Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PENELITIAN

NOTIFIKASI KASUS TB DENGAN MENERAPKAN


SKRINING TB PADA PASIEN DM SERTA EKSPLORASI
PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PELAKSANAANNYA DI
PUSKESMAS DI KOTA DENPASAR

Oleh :

dr. Putu Ayu Swandewi Astuti, MPH


dr. I Ketut Suarjana, MPH
Ketut Hari Mulyawan, S.Kom., MPH
Made Kerta Duana, SKM., MPH
Ni Ketut Arniti, SKM., M.Kes
Ni Made Dian Kurniasari, SKM., MPH

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA

1
2016
Cover laporan

Kata Pengantar

Daftar Isi

Abstrak (khusus untuk abstrak dalam bahasa indonesia dan english)

Ringkasan Eksekutif

Isi laporan

Kesimpulan

Saran

Rekomendasi

Daftar Pustaka

Lampiran: Formulir Kuesioner

2
Kata Pengantar

3
1 BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi yang menjadi


masalah global, sebagian besar ditemukan di negara berkembang. Pada
tahun 2013 diperkirakan ada 9 juta orang di dunia menderita TB dan 1,5 juta
orang meninggal karena TB. Sebagian besar (56%) penderita TB hidup di
negara berkembang khususnya di Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Masalah
TB diperberat dengan adanya komorbiditas, salah satunya adalah diabetes
melitus (DM). DM sudah dikenal sebagai salah satu faktor risiko infeksi TB
dan menghambat kesembuhan pasien TB yang sedang dalam masa
pengobatan. Disisi lain infeksi TB juga dicurigai mempermudah seseorang
untuk mengalami DM (Goldhaber-Fiebert, Jeon, Cohen et.al (2011). Pada
tahun 2013 diperkirakan 382 juta penduduk dunia mengalami DM, sebagian
belum terdiagnosis dan tertangani dengan baik sehingga dapat berkembang
dan terancam mengalami komplikasi salah satunya penurunan kekebalan
sehingga mudah terinfeksi termasuk oleh TB.

Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang secara


epidemiologi mengalami beban penyakit ganda. Beban penyakit infeksi masih
tinggi tetapi disisi lain beban penyakit non infeksi terus meningkat.
Berdasarkan hasil studi prevalensi TB tahun 2013/2014 yang tercantum
dalam rencana strategis Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2015 –
2019 diketahui bahwa prevalensi TB dengan konfirmasi bakteriologis pada
umur ≥ 15 sebesar 759 per 100,000 penduduk sedangkan prevalensi TB
semua bentuk pada semua umur sebesar 660 per 100.000 penduduk.
Dengan angka sebesar itu maka diperkirakan ada 1,6 juta orang Indonesia
mengalami TB. Masalah TB di Indonesia diperparah dengan rendahnya
angka notifikasi kasus (CNR) yang hanya 81 per 100.000 penduduk dan
angka notifikasi kasus di Bali lebih rendah sebesar 74 per 100.000 penduduk.
Dengan kata lain sebagian besar kasus TB tidak tercatat dan tidak mendapat
pengobatan dengan baik. Bila dilihat dari proses pengobatan, success rate
1
2

yaitu sebesar 90% yang menunjukkan cukup bagusnya keberhasilan terapi


pada pasien TB di Bali. Hal ini kemungkinan juga disebabkan karena
penemuan kasus yang masih rendah sehingga perlu upaya untuk
meningkatkan deteksi kasus dari berbagai titik poin salah satunya melalui
skrining pada pasien DM.

Disisi lain, prevalensi DM di Indonesia juga mengalami peningkatan dari


waktu ke waktu. Pada tahun 2013 diperkirakan prevalensi DM, TGT dan GDP
terganggu pada penduduk umur ≥ 15 sebesar 6,9%, meningkat dibandingkan
tahun 2007 yang sebesar 5,7%. Dengan prevalensi sebesar itu maka saat ini
diperkirakan lebih dari 12 juta penduduk Indonesia mengalami DM. Sebagian
besar atau 69,6% diantaranya tidak terdiagnosis di fasilitas kesehatan
manapun sehingga sangat berpotensi mengalami berbagai komplikasi.
Prevalensi DM berdasarkan diagnosis pada penduduk dewasa dari hasil
Riskesdas tahun 2013 sebesar 1.3% untuk tingkat nasional dan juga untuk
provinsi Bali. Kota Denpasar sebagai salah satu daerah urban di Bali
kemungkinan mempunyai prevalensi DM yang cukup tinggi. Bila dibandingkan
dengan hasil riskesdas Provinsi Jawa Barat dan Kota Bandung, didapatkan
prevalensi DM di Provinsi Jawa barat menurut riskesdas sebesar 1.3%, sama
dengan prevalensi di provinsi Bali. Prevalensi DM di populasi Kota Bandung
yang sudah diketahui dari beberapa pengamatan sebelumnya sebesar 4%,
maka kemungkinan prevalensi DM di Kota Denpasar juga berkisaran pada
angka yang sama.

Berdasarkan beberapa penelitian diperkirakan 13 – 20% pasien TB di


dunia mengalami komorbiditas DM (Jeon C, M and Murray M, 2008). Hasil
penelitian tentang komorbiditas TB-DM di RS Hasan Sadikin tentang
karakteristik pasien TB dengan dan tanpa DM didapatkan bahwa prevalensi
DM pada pasien TB sebesar 20,6% (Raspati Cundarini et al, 2015).
Sedangkan pada pasien DM, berdasarkan penelitian ditempat yang sama
didapatkan bahwa 2,8% mengalami TB aktif, 9,3% mempunyai riwayat TB
dan 41,4% positif laten TB (Livia et al, 2015).

Fakta diatas menunjukkan cukup besarnya masalah TB dengan penyulit


DM mulai dari penemuan kasus sampai pada penatalaksanaannya. Program
3

penanggulangan kedua penyakit ini tidak bisa berjalan sendiri-sendiri,


sehingga perlu adanya integrasi untuk meningkat kinerja kedua program.
World Health Organisation (WHO) dan The Union Against Tuberculosis and
Lung Dissease (The Union) telah mengeluarkan “collaborative framework”
untuk penanganan dan pengendalian TB-DM. Salah satu rekomendasi dari
framework tersebut adalah pelaksanaan skrining TB pada pasien DM bila
prevalensi TB di negara tersebut diatas 100 per 100.000 penduduk, sehingga
sudah perlu dilakukan di Indonesia mengingat prevalensi TB yang tinggi.

Sampai saat ini masih belum dilakukan secara rutin integrasi deteksi TB
pada penderita DM, walaupun beberapa uji coba skrining TB pada pasien DM
telah dilakukan di beberapa rumah sakit dan puskesmas di Indonesia.
Kementerian Kesehatan dan stakeholder terkait telah membahas konsensus
penanganan TB-DM yang didalamnya mencakup algoritma penapisan dan
diagnosis TB pada pasien DM di tingkat fasilitas kesehatan tingkat pertama
(FKTP) seperti pada gambar 1.1. Pada gambar 1.1 terlihat prosedur
penapisan dimana semua pasien DM dieksplorasi gejala TB dan diperiksa
rontgen yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan lanjutan sesuai
dengan prosedur diagnosis dan pengobatan TB nasional (Kementerian
Kesehatan, 2015).

Mengingat potensi peningkatan temuan suspek dan kasus TB melalui


skrining pasien DM sangat potensial maka perlu dilakukan uji coba yang tidak
hanya semata-mata mengeksplorasi besaran temuan kasus namun juga
untuk mengeksplorasi faktor penghambat dan pendorong pelaksanaannya di
lapangan. Untuk telaksananya prosedur skrining dan diagnosis TB pada
pasien DM di layanan tingkat pertama dalam hal ini puskesmas akan
berkaitan dengan peranan dan penerimaan dari petugas di puskesmas,
fasilitas rujukan dan stakeholder lain yang terlibat di dalamnya termasuk
sistem asuransi kesehatan serta pemahaman dan penerimaan pasien DM
sebagai kelompok sasaran skrining. Oleh karena itu dalam penelitian
operasional research (OR) ini akan dilakukan uji coba penerapan skrining TB
pada pasien DM dan eksplorasi faktor pendukung dan penghambatnya.
4

Gambar 1.1. Algoritma Penapisan dan Diagnosis TB pada pasien DM di


FKTP

1.2 TUJUAN RISET OPERASIONAL

1.2.1 Tujuan Umum

Mengetahui penerapan sistem skrining TB pada pasien DM sesuai dengan


algoritma konsensus Kementerian Kesehatan

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui hasil pelaksanaan skrining TB pada pasien DM terhadap


penemuan kasus TB di Puskesmas
2. Mengeksplorasi kendala pelaksanaan skrining TB pada pasien DM dari
sudut pandang pasien, petugas dan sistem kesehatan yang terkait
3. Mengeksplorasi pendukung pelaksanaan skrining TB pada pasien DM dari
sudut pandang pasien, petugas dan sistem kesehatan yang terkait
5

1.3 MANFAAT

Dengan dilakukannya uji coba pelaksanaan skrining TB pada pasien DM


diharapkan akan meningkatkan penemuan suspect dan kasus TB. Hal ini
tentunya akan berdampak pada peningkatan kinerja program TB di Kota
Denpasar dan Bali pada umumnya. Disamping itu penemuan kasus lebih dini
ini akan memberikan dampak terhadap upaya penanganan TB-DM yang
komprehensif.

Dengan dilakukannya eksplorasi tentang faktor pendukung dan


penghambat pelaksanaan skrining akan memberikan gambaran tentang
permasalahan operasional yang dihadapi di lapangan. Hal ini akan menjadi
masukan bagi program dalam pelaksanaan skrining TB pada pasien DM dan
kolabarorasi TB DM sehingga kedepannya bisa berjalan secara optimal
sesuai dengan kondisi di lapangan.
2 BAB II
METODE PENELITIAN

2.1 KERANGKA PIKIR

-­‐ Akseptabilitas Pasien


Pasien -­‐ Kesediaan untuk
mengikuti prosedur
-­‐ Karakteristik skrining pemeriksaan
Demografi TB-DM
-­‐ Lama DM -­‐ Alasan untuk
menolak
-­‐ Riwayat Kontak TB pemeriksaan
-­‐ Riwayat TB -­‐ Kesediaan untuk
sebelumnya melakukan terapi
-­‐ Pemahaman Pasien gabungan TB-DM
ttg TB-DM -­‐ Alasan untuk
menolak terapi
gabungan
-­‐ Keberhasilan
-­‐ Alur Pelaksanaan Pelaksanaan
Skrining Skrining
-­‐ Waktu Tunggu -­‐ TB-DM
-­‐ Biaya
-­‐ Akseptabilitas
-­‐ Petugas &
Sistem
-­‐ Kebijakan Kesehatan
-­‐ Sumber daya -­‐ Petugas
-­‐ Karakteristik Petugas Puskesmas
-­‐ Pemahaman Petugas -­‐ Petugas RS
-­‐ Prosedur layanan Rujukan
-­‐ BPJS

6
7

2.2 METODE

2.2.1 Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Denpasar, Provinsi Bali dan merupakan


jenis penelitian eksploratif yang menggunakan pendekatan kombinasi
kuantitatif dan kualitatif. Dalam penelitian ini akan dilakukan eksplorasi
terhadap feasibilitas pelaksanaan metode skrining sesuai dengan kondisi di
lapangan, menilai indikator pelaksanaan skrining, dan mengidentifikasi
akseptabilitas serta faktor pendukung dan penghambat dari pelaksanaan
skrining menurut sudut pandang pasien, petugas kesehatan dan stakeholder
pendukung lainnya.

2.2.2 Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di 11 Puskesmas di Kota Denpasar yaitu


Puskesmas Denpasar Utara I, II, dan III; Puskesmas Denpasar Timur I dan II;
Puskesmas Denpasar Barat I dan II, Puskesmas Denpasar Selatan I, II, III
dan IV

2.2.3 Populasi dan Sampel

Komponen Kuantitatif

Populasi penelitian adalah semua pasien DM yang berkunjung ke


Puskesmas di Kota Denpasar selama 2 bulan (Januari – Maret 2016)

Sampel

Kriteria Inklusi:

1. Pasien DM yang berkunjung ke Puskesmas di Kota Denpasar selama 2


bulan (Des 2015-Jan 2016)
2. Umur ≥ 15 tahun

Kriteria Eksklusi

1. Pasien yang sudah terdiagnosis TB dan sedang menjalani pengobatan TB


2. Menolak untuk berpartisipasi dalam skrining
8

Perhitungan Besar Sampel

Dengan perhitungan sample size pada low probability event

- Prevalensi TB pada pasien DM 1.2%,


- 95% Confidence Interval dan
- penemuan kasus TB minimal 5 orang

maka didapatkan besar sampel =761; kemudian dikoreksi dengan


perkiraan response rate pasien yang mau mengikuti proses skrining 90%,
maka sampel menjadi 846. Namun pada pelaksanaan, sampel pasien DM
yang berhasil didapatkan adalah sebanyak 620 orang dan yang berhasil
diwawancarai adalah sebanyak 567 orang. Sampel diambil dengan cara
Consecutive Sampling

Komponen Kualitatif

Responden atau informan pada penelitian ini adalah stakeholder yang


terlibat dalam kebijakan dan pelaksanaan skrining TB pada pasien DM
meliputi antara lain Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kota, Pemegang
Program P2 TB dan P2 seksi PTM (DM) Provinsi dan Kota, Kepala
Puskesmas, Petugas TB puskesmas, petugas di Balai Pengobatan, Petugas
laboratorium, Direktur RS, Petugas Rontgen Rumah Sakit, BPJS. Populasi
lainnya adalah pasien yang berpartisipasi maupun menolak dalam proses
skrining. Sampel diambil dengan cara Purposive Sampling.

2.3 Variabel, Definisi Operasional Variabel dan Pengumpulan Data


Kuantitatif

Variabel Definisi operasional Cara dan alat skala Hasil


pengumpulan pengukuran Pengukuran
data
Umur Usia responden saat Wawancara Kontinyu Tahun
penelitian dengan
kuesioner
Jenis Jenis kelamin dari Wawancara Nominal 0. Perempua
kelamin responden dengan n
kuesioner 1. Laki-laki
Tingkat Tingkat pendidikan Wawancara Ordinal 1. Tidak
9

Pendidikan formal terakhir dengan pernah


kuesioner sekolah
2. Tidak
tamat SD
3. SD
4. SMP
5. SMA
6. PT
Pekerjaan Aktifitas yang Wawancara Nominal 1. PNS
dilakukan untuk dengan 2. Swasta/wir
mendapatkan kuesioner aswasta
penghasilan 3. Petani
4. Buruh
5. dll
Penghasil- Jumlah penghasilan Wawancara Kontinyu Rupiah
an keluarga tiap bulan dengan
(semua anggota kuesioner
keluarga)
Alamat Alamat tempat tinggal Wawancara Nominal Detail alamat
responden, diisi dengan
dengan lengkap kuesioner
nama jalan, no ,
dusun, desa dan kec
Lama Waktu dari awal Wawancara Kontinyu bulan
diagnosis terdiagnosis DM dengan
DM sampai saat kuesioner
penelitian
Gejala TB I. Keluhan dari Wawancara Nominal 0. Tidak ada
pasien berupa dengan 1. Ada
salah satu dari kuesioner
gejala
II. Batuk, terutama
batuk berdahak ≥
2 minggu
III. Demam hilang
timbul, tidak tinggi
(subfebris)
IV. Keringat malam
tanpa disertai
aktivitas
V. Penurunan berat
badan.
VI. TB ekstra paru
antara lain:
pembesaran
kelenjar getah
bening (KGB)
VII. Sesak, nyeri saat
menarik napas,
atau rasa berat di
10

satu sisi dada


Riwayat TB Riwayat didiagnosis Wawancara Nominal 0. Tidak ada
dan mendapatkan dengan 1. Ada
pengobatan TB kuesioner
sebelumnya
Riwayat Riwayat kontak Wawancara Nominal 0. Tidak ada
Kontak dengan penderita TB dengan 1. Ada
dengan kuesioner
penderita
TB
Pengetahu- Tingkat Pemahaman Wawancara Nominal 1. Kurang,
an tentang tentang tuberkulosis dengan bila
TB-DM dan komorbiditas TB kuesioner mampu
DM mencakup: menjawab
- Penyebab <75%
- Gejala pertanyaan
- Cara penularan 2. Baik, bila
- Cara pencegahan mampu
- Komorbiditas TB- menjawab
DM ≥75%
- Kesembuhan dan pertanyaan
terapi
Penerimaa Respon dari pasien Wawancara Nominal 0. Menerima
n terhadap DM tentang dengan 1. Menolak
Pemeriksa- pemeriksaan TB kuesioner
an TB mencakup:
- Kesediaan untuk
mengikuti Untuk Alasan
prosedur skrining (open ended)
pemeriksaan TB-
DM
- Alasan untuk
menolak
pemeriksaan
- Kesediaan untuk
melakukan terapi
gabungan TB-DM
- Alasan untuk
menolak terapi
gabungan
Berat Berat badan yang Pengukuran Kontinyu kg
Badan ditimbang dengan
menggunakan
timbangan pegas di
Puskesmas
Tinggi Tinggi badan yang Pengukuran Kontinyu cm
Badan diukur dengan
menggunakan
microtoise
Kadar gula Kadar gula darah Pemeriksaan Kontinyu mg/dl
11

darah puasa yang diperiksa kadar gula


Puasa dengan pemeriksaan
darah kapiler pada
saat awal penelitian
dimulai
Kadar gula Kadar gula darah Pemeriksaan Kontinyu mg/dl
darah sewaktu yang kadar gula
sewaktu diperiksa dengan
pemeriksaan darah
kapiler pada saat
awal penelitian
dimulai
Kadar gula Kadar gula darah 2 Pemeriksaan Kontinyu mg/dl
darah 2JPP jam PP yang kadar gula
diperiksa dengan
pemeriksaan darah
kapiler pada saat
awal penelitian
dimulai
Hasil Hasil pemeriksaan Pemeriksaan Nominal 0. Negatif
pemeriksaa radiologis (foto) rontgen 1. Positif
n Rontgen thorax
Hasil Hasil pemeriksaan Pemeriksaan Nominal 0. Negatif
Pemeriksa- sputum sebanyak 3 BTA 1. Positif
an Sputum kali (pagi dan 2x
BTA sewaktu) untuk
mendeteksi BTA
dengan pengecatan
Ziehl Nelson

2.4 Evaluasi Akseptabilitas, Pendukung Dan Penghambat (Kualitatif)

Tema/Topik Batasan Istilah Metode

Penerimaan petugas dan Pendapat petugas dan FGD dan Wawancara


pasien terhadap skrning pasien tentang pelaksanaan
TB-DM skrining TB dilihat dari alur
pelaksanaannya,
pengaruhnya terhadap
beban pekerjaan
Pendukung dan Pendukung dan FGD dan Wawancara
Penghambat pelaksanaan Penghambat pelaksanaan
model skrining TB pada skrining TB pada pasien DM
Paien DM yang dihadapi pasien,
petugas maupun
stakeholder lainnya pada
setiap jenjang proses
skrining.
12

Usulan Penyempurnaan Pendapat atau masukan FGD dan Wawancara


skrining tentang penyempurnaan
model sesuai dengan hasil
uji coba di lapangan
Keberlanjutan model Pendapat tentang Wawancara
integrasi TB-DM keberlanjutan model
integrasi TB-DM,
manfaatnya bagi
penanganan terpadu TB-DM
dan harapan petugas
tentang pelaksanaan
integrasi selanjutnya

2.5 Pengumpulan Data

Data Kuantitatif

Data pasien DM mencakup karakteristik demografi, hasil pemeriksaan


dan wawancara tentang pemahaman dan penerimaan skrining TB,
penghambat dan kendala mengikuti proses skrining. Data ini dikumpulkan
dengan wawancara menggunakan kuesioner dan pemeriksaan.

Kuesioner sudah diuji cobakan kepada anggota tim dan kolega untuk
melihat alur dan isi pertanyaan. Kemudian kuesioner juga sudah diuji cobakan
pada pasien DM di Puskesmas Kuta Utara yang tidak menjadi lokasi
penelitian. Dari hasil uji coba kuesioner dilakukan direvisi sedikit pada
pertanyaan pengetahuan sesuai dengan hasil uji coba.

Pengumpulan data pasien dilakukan oleh surveyor yang telah dilatih


terlebih dahulu oleh tim peneliti. Inform consent sudah diberikan sebelum
wawancara dimulai. Pengecekan pengisian kuesioner dilakukan oleh
supervisor (tim peneliti) selama 2 kali dalam seminggu.

Data Kualitatif

Data dikumpulkan pada saat pelaksanaan dan akhir uji coba skrining
untuk mengeksplorasi aksepabilitas, pendukung dan penghambat
pelaksanaan skrining.

Pengumpulan data dilakukan dengan 2 metode yaitu focus grup


discussion (FGD) dan wawancara mendalam.
13

FGD

Jumlah FGD yang dilakukan sebanyak 2 FGD, 1 untuk petugas TB dan


1 untuk stakeholder sebagai pemegang kebijakan. FGD dipandu oleh 1 orang
moderator, dibantu oleh 1 orang notulen dan 2 orang observer. Proses FGD
direkam dan dicatat dalam catatan lapangan oleh notulen dan observe. Inform
consent juga dilakukan sebelum mulai proses FGD. Tiap FGD berlangsung
selama kurang lebih 1,5 jam. Tempat FGD dipilih tempat yang netral dan
tenang yaitu di ruang pertemuan dinas kesehatan kota Denpasar dan salah
satu ruangan di Puskesmas.

Wawancara Mendalam

Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam semi terstruktur


dengan menggunakan pedoman wawancara dan berlangsung selama kurang
lebih 45 menit. Wawancara direkam kemudian ditranskrib verbatim. Catatan
lapangan dari setiap wawancara juga dibuat. Responden adalah pemegang
kebijakan, petugas di RS Rujukan, pemegang program P2, petugas di
Puskesmas (dokter, petugas lab), wasor TB Provinsi dan Kota. Responden
lain dalah pasien DM yang melakukan proses skrining secara lengkap,
sebagian dan yang tidak lengkap pada tiap tahapan proses skrining.

2.6 Manajemen Dan Analisis Data

Untuk data kuantitatif, pada saat data dikumpulkan dilakukan


pengecekan terhadap kelengkapan pengisian data dan konsistensi oleh
surveyor dan diperiksa oleh supervisor. Data kemudian dikumpulkan kepada
tim peneliti setiap minggu, yang dikoding dan di batching/sortir per
puskesmas menurut nomor kuesionernya. Data kemudian di entry dengan
Epidata dengan template yang sudah disiapkan sebelumnya. Setelah
dilakukan data entry maka data kemudian ditransfer ke software statistik
untuk diproses lebih lanjut. Analisis data yang dilakukan analisis deskriptif.
14

Rekaman wawancara dan FGD ditranskripsi secara verbatim, dilengkapi


dengan catatan lapangannya. Data disortir berdasarkan jenis
responden/informannya. Data kemudian dianalisis secara kualitatif dengan
thematic analysis.
15

3 BAB III
HASIL PENELITIAN

3.1 Persiapan Penerapan Sistem Skrining TB pada Pasien DM di Kota


Denpasar

Penerapan sistem skrining TB pada pasien DM di Kota Denpasar


dilakukan pada 11 Puskesmas yang ada di seluruh wilayah Kota Denpasar.
Puskesmas tersebut diantaranya adalah Puskesmas I Denpasar Utara,
Puskesmas II Denpasar Utara, Puskesmas III Denpasar Utara, Puskesmas I
Denpasar Selatan, Puskesmas II Denpasar Selatan, Puskesmas III Denpasar
Selatan, Puskesmas IV Denpasar Selatan, Puskesmas I Denpasar Barat,
Puskesmas II Denpasar Barat, Puskesmas I Denpasar Timur, Puskesmas II
Denpasar Timur. Sebelum program skrining TB pada pasien DM ini diuji
cobakan di 11 puskesmas tersebut ada beberapa tahapan persiapan atau
pre-skrining yang dilalui. Persiapan dilakukan melalui berbagai pertemuan
dan audiensi dengan stakeholder terkait diantaranya dengan, Dinas
Kesehatan Kota Denpasar, Dinas Kesehatan Provinsi Bali, BPJS Divisi
Regional XI, BPJS Kesehatan Kota Denpasar, Kepala Jaminan Kesehatan
Masyarakat Bali dan Rumah sakit umum maupun swasta yang ada di Kota
Denpasar.

Pertemuan-pertemuan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk


menyamakan persepsi dan pemahaman terkait isu yang diangkat yaitu
peningkatan penemuan TB melalui skrining TB pada pasien DM, memperoleh
dukungan dan komitmen stakeholder dalam pelaksanaan program, serta
untuk mendapatkan masukan-masukan teknis sebelum skrining ini
diterapkan. Dari pertemuan tersebut, diperoleh beberapa hasil penting
diantaranya dukungan pembiayaan dari skema BPJS dan jaminan kesehatan
daerah yaitu Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) dan kesepakatan
penggunaan alur algoritma skrining TB pada pasien DM yang dikembangkan
dari alur konsensus dan sistem pembiayaan skrining TB pada pasien DM.
16

Penerapan skrining TB pada pasien DM di Kota Denpasar ini


mendapatkan dukungan dan komitmen penuh dari Dinas Kesehatan Kota
Denpasar. BPJS juga mendukung pelaksanaan program ini dan mendukung
pembiayaan kesehatan, dengan kondisi pasien DM yang sudah terdiagnosis
DM lebih dari 3 bulan atau bisa kurang dari 3 bulan sudah dirujuk tetapi
dengan kondisi yang tidak stabil, Untuk kode (pasien BPJS) sudah disiapkan
oleh BPJS cabang Denpasar sesuai dengan ICD X pada INA CBGs yaitu
Z03.0.1 yaitu Observasi terduga TB pada risiko DM dan Anak. Sedangkan
untuk pasien dengan tanggungan Jamkesda Bali (JKBM) dan pasien umum
dirujuk dengan diagnosis DM+Suspect TB, BTA-.

Dari hasil workshop dengan para stakeholder, ada beberapa usulan


yang diberikan terkait pelaksanaan teknis dari tahap-tahap skrining pada
algoritma. Algoritma dikembangkan berdasarkan pendapat dari stakeholder
yang terlibat, bahwa pada pasien DM yang memiliki gejala TB klinis batuk
produktif terutama batuk berdahak lebih dari 1 minggu diusulkan untuk
langsung periksa BTA sehingga tidak ada miss opportunity. Pengembangan
yang dilakukan dari alur yang ada pada konsensus tersebut tidak ekstrem,
dimana pengembangan disusun untuk memberikan petunjuk teknis yang lebih
detail agar mudah diaplikasikan dengan situasi di lapangan. Algoritma
pemeriksaan dan diagnosis TB pada pasien DM yang digunakan pada
penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tahap skrining dilakukan pada semua pasien DM dewasa, khusus untuk


BPJS adalah pasien DM dewasa yang minimal sudah 3 bulan kontrol di
Puskesmas. Tahap skrining dimulai dari wawancara gejala TB/anamnesis
pada pasien DM yang dilakukan oleh dokter. Setelah wawancara gejala,
kemudian diberikan rujukan untuk pemeriksaan dahak atau pemeriksaan
rontgen sesuai dengan tahapan pada algoritma yang digunakan. Dalam
pemeriksaan rontgen, pasien dirujuk ke dua rumah sakit yaitu Rumah Sakit
Umum Daerah Wangaya dan Rumah Sakit Tk II Udayana (Rumah Sakit
Angkatan Darat), dengan pertimbangan bahwa RS tersebut memiliki Spesialis
Radiologi yang bekerja setiap hari sehingga memudahkan pasien untuk
mendapatkan hasil dengan cepat. Kedua rumah sakit tersebut juga
menyatakan mendukung pelaksaan uji coba skrining TB. Rontgen dilakukan
17

dan dibaca oleh Spesialis Radiologi. Setelah pasien melakukan pemeriksaan


rontgen dan mendapatkan hasil bacaanya dari spesialis radiologi, pasien
akan dikembalikan ke puskesmas untuk penegakan diagnosis dan tindak
lanjut hasil pemeriksaan. Sedangkan untuk pengambilan dahak sewaktu
dilakukan di puskesmas masing-masing, lalu dahak tersebut dibawa ke ke
PKM rujukan yaitu Puskesmas Denpasar Selatan I dan Puskesmas Denpasar
Utara I. Dahak akan dibawa oleh petugas puskesmas masing-masing.

3.2 Gambaran Pelaksanaan skrining TB pada pasien DM

Dari pelaksanaan skrining ini diperoleh 620 pasien yang datang ke 11


puskesmas di Denpasar dan berhasil dianamnesis oleh dokter di puskesmas
tentang gejala TB. Dari 620 pasien, sebanyak 567 pasien yang bersedia
diwawancara untuk menggali karakteristik sosiodemografi, riwayat DM,
dukungan petugas kesehatan, pengetahuan, persepsi terkait skrining TB
kesediaan mengikuti skrining dan alasannya dengan menggunakan (response
rate 91%). Sebanyak lima puluh tiga pasien menolak diwawancara terkait hal
tersebut dengan alasan sibuk, buru-buru dan tidak bisa diganggu.
18

3.2.1 Karakteristik pasien DM yang diskrining TB

Adapun karakteristik pasien DM yang diskrining TB tersebut dapat dilihat


pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Karakteristik Pasien DM pada Skrining TB (n = 567)


Karakteristik n (%)
Umur, median tahun (range) 62 (19-90)
Laki-laki 272 (48.0)
Pendidikan
Tidak Sekolah & Tidak tamat SD 79 (13.9)
SD 152 (26.8)
SMP 65 (11.5)
SMA 165 (29.1)
PT 106 (18.7)
Pekerjaan
PNS, TNI/Polri, Pensiunan 192 (33.9)
Pegawai Swasta 23 (4.1)
Wiraswasta 79 (13.9)
Petani/Buruh 36 (6.3)
IRT dan lainnya 237 (41.8)
Jaminan Kesehatan
BPJS 403 (71.1)
JKBM (Asuransi Pemda Bali) 121 (21.3)
Asuransi Komersial 2 (0.4)
Tidak memiliki jamkesmas 41 (7.2)
Jarak ke layanan kesehatan rujukan dalam km 5 (1-55)
median (range) (n = 561)
Waktu tempuh ke layanan kesehatan rujukan dalam 20 (1-120)
menit, median (range) (n = 563)
Lama terdiagnosis DM dalam bulan median (range) 48 (0-588)
(n = 561)
Menolak mengikuti prosedur skrining TB 147 (26.0)
Alasan menolak diskrining TB* (n = 147)
Takut dan malu bila menderita TB 9 (6.1)
Tidak ada waktu 49 (33.3)
Biaya mahal 11 (7.5)
Tidak ada yang mengantar 37 (25)
Jarak pemeriksaan jauh 7 (4.8)
Lainnya (tidak merasa sakit, tidak ada keluhan 73 (49.7)
gejala TB)
* responden dapat menjawab lebih dari satu

Pasien DM pada program skrining TB di seluruh Puskesmas di Kota


Denpasar 48% nya adalah laki-laki dan median umur pasien adalah 62 tahun,
pasien termuda berumur 19 tahun dan yang paling tua berumur 90 tahun.
19

Sebagian besar pasien DM berpendidikan SMA (29.1%) dan jenis pekerjaan


terbanyak ada sebagai Ibu Rumah Tangga dan lainnya (41.8%). Hampir
semua pasien telah memiliki jaminan kesehatan (92.8%) dengan jaminan
kesehatan terbanyak adalah BPJS (71.1%). Jika dilihat dari jarak pasien ke
tempat pelayanan kesehatan rujukan rontgen RS Umum Wangaya dan RS
Tingkat II Udayana), median jarak tempuhnya adalah 5 km, dengan jarak
terdekat pasien ke pelayanan kesehatan rujukan adalah 1 km dan terjauh
adalah 55 km. Dilihat dari riwayat penyakit DM, median lama terdiagnosis DM
adalah 20 bulan.
Sebanyak 147 (26%) pasien menyatakan menolak dilakukan skrining
dengan alasan beragam. Pasien menyatakan menolak mengikuti skrining TB
karena malu dan takut bila menderita TB (6.1%), tidak ada waktu (33.3%)
dan yang paling banyak adalah lainnya yaitu tidak merasa sakit atau tidak ada
keluhan gejala TB.

3.2.2 Gambaran Gejala Klinis dan Faktor Risiko TB pada pasien DM

Pasien DM memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menderita TB.


Adapun gambaran mengenai gejala klinis TB pada pasien DM yang diperoleh
dari hasil wawancara gejala TB atau anamnesis oleh dokter dapat dilihat pada
tabel 2.
20

Tabel 2. Gejala dan Faktor Risiko TB pada Pasien DM (n = 567)


Gejala dan Faktor Risiko TB n (%)
Gejala TB*
Batuk berdahak > 1 minggu 98 (17.3)
Demam subfebris 62(10.9)
Keringat malam 91 (16.1)
Penurunan Berat Badan 164 (28.9)
Gejala TB extra paru 2 (0.4)
Sesak, nyeri saat menarik nafas, rasa berat di 90 (15.9)
satu sisi dada

Faktor Risiko TB pada Pasien DM


Sebelumnya pernah terdiagnosis TB 26 (4.6)
Keluarga serumah saat ini menderita TB 9 (1.6)
Anggota keluarga saat ini menderita TB* (n = 9)
Suami/Istri 4 (44.4)
Anak 1 (11.1)
Lainnya 4 (44.4)
Anggota keluarga menderita TB saat ini minum 7 (77.7)
obat (n = 9)
Keluarga yang pernah menderita TB 51 (8.9)
Anggota keluarga pernah menderita TB* (n =51)
Suami/Istri 11 (21.6)
Orang Tua 21 (41.2)
Anak 5 (9.8)
Lainnya 18 (0.7)
Kontak dengan pasien TB yang tidak tinggal 58 (10.2)
serumah
* responden dapat menjawab lebih dari satu

Pada pasien yang menyandang DM, 98 (17.3%) menunjukkan gejala


batuk berdahak dan atau batuk produktif lebih dari satu minggu. Gejala klinis
TB yang paling banyak ditemukan pada pasien DM adalah penurunan berat
badan (28.9%). Penurunan berat badan paling dominan mungkin karena
terkait dengan penyakit DM yang dideritanya.

Terkait faktor risiko TB pada pasien DM, 26 (4.6%) pasien menyatakan


sebelumnya pernah terdiagnosis TB dan sudah dinyatakan sembuh.
Sebanyak 9 (1.6 %) pasien menyatakan anggota keluarga serumah saat ini
menderita TB dan 7 dari 9 (77.7%) saat ini sedang minum obat. Dari pasien
dengan anggota keluarga menderita TB, 44.4% nya menyatakan
suami/istrinya saat ini sedang menderita TB. Sebanyak 8.9% pasien
menyatakan keluarganya pernah menderita TB dan 10.2% menyatakan
21

pernah kontak dengan pasien TB yang tidak tinggal serumah. Bias informasi
pada pernyataan ini mungkin saja terjadi karena pasien harus mengingat
kembali apa yang pernah terjadi padanya di masa lalu, terlebih lagi pasien
sebagian besar adalah usia lanjut.

3.2.3 Partisipasi Pasien DM berdasarkan Pentahapan Skrining TB


sesuai Algoritma TB-DM yang telah dikembangkan

Jumlah pasien berdasarkan pentahapan skrining jumlah pasien


berdasarkan pentahapannya sesuai dengan algoritma pemeriksaan dan
diagnosis TB-DM yang sudah dikembangkan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 3.1 Partisipasi Pasien DM pada Skrining


22

Pelaksaanan skrining ini dilakukan secara alamiah, apa adanya dan


tanpa paksaan dari pihak manapun dengan tujuan untuk melihat bagaimana
implementasi dan kendala sebenarnya dari penerapan skrining TB pada
pasien DM dengan menggunakan pedoman algoritma yang sudah
dikembangkan. Dari gambar alur terlihat bahwa tidak semua pasien
menuntaskan keseluruhan prosedur skrining TB, ada sejumlah pasien yang
menarik diri di tahap pemeriksaan tertentu. Dari 65 pasien yang memiliki
gejala khas TB yaitu batuk berdahak lebih dari 1 minggu, hanya 29 yang
mengikuti pemeriksaan dahak, 15 orang yang seharusnya periksa BTA
langsung melakukan pemeriksaan rontgen dan kemudian tidak melakukan
pemeriksaan BTA, sedangkan 21 orang tidak melakukan pemeriksaan sama
sekali. Pada pasien yang memiliki gejala TB lain atau tanpa gejala, hanya 233
yang berhasil dirujuk untuk pemeriksaan rontgen, 3 orangnya melakukan
pemeriksaan BTA langsung tanpa pemeriksaan rontgen, sedangkan 266
orang tidak melakukan pemeriksaan sama sekali. Jumlah pasien pada tahap
selanjutnya dapat dilihat pada gambar 1.

Secara umum partisipasi pasien DM dibagi dalam tiga kategori yaitu


mengikuti keseluruhan prosedur skrining TB sesuai algoritma yaitu mengikuti
pemeriksaan BTA dan rontgen, mengikuti sebagian prosedur skrining TB
yaitu mengikuti salah satu pemeriksaan BTA atau rontgen dan tidak mengikuti
pemeriksaan sama sekali baik itu pemeriksaan BTA atau rontgen. Adapun
proporsi partisipasi pasien DM dalam skrining TB dapat dilihat pada tabel 3
berikut.

Tabel 3. Partisipasi Pasien DM dalam Skrining TB (n = 567)


Partisipasi n (%)
Mengikuti pemeriksaan rontgen dan dahak 160 (28.2)
Mengikuti salah satu pemeriksaan 120 (21.2)
Tidak mengikuti pemeriksaan sama sekali 287(50.6)

Hanya sebanyak 160 (28.8%) pasien yang mengikuti prosedur lengkap


skrining TB sesuai dengan algoritma. Sebagian besar pasien tidak mengikuti
pemeriksaan sama sekali setelah diwawancara gejala TB oleh dokter.
23

Karakteristik Sosiodemografi Subjek

Gambaran Karakteristik Sosiodemografi Subjek berdasarkan


Partisipasi Pasien DM pada Skrining TB terdapat pada tabel 4 berikut.

Tabel 4. Gambaran Karakteristik Sosiodemografi Subjek berdasarkan


Partisipasi Pasien DM pada Skrining TB.
Partisipasi
Mengikuti Mengikuti Tidak
Karakteristik Keseluruhan Sebagian Mengikuti
(n= 160) (n = 120) (n = 287)
(n,%) (n,%) (n,%)
Umur, median tahun (range) 63 (40-80) 61 (35-90) 61 (19-83)

Laki-laki 88 (55.0) 58 (48.3) 126 (43.9)


Pendidikan
Tidak Sekolah & Tidak tamat SD 19 (11.9) 13 (10.8) 47 (16.4)
SD 30 (18.8) 36 (30) 86 (29.9)
SMP 13 (8.1) 16 (13.3) 36 (12.5)
SMA 56 (35.0) 38 (31.7) 71 (24.7)
PT 42 (26.2) 17 (14.2) 47 (16.4)
Pekerjaan
PNS, TNI/Polri, Pensiunan 75 (46.9) 45 (37.5) 72 (25.1)
Pegawai Swasta 3 (1.9) 4 (3.3) 16 (5.6)
Wiraswasta 21 (13.1) 13 (10.8) 45 (15.7)
Petani/Buruh 6 (3.8) 5 (4.2) 25 (8.7)
IRT dan lainnya 55 (34.3) 53 (44.2) 129 (44.9)
Jaminan Kesehatan
BPJS 130 (81.3) 93 (77.5) 180 (62.7)
JKBM (Asuransi Pemda Bali) 28 (17.5) 21 (17.5) 72 (25.1)
Asuransi Komersial 1 (0.6) 0 (0.0) 1 (0.3)
Tidak memiliki jaminan 1 (0.6) 6 (5) 34 (11.9)

Jarak ke layanan kesehatan rujukan (n =159) (n = 119) (n = 283)


dalam km, median (range) 4 (1-55) 5 (1-30) 6 (1-35)

Waktu tempuh ke layanan kesehatan (n = 159) (n = 120) (n = 284)


rujukan, menit, median (range) 15 (2-120) 15 (2-45) 20 (1-90)

Lama terdiagnosis DM, median bulan (n = 159) (n = 118) (n = 284)


(range) 60 (1-337) 60 (0-420) 48 (0-588)

Jarak dan waktu tempuh ke pelayanan kesehatan rujukan rontgen


berbeda diantara ketiga kelompok, dimana pasien yang mengikuti
keseluruhan proses skrining memiliki jarak yang lebih dekat dan waktu
tempuh yang lebih singkat ke tempat rujukan dibandingkan dengan pasien
yang mengikuti sebagian atau tidak mengikuti pemeriksaan sama sekali.
Median jarak ke tempat rujukan rontgen pada pasien yang mengikuti
24

keseluruhan adalah 4 km, sedangankan median jarak pada pasien yang ikut
sebagian maupun tidak ikut pemeriksaan sama sekali masing-masing adalah
sebesar 5 dan 6 km. Waktu tempuh ke layanan kesehatan rontgen juga lebih
singkat pada pasien yang mengikuti keseluruhan proses skrining, dengan
median waktu tempuh 15 menit sedangkan pada yang tidak mengikuti waktu
tempuhnya 20 menit.

Ha ini juga sesuai dengan hasil wawancara mendalam kepada pasien


dimana baik pada pasien yang lengkap, tidak lengkap maupun yang menolak
melakukan skrining jarak merupakan salah satu kendala penting dalam
skrining ini. Hal ini karena rata-rata rumah mereka jauh dari rumah sakit
rujukan. Biaya transportasi juga menjadi pertimbangan untuk tidak mengikuti
skrining TB dan diperkuat dengan usia yang sudah tua dan tidak adanya yang
mengantar menyebabkan responden banyak menolak melakukan skrining.
Sehingga apabila fasilitas rontgen dan dahak tersebut ada di setiap
puskesmas, faktor jarak kemungkinan tidak menjadi kendala lag bagi pasien

Partisipasi Skrining TB berdasarkan Gejala TB yang Dikeluhkan Pasien


DM

Gejala TB diperoleh dengan menanyakan pasien pada saat


pemeriksaan oleh dokter adanya gejala TB yang khas dan gejala TB yang
lain. Gambaran gejala TB berdasarkan partisipasinya dalam skrining dapat
dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Gambaran Gejala TB berdasarkan Partisipasi Pasien pada Skrining TB

Partisipasi
Mengikuti Mengikuti Tidak
Gejala TB
Keseluruhan Sebagian Mengikuti
(n = 160) (n = 120) (n = 287)
(n,%) (n,%) (n,%)
Gejala TB*
Batuk berdahak > 1 minggu 23 (14.4) 42 (35) 33(11.5)
Deman subfebris 21 (17.5) 8 (5) 33 (11.5)
Keringat malam tanpa disertai 19 (11.9) 31 (25.8) 41 (14.3)
aktifitas
Penurunan Berat Badan 16 (10) 57 (47.5) 91 (31.7)
Gejala TB extra paru 1 (0.8) 1 (0.6) 0 (0)
Sesak, nyeri saat menarik nafas, 17 (10.6) 35(29.2) 38 (13.2)
rasa berat di satu sisi dada
25

Pada pasien yang mengikuti keseluruhan proses skrining, gejala yg


dominan muncul adalah demam subfebris (17.5%), sedangkan pada yg
mengikuti sebagian dan tidak mengikuti adalah penurunan berat badan.
Gejala TB berupa penurunan berat badan merupakan gejala yang paling
banyak muncul dari pasien DM. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh DM
yang dideritanya. Pada yg mengikuti sebagian dan tidak mengikuti
pemeriksaan, batuk berdahak > 1 minggu juga banyak muncul, ini
sebenarnya dapat menjadi potensi untuk ditemukan kasus dan
pemeriksaannya.

Partisipasi Skrining TB berdasarkan Faktor Risiko TB pada Pasien DM

Pasien DM yang diskrining TB juga ditanyakan tentang kemungkinan


faktor-faktor risiko yang dialami oleh pasien DM. Selengapnya dapat dilihat
pada tabel 6 berikut.
Tabel 6. Partisipasi Skrining TB pada pasien DM berdasarkan Faktor
Risiko TB
Partisipasi
Mengikuti Mengikuti Tidak
Faktor Risiko TB pada Pasien DM Keseluruhan Sebagian Mengikuti
(n = 160) (n = 120) (n = 287)
(n,%) (n,%) (n,%)
Faktor Risiko TB pada Pasien DM
Sebelumnya pernah terdiagnosis 8 (30.8) 5 (19.2) 13 (50)
TB
Keluarga serumah saat ini 3 (33.3) 5 (55.6) 1 (11.1)
menderita TB (n = 9)
Keluarga yang pernah menderita 14 (27.5) 18 (35.3) 19 (37.3)
TB
(n = 51)
Kontak dengan pasien TB yang 10 (17.2) 17 (29.3) 31 (53.5)
tidak tinggal serumah (n = 58)
 
Pasien DM yang menyatakan sebelumnya pernah terdiagnosis TB
adalah sebanyak 26 orang, dimana 8 (30.8%) orangnya kemudian mengikuti
keseluruhan proses skrining, namun 50% nya tidak mengikuti pemeriksaan
sama sekali. Hasil ini memungkinkan untuk terjadi bias informasi, karena
faktor risiko didapat dari hasil wawancara dengan pasien DM yang sebagian
besar berusia lanjut.
26

 
3.2.4 Penemuan Kasus TB dalam Pelaksanaan Skrining TB pada
Pasien DM

Dari pelaksanaan skrining ini didapatkan 2 temuan kasus TB


terkonfirmasi bakteriologis. Hasil lainnya kemudian dimasukkan kedalam
beberapa spektrum TB berdasarkan pedoman TB nasional. Adapun klasifikasi
TB yang diperoleh dari skrining pada 567 pasien DM adalah sebagai berikut
(tabel 7).
Tabel 7. Spektrum TB pada Pasien DM yang diskrining TB (n =567)
Spektrum TB* n (%)
Tidak TB 11 (1.9)
Terduga TB 292 (51.5)
TB terdiagnosis Klinis 26 (4.6)
TB terkonfirmasi bakteriologis 2 (0.4)
Tidak diketahui 236 (41.6)
Spektrum TB : a. tidak TB (tidak ada gejala, dirontgen dan diperiksa dahak hasilnya negatif); b. Terduga
TB (memiliki gejala klinis mendukung TB) atau hasil rontgen abnormal suggestive TB; c. TB
Terdiagnosis Klinis (ada gejala klinis mendukung TB dan hasil rontgen abnormal suggestive TB); d. TB
Terkonfirmasi bakteriologis (ada gejala klinis mendukung TB dan hasil BTA); e. tidak diketahui (tidak
ada gejala TB, tidak rontgen dan atau tidak periksa dahak mikroskopis).
 
Dari pasien dengan TB terkonfirmasi bateriologis, karakteristik, gejala dan
faktor risiko TB adalah sebagai berikut :

a. 1 orang dari diagnosis ada gejala TB batuk berdahak dan batuk lama,
hasil periksa BTA (+) dan hasil rontgen (+), umur 49 tahun, laki-laki, lama
menyandang DM 120 bulan, tidak pernah terdiagnosis TB sebelumnya,
tidak memiliki anggota keluarga yg saat ini TB, keluarga tidak pernah
menderita TB dan tidak pernah kontak dengan pasien TB.

1 orang dari diagnosis ada gejala batuk berdahak, batuk berdarah, batuk
lama dan hasil periksa BTA sewaktu (+), umur 66 tahun, laki-laki, lama
menyandang DM 277 bulan, tidak pernah terdiagnosis TB sebelumnya, tidak
memiliki anggota keluarga yg saat ini TB, keluarga tidak pernah menderita
TB dan tidak pernah kontak dengan pasien TB

 
27

3.3 Kendala pelaksanaan skrining TB pada pasien DM

Pada pelaksanaan skrining ini, banyak pasien yang lost to follow up atau
mundur dari skrining hampir di setiap tahapan. Rendahnya tingkat partisipasi
pasien dapat disebabkan oleh beberapa kendala baik itu yang ada pada diri
pasien maupun petugas kesehatan dan sistem kesehatan yang ada.

3.3.1 Kendala dari Perspektif Pasien

Kendala pelaksanaan skrining dari perspektif pasien diantaranya adalah


alur rujukan yang lama, tidak ada yang mengantar dan biaya khususnya bagi
pasien yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Pasien juga menyatakan tidak
melakukan pemeriksaan karena terkendala waktu, kesibukan dan tidak tahu
prosedur yang lengkap. Tidak ada waktu dan kesibukan dapat menunjukkan
suatu prioritas dari pasien bahwa skrining TB bukan sesuatu yang penting
dan harus sesegera mungkin ditindaklanjuti. Hal ini juga didukung dengan
alasan dari sebagian besar pasien yang menolak rontgen yaitu karena
merasa belum perlu, tidak merasa sakit dan tidak ada keluhan atau gejala TB.

Alasan tersebut bisa saja muncul karena faktor pengetahuan dan


persepsi masyarakat mengenai TB-DM yang sebagian besar masih rendah.
Sebesar, 76.2% pasien DM memiliki pengetahuan yang masing kurang
tentang TB-DM. Pengetahuan yang masih kurang terutama pada
pengetahuan bahwa penyandang DM memiliki kemungkinan yang lebih besar
menderita TB dan penyandang DM yang menderita TB akan mempengaruhi
keberhasilan pengobatan DM, dimana hanya masing-masing 35.5% dan
30.5% pasien yang mengetahui dengan benar penyataan tersebut. Selain itu,
hanya sedikit yang mengetahui bahwa penderita DM yang juga menderita TB
membutuhkan pengobatan DM dan TB. Tabel 7 menunjukkan pengetahuan
pasien tentang TB-DM.
28

Tabel 7. Pengetahuan pasien DM tentang Komorbiditas TB-DM


Pasien mengetahui bahwa n (%)
Penyakit TB disebabkan oleh bakteri/kuman 291 (51.3)
Penyakit TB adalah penyakit menular 413 (72.8)
Penyakit TB ditularkan melalui percikan dahak 389 (68.6)
Penyakit TB dapat disembuhkan 244 (43)
Penderita TB minimal minum obat 6 bulan 120 (21.2)
Penyakit TB bisa dicegah dengan imunisasi 212 (37.4)
Batuk lama dan berdahak merupakan gejala TB 381 (67.2)
Menutup mulut/hidung saat batuk dan bersin dapat 292 (69.1)
mencegah penularan TB
Pemeriksaan TB dilakukan dengan pemeriksaan dahak 313 (55.2)
Pemeriksaan Rontgen dapat membantu menentukan 315 (55.6)
adanya kelainan akibat TB
Penyandang DM memiliki kemungkinan yang lebih besar 201 (35.5)
menderita TB
Penyandang DM yang menderita TB akan 173 (30.5)
mempengaruhi keberhasilan pengobatan DM
Penderita DM yang juga menderita TB membutuhkan 81 (14.3)
pengobatan gabungan DM dan TB
Penderita TB harus diperiksa kemungkinan DM 207 (36.5)
Penderita DM harus diperiksa kemungkinan menderita 238 (41.9)
TB
Pengetahuan keseluruhan tentang TB-DM
Baik 135 (23.8)
Kurang 432 (76.2)

Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang dilakukan kepada pasien


juga menunjukkan sebagian besar pasien belum mengetahui tentang risiko
terkena TB pada penyandang DM. Hanya sebagian kecil yang tahu dari
petugas pada saat program prolanis, namun belum pernah diperiksa karena
tidak merasa sakit atau tidak merasakan gejala-gejala TB yang ditanyakan.

Disamping pengetahuan, persepsi yang masih rendah (60.5%) pada


masyarakat juga dapat menjadi faktor pasien menolak melaksanakan
pemeriksaan. Banyak pasien yang tidak setuju bahwa penyandang DM
memiliki kemungkinan yang lebih besar menderita TB. Selain itu, hanya
sebagain kecil yang menyatakan bahwa jarak ke tempat pemeriksaan rontgen
bukan menjadi masalah bila pasien yang bersangkutan dirujuk untuk
melakukan pemeriksaan rontgen (36.7). Persepsi pasien terhadap TB-DM
dapat dilihat pada tabel 8.
29

Tabel 8. Persepsi pasien mengenai TB-DM, Skrining dan Terapi TB-DM


Persepsi Pasien Setuju n (%)
Penyandang DM lebih berisiko untuk menderita TB 248 (43.7)
Penyandang DM yang menderita TB berpeluang 344 (60.7)
menularkan TB pada orang sekitarnya
Dengan melakukan pemeriksaan rontgen maka 346 (61.0)
penyandang DM bisa mengetahui kemungkinan
menderita TB
Pemeriksaan dahak meningkatkan kepastian penyakit TB 342 (60.3)
Dengan menjalankan semua prosedur pemeriksaan TB 411 (72.5)
akan bermanfaat untuk kesehatan penyandang DM
Semakin dini mendapatkan pengobatan TB maka akan 427 (75.3)
semakin baik untuk penyakit DM dan TB yang diderita
Jika menderita TB tidak akan dikucilkan dan dijauhi oleh 347 (61.2)
keluarga atau teman
Jika dirujuk untuk pemeriksaan rontgen, maka jarak ke 208 (36.7)
tempat rontgen tidak menjadi masalah
Biaya pemeriksaan rontgen tidak akan memberatkan 294 (51.8)
Pemeriksaan rontgen membuat saya tidak malas 343 (60.5)
memeriksaan diri
Jika menderita TB maka pengobatan TB 6 bulan tidak 295 (52.0)
akan memberatkan
Jika menderita TB maka saya akan melakukan 372 (65.6)
pengobatan 6 bulan dengan teratur
Keluarga tidak akan melarang saya melakukan 378 (66.7)
pemeriksaaan TB
Jika menderita TB, maka keluarga akan mendukung 407 (71.8)
pengobatan DM dan TB yang anda derita
Jika menderita TB maka keluarga akan mengingatkan 408 (72.0)
untuk minum obat
Persepsi Pasien DM keseluruhan
Baik 224 (39.5)
Kurang 343 (60.5)

Hal ini juga sesuai dengan hasil wawancara mendalam dan FGD
kepada pasien DM diaman mereka memang tidak memiliki dan memahami
dengan baik risiko penyakit TB pada penyakit yang sedang mereka sandang
yaitu DM. Walupun mereka telah diberikan penjelasan oleh petugas
puskesmas pada saat awal sebelum pelaksanaan skrining. Disamping itu
sebgian besar responden merasa tidak merasa memiliki masalah atau gejala-
gejala TB seperti yang disampaikan oleh petugas sehingga menolak untuk
30

melakukan skrining. Disamping itu sebagian responden juga berpendapat


bahwa dengan ketaatan mereka dalam menjalani terapi DM dan menjaga
kadar Gula maka kemungkinan untuk terjangkit TB menjadi kecil sehingga
skrining dianggap belum perlu. Pemahaman salah yang lain dari responden
adalah bahwa apabila tidak memiliki keturunan dan anggota keluarga atau
orang sekitar yang menderita TB, mereka percaya tidak akan terinfeksi TB.

Kendala lainnya yang menjadi perhatian adalah masih banyak pasien


(78.7%) yang belum mendapatkan informasi lengkap dari petugas kesehatan
tentang skrining TB pada pasien DM. Informasi petugas kesehatan tentang
skrining TB-DM pada pasien dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9. Informasi dari Petugas Kesehatan tentang skrining TB pada Pasien


DM (n = 567)
Informasi dari Petugas Kesehatan Tentang n (%)
Risiko TB pada pasien DM 334 (58.9)
Pemeriksaan TB pada pasien DM 380 (67.0)
Tahapan pemeriksaan TB 287 (50.6)
Fasilitas pemeriksaan TB 421 (74.3)
Proses rujukan pemeriksaan rontgen 330 (58.2)
Hasil rontgen harus dibawa kembali ke puskesmas 332 (58.6)
Penjelasan Pemeriksaan dahak sebagai tahap lanjutan 197 (34.7)
pemeriksaan rontgen
Lama pengobatan TB 162 (28.6)
Informasi Petugas Kesehatan secara keseluruhan
Lengkap 121 (21.3)
Kurang 446 (78.7)

Informasi dari tenaga kesehatan dikatakan lengkap apabila semua


komponen informasi yang diberikan dijawab “YA” oleh responden, bila salah
satu tidak, maka informasi yang diberikan oleh pertugas kesehatan kurang.
Secara keseluruhan, hanya sebesar 21.3 % responden yang mendapatkan
informasi yang lengkap dari petugas kesehatan mengenai skrining TB pada
pasien DM. Informasi yang masih kurang disampaikan dari petugas
kesehatan kepada pasien adalah tentang penjelasan lama pengobatan TB
dan pemeriksaan dahak sebagai tahap lanjut dari skrining TB.

Berdasarkan wawancara mendalam dan FGD juga mendapatkan


bahwa sebagian besar pasien DM tidak mengikuti program skrining TB juga
disebabkan ketiadaan informasi dari petugas kesehatan tentang resiko TB
31

pada pasien DM, dan kurang lengkapnya informasi tentang prosedur skrining
dari petugas seperti misalnya setelah foto rontgen pasien harus
memeriksakan dahak ke puskesmas namun dari pengakuan pasien tidak
diberi informasi oleh petugas. Sehingga apabila informasi pelaksanaan
skrining ini diberikan dengan jelas dan lengkap, responden menyatakan
bersedia mengikuti.

3.3.2 Kendala dari Perspektif Petugas Kesehatan

Persepsi stakeholder terhadap program kolaborasi TB-DM yang


menggunakan algoritma konsensus TB DM dari Kementerian Kesehatan
diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dan diskusi kelompok
terarah. Stakeholder yang diwawancarai dan diajak diskusi terdiri dari dokter
pelaksana di puskesmas, kepala puskesmas se-Kota Denpasar, Kepala
Bidang Penanggulanagn Penyakit Dinas Kesehatan Kota Denpasar, Manajer
Pelayanan Kesehatan Primer BPJS Kesehatan Kota Denpasar, dan dari
Bidang Rujukan BPJS Kesehatan Divisi Regional XI. Hasil wawancara dan
FGD dirangkum dan ditranskrip serta dilakukan analisis isi sesuai dengan
tabel 10 berikut.

Tabel 10. Koding Hasil Wawancara dan FGD Persepsi Stakeholder


terhadap Program Kolaborasi TB DM

Koding Sub Kategori Kategori


Jenis pembiayaan Kendala Pelaksanaan Persepsi Terhadap
Skrining Program Kolaborasi TB-
Pemahaman prosedur DM
Kompetensi SDM
Puskesmas
Sarana dan Prasarana
Alur rujukan

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dan diskusi kelompok


terarah, sebagian besar responden belum mendapatkan sosialisasi
sebelumnya dari pihak dinas tentang program kolaborasi ini. Disamping itu
belum ada form TB DM di Puskesmas dan tidak ada laporan ke Dinas
32

Kesehatan apabila ada pasien DM yang juga mengidap TB. Disamping itu
perlu dilihat juga bagaimana kepatuhan pasien juga karena berdasarkan
pengalaman, TB tanpa DM saja kepatuhannya sangat rendah apalagi
ditambah dengan DM yang juga memerlukan pengobatan lama dan dengan
berbagai komplikasinya.

Dalam pelaksanaan program kolaborasi TB DM terdapat beberapa hal


yang menurut responden menjadi kendala dan juga peluang untuk
keberlangsungan program ke depan. Kendala ditemukan pada hampir setiap
tahapan pelaksanaan mulai dari tahap sebelum skrining, pada saat skrining
dan juga setelah skrining. Sehingga kemudian juga diusulkan beberapa hal
untuk menjamin kesinambungan program kolaborasi ini ke depan.

Pada tahap sebelum skrining, pasien dengan cara bayar BPJS apabila
dimasukkan langsung ke program skrining ini akan menyebabkan rasio
rujukan di Puskesmas sangat tinggi dan mencolok. Sehingga pihak
Puskesmas dan juga pihak BPJS Kesehatan menyatakan bahwa untuk
pelaksanaan skrining TB pada pasien DM yang menggunakan BPJS,
hendaknya jangan langsung dirujuk untuk rontgen namun dibuat senatural
mungkin yaitu pasien DM yang dirujuk rontgen adalah pasien DM yang sudah
3 bulan mengikuti program rujuk balik di FKTP atau Puskesmas dan memang
jadwalnya akan kontrol kembali ke RS sehingga rasio rujukan tidak terlalu
tinggi. Namun, responden juga mengatakan pasien DM yang menggunakan
BPJS boleh saja dirujuk sebelum 3 bulan apabila selama pengobatan ada
keluhan atau komplikasi sehingga segera harus dirujuk ke RS. Hal ini sesuai
dengan kutipan wawancara mendalam dan FGD berikut ini:

“..DM kan masuk penyakit kronis ya, jadi penyakit kronis kita
punya program prolanis dan juga rujuk balik itu, nantinya pasien
kronis termasuk DM ini kalau stabil itu kontrolnya cukup di FKTP
saja, nah..setelah 3 bulanan dia baru bisa kontrol ke RS…” (R.25)
“…eee kalau semua pasien DM itu dirujuk nantinya untuk
rontgen..nanti saat laporan bulanan pasien BPJS kami ini tentu
rasio rujukannya jadi tinggi ya, nah nanti kami ditegur itu oleh
BPJS…”
Kendala ini juga disampaikan oleh sistem pembiayaan yang lainnya
yaitu pasien DM yang menggunakan sistem pembiayaan jaminan kesehatan
33

milik provinsi Bali yaitu JKBM (Jaminan Kesehatan Bali Mandara).


Responden menyatakan bahwa untuk pasien DM yang menggunakan JKBM
juga harus dibuat senatural mungkin untuk menghindari juga besarnya rasio
rujukan nantinya.

Sedangkan hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan skrining


cukup beragam baik pada saat pasien di Puskesmas maupun di RS. Menurut
sebagian besar responden komunikasi informasi dan informasi menjadi hal
yang perlu mendapat perhatian karena kasus TB masih menjadi stigma di
masyarakat sehingga ada beberapa pasien yang dirujuk ke RS menolak di
lakukan foto terutama dari pasien DM yang tidak menunjukkan gejala khas
TB. Sedangkan apabila pasien ini pasien umum mereka biasanya menolak
untuk dirontgen dengan alasan biaya pemeriksaan di rumah sakit. Sehingga
responden juga mengusulkan bila perlu disediakan khusus petugas konseling
khusus untuk KIE pasien terutama yang sama sekali tidak menunjukkan
gejala TB seperti klinik VCT pada TB-HIV. Hal ini ditunjukkan dengan kutipan
pernyataan responden yaitu:

“…kalau memang ini kan tanpa gejala, itukan disuruh melakukan


pemeriksaan rontgen, inilah yang menjadi kendala di kami, jadi
kan dia merasa tidak sakit malahan kita sudah memberikan
pemahaman bahwa sebetulnya kemungkinan pasien DM ini
karena daya tahan tubuh kelemahan itu mempengaruhi
terjadinya proses TB, tetapi karena dia tidak mengeluh tidak ada
gejala yang dirasakan mungkin batuk juga nggak, keringat
malam juga tidak, berat badannya ga turun, kemudian tidak ada
gejala lain yang mengarah ke TB itu, kemudian kita
sarankanuntuk melakukan suatu eee.. kegiatan misalnya harus
dilakukan rontgen dan sebagainya, tentu ini berat bagi kami
untuk memberikan eee.. bagaimana ..ee.. pengertian yang
cukup bahwa dia itu memang perlu di rontgen, nah itu yang
menjadi kendala sebetulnya…” (R.04)
Kendala yang cukup signifikan menurut responden di Puskesmas
adalah pada pemeriksaan dahak mikroskopis. karena kebijakan dinas bahwa
PRM hanya ada dua di kota Denpasar maka pemeriksaan mikroskopis
menjadi lama. Efektivitas program menjadi kurang karena pasien harus bolak-
balik RS dan puskesmas untuk rontgen dan ini juga meningkatkan risiko
pasien menjadi tidak patuh dan menjadi lost to follow-up. Sehingga agar
efektif mungkin bisa diupayakan juga di puskesmas tersedia rontgen.
34

“...Kalau mau cepet ya kalau bisa untuk periksa dahak ya bisa ada di
setiap puskesmas ya, pasien saya ada yang habis rontgen trus disuruh
periksa dahak ke puskesmas denut I dan densel I katanya kejauhan,
saya ga tahu akhirnya dia kesana atau tidak..” (R.05)

Untuk di rumah sakit, ada beberapa hal yang menjadi hambatan dalam
pelaksanaan skrining ini. Beberapa responden mengeluhkan tentang kode
rujukan yang agak kecil dan kurang jelas sehingga perlu dibesarkan dan
diperjelas seseuai dengan kesepakatan sebelumnya. Sebagian responden di
rumah sakit juga melihat banyak pasien yang mengeluhkan lamanya alur
rujukan rontgen untuk program skrining ini. Kalau memungkinkan responden
merekomendasikan agar dibedakan alurnya sehingga pasien mau dirujuk
untuk rontgen sehingga pada pelaksanaanya di RS, pasien tidak perlu
menunggu lama untuk rontgen saja dan ikut mengantri dengan pasien lain.
Selain itu responden juga melihat agar program ini menjadi lebih efektif,
disarankan yaitu apabila di RS sudah dirontgen dan dibaca oleh spesialis
radiologi sebaiknya langsung dikembalikan ke Puskesmas dan tidak usah
dirujuk ke poliklinik paru lagi karena di Puskesmas, diagnosis juga bisa
ditegakkan oleh dokter yang terpapar program DOTS. Hal ini sesuai dengan
pernyataan responden sebagai berikut:

“..selama ini bagi saya sih baik aja ya tapi saya rasa pasien agak
keberatan juga ya karena harus ngantri lama, kan gabung dengan
pasien lain yang juga mau rontgen, mungkin aja dari mereka ada yang
ga betah ya mungkin saja pulang, lagian kalau habis rontgen mereka
balik ke poli trus ngantri lagi, ya pasti membosankan bagi mereka..”

Permasalahan lain yang muncul di RS adalah masalah pembiayaan


yaitu sebagian responden mengatakan bahwa adanya perbedaan tarif yang
cukup besar antara tarif yang ditanggung BPJS untuk pemeriksaan rontgen
dengan tarif yang ada di RS. Hal ini akan memberikan dampak yang
signifikan terhadap kesinambungan program ini karena ke depannya seluruh
masyarakat akan ditanggung oleh program JKN dan mereka yakin
permasalahan ini akan dijumpai di beberapa RS di Indonesia. Sehingga perlu
upaya khusus menangani masalah ini terutama bagaimana meningkatkan
tarif ini ke depan. Hal ini sesuai dengan pernyataan responden berikut ini:
35

“..begini ya, kalau program ini terus dilakukan, kami terus terang agak
keberatan karena kami kan sekarang beli alat rontgen baru, nah tarif
rontgen dari pasien DM BPJS ini yang dirujuk rontgen kan jauh sekali
dibawah tarif kami, ya kalau terus dilakukan ya kerugian rumah sakit
kami menjadi pertimbangan ya..”
Terdapat beberapa hal juga yang menjadi perhatian responden setelah
pelaksanaan program skrining ini. Responden berpendapat program
kolaborasi ini setidaknya melibatkan beberapa stakeholder seperti pihak
puskesmas, RS, dinas dan juga BPJS sehingga perlu koordinasi yang jelas
dan dilakukan secara berkala. Beberapa responden juga melihat pentingnya
pencatatan dan pelaporan serta setelah algoritma hasil konsensus ini perlu
dibuatkan pula petunjuk teknis dan SOP bagaimana teknisnya di lapangan
sehingga menjadi pedoman baku nasional.

Disamping itu responden juga berpendapat bahwa apabila program


kolaborasi ini mau tetap diimplementasikan ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan seperti pertimbangan biaya dimana nantinya program JKN
sepertinya solusi yang baik untuk itu. Selain itu mungkin perlu juga dipikirkan
tentang cara pengobatan atau kombinasi obat yang tepat untuk pasien DM
yang terdiagnosis TB sehingga kepatuhan mereka minum obat terhadap dua
jenis penyakit ini menjadi meningkat. Koordinasi juga perlu terus dilakukan
atau ada evaluasi terhadap pelaksanaan program kolaborasi ini yang
dilakukan secara berkala.

3.4 Dukungan Pelaksanaan Skrining TB pada Pasien DM

Wawancara dan FGD juga dilakukan kepada pasien dan stakeholder


untuk menggali potensi dan dukungan terhadap pelaksanaan skrining TB
pada pasien DM.

3.4.1 Dukungan dari Pasien

Dukungan dari pasien terhadap skrining TB pada pasien DM diperoleh


berdasarkan hasil wawancara dan FGD dirangkum dalam tabel koding berikut
ini.
36

Tabel 11. Koding Hasil Wawancara dan FGD Persepsi Pasien tentang
Dukungan terhadap Program Kolaborasi TB DM

Koding Sub Kategori Kategori


Jaminan pembiayaan Dukungan Pelaksanaan Persepsi Terhadap
Skrining Program Kolaborasi TB-
Manfaat kesehatan DM

Dari hasil wawancara mendalam dan diskusi kelompok pada responden


dapat dilihat bahwa faktor pendorong utama kesediaan responden melakukan
skrining TB adalah adanya jaminan pembiayaan oleh asuransi sehingga
mereka tidak perlu mengeluarkan biaya dari kantong sendiri. Hal ini
disebabkan karena sebagian besar pasien yang diskrining adalah pasien JKN
dan Jamkesda Bali (JKBM).

Beberapa responden juga mengapresiasi pelaksanaan skrining TB


dengan harapan dapat mengetahui kondisi kesehatan mereka penting untuk
mengetahui kemungkinan terjangkit TB mendorong responden bersedia
melakukan skrining. Serta sebagian responden dengan tingkat kegawatan
penyakit DM yang diderita dan keberadaan anggota keluarga yang pernah
menderita TB bahkan mendorong mereka mengikuti skrining hingga akhir.
Sehingga responden merekomendasikan pelaksanaan skrining dapat
dilakukan secara rutin bahkan tiap bulan untuk dapat mengetahui secara dini
terjangkitnya TB. Sedangkan sebagian kecil responden juga merasa prosedur
yang dijalani baik di puskesmas maupun di RS mudah dan tidak berbelit. Hal
ini sesuai dengan pernyataan pasien berikut ini (dicari ya)

Berdasarkan wawancara, beberapa responden sebenarnya mau


mengikuti prosedur skrining namun terpaksa tidak melakukan proses skrining
lebih lanjut dikarenakan tidak memperoleh penjelasan/anjuran untuk
melakukan tahap berikutnya dari proses skrining (R 04).

“enggak ada periksa dahak, cuma disuruh rontgen aja periksa paru-paru
aja. Coba di rontgen paru-parunya nanti kalo ada infeksi bisa
menyebabkan TBC”..kalau saya disuruh periksa dahak habis itu pasti
saya mau, kan takut juga..”
37

Percaya akan memperoleh manfaat berupa kesehatan dan kesembuhan


merupakan faktor utama responden bersedia melakukan skrining. Proses
pemeriksaan rontgen yang dirasa mudah tanpa mekanisme berbelit membuat
responden nyaman. Bagi peserta dengan jaminan kesehatan, tidak dikenakan
biaya merupakan faktor pendorong bersedianya responden mengikuti proses
skrining (3).

3.4.2 Dukungan dari Stakeholder

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dan FGD yang dilakukan


terhadap stakeholder, terdapat beberapa hal yang menunjukkan dukungan
yang diberikan stakeholder terhadap pelaksanaan skrining TB pada pasien
DM. Koding hasil wawancara dan FGD tentang dukungan ini dapat dilihat
pada tabel 12 berikut.

Tabel 12. Koding Hasil Wawancara dan FGD Persepsi Stakeholder


tentang Dukungan terhadap Program Kolaborasi TB DM

Koding Sub Kategori Kategori


Jaminan pembiayaan Dukungan Pelaksanaan Persepsi Terhadap
Skrining Program Kolaborasi TB-
Program Pemerintah DM
Urgensi Penyakit TB

Responden menyatakan bahwa pada dasarnya program kolaborasi ini


sudah diterapkan di puskesmas namun hanya pada pasien yang
menunjukkan gejala khas TB yaitu pada program penanggulangan penyakit
kronis (Prolanis) yang merupakan program dari JKN. Dimana pasien DM di
dalam Prolanis, pasien diberikan penyuluhan tentang komplikasi yang
mungkin pada DM termasuk TB. Menurut responden, kalau dibandingkan
dengan program TB-HIV, program kolaborasi TB-DM belum efektif
menemukan kasus apabila dibandingkan dengan TB-HIV.
38

Lebih jauh responden juga mengatakan bahwa program kolaborasi


dengan DM merupakan langkah yang bagus karena TB merupakan penyakit
opportunistik dimana akan berkembang menjadi penyakit pada penyandang
DM karena adanya penurunan daya tahan tubuh. Seingga SDM di
Puskesmas pada prinsipnya mendukung program kolaborasi TB-DM karena
program ini juga merupakan program pemerintah yang harus dijalankan
seperti program lainnya yang sudah diujicoba dan diterapkan. Namun untuk
implementasinya, responden juga sebagian besar merekomendasikan agar
petugas mendapat pelatihan TB DOTS yang berkala supaya bisa
mendiagnosis TB di Puskesmas sehingga dapat memotong birokrasi pasien
di rumah sakit. Hanya sebagian kecil yang merekomendasikan untuk
menambah tenaga yang khusus menangani program ini.

Terdapat beberapa hal juga yang menjadi perhatian responden setelah


pelaksanaan program skrining ini. Responden berpendapat program
kolaborasi ini setidaknya melibatkan beberapa stakeholder seperti pihak
puskesmas, RS, dinas dan juga BPJS sehingga perlu koordinasi yang jelas
dan dilakukan secara berkala. Beberapa responden juga melihat pentingnya
pencatatan dan pelaporan serta setelah algoritma hasil konsensus ini perlu
dibuatkan pula petunjuk teknis dan SOP bagaimana teknisnya di lapangan
sehingga menjadi pedoman baku nasional.

Disamping itu responden juga berpendapat bahwa apabila program


kolaborasi ini mau tetap diimplementasikan ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan seperti pertimbangan biaya dimana nantinya program JKN
sepertinya solusi yang baik untuk itu. Selain itu mungkin perlu juga dipikirkan
tentang cara pengobatan atau kombinasi obat yang tepat untuk pasien DM
yang terdiagnosis TB sehingga kepatuhan mereka minum obat terhadap dua
jenis penyakit ini menjadi meningkat. Koordinasi juga perlu terus dilakukan
atau ada evaluasi terhadap pelaksanaan program kolaborasi ini yang
dilakukan secara berkala. Namun sama seperti program skrining dan program
kesehatan lain yang diterapkan di Puskesmas, sebagian besar responden
berpendapat bahwa pada akhirnya program skrining TB pada pasien DM
akan bisa diterapkan.
39

PEMBAHASAN
*jangan repetitive

1 paragraf tentang hasil penelitian secara umum, rangkuman dari


hasil.
Berapa menolak dan sebagainya.

Apa hasil yang kita dapatka sinkron dengan penelitian lain tetang
skrining, kalo beda apa, jelaskan.

Apa rekomendasinya.

Keterbatasan penelitian
-­‐ tidak ada data baseline.
-­‐ Apa kelemahan,
-­‐ Dan what next, eksplorasi pada yang lost sebagian maupun yang
lost secara keseluruhan.
40

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Simpulan

1. Secara umum algoritma konsensus bisa diaplikasikan apabila


dilakukan modifikasi pada pelaksanaanya
2. Dari pasien yang mengikuti skrining TB, tingkat partisipasinya yaitu
28.2% berhasil mengikuti keseluruhan, 21.2% hanya mengikuti
sebagian prosedur skrining dan sisanya 50.6% tidak mengikuti
prosedur sama sekali.
3. Hasil penemuan kasus: 2 pasien (0.4%) dengan TB terkonfirmasi
bakteriologis dan 4.6% TB terdiagnosis klinis.
4. Kendala pada Program skrining yaitu kurangnya pemahaman pasien
dan petugas terhadap program, kurangnya sarana dan prasarana di
Puskesmas terutama sarana pemeriksaan dahak mikroskopis, jarak ke
RS rujukan (transportasi), pembiayaan bagi pasien umum dan
perbedaan tarif rontgen yang cukup besar antara tarif RS dengan tarif
BPJS.
5. Dukungan dan kesinambungan program skrining pada pasien DM yaitu
dukungan pembiayaan di masa depan dengan JKN (universal
coverage), komitmen petugas terkait (Puskesmas, RS, Dinkes) sangat
mendukung karena urgensi penyakit TB serta program ini merupakan
program pemerintah.

Rekomendasi
1. Program skrining TB pada pasien DM dengan menggunakan algoritma
dari konsensus nasional dapat terlaksana apabila dalam
implementasinya algoritma konsensus dikembangkan sehingga
bersifat lebih teknis dan mudah dijalankan.
2. Untuk mengurangi banyaknya pasien yang tidak lengkap mengikuti
prosedur maka sosialisasi program ini menjadi sangat penting pada
petugas terkait (dokter puskesmas, petugas lab, dr spesialis di RS)
sehingga dapat memberikan KIE lengkap pada pasien. Disamping itu
petugas terkait juga perlu pelatihan TB DOTS berkala sehingga
41

pemahaman petugas tetap terjaga serta kompetensinya meningkat dan


mampu mendiagnosis TB di Puskesmas.
3. Untuk meningkatkan penemuan kasus, hal ini juga berkaitan dengan
sarana diagnostik yang ada. Sehingga di masa depan diharapkan
tersedia sarana penetapan diagnosis yang meyakinkan disamping
pemeriksaan dahak mikroskopis yaitu misalnya GenXpert dan Kultur
4. Untuk solusi pembiayaan jangka panjang, pemerintah provinsi atau
kabupaten melalui Dinas Kesehatan masing-masing dengan
mengembangkan program preventif dan promotif JKN di FKTP berupa
pelayanan non-kapitasi. Namun dengan catatan, pemeriksaan rontgen
dapat juga dilakukan di FKTP.

Anda mungkin juga menyukai