Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes Mellitus (DM) adalah salah satu penyakit yang berbahaya yang

kerap disebut sebagai silent killer selain penyakit jantung, yang merupakan salah

satu masalah kesehatan yang besar. Diabetes Mellitus dari bahasa Yunani:

διαβαίνειν, diabaínein, tembus atau pancuran air dan bahasa Latin: Mellitus, (rasa

manis) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing gula atau

kencing manis yaitu kelainan metabolis yang disebabkan oleh banyak faktor,

dengan simtoma berupa hiperglisemia kronis dan gangguan metabolisme

karbohidrat, lemak dan protein. Komplikasi jangka lama termasuk penyakit

kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis),

kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang

dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan risiko amputasi (Supriadi S,

2013).

Data dari Studi Global menunjukan bahwa jumlah penderita Diabetes

Mellitus pada tahun 2011 telah mencapai 366 juta orang. Jika tidak ada tindakan

yang dilakukam, jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 552 juta pada

tahun 2030. Diabetes Mellitus telah menjadi penyebab dari 4,6 juta kematian.

Lembaga kesehatan dunia, atau World Health Organisation (WHO)

mengingatkan prevalensi penderita diabetes di Indonesia berpotensi mengalami

kenaikan drastis dari 8,4 juta orang pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta penderita

1
di 2030 nanti. Lonjakan penderita itu bisa terjadi jika negara kita tidak serius

dalam upaya pencegahan, penaganan dan kepatuhan dalam pengobatan penyakit.

Pada tahun 2006, terdapat lebih dari 50 juta orang yang menderita DM di Asia

Tenggara (Trisnawati, 2013).

Diabetes kini menjelma menjadi penyebab kematian keenam pada semua

kelompok umur di Indonesia. Ada kecenderungan penyakit tidak menular seperti

Diabetes Mellitus mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh perilaku hidup

tidak sehat yang terus berkembang di masyarakat. Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) 2007 menunjukan pada saat ini prevalensi diabetes di wilayah

perkotaan mencapai 5,7 persen. Yang memprihatinkan, 73,7 persen pasien

diabetes tersebut tidak terdiagnosa dan tidak mengonsumsi obat (Trisnawati,

2013).
Pada tahun 2013, proporsi penduduk Indonesia yang berusia ≥15 tahun

dengan DM adalah 6,9 persen. Penderita yang terkena bukan hanya berusia senja,

namun banyak pula yang masih berusia produktif. Prevalensi DM berdasarkan

diagnosis dokter dan gejala meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, Jumlah

penderita DM terbesar berusia antara 40-59 tahun, namun mulai umur ≥ 65 tahun

cenderung menurun (Kemenkes, 2013).

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya

kenaikan gula darah (hiperglikemia) kronik. Masalah DM sudah banyak dicapai

dalam kemajuan di semua bidang riset DM maupun penatalaksanaan

penderitanya, etiologi dan patofisiolgi, kemajuan riset pengobatan, perlindungan

dan pencegahan terhadap timbulnya komplikasi, dan bahkan kemajuan kearah

pencegahan DM baik pencegahan primer maupun sekunder (Waspadji, 2005). DM

2
merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang akibat tubuh mengalami

gangguan dalam mengontrol kadar gula darah. Gangguan tersebut disebabkan

oleh sekresi hormon insulin tidak adekuat atau fungsi insulin terganggu (resistensi

insulin) atau gabungan keduanya. DM tipe 2 merupakan jenis DM yang paling

sering ditemukan dalam penelitian, diperkirakan sekitar 90% dari semua penderita

DM di Indonesia (Soegondo, 2005).

Berdasarkan hasil statistik terbaru saat ini, terdapat 230 juta penduduk dunia

yang mengidap DM. Angka tersebut akan meningkat sebesar 3% atau bertambah 7

juta jiwa setiap tahun. Pada tahun 2008 jumlah penderita mencapai 8,4 juta dan

diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 12,4 juta orang atau peringkat

kelima terbanyak di dunia. Sedangkan menurut pola pertambahan penduduk

seperti saat ini, diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada 178 juta penduduk

berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6% akan

didapatkan 8,2 juta pasien diabetes (Suyono, 2005).

Diabetes mellitus dikenal sebagai penyakit yang berhubungan dengan asupan

makanan, baik sebagai faktor penyebab maupun pengobatan. Asupan makanan

yang berlebihan merupakan faktor resiko pertama yang diketahui menyebabkan

DM. Asupan makanan tersebut yaitu asupan karbohidrat, protein, lemak dan

energi. Semakin berlebihan asupan makanan besar kemungkinan terjangkitnya

DM. Mekanisme hubungan konsumsi karbohidrat dengan kadar gula darah

dimana karbohidrat akan dipecah dan diserap dalam bentuk monosakarida,

terutama gula. Penyerapan gula menyebabkan peningkatan kadar gula darah dan

meningkatkan sekresi insulin (Linder, 2006). Konsumsi energi yang melebihi

3
kebutuhan tubuh menyebabkan lebih banyak gula yang ada dalam tubuh. Pada

penderita DM tipe 2, jaringan tubuh tidak mampu untuk menyimpan dan

menggunakan gula, sehingga kadar gula darah akan naik. Tingginya kadar gula

darah dipengaruhi oleh tingginya asupan energi dari makanan (Rimbawan,2004).

Diabetes mellitus yang tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan

terjadinya masalah kesehatan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan

kegagalan beberapa organ, terutama pada mata, ginjal, saraf, jantung dan

pembuluh darah (Asdie, 2000). Berdasarkan Perkeni (2011) pengelolaan diabetes

meliputi perencanaan makan, latihan jasmani, pengelolaan farmakologis, dan

edukasi. Pengelolaan ini bertujuan untuk memperbaiki kelainan kadar gula darah,

lipid maupun berbagai kelainan metabolik lain pada pasien diabetes (Waspadji,

2005). Oleh karena itu, pemeliharaan asupan makanan, pemeliharaan kesehatan

serta kualitas hidup yang baik dapat menghindari dan menjaga dari gejala

hiperglikemik, hipoglikemik dan membebaskan dari komplikasi jangka panjang

yang mungkin terjadi.

Departemen Kesehatan RI telah menetapkan Visi yatiu : “Masyarakat yang

Mandiri untuk Hidup Sehat” dengan Misi yaitu : “Membuat Rakyat Sehat”.

Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik juga telah menetapkan Visi :

“Terwujudnya Pelayanan Medik Prima”. Adalah mampu menggerakan dan

mewujudkan Pelayanan Medik Prima, yaitu pelayanan medic yang bermutu,

terjangkau, adil dan merata sehingga diperoleh derajat kesehatan yang setinggi-

tingginya, (Susatyo Herlambang, Arita Murwani, 2012).

4
Rumah sakit merupakan salah satu mata rantai di dalam pemberian pelayanan

kesehatan serta suatu organisasi dengan system terbuka dan selalu berinteraksi

dengan lingkungannya untuk mencapai suatu keseimbangan yang dinamis, yang

mempunyai fungsi utama melayani masyarakat yang membutuhkan pelayanan

kesehatan serta sebagai tempat penelitian.

Namun, tak sedikit keluhan dari masyarakat selama ini diarahkan pada

kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah. Ini terutama rumah

sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah. Penyebabnya yaitu masalah

keterbatasan dana yang dimiliki oleh rumah sakit daerah atau rumah sakit milik

pemerintah, sehingga tidak bisa mengembangkan mutu pelayanannya, baik karena

peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM)

yang masih rendah. Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek

manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari

lingkungan, yaitu antara lain bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan

pelayanan kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali

sehingga akan berujung pada kepuasan pasien.

Dengan demikian, agar pelayanan kesehatan yang diberikan kepada

masyarakat dapat memuaskan, maka ada beberapa faktor yang harus diperhatikan.

Salah satunya sumber daya manusia kesehatan yang pada satu sisi adalah unsur

penunjang pertama dalam pelayanan kesehatan, pada sisi lain ternyata kondisinya

saat ini masih jauh dari kurang, baik pada kuantitas maupun kualitasnya. Perlu

kitta ketahui bahwa dengan tingginya tingkat kemampuan sumber daya manusia

5
tersebut maka pelaksanaan kegiatan pelayanan akan tercapai dengan maksimal,

(Moenir, 1992:231).

Dalam pelayaan kesehatan rumah sakit mempunyai Standard Operating

Procedure (SOP) supaya dapat memberikan pelayanan yang optimal. Salah

satunya adalah SOP penyakit diabetes mellitus. Berdasarkan Perkeni (2011)

pengelolaan diabetes meliputi perencanaan makan, latihan jasmani, pengelolaan

farmakologis, dan edukasi. Pengelolaan ini bertujuan untuk memperbaiki kelainan

kadar gula darah, lipid maupun berbagai kelainan metabolik lain pada pasien

diabetes (Waspadji, 2005).

Diabetes mellitus termasuk 10 penyakit terbesar yang ada pada Rumah Sakit

Daerah Kol. Abundjani Bangko dan RSUD Prof. DR. H. M. Chatib Quzwain Kab.

Sarolangun. Jumlah penyakit diabetes mellitus tipe 2 pada RSD Kol. Abundjnai

Bangko berdasarkan data dari Rekam Medik tahun 2015 jumlah penderita

diabetes mellitus sebanyak ……..orang terdiri dari laki-laki ……orang dan

perempuan ….orang. Tahun 2016 bulan Januari sampai bulan April jumlah

penderita diabetes mellitus 2 sebanyak……..orang terdiri dari laki-laki ……orang

dan perempuan ….orang. (Data Rekam Medik RSD Kol.. Abundjani Bangko,

2015-2016). Sedangkan pada RSUD Prof. DR. H. M. Chatib Quzwain Kab.

Sarolangun data dari Rekam Medik tahun 2015 jumlah penderita diabetes mellitus

sebanyak ……..orang terdiri dari laki-laki ……orang dan perempuan ….orang.

Tahun 2016 bulan Januari sampai bulan April jumlah penderita diabetes mellitus 2

sebanyak……..orang terdiri dari laki-laki ……orang dan perempuan ….orang.

6
(Data Rekam Medik RSUD Prof. DR. H. M. Chatib Quzwain Kab. Sarolangun,

2015-2016). Data diatas dapat diuraikan seperti tabel dibawah ini :

Tabel 1. Data Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Tahun 2015 Tahun 2016
No Uraian
Laki – laki Perempuan Laki – laki Perempuan
1. RSD Kol Abundjani
Bangko
2. RSUD Prof. DR. H.
M. Chatib Quzwain
Kab. Sarolangun
Ket. Data Rekam Medik

Dalam penatalaksanaan penyakit diabetes mellitus tipe 2 terdapat persamaan

dan perbedaan pada masing – masing rumah sakit. Perbedaan tersebut yaitu :

pertama mengenai penatalaksanaan terapi non farmakologi, di mana kurangnya

pengetahuan tentang diet rendah kelebihan karbohidrat, karena keterbatasan ahli

gizi. Kedua penatalaksanaan terapi farmakologi didalam penggunaan insulin dan

keterbatasan pemeriksaan laboratorium yang tersedia untuk penyakit diabetes

mellitus.

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti melakukan penelitian tentang

“Study Perbandingan Penatalaksanaan Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 pada

RSD Kol. Abundjani Bangko dan RSUD Prof. DR. H. M. Chatib Quzwain

Kabupaten Sarolangun”.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah Penatalaksanaan Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 pada RSD Kol.

Abundjani Bangko dan RSUD Prof. DR. H. M. Chatib Quzwain Kabupaten

Sarolangun sudah sesuai Standard Operating Procedure (SOP)?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

7
a. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Penatalaksanaan Penyakit

Diabetes Mellitus Tipe 2 pada RSD Kol. Abundjani Bangko dan RSUD Prof. DR.

H. M. Chatib Quzwain Kabupaten Sarolangun sudah sesuai Standard Operating

Procedure (SOP)

b. Manfaat Penelitian

Dengan mempelajari Penatalaksanaan Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2

pada RSD Kol. Abundjani Bangko dan RSUD Prof. DR. H. M. Chatib Quzwain

Kabupaten Sarolangun sudah sesuai Standard Operating Procedure (SOP)

diharapkan :
1. Bagi Manajemen Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan, pertimbangan, evaluasi dalam Penatalaksanaan

Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 pada RSD Kol. Abundjani Bangko dan

RSUD Prof. DR. H. M. Chatib Quzwain Kabupaten Sarolangun sudah sesuai

Standard Operating Procedure (SOP).


2. Memberikan informasi pada tenaga medis dan profesional kesehatan lainnya

tentang Penatalaksanaan Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 pada RSD Kol.

Abundjani Bangko dan RSUD Prof. DR. H. M. Chatib Quzwain Kabupaten

Sarolangun sudah sesuai Standard Operating Procedure (SOP).


3. Bagi dunia pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi dalam pengayaan materi ilmu kefarmasian khususnya farmasi

klinis.
4. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pembanding

untuk penelitian selanjutnya.


5. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan

pengalaman tentang Penatalaksanaan Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 pada

8
RSD Kol. Abundjani Bangko dan RSUD Prof. DR. H. M. Chatib Quzwain

Kabupaten Sarolangun sudah sesuai Standard Operating Procedure (SOP).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme

kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah

9
disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai

akibat insufisiensi fungsi insulin (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

2.1.1 Jenis-jenis diabetes melitus

2.1.1.1 Diabetes mellitus tipe 1

Diabetes ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,

diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.

Diabetes tipe ini disebabkan kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang

disebabkan oleh reaksi otoimun.

Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel

β, sel α dan sel σ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi

glukagon, sedangkan sel-sel σ memproduksi hormon somastatin. Namun

demikian serangan autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β.

Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas

langsung mengakibatkan defesiensi sekresi insulin. Defesiensi insulin inilah yang

menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain

defesiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM tipe 1

juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM tipe 1 ditemukan sekresi glukagon

yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia

akan menurunkan sekresi glukagon, tapi hal ini tidak terjadi pada penderita DM

tipe 1, sekresi glukagon akan tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia,

hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan

ini adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila

tidak mendapatkan terapi insulin.

10
2.1.1.2 Diabetes mellitus tipe 2

Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih

banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1, terutama terjadi pada orang

dewasa tetapi kadang-kadang juga terjadi pada remaja. Penyebab dari DM tipe 2

karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara

normal, keadaan ini disebut resietensi insulin.

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul

gangguan gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan.

Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β langerhans secara autoimun

sebagaimana terjadi pada DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin

pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut.

Obesitas yang pada umumnya menyebabkan gangguan pada kerja insulin,

merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada diabetes tipe ini, dan sebagian

besar pasien dengan diabetes tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadi penurunan

kepekaan jaringan pada insulin, yang telah terbukti terjadi pada sebagian besar

dengan pasien diabetes tipe 2 terlepas pada berat badan, terjadi pula suatu

defisiensi jaringan terhadap insulin maupun kerusakan respon sel α terhadap

glukosa dapat lebih diperparah dengan meningkatya hiperglikemia, dan kedua

kerusakan tersebut dapat diperbaiki melalui manuve-manuver teurapetik yang

mengurangi hiperglikemia tersebut (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

2.1.1.3 Diabetes mellitus gestasional

Diabetes mellitus gestasional adalah keadaaan diabetes yang timbul selama

masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara. Keadaan ini terjadi

11
karena pembentukan hormon pada ibu hamil yang menyebabkan resistensi insulin

(Tandra, 2008).

2.1.2 Diagnosis diabetes mellitus

Diagnosis DM biasanya diikuti dengan adanya gejala poliuria, polidipsia,

polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.

Diagonosis DM dapat dipastikan apabila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah

sewaktu ≥ 200 mg/dl dan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126

mg/dl. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1. Kriteria penegakan diagnosis diabetes mellitus


Glukosa plasma Glukosa Plasma 2 jam
puasa setelah makan
Normal <100 mg/dl <140 mg/dl
Diabetes ≥126 mg/dl ≥200 mg/dl

2.1.3 Penatalaksanaan diabetes mellitus

Pada penatalaksanaan diabetes mellitus, langkah pertama yang harus

dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah

raga. Apabila dalam langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai,

dapat dikombinasi dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi

obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,

2005).

2.1.3.1 Terapi non farmakologi

1. Pengaturan diet

12
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet

yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal

karbohidrat, protein dan lemak. Tujuan pengobatan diet pada diabetes adalah:

a. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati

kadar normal.

b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.

c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.

d. Meningkatkan kualitas hidup.

Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien diabetes mellitus, yang

terpenting dari semua terapi nutrisi adalah pencapian hasil metabolis yang optimal

dan pencegahan serta perawatan komplikasi. Untuk pasien DM tipe 1, perhatian

utamanya pada regulasi administrasi insulin dengan diet seimbang untuk

mencapai dan memelihara berat badan yang sehat. Penurunan berat badan telah

dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel β

terhadap stimulus glukosa.

2. Olah raga

Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap

normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan

secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.

Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,

bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olah raga akan memperbanyak jumlah

dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,

2005).

13
2.1.3.2 Terapi farmakologi

1. Insulin

Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam merespon

glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun

dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30

asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam

pengendalian metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa

dari darah ke dalam sel.

Macam-macam sediaan insulin:

1. Insulin kerja singkat

Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah

setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

Regular.

2. Insulin kerja panjang (long-acting)

Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di cairan

jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah.

Metoda yang digunakan adalah mencampurkan insulin dengan protein atau

seng atau mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.

3. Insulin kerja sedang (medium-acting)

Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan

mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh:

Mixtard 30 HM (Tjay dan Rahardja, 2002).

14
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan

memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk pasien

yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi

metformin dan sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah

insulin (Waspadji, 2010).

2. Obat Antidiabetik Oral

Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien

diabetes mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan

menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina

Farmasi dan Alkes, 2005).

a. Golongan Sulfonilurea

Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dikelenjar

pankreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas

masih dapat berproduksi Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah

pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan

sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Obat golongan ini merupakan pilihan

untuk diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta

tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya (Ditjen Bina Farmasi dan

Alkes, 2005).

Sulfonilurea generasi pertama

Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam

hati. Masa kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam

(Katzung, 2002). Dalam darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam

15
hati obat ini diubah menjadi karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal

(Handoko dan Suharto, 1995).

Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi,

masa paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1-

hidroksilheksamid yang ternyata lebih kuat efek hipoglikemianya daripada

asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1-hidroksilheksamid juga

memperlihatkan masa paruh yang lebih panjang, kira-kira 4-5 jam (Handoko

dan Suharto, 1995).

Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di dalam

hati dan metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah terikat

albumin, masa paruh kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat

beberapa hari setelah pengobatan dihentikan (Handoko dan Suharto, 1995).

Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya dan

efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam setelah

pemberian. Waktu paruhnya sekitar 7 jam (Katzung, 2002).

Sulfonilurea generasi kedua

Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali

lebih kuat daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain

tidak efektif lagi, risiko hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola

kerjanya berlainan dengan sulfonilurea yang lain yaitu dengan single-dose

pagi hari mampu menstimulasi sekresi insulin pada setiap pemasukan glukosa

(selama makan) (Tjay dan Rahardja, 2002). Obat ini dimetabolisme di hati,

16
hanya 21% metabolit diekresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui

empedu dan ginjal (Handoko dan Suharto, 1995).

Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid dimetabolisme

dalam hati menjadi produk yang aktif dan 10% diekskresikan tanpa

perubahan melalui ginjal (Katzung, 2002).

Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis

paling rendah dari semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg

terbukti efektif dan dosis harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg.

Glimepiride mempunya waktu paruh 5 jam dan dimetabolisme secara

lengkap oleh hati menjadi produk yang tidak aktif (Katzung, 2002).

b. Golongan Biguanida

Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan

glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat

selular dan menurunkan produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu

makan hingga berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada

penderita yang overweight (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

c. Golongan Tiazolidindion

Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan

berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan

kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya

penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat.

Tiazolidindion diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan

17
yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak

menyebabkan kelelahan sel β pankreas. Contoh: Pioglitazone, Troglitazon.

d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase

alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia

postprandrial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan

hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh:

Acarbose (Tjay dan Rahardja, 2002).

2.2 Gambaran Umum Rumah Sakit

2.2.1 Sejarah Singkat Rumah Sakit Daerah Kolonel Abundjani Bangko

Rumah Sakit Daerah Kol. Abundjani Bangko merupakan rumah sakit satu–

satunya di Kabupaten Merangin, dan merupakan salah satu dari 10 rumah sakit

umum yang ada di Propinsi Jambi. RSD.Kolonel Abundjani Bangko terleletak di

Kabupaten Merangin Provinsi Jambi, yang beralamat di Jalan Kesehatan No. 20

Pematang Kandis Bangko. Kabupaten Merangin mempunyai jumlah penduduk

449.091 jiwa dengan mata pencaharian tani, perkebunan dan pegawai negeri.

Rumah Sakit Daerah Kolonel Abundjani Bangko berdiri pada Tahun 1983,

dengan Tipe C dengan persetujuan MENDAGRI (Menteri Dalam Negeri) Nomor

061/1942/SJ tanggal 08 Juni 1995 dengan luas lokasi + 25000 m² dan luas

bangunan 8260 m². Rumah Sakit Tipe C artinya Rumah Sakit yang mampu

memberikan pelayanan kedokteran spesialis terbatas. Pada saat ini hanya ada 5

(lima) macam pelayanan spesialis yang disediakan di Rumah Sakit Daerah

18
Kolonel Abundjani Bangko yaitu pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah,

pelayanan kesehatan mata, pelayanan kesehatan anak serta pelayanan kebidanan

dan kandungan. Dan sampai saat ini pegawai Rumah sakit daerah Kolonel

Abundjani berjumlah 482 orang. Dalam rangka mencapai keberhasilan

pelaksanaan pembangunan Rumah Sakit Daerah Kolonel Abundjani Bangko

Kabupaten Merangin, telah didukung oleh potensi daerah yang beraneka ragam.

Guna mencapai cita-cita atau keinginan Rumah Sakit Daerah Kolonel

Abundjani Bangko, untuk meningkatkan pelayanan kesehatan Rumah Sakit maka

Rumah Sakit harus membuat kebijakan-kebijakan. Kebijakan inilah selanjutnya

menjadi pijakan dalam setiap implementasi tindakan yang dilakukan. Disamping

itu, kebijakan ini juga menjadi komitmen bersama seluruh aparatur Rumah Sakit

Daerah Kolonel Abundjani Bangko untuk mewujudkannya. Sehingga setiap

langkah yang dilakukan merupakan langkah atau menifestasi untuk mencapai

tujuan yang dimaksud. Perumusan kebijakan yang akan dicapai pada dasarnya

juga mempertimbangkan potensi dan dukungan yang memiliki sehingga dapat

menjadi fondasi dalam mencapai cita-cita yang ingin dicapai oleh Rumah Sakit

Daerah Kolonel Abundjani Bangko secara berkesinambungan. Aktualisasi

pencapaian cita-cita tersebut dituangkan dalam visi Rumah Sakit Daerah Kolonel

Abundjani Bangko Kabupaten Merangin, (Lakip RSD Kolonel Abundjani Bangko).

2.2.2 Sejarah singkat RSUD Prof. DR. H. M. Chatib Quzwain Kab.

Sarolangun

19
2.4 Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)

Pelayanan kefarmasian adalah praktek berorientasi pada pasien dimana dalam

pelaksanaanya bertanggung jawab pada kebutuhan pasien terkait obat.

Pelaksanaan pelayanan kefarmasian bertanggung jawab dalam terapi obat pasien

untuk mencapai hasil (outcomes) yang lebih baik dan untuk memperbaiki kualitas

hidup pasien (Cipolle, dkk., 2004).

Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari

sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang beorientasi kepada pelayanan

pasien, penyediaan obat yang bermutu termasuk pelayanan farmasi klinik.

Pelayanan kefarmasian terus berkembang tidak terbatas hanya penyiapan obat dan

penyerahan obat pada pasien tapi juga memerlukan interaksi dengan pasien dan

professional kesehatan lainnya.

Tujuan pelayanan farmasi rumah sakit adalah pelayanan farmasi yang

paripurna sehingga dapat: tepat pasien, tepat dosis, tepat cara pemakaian, tepat

kombinasi, tepat waktu dan harga. Selain itu pasien diharapkan juga mendapatkan

pelayanan penyuluhan yang dianggap perlu oleh farmasi sehingga pasien

mendapatkan pengobatan yang efektif, efisien, aman, rasional bermutu, dan

terjangkau (Anomim, 2011).

20
BAB III
BAHAN DAN METODE

3.1 Disain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pengambilan data

secara retrospektif.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan (Januari – April 2016) di

Instalasi Rekam Medik RSD Kol. Abundjani Bangko dan RSUD Prof. DR. H. M.

Chatib Quzwain Kabupaten Sarolangun.


3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan
Tabel 3. Jadwal Penelitian
Kegiatan Bulan I Bulan II Bulan III Bulan IV
Persiapan
Pengumpulan Data
Analisa Data
Penulisan Hasil

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi
Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh pasien diabetes mellitus tipe 2 di

Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Rawat Inap RSD Kol. Abundjani Bangko dan

RSUD Prof. DR. H. M. Chatib Quzwain Kabupaten Sarolangun periode 1 Januari

– 31 Desember 2015.

3.3.2 Sampel

A. Tekhnik pengambilan sampel

Tekhnik pengambilan sampel dengan menggunakan metode sensus.

B. Ukuran Sampel

21
Semua anggota populasi yang memenuhi kriteria inklusi menjadi sampel.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1 Kriteria Inklusi

Pasien diabetes mellitus tipe 2 di Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Rawat

Inap RSD Kol. Abundjani Bangko dan RSUD Prof. DR. H. M. Chatib

Quzwain Kabupaten Sarolangun periode 1 Januari – 31 Desember 2015

dengan data rekam medik yang lengkap. Data rekam medik yang lengkap

yaitu memuat informasi seperti No. RM, nama pasien, jenis kelamin, umur,

riwayat penyakit, diagnosa, tekanan darah, pemakaian obat insulin.

3.4.2 Kriteria Eksklusi

1. Pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap (tidak memuat

informasi dasar yang dibutuhkan dalam penelitian).

2. Laki-laki atau perempuan dengan usia < 60 tahun.

3.5 Bahan dan Alat Penelitian


Bahan penelitian berupa rekam medik pasien diabetes mellitus tipe 2 di

instalasi rawat jalan dan instalasi rawat inap RSD Kol. Abundjani Bangko dan

RSUD Prof. DR. H. M. Chatib Quzwain Kabupaten Sarolangun selama tahun

2015.
Alat dalam penelitian ini berupa lembar pengumpul data untuk mencatat

data rekam medik pasien.

3.6 Prosedur Penelitian

22
1. Meminta izin dan surat rekomendasi dari STIKES Harapan Ibu untuk

melaksanakan penelitian di RSD Kol. Abundjani Bangko dan RSUD Prof.

DR. H. M. Chatib Quzwain Kabupaten Sarolangun.

2. Menyerahkan surat rekomendasi kepada bagian pendidikan dan penelitian

(Diklit) RSD Kol. Abundjani Bangko dan RSUD Prof. DR. H. M. Chatib

Quzwain Kabupaten Sarolangun untuk mendapatkan izin melakukan

penelitian.

3. Menyerahkan surat izin pengambilan data ke bagian rekam medis RSD

Kol. Abundjani Bangko dan RSUD Prof. DR. H. M. Chatib Quzwain

Kabupaten Sarolangun.

4. Melaksanakan pengumpulan data di bagian rekam medis RSD Kol.

Abundjani Bangko dan RSUD Prof. DR. H. M. Chatib Quzwain

Kabupaten Sarolangun.

5. Analisa data dan menyajikan dalam bentuk tabel dan diagram persentase.

3.7 Penyajian Data

Data yang diperoleh disajikan secara apa adanya dan tidak akan dianalisa

apakah ada hubungan sebab akibat antara variabel. Data yang diperoleh berupa :
3.7.1 Data Kuantitatif
Data disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel atau diagram. Data

yang diperoleh antara lain :

a. Jumlah dan persentase pasien yang menderita diabetes mellitus tipe 2.

b. Jumlah dan persentase pasien yang diberikan obat insulin berdasarkan

golongan obat diabetes mellitus tipe 2.

c. Jumlah dan persentase pasien yang diberikan obat diakter oral dan kombinasi.

23
3.7.2 Data Kualitatif

Data kualitatif adalah data yang diperoleh dari ketepatan dalam pemilihan

obat ditinjau dari tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan kesesuaian dengan

range dosis terapi berdasarkan JNC VII, Konsensus penatalaksanaan hipertensi

pada keadaan khusus: Hipertensi pada usia lanjut (Perhimpunan Hipertensi

Indonesia, 2009), Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Seventh

Edition (Dipiro, 2008).

3.8 Defenisi Operasional

 Tepat indikasi : ketepatan penggunaan antihipertensi atas dasar

diagnosa yang ditegakkan dokter sesuai dengan diagnosa yang

tercantum di rekam medik yang memiliki tekanan darah ≥ 140/90

mmHg,atau pada pasien yang memiliki riwayat penyakit hipertensi

sebelumnya.

 Tepat Pasien : obat yang diberikan tidak kontra indikasi dengan

kondisi pasien atau riwayat penyakit pasien.

 Tepat Obat : Ketepatan pemilihan kelas terapi dan jenis obat

berdasarkan diagnosa yang telah ditetapkan dan hasil pemeriksaan

tekanan darah. Selanjutnya untuk penentuan terapi obat yang akan

diberikan disesuaikan dengan standar JNC VII, PHI (2009), Dipiro

(2008).

 Kesesuaian dengan range dosis :.Kesesuaian range dosis obat

antihipertensi disesuaikan dengan standar JNC VII . Dosis yang sesuai

24
juga dilihat dari keadaan fungsi ginjal pasien berdasarkan perhitungan

klirens kreatinin.

 Hipertensi : Peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau

peningkatan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg.

 Hipertensi esensial : Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya.

 Pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan hipertensi esensial : Pasien

dengan usia > 60 tahun yang memiliki klasifikasi diagnosa utama atau

diagnosa sekunder berdasarkan ICD 10 dengan kode diagnosa I10.

3.9 Kerangka Penelitian

Daftar Pustaka

1. Susatyo Herlambang, Arita Murwani, Manajemen Kesehatan dan Rumah

Sakit (Yogyakarta: Gosyen Publishing, 2012) : 38

25

Anda mungkin juga menyukai