Anda di halaman 1dari 15

Bayi Lahir dari Ibu dengan Suspek Hepatitis B

Stevani
102015030, E4
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
stevani.2015fk030@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak : Tubuh manusia memiliki mekanisme sistem pertahanan tubuh yang sedemikian
rupa sehingga dapat bertahan dari berbagai keadaan. Salah satu organ yang berperan untuk
mendetoksifikasikan toxin adalah hati. Organ ini terletak pada rongga abdomen serta aliran
darah banyak melaluinya sebelum kembali ke jantung untuk kembali dipompa ke seluruh
tubuh lagi. Aliran darah ini selain untuk dibersihkan dari toxin juga berarti akan membawa
toxin yang dapat menginfeksi hati manusia serta membuatnya rusak. Contohnya adalah
hepatitis B virus yang menginfeksi hati dan dapat mengakibatkan kelainan. Tidak hanya itu,
hepatitis B virus juga dapat tertular apabila seorang ibu yang sedang hamil menderita atau
pernah menderita hepatitis B dan tidak sembuh secara total. Penularan ini dapat dicegah
apabila ibu rajin untuk melakukan pemeriksaan pada masa kehamilan. Semakin dini
diketahuinya gangguan maka akan semakin baik juga prognosis. Selain itu diagnosa dini juga
berguna mencegah terjadi hepatitis B kronik yang memiliki potensi tinggi terjadi pada
neonatal.
Kata kunci : hati, virus hepatitis b, neonatal
Abstract : The human body has a mechanism of the body's defense system is such that it can
withstand a variety of circumstances. One organ that acts to mendetoksifikasikan toxin is the
liver. This organ is located in the abdominal cavity and a lot of blood flow through it before
returning to the heart to be pumped back into the body again. The blood flow is in addition to
be cleaned from the toxin also means it will carry toxins that can infect the human heart and
makes it defective. An example is the hepatitis B virus that infects the liver and can lead to
abnormalities. Not only that, the hepatitis B virus can also be contracted if a pregnant mother
suffering or had suffered from hepatitis B and was not completely healed. This transmission
can be prevented if the mother diligently to carry out checks during pregnancy. The earlier
the disorder knows, the better the prognosis as well. Besides early diagnosis is also useful to
prevent occur with chronic hepatitis B who have a high potential occurs in neonatal.
Keywords: liver, hepatitis b virus, neonatal
Pendahuluan
Hati merupakan organ yang berfungsi untuk mendetoksifikasikan berbagai bahan yang
ada di dalam tubuh. Selain itu hati juga berfungsi untuk membantu pencernaan lemak yang
kita makan melalui empedu yang dihasilkan. Oleh karenanya hati berpotensi terkena bahan
toksik tertentu yang berakibat pada terganggunya fungsi tersebut. Salah satunya oleh karena
virus seperti hepatitis B virus (HBV).
Hepatitis B virus ini dapat bersifat akut, kronik atau bahkan menjadi carrier. Seorang
yang tidak memiliki gejala sekalipun dapat dikatakan terkena Hepatitis apabila pada uji
antigen ditemukan antibodi terhadap hepatitis.1 Resiko kematian yang terjadi pada infeksi
HBV biasanya berhubungan dengan kanker hati kronis atau sirosis hepatis yang terdapat pada
25% penderita yang secara kronis terinfeksi sejak kecil. Jika tidak terinfeksi pada masa
perinatal, maka bayi dari ibu HBsAg positif tetap memiliki resiko tinggi untuk mengidap
infeksi virus Hepatitis B kronis melalui kontak orang ke orang (transmisi horizontal) pada 5
tahun pertama kehidupannya. Sedangkan infeksi pada masa dewasa yang disebabkan oleh
transmisi horizontal memiliki resiko kronisitas hanya sebesar 5%.2
Pada ibu hamil yang mengandung, dapat menularkan hepatitisnya secara transplasenta
atau bahkan tidak tertular sama sekali tergantung beberapa kondisi. Hal tersebut berkaitan
dengan kasus skenario yang akan dibahas dalam makalah ini.
Skenario kasus :
Seorang bayi dilahirkan dengan usia gestasi 40 minggu secara spontan per vaginam
dari seorang ibu dengan suspek hepatitis B. Pada makalah ini akan dibahas mengenai neonatal
suspek hepatitis B yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
diagnosis kerja dan diagnosis banding, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, gejala klinis,
penatalaksanaan, kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi, serta prognosisnya.

Anamnesis
Anamnesis merupakan deskripsi pasien tentang penyakit atau keluhannya, termasuk
alasan pasien untuk datang berobat. Anamnesis yang baik yaitu berupa perpaduan keahlian
mewawancarai dan pengetahuan yang mendalam tentang gejala dan tanda dari suatu penyakit
yang akan memberikan hasil yang memuaskan dalam menegakkan diagnosis, sehingga dapat
membantu menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, termasuk pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.2
Terdapat sejumlah pertanyaan rutin yang harus diajukan kepada semua pasien,
mengenai identitas (nama, umur, alamat dan pekerjaan), keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit menahun, riwayat pengobatan dan
riwayat sosial. Dalam skenario kasus mengenai neonatal suspek hepatitis B ini, didapatkan
data hasil anamnesis, yaitu :
 Identitas: Bayi cukup bulan.
 Keluhan utama: Lahir spontan per vaginam dari ibu dengan suspect hepatitis B.
 Riwayat Penyakit Sekarang: Selama kehamilan ibu tidak mengalami keluhan
yang berarti namun tidak rutin melakukan antenatal care (ANC). Pada saat
dilahirkan, bayi tampak aktif dan kuat menangis.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, hal pertama yang harus diperhatikan adalah mengenai
kesadaran umum, keadaan umum dan juga melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital pasien.
Selanjutnya, berdasarkan kasus dimana yang diperiksa adalah neonatus, maka harus dilakukan
pemeriksaan dengan teknik antropometri untuk mengetahui berat badan, panjang badan, dan
lingkar kepala. Juga dapat melakukan inspeksi seperti memeriksa mata nya, apakah ada sklera
ikterik atau tidak, mukosa, dan juga kulit. Lalu palpasi pada bagian abdomen, perkusi bagian
abdomen serta melakukan auskultasi pada abdomen.3 Didapatkan hasil pada pemeriksaan fisik
neonatus dalam batas normal.

Pemeriksaan Penunjang
1. Tes fungsi hati

Fungsi hati umumnya diukur dengan memeriksa aktivitas enzim serum (yaitu, alkali
fosfatase, laktat dehidrogenase, serum aminotranferase (transaminase), dan konsentrasi serum
protein, bilirubin, amonia, faktor pembekuan serta lipid. Serum aminotransferase (yang juga
disebut transaminase) merupakan indikator yang sensitif untuk menunjukan cedera sel hati
dan sangat membantu dalam pendeteksian penyakit hati akut seperti hepatitis. SGOT-SGPT
merupakan test paling sering dilakukan untuk menunjukan kerusakan hati. Kadar SGPT
meningkat terutama pada penyakit hati dan dapat digunakan untuk menunjukan kerusakan
hati.2 Serta dapat digunakan untuk memantau perjalanan penyakit hepatitis, sirosis atau hasil
pengobatan yang mungkin toksik bagi hati.
2. Tes serologi
Tes serologi adalah pemeriksaan kadar antigen maupun antibodi terhadap virus
penyebab hepatitis. Tes ini bertujuan untuk mengetahui jenis virus penyebab hepatitis.4
 Antigen permukaan hepatitis (HbsAg)

Indikator paling awal untuk mendiagnosis infeksi virus hepatitis B adalah antigen
permukaan hepatitis B (HBsAg). Penanda serum ini dapat muncul sekitar 2 minggu setelah
penderita terinfeksi, dan akan tetap ada selama fase akut infeksi sampai terbentuk anti-HBs.
Jika penanda serum ini tetap ada selam 6 bulan, hepatitis dapat menjadi kronis dan penderita
dapat menjadi carrier. Vaksin hepatitis B tidak akan menyebabkan HBsAg positif. Penderita
HBsAg positif tidak boleh mendonorkan darah.
 Antibodi antigen permukaan hepatitis B ( anti-HBs)

Fase akut hepatitis B biasaya berlangsung selama 12 minggu. Oleh karena itu, HbsAg
tidak didapati dan terbentuk anti HBs. Penanda serum ini mengindikasikan pemulihan dan
imunitas terhadap virus hepatitis B. IgM anti-HBs akan menentukan apakah penderita masih
dalam keadaan infeksius. Titer anti-HBs > 10 mIU/ml dan tanpa keberadaan HbsAg,
menunjukan bahwa penderita telah pulih dari infeksi.
 Antigen e hepatitis B (HbeAg)

Penanda serum ini hanya akan terjadi jika telah ditemukan HbsAg. Biasanya muncul 1
minggu setelah HbsAg ditemukan dan menghilang sebelum muncul anti-Hbs. Jika HbeAg
serum masih ada setelah 10 minggu, penderita dinyatakan sebagai carier kronis.
 Antibodi antigen HbeAg (anti-Hbe)

Bila terdapat anti-Hbe, hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi pemulihan dan
imunitas terhadap infeksi HBV.
 Antibodi antigen inti (anti-HBc)

Anti HBc terjadi bersamaan dengan temuan HbsAg positif kira-kira 4-10 minggu pada
fase HBV akut. Anti-HBc dapat mendeteksi penderita yang telah terinfeksi HBV. Penanda
serum ini dapat tetap ada selama bertahun-tahun dan penderita yang memilki anti-HBc positif
tidak boleh mendonorkan darahnya. Pemeriksaan anti-HBc dan IgM anti-HBc sangat
bermanfaat untuk mendiagnosis infeksi HBV selama “window period” antara hilangnya
HbsAg dan munculnya anti-HBs.
3. Pemeriksaan lain

Ultrasonografi hati perlu dilakukan jika ada keraguan mengenai cabang bilier atau
kelainan hati struktural lain. Biopsi hati dilakukan jika ada fase kolestatik yang menonjol.
Pada hepatitis B kronik inaktif akan ditemukan karier sehat bisa mempunyai nilai
SGOT dan SGPT normal, HBeAg, HBV DNA (marker infektifitas) negatif, HBsAg dan Anti
HBc positif. Sedangkan pada hepatitis B kronik aktif bisa ditemukan peningkatan ringan
hingga sedang enzim aminotransferase. Kadar SGPT sering lebih tinggi dibanding SGOT.
Kadar HBV DNA meningkat. HBsAg dan Anti HBc positif, Hipoalbuminemia dan
pemanjangan protrombin time (PT) bisa terjadi pada kasus berat atau fase akhir penyakit.4

Diagnosis Kerja
Neonatal Suspek Hepatitis B
Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B
(HBV). Penyakit ini bisa menjadi akut maupun kronis dan dapat pula menyebabkan radang,
gagal ginjal, sirosis hati, dan kematian. Penyakit hepatitis adalah peradangan hati yang akut
karena suatu infeksi atau keracunan. Hepatitis B yang menyerang ibu hamil menjadi masalah
karena risiko penularan ke bayi cukup tinggi. Penularan hepatitis dapat terjadi secara vertikal
(perinatal) maupun horizontal. Transmisi perinatal atau vertical virus hepatitis B yang berasal
dari ibu menular ke bayinya saat hamil (melalui peredaran darah tali pusat atau karena bayi
meminum air ketuban di dalam kandungan ibu (cairan amnion), proses melahirkan, atau
setelah melahirkan. Penularan secara horizontal terjadi melalui kulit atau selaput lendir,
seperti perilaku seksual bebas, transfuse darah, hemodialisis, dan sebagainya. Penggunaan
bersama alat-alat yang dapat menimbulkan luka atau lecet milik individu yang terinfeksi,
seperti pisau cukur, gunting kuku, atau sikat gigi, dapat menjadi media penularan HBV. HBV
dapat ditemukan pada cairan sperma maupun vagina maka penularan dapat terjadi melalui
hubungan seksual maupun pada proses persalinan. Di negara dengan tingkat endemisitas
infeksi HBV tinggi (termasuk Indonesia), penularan vertikal menjadi faktor utama penularan
HBV.5

Differential Diagnosis
Infeksi Cytomegalovirus (CMV)
Cytomegalovirus (CMV) merupakan virus DNA yang tergolong dalam genus virus
Herpes. Infeksi Cytomegalovirus (CMV) tidak terbatas pada ibu hamil yang mungkin
menularkan kepada janin atau anak yang dapat menyebabkan cacat lahir, buta atau tuli,
melainkan dapat menyerang setiap individu.
Infeksi CMV umumnya berjalan simtomatik pada penderita dengan kompetensi sistem
imun tubuh yang baik, namun apabila individu berada dalam kondisi imun belum matang
(misalnya janin, bayi baru lahir), tertekan (memakai obat immunosupressan), atau lemah
(misalnya menderita kanker, human immunodeficiency virus, dan lain-lain), dapat
menimbulkan gejala klinik yang nyata dan berat. Setelah infeksi primer, CMV hidup menetap
(dormant) dalam gel tubuh inang. Infeksi berjalan laten, namun reaktivasi, replikasi, reinfeksi
sering terjadi. Penyebaran dalam tubuh atau endogen dapat terjadi melalui sirkulasi darah dan
dari gel ke gel. Infeksi CMV bersifat sistemik, menyerang berbagai gel organ tubuh dan dapat
meningkatkan proses inflamasi, memacu respons autoimun, terlibat dalam patogenesis
aterosklerosis, memacu timbulnya dan mempercepat progresivitas keganasan, menyebabkan
infertilitas.6
CMV dijumpai terbanyak dalam saliva dan urin, ekskresi dapat terjadi berminggu-
minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, sehingga kemungkinan penularan mudah
terjadi. Dengan demikian, transmisi infeksi selain dari ibu ke janin atau bayi baru lahir, dapat
pula terjadi melalui kontak langsung, kontak dengan barang-barang yang terkontaminasi,
kontak seksual, transfusi darah, transplantasi organ dan sebagainya.
Infeksi CMV seringkali berjalan asimtomatik atau tanpa gejala, oleh karena itu deteksi
secara laboratorik sangat diperlukan. Bahan pemeriksaan atau spesimen yang digunakan ialah
serum darah, urin, cairan tubuh lain. Pemeriksaan laboratorium yang sering dilakukan ialah
menetapkan kadar imunoglobulin (Ig) atau antibodi terhadap antigen virus CMV, yaitu IgM,
IgG, IgG avidity. Imunoglobulin yang terdeteksi secara laboratorik ini, bukan merupakan
antibodi yang mampu menetralkan antigen protein CMV struktural, sehingga hanya dapat
dipakai untuk menunjang diagnosis atau menggambarkan respons tubuh terhadap infeksi
CMV. IgM untuk mendeteksi infeksi primer akut yang terbentuk dalam 3-5 hari pasca infeksi,
juga untuk mendeteksi infeksi fetus atau kongenital.6,7
Pada infeksi primer, IgG muncul kira-kira 2 minggu kemudian. Pada reaktivasi,
reinfeksi, IgG muncul lebih cepat disertai kadar yang lebih tinggi dan kekuatan mengikat
yang lebih baik (avidity), sehingga IgG avidity dipakai untuk membedakan infeksi baru atau
lama. Metoda pemeriksaan laboratorium yang digunakan ialah ELISA (enzyme linked
immunosorbant assay). Di samping itu, kultur virus, pemeriksaan PCR (polymerase chain
reaction) kualitatif dan kuantitatif, dapat dilakukan untuk mengetahui muatan atau pelepasan
virus dalam cairan tubuh.

Autoimmune Hepatitis
Hepatitis autoiumun ditandai dengan destruksi progresif hepatosit yang terjadi
berkaitan dengan adanya autoantibodi dalam darah, tetapi tanpa adanya penyebab lain yang
dapat menyebabkan penyakit hepar kronik. Suatu agen lingkungan-virus atau obat memicu
proses-proses yang memerantarai sel T untuk merusak antigen hati pada pasien yang rentan
secara genetik. Hepatitis autoimun tipe I yang dahulu disebut hepatitis lupoid, lebih sering
terjadi pada perempuan. Lebih sering dijumpai dan ditandai oleh antibodi autoimun multipel,
misalnya antibodi antinukleus (ANA) serta gen-gen leukosit manusia tertentu. Gejala dan
tanda awal adalah letargi, ikterus, dan temuan klinis penyakit hepar kronik.
Hepatitis autoimun tipe II memperlihatkan kesamaan gambaran klinis dengan
hepatitis autoimun tipe I, tetapi ANA negatif dan dijumpai antibodi antimikrosom hepar ginjal
(anti-LKM). Pada kedua tipe hepatitis autoimun (I, positif ANA; II positif anti-LKM), dapat
dijumpai penyakit autoimun lain, misalnya tiroiditis, glomerulonefritis, anemia hemolitik, dan
aritema nodosum.8
Dahulu, harus dipastikan adanya kronisitas sebelum diagnosis hepatitis autoimun
dapat ditegakan. Namun, awitan penyakit tidak begitu jelas sehingga kronisitas sulit
dipastikan. Pasien mungkin asimtomatik dan datang hanya dengan tanda biokimiawi adanya
kerusakan parenkim hepar, atau mereka mungkin datang dengan hepatitis akut atau hepatitis
fulminan.
Sebagian besar (70-90%) pasien dengan hepatitis autoimun berespons terhadap
pemberian kortikosteroid. Remisi klinis dan biokimiawi didefinisikan sebagai perbaikan
gejala, penurunan kadar aminotransferase serum, dan normalisasi kadar globulin gama.
Secara umum hasil akhir kehamilan pada wanita dengan hepatitis autoimun buruk, tetapi
prognosis baik jika penyakit terkontrol.8,9
Seperti penyakit autoimun lainnya, hepatitis autoimun kronik lebih sering pada wanita
dan sering timbul bersama dengan tiroiditis, kolitis ulseratif, diabetes tipe 1, dan artritis
reumatoid. Hepatitis biasanya subklinis tetapi eksaserbasi dapat menyebakan rasa lelah dan
malaise yang mungkin parah. Berdasarkan keberadaan autoantobodi yang bersirkulasi,
hepatitis autoimun dibagi menjadi tiga tipe (Tabel 1).8
Etiologi
Virus hepatitis B (HBV) adalah anggota famili hepadnavirus, dengan diameter 42 nm,
dan termasuk dalam kelompok DNA hepatotropik nonsitopatogenik, HBV mempunyai genom
DNA sirkuler, sebagian helai ganda tersusun sekitar 3.200 nukleotid. Empat genom telah
dikenali, genom S, C, X, dan P. Permukaan virus termasuk dua partikel yang ditandai antigen
hepatitis B permukaan (hepatitis B surface antigen [HBsAg]) = partikel sferis diameter 22 nm
dan partikel tubuler lebar 22 nm dengan berbagai panjang sampai mencapai 200 nm. Bagian
dalam virion berisi antigen core hepatitis B (HBcAg) dan antigen nonstruktural disebut
hepatitis B e antigen (HBeAg) antigen larut nonpartikel berasal dari HBcAg yang terpecah
sendiri oleh proteolitik. Replikasi HBV terjadi terutama dalam hati tetapi juga terjadi dalam
limfosit, limpa, ginjal, dan pankreas.10
HBV ditularkan melalui parenteral atau lewat dengan karier atau penderita infeksi akut,
kontak seksual, penularan perinatal dari ibu kepada bayinya.
Masa inkubasi 26 – 160 hari dengan rata- rata 70 – 80 hari. Faktor resiko bagi para
dokter bedah, pekerja laboratorium, dokter gigi, perawat dan terapis respiratorik, staf dan
pasien dalam unit hemodialisis, berhubungan seksual dengan penderita dan para pemaki obat-
obat IV juga beresiko. Viremia berlangsung selama beberapa minggu sampai bulan setelah
infeksi akut. Sebanyak 1-5% dewasa, 90% neonatus, 50% bayi akan berkembang menjadi
hepatitis kronik dan viremia persisten.10
Faktor Resiko
- Masa inkubasi 15-180 hari (rata-rata 60-90 hari)
- Viremia berlangsung selama beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi akut
- Sebanyak 1-5% dewasa, 90%neonatus dan 50% bayi akan berkembang menjadi hepatitis
kronik dan viremia yang persisten
- Infeksi persisten dihubungkan dengan hepatitis kronik, sirosis dan kanker hati
- HBV ditemukan di darah, semen, sekret servikovaginal, saliva, cairan tubuh lain.
- Cara transmisi
 Melalui darah : penerima produk darah, IVDU, pasien hemodialisis, pekerja
kesehatan, pekerja yang terpapar darah.
 Transmisi seksual.
 Penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa : tertusuk jarum, penggunaan
ulang peralatan medis yang terkontaminasi, penggunaan bersama pisau cukur
dan silet, tato, akupuntur, tindik, penggunaan sikat gigi bersama
 Transmisi maternal-neonatal, maternal-infant
 Tak ada bukti penyebaran fekal-oral.7

Epidemiologi
Hepatitis adalah salah satu penyakit yang menjadi masalah dunia dan endemik di
beberapa negara bagian mulai dari Afrika, Asia, Eropa Timur, Timur tengah hingga Amerika
Selatan dengan jumlah prevalensi sekitar 5-20%. Jumlah kasus baru pada anak adalah rendah
tapi sukar diperkirakan karena sebagian besar infeksi pada anak tidak bergejala. Risiko infeksi
kronis berbanding terbalik dengan umur, walaupun kurang dari 10% infeksi yang terjadi pada
anak, sedangkan sekitar 70-90% pada bayi, infeksi ini mencangkup 20-30% dari semua kasus
kronik.5
Infeksi HBV merupakan penyebab utama dari hepatitis akut dan kronik, sirosis, dan
kanker hati di seluruh dunia. Bentuk penularan dan respons terhadap infeksi bermacam-
macam, bergantung pada usia waku terinfeksi. Pada orang-orang yang mendapatkan infeksi
HBV pada usia dewasa, 90-95% akan mengalami kesembuhan dan 5-10% infeksi HBV
berlanjut menjadi hepatitis B kronis. Sementara pada bayi atau anak-anak, lebih dari 90%
berpeluang menjadi hepatitis kronis dan hanya 5-10% pasien yang mengalami kesembuhan
ditandai dengan hilangnya HBsAg dalam tubuh.11
Hepatitis kronis (HBsAg positif lebih dari 6 bulan) dapat berupa hepatitis B carrier
inaktif dengan peluang sembuh 2%/tahun, sedangkan hepatitis B kronis aktif tanpa
pengobatan yang optimal akan berpeluang besar menjadi sirosis hati atau kanker hati.

Patofisiologi
Transmisi pada neonatus pada umumnya adalah transmisi vertikal, artinya bayi
mendapat infeksi dari ibunya. Infeksi pada bayi dapat terjadi apabila ibu menderita hepatitis
akut pada trimester ketiga, atau bila ibu adalah karier HBsAg. Bila ibu menderita Hepatitis
pada trimester pertama, biasanya terjadi abortus. Transmisi virus dari ibu ke bayi dapat terjadi
pada masa intra uterine, pada masa perinatal, dan pada masa postnatal.
Kemungkinan infeksi pada masa intra uterine adalah kecil. Hal ini dapat terjadi bila
ada kebocoran atau robekan pada plasenta. Kita menduga infeksi adalah intra uterine bila bayi
sudah menunjukkan HBsAg positif pada umur satu bulan. Karena sebagaimana diketahui
masa inkubasi Hepatitis B berkisar antara 40-180 hari, dengan rata-rata 90 hari.
Infeksi pada masa perinatal yaitu infeksi yang terjadi pada atau segera setelah lahir
adalah kemungkinan cara infeksi yang terbesar. Pada infeksi perinatal, bayi memperlihatkan
antigenemia pada umur 3-5 bulan, sesuai dengan masa inkubasinya. Infeksi diperkirakan
melalui “maternal-fetal microtransfusion” pada waktu lahir atau melalui kontak dengan sekret
yang infeksius pada jalan lahir. 10,12
Infeksi postnatal dapat terjadi melalui saliva, air susu ibu rupanya tidak memegang
peranan penting pada penularan postnatal. Transmisi vertikal pada bayi kemungkinan lebih
besar terjadi bila ibu juga memiliki HbeAg. Antigen ini berhubungan dengan adanya defek
respon imun terhadap HBV, sehingga memungkinkan tetap terjadi replikasi virus dalam sel-
sel hepar. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya infeksi intra uterin lebih besar.
HBV juga menginfeksi sel trofoblas secara langsung, kemudian ke sel mesenkim vilus
dan sel endotel kapiler vilus sehingga menyebabkan terjadinya infeksi pada janin. HBV
terlebih dahulu menginfeksi janin, kemudian menginfeksi berbagai lapisan sel pada plasenta.
HBsAg dan HbcAg ditemukan di sel epidermis amnion, cairan amnion, dan sekret vagina
yang menunjukkan bahwa juga memungkinkan untuk terjadinya infeksi ascending dari
vagina. HBV dari cairan vagina menginfeksi membran fetal terlebih dahulu, kemudian
menginfeksi sel-sel dari berbagai lapisan plasenta mulai dari sisi janin ke sisi ibu.12
Sejak tahun 1980, ditemukan HBV DNA pada seluruh stadium sel spermatogenik dan
sperma dari pria yang terinfeksi HBV. Pada pria-pria tersebut, terjadi sequencing pada anak-
anaknya sebanyak 98-100%. HBV DNA terutama berada pada plasma ovum dan sel
interstitial. Oosit merupakan salah satu bagian yang dapat terinfeksi pula oleh HBV, sehingga
transmisi HBV melalui oosit dapat terjadi. Sebagai kesimpulan, infeksi HBV dapat terjadi
melalui plasenta dari darah ibu ke janin, selain itu dapat pula terjadi infeksi HBV melalui
vagina dan oosit.
Pada saat kelahiran, sistem imun manusia secara umum belum aktif. Transmisi
transplasental dari imunoglobulin maternal terjadi terutama pada trimester ketiga dan secara
kuantitatif berhubungan dengan usia gestasi. Status imunologis ibu dan antibodi merupakan
komponen kritis untuk kualitas dan spesifisitas dari antibodi yang ditransfer. ASI
memperpanjang masa transfer pasif IgG dan IgA. Sebagai imunitas pasif, sekalipun antibodi
yang ada melindungi terhadap organisme patogen, namun tidak berperan dalam sistem imun
yang memiliki daya memori dan konsekuensinya adalah meningkatnya produksi antibodi
yang high avidity, dimana keduanya menunjukkan kemampuan bayi untuk berespon terhadap
imunisasi.
Secara minimal, antigen dalam rahim (in utero) menunjukkan hasil pada repertoire B-
dan T-cell pada bayi yang masih polos. Paparan terhadap limfosit yang polos ini meningkat
dengan cepat karena banyaknya paparan terhadap antigen yang dimulai sejak kelahiran.
Dalam beberapa jam setelah kelahiran, beberapa bayi sudah mendapatkan nutrisi enteral dan
spesies bakteri membentuk koloni dalam traktus gastrointestinalis. Kemampuan sel B dan sel
T repertoire untuk meng-kloning sendiri, juga untuk membentuk diferensiasi khusus penting
artinya dalam membentuk respon imunologis aktif. Respon aktif ini merupakan penanda
penting dalam menentukan suksesnya imunisasi. Imaturitas dari respon aktif ini menentukan
efikasi dan keamanan dari setiap imunisasi terhadap bayi.12

Manifestasi Klinik
Banyak kasus infeksi HBV tidak bergejala, sebagian dibuktikan dengan angka pertanda
serum yang tinggi pada orang yang tidak mempunyai riwayat hepatitis akut. Episode
bergejala akut yang biasa, serupa dengan infeksi HAV dan HCV tetapi mungkin lebih berat
dan lebih mungkin mencakup keterlibatan kulit dan sendi. Bukti klinis pertama infeksi HBV
adalah kenaikan ALT, yang mulai naik tepat sebelum perkembangan kelesuan, anoreksia dan
malaise, sekitar 6-7 minggu sesudah pemajanan.
Penyakitnya mungkin didahului pada beberapa anak dengan prodrom seperti penyakit
serum termasuk atralgia, urtikaria, makulopapular. Keadaan-keadaan ekstrahepatik lainnya
yang disertai dengan infeksi HBV termasuk poliartritis, glomerulonephritis dan anemia
aplastic. Ikterus yang yang ada pada sekitar 25% individu terinfeksi, biasanya mulai sekitar 8
minggu sesudah pemajanan dan berakhir selama sekitar 4 minggu. Pada perjalanan
penyembuhan infeksi HBV yang biasa, gejala-gejala muncul selama 6-8 minggu. Pada
pemeriksaan, kulit dan membran mukosa ada ikterik, terutama sklera dan mukosa di bawah
lidah. Hati biasanya membesar dan nyeri pada palpasi.5

Medika Mentosa
1. Pegylated interferon (PEG IFN)

Obat ini sudah pernah digunakan untuk pengobatan hepatitis C dan terbukti efektif.
Setelah itu, PEG IFN dicoba pada pengobatan hepatitis B kronik. Percobaan dengan
pemberian PEG IFN satu kali per minggu lebih efektif berbanding pemberian yang sering
(standar IFN). Berdasarkan beberapa eksperimen yang dilakukan, beberapa pihak
menyimpulkan bahwa monoterapi PEG IFN harus menjadi lini pilihan pertama pengobatan
pada pasien hepatitis B HBeAg-reaktif yang kronis.
2. Interferon

Obat ini biasanya digunakan pada pasien imunokompeten dewasa, dengan status
hepatitis B kronis (HBeAg reaktif, biasanya jumlah HBV-DNA tinggi yaitu 105-106
virion/mL) serta terbukti menderita hepatitis B kronis melalui biopsi hati.
Pengobatan menggunakan IFN-α selama 16 minggu IFN-α dapat diberikan melalui
dua cara yaitu:
 Diberikan secara subkutan, dosis diberikan 5 juta unit per hari.
 Diberikan sebanyak 3 kali selama satu minggu dengan dosis 10 juta unit.

Komplikasi yang biasanya didapatkan pada pasien dengan pengobatan menggunakan


interferon adalah ‘flu-like’ symptoms, supresi sumsum tulang, emosi yang labil seperti
depresi, reaksi autoimun; tiroditis autoimun, alopesia, gatal dan diare. Semua efek samping
adalah bersifat reversible dengan mengurangkan dosis obat atau menghentikan terapi kecuali
pada kasus tiroditis autoimun.
3. Lamivudin (Dideoxynucleoside lamivudine)

Obat ini merupakan sejenis analog nucleoside. Diberikan per oral. Mekanisme kerja
obat ini adalah dengan menginhibasi aktifitas reverse transcriptase virus HIV dan HBV.
Lamivudine adalah agen poten untuk pasien dengan hepatitis B kronis.
4. Entecavir

Entecavir (Baraclude) adalah analog cyclopentyl guanosine yang digunakan secara


oral. Obat ini digunakan untuk terapi virus hepatitis B kronis dengan replikasi virus yang aktif
atau enzim aminotransferase yang meningkat secara persisten atau secara histologi aktif.
Entacavir efektif pada pasien yang resisten dengan obat lamivudine.13

Pencegahan
Pencegahan terhadap hepatitis B:10
 Tidak menggunakan barang orang lain.
 Lakukan hubungan seks yang aman.
 Jangan menjadi donor darah jika terinfeksi hepatitis.
 Bersihkan ceceran darah dengan larutan pemutih pakaian.
Langkah yang ditempuh adalah melalui pemeriksaan serologi HBsAg secara rutin
terhadap ibu hamil. Dengan diketahuinya status HBsAg ibu (positif atau negatif) maka
upaya yang dilakukan untuk memberikan proteksi terhadap bayi yang dilahirkan menjadi
lebih terarah.

The Advisory Committee on Immunization Practice (ACIP) membuat rekomendasi dalam


rangka mencegah infeksi perinatal dan menajemen ibu hamil.10
1. Pemeriksaan HBsAg pada ibu hamil (prenatal HBsAg testing)
 Semua ibu hamil secara rutin harus menjalani pemeriksan HBsAg pada kunjungan
awal (trisemester I) dalam setiap kehamilan, sekalipun sudah menjalani pemberian
vaksinasi dan pemeriksaan serologi HBsAg sebelumnya.
 Ibu hamil dengan hasil uji HBsAg negative pada kehamilan awal (lebih dari 6 bulan
sebelum melahirkan) pada saat dating untuk melahirkan perlu menjalani pemeriksaan
HBsAg ulang, khususnya apabila ibu tersebut mempunyai kebiasan berisiko
menularkan virus hepatitis B (pasangannya berstatus HBsAg psoitif, pengguna
narkotika injeksi).
 Ibu hamil berstatus HBsAg positif, bayinya harus dijamin mendapatkan vaksinasi dan
atau immunoglobulin sesuai kebutuhan.
 Setelah melahirkan, ibu dengan status HBsAg positif perlu mendapatkan edukasi
berkaitan dengan hal-hal berikut: cara penularan VHB, cara pencegahan, dan
bagaimana melakukan pemantauan terhadap perjalanan infeksi VHB.
2. Vaksinasi bayi
 Semua bayi yang terlahir dari ibu dengan HBsAg positif harus mendapatkan vaksinasi
hepatitis B dan immunoglobulin, saat bayi berusia kurang dari 12 jam setelah
dilahirkan. Selanjutnya, vaksin diberikan sesuai jadwal.
 Bagi bayi dengan berat badan kurang dari 2.000 gram (prematur) yang terlahir dari ibu
dengan HBsAg positif, mengingat system kekebalan tubuhnya tidak sebaik bayi
dengan berat badan lebih dari 2.000 gram, cara pemberian vaksinasi dan
immunoglobulin sedikit berbeda. Bayu premature perlu mendapatkan vaksinasi
hepatitis B sebanyak 4 kali. Apabila bayi terlahir dari ibu dengan HBsAg negative,
pemberian vaksin hepatitis dilakukan saat bayi berusia sebulan.
 Setelah mendapatakan vaksinasi lengkap, pada usia antara 9-18 bulan bayi perlu
menjalani pemeriksaan kadar anti HBs dan HBsAg. Apabila kadar anti HBS-nya
sudah melebihi 10 mlU/ml, berarti bayi sudah memiliki kekebalan terhadap VHB.
Namun, bila kadar anti HBs kurang dari 10 mlU/ml, bayi perlu mendapatkan vaksinasi
ulang sebanyak 3 dosis dan dilakukan evaluasi kadar anti HBs-nya.
Komplikasi
Komplikasi hepatitis yang paling sering adalah sirosis. Dalam keadaan sehat, sel hati
yang mengalami kerusakan akan digantikan oleh sel-sel sehat yang baru. Pada sirosis,
kerusakan sel hati digantikan oleh jaringan parut (sikatrik). Semakin parah kerusakan,
semakin besar jaringan parut yang terbentuk dan semakin berkurang jumlah sel hati yang
sehat. Pengurangan ini akan berdampak pada penurunan sejumlah fungsi hati sehingga
menimbulkan sejumlah gangguan pada fungsi tubuh secara keselurahan.11

Prognosis
Perjalanan HBV pada bayi yang tertulari berbeda dengan orang dewasa, yang pada
umumnya mempunyai prognosis yang buruk. Bayi yang tertulari HBV akibat penularan
vertikal dari ibu kepada bayi yang dilahirkan hampir 1/3 akan menderita penyakit hati kronis
yang akan menjurus kearah sirosis hepatis atau karsinoma hati primer (KHP) pada masa akhir
hidupnya. Infeksi hepatitis B yang didapat pada masa perinatal biasanya asimptomatik dan
90% menjadi kronis. Sebaliknya, infeksi hepatitis B yang didapat saat dewasa, hanya 5%
yang berkembang menjadi kronis, sisanya sembuh sempurna yang ditandai dengan
menghilangnya HBsAg dan terbentuknya anti HBs. Pada hepatitis B kronis, virus sukar untuk
hilang. Penyembuhan sempurna dai HBV pada bayi yang tertulari secara vertical umumnya
rendah dibandingkan dengan orang dewasa. Penularan vertical ini sebenarnya dapat dicegah
dengan vaksinasi atau pemberian HBIg pada bayi yang dilahirkan.12

Kesimpulan
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B, suatu
anggota famili hepadnavirus. Transmisi HBV pada neonatus pada umumnya merupakan
transmisi vertikal, artinya bayi mendapat infeksi dari ibunya. Infeksi pada bayi dapat terjadi
apabila ibu menderita hepatitis akut pada trimester ketiga, atau bila ibu adalah karier HBsAg.
Gejala klinis dari hepatitis B terdiri dari 3 stadium yaitu stadium pra ikterik, stadium ikterik
dan stadium post 1. Imunisasai sesuai jadwal pada orang-orang dengan suspek kontak postif
adalah cara preventif utama untuk mencegah transmisi. Bayi harus menerima vaksin hepatitis
dan HBIG dalam 12 jam setelah kelahiran.
Daftar Pustaka
1. Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke system. Edisi ke-6. Jakarta: Buku penerbit
Kedokteran EGC; 2012.h.675.
2. Supartondo. Setiyohadi B. Anamnesis. In: Aru W.S, Bambang S, Idrus A, Marcellus
SK, Siti S, editors. Ilmu penyakit dalam. 6th Ed, Jilid 1. Jakarta: Interna publishing;
2009.p.25-8.
3. Bickley L.S. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. 5th ed. Jakarta:
EGC; 2006. h.155-75.
4. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana; 2016. h.154-8.
5. Wahab AS. Ilmu kesehatan anak nelson. Volum II. Jakarta: EGC; 2006.h.1100-22.
6. Surapsari J, Safitri A. Lecture Notes on Infectious Diseases. Edisi 6 Bahasa Indonesia.
Jakarta: EGC ; 2006.h.172.
7. Sulaiman H.A, Akbar H.N, Lesmana L.A, Noer S.M.H, Nurwidya F, Maharani, et all.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi 1, 2007; hal 201-209.
8. Priyantoro ST, Achmad H. Hepatitis autoimun. CDK-221/vol.41 no 10, th. 2014.
Diunduh dari http://www.kalbemed.com/Portals/6/11_221Laporan%20Kasus-
Hepatitis%20Autoimun.pdf, 10 juni 2017.
9. Wedemeyer H, Manns MP. Epidemiology, Pathogenesis and Management of Hepatitis
B: update and challenges ahead. Nature Reviews Gastroenterology & Hepatology;
2010 Jan; 7:31-40.
10. Cahyono SB. Hepatitis B. Yogyakarta : Kanisius; 2010.h.38-51.
11. Sanityoso A, Christine G. Hepatitis viral akut. Dalam : Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid
2. Edisi ke 6. Jakarta : InternaPublishing ; 2015. H. 1952-5
12. Matondang CS, Akib AAP, 1984, Hepatitis B, eds. Ikterus Pada Neonatus, FKUI, h.
73-9 .
13. Fauci, Brunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson. Harrison’s: principle of internal
medicine. Volume II. ED 17th. Mc-Graw-hill professional;2008.p.1923-9.

Anda mungkin juga menyukai