J.O., 1996. Otitis Media, Atelektasis, and Eustachian Tube
Dysfunction. In Bluestone, Stool, Kenna eds. Pediatric Otolaryngology. 3rd ed.
London: WB Saunders, Philadelphia, 388-582.

Buchman, C.A., Levine, J.D., Balkany, T.J., 2003. Infection of the Ear. In: Lee, K.J., ed.
Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed. USA: McGraw-Hill
Companies, Inc., 462-511.

Commisso, R., Romero-Orellano, F., Montanaro, P.B., Romero-Moroni, F., Romero-Diaz,


R., 2000. Acute Otitis Media: Bacteriology and Bacterial Resistance in 205 Pediatric
Patients. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 56: 23-31.

Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi, E.A.,
ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi
ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 64-86.

Hassan, R., 1985. Usaha Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA). Dalam: Hassan, R., ed. Buku
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 49-58.

Hassan, R., 1985. Usaha Kesejahteraan Sekolah. Dalam: Hassan, R., ed. Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 59-62.

Homoe, P., Christensen, R.B., Bretlau, P., 1999. Acute Otitis Media and Sociomedical Risk
factors Amongst Unselected Children in Greenland. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol.
49: 37-52.

Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of Pediatrics.
18th ed. USA: Saunders Elsevier, 2632-2646.

Klein, J.O., 2009. Acute Otitis Media in Children: Epidermiology, Pathogenesis, Clinical
Manifestations, and Complications. Up to Date.

Madiyono, B., Moeslichan, S.M., Sastroasmoro, S., Budiman, I., Purwanto, S.H., 2008.
Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Sastroasmoro, S., ed. Dasar-dasar Metodologi
Penelitian Klinis. Edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto, 302-331.

Mora, R., Barbieri, M., Passali, G.C., Sovatzis, A., Mora, F., Cordone, M.P., 2002. A
Preventive Measure for Otitis Media in Children with Upper Respiratory Tract
Infections. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 63: 111-118.

Onion, D.K., Taylor, C., 1977. The Epidermiology of Recurrent Otitis Media. Am. J. Public
Health 67 (5).

Revai, K., Dobbs, L.A., Nair, S., Patel, J.A., Grady, J.J., Chonmaitree, T., 2007. Incidence of
Acute Otitis Media and Sinusitis Complicating Upper Respiratory Tract Infection:
The Effect of Age. Pediatrics 119 (6).

Rubin, M.A., Gonzales, R., Sande, M.A., 2008. Pharyngitis, Sinusitis, Otitis, and Other
Upper Respiratory Tract Infections. In: Fauci, A.S., ed. Harrysons’s Principles of
Internal Medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc., 205-214.

Teele, D.W., Klein, J.O., Rosner, B,. The Greater Boston Otitis Media Study Group.
Epidemiology of Otitis Media During the First Seven Years of Life in Children in
Greater Boston: A Prospective, Cohort Study. J. Infect. Dis. 160 (1): 83-94.

Titisari, H., 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis Media
Akut di PSCM dan RSAB Harapan Kita. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

Vernacchio, L., Lesko, S.M., Vezina, R.M., Corwin, M.J., Hunt, C.E., Hoffman, H.J.,
Mitchell, A.A., 2004. Racial/Ethnic Disparities in the Diagnosis of Otitis Media in
Infancy. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 68: 795-804.

Smelter, Suzanne C., 2001 Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Edisi 8.Jakarta.EGC.

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 3. Jakarta. EGC.

Djaafar ZA, Helmi. Kelainan telinga tengah. Buku ajar Ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala dan leher.6th ed. Jakarta, 2007:p 64-8)

Adam, Boies, Higler, 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6. Jakarta: EGC

Ball, Jane W., Ruth C Bindler, 2003. Pediatric Nursing Caring For Children, Edisi 3.

Brooker, Christine, 2001. Kamus Saku Keperawatan, Edisi 31. Jakarta: EGC

Brunner and sudarth, 2002 .Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Ed. 8, Vol.3,
Jakarta: EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

Doenges, Marilynn E., dkk., 2001. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Ed. 3, Jakarta: EGC.

Elfindri, Dkk., 2009. Soft Skills Panduan Bagi Bidan Dan Perawat, S.K Menteri Kesehatan
RI Tentang: Registrasi Dan Praktik Perawat-Standar Profesi Bidan, Jakarta: Baduose
Media
Mansjoer, Arief, dkk., 2008. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. 3, Jilid 1, Jakarta:
Media Eusculapius

Muttaqin, Arif, 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: salemba Medika.

Price, Sylvia A, 2005. Patofisiologi. Ed. 6, Vol. 2. Jakarta : EGC.

Soepardi, Etiaty Arsyad, 2000. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan,
Edisi 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sudoyo, Aru W., dkk., 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Ed. IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FK UI.

Suriadi, Rita Yuliani, 2006. Buku Pegangan Praktik Klinik Asuhan Keperawatan Pada Anak,
Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto.

Wong, Donna L., Dkk., 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Edisi 6, Volume 2. Jakarta:
EGC.

Kelompok 8 Fakultas Keperawatan, 12 Oktober 2009. Otitis Media Akut. Diakses pada
tanggal 11 Desember 2015.
(http://kelompok8fkep.wordpress.com/2009/10/12/kasus-3-otitis media-akut/).

-------, 04 Januari 2010. Otitis Media Akut. Diakses pada tanggal 11 Desember 2015.
(http://askepaskeb.cz.cc/2010/01/otitis-media-akut.html).

-------, 11 November 2015. Asuhan Keperawatan Otitis Media Akut (OMA). Diakses pada
tanggal 11 November 2015.
(http://www.deecy.info/tag/askep-otitis-media-akut-pada-anak/)

Anda mungkin juga menyukai