Oleh :
1
2016
Cover laporan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif
Isi laporan
Kesimpulan
Saran
Rekomendasi
Daftar Pustaka
2
Kata Pengantar
3
1 BAB I
PENDAHULUAN
Sampai saat ini masih belum dilakukan secara rutin integrasi deteksi TB
pada penderita DM, walaupun beberapa uji coba skrining TB pada pasien DM
telah dilakukan di beberapa rumah sakit dan puskesmas di Indonesia.
Kementerian Kesehatan dan stakeholder terkait telah membahas konsensus
penanganan TB-DM yang didalamnya mencakup algoritma penapisan dan
diagnosis TB pada pasien DM di tingkat fasilitas kesehatan tingkat pertama
(FKTP) seperti pada gambar 1.1. Pada gambar 1.1 terlihat prosedur
penapisan dimana semua pasien DM dieksplorasi gejala TB dan diperiksa
rontgen yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan lanjutan sesuai
dengan prosedur diagnosis dan pengobatan TB nasional (Kementerian
Kesehatan, 2015).
1.3 MANFAAT
6
7
2.2 METODE
Komponen Kuantitatif
Sampel
Kriteria Inklusi:
Kriteria Eksklusi
Komponen Kualitatif
Data Kuantitatif
Kuesioner sudah diuji cobakan kepada anggota tim dan kolega untuk
melihat alur dan isi pertanyaan. Kemudian kuesioner juga sudah diuji cobakan
pada pasien DM di Puskesmas Kuta Utara yang tidak menjadi lokasi
penelitian. Dari hasil uji coba kuesioner dilakukan direvisi sedikit pada
pertanyaan pengetahuan sesuai dengan hasil uji coba.
Data Kualitatif
Data dikumpulkan pada saat pelaksanaan dan akhir uji coba skrining
untuk mengeksplorasi aksepabilitas, pendukung dan penghambat
pelaksanaan skrining.
FGD
Wawancara Mendalam
3 BAB III
HASIL PENELITIAN
pernah kontak dengan pasien TB yang tidak tinggal serumah. Bias informasi
pada pernyataan ini mungkin saja terjadi karena pasien harus mengingat
kembali apa yang pernah terjadi padanya di masa lalu, terlebih lagi pasien
sebagian besar adalah usia lanjut.
keseluruhan adalah 4 km, sedangankan median jarak pada pasien yang ikut
sebagian maupun tidak ikut pemeriksaan sama sekali masing-masing adalah
sebesar 5 dan 6 km. Waktu tempuh ke layanan kesehatan rontgen juga lebih
singkat pada pasien yang mengikuti keseluruhan proses skrining, dengan
median waktu tempuh 15 menit sedangkan pada yang tidak mengikuti waktu
tempuhnya 20 menit.
Partisipasi
Mengikuti Mengikuti Tidak
Gejala TB
Keseluruhan Sebagian Mengikuti
(n = 160) (n = 120) (n = 287)
(n,%) (n,%) (n,%)
Gejala TB*
Batuk berdahak > 1 minggu 23 (14.4) 42 (35) 33(11.5)
Deman subfebris 21 (17.5) 8 (5) 33 (11.5)
Keringat malam tanpa disertai 19 (11.9) 31 (25.8) 41 (14.3)
aktifitas
Penurunan Berat Badan 16 (10) 57 (47.5) 91 (31.7)
Gejala TB extra paru 1 (0.8) 1 (0.6) 0 (0)
Sesak, nyeri saat menarik nafas, 17 (10.6) 35(29.2) 38 (13.2)
rasa berat di satu sisi dada
25
3.2.4 Penemuan Kasus TB dalam Pelaksanaan Skrining TB pada
Pasien DM
a. 1 orang dari diagnosis ada gejala TB batuk berdahak dan batuk lama,
hasil periksa BTA (+) dan hasil rontgen (+), umur 49 tahun, laki-laki, lama
menyandang DM 120 bulan, tidak pernah terdiagnosis TB sebelumnya,
tidak memiliki anggota keluarga yg saat ini TB, keluarga tidak pernah
menderita TB dan tidak pernah kontak dengan pasien TB.
1 orang dari diagnosis ada gejala batuk berdahak, batuk berdarah, batuk
lama dan hasil periksa BTA sewaktu (+), umur 66 tahun, laki-laki, lama
menyandang DM 277 bulan, tidak pernah terdiagnosis TB sebelumnya, tidak
memiliki anggota keluarga yg saat ini TB, keluarga tidak pernah menderita
TB dan tidak pernah kontak dengan pasien TB
27
Pada pelaksanaan skrining ini, banyak pasien yang lost to follow up atau
mundur dari skrining hampir di setiap tahapan. Rendahnya tingkat partisipasi
pasien dapat disebabkan oleh beberapa kendala baik itu yang ada pada diri
pasien maupun petugas kesehatan dan sistem kesehatan yang ada.
Hal ini juga sesuai dengan hasil wawancara mendalam dan FGD
kepada pasien DM diaman mereka memang tidak memiliki dan memahami
dengan baik risiko penyakit TB pada penyakit yang sedang mereka sandang
yaitu DM. Walupun mereka telah diberikan penjelasan oleh petugas
puskesmas pada saat awal sebelum pelaksanaan skrining. Disamping itu
sebgian besar responden merasa tidak merasa memiliki masalah atau gejala-
gejala TB seperti yang disampaikan oleh petugas sehingga menolak untuk
30
pada pasien DM, dan kurang lengkapnya informasi tentang prosedur skrining
dari petugas seperti misalnya setelah foto rontgen pasien harus
memeriksakan dahak ke puskesmas namun dari pengakuan pasien tidak
diberi informasi oleh petugas. Sehingga apabila informasi pelaksanaan
skrining ini diberikan dengan jelas dan lengkap, responden menyatakan
bersedia mengikuti.
Kesehatan apabila ada pasien DM yang juga mengidap TB. Disamping itu
perlu dilihat juga bagaimana kepatuhan pasien juga karena berdasarkan
pengalaman, TB tanpa DM saja kepatuhannya sangat rendah apalagi
ditambah dengan DM yang juga memerlukan pengobatan lama dan dengan
berbagai komplikasinya.
Pada tahap sebelum skrining, pasien dengan cara bayar BPJS apabila
dimasukkan langsung ke program skrining ini akan menyebabkan rasio
rujukan di Puskesmas sangat tinggi dan mencolok. Sehingga pihak
Puskesmas dan juga pihak BPJS Kesehatan menyatakan bahwa untuk
pelaksanaan skrining TB pada pasien DM yang menggunakan BPJS,
hendaknya jangan langsung dirujuk untuk rontgen namun dibuat senatural
mungkin yaitu pasien DM yang dirujuk rontgen adalah pasien DM yang sudah
3 bulan mengikuti program rujuk balik di FKTP atau Puskesmas dan memang
jadwalnya akan kontrol kembali ke RS sehingga rasio rujukan tidak terlalu
tinggi. Namun, responden juga mengatakan pasien DM yang menggunakan
BPJS boleh saja dirujuk sebelum 3 bulan apabila selama pengobatan ada
keluhan atau komplikasi sehingga segera harus dirujuk ke RS. Hal ini sesuai
dengan kutipan wawancara mendalam dan FGD berikut ini:
“..DM kan masuk penyakit kronis ya, jadi penyakit kronis kita
punya program prolanis dan juga rujuk balik itu, nantinya pasien
kronis termasuk DM ini kalau stabil itu kontrolnya cukup di FKTP
saja, nah..setelah 3 bulanan dia baru bisa kontrol ke RS…” (R.25)
“…eee kalau semua pasien DM itu dirujuk nantinya untuk
rontgen..nanti saat laporan bulanan pasien BPJS kami ini tentu
rasio rujukannya jadi tinggi ya, nah nanti kami ditegur itu oleh
BPJS…”
Kendala ini juga disampaikan oleh sistem pembiayaan yang lainnya
yaitu pasien DM yang menggunakan sistem pembiayaan jaminan kesehatan
33
“...Kalau mau cepet ya kalau bisa untuk periksa dahak ya bisa ada di
setiap puskesmas ya, pasien saya ada yang habis rontgen trus disuruh
periksa dahak ke puskesmas denut I dan densel I katanya kejauhan,
saya ga tahu akhirnya dia kesana atau tidak..” (R.05)
Untuk di rumah sakit, ada beberapa hal yang menjadi hambatan dalam
pelaksanaan skrining ini. Beberapa responden mengeluhkan tentang kode
rujukan yang agak kecil dan kurang jelas sehingga perlu dibesarkan dan
diperjelas seseuai dengan kesepakatan sebelumnya. Sebagian responden di
rumah sakit juga melihat banyak pasien yang mengeluhkan lamanya alur
rujukan rontgen untuk program skrining ini. Kalau memungkinkan responden
merekomendasikan agar dibedakan alurnya sehingga pasien mau dirujuk
untuk rontgen sehingga pada pelaksanaanya di RS, pasien tidak perlu
menunggu lama untuk rontgen saja dan ikut mengantri dengan pasien lain.
Selain itu responden juga melihat agar program ini menjadi lebih efektif,
disarankan yaitu apabila di RS sudah dirontgen dan dibaca oleh spesialis
radiologi sebaiknya langsung dikembalikan ke Puskesmas dan tidak usah
dirujuk ke poliklinik paru lagi karena di Puskesmas, diagnosis juga bisa
ditegakkan oleh dokter yang terpapar program DOTS. Hal ini sesuai dengan
pernyataan responden sebagai berikut:
“..selama ini bagi saya sih baik aja ya tapi saya rasa pasien agak
keberatan juga ya karena harus ngantri lama, kan gabung dengan
pasien lain yang juga mau rontgen, mungkin aja dari mereka ada yang
ga betah ya mungkin saja pulang, lagian kalau habis rontgen mereka
balik ke poli trus ngantri lagi, ya pasti membosankan bagi mereka..”
“..begini ya, kalau program ini terus dilakukan, kami terus terang agak
keberatan karena kami kan sekarang beli alat rontgen baru, nah tarif
rontgen dari pasien DM BPJS ini yang dirujuk rontgen kan jauh sekali
dibawah tarif kami, ya kalau terus dilakukan ya kerugian rumah sakit
kami menjadi pertimbangan ya..”
Terdapat beberapa hal juga yang menjadi perhatian responden setelah
pelaksanaan program skrining ini. Responden berpendapat program
kolaborasi ini setidaknya melibatkan beberapa stakeholder seperti pihak
puskesmas, RS, dinas dan juga BPJS sehingga perlu koordinasi yang jelas
dan dilakukan secara berkala. Beberapa responden juga melihat pentingnya
pencatatan dan pelaporan serta setelah algoritma hasil konsensus ini perlu
dibuatkan pula petunjuk teknis dan SOP bagaimana teknisnya di lapangan
sehingga menjadi pedoman baku nasional.
Tabel 11. Koding Hasil Wawancara dan FGD Persepsi Pasien tentang
Dukungan terhadap Program Kolaborasi TB DM
“enggak ada periksa dahak, cuma disuruh rontgen aja periksa paru-paru
aja. Coba di rontgen paru-parunya nanti kalo ada infeksi bisa
menyebabkan TBC”..kalau saya disuruh periksa dahak habis itu pasti
saya mau, kan takut juga..”
37
PEMBAHASAN
*jangan repetitive
Apa hasil yang kita dapatka sinkron dengan penelitian lain tetang
skrining, kalo beda apa, jelaskan.
Apa rekomendasinya.
Keterbatasan penelitian
-‐ tidak ada data baseline.
-‐ Apa kelemahan,
-‐ Dan what next, eksplorasi pada yang lost sebagian maupun yang
lost secara keseluruhan.
40
Simpulan
Rekomendasi
1. Program skrining TB pada pasien DM dengan menggunakan algoritma
dari konsensus nasional dapat terlaksana apabila dalam
implementasinya algoritma konsensus dikembangkan sehingga
bersifat lebih teknis dan mudah dijalankan.
2. Untuk mengurangi banyaknya pasien yang tidak lengkap mengikuti
prosedur maka sosialisasi program ini menjadi sangat penting pada
petugas terkait (dokter puskesmas, petugas lab, dr spesialis di RS)
sehingga dapat memberikan KIE lengkap pada pasien. Disamping itu
petugas terkait juga perlu pelatihan TB DOTS berkala sehingga
41