Anda di halaman 1dari 5

tugas "perkembangan bahasa indonesia"

Perkembangan Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia. dan bahasa persatuan bangsa
Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor
Leste, bahasa Indonesia adalah bahasa kerja (working language).
Dari sudut pandang linguistika, bahasa Indonesia adalah suatu varian bahasa Melayu. Dasar yang
dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19, namun mengalami perkembangan akibat
penggunaanya sebagai bahasa kerja dan proses pembakuan di awal abad ke-20. Hingga saat ini,
bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik
melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Penelusuran perkembangan bahasa Indonesia bisa dimulai dari pengamatan beberapa inskripsi
(batu bertulis) atau prasasti yang merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di
kepulauan Nusantara. Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang menggunakan bahasa
Melayu, atau setidak-tidaknya nenek moyang bahasa Melayu. Nama-nama prasasti adalah:
(1) Kedukan Bukit (683 Masehi),
(2) Talang Tuwo (684 Masehi),
(3) Kota Kapur (686 Masehi),
(4) Karang Brahi (686 Masehi),
(5) Gandasuli (832 Masehi),
(6) Bogor (942 Masehi), dan
(7) Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24)
Prasasti-prasasti itu memuat tulisan Melayu Kuno yang bahasanya merupakan campuran antara
bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta.

Perkembangan bahasa Melayu ini dapat dikelompokkan menjadi dua periode, yaitu (I) periode
sebelum Traktat London, dan (II) periode setelah Traktat London.
I. Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London
Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London ini dapat disistematisasikan ke dlam
beberapa era, sub-era, dan periode seperti berikut:
1) Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 Masehi)
2) Era Kerajaan-kerajan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
a) Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 Masehi)
b) Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
(1) Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15 Masehi)
(2) Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17 Masehi)
(3) Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi)
3) Era Pemisahan Tahun 1824
Perkembangan bahasa Melayu sebagaimana disitematisasikan tersebut sangat berkaitan dengan
perkembangan bahasa Melayu pasca Traktat London 1824, karena bahasa Melayu berkembanga
menjadi tiga arah, yaitu:
(a) di Indonesia menjadi Bahasa Indonesia;
(b) di Malaysia menjadi Bahasa Malaysia;
(c) si Brunei menjadi Bahasa Melayu Baku;dan
(d) di Singapura menjadi Bahasa Nasional.
1) Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 Masehi)
Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya mengalami masa kejayaan relatif cepat oleh lokasinya yang
sangat strategis pada Selat Malaka, suatu pusat perdagangan yang penting selama berabad-abad
lamanya. Para saudagar dari timur dan barat serta dari Kepulauan Nusantara bertemu dan
mengadakan transaksi dagang. Tentu saja bahasa Melayu, atau semacam bahasa Melayu kuno,
menjadi bahasa para saudagar itu. Itulah sebabnya maka bahasa Melayu menjadi bahasa resmi
Kerajaan Sriwijaya. (Humaidy, 1973 dan Alisjahbana dalam Fishman, 1974).
2) Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
Pemakaian bahasa Melayu yang dipengaruhi bahasa Sansekerta telah mendominasi Kerajaan
Sriwijaya. Hal ini jelas terlihat pada berbagai inskripsi batu bertulis yang ditemukan pada
berbagai tempat di Sumatra. Tetapi, dalam era berikutnya, yaitu era Kerajaan-kerajaan Melayu
yang muncul dari abad ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi, bahasa yang dipakai tidak lagi
dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Raja-raja yang berkuasa pada saat itu berketurunan Melayu.
Era ini dapat dibagi menjadi dua sub-era, yaitu sub-era Kerajan Bintan dan Tumasik, dan sub-era
Kerajaan Melayu Riau. Selanjutnya, sub-era Kerajaan Melayu Riau ini dibagi lagi menjadi tiga
periode, yaitu periode Kerajaan Malaka, periode Kerajaan Johor, dan periode Kerajaan Riau dan
Lingga. Sekali lagi, pembagian menjadi periode-periode ini sangat penting karena berkaitan
dengan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia.

a) Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 Masehi)
Segera setelah Kerajaan Bintan didirikan di Pulau Bintan keadaan memaksa raja memindahkan
ibu kota kerajaannya ke Pulau Tumasik, letak Singapura sekarang. Beberapa tahun kemudian,
Tumasik dikuasai oleh Kerajaan Majapahit dari Jawa. Ibu kota, sekali lagi, harus dipindahkan
lagi ke Malaka di Semenanjung Malaya. Daerah-daerah tempat perpindahan ini masih termasuk
daerah Riau. Bahasa Melayu dipergunakan di daerah itu sebagai bahasa ibu.
Diperkirakan bahwa perpindahan pusat kekuasaan itu terjadi antara tahun 1100 Masehi sampai
dengan tahun 1250 Masehi. Sayang sekali tak ada catatan tertulis yang dapat dijadikan sumber
acuan mengenai peran bahasa Melaytu selama sub-era Bintan-Tumasik ini. Jadi, apakah bahasa
Melayu yang dipergunakan pada sub-era ini ada hubungannya dengan bahasa Melayu pada era
Kerajaan Sriwijaya tidak dapat diketahui dengan pasti.

b) Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19Masehi)
Untuk pembahasan ini kiranya perlu dibedakan dengan jelas antara bahasa Melayu era Kerajaan
Sriwijaya dan bahasa Melayu dari sub-era Keraan Riau. Seperti disinggung sebelumnya bahwa
bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya sangat dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Karena sifat
kekunoannya itu, banyak ahli bahasa menyebut bahasa pada era Kerajaan Sriwijaya itu sebagai
bahasa Melayu Kuno. Sementara itu, bahasa Melatu pada sub-era Kerajaan Riau atau Kerajaan
Melayu Riau sama sekali tidak sipengaruhi oleh bahasa Sansekerta dan memiliki ciri khas
tersendiri, yaitu Riau. Oleh sebab itu, bahasa ini disebut “bahasa-bahasa Melayu Riau”. Terdapat
tiga periode dalam sub-era ini, seperti diuraikan berikut ini.
(1) Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15Masehi)
Seperti telah dikatakan sebelumnya, tentara kerajaan Majapahit menyerang Kerajaan Tumasik
yang memaksa pusat kekuasaannya dipindahkan ke Malaka di Semenanjung Malaya. Adat-
istiadat dan bahasa yang dibawa dari Tmasik dipertahankan, dan mulai saat itu dan seterusnya
bahasa Melayu Riau berkembang dan tersebar ke hampir seluruh penjuru Semenanjung Melaya.
Kerajaan Malaka berkibar selama hampir 100 tahun. Lokasinya yang berada di pintu gerbang
Selat Malaka, yaitu rute lalu lintas pelayaran yang ramai dan penting yang menghubungkan
antara Asia Timur dan Asia Barat, antara Asia Timur dan Eropa, antara Samudra India dan Laut
Cina Selatan, dan antara Samudra India dan Samudara Pasifik, Malaka merupakan pelabuhan
yang paling sibuk di kawasan Asia Yenggara pada waktu itu.

(2) Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17 Masehi)
periode Kerajaan Johor telah menyumbangkan sesuatu yang amat berharga, yaitu
mempertahankan bentuk bahasa Melayu Malaka. Di Malaka, nama bahasa Melayu Malaka masih
tetap dipergunakan, tetapi unsur-unsur bahasa Portugis banyak ditambahkan ke dalam bahasa
tersebut sehingga pantas disebut “bahasa pidgin”. Bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan
Portugis sangat berbeda dengan bahasa Melayu Malaka setelah Malaka dikuasai Portugis.
Bahasa Malayu Johorlah yang mempertahaknkan ciri-ciri khas bahasa Melayu Malaka sebelum
penaklukan Portugis.
Bahasa Melayu Johor memegang peran penting di dalam penyebarluasan agama Islam ke bagian
timur Kepulauan Nusantara. Kesusastraan Melayu dari abad ke-16, dan bahkan sampai abadke-
17, sangat dipengaruhi oleh ajaran dan pemikiran Islam. Bahasa Melayu Johor sangat berjasa di
dalam penyebaran ajaran agama Islam di Kepulauan Nusantara, bahkan di kawasan Asia
Tenggara.
(3) Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi)
Dalam periode inilah bahasa Melayu memperoleh ciri ke-Riau-annya, dan bahasa Melayu Riau
inilah yang merupakan cikal bakal bahasa Nasional Indonesia yang dicetuskan oleh Sumpah
Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Periode Kerajaan Riau dan Lingga tercatat mulai tahun 1719, ketika didirikan oleh Raja Kecil,
sampai dengan tahun 1913, ketika kerajaan itu dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Selama keberadaan kerajaan ini hampir 200 tahun lamanya, ada tiga momentum yang penting
sekali bagi perkembangan dan persebaran bahasa Melayu Riau, yaitu tahun 1808, ketika Raja Ali
Haji lahir; tahun 1857, ketika Raja Ali Haji menyelesaikan bukunya yang berjudul Bustanul
Katibin, suatu tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau; dan tahun 1894, ketika percetakan
Mathba’atul Riauwiyah atau Mathba’atul Ahmadiyah didirikan.
Pada 2 Februari 1819, kurang lebih tiga abad setelah orang-orang Eropa tiba di Kepulauan
Indonesia, Stamford Raffles, ketika dia menjadi Letnan Gubernur Jenderal di Bengkulu, atas
nama pemerintah kolonial Inggris mendirikan kota Singapura pada salah satu pulau (Tumasik)
yang bergabung dalamKepulauan FRiau. Setelah benteng Singapura ini didirikan, Inggris dan
Belanda berada dalam konflik bersenjata terus-menerus karena berebut kepentingan. Segera
setelah perang Napoleon di Eropa mereda, pada tahun 1824 ditandatangani persetujuan untuk
mengakhiri konflik bersenjata antara Inggris dan Belanda di Asia Tenggara. Persetujuan itu
terkenal dengan nama London Treaty of 1824 (Traktat London 1824) yang membagi kawasan
Kepulauan Nusantara menjadi dua bagian: Kepulauan Indonesia berada di bawah pemerintahan
Kolonial Belanda dan Semenanjung Malaya dan Singapura berada di bawah kekuasaan Kolonial
Inggris. Dengan demikian, Kerajaan Riau dan Lingga menjadi bagian dai daerah pemerintahan
Kolonial Hindia Belanda, dan Kerajaan Johon dan sekitarnya menjadi bagian dari daerah
pemerintahan Kolonial Inggris. Mulai saat itu pula, perpisahan bahasa Melatu Riau dan bahasa
Melayu Johor secara legal terjadi.
Bahasa Melayu Riau yang merupakan bahasa ibu penduduk Kerajaan Riau dan Lingga dan
pulau-pulau di sekitarnya, berkembang dan menyebar dengan sangat pesat, sesuai dengan
keperluan masyarakat yang bersangkutan sebagai alat komunikasi lisan. Bahkan, sejak
berlakuknya Persetujuan London atau TRaktat London, bahasa Melayu Riau mendapatkan status
yang baik dalam kesusastraan dunia. Berbagai karya kesusastraan yang cukup tinggi nilainya
yang ditulis oleh penutur asli bahasa Melayu Riau diterbitkan. Pada tahun 1857, misalnya, Raja
Ali Haji menerbitkan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, sebuah buku tatabahasa normatif
bahasa Melayu Riau. Buku tatabahasa ini selama berpuluh-puluh tahun dipergunakan oleh
sekolah-sekolah di wilayah Kerajaan Riau dan Lingga, dan di Singapura. Pengarang-pengarang
lain yang sezaman dengan Raja Ali Haji, misalnya, Raja Ali Tengku Kelana, Abu Muhammad
Adnan, dan lain-lain, juga menerbitkan karya mereka.
Publikasi karya Raja Ali Haji dan pengarang lain dapat dianggap sebagai upaya awal dalam
proses pembakuan bahasa Melayu Riau. Bahkan, pada permulaan abad ke-20 karya-karya ini
dijadikan buku acuan oleh ahli-ahli bahasa Belanda. Bahasa Melayu Riau yang sedang
berkembang pesat dan tumbuh dengan sehat ini oleh banyak ahli bahasa disebut sebagai bahasa
Melayu Tinggi.
II. Perkembangan Bahasa Melayu Setelah Traktat London
Sesudah Traktat London ditandatangani antara pemerintah Inggris dan Belanda, pemisahan
antara Bahasa Melayu versi Riau dan Johor semakin nyata. Bahasa Melayu versi Johor di
Semenanjung Malaya dan Singapura berkembang, tetapi tidak sepesat perkembangan versi
bahasa Melayu Riau di Kepulauan Nusantara.
Bahasa Melayu Riau mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini disebabkan oleh
masyarakat pribumi yang bersifat multi-etnik yang mempunyai bahasa daerah sendiri-sendiri. Di
samping itu, bahasa Melayu yang sejak dulu menjadi lingua franca meningkat statusnya menjadi
bahasa yang memiliki norma supra-etnik dikuasai oleh hampir semua orang yang suka berlayar
atau bepergian ke mana-mana.

Keadaan kebahasaan seperti digambarkan di atas berlangsung sampai dengan terbentuknya


Negara Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1956. Peristiwa ini kemudian disusul dengan
terbentuknya Negara Malaysia, yang mencakup Serawak dan Sabah (North Borneo), yang
merdeka dan berdaulat, lepas dari kekuasaan Inggris. Setelah kemerdekaan dicapai, bahasa
Melayu di negara tersebut mulai memerankan fungsinya sebagai bahasa resmi, bahasa negara,
bahasa nasional, dan mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sampai saat ini bahasa Melayu, baik yang sekarang menjadi
bahasa Indonesia di Indonesia, bahasa Melayu di Malaysia, bahasa … di Brunai, dan bahasa …
di Singapura, tetap berkembang dan menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi secara
efektif. Bahkan, secara de facto telah berperan sebagai bahasa komunikasi luas di Asia Tenggara.
Yang diperlukan adalah pengakuan dari internasional (lewat PBB) bahwa bahasa Melayu
merupakan salah satu bahasa yang layak dipakai sebagai bahasa komunikasi internasional atau
dunia. Apabila harapan ini tercapai, berarti secara de jure bahasa Melayu semakin mantap.
Perkembangan bahasa Indonesia saat ini semakin maju serta semakin diminati masyarakat
internasional. Perkembangan itu sangat menggembirakan, sekaligus menjadikan jati diri bangsa
Indonesia semakin terangkat. Akan tetapi, kegembiraan itu tidak dapat dilepaskan dari berbagai
tantangan. Penataan dan pengembangan materi ajar dapat dilakukan pemotongan terhadap
sebagian materi secara keseluruhan.
Melalui bahasa Indonesia, masyarakat dunia dapat mengenal lebih dekat budaya dan bangsa
Indonesia.tidak mengherankan apabila saat ini sudah banyak lembaga-lembaga bahasa Indonesia
yang dikembangkan baik di dalam maupun luar negeri. Dengan mengajarkan bahasa Indonesia
bagi pihak asing, maka dapat menghubungkan pemahaman lintas budaya melalui pengajaran
yang dikembangkan di luar negeri

Anda mungkin juga menyukai