Kepemimpinan Komunikasi Dan Kekuasaan Dalam Pendidikan PDF
Kepemimpinan Komunikasi Dan Kekuasaan Dalam Pendidikan PDF
Pokok Bahasan:
Kepemimpinan, Komunikasi, dan Kekuasaan dalam Pendidikan.
Kompetensi Dasar:
Memahami Kepemimpinan, Komunikasi, dan Kekuasaan dalam Pendidikan.
Indikator:
1. Menjelaskan kepemimpinan dan komunikasi (konsep, pendekatan model, dan tipe).
2. Menjelaskan kekuasaan dan komunikasi dalam pendidikan (konsep, pendekatan
model, dan tipe).
MATERI PEMBELAJARAN
A. Konsep Kepemimpinan
1. Definisi Kepemimpinan
Definisi kepemimpinan sangat bervariasi, sebanding dengan banyak
orang yang mencoba mendefinisikan konsep kepemimpinan. Yukl (2010:3)
mengemukakan bahwa sebagian besar definisi kepemimpinan mencerminkan
asumsi bahwa “kepemimpinan berkaitan dengan proses yang disengaja dari
seseorang untuk menekankan pengaruhnya yang kuat terhadap orang lain untuk
membimbing, membuat struktur, memfasilitasi aktivitas dan hubungan di dalam
kelompok atau organisasi”. Selanjutnya Engkoswara dan Aan (2011:177)
menguraikan beberapa definisi kepemimpinan menurut para ahli, diantaranya:
a. Rauch and Behling (1984:46), mengemukakan bahwa: “Kepemimpinan
adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang
diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan”.
b. Kottler (1988), mengemukakan bahwa: “Kepemimpinan adalah proses
menggerakkan seseorang atau sekelompok orang kepada tujuan-tujuan yang
umumnya ditempuh dengan cara-cara yang tidak memaksa”.
c. Jacobs and Jacques (1990), mengemukakan bahwa: “Kepemimpinan adalah
sebuah proses memberi arti (pengarahan berarti) terhadap usaha kolektif, dan
yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan
untuk mencapai sasaran”.
d. Dubrin, A.J. (2001:3), mengemukakan bahwa: “Kepemimpinan adalah
kemampuan untuk menanamkan keyakinan dan memperoleh dukungan dari
anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi”.
e. Northouse, P.G. (2003:3), mengemukakan bahwa: “Kepemimpinan adalah
suatu proses dimana individu mempengaruhi kelompok untuk mencapai
tujuan umum”.
Selanjutnya Oteng Sutisna (1983) menggambarkan kepemimpinan secara
umum sebagai suatu proses mempengaruhi atau membujuk (inducing) orang lain
menuju pencapaian sasaran atau tujuan bersama. Definisi ini mencakup tiga
elemen sebagai berikut :
a. Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (relational concept).
Kepemimpinan hanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (pengikut).
Apabila tidak ada pengikut, maka tidak ada kepemimpinan.
b. Kepemimpinan merupakan suatu proses.
c. Pemimpin harus membujuk orang lain untuk mengambil tindakan.
Bedasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan
selalu melibatkan unsur pemimpin, pengikut, dan konteks. Ketiadaan salah satu
dari ketiga unsur tersebut akan menghilangkan esensi pemimpin itu sendiri.
Pemimpin yang efektif dalam hubungannya dengan bawahan adalah pemimpin
yang mampu meyakinkan pengikutnya bahwa kepentingan pribadi dari bawahan
adalah visi pemimpin, serta mampu meyakinkan bahwa anggotanya mempunyai
andil dalam mengimplementasikannya.
Pemimpin mempengaruhi pengikutnya melalui berbagai cara, seperti
menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan),
penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukum, restrukturisasi organisasi, dan
mengkomunikasikan visi. Mencermati kekuasaan yang dimiliki seseorang di
dalam organisasi, kekuasaan dapat mengarahkan perilaku dan interaksi manusia
di dalam organsasi. Razik dan Swanson (1995:44) mendefiniskan kekuasaan
dalam konteks kepemimpinan sebagai kekuatan untuk menentukan arah perilaku
yang diharapkan dalam situasi interaksi manusia. Masih dalam sumber yang
sama, John Gardner pada tahun 1986-1988 (Razik dan Swanson, 1995:48)
mengemukakan bahwa kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu
otoritas, kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong
proses kepemimpinan, namun sekedar menduduki posisi itu tidak menandai
seseorang untuk menjadi pemimpin.
2. Pendekatan Kepemimpinan
Ada empat macam pendekatan histories mengenai analisis
kepemimpinan yang dikemukakan oleh Wahjosumidjo (2002: 19) yaitu:
a. Pendekatan menurut pengaruh kewibawaan (Power Influence Approach),
pendekatan ini menekankan bahwa keberhasilan pemimpin dipandang dari
segi sumber dan terjadinya sejumlah kewibawaan yang ada pada para
pemimpin, dalam pendekatan ini menekankan sifat timbal balik, proses
saling mempengaruhi dan pentingnya pertukaran hubungan kerjasama
pimpinan dan bawahan.
b. Pendekatan sifat ( The Trait Approach), pendekatan ini menekankan pada
kualitas pemimpin yang ditandai dengan : (1) Tidak kenal lelah, (2) Intuisi
tajam, (3) Tinjauan ke masa depan yang tidak sempit, (4) Kecakapan
meyakinkan yang sangat menarik. Berdasarkan hasil studi tersebut ada tiga
macam sifat pribadi seorang pemimpin, yaitu: (1) ciri-ciri fisik, (2)
kepribadian, dan (3) kemampuan/ kecakapan.
c. Pendekatan perilaku (The Behaviour Approach), Yukl (2010:14) dalam
bukunya “Leadership in Organization” yang telah dialih bahasa oleh Budi
Supriyanto mengemukakan bahwa pendekatan perilaku diawali pada tahun
1950 setelah para peneliti tidak puas dengan pendekatan sifat dan mulai
memberikan perhatian yang lebih mendalam terhadap apa yang sebenarnya
dilakukan oleh pemimpin dalam pekerjaannya. Teori yang menggunakan
perilaku memandang bahwa kepemimpinan dapat dipelajari dari pola
tingkah laku, dan bukan dari sifat (traits) pemimpin. Dalam hal ini para
pendukung teori perilaku mengungkapkan bahwa cara seseorang bertindak
akan menentukan keefektifan kepemimpinan orang bersangkutan.
d. Pendekatan Kontigensi, pendekatan ini menekankan pada ciri-ciri pribadi
pemimpin dan situasi, mengukur atau memperkirakan ciri-ciri pribadi ini dan
membantu pemimpin dengan garis pedoman perilaku yang bermanfaat yang
didasarkan kepada kombinasi dari kemungkinan yang bersifat kepribadian
dan situasional. Salah satu dari model kepemimpinan kontigensi adalah
kepemimpinan situasional yang mengandung pokok pikiran sebagai berikut:
1) Dalam melaksanakan tugasnya pemimpin dipengaruhi oleh faktor-faktor
situasional, yaitu: jenis pekerjaan, lingkungan organisasi, karakteristik
individu yang terlibat dalam organisasi;
2) Perilaku kepemimpinan yang paling efektif ialah perilaku kepemimpinan
yang disesuaikan dengan tingkat kematangan bawahan;
3) Perilaku kepemimpinan yang efektif ialah pemimpin yang selalu
membantu bawahan dalam pengembangan dirinya dari tidak matang
menjadi matang. Ada tujuh tingkat proses pematangan, yaitu:
Pasif Aktif
Tergantung Tidak tergantung
Mampu melakukan Mampu melakukan
sedikit cara banyak cara
Minat yang dangkal Minat yang dalam
Pandangan pendek Pandangan luas
Jabatan bawahan Jabatan atasan
Kurang percaya diri Sadar diri terkontrol
B. Konsep Komunikasi
1. Definisi Komunikasi
Komunikasi mengandung makna bersama-sama “coomon”. Istilah
komunikasi atau “communication” berasal dari bahasa latin, yaitu
“communicatio” yang berarti pemberitahuan atau pertukaran. Kata sifatnya
“communis”, yang bermakna umum atau bersama-sama (Wiryanto, 2004:5).
Komunikasi memiliki peran yang sangat penting dalam organisasi. Komunikasi
merupakan suatu alat atau sarana untuk berinteraksi dengan pihak lain, sehingga
terjadi proses kerjasama. Proses kerjasama tidak akan berjalan dengan lancar
apabila komunikasi yang berlangsung mengalami hambatan. Pada dasarnya
komunikasi merupakan suatu usaha mendorong orang lain supaya dapat
menginterprestasikan pendapat seperti apa yang dikehendaki oleh orang yang
mempunyai pendapat tersebut. Dengan adanya suatu komunikasi diharapkan
diperoleh adanya titik kesamaan saling pengertian.
Menurut Ketih Davis (1985) yang dikutip oleh Anwar Prabu
Mangkunegara (2005: 145) adalah “communication is the transfer of
information and understanding from one person to another person” yang
artinya “komunikasi adalah pemindahan informasi dan pemahaman dari
seseorang kepada orang lain”. Komunikasi juga diungkapkan oleh Charles R.
dan Steven H. Chaffe (1983) yang dikutip oleh Wiryanto (2004: 3)
mengemukakan bahwa :
“Communication sciense seek to understand the production, processing
and effect of symbol and signal system by developing testable theories
containing lawful generalization, that explain phenomena associated with
production, processing and effect”.
2. Proses Komunikasi
Proses adalah serangkaian perbuatan manusia dan kejadian-kejadian
sebagai akibat perbuatan. Dalam melakukan komunikasi, perlu adanya suatu
proses yang memungkinkan untuk melakukan komunikasi secara efektif. Proses
komunikasi inilah yang membuat komunikasi berjalan baik. Onong U. Effendy
(2004: 11) menegaskan bahwa pada dasarnya proses komunikasi terjadi atas dua
tahap yaitu sebagai berikut:
a. Proses komunikasi secara primer
Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran
atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang
atau simbol sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses
komunikasi adalah bahasa, isyarat dan warna yang secara langsung mampu
”menerjemahkan” pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan.
b. Proses komunikasi secara sekunder
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian
pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau
sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media
pertama, misalnya surat, telepon, surat kabar, majalah, radio, dan televisi.
Proses komunikasi yang sederhana menurut T. H. Handoko (2003: 273)
adalah sebagai berikut :
Model ini menunjukan tiga unsur esensi komunikasi. Bila salah satu unsur
hilang, maka komunikasi tidak dapat berlangsung. Sebagai contoh, seseorang
dapat mengirimkan berita, tetapi bila tidak ada yang menerima atau mendengar,
komunikasi tidak akan terjadi. Model proses komunikasi menurut Philip Kotler
dalam bukunya Marketing Management yang dikutip oleh Onong Uchjian
Effendy (2004: 18), digambarkan sebagai berikut:
Message
Sender Encoding Decoding Receiver
Noise
Feedback Response
C. Konsep Kekuasaan
Miriam Budiardjo, 2002 (wikipedia.com) mengemukakan bahwa “kekuasaan
adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna
menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan”,
kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau
kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau
kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku. Masih dalam sumber yang
sama, Ramlan Surbakti, 1992 juga mengemukakan bahwa “kekuasaan merupakan
kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan
kehendak yang memengaruhi”. Lebih lanjut Robert Mac Iver (wikipedia.com) juga
mengemukakan bahwa “kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan
tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan memberi perintah/ dengan
tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yang tersedia”.
Selanjutnya Abdulsyani (2007:136) mengemukakan konsep kekuasaan dari
berbagai pandangan para ahli, yaitu sebagai berikut:
a. Max weber, mengemukakan bahwa: “kekuasaan adalah kemungkinan seorang
pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan sosial yang ada
termasuk dengan kekuatan atau tanpa menghiraukan landasan yang menjadi
pijakan kemungkinan itu”.
b. Selo soemardjan dan soelaiman soemardi, menjelaskan bahwa adanya kekuasaan
tergantung dari yang berkuasa dan yang dikuasai.
c. Ralf dah Rendorf, mengemukakan bahwa: “kekuasaan adalah milik kelompok,
milik individu dari pada milik struktur sosial”.
d. Soerjono soekanto, mengemukakan bahwa: “kekuasaan diartikan sebagai suatu
kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada
pemegang kekuasaan tersebut”.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli yang telah dipaparkan, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan merupakan suatu kekuatan atau kemampuan
yang di miliki seseorang atau kelompok orang yang dapat mempengaruhi,
menggerak orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung sesuai dengan
kehendak pemegang kekuasaan. Kekuasaan tidak hanya diperoleh semata-mata dari
tingkatan seseorang dalam hierarki organisasi, tetapi bersumber dari bermacam-
macam psikologis kekuasaan. John Brench dan Bertram Raven, mengemukakan
bahwa ada lima sumber kekuasaan yaitu sebagai berikut:
a. Kekuasaan menghargai (Reward Power)
Kekuasaan yang didasarkan pada kemampuan seseorang pemberi
pengaruh untuk memberi penghargaan pada orang lain yang dipengaruhi untuk
melaksanakan perintah. Kekuasaan ini bersumber atas kemampuan untuk
menyediakan penghargaan bagi orang lain. Penghargaan tersebut dapat
berbentuk apa saja, yang menurutnya berharga. Dengan demikian kekuasaan ini
sangat tergantung pada seseorang yang mempunyai sumber untuk menghargai
atau memberikan hadiah tersebut. Kekuasaan ini akan menimbulkan komitmen
yang relatif tinggi pada bawahan, tingkat penerimaan atau kepatuhan cukup
tinggi, dan tingkat penolakan para bawahan yang sangat rendah.
b. Kekuasaan memaksa (Coercive Power)
Kekuasaan berdasarkan pada kemampuan orang untuk menghukum
orang yang dipengaruhi kalau tidak memenuhi perintah atau persyaratan.
(teguran sampai hukuman). Kekuasaan ini berdasarkan atas rasa takut.
Pemimpin yang mempunyai kekuasaan jenis ini mempunyai kemampuan untuk
mengenakan hukuman. Kekuasaan ini akan menimbulkan komitmen yang sangat
rendah pada bawahan, tingkat penerimaan atau kepatuhan cukup tinggi, dan
tingkat penolakan para bawahan yang sangat tinggi.
c. Kekuasaan sah (Legitimate Power)
Kekuasaan formal yang diperoleh berdasarkan hukum atau aturan yang
timbul dari pengakuan seseorang yang dipengaruhi bahwa pemberi pengaruh
berhak menggunakan pengaruh sampai pada batas tertentu. Kekuasaan ini
bersumber pada jabatan yang dipegang oleh pemimpin. Pemimpin yang tinggi
kekuasaan legitimasinya mempunyai kecenderungan untuk mempengaruhi orang
lain, karena pemimpin tersebut merasakan bahwa ia mempunyai hak wewenang
yang diperoleh dari jabatan dalam organisasinya. Kekuasaan ini akan
menimbulkan komitmen yang relatif tinggi pada bawahan, tingkat penerimaan
atau kepatuhan cenderung sangat tinggi, dan tingkat penolakan para bawahan
yang sangat rendah.
d. Kekuasaan keahlian (Expert Power)
Kekuasaan yang didasarkan pada persepsi atau keyakinan bahwa
pemberi pengaruh memiliki keahlian relevan atau pengetahuan khusus yang
tidak dimiliki oleh orang yang dipengaruhi. Kekuasaan ini bersumber dari
keahlian, kecakapan atau pengetahuan yang dimiliki oleh seorang pemimpin
yang diwujudkan lewat rasa hormat, dan pengaruhnya terhadap orang lain.
Seorang pemimpin yang tinggi kekuasaan keahliannya ini, mempunyai keahlian
untuk memberikan fasilitas terhadap perilaku kerja orang lain. Sehingga akan
menimbukan pengaruh yang tidak jauh berbeda dengan kekuasaan referent, yaitu
komitmen para bawahan yang sangat tinggi, tingkat penerimaan atau kepatuhan
relatif tinggi, dan tingkat penolakan yang sangat rendah.
e. Kekuasaan referensi (Referent Power)
Kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok yang didasarkan
pada indentifikasi pemberi pengaruh yang menjadi contoh atau panutan bagi
yang dipengaruhi. Kekuasaan ini bersumber pada sifat-sifat pribadi dari seorang
pemimpin. Seorang pemimpin yang tinggi kekuasaan referensinya pada
umumnya disenangi dan dikagumi oleh orang lain karena kepribadiannya.
Kekuatan pemimpin dalam kekuasaan referensi ini sangat tergantung kepada
kepribadiannya yang mampu menarik para bawahan atau pengikutnya.
Komitmen para bawahan cenderung sangat tinggi, tingkat penerimaan atau
kepatuhan relatif tinggi, dan tingkat penolakan para bawahan sangat rendah.
DAFTAR REFERENSI
Abdulsyani. (2007). Sosiologi “Skematika, Teori, Dan Terapan”. Jakarta: Bumi aksara.
Fakry Gaffar, (1982). Komunikasi Organisasi Teori dan Proses. IKIP: Bandung.
Mangkunegara, A.P. (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Siagian, Sondang P. (1999). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Rineka Cipta.