Anda di halaman 1dari 2

Menghidupi Pancasila di Era Modern

Ketuhanan yang Maha Esa. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Persatuan Indonesia.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lima sila tersebut dihapalkan oleh sangat banyak warga negara Indonesia, utamanya
kaum pelajar (tidak mengherankan, kelima sila tersebut dibacakan setiap Hari Senin, setiap
minggu, selama dua belas tahun. Dan karena itu belum cukup, ia juga terletak di depan kelas-
kelas, diapit oleh foto presiden dan wakil presiden). Namun Pancasila tidak diciptakan untuk
dihapalkan, repetisi yang dilakukan bukan ditujukan untuk membuat siswa mampu
mengatakannya dengan lancar.

Tidak dengan cara yang sama bagaimana bayak kegiatan yang dilakukan berulang kali
kemudian kehilangan maknanya. Pancasila tidak sama dengan lagu yang dihapal semua orang
hanya karena entah kenapa sering diputar di mana-mana. Pancasila adalah sesuatu yang sakral,
cita-cita pendahulu kita yang mempercayakan masa depan bangsa kepada kita.

Pelajaran sejarah mengenai usaha kemerdekaan atau banyaknya jiwa pahlawan yang
hilang dalam melakukannya, meskipun secara teori terasa cukup efektif, sering terasa sulit untuk
benar-benar dipahami. Seperti, semua orang tentu merasa bahwa perjuangan untuk melahirkan
Pancasila adalah sesuatu yang luar biasa dan sangat menyadari bahwa mereka seharusnya
merasa simpati dan sadar bahwa hal terkecil yang dapat mereka lakukan sebagai balasan adalah
melanjutkan mimpi yang mengharuskan banyak pendahulu mereka mengakhiri hidup. Namun,
lebih sering dari yang diinginkan, peristiwa-persitiwa besar yang pada dasarnya mengubah
Indonesia dan jumlah nyawa yang terkorban terdengar hampir seperti kisah dan angka-angka
samar dari masa lalu.

Saya yakin bahwa kebanyakan orang mengetahui bahwa itu adalah hal yang benar.
Mengetahui dengan baik alasan mereka harus menerapkannya. Pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan terus menekankan hal tersebut, dan mata pelajaran itu adalah mata pelajaran
wajib sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Semua alasan-alasan itu dihapalkan dari buku
yang diterima dari sekolah.

Tapi sekali lagi, Pancasila tidak diciptakan untuk sekadar dihapal.

Pancasila perlahan-lahan mulai kehilangan, apapun itu yang dulu membuatnya kuat dan
berpengaruh. Ada banyak hal yang dapat ditunjuk sebagai penyebab terjadinya hal ini. Namun
mungkin ada saat di mana kita berhenti saling menunjuk dan mulai melihat diri sendiri.

Saya rasa pendidikan Pancasila yang diberikan sepanjang bangku sekolah adalah usaha
yang luar biasa, namun inti dari pembelajaran adalah didapatkannya insight oleh orang-orang
yang diajarkan. Bukan membuat mereka menghapal sederetan kata. Tentu itu adalah bagian yang
tersulit, karena sangat personal dan tidak dapat sepenuhnya dikontrol faktor eksternal. Namun
dampaknya akan jauh lebih kuat.

Pancasila adalah sesuatu yang sangat kaya. Saya merasa jika seseorang benar-benar
memikirkannya, ia akan mendapatkan apa yang tidak mampu ia dapatkan dengan menghapal.
Mungkin banyak yang merasa bahwa memikirkannya tidak lagi menjadi sesuatu yang perlu,
karena seringnya pembelajaran mengenai Pancasila dilakukan.

Tapi memaknai Pancasila bukanlah menghapal hal-hal yang tertulis di buku sehari
sebelum ujian dan melupakannya dua jam setelah ujian berakhir. Bukan membaca slide-slide
presentasi powerpoint di dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila. Tapi benar-benar
memaknainya.

Latar belakangnya. Sejarahnya. Harapan yang ia bawa. Tujuan yang diciptakan


bersamanya. Atau mungkin hanya menyadari bahwa pada dasarnya inti dari Pancasila adalah
untuk menjadi manusia yang baik. Ada banyak alasan untuk menghidupi Pancasila. Namun
hanya mendaftarkannya tidak akan melakukan banyak hal—setidaknya tidak sebanyak ketika
seseorang menemukan alasannya sendiri.

Jadi, ya, Pancasila itu kaya. Pancasila menawarkan banyak pilihan. Jika seseorang benar-
benar melihat ke dalamnya, ia akan temukan sesuatu yang terasa sesuai sebagai alasan untuk
menghidupi Pancasila.

Anda mungkin juga menyukai