Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

SEORANG BAYI PEREMPUAN DENGAN


HIPERBILIRUBINEMIA EC INKOMPABILITAS ABO

Pembimbing :
dr. Arifiyah, Sp.A

Disusun oleh:
Desi Purnamsari Yanwar
030.14.047

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH
PERIODE 15 JANUARI – 24 MARET 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
TEGAL, MARET 2019
PENGESAHAN

Presentasi laporan kasus dengan judul


“SEORANG BAYI PEREMPUAN DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA EC
INKOMPABILITAS ABO”

Penyusun:
Desi Purnamasari Yanwar
030.14.047

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing dr. Arifiyah, Sp.A, sebagai
syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di
RSU Kardinah Kota Tegal Periode 18 Februari – 26 April 2019

Tegal, 2 April 2019

dr. Arifiyah, Sp.A

2
BAB I
LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN LAPORAN KASUS


KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL

Nama : Desi Purnamsari Yanwar Pembimbing : dr. Arifiyah, Sp.A

NIM : 030.14.047 Tanda tangan :

1.1 IDENTITAS PASIEN

DATA PASIEN AYAH IBU

Nama An. J Tn.A Ny.O

Umur 16 tahun 50 tahun 48 tahun

Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Perempuan

Alamat Temanggungan RT 04/ RW 02, Kec. Tarup, Tegal

Agama Islam Islam Islam

Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa

Pendidikan SMP SMA SMA

Pekerjaan Pelajar Wiraswasta Ibu Rumah Tangga

Penghasilan - + Rp. 3.000.000 per -


Bulan

Keterangan Hubungan pasien dengan orang tua adalah anak kandung

Asuransi BPJS Non PBI

No. RM 945061

3
1.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis terhadap ibu
kandung pasien pada tanggal 15 Maret 2019 pukul 11.00 WIB, di Ruang Dahlia
Kardinah Tegal
1. Keluhan Utama
Demam sejak 12 hari SMRS
2. Keluhan Tambahan:
Lemas, mual, bab cair
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Kardinah pada tanggal 17 Maret 2019 dengan
keluhan demam sejak 12 hari SMRS, demam naik turun dan suhu biasanya meningkat
pada saat sore dan malam hari (demam intermitten). Pasien juga mengeluh mual tidak
sampai muntah, riwayat batuk dan pilek disangkal oleh pasien. Riwayat nyeri saat
berkemih disangkal, riwayat mimisan atau gusi berdarah disangkal. Terdapat
penurunan nafsu makan dan minum.
Pasien merupakan perlajar di pondok pesantren, dimana untuk makan dan
minum sudah disediakan dari pesantren dan sesekali jajan dikantin pondok. Pasie
sempat bebas demam selama 5 hari kemudian 1 hari SMRS pasien mersakan demam
kembali. Saat pertama kali datang ke IGD RSUD Kardinah suhu pasien mencapai 39,3
ºC, , dan 1 hari setelah dirawat di R. Puspanidra pasien mengeluh muntah 4x/hari isi air
dan makanan, BAB cair 3-4 kali/hari, berupa air, ada ampas, warna kuning, darah (-),
lendir (-).

4. Riwayat penyakit dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Tidak ada riwayat
penyakit saluran pencernaan, pengobatan paru, jantung dan ginjal.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidaka ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa. Tidak ada
riwayat hipertensi, DM, penyakit paru pada keluarga.
Ibu pasien pertama kali menstruasi saat berusia 15 tahun.

6. Riwayat pengoabtan

4
Pasien sudah pernah mengobati keluhan demam dengan mengkonsumsi
paracetamol, sesaat setelah minum obat demam turun namun naik kembali.

7. Riwayat lingkungan perumahan

Pasien tinggal di pondok pesantren dan tidak tinggal bersama orang tua dan keluarga.
Di pondok pesantren 1 kamar ditempati oleh beberapai santri dan kamar jarang
dibersihkan. Teradpat jendela di kamar dan cahaya dapat masuk. Jarak antra toilet dan
tempat istirahat kurang lebih 15 meter.
Kesan : Sanitasi tempat tinggal pasien kurang baik.

8. Riwayat Sosial Ekonomi


Ayah pasien berprofesi sebagai Wiraswasta dengan penghasilan ± Rp 3.000.000,-
per bulan. Ibu pasien berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga.
Kesan: Riwayat sosial ekonomi cukup.

9. Riwayat Kehamilan dan Pemeriksaan Prenatal


Anemia (-), hipertensi (-), diabetes melitus (-), sakit
kuning (-), kelainan darah (-). penyakit jantung (-),
penyakit paru (-), merokok (-), infeksi (-),
Morbiditas kehamilan
perdarahan (-), selama kehamilan mengalami demam
Kehamilan (-), minum alkohol (-), hipertiroid (-)
Oligohidramnion, fetal distress
Kontrol ke Puskesma. Riwayat imunisasi TT (+) 1
Perawatan antenatal kali, konsumsi suplemen selama kehamilan (+),
riwayat minum obat tanpa resep dokter dan jamu (-)
Tempat persalinan Rumah sakit
Penolong persalinan Dokter dan bidan
Cara persalinan Spontna pervaginam
Kelahiran Masa gestasi 38 minggu
Air ketuban Jernih
Berat lahir: 3500 gram
Keadaan bayi
Panjang lahir: 46 cm

5
Lingkar kepala: ibu pasien tidak ingat
Lingkar dada : ibu pasien tidak ingat

Bayi langsung menangis


Kemerahan
Nilai APGAR: ibu pasien tidak ingat
Kelainan bawaan: -

Kesan : Riwayat perawatan antenatal baik, Neonatus aterm, lahir spontan


pervaginam, air ketuban jernih, bayi dalam keadaan bugar.

10. Riwayat Pemeliharaan Postnatal


Pemeliharaan setelah kelahiran dilakukan di Puskesmas dan Posyandu anak
dalam kondisi sehat

11. Corak Reproduksi Ibu


Ibu P6A0, pasien merupakan anak ke-4 dari 6 bersaudara.

12. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Pertumbuhan
Berat badan lahir 3500 gram, panjang badan 46c,
Berat badan 1 tahun yang lalu : ,
Tinggi badan 1 tahun yang lalu :
Berat badan sekarang : 45 kg
Tinggi badan : 160cm

Perkembangan
- anak dapat mengikuti pelajaran disekolah
- tidak pernah tinggal kelas selama sekolah
- interaksi dengan teman sebaya baik

Pubertas

6
o Rambut pubis : Std II Tanner (), muncul pada usia 15 tahun

o Payudara : Std II Tanner (bakal payudara dan papil sedikit menonjol),


pertama pada usia 15 thn
o Diakatakan pubertas = tingkat II Tanner

7
o Menarche : (-)
o Puberitas terlambat (delayed puberty) pada perempuan didefinisikan
sebagai tidak membesarnya payudara sampai 13 tahun atau tidak adanya
menstruasi sampai umur 15 tahun

13. Riwayat Makan dan Minum

Umur
ASI/PASI Buah/ Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)

0–2 ASI - -
ASI + Susu
2–4 - -
formula
4–6 - + - -

6-8 - - - -

8 – 10 - - +

10 - 12 - + +

Setiap hari pasien makan makanan yang disediakan di pesantren yaitu sarapan
1 potong roti, makan nasi 2 kali sehari, siang dan malam, setiap kali makan 1/2
piring. Kadang-kadang pasien juga sering membeli jajan yang dibeli di kantin
pesantren.
 Sarapan : nasi goreng, telur goreng
 Makan siang : nasi 1 piring, 1 ptg ayam/ikan/daging, sayur
bayam/kangkung/sayur bening, 1 potong tahu/tempe
 Makan malam : nasi 1/2 piring, 1 ptg ayam/ikan/daging, 1 butir telur,
sayur bayam/kangkung/sayur bening
 Makanan kecil : makanan ringan (chiki/chitato), cilor, seblak
 Susu : 1x/ hari saat pagi hari

Frekuensi jumlah
Jenis makanan
3x/hari 2 centong nasi
Nasi/pengganti
1 kali/hari 1 mangkok kecil
Sayur
1 kali/minggu 1 potong
Daging

8
2 kali 1 butir
Telur
1x/seminggu I potong
Ikan
1 kali/2 hari 1 potong
Tahu
1 kali/hari potong
Tempe
2 kali/hari 2 gelas
Susu

Kesan :

14. Riwayat Imunisasi


VAKSIN ULANGAN
DASAR (umur)
(umur)
BCG 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan - - -
DTP/ DT - 2 bulan 3 bulan 4 bulan - -
POLIO 0 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan - -
CAMPAK - - - 9 bulan - - -
HEPATITIS B Lahir 2 bulan 3 bulan 4 bulan - - -
Hib 2 bulan 3 bulan 4 bulan
Kesan: Imunisasi dasar pasien lengkap

Riwayat pernikahan

Ayah Ibu
Nama Tn. D Ny. R
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 31 tahun 28 tahun
Pendidikan terakhir SD SMP
Suku Jawa Jawa
Agama Islam Islam
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -

9
PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 18 Maret 2019, pukul 12.00 WIB, di
Ruang PUSPANIDRA RSU Kardinah Tegal
Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis
Kesan : tampak sakit sedang
Kesan gizi : Gizi baik, perawakan normal

Tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 98 x/menit reguler
Laju nafas : 22 x/menit
Suhu : 39,3 oC, Axilla

Data Antropometri
Berat badan sekarang : 45 kg
Tinggi badan sekarang : 160 cm
Lingkar kepala : 55 cm

Status generalis
i. Kepala: Normocephali, ubun-ubun kecil teraba datar tidak tegang,
sutura tidak melebar,
 Rambut: Hitam, tampak terdistribusi merata, tidak mudah
dicabut.
 Wajah : simetris, tidak tampak wajah dismorfik
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-), edema
palpebra (-/-), mata cekung (-/-), mata merah dan berair (-/-),
pupil isokor, reflex cahaya langsung (+/+), reflex cahaya tidak
langsung (+/+), strabismus (-/-), dry eyes (-/-)
 Hidung : simetris, septum deviasi (-/-), sekret (-/-), pernafasan
cuping hidung (-)
 Telinga : Normotia, nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tarik aurikula
(-/-), discharge (-/-)

10
 Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-), pucat (-), stomatitis (-
), mukosa hiperemis (-), coated tongue (+)
ii. Leher : Kelenjar tiroid tidak membesar, kelenjar getah bening tidak
membesar.
iii.Toraks: Dinding toraks normotoraks dan simetris.
o Paru:
 Inspeksi: Bentuk datar, Pergerakan dinding toraks kiri-kanan
simetris, retraksi (-)
 Palpasi: Simetris tidak ada hemithoraks yang tertinggal
 Perkusi: Sonor
 Auskultasi: Suara napas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-
/-).
o Jantung:
 Inspeksi: Iktus kordis tidak tampak.
 Palpasi: Iktus kordis teraba di ICS IV 1 cm midklavikula
sinistra, thrill (-)
 Perkusi: Tidak dilakukan pemeriksaan
 Auskultasi: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-),
gallop (-).
iv. Abdomen:
 Inspeksi: cembung, simetris,
 Auskultasi: Bising usus () frekuensi 5x/menit
 Palpasi: Supel, distensi (-), tidak ada organomegali
 Perkusi: Timpani pada seluruh kuadran abdomen
v. Genitalia: tidak dilakukan pemeriksaan
vi. Anorektal : tidak dilakukan pemeriksaan
vii. Kulit : warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis.
viii. Ekstremitas:
Keempat ekstremitas lengkap, simetris
Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2” <2”

11
Oedem -/- -/-

12
PEMERIKSAAN KHUSUS
Pengukuran lingkar kepala (Kurva Nellhaus)
Lingkar kepala: 55 cm = -2SD s/d +2SD

Kesan: = Normocephali
Pengukuran Status Gizi

13
BB/U : 45/54 x 100 = 83,33% ( BB cukup)
TB/U : 160/163 x 100% = 98,15 % (Perawakan normal)
Status gizi : BB actual x 100%
-----------------------
BB Baku untuk TB actual
=45 x100 : 49 = 91,83% (Gizi Baik)
Arah garis pertumbuhan T1 (Growth Flatering) –

Kesan gizi : BB normal, Perawakan normal, Gizi baik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Lab darah 18 Maret 2019
Pemeriksaan Hasil Satuan

Hemoglobin 13,3 11,2 -15,7 g/dl

14
Lekosit 16,4 (H) 4,4 – 11,3 103/µl
Hematokrit 37,3 37-47 %
Trombosit 243 150-521 103/µl

Eritrosit 4,6 4,1 – 5,1 106/µl


RDW 13,2 11,5-14,5%
MCV 82 80-96 U
MCH 29,2 28-33Pcg
MCHC 35,7 33-36 g/dl

DIFF COUNT

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Netrofil 92 % 25 – 60
Limfosit 3,6 (L) % 25 – 50
Monosit 3,5 % 1–6
Eosinofil 1 (L) % 1–5
Basofil 0,3 % 0–1
Laju Endap Darah
LED 1 Jam 12 Mm/jam 0 – 20
LED 2 Jam 31 Mm/jam 0 - 35

ELEKTROLIT
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Natrium 137,8 Mmol/L 132 -145
Kalium 3,65 Mmol/L 3,1 – 5,1
Klorida 108,1 (H) Mmol/L 96 - 111

Widal

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

St-O Negatif U/L NEGATIF


St-H POS 1/80 U/L NEGATIF
S. Pt – AH POS 1/80 Mg/dL NEGATIF

15
RESUME

Pasien dibawa ke IGD RSU Kardinah pada tanggal 11 Maret 2019


dengan keluhan lemas sejak 2 hari SMRS. Pasien tampak pucat, mudah letik,
dan malas untuk beraktifitas bersama teman-temanya. Pasien juga mengeluh
demam sejak 2 hari hari Minggu (9/03/19), demam naik turun, disertai dengan
batuk dan pilek sejak 1 minggu yang lalu, keringat dingin pada malam hari
disangkal, terdapat penurunan berat badan 2 mingguu terakhir ini. Perut terasa
penuh dan membesar, nafsu makan berkurang. BAB dalam batas normal, tidak
ada riwayat feses hitam, BAK berwarna seperti teh atau merah disangkal, anak
gampang sakit dan terlihat tidak selincah anak seusinya.
Pemeriksaan fisik didapatkan conjuntiva anemis, hiperpigmentasi kulit,
hepatomegali 3cm dibawawh arcus costae, splenomegali schufnner II-III, wajah
facies cooley. Laboratorium ditemukan anemia berat, trombositosis, morfologi
eritrosit Anisotisosis, poikilositosis berat, polikromasi, tampak ditemukan
mikrosit, makrosit, tear drop cells, pear shape cells, schystocyte, basophyllic
stippling (+), HB elektroforesis Hb A 29,3%,Hb A2 0,2 %, Hb D zone 64,5 %,
Hb E zone 6,0 %.

F. DAFTAR MASALAH
- Subjektif :
o Demam 12 hari (demam intermitten)
o Lemas
o Mual dan muntah
o BAB cair
o Belum menstruasi
- Objektif :
o Coated Tongue
o Bising usus meningkat
o Pubertas terlambat (Rambut pubis Std Tanner II, Payudara Std Tanner
II – (), pada usia 16 tahun seharusnya sudah tanner std
o Leukositosis (16,400/uL)

16
G. DIAGNOSIS BANDING

Observasi Febris - Demam thyphoid


(demam >7 hari)

Diare akut -

Pubertas Terlambat - Hipogonadotropi Hipogonadisme


o Constitusional Delayed of Growth &
Puberty
o Defisiensi kongenittal (hipo-hipofisi
herediter, hipogonadotropik
hipogonadisme idiopatik)

H. DIAGNOSIS KERJA:
Observasi febris susp Demam thyphoid
Diare Akut
Pubertas Terlambat

I. PEMERIKSAAN ANJURAN
Demam thyphoid
Pemeriksaan Tubex – detek antibodi IgM anti-S.typhi pada serum pasien.
Pubertas terlambat
TSH
Kortisol pagi/sore
Hormon gonadotropin : LH/FSH

J. PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
 Monitor tanda vital dan keadaan umum
 Tirah baring (bed rest).
 Memperbaiki keadaan umum penderita

 Diet rendah serat iet untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas:
diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa. Bila keadaan penderita baik, diet
dapat dimulai dengan diet padat atau tim (diet padat dini).

17

b. Medikamentosa
- IVFD RL 20tpm
- Inj. Ceftriaxon 2 x 1gr
- Inj. Ranitidin 2 x 80mg
- Per Oral :
o Parasetamol 4 x 1 tab (k/p)
o Zink 2 x 1 tab
c. Edukasi

a. Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan,


dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi
b. Memasak makanan dan air hingga matang
c. Menutup makanan dari lalat
d. Mencuci tangan seteleha BAB dan sebelum makanan

K. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

18
FOLLOW UP (R. PUSPANIDRA)
19/03/2019 20/03/2019
Perawatan hari ke-2 Perawatan hari ke-3

S S : Demam hari ke-5, mual (+), muntah 1 hari Demam hari ke-6, mual (+), muntah (-), BAB
yll 4x/hari, BAB cair 4x/hari cair (-)

O KU: CM, tampak sakit sedang KU: CM, tampak sakit sedang
TTV: HR : 110x/m, RR 20x/m, S 37,8ºC, TTV: HR : 110x/m, RR 20x/m, S 36,2ºC,
SpO2 98% SpO2 98%

Status generalis: Status generalis:


• Kepala: Normocephali • Kepala: Normocephali
• Mulut : coated tongue (+) • Mulut : coated tongue (+)
• Mata: CA(+/+),SI (-/-) • Mata: CA(+/+),SI (-/-)
• Thoraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ • Thoraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ
1-2 reguler, m (-),g (-), retraksi (-) 1-2 reguler, m (-),g (-), retraksi (-)
• Abdomen: Supel, BU (), organomegali (- • Abdomen: Supel, BU (), organomegali (-
) )
• Ekstremitas atas-bawah: AH(+/+), OE (-/-) • Ekstremitas atas-bawah: AH(+/+), OE (-/-)
CRT <2 detik CRT <2 detik
• Lab • Lab
• Leu : 16,400 /ul • Leu : 16,400 /ul
• Widal • Widal
o St-O = neg o St-O = neg
o St. H = pos 1/80 o St. H = pos 1/80
o S.Pt-Ah : pos 1/80 • S.Pt-Ah : pos 1/80
A • Demam tifoid • Demam tifoid
• Diare akut • Diare akut
• Pubertas terlambat Pubertas terlambat

P  IVFD RL 2otpm  IVFD RL 2otpm


 Inj. Ceftriaxon 2 x 1gr  Inj. Ceftriaxon 2 x 1gr
 Inj. Ranitidin 2 x 50mg  Inj. Ranitidin 2 x 50mg
 Per Oral :  Per Oral :
o Parasetamol 4 x 1 tab o Parasetamol 4 x 1 tab
o Zink 2 x 1 sach Zink 2 x 1 sach

19
20/03/2019
Perawatan hari ke-4

S Demam (-), mual (+), muntah (-), BAB cair (-), nafsu makan sudah meningkat

O KU: CM, tampak sakit sedang


TTV: HR : 110x/m, RR 20x/m, S 36,5ºC, SpO2 98%

Status generalis:
• Kepala: Normocephali
• Mulut : coated tongue (+)
• Mata: CA(+/+),SI (-/-)
• Thoraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-),g (-), retraksi (-)
• Abdomen: Supel, BU (), organomegali (-)
• Ekstremitas atas-bawah: AH(+/+), OE (-/-) CRT <2 detik
• Lab
• Leu : 16,400 /ul
• Widal
o St-O = neg
o St. H = pos 1/80
o S.Pt-Ah : pos 1/80
A • Demam tifoid
• Diare akut
• Pubertas terlambat

P  Per Oral :
o Cefixime 200mg 2 x 1
o Parasetamol 500mg 3 x 1
o Vit B Comp 2 x 1
Pasien boleh pulang

20
BAB III
ANALISA KASUS

Daftar Masalah
Observasi febris susp Demam thyphoid
Diare Akut
Pubertas Terlambat

1. Demam Thyphoid

Atas dasar
 Demam 5 hari SMRS

 Gejala gastro intestinal : mual, muntah 4x/hari isi air dan makanan, BAB cair 3-4
kali/hari, berupa air, ada ampas, warna kuning, darah (-), lendir (-), nafsu makan
berkurang

 Pemeriksaan fisik : febris 39,3 ºC, terdapat coated toingue

o Pemeriksaan laboratorium : leukositosis (16,600/uL), widal St. H = pos


1/80, S.Pt-Ah : pos 1/80

Demam typhoid pada pasien ini dipikirkan karena didapatkan trias demam tifoid yaitu
demam > 7 hari, gangguan saluran pencernaan, dapat disertai atau tanpa
gangguan kesadaraan. Dan terdapat faktor resikp yaitu riawayat pasien membeli
jajanan di kantin yang kemungkinan kebersihannya kurang.

Rencana diagnostik
 Tes cepat/ tapid test (Thyphidot, TUBEX) : demam >6 hari, sensitifitas dan spesifitas
lebih tinggi terhadap kuman salmonella diabandingkan dengan pemeriksaan widal
yang mempunyai sensitifitas dan spesitifitas yang rendah sehingga tidak lagi
direkomendasikan.

o Alat diagnostik seperti Typhidot dan Tubex mendeteksi antibodi IgM


terhadap antigen spesifik outermembrane protein (OMP) dan O9
lipopolisakarida dari S. Typhi. Telah banyakpenelitian yang membuktikan
bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas spesifisitas hampir 100% pada
pasien demam tifoid dengan biakan darah positif S. Typhi.

21
 Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti penting dan
sebaiknya dihindari. Diagnosis demam tifoid baru dapat ditegakkan jika pada
ulangan pemeriksaan Widal selang 1-2 minggu terdapat kenaikan titer agglutinin O
sebesar 4 kali. Uji Widal memiliki beberapa keterbatasan sehingga tidak dapat
dipercaya sebagai uji diagnostik tunggal. Hasil negatif palsu dapat terjadi karena
teknik pemeriksaan tidak benar, penggunaan antibiotik sebelumnya, atau produksi
antibodi tidak adekuat.

 Uji baku emas diagnosis demam tifoid adalah kultur. Sensitifitas terbaik (40-60%) bila
dilakukan pada munggu pertama-awal minggu kedua.

o Hasil kultur darah positif sekitar 40%-60%. Sedangkan pada minggu kedua
dan ketiga spesimen sebaiknya diambil dari kultur tinja (sensitivitas <50%)
dan urin (20-30%).

Rencana terapi
 Tirah baring

 Nutrisi

o Cairan baik secara oral maupun parenteral,

 Diet : mengandung kalori dan protein yang cukup, rendah selulose (rendah
serat) untuk mencegah perdarah dan perforasi .

 Diet rendah serat iet untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas:
diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa. Bila keadaan penderita baik, diet
dapat dimulai dengan diet padat atau tim (diet padat dini).

 Terapi simptomatik

o Antipiretik

o Anti emetik

 Anti mikroba

o Kloramfenikol (pilihan utama) : 50-100 mg/KgBB/hr Max 2gr dibagi 4 dosis

Atau
o Antimikroba lini kedua

22
 Ceftriaxone 80mg/KgBB/hari, dosis tunggal selam 5 hari

 Cefixime (efektif untuk anak) : Dosis 15-20 mg/KgBB/hari dibagi 2


dosis selam 10 hari

23
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Hiperbilirubinemia
3.1.1. Pengertian Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam
darah meningkat secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan perubahan warna
kning pada kult dan mata pada bayi baru lahir atau biasanya disebut dengan jaundice.
Hiperbilirubinemia juga merupakan peningkatan kadar bilirubin serum yang dapat
disebabkan oleh bermacam-macam keadaan seperti, kelainan bawaan dan dapat
menyebabkan icterus. Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar serum
bilirubin di dalam darah meningkat dan melebihi batas nilai normal bilirubin serum.
Bayi baru lahir dapat mengalami hiperbilirubinemia pada minggu pertama setelah
kelahirannya. Hal ini dapat disebabkan karena meningkatnya produksi bilirubin atau
megalami hemolisis, kurangnya albumin sebagai alat pengangkut, penurunan uptake
oleh hati, penurunan konjugasi bilirubin oleh hati, penurunan ekskresi bilirubin, dan
peningkatan sirkulasi enterohepatic.. Berikut ini adalah tabel hubungan kadar bilirubin
dengan daerah icterus menurut Kramer.

Tabel 1. Hubungan Kadar Bilirubin dengan Daerah Ikterus

3.1.2. Etiologi Hiperbilirubinemia


Hal yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia pada umunya adalah hemolisis
yang timbul akibat inkompatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim

24
Glucose 6 Phosphate Dehydrogenase (G6PD). Hemolisis ini dapat pula timbul karena
adanya perdarahan tertutup atau inkompatabilitas golongan darah Rhesus (Rh). Infeksi
juga memegang peranan penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia seperti penderita
sepsis dan gastroenteritis. Beberapa faktor lain yang juga merupakan penyebab
hiperbilirubinemia adalah hipoksia atau anoksia, dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia
dan polisitemia
Peningkatan kadar bilirubin dalam tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Misalnya, pada penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal
ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia,
memendeknya umur eritrosit janin, atau terdapatny peningkatan sirkulasi
enterohepatik. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah
jika terdapat gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoronil transferase) atau
bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau
sumbatan saluran empedu intra maupun ekstra hepatic. Pada derajat tertentu, bilirubin
akan bersifat toksik dan dapat merusak jaringan tubuh. Toksisitas ditemukan pada
bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Hal
ini dapat memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi disebut kern icterus atau
ensefalopati biliaris. Pada umumnya kelainan tersebut dapat terjadi pada sususnan saraf
pusat jika kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dL. Bilirubin indirek akan mudah
melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat badan
lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat
yang terjadi karena trauma atau infeksi.

3.1.3. Patofisiologi Hiperbilirubinemia


Menurut Sacher, bilirubin merupakan produk penguraian dari hemoglobin.
Sebagaian besar dari penguraian hemoglobin yaitu sebanyak 85 – 90% dan sebagaian
kecil berasal dari penguraian senyawa lain seperti myoglobin sebanyak 10 – 15%. Sel
retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang dibebaskan
sel darah merah kemudian besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis selanjuttnya
. Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi
kemampuan hati pada batas normal untuk mengekskresikan bilirubin yang telah
dihasilkan dalam jumlah yang normal. Obstruksi saluran ekskresi hati juga dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia. Bilirubin akan tertimbun di dalam darah dan jika
25
konsentrasi bilirubin mencapai 2 – 2,5 mg/dL maka senyawa ini akan berdifusi kedalam
jaringan yang kemudian akan menjadi kuning atau icterus.

3.1.4. Klasifikasi Hiperbilirubinemia


1. Hiperbilirubinemia Fisiologis
Hiperbilirubinemia fisiologis tidak terjadi pada hari pertama setelah bayi
dilahirkan (muncul setelah 24 jam). Biasanya peningkatan bilirubin total tidak lebih
dari 5 mg/dL perhari. Pada bayi cukup bulan peningkatan bilirubin mencapai
puncaknya pada 72 jam dengan serum bilirubin sebanyak 6 – 8 mg/dL. Selama 3 hari,
kadar bilirubin akan meningkat sebanyak 2 – 3 mg/dL dan pada hari ke-5 serum
bilirubin akan turun sampai dengan 3 mg/dL (Hackel E, 2013) Setelah hari ke-5, serum
bilirubin akan turun secara perlahan sampai dengan normal pada umur bayi sekitar 11
– 12 hari. Pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) atau pun prematur bilirubin mencapai
puncak pada 120 jam dengan peningkatan serum bilirubin sebesar 10 – 15 mg/dL dan
akan menurun setelah 2 minggu.

2. Hiperbilirubinemia Patologis / Non Fisiologis


Hiperbilirubinemia patologis atau biasa disebut dengan ikterus akan timbul
dalam 24 jam pertama setelah bay dilahrikan. Serum bilirubin totalnya akan meningkat
lebih dari 5 mg/dL perhari. Pada bayi cukup bulan, serum bilirubin total meningkat
sebanyak 12 mg/dL, sedangkan pada bayi prematur serum bilirubin total meningkat
sebanyak 15 mg/dL. Ikterus biasanya berlangsung lebih dari satu minggu pada bayi
cukup bulan dan lebih dari dua minggu pada bayi prematur (Imron R, 2015).
Pembentukan bilirubin yang berlebihan dapat disebabkankarena adanya hemolisis,
hemoglobin (Hb) dan eritrosit abnormal (Hb S pada anemia sel sabit), inkompabilitas
ABO, defisiensi enzim Glucose 6 Phosphate Dehydrogenase (G6PD), sepsis, obat-
obatan seperti oksitosin, pemotongan tali pusat yang lambat, dan sebagainya.

3.1.5. Manifestasi Klinis Hiperbilirubinemia


Pada bayi baru lahir dapat di katakan hiperbilirubinemia jika bayi baru lahir
tersebut tampak berwarna kuning dengan kadar serum bilirubin nya sebesar 5 mg/dL
atau lebih. Hiperbilirubinemia merupakan penimbunan bilirubinindirek pada kulit yang
mempunyai kecendrungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Pada
hiperbilirubinemia direk biasanya menimbulkan warna kuning kehijauan atau kuning
26
kotor. Biasanya perbedaan ini ditemukan pada ikterus yang kronis. Gejala
hiperbilirubinemia dapat dikelompokkan menjadi dua fase yaitu fase akut dimana bayi
merasakan letargi atau perasaan lemas, tidak mau menghisap putting susu ibu, feses
dan urin berwarna gelap. Pada fase kronik, bayi akn mengelurakan tangisan yang
melengking (high pitch cry), mengalami kejang, perut membuncit disertai pembesaran
hati, tampak mata seperti berputar-putar, dan dapat menyebabkan tuli, gangguan bicara,
dan gangguan mental.

3.1.6. Penegakkan Diagnosis Hiperbilirubinemia


Penengakkan diagnosis pada hiperbilirubinemia dapat dilakukan dengan cara
menganamnesis bagaimana riwayat kehamilan sang ibu, apakah ada komplikasi seperti
diabetes melitus, gawat janin, malnutrisi, adanya kemungkinan infeksi virus seperti
toksoplasma. Bagaimana riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu selama kehaliman,
apakah berpotensi menggeser ikatan bilirubin dengan albumin atau dapat
mengakibatkan hemolisis pada bayi dengan defisiensi G6PD. Bagaimana riwayat
persalinan, apakah terdapat persalinan traumatik yang dapat menyebabkan pendarahan
atau hemolisis, apakah saat persalinan bayi mengalami asfiksia atau tidak. Bagaimana
riwayat ikterus dan terapi sinar pada bayi sebelumnya, apakah ada riwayat
inkompatibilitas darah, bagaimana riwayat kesehatan keluarga, apakah ada yang
menderita anemia, perbesaran hepar dan limpa.

Tabel 2. Penegakkan Diagnosis Ikterus Neonatorum Berdasarkan Waktu Kejadiannya

27
3.2. Inkompatibilitas ABO
3.2.1. Pengertian Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas sel darah merah (inkompatibilitas ABO) dapat disebabkan oleh
dua hal, yang pertama akibat ketidakcocokan atau inkompatibilitas golongan darah
ABO saat melakukan transfusi sehingga terjadi reaksi hemolisis intravaskular akut dan
juga dapat disebabkan oleh reaksi imunitas antara antigen dan antibodi yang sering
terjadi pada ibu dan janin yang akan dilahirkan. Reaksi hemolisis intravaskular akut
adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas sel darah merah (inkompatibilitas
ABO). Antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang
inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10 – 50 ml), namun
sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang
inkompatibel maka akan semakin meningkatkan risiko. Penyebab terbanyak reaksi
hemolysis intravaskular akut adalah inkompatibilitas ABO (Khusna, 2014).
Peyebab kedua yang mengakibatkan inkompatibilitas pada golongan darah
ABO adalah reaksi imunitas antara antigen dan antibodi pada ibu dan janin yang
dikandungnya. Inkompatibilitas pada golongan darah ABO terjadi jika ibu golongan
darah O mengandung janin golongan darah A atau B. Ibu yang golongan darah O secara
alamiah mempunyai antibody anti-A dan anti-B pada sirkulasinya (Nartono, 2013). Jika
janin mempunyai golongan darah A atau B, eritroblastosis dapat terjadi. Sebagian besar
secara alamiah, membentuk antiA atau anti-B berupa antibody IgM (Immunoglobulin
M) yang tidak melewati plasenta. Beberapa ibu juga relative mempunyai kadar IgG
(Immunoglobulin G) anti-A atau anti-B yang tinggi yang potensial menyebabkan
eritroblastosis karena melewati plasenta. Ibu golongan darah O mempunyai kadar IgG
anti-A lebih tinggi daripada ibu golongan darah B dan mempunyai kadar IgG anti-B
lebih tinggi daripada ibu dengan golongan golongan darah A.
Dengan demikian, penyakit hampir selalu terjadi bila golongan darah O.
Penyakit jarang terjadi bila ibu golongan darah A dan bayi golongan darah B.
Kehamilan pertama sering terkena sensitisasi ibu tejadi sejak awal kehidupan melalui
kontak dengan antigen A dan B. Penyakit tidak memburuk pada kehamilan berikutnya
yang juga terkena dan jika ada penyakitnya cenderung menajdi lebih ringan

28
3.2.2 Penegakan diagnosis
Anamnesis
Anamnesis yang dapat dilakukan untuk bayi dengan ikterus, umumnya
ditanyakan langsung kepada ibu, sehingga anamnesis bersifat allo-anamnesis, beberapa
hal yang perlu ditanyakan kepada ibu mengenai ikterus pada bayinya, antara lain:
1. Identitas pasien, yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, anak ke-berapa
2. Keluhan utama, sejak kapan.
3. Riwayat penyakit sekarang
o Pada pasien terjadi ikterus (bayi kuning), maka ditanyakan:
 Sejak kapan?
 Bagaimana riwayat kelahiran?
 Apakah bayi sudah diberi ASI atau belum?
 Apakah sebelumnya mendapat transfusi darah?
4. Keluhan penyerta/keluhan lain
5. Riwayat penyakit dahulu (ditujukan pada ibu pasien)
o Usia kehamilan?
o Pasien adalah anak ke-berapa?
 Jika pasien bukan anak pertama, tanyakan apakah terjadi hal
yang sama (ikterik juga/tidak) pada anak yang sebelumnya?
o Apakah selama atau sebelum masa kehamilan ibu sedang menderita
penyakit infeksi tertentu? (contoh: hepatitis, malaria, dll)
o Apakah selama atau sebelum kehamilan ibu sedang mengkonsumsi
obat-obatan tertentu?
o Apakah golongan darah ibu dan ayah? Apakah rhesus ibu dan ayah?
(jika diketahui)
o Apakah dulu pernah mengalami sakit yang cukup berat sehingga harus
dirawat di rumah sakit?
o Adakah riwayat diabetes melitus?
o Adakah riwayat penyakit berat yang lain?
6. Riwayat pribadi (ditujukan pada ibu pasien)
o Bagaimana riwayat vaksinasi pasien? (Lengkap/tidak)
o Bagaimana kebiasaan pasien? (seperti makanan, minuman, pengguna
obat-obatan, dan lain sebagainya)
o Apakah ada riwayat alergi?
29
o Apakah melahirkannya cukup bulan? Normal atau tidak?
o Dimana terjadi proses kelahiran si bayi?
o Apakah si bayi minum asi?
7. Riwayat keluarga
o Apakah di keluarga juga ada yang sedang atau pernah menderita
penyakit yang sama?
o Apakah ada riwayat penyakit yang diturunkan?3

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada neonatus, terutama terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital mencakup tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi nadi dan
frekuensi pernapasan bayi untuk mengetahui apakah ada kelainan pada bayi yang baru
saja dilahirkan, setelah itu pemeriksaan fisik dilanjutkan dengan pengamatan ikterus
pada bayi.
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan
cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan
pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang. Tekan kulit
bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan
subkutan. Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang
tampak kuning.
Selain itu dapat juga kita melakukan penilaian icterus berdasarkan penilaian
Kramer. Menurut Kramer, ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Untuk
penilaian ikterus, Kramer membagi tubuh bayi baru lahir dalam 5 bagian yang dimulai
dari kepala dan leher, dada sampai pusar, pusar bagian bawah sampai tumit, tumit-
pergelangan kaki dan bahu pergelangan tangan dan kaki serta tangan termasuk telapak
kaki dan telapak tangan. Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk di
tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-lain.
Selain temuan berupa warna kuning pada tubuh dan sklera bayi, dapat pula
ditemukan adanya hepatosplenomegali, petekie, dan microcephaly pada bayi-bayi
dengan anemia hemolitik, sepsis, dan infeksi kongenital. Temuan diagnosis yang tipikal
pada bayi dengan ibu allo-imunisasi ialah ikterik, kulit pucat dan hepatosplenomegali,
hidrops fetal dapat ditemukan pada kasus yang hebat. Ikterus yang terjadi umumnya
baru bermanisfestasi segera setelah lahir atau di dalam 24 jam pertama kehidupan bayi
setelah dilahirkan dengan peningkatan cepat dari kadar bilirubin tidak terkonjugasi.
30
Kadang-kadang, hiperbilirubinemia yang terkonjugasi dapat ditemukan dikarenakan
disfungsi plasenta atau sistem hepatik pada bayi-bayi dengan kasus hemolitik yang
berat. Anemia yang terjadi sering oleh karena destruksi sel darah merah yang diselimuti
oleh antibodi oleh sistem retikuloendotelial dan pada beberapa janin, anemia terjadi
karena destruksi intravaskuler. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, bahwa pada
kasus berat dapat ditemukan hidrops fetal dan hidrops fetal ini merupakan hasil akhir
dari kombinasi beberapa mekanisme tubuh yang terjadi di dalam tubuh janin, yaitu oleh
karena hipoksia janin, anemia, gagal jantung kongestif, dan hipoproteinemia sekunder
akibat disfungsi hepatik. Secara klinis, ikterus yang signifikan terjadi pada 20% janin
dengan inkompatibilitas ABO.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang berguna terutama ialah dengan pemeriksaan
darah. Pengukuran status anemia akan lebih akurat menggunakan darah vena sentral
atau arteri dibandingkan dengan menggunakan darah kapiler. Pemeriksaan darah akan
memberikan gambaran sel darah merah yang ternukleasi, retikulositosis, polikromasia,
anisositosis, sferosit, dan fragmentasi sel. Hitung retikulosit dapat mencapai 40% pada
pasien tanpa intervensi intrauterine. Hitung sel darah merah yang ternukleasi meningkat
disertai peningkatan palsu leukosit, menunjukkan keadaan eritropoiesis. Sferosit lebih
umum ditemukan pada kasus inkompatibilitas ABO. Hitung retikulosit yang rendah
dapat diamati pada bayi yang sudah melakukan transfusi intravaskuler, disertai dengan
konsentrasi hemoglobin normal, dan temuan apus darah yang normal.
Pemeriksan Coombs, terutama yang direk berguna untuk mengetahui apakah
terdapat antibodi maternal pada sirkulasi darah korda fetus. Janin kemudian dievaluasi
dengan uji Coombs direk, karena antibodi anti-sel darah merah yang dihasilkan oleh
ibu Rh-negatif umumnya diserap oleh eritrosit janin D-positif. Neonatus juga dievaluasi
dengan uji Coombs direk. Antibodi ibu yang terdeteksi pada janin saat lahir, secara
bertahap lenyap dalam periode 1 hingga 4 bulan. Jika ditemukan antibodi sel darah
merah ibu, antibodi itu perlu diidentifikasi dan ditentukan apakah IgG atau IgM. Hanya
antibodi IgG yang menimbulkan kekhawatiran karena antibodi IgM biasanya tidak
melewati plasenta dan menyebabkan hemolisis. Titer antibodi dikuantifikasi kemudian.
Jika antibodinya ialah IgG dan diketahui menyebabkan anemia hemolitik, dan jika titer
di atas ambang kritis diindikasikan untuk evaluasi lebih lanjut. Untuk antibodi titer-D,
titer di bawah 1:16 biasanya tidak menyebabkan kematian janin pada penyakit
31
hemolitik, meskipun hal ini bervariasi antara lab. Titer yang sama atau lebih dari kritis
ini menandakan kemungkinan penyakit hemolitik yang parah.
Pemeriksaan Coombs ini dibagi menjadi 2 jenis, yaitu jenis direk dan indirek.
Uji Coombs indirek dan direk biasanya akan positif pada ibu dan bayi baru lahir yang
terkena pada inkompatibilitas Rh. Tidak seperti allo-imunisasi Rh, test antibodi direk
akan positif hanya pada 20-40% bayi dengan inkompatibilitas ABO.
Karena pada kasus disebutkan bahwa anak tersebut datang dengan keluhan
kuning, maka sebaiknya kita juga melakukan pemeriksaan kadar bilirubin. Pemeriksaan
bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta
untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Dalam uji laboratorium, bilirubin
diperiksa sebagai bilirubin total dan bilirubin direk. Sedangkan bilirubin indirek
diperhitungkan dari selisih antara bilirubin total dan bilirubin direk. Ikterik kerap
nampak jika kadar bilirubin mencapai >5 mg/dl. Kadar bilirubin (total) pada bayi baru
lahir bisa mencapai 15 mg/dl, namun jika masih <15mg/dl masih dikatakan ikterus
fisiologis dan akan hilang dalam 14 hari, sedangkan jika kadarnya >15 mg/dl maka hal
tersebut sudah masuk ke dalam ikterus patologik.6
Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi : untuk mengetahui apakah
terjadi inkompatibilitas ABO, rhesus dan abnormalitas sel darah merah.

3.2.3 Diagnosis Kerja


Dari skenario tersebut dan dari semua pemeriksaan yang dilaksanakan maka
ditegakkanlah diagnose kerja yaitu penyakit hemolitik ec inkompabilitas ABO.
Inkompatibilitas ABO ialah penyebab tersering dari kasus hemolitik pada neonatus.
Sekitar 15% dari bayi yang lahir berisiko untuk mengalami hal ini, namun manifestasi
nyata hanya terjadi pada sekitar 0,3-2,2%. Inkompatibilitas pada kelompok golongan
darah mayor di antara ibu dan fetus umumnya akan berakhir pada kasus yang lebih
ringan dibandingkan pada kasus inkompatibilitas Rh. Antibodi maternal dapat dibentuk
untuk melawan sel B apabila ibu bergolongan darah A atau melawan sel A apabila ibu
bergolongan darah B. Biasanya ibu bergolongan darah O dan bayi yang dilahirkannya
bergolongan darah A atau B. Walaupun inkompatibilitas ABO terjadi pada 20-25%
kehamilan, kasus hemolitik baru dapat berkembang pada sekitar 10% bayi baru lahir
pada kehamilan tertentu, dan janin umumnya bergolongan darah A1 yang lebih
antigenik dibandingkan dengan A2. Antigenisitas yang rendah dari faktor ABO pada
fetus dan bayi yang baru dilahirkan dapat menjadi sebab insidens yang rendah untuk
32
kasus hemolitik yang berat. Walaupun antibodi yang melawan faktor A dan faktor B
terjadi tanpa imunisasi sebelumnya (antibodi natural), umumnya antibodi ini ialah IgM
yang tidak melewati plasenta. Namun, antibodi IgG terhadap antigen A dapat terbentuk
dan inilah yang melewati plasenta, jadi kasus hemolitik akibat isoimun A-O dapat
ditemukan pada anak pertama. Ibu yang sudah diimunisasi melawan faktor A atau
faktor B dari kehamilan sebelumnya yang tidak kompatibel, dapat menghasilkan
antibodi IgG. Inilah yang menjadi mediator primer dari kasus isoimun ABO.
Diagnosis presumptif didasarkan pada keberadaan inkompatibilitas ABO, baik
lemah hingga hasil tes Coombs positif yang moderat, sferosit pada sediaan apus sel
darah, yang mungkin saja mengindikasikan adanya sferositosis herediter.
Hiperbilirubinemia dapat menjadi satu-satunya abnormalitas pada pemeriksaan lab.
Kadar hemoglobin umumnya normal, namun dapat juga mencapai angka 10-12 g/dL.
Retikulosit dapat meningkat hingga 10-15%, dengan polikromasia meluas dan
peningkatan dari sel darah merah yang mengalami nukleasi. Pada 10-20% janin yang
terkena, kadar bilirubin serum yang tidak terkonjugasi dapat mencapai 20 mg/dL atau
lebih kecuali fototerapi segera dimulai.7
Inkompatibilitas ABO berbeda dengan inkompatibilitas Rh (antigen CDE)
dikarenakan oleh beberapa alasan: (1) penyakit ABO sering dijumpai pada bayi yang
lahir pertama (2) penyakitnya hampir selalu ringan daripada isoimunisasi Rh dan jarang
menyebabkan anemia yang bermakna (3) sebagian besar isoantibodi A dan B adalah
immunoglobulin M, yang tidak dapat menembus plasenta dan melisiskan eritrosit janin,
oleh karena itu meski dapat menyebabkan penyakit hemolitik pada neonatus, namun
isoimunisasi ABO tidak menyebabkan hidrops fetalis dan lebih merupakan penyakit
pediatrik daripada obstetris (4) inkompatibilitas ABO dapat mempengaruhi kehamilan
mendatang, tetapi tidak seperti penyakit Rh CDE, jarang menjadi semakin parah.
Tidak diperlukan deteksi antenatal, induksi persalinan dini, atau amniosentesis,
karena inkompatibilitas ABO tidak menyebabkan anemia janin yang parah. Akan
tetapi, pada masa neonatus diperlukan perawatan yang cermat karena dapat terjadi
hiperbilirubinemia yang membutuhkan terapi. Kriteria yang lazim digunakan untuk
menegakkan hemolisis neonatus akibat inkompatibilitas ABO adalah sebagai berikut:
(1) ibu memiliki golongan darah O dengan antibodi anti-A dan anti-B di dalam
serumnya, sedangkan janin memiliki golongan darah A,B, atau AB; (2) ikterus dengan
awitan dalam 24 jam pertama; (3) terdapat anemia, retikulositosis, dan eritroblastosis

33
dengan derajat bervariasi; dan (4) kasus hemolisis yang lain telah disingkirkan dengan
teliti.
Manifestasi klinis: Sebagian besar kasus bersifat ringan, dengan ikterus menjadi
manifestas klinis satu-satunya. Bayi tidak terlalu terpengaruh di saat kelahiran,
pucatnya kulit juga tidak ada, dan hidrops fetalis sangatlah jarang terjadi. Hati dan
limpa tidak mengalami pembesaran yang berarti. Ikterus baru terjadi selama 24 jam
pertama. Namun, kasus ini dapat menjadi parah dan tanda-tanda dari kernicterus dapat
terlihat, walaupun sangat jarang terjadi.

3.2.4 Diagnosis Banding


Hemolitik ec Inkompatibilitas Rh
Hemolisis biasanya terjadi bila ibu mempunyai Rhesus NEGATIF dan anak
mempunyai Rhesus POSITIF. Bila sel darah janin masuk ke peredaran darah ibu, maka
ibu akan dirangsang oleh antigen Rh sehingga membentuk antibodi terhadap Rh. Zat
antibodi Rh ini dapat melalui plasenta dan masuk ke peredaran darah janin dan
selanjutnya mengakibatkan penghancuran eritrosit janin (hemolisis). Hemolisis ini
terjadi dalam kandungan dan akibatnya ialah pembentukan sel darah merah dilakukan
oleh tubuh bayi secara berlebihan, sehingga akan didapatkan sel darah merah berinti
yang banyak. Oleh karena keadaan ini disebut Eritroblastosis Fetalis. Pengaruh
kelainan ini biasanya tidak terlihat pada anak pertama, tetapi akan nyata pada anak yang
dilahirkan selanjutnya.5
Bila ibu sebelum mengandung anak pertama pernah mendapat transfusi darah
yang inkompatibel atau ibu mengalami keguguran dengan janin yang mempunyai
Rhesus POSITIF, pengaruh kelainan inkompabilitas Rhesus ini akan terlihat pada bayi
yang dilahirkan kemudian.

Characteristics Rh ABO

Clinical aspects First born 5% 50%

Later pregnancies More severe No increased


severity

Stillborn/hydrops Frequent Rare

Severe anemia Frequent Rare

34
Jaundice Moderate to severe, Mild
frequent

Late anemia Frequent Rare

Laboratory Direct antibody test Positive Weakly positive


findings
Indirect Coombs Positive Usually positive
test

Spherocytosis Rare Frequent

Tabel 3. Perbandingan Antara Inkompatibilitas Rh dan ABO6

3.2.5 Komplikasi
Komplikasi dari penyakit hemolitik adalah kernicterus yaitu keadaan dimana
bilirubin terbawa oleh darah sampai ke otak sehingga menyebabkan kerusakan otak
baik sementara maupun permanen. Selain itu jika terjadi anemia yang berat dapat
menyebabkan gagal jantung. Dapat juga menyebabkan hidrops fetalis dimana janin
yang cacat keluar spontan kira-kira pada usia kehamilan 17 minggu.

3.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk inkompatibilitas Rhesus maupun ABO memerlukan pe
mberian IVIG (intravenousimmunoglobulin) bersamaan dengan fototerapi untuk men
gatasi terjadinya reaksiantigen antibodi yang berlebihan dalam darah bayi. Porfirin Tin
(Sn), sebuah inhibitor heme oksigenase yang poten, telah dinyatakan dapat menurunkan
produksi dari bilirubin dan mengurangi kebutuhan untuk melakukan transfusi tukar.
Fokus utama ditekankan pada manajemen dari hiperbilirubinemia.6
Farmakologi:
1. Obat Pengikat Bilirubin
Pemberian oral arang aktif atau agar menurunkan secara bermakna kadar
bilirubin rata-rata selama 5 hari pertama setelah lahir pada bayi sehat, tetapi
potensi terapeutik nodalitas ini belum diteliti secara ekstensif.
2. Pem-blokade Perubahan Heme Menjadi Bilirubin
Modalitas terapi ini ialah dengan mencegah pembentukan bilirubin dengan
cara menghambat secara kompetitif heme oksigenase yang akan
menghambat penguraian hem. Dapat digunakan metaloporfirin sintetik

35
seperti protoporfirin timah dan yang terbukti dapat menghambat heme
oksigenase, mengurangi kadar bilirubin serum dan meningkatkan ekskresi
heme yang tidak dimetabolisasi melalui empedu. Karena potensi toksisitas
dari modalitas terapi ini belum diketahui secara pasti, maka jenis obat ini
belum diterapkan secara klinis pada anak. Selain protoporfirin timah,
tersedia juga protoporfirin seng atau mesoporfirin4,8
Non-farmakologi
1. Fototerapi
Fototerapi saat ini masih menjadi modalitas terapeutik yang umum
dilakukan pada bayi dengan ikterus dan merupakan terapi primer pada
neonatus dengan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi.
Bilirubin yang bersifat fotolabil, akan mengalami beberapa
fotoreaksi apabila terpajan ke sinar dalam rentang cahaya tampak, terutama
sinar biru (panjang gelombang 420 nm - 470 nm) dan hal ini akan
menyebabkan fotoisomerasi bilirubin. Turunan bilirubin yang dibentuk oleh
sinar bersifat polar oleh karena itu akan larut dalam air dan akan lebih
mudah `diekskresikan melalui urine. Bilirubin dalam jumlah yang sangat
kecil juga akan dipecah oleh oksigen yang sangat reaktif secara irreversibel
yang diaktifkan oleh sinar. Produk foto-oksidasi ini juga akan ikut
diekskresikan melalui urine dan empedu. Fototerapi kurang efektif
diterapkan pada bayi dengan penyakit hemolitik, tetapi mungkin dapat
berguna untuk mengurangi laju akumulasi pigmen setelah melakukan
transfusi tukar. Beberapa penelitian menemukan bahwa seperti yang telah
dikatakan sebelumnya, bahwa terapi sinar mengubah senyawaan tetrapirol
yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam
air. Namun, teori tersebut belum sepenuhnya benar dikarenakan adanya
temuan bahwa penurunan kadar bilirubin darah yang tidak sebanding
dengan jumlah dipirol yang terjadi, di samping itu pada terapi sinar juga
ditemukan peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu
duodenum. McDonagh dkk (1981) menemukan fakta bahwa secara in vitro
maupun in vivo terjadi isomerisasi bilirubin pada bayi dengan terapi sinar,
fotobilirubin inilah yang menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan
empedu ke dalam usus sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin
akan lebih cepat meninggalkan usus.
36
Fototerapi terutama harus dilakukan sebelum bilirubin mencapai
konsentrasi kritis, penurunan konsentrasi mungkin belum tampak pada 12-
24 jam, dan harus terus dilanjutkan sampai konsentrasi bilirubin serum tetap
di bawah 10 mg/dL. Walaupun telah digunakan secara luas, terapi sinar
masih belum dapat menggantikan transfusi tukar untuk kasus
hiperbilirubinemia yang memiliki risiko kernicterus. Oleh karena itu, bagian
IKA FKUI-RSCM, menyatakan beberapa kondisi terapi sinar dapat
dilakukan, antara lain pada (a) setiap saat apabila bilirubin indirek lebih dari
10 mg%, (b) pra-transfusi tukar, (c) pasca-transfusi tukar, (d) terdapat
ikterus di hari pertama yang disertai proses hemolisis. Melihat beberapa
keadaan itu, dapat disimpulkan bahwa terapi sinar terutama dilakukan untuk
mencegah hiperbilirubinemia agar tidak mencapai tingkat yang
mengharuskannya dilakukan transfusi tukar.
Efektivitas terapi sinar terutama dipengaruhi oleh seberapa luas
bagian kulit bayi yang terpapar oleh sinar dikarenakan proses isomerisasi
terbanyak terjadi pada bagian perifer yaitu di kulit atau kapiler jaringan
subkutan, jumlah energi cahaya yang menyinari kulit bayi, pengubahan
posisi bayi secara berkala, jarak antara sumber cahaya dengan bayi diatur
agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (tidak boleh melebihi
50 cm dan kurang dari 10 cm). Energi cahaya yang optimal bisa didapatkan
dari lampu neon 20 Watt yang ada di pasaran dengan panjang gelombang
sinar antara 350-470 nm. Selain penggunaan lampu neon, dibutuhkan pula
pleksiglas untuk memblokade sinar ultraviolet, dan filter biru untuk
memperbesar energi cahaya yang sampai pada bayi. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan selama berlangsung terapi sinar ini ialah:
a. Diusahakan agar tubuh bayi terpapar sinar seluas mungkin, bila
perlu bukalah pakaian bayi
b. Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang
memantulkan cahaya untuk melingungi sel-sel retina dan
mencegah gangguan maturasi seksual
c. Bayi diletakkkan 8 inci di bawah sinar lampu, jarak ini ialah
jarak terbaik untuk mendapat energi cahaya yang optimal
d. Posisi bayi diubah setiap 18 jam agar seluruh badan terpapar
sinar
37
e. Pengukuran suhu bayi setiap 4-6 jam/kali
f. Kadar bilirubin diukur setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya
sekali dalam 24 jam
g. Perhatikan hidrasi bayi, bila perlu tingkatkan konsumsi cairan
bayi
h. Lama terapi sinar dicatat
Bila terapi sinar tidak menunjukkan ada penurunan kadar bilirubin
serum yang berarti, dapat diduga kemungkinan lampu yang tidak efektif
atau adanya komplikasi pada bayi berupa dehidrasi, hipoksia, infeksi atau
gangguan metabolisme yang harus diperbaiki.
Beberapa efek samping yang dapat terjadi pada bayi dengan terapi
sinar, antara lain peningkatan insensible water loss pada bayi sehingga perlu
diberikan pemberian cairan yang lebih diperhatikan, frekuensi defekasi bayi
meningkat akibat peningkatan peristatltik usus, dapat terjadi diskolorasi
gelap di kulit (bronze baby) akibat penimbunan fotoderivatif bilirubin yang
kecoklatan dalam darah, kerusakan retina yang dilaporkan pada hewan
percobaan bersamaan dengan meningkatnya risiko retinopati pada bayi oleh
karena itu perlindungan mata bayi sangatlah penting, hipokalsemia yang
lebih umum nampak pada bayi prematur, kenaikan suhu bayi yang
berlebihan. Walau begitu, terapi sinar masih dianggap sebagai terapi yang
sangat aman dan tidak memiliki efek samping serius yang berkelanjutan,
efek samping akan hilang ketika terapi dihentikan segera.4,8
2. Transfusi Tukar
Pada umumnya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai
berikut:
a. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek < 20 mg%
b. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1
mg%/jam
c. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
d. Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat <14 mg% dan uji
Coombs direk positif
Transfusi tukar dilakukan dengan indikasi untuk menghindari efek
toksisitas bilirubin ketika semua modalitas terapeutik telah gagal atau tidak
mencukupi. Sebagai tambahan, prosedur ini dilakukan dengan bayi yang
38
memiliki indikasi eritroblastosis dengan anemia hebat, hidrops, atau bahkan
keduanya bahkan ketika tidak adanya kadar bilirubin serum yang tinggi.
Transfusi tukar terutama direkomendasikan ketika terapi sinar tidak
berhasil dan ketika bayi mengalami ikterus akibat Rh isoimunisasi dan
inkompatibilitas ABO sehingga jenis ikterusnya dapat dikatakan sebagai
ikterus hemolitik dan memiliki risiko neurotoksisitas yang lebih tinggi
dibanding ikterus non-hemolitik. Prosedur ini dilakukan dengan
mengurangi kadar bilirubin hingga hampir 50% dan juga menghilangkan
sekitar 80% sel darah merah abnormal yang telah tersensitisasi serta
melawan antibodi agar proses hemolisis tidak terjadi. Prosedur ini bersifat
invasif dan bukan prosedur yang bebas risiko, karena prosedur ini memiliki
risiko mortalitas sebesar 1-5%, dapat pula berkomplikasi menjadi
necrotizing enterocolitis (NEC), infeksi, gangguan elektrolit, ataupun
trombositopenia sehingga prosedur ini harus dilakukan secara hati-hati.
Sebelum dilakukan transfusi dapat diberikan albumin 1,0 g/kg untuk
mempercepat keluarnya bilirubin ekstravaskuler ke vaskuler sehingga
bilirubin yang diikatnya akan lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi
tukar, lalu kemudian diberikan IVIG 0,5-1 g/kg untuk kasus hemolisis yang
diperantarai oleh antibodi.4,8

Tabel 4. Pedoman pengelolaan ikterus menurut waktu timbul dan kadar bilirubin4

Pencegahan
Bentuk-bentuk pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari
kemungkinan hiperbilirubinemia pada bayi, antara lain:
1. Pengawasan antenatal yang baik.

39
2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa
gestasi dan kelahiran, seperti sulfafurazole, novobiosin, oksitosin, dan lain-lain.
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonates
4. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir
5. Pemberian makanan dini
6. Pencegahan infeksi, bahkan jauh sebelum masa kehamilan.

Prognosis
Secara keseluruhan, angka survival dapat mencapai 85-90%, namun dapat
berkurang sebanyak 15% pada janin dengan hidrops fetus. Kebanyakan janin yang
bertahan hidup dari gestasi allo-imunisasi, tetap memiliki keutuhan fungsi neurologis.
Walau begitu, abnormalitas neurologis telah dilaporkan berkaitan dengan derajat
beratnya anemia dan asfiksia perinatal. Risiko tuli sensori-neural juga dapat meningkat.

40
DAFTAR PUSTKA

1. Baker S, Favorov M, Dougan G. Searching for the elusive typhoid diagnostic. BMC
Infectious Diseases. 2010;10:45-50.

2. 3. Buckle GC, Walker CL, Black RE. Typhoid fever and paratyphoid fever: Systematic
review to estimate global morbidity and mortality for 2010.

3. J Glob Health 2012; 2:e570- 80. 4. Mogasale, V, Maskery, B, Ochiai, RL et al.


Revisiting the burden of typhoid fever in low- and midd

4.

41

Anda mungkin juga menyukai