Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAB I
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
1. Mengetahui proses pretreatment yang baik terhadap kulit udang sebelum
dilakukan proses pembuatan chitosan.
2. Mengetahui pengaruh temperatur pemanasan proses pembuatan chitosan.
3. Mengetahui pengaruh nilai pH selama proses pembuatan chitosan terha-
dap produk yang dihasilkan.
1.4. Manfaat
1. Untuk mengetahui proses pretreatment yang baik terhadap kulit udang
sebelum dilakukan proses pembuatan chitosan.
2. Untuk mengetahui pengaruh temperatur pemanasan proses pembuatan
chitosan.
3. Untuk mengetahui pengaruh nilai pH selama proses pembuatan chitosan
terhadap produk yang dihasilkan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Chitin
Chitin merupakan polisakarida yang strukturalnya mendapatkan perhatian
karena berlimpah ruah di alam. Chitin ini sama dengan selulosa yang merupakan
polisakarida hewan berkaki banyak. Chitin 109 ton diperkirakan dibiosintesis setiap
tahun. Chitin tidak larut dalam air, asam encer, alkali encer atau pekat dan pelarut
organik lain, tetapi larut dalam larutan asam pekat seperti asam sulfat, asam klorida,
asam fosfat. Chitin juga tahan terhadap hidrolisa menjadi komponen sakaridanya.
Chitin pada umumnya sangat tahan terhadap hidrolisa, walau enzim chitinase dapat
melakukannya dengan mudah. Chitin ini membentuk zat dasar yang tahan lama dari
kulit spora pada lumut, eksokerangka serangga, udang dan kerang tersebut.
Chitin adalah polisakarida linier yang dapat mengandung suatu senyawa
N-Asetil D-Glukosamina terikat β pada hidrolisa, chitin menghasilkan 2-Amino-2-
Deoksin-D-Glukosa. Chitin terikat pada protein.dan lemak, chitin dapat dibentuk
menjadi susu bubuk (powder) apabila sudah dipisahkan dari zat yang tercampur
dengannya, akan tetapi tidak dapat larut dalam air. Reaksi tersebut dalam asam-
asam mineral dan alkali akan menghasilkan suatu zat yang menyerupai selulosa.
Pelarutan chitin tergantung dari konsentrasi asam mineral dan temperatur. Negara
Jepang, chitin sudah lama dikomersialkan dengan cara memintanya menjadi benang
yang berfungsi sebagai penutup luka sehabis operasi, karena didukung oleh sifatnya
yang non alergi dan juga menunjukkan aktifitas penyembuhan luka. Chitin pertama
kali ditemukan oleh Odier pada tahun 1823 dan kemudian dapat dikembangkan oleh
Austin pada tahun 1981. Perkembangan chitin akan bergerak lamban dan kurang
dimanfaatkan. Salah satu turunan chitin yang luas pemakaiannya adalah chitosan.
Senyawa pada pembuatan chitosan yang mudah didapat dari chitin dengan
menambahkan Natrium Hidroksida (NaOH) dan pemanasan sekitar 120°C. Proses
tersebut menyebabkan lepasnya gugus asetil yang melekat pada gugus amino dari
molekul chitin dan selanjutnya akan membentuk suatu chitosan. Kelebihan lain dari
chitosan yaitu padatan yang dikoagulasinya dapat dimanfaatkan. Kekhawatiran
terhadap kemungkinan chitosan juga memiliki efek beracun terhadap manusia telah
4
dibantahkan oleh beberapa peneliti dengan sejumlah bukti ilmiah. Adanya Chitin
dapat dideteksi dengan reaksi warna Van Wesslink. Cara tersebut chitin direaksikan
dengan Kalium Iodida (KI) yang akan memberikan hasil warna coklat, kemudian
jika ditambahkan asam sulfat maka berubah warnanya menjadi violet. Perubahan
warna dari coklat hingga menjadi violet menunjukan reaksi positif adanya chitin.
tergantung pada jenis udangnya. Kulit kepiting yang mengandung protein (15,60-
23,90%), kalsium karbonat (53,70–78,40%), dan chitin (18,70-32,20%), hal ini juga
tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya. Kandungan chitin dalam kulit
udang lebih sedikit dari kulit kepiting, tetapi kulit udang lebih mudah didapat dan
tersedia dalam jumlah yang banyak sebagai limbahnya. Chitin berasal dari bahasa
Yunani yang berarti baju rantai besi, pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun
1811 dalam residu ekstrak jamur yang dapat dinamakan fungiue. Tahun 1823 Odins
mengisolasi suatu senyawa kutikula serangga jenis ekstra yang disebut chitin.
Limbah yang dapat dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan
udang, dan pengolahan kerupuk udang yang berkisaran antara 30-75% dari berat
udang. Jumlah pada bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang tersebut
cukup tinggi. Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang terdiri dari
protein, kalsium karbonat, chitin, pigmen, abu, dan lain-lain. Meningkatnya jumlah
dari limbah udang tersebut masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya
pemanfaatannya. Hal tersebut juga bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha
pengolahan udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah dari pencemaran
lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika
lingkungan yang kurang bagus. Indonesia saat ini yang sebagian kecil dari limbah
udang sudah termanfaatkan dalam hal pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan
bahan pencampur pakan ternak. Negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang
dimana limbah udang dapat dimanfaatkan pada dunia perindustrian tersebut.
Chitosan dari limbah pada bidang perikanan yang dapat digunakan adalah
sebagai agensia alternatif dalam penanganan suatu limbah terutama pada limbah
berprotein. Limbah ini juga dimanfaatkan kembali sebagai pakan ternak yang tentu
tidak mengurangi bahan-bahan yang berbahaya bagi tanaman. Pakan ternak yang
dihasilkan dari limbah chitosan ini dapat digunakan sebagai bahan makanan untuk
ternak-ternak (bidang peternakan). Kandungan protein pada limbah chitosan, maka
pakan ternak yang dihasilkan baik untuk diberikan kepada hewan ternak.
Kotoran-kotoran yang akan dihasilkan oleh hewan ternak tersebut dapat
digunakan sebagai pupuk organik yang mengandung protein yang diperlukan oleh
tumbuhan. Pupuk organik yang akan dihasilkan sangat aman bagi tumbuhan, selain
mengandung gizi yang penting serta ramah lingkungan. Kandungan protein ini yang
terkandung dapat memperbaiki atau membuat struktur tanah menjadi lebih subur.
Recycle pada limbah cangkang udang dimulai dengan proses pembuatan chitin yang
dilakukan dengan cara pengeringan, pengecilan ukuran, pencucian, deproteinisasi
dengan NaOH. Hasilya ini dapat secara langsung diolah menjadi chitosan melalui
beberapa proses yaitu deasetilisasi, pencucian, pengeringan dan penepungan hingga
menjadi chitosan bubuk. Chitin dan chitosan ini mempunyai banyak manfaat yaitu
dapat diterapkan pada berbagai bidang industri maupun bidang kesehatan.
Serat tenun dapat dibuat dari chitin dengan cara membuat suspensi chitin
dalam asam format, yang kemudian ditambahkan triklor asam asetat dan segera
dibekukan pada temperatur 20°C dan selama selang waktu 24 jam. Larutan tersebut
dipintal dan dimasukkan ke dalam etil asetat maka akan terbentuk serat tenun yang
berpotensi untuk di industri tekstil. Kerajinan batik, pasta dari chitosan ini dapat
menggantikan wax sebagai media pembatikan. Chitin ini dilarutkan dalam larutan
dimetilasetamida, maka dari larutan ini dapat dibuat film untuk berbagai kegunaan.
Bidang industri film untuk fotografi, dilakukannya penambahan tembaga chitosan
dapat memperbaiki mutu film yaitu untuk meningkatkan fotosensitivitasnya.
Chitin dan turunan (karboksimetil chitin, hidroksietil chitin dan etil chitin)
dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan benang operasi. Benang operasi
ini mempunyai keunggulan yang dapat diurai dan diserap dalam jaringan tubuh,
tidak toksik, dapat disterilisasi dan dapat disimpan lama. Chitin dan chitosan dapat
digunakan sebagai bahan pemercepat penyembuhan luka bakar, lebih baik dari yang
11
terbuat dari tulang rawan. Chitin dan chitosan juga dapat digunakan sebagai bahan
pembuatan garam-garam glukosamin yang mempunyai banyak manfaat di bidang
kedokteran, selain itu juga menyembuhkan influenza, radang usus dan sakit tulang.
Chitosan mempunyai sifat antimikrobia melawan jamur lebih kuat dari
chitin. Chitosan jika ditambahkan pada tanah, maka akan menstimulir pertumbuhan
mikrobia mikrobia yang dapat mengurai jamur. Chitosan juga dapat disemprotkan
secara langsung pada tanaman. Larutan yang mengandung sebesar 0,4% chitosan
jika disemprotkan pada tanaman tomat dapat menghilangkan virus tobacco mozaik.
perkembangan produk baru shampoo yang kering dapat mengandung chitin yang
disuspensi dalam alkohol. Pembuatan lotion dan shampoo cair yang mengandung
0,5-6,0% garam chitosan. Shampoo ini mempunyai kelebihan dapat meningkatkan
kekuatan dan berkilaunya rambut, karena ada interaksi polimer dengan protein.
Jumlah hasil samping produksi yang berupa kepala, kulit, ekor maupun
kaki kepiting yang umumnya 25-50% dari berat, sangat berlimpah. Hasil samping
tersebut, di Indonesia belum banyak digunakannya sehingga hanya menjadi limbah
yang mengganggu lingkungan. Limbah tersbut yang terutama pengaruh pada bau
yang tidak sedap dan pencemaran air yaitu kandungan yang terdiri dari Biochemical
Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD) dan Total Suspended
Solid (TSS) perairan disekitar pabrik chitin cukup tinggi. Kepiting ini mengandung
persentase chitin yang paling tinggi yaitu sebesar 70% diantara krustasea, insekta,
cacing maupun fungi. Chitin yang terkandung di dalam limbah cangkang kepiting
inilah yang nantinya dapat dilakukan proses dideasitilasi sehingga menjdi chitosan.
Limbah dari cangkang kepiting di Indonesia terutama di beberapa tempat
hanya dilakukan pengolahan dengan memanfaatkannya sebagai pupuk atau pakan
ternak dengan nilai yang rendah. Beberapa daerah, cangkang kepiting sudah mulai
diekspor sebagai chitin kotor. Data yang menyebutkan bahwa cangkang kepiting
mempunyai sekitar 14-35% (berat kering) kandungan chitin. Harga dari chitin yang
kering mencapai US$ 10 tiap kilogram. Kandungan organik dari cangkang kepiting
berbentuk kristalin yang terdiri dari chitin, material anorganik dan protein. Secara
umum cangkang dari kepiting memiliki protein (15,60-23,90%), kalsium karbonat
(53,70-78,40%) dan chitin (18,70-32,20%). Kandungan tersebut ditentukan oleh
jenis dari kepiting dan tempat hidup kepiting. Berbeda dengan kelas crustaceae
lainnya, kandungan anorganik dari kepiting laut ini juga tidak mengandung kalsium
karbonat (CaCO3), namun mengandung senyawa kalsium fosfat (Ca3(PO4)2).
Metode tertentu untuk mengekstraksi chitin dari cangkang kepiting yaitu
dengan penghilangan protein, pigmen warna, dan mineral. Meningkatkan kembali
nilai jual dari limbah cangkang kepiting selain bisa dikeringkan dan dijual sebagai
chitin, cangkang kepiting juga bias diolah menjadi chitosan. Chitosan merupakan
rekayasa dari kandungan chitin pada cangkang kepiting. Chitosan yang selama ini
digunakan sebagai bahan utama di dunia farmasi, kosmetik, bahkan penjernih air.
Bidang ekonomi chitosan sangat berharga sekitar US$ 15-700 setiap kilogramnya
tergantung jenis dan kualitas. Chitin merupakan salah satu kandungan organik yang
sangat penting pada binatang yaitu orthopoda, annelida, molusca, corlengterfa, dan
nematode. Chitin juga biasa terdapat pada trakea, insang, dan dinding usus.
13
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
DAFTAR PUSTAKA
Aji, A. Dan Meriatna. 2012. Pembuatan Kitosan dari Limbah Cangkang Kepiting.
Jurnal Teknologi Kimia Unimal. 1(1): 79-90.
Hendrawati. 2015. Penggunaan Kitosan Sebagai Koagulan Alami dalam Perbaikan
Kualitas. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Ilmu Kimia. 1(1): 1-11.
Mursida. 2000. Ekstraksi Kitosan dari Limbah Perikanan. Jakarta: Erlangga.
Suyanto, A. 2001. Potensial Limbah Udang. Jakarta: Universitas Indonesia.
Wardaniati. 2010. Pembuatan Chitosan dari Kulit Udang dan Aplikasinya Untuk
Pengawetan Bakso. Jurnal Teknik Kimia. 6(1): 1-5.