Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

LUKA BAKAR

ANDRIESSANTO C. LENGKONG
NIM : P.1507209117

Pembimbing :
dr. Leonardo J. Rieuwpasa, Sp.B, Sp.BP(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BIDANG ILMU ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASASAR
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Kasus luka bakar yang memerlukan perawatan terjadi pada pasien 500.000

per tahun di Amerika Serikat. 46% adalah luka bakar akibat api . Jumlah luka

bakar serius menurun di Amerika Serikat karena peningkatan pencegahan seperti

detektorasap, regulasi suhu air dan berhenti merokok. Namun masih ada sekitar

3500 kematian dari kebakaran area permukiman setiap tahun. Sekitar 75% dari

kematian tersebut terjadi di tempat kecelakaan atau selama transportasi awal.

Kematian yang terkait dengan luka bakar adalah terkait dengan usia pasien,

persentase dari permukaan tubuh yang terbakar, dan adanya atau tidak adanya

trauma inhalasi asap. Menurut model ini, pasien dengan luka bakar yang

mencakup lebih dari 40% dari permukaan tubuh dan cedera inhalasi asap,

diperkirakan memiliki resiko kematian dari 33%. Pasien luka bakar yang selamat

akan mendapat jaringan parut, infeksi, kehilangan tulang dan massa otot,

penyembuhan luka yang buruk, ketidakseimbangan hormone dan kegagalan

fungsi paru-paru, hati atau ginjal. Kehilangan jaringan kulit menyebabkan regulasi

panas dan penyembuhan luka menjadi lebih sulit,. Luka bakar kecil juga

menyebabkan morbiditas yang signifikan, seperti hilangnya fungsi tangan atau

kecacatan pada wajah. Pasien juga sering mengalami masalah sequel psikologis

termasuk post-traumatic stress disorder (PTSD) dan depresi.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI DAN ETIOLOGI


Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia,
listrik, dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas
dan mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase
syok) sampai fase lanjut.
Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung
maupun tidak langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada
kecelakaan rumah tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik
maupun bahan kimia juga dapat menyebabkan luka bakar. Secara garis besar,
penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:
 Paparan api
o Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka,
dan menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat
membakar pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat
alami memiliki kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat
sintetik cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan cedera
tambahan berupa cedera kontak.
o Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan
benda panas. Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh
yang mengalami kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar
akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau peralatan masak.
 Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan
semakin lama waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan
ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan
berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka umumnya
menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit
sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan
keseluruhan ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan garis yang
menandai permukaan cairan.
 Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator
mobil. Uap panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang
tinggi dari uap serta dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi
inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera hingga ke saluran napas
distal di paru.
 Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan
oklusi jalan nafas akibat edema.
 Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh.
Umumnya luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang
menyebabkan percikan api dan membakar pakaian dapat menyebabkan
luka bakar tambahan.
 Zat kimia (asam atau basa)
 Radiasi
 Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.

KLASIFIKASI LUKA BAKAR


Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu
tinggi, adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung
menjilat tubuh, baju yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju
yang paling aman adalah yang terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis
seperti nilon dan dakron, selain mudah terbakar juga mudah meleleh oleh suhu
tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat kedalaman luka bakar.
Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka
bakar derajat I, II, atau III:
 Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak
jaringan untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya
sembuh dalam 5-7 hari dan dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya
tampak sebagai eritema dan timbul dengan keluhan nyeri dan atau
hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I adalah sunburn.

 Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih
terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi.
Jaringan tersebut misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar
keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya jaringan yang masih “sehat”
tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3 minggu. Gambaran luka bakar
berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh
darah karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri.
Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik,
dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga
cedera berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.
 Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau
jaringan yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel
yang dapat menjadi dasar regenerasi sel spontan, sehingga untuk
menumbuhkan kembali jaringan kulit harus dilakukan cangkok kulit.
Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena pada
dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah tidak
intak.
BERAT DAN LUAS LUKA BAKAR
Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan
kesehatan pasien sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya
trauma inhalasi juga akan mempengaruhi berat luka bakar.
Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas 46oC.
Luasnya kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya kontak.
Luka bakar menyebabkan koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan peningkatan
suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler juga meningkat, terjadi kehilangan
cairan, dan viskositas plasma meningkat dengan resultan pembentukan
mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat menyebabkan hipovolemi dan syok,
tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon terhadap resusitasi. Luka
bakar juga menyebabkan peningkatan laju metabolik dan energi metabolisme.
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya
meningkat, dan penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar
dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat
untuk menentukan luas luka bakar, yaitu:
 Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien.
Luas telapak tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas
luka bakar hanya dihitung pada pasien dengan derajat luka II atau III.

 Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa


Pada dewasa digunakan ‘rumus 9’, yaitu luas kepala dan leher, dada,
punggung, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas
kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki
kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini
membantu menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang
dewasa.
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan
kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil.
Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda,
dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak.
 Metode Lund dan Browder
Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh
di kepala pada anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas
permukaan pada anak. Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas
permukaan tubuh pada anak dapat menggunakan ‘Rumus 9’ dan
disesuaikan dengan usia:
o Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai
14%. Torso dan lengan persentasenya sama dengan dewasa.
o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap
tungkai dan turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai
nilai dewasa.

Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage of body surface
area affected by burns in children.
PEMBAGIAN LUKA BAKAR
1. Luka bakar berat (major burn)
a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas
usia 50 tahun
b. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir
pertama
c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan
luas luka bakar
e. Luka bakar listrik tegangan tinggi
f. Disertai trauma lainnya
g. Pasien-pasien dengan resiko tinggi
2. Luka bakar sedang (moderate burn)
a. Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat
III kurang dari 10 %
b. Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa
> 40 tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %
c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang
tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum
3. Luka bakar ringan
a. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka,
tangan, kaki, dan perineum

PATOFISIOLOGI LUKA BAKAR


Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel
darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia.
Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan bula yang
mengandung banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan
intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan
akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada
luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat III.
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi
tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok
hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat,
nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan produksi urin yang berkurang.
Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam. Pada
kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan
mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap panas yang terisap. Edema laring
yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala
sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.
Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO akan
mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi
mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual
dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila lebih dari 60%
hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi
mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini
ditandai dengan meningkatnya diuresis.
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah
infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh
kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem
pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain
berasal dari dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran
napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial
ini biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten
terhadap berbagai antibiotik.
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang
berasal dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi
invasi kuman Gram negatif, Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan
eksotoksin protease dari toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam
invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau
pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur keropeng
yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk nanah.
Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah
terlepas dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan
keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-
mula sehat menadi nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat II
menjadi derajat III. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler
di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis sehingga jaringan yang
didarahinya nanti.
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan
kuman dan terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar
demikian disebut luka bakar septik. Bila penyebabnya kuman Gram positif,
seperti stafilokokus atau basil Gram negatif lainnya, dapat terjadi penyebaran
kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus.
Syok sepsis dan kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar di
darah.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh
dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa
elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel
kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat II yang dalam
mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku dan secara estetik
jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami
kontraktur. Bila terjadi di persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut,
peristalsis usus menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase
mobilisasi, peristalsis dapat menurun karena kekurangan ion kalium.
Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat
menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala
yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak
Curling.
Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan
protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi,
metabolisme tinggi dan infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga
memerluka kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama
didapat dari pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita
menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan menurun. Dengan demikian,
korban luka bakar menderita penyakit berat yang disebut penyakit luka bakar. Bila
luka bakar menyebabkan cacat, terutama bila luka mengenai wajah sehingga rusak
berat, penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat. Jadi prognosis luka
bakar ditentukan oleh luasnya luka bakar.

FASE PADA LUKA BAKAR


Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka
bakar, yaitu:
1. Fase awal, fase akut, fase syok
Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada
saluran nafas yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan
adanya eskar melingkar di dada atau trauma multipel di rongga toraks; dan
gangguan sirkulasi seperti keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia.
2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS)
dan sepsis. Hal ini merupakan dampak dan atau perkembangan masalah yang
timbul pada fase pertama dan masalah yang bermula dari kerusakan jaringan
(luka dan sepsis luka)
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi
jaringan. Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut
hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat kerapuhan
jaringan atau struktur tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan
berlangsung lama

Pembagian zona kerusakan jaringan:


1. Zona koagulasi, zona nekrosis
Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi
protein) akibat pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan
ini mengalami nekrosis beberapa saat setelah kontak. Oleh karena itulah
disebut juga sebagai zona nekrosis.
2. Zona statis
Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona koagulasi.
Di daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan
trombosit dan leukosit, sehingga terjadi gangguam perfusi (no flow
phenomena), diikuti perubahan permeabilitas kapilar dan respon inflamasi
lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24 jam pasca cedera dan mungkin
berakhir dengan nekrosis jaringan.
3. Zona hiperemi
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa
vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi selular. Tergantung keadaan
umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga dapat mengalami
penyembuhan spontan, atau berubah menjadi zona kedua bahkan zona
pertama.

INDIKASI RAWAT INAP PASIEN LUKA BAKAR


Menurut American Burn Association, seorang pasien diindikasikan untuk
dirawat inap bila:
1. Luka bakar derajat III > 5%
2. Luka bakar derajat II > 10%
3. Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah, tangan,
kaki, genitalia, perineum, kulit di atas sendi utama)  risiko signifikan
untuk masalah kosmetik dan kecacatan fungsi
4. Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas
5. Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma
mayor lainnya, atau adanya kondisi medik signifikan yang telah ada
sebelumnya
6. Adanya trauma inhalasi

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
4. Analisis gas darah
5. Radiologi – jika ada indikasi ARDS
6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS dan
MODS

PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR


Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama
adalah mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan
mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi endotrakea dilakukan pada pasien yang
menderita luka bakar berat atau kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka bakar
di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak dilakukan bila telah terjadi edema luka
bakar atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau banyak. Pada pasien luka
bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih daripada trakeostomi.
Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi awal
yang tidak dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada
pasien luka bakar menimbulkan kecurigaan adanya jejas ‘tersembunyi’. Oleh
karena itu, setelah mempertahankan ABC, prioritas berikutnya adalah
mendiagnosis dan menata laksana jejas lain (trauma tumpul atau tajam) yang
mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka bermanfaat untuk mencari trauma
terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi. Informasi riwayat penyakit dahulu,
penggunaan obat, dan alergi juga penting dalam evaluasi awal.
Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai.
Pemeriksaan radiologik pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat
membantu mengevaluasi adanya kemungkinan trauma tumpul.
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi.
Terlepas dari luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan
transfer pasien adalah mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan,
melepas dari eskar yang mengkonstriksi.

Tatalaksana resusitasi luka bakar


a. Tatalaksana resusitasi jalan nafas:
1. Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan
manifestasi obstruksi. Tujuan intubasi mempertahankan jalan nafas dan
sebagai fasilitas pemelliharaan jalan nafas.
2. Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu agresif dan
menimbulkan morbiditas lebih besar dibanding intubasi. Krikotiroidotomi
memperkecil dead space, memperbesar tidal volume, lebih mudah
mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan pasien dapat berbicara jika
dibanding dengan intubasi.
3. Pemberian oksigen 100%
Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat patologi
jalan nafas yang menghalangi suplai oksigen. Hati-hati dalam pemberian
oksigen dosis besar karena dapat menimbulkan stress oksidatif, sehingga
akan terbentuk radikal bebas yang bersifat vasodilator dan modulator
sepsis.
4. Perawatan jalan nafas
5. Penghisapan sekret (secara berkala)
6. Pemberian terapi inhalasi
Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam lumen
jalan nafas dan mencairkan sekret kental sehingga mudah dikeluarkan.
Terapi inhalasi umumnya menggunakan cairan dasar natrium klorida 0,9%
ditambah dengan bronkodilator bila perlu. Selain itu bias ditambahkan zat-
zat dengan khasiat tertentu seperti atropin sulfat (menurunkan produksi
sekret), natrium bikarbonat (mengatasi asidosis seluler) dan steroid (masih
kontroversial)
7. Bilasan bronkoalveolar
8. Perawatan rehabilitatif untuk respirasi
9. Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk memperbaiki
kompliansi paru

b. Tatalaksana resusitasi cairan


Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi yang adekuat
dan seimbang di seluruh pembuluh darah vaskular regional, sehingga iskemia
jaringan tidak terjadi pada setiap organ sistemik. Selain itu cairan diberikan
agar dapat meminimalisasi dan eliminasi cairan bebas yang tidak diperlukan,
optimalisasi status volume dan komposisi intravaskular untuk menjamin
survival/maksimal dari seluruh sel, serta meminimalisasi respons inflamasi
dan hipermetabolik dengan menggunakan kelebihan dan keuntungan dari
berbagai macam cairan seperti kristaloid, hipertonik, koloid, dan sebagainya
pada waktu yang tepat. Dengan adanya resusitasi cairan yang tepat, kita dapat
mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi
fisiologik dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal mungkin.
Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti. Ada
beberapa cara untuk menghitung kebutuhan cairan ini:
 Cara Evans
1. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam
2. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam
3. 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam
Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah
jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah
cairan hari kedua.
 Cara Baxter
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL
Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah
jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah
cairan hari kedua.

c. Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya
dilakukan sejak dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak
sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi
yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-60% karbohidrat
dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan
fungsi kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan
demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah
terjadinya SIRS dan MODS.

Perawatan luka bakar


Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan
morfin dalam dosis kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan
‘maintenance’ 5-20 mg/70 kg setiap 4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2
mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang menyatakan pemberian methadone (5-
10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan terapi penghilang nyeri kronik yang
bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih merasakan nyeri
walau dengan pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan
benzodiazepine sebagai tambahan.
Terapi pembedahan pada luka bakar
1. Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris
(debridement) yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari
ke 5-7) pasca cedera termis. Dasar dari tindakan ini adalah:
a. Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan
dibuangnya jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak
akan berlangsung lebih lama dan segera dilanjutkan proses fibroplasia.
Pada daerah sekitar luka bakar umumnya terjadi edema, hal ini akan
menghambat aliran darah dari arteri yang dapat mengakibatkan terjadinya
iskemi pada jaringan tersebut ataupun menghambat proses penyembuhan
dari luka tersebut. Dengan semakin lama waktu terlepasnya eskar, semakin
lama juga waktu yang diperlukan untuk penyembuhan.
b. Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi
– komplikasi luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan
nekrosis yang melepaskan “burn toxic” (lipid protein complex) yang
menginduksi dilepasnya mediator-mediator inflamasi.
c. Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses
angiogenesis yang terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini
mengakibatkan banyaknya darah keluar saat dilakukan tindakan operasi.
Selain itu, penundaan eksisi akan meningkatkan resiko kolonisasi mikro –
organisme patogen yang akan menghambat pemulihan graft dan juga eskar
yang melembut membuat tindakan eksisi semakin sulit.
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian
cairan melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka
bakar derajat II dalam dan derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis
dan juga “skin grafting” (dianjurkan “split thickness skin grafting”). Tindakan
ini juga tidak akan mengurangi mortalitas pada pasien luka bakar yang luas.
Kriteria penatalaksanaan eksisi dini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
- Kasus luka bakar dalam yang diperkirakan mengalami penyembuhan
lebih dari 3 minggu.
- Kondisi fisik yang memungkinkan untuk menjalani operasi besar.
- Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah.
- Tersedia donor yang cukup untuk menutupi permukaan terbuka yang
timbul.
Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh
posterior. Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
Eksisi tangensial adalah suatu teknik yang mengeksisi jaringan yang
terluka lapis demi lapis sampai dijumpai permukaan yang mengeluarkan darah
(endpoint). Adapun alat-alat yang digunakan dapat bermacam-macam, yaitu
pisau Goulian atau Humbly yang digunakan pada luka bakar dengan luas
permukaan luka yang kecil, sedangkan pisau Watson maupun mesin yang
dapat memotong jaringan kulit perlapis (dermatom) digunakan untuk luka
bakar yang luas. Permukaan kulit yang dilakukan tindakan ini tidak boleh
melebihi 25% dari seluruh luas permukaan tubuh. Untuk memperkecil
perdarahan dapat dilakukan hemostasis, yaitu dengan tourniquet sebelum
dilakukan eksisi atau pemberian larutan epinephrine 1:100.000 pada daerah
yang dieksisi. Setelah dilakukan hal-hal tersebut, baru dilakukan “skin graft”.
Keuntungan dari teknik ini adalah didapatnya fungsi optimal dari kulit dan
keuntungan dari segi kosmetik. Kerugian dari teknik adalah perdarahan
dengan jumlah yang banyak dan endpoint bedah yang sulit ditentukan.
Eksisi fasial adalah teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka sampai
lapisan fascia. Teknik ini digunakan pada kasus luka bakar dengan ketebalan
penuh (full thickness) yang sangat luas atau luka bakar yang sangat dalam.
Alat yang digunakan pada teknik ini adalah pisau scalpel, mesin pemotong
“electrocautery”. Adapun keuntungan dan kerugian dari teknik ini adalah:
- Keuntungan : lebih mudah dikerjakan, cepat, perdarahan tidak banyak,
endpoint yang lebih mudah ditentukan
- Kerugian : kerugian bidang kosmetik, peningkatan resiko cedera pada
saraf-saraf superfisial dan tendon sekitar, edema pada bagian distal
dari eksisi
2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari
metode ini adalah:
a. Menghentikan evaporate heat loss
b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka
Skin grafting harus dilakukan secepatnya setelah dilakukan eksisi pada
luka bakar pasien. Kulit yang digunakan dapat berupa kulit produk sintesis,
kulit manusia yang berasal dari tubuh manusia lain yang telah diproses
maupun berasal dari permukaan tubuh lain dari pasien (autograft). Daerah
tubuh yang biasa digunakan sebagai daerah donor autograft adalah paha,
bokong dan perut. Teknik mendapatkan kulit pasien secara autograft dapat
dilakukan secara split thickness skin graft atau full thickness skin graft.
Bedanya dari teknik – teknik tersebut adalah lapisan-lapisan kulit yang
diambil sebagai donor. Untuk memaksimalkan penggunaan kulit donor
tersebut, kulit donor tersebut dapat direnggangkan dan dibuat lubang – lubang
pada kulit donor (seperti jaring-jaring dengan perbandingan tertentu, sekitar 1
: 1 sampai 1 : 6) dengan mesin. Metode ini disebut mess grafting. Ketebalan
dari kulit donor tergantung dari lokasi luka yang akan dilakukan grafting, usia
pasien, keparahan luka dan telah dilakukannya pengambilan kulit donor
sebelumnya. Pengambilan kulit donor ini dapat dilakukan dengan mesin
‘dermatome’ ataupun dengan manual dengan pisau Humbly atau Goulian.
Sebelum dilakukan pengambilan donor diberikan juga vasokonstriktor (larutan
epinefrin) dan juga anestesi.
Prosedur operasi skin grafting sering menjumpai masalah yang dihasilkan
dari eksisi luka bakar pasien, dimana terdapat perdarahan dan hematom
setelah dilakukan eksisi, sehingga pelekatan kulit donor juga terhambat. Oleh
karenanya, pengendalian perdarahan sangat diperlukan. Adapun beberapa
faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyatuan kulit donor dengan
jaringan yang mau dilakukan grafting adalah:
- Kulit donor setipis mungkin
- Pastikan kontak antara kulit donor dengan bed (jaringan yang
dilakukan grafting), hal ini dapat dilakukan dengan cara :
o Cegah gerakan geser, baik dengan pembalut elastik (balut
tekan)
o Drainase yang baik
o Gunakan kasa adsorben
PROGNOSIS
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan
luasnya permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan.
Selain itu faktor letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita
juga turut menentukan kecepatan penyembuhan.
Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada
luka bakar antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis,
serta parut hipertrofik dan kontraktur.

KOMPLIKASI
Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ
Dysfunction Syndrome (MODS),dan Sepsis
Pendahuluan
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap
berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma,
luka bakar, reaksi autoimun, sirosis, pankreatitis, dll.
Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator
inflamasi (proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses
penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan
faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan (mengalami eksagregasi)
dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi
dan berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS
(Multi-system Organ Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai
organ (Multi-system Organ Failure/MOF).
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas
pada pasien luka bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan
SIRS dan MODS keduanya menjadi penyebab 81% kematian pasca trauma; dan
dapat dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri mengantarkan pasien pada MODS.
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection,
injury, inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury.
Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of
Chest phycisians dan the Society of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila
dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu:
- Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)
- Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
- Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah
(PaCO2 < 32 mmHg)
- Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000
sel/mm3) atau dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur
darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan
dengan MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS.
Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan
fungsi organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat
dipertahankan tanpa intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu
proses yang berkesinambungan sehingga dapat dimengerti bahwa MODS
menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari spektrum
keadaan yang berawal dari SIRS.

Patofisiologi
Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone
dalam beberapa tahap.
Tahap I
Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka
bakar atau trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai
mediator pro-inflamasi seperti sitokin; yang selain membangkitkan respon
inflamasi juga berperan pada proses penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel
retikuloendotelial. Sitokin adalah pembawa pesan fisiologik dari respon inflamasi.
Molekul utamanya meliputi Tumor Necrotizing Factor (TNFα), interleukin (IL1,
IL6), interferon, Colony Stimulating Factor (CSF), dan lain-lain. Efektor selular
respon inflamasi adalah sel-sel PMN, monosit, makrofag, dan sel-sel endotel. Sel-
sel untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder seperti prostaglandin,
leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Factor (PAF), radikal bebas, oksida
nitrit, dan protease. Endotel teraktivasi dan lingkungan yang kaya sitokin
mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga terjadi trombosis lokal. Hal ini
mengurangi kehilangan darah melalui luka, namun disamping itu timbul efek
pembatasan (walling off) jaringan cedera sehingga secara fisiologik daerah
inflamasi terisolasi.
Tahap II
Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru
meningkatkan respon lokal. Terjadi pergerakan makrofag, trombosit dan stimulasi
produksi faktor pertumbuhan (Growth Factor/GF). Selanjutnya dimulailah respon
fase akut yang terkontrol secara simultan melalui penurunan kadar mediator
proinflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis reseptor IL1 dan
mediator-mediator anti-inflamasi lain seperti IL4, IL10, IL11, reseptor terlarut TNF
(Transforming Growth Factor/TGF). Dengan demikian mediator-mediator
tersebut menjaga respon inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik oleh down
regulating cytokine production dan efek antagonis terhadap sitokin yang telah
dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga homeostasis terjaga.
Tahap III
Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III (SIRS);
terjadi reaksi sistemik masif. Efek predominan dari sitokin berubah menjadi
destruktif. Sirkulasi dibanjiri mediator-mediator inflamasi sehingga integritas
dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke dalam berbagai organ dan
mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif regional dan sistemik (terjadi
peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas mikrovaskular,
akselerasi trombosis mikrovaskular, aktivasi sel leukosit-endotel) yang
mengakibatkan perubahan-perubahan patologik di berbagai organ. Jika reaksi
inflamasi tidak dapat dikendalikan, terjadi syok septik, Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC), ARDS, MODS, dan kematian.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien
luka bakar dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori
yang menjelaskan timbulnya SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya
terjadi secara simultan.
Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan
penurunan penurunan sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus
terganggu menyebabkan disrupsi mukosa saluran cerna. Disrupsi mukosa
menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier berkurang/hilang, dan mempermudah
terjadinya translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora
normal usus yang bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik; khususnya
akibat perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian antasida dan
beberapa jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap
kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga mudah dirusak
oleh toksin yang berasal dari kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi
disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut
menjadi atrofi mukosa usus yang dapat memperberat keadaan.
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang
memicu SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena
gangguan sistem autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik
(ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal menyebabkan iskemi ginjal
khususnya tubulus berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis (ATN) yang berakhir
dengan gagal ginjal (Acute Renal Failure/ARF). Gangguan sirkulasi perifer
menyebabkan iskemi otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang
meningkatkan produksi Nitric Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator
sepsis. Gangguan sirkulasi ke kulit dan sitem integumen menyebabkan terutama
gangguan sistim imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi
barrier kulit.
Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang
sebelumnya dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis.
LPC memiliki toksisitas ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang
pelepasan mediator pro-inflamasi; namun pelepasan LPC ini tidak ada
hubungannya dengan infeksi. Respon yang timbul mulanya bersifat lokal, terbatas
pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik.
Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik
pada fase akut dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras
seluruh modalitas tubuh khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-
inflamasi yang dilepas ke sirkulasi sebagai respon terhadap suatu cedera tidak
hanya menyerang benda asing atau toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan
kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka
bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.

Tatalaksana
Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif dan bertujuan mencegah
perkembangan SIRS, MODS, dan sepsis.
Pemberian Nutrisi Enteral Dini (NED) melalui pipa nasogastrik dalam 8
jam pertama pasca cedera. Selain bertujuan mencegah terjadinya atrofi mukosa
usus, pemberian NED ini bertitik tolak mencegah dan mengatasi kondisi
hipometabolik pada fase akut / syok dan mengendalikan status hiperkatabolisme
yang terjadi pada fase flow. Pemberian antasida dan antibiotika tidak dibenarkan
karena akan merubah pola / habitat kuman yang mengganggu keseimbangan flora
usus.
Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan
cedera termis harus segera dilakukan nekrotomi dan debridement, dan dilakukan
sedini mungkin (eksisi dini, hari ketiga-keempat pasca cedera luka bakar sedang,
hari ketujuh-kedelapan pada luka bakar berat), bahkan bila memungkinkan
dilakukan penutupan segera (immediate skin grafting) untuk mengatasi berbagai
masalah akibat kehilangan kulit sebagai penutup (mencegah evaporative heat loss
yang menimbulkan gangguan metabolisme), barrier terhadap kuman dan proses
inflamasi berkepanjangan yang mempengaruhi proses penyembuhan, tidak
menunggu jaringan granulasi yang dalam hal ini mengulur waktu dan
memperberat stres metabolisme.
Pemberian obat-obatan yang bersifat anti inflamasi seperti antihistamin
dianggap tidak bermanfaat. Pemberian steroid sebelumnya dianggap bermanfaat
namun harus diingat saat pemberian serta efek sampingnya.
Pemberian zat yang meningkatkan imunologik seperti Omega-3 akan
menjinakkan leukotrien (LTB4 yang bersifat maligna) dengan cara mempengaruhi
lypoxygenase pathway pada metabolisme asam arakhidonat, sehingga
menghasilkan leukotrien yang lebih benigna. Pemberian Omega-6 memiliki efek
pada cyclo-oxygenase pathway asam arakhidonat, sehingga menghasilkan
tromboksan yang lebih benigna menggantikan tromboksan (ThromboxaneA2)
yang bersifat maligna.

Komplikasi
Komplikasi SIRS bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang
mungkin terjadi pada SIRS adalah gagal napas, Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS), dan pneumonia nosokomial, gagal ginjal, perdarahan saluran
cerna dan stres gastritis, anemia, Trombosis vena dalam (Deep Vein
Thrombosis/DVT), hiperglikemia, dan Disseminated intravascular coagulation
(DIC)
DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmadsyah I, Prasetyono TOH. Luka. Dalam: Sjamsuhidajat R, de Jong W,


editor. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2005. h. 73-5.
2. Moenadjat Y. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.
3. Heimbach DM, Holmes JH. Burns. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar
TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE, editors. Schwartz’s principal surgery.
8th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2007.
4. Naradzay JFX, Alson R. Thermal burns. Dalam: Slapper D, Talavera F,
Hirshon JM, Halamka J, Adler J, editors. Diunduh dari:
http://www.emedicinehealth.com. 28 Agusuts 2009.
5. Split & Full Thickness Skin Grafting. Diunduh dari
http://www.burnsurvivorsttw.org/burns/grafts.html. 30 Agustus 2009.

Anda mungkin juga menyukai