Anda di halaman 1dari 5

PERNYATAAN SIKAP

TENTANG
PENEGAK HUKUM (POLRI) MELANGGAR HUKUM

Negara indonesia adalah Negara hukum sesuai yang termuat dalam UUD1945 pasal 1 ayat 3.
Jadi semua tindakan masyarakat yang tidak sesuai dengan proses peraturan perundang-undangan
harus diproses secara hokum dan kepolisian republik Indonesia mejadi ujung tombak penegakan
hokum. Kepolisian republik Indonesia betrugas untuk melindungi,mengayomi dan melayani
masyarakat yang sesuai dengan pasal 2 UU no 2 tahun 2002.

Tetapi, pada faktanya baru-baru ini kita kembali dihangatkan dengan kejadian yang tidak
manusiawi yang dimana pihak aparat kepolisian yang seharus menjalankan tugasnya untuk
melindungi masyarakat malah berbuat arogan dan melakukan tindakan tidak manusiawi kepada
masyarakat di desa tue-tue kec.Laonti Kab. Konawe selatan.

Ironsnya, akibat tindakan arogan dan tidak manusiawi tersebut sehingga menyebapkan salah
seorang warga Sarman (35) di kec. Laonti tersebut ditembak oleh salah seorang oknum
kepoisian, dan kami menduga penembakan tersebut tidak sesuai dengan SOP sebagai mana
tertuang dalam Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar
Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pasal 47 dan Perkapolri No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan
Kepolisian pasal 8 ayat 1, Pasal 14 ayat 2, yang dimana warga tersebut menuntut agar lahanya
tidak di ekspolitasi karna tempat tersebut merupakan perkampungan penduduk yang dimana
terdapat 500 kepala keluarga yang mendiamin wilayah ekpolitasi IUP tambang nikel yang
dilakukan oleh P T. GMS.

Masyarakat desa tue-tue telah menempuh jalur PTUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negeri)
Makassar yang dimenangkan oleh warga kecamatan laonti sehingga masyarakat tidak
mengiginkan proses penambangan itu di lanjutkan akan tetapi kegiatan PT GMS yang tiba-tiba
memasukan alat berat ke lahan warga selama belum ada penyelesaian proses hukum di MA itu
selesai sehingga menimbulkan reaksi dan riak masyarakat kecamatan laonti sehingga masyarakat
melakukan penghadangan kapal tongkang yang memuat alat-alat berat untuk masuk wilayah
masyakat.
Kami bagian dari masyarakat Sulawesi tengara yang tergabung dari konsorsium lembaga
pemerhati tambang Sulawesi tenggara (KLPT- SULTRA) melihat bahwasanya kepolisian
Sulawesi tenggara tidak menjalankan tugasnya sebagai pengayom, pelindung dan pelayan bagi
masyarakat sultra dan kami menduga pihak Kepolisian Daerah Sultra berkongkalingkong dengan
pihak PT.GMS dan terkesan melakukan pembiaran. sebab konflik ini sudah berlangsug sejak
tahun 2015 yang lalu, seharusnya Pihak Kepolisian juga sudah melakukan langkah-langkah agar
tidak terjadi konflik antara masyarakat dengan pihak perusahaan, ini malah kepolisian
melakukan pengawalan kapal tongkang yang bermuatan alat berat itu untuk dimasukan di
perusahaan. Olehnya itu kami menyatakan sikap :

1. Mendesak Kapolda Sultra agar menangani secara serius kasus penembakan di desa tue-
tue Kec. Laonti Kab. Konsel
2. Mendesak Kapolda Sultra agar memecat serta menahan Oknum-oknum kepolisian yang
terlibat dalam Penembakan tersebut,
3. Mendesak Gubernur Sultra agar mencabut IUP PT.GMS dan menutup operasi
pertambangan

KORDINATOR LAPANGAN

La Ode Husran Ojhon Mantobua


Korlap 1 Korlap 2
Prosedur Penggunaan Senjata Api oleh Polisi
Aturan hukum apa yang digunakan terhadap penggunaan senjata api tanpa prosedur yang
dilakukan oleh aparat kepolisian?
Jawaban :

Peraturan yang mengatur mengenai penggunaan senjata api oleh polisi antara lain diatur dalam
Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi
Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri
8/2009”), serta di dalam Perkapolri No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam
Tindakan Kepolisian (“Perkapolri 1/2009”).
Berdasarkan Pasal 47 Perkapolri 8/2009 disebutkan bahwa:
(1) Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan
untuk melindungi nyawa manusia.
(2) Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk:
a. dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
b. membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
c. membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
d. mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang;
e. menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan
yang sangat membahayakan jiwa; dan
f. menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak
cukup.
Penggunaan senjata api oleh polisi dilakukan apabila (Pasal 8 ayat [1] Perkapolri 1/2009):
a. tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau
kematian bagi anggota Polri atau masyarakat;
b. anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk
menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut;
c. anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan
ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.
Pada prinsipnya, penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan
tindakan pelaku kejahatan atau tersangka (Pasal 8 ayat [2] Perkapolri 1/2009).

Jadi, penggunaan senjata api oleh polisi hanya digunakan saat keadaan adanya ancaman terhadap
jiwa manusia. Sebelum menggunakan senjata api, polisi harus memberikan peringatan yang jelas
dengan cara (Pasal 48 huruf b Perkapolri 8/2009):
1. menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas
2. memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat
tangan, atau meletakkan senjatanya; dan
3. memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi

Sebelum melepaskan tembakan, polisi juga harus memberikan tembakan peringatan ke udara
atau ke tanah dengan kehati-hatian tinggi dengan tujuan untuk menurunkan moril pelaku serta
memberi peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada pelaku (Pasal 15 Perkapolri 1/2009).
Pengecualiannya yaitu dalam keadaan yang sangat mendesak di mana penundaan waktu
diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain di
sekitarnya, peringatan tidak perlu dilakukan (Pasal 48 huruf c Perkapolri 8/2009).
Bagaimana pertanggungjawaban polisi terhadap penggunaan senjata api? Jika ada pihak yang
dirugikan atau keberatan karena penggunaan senjata api, petugas polisi yang bersangkutan wajib
membuat penjelasan secara terperinci tentang alasan penggunaan senjata api, tindakan yang
dilakukan dan akibat tindakan yang telah dilakukan (Pasal 49 ayat [2] huruf a Perkapolri
8/2009).
Selain itu, setelah menggunakan senjata api, polisi harus membuat laporan terperinci mengenai
evaluasi pemakaian senjata api. Laporan tersebut berisi antara lain (Pasal 14 ayat [2] Perkapolri
1/2009):
a. tanggal dan tempat kejadian;
b. uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, sehingga memerlukan
tindakan kepolisian;
c. alasan/pertimbangan penggunaan kekuatan;
d. rincian kekuatan yang digunakan;
e. evaluasi hasil penggunaan kekuatan;
f. akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan tersebut.
Laporan inilah yang akan digunakan untuk bahan pertanggungjawaban hukum penerapan
penggunaan kekuatan, serta sebagai bahan pembelaan hukum dalam hal terjadi gugatan
pidana/perdata terkait penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota Polri yang
bersangkutan (Pasal 14 ayat [5] huruf e dan f Perkapolri 1/2009).
Pada prinsipnya, setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan
penggunaan kekuatan (senjata api) dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya (Pasal 13 ayat
[1] Perkapolri 1/2009). Oleh karena pertanggungjawaban secara individu terhadap penggunaan
senjata api oleh polisi, maka penggunaan senjata api yang telah merugikan pihak lain karena
tidak mengikuti prosedur dapat dituntut pertanggungjawabannnya secara perdata maupun secara
pidana.

Anda mungkin juga menyukai