Anda di halaman 1dari 15

TEORI KOGNITIF

1. Pengertian Teori Kognitif


Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang
luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Dalam
pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah
psikologi manusia / satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap
perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan,
menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, pertimbangan, membayangkan,
memperkirakan, berpikir dan keyakinan. Termasuk kejiwaan yang berpusat di otak ini juga
berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan rasa. Menurut
para ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu
tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.

2. Karakteristik Teori Kognitif


Teori belajar kognitiv lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri.
Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar
melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman.
Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.

3. Tokoh-tokoh Teori Belajar Kognitif


 Jean Piaget, teorinya disebut “Cognitive Developmental”.
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual
dan fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Dalam teorinya, Piaget memandang
bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju
abstrak. Piaget adalah ahli psikolog developmentat karena penelitiannya mengenai tahap
tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan
belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-
kemapuan mental yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektuan adalah tidak
kuantitatif, melainkan kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak
yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.Menurut Suhaidi Jean Piaget
mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahap:
 Tahap sensory – motor. yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia
0-2 tahun, Tahap ini diidentikkan dengan kegiatan motorik dan persepsi yang
masih sederhana.
Tahap pre-operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun.
Tahap ini diidentikkan dengan mulai digunakannya symbol atau bahasa tanda, dan telah dapat
memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak.
 Tahap concrete-operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan
dengan anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak
sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif.
 Tahap formal-operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada
usia 11-15 tahun. Ciri pokok tahap yang terahir ini adalah anak sudah mampu
berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola pikir “kemungkinan”. Dalam
pandangan Piaget, proses adaptasi seseorang dengan lingkungannya terjadi secara
simultan melalui dua bentuk proses, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi jika
pengetahuan baru yang diterima seseorang cocok dengan struktur kognitif yang
telah dimiliki seseorang tersebut. Sebaliknya, akomodasi terjadi jika struktur
kognitif yang telah dimiliki seseorang harus direkonstruksi/di kode ulang
disesuaikan dengan informasi yang baru diterima.Dalam teori perkembangan
kognitif ini Piaget juga menekankan pentingnya penyeimbangan (equilibrasi) agar
seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuan sekaligus
menjaga stabilitas mentalnya. Equilibrasi ini dapat dimaknai sebagai sebuah
keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat
menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya. Proses perkembangan
intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi
dan akomodasi.

 Jerome Bruner Dengan Discovery Learningnya.


Bruner menekankan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan,
atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Bruner meyakini
bahwa pembelajaran tersebut bisa muncul dalam tiga cara atau bentuk, yaitu: enactive,
iconic dan simbolic.
Pembelajaran enaktif mengandung sebuah kesamaan dengan kecerdasan inderawi
dalam teori Piaget. Pengetahuan enaktif adalah mempelajari sesuatu dengan memanipulasi
objek-melakukan pengatahuan tersebut daripada hanya memahaminya. Anak-anak didik
sangat mungkin paham bagaimana cara melakukan lompat tali („melakukan‟ kecakapan
tersebut), namun tidak terlalu paham bagaimana menggambarkan aktifitas tersebut dalam
kata-kata, bahkan ketika mereka harus menggambarkan dalam pikiran.
Pembelajaran ikonik merupakan pembelajaran yang melalui gambaran; dalam bentuk
ini, anak-anak mempresentasikan pengetahuan melalui sebuah gambar dalam benak mereka.
Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon mangga dikebun
dalam benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk menjelaskan dalam kata-kata.
Pembelajaran simbolik, ini merupakan pembelajaran yang dilakukan melalui
representasi pengalaman abstrak (seperti bahasa) yang sama sekali tidak memiliki
kesamaan fisik dengan pengalaman tersebut. Sebagaimana namanya, membutuhkan
pengetahuan yang abstrak, dan karena simbolik pembelajaran yang satu ini serupa dengan
operasional formal dalam proses berpikir dalam teori Piaget. Jika dikorelasikan dengan
aplikasi pembelajaran, Discoveri learningnya Bruner dapar dikemukakan sebagai berikut:
 Belajar merupakan kecenderungan dalam diri manusia, yaitu Self-curiousity
(keingintahuan) untuk mengadakan petualangan pengalaman.
 Belajar penemuan terjadi karena sifat mental manusia mengubah struktur yang ada.
Sifat mental tersebut selalu mengalir untuk mengisi berbagai kemungkinan
pengenalan.
 Kualitas belajar penemuan diwarnai modus imperatif kesiapan dan kemampuan
secara enaktif, ekonik, dan simbolik.
 Penerapan belajar penemuan hanya merupakan garis besar tujuan instruksional
sebagai arah informatif.
 Kreatifitas metaforik dan creative conditioning yang bebas dan bertanggung jawab
memungkinkan kemajuan.
 Teori Belajar Bermakna Ausubel.
Psikologi pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel adalah bekerja untuk mencari
hukum belajar yang bermakna, berikut ini konsep belajar bermakna David Ausubel. Pengertian
belajar bermakna Menurut Ausubel ada dua jenis belajar :
 Belajar bermakna (meaningful learning) dan
 belajar menghafal (rote learning).
Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru
dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang
belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan menguasai
bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna. Sebagai ahli psikologi
pendidikan Ausubel menaruh perhatian besar pada siswa di sekolah, dengan
memperhatikan/memberikan tekanan-tekanan pada unsur kebermaknaan dalam belajar
melalui bahasa (meaningful verbal learning).
Kebermaknaan diartikan sebagai kombinasi dari informasi verbal, konsep,
kaidah dan prinsip, bila ditinjau bersama-sama. Oleh karena itu belajar dengan prestasi
hafalan saja tidak dianggap sebagai belajar bermakna. Maka, menurut Ausubel supaya
proses belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa
menemukan sendiri semuanya. Malah, ada bahaya bahwa siswa yang kurang mahir
dalam hal ini akan banyak menebak dan mencoba-coba saja, tanpa menemukan
sesuatu yang sungguh berarti baginya. Seandainya siswa sudah seorang ahli dalam
mengadakan penelitian demi untuk menemukan kebenaran baru, bahaya itu tidak ada;
tetapi jika siswa tersebut belum ahli, maka bahaya itu ada. Ia juga berpendapat bahwa
pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang penting dan dalam hal-
hal tertentu dapat mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa.
Dalam hal ini guru bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan
mempresentasikan apa yang perlu dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di sini
adalah menguasai yang disampaikan gurunya.
Belajar dikatakan menjadi bermakna (meaningful learning) yang dikemukakan
oleh Ausubel adalah bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai
dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu
mampu mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
Belajar seharusnya merupakan apa yang disebut asimilasi bermakna, materi yang
dipelajari di asimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai
sebelumnya. Untuk itu diperlukan dua persyaratan :
 Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai dengan
tingkat perkembangan dan pengetahuan masa lalu peserta didik.
 Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional memegang
peranan penting dalam hal ini, sebab peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi
baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana
melakukannya. Sehingga hal ini perlu diatur oleh guru, agar materi tidak dipelajari
secara hafalan.
Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah
suatu proses belajar di mana peserta didik dapat menghubungkan informasi baru
dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dan agar pembelajaran bermakna,
diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang bermakna sesuai tingkat pemahaman dan
pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi
oleh motivasi. Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada
kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak
setuju dengan pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan (discovery learning) lebih
bermakna daripada kegiatan belajar penerimaan (reception learning). Sehingga dengan
ceramahpun, asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya
sistematis, akan dihasilkan belajar yang baik.
TEORI BEHAVIORISME
1. Pengertian Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavoristik adalah teori pembelajaran yang mengamati dan mempelajari
perubahan tingkah laku seseorang sebagai hasil dari pengalaman di masa lalu. Teori ini menekankan
bahwa tingkah laku yang ditunjukkan seseorang merupakan akibat dari interaksi antara stimulus
dengan respon. Teori ini berkembang dan cenderung mengikuti aliran psikologi belajar lantas menjadi
dasar pengembangan teori pendidikan dan pembelajaraan saat ini.
Ciri dari implementasi sukses teori belajar behavioristik ini adalah adanya perubahan perilaku yang
ditunjukkan seseorang setelah mengalami kejadian di masa lampau. Perubahan adalah tanda bahwa
seseorang telah merespon suatu kejadian dan menjadikannya pembelajaran untuk tidak menggunakan
respon yang sama di masa depan, guna menghindari akibat yang pernah dialaminya.
Teori ini masih banyak digunakan, baik dalam institusi pendidikan Indonesia maupun dalam
implementasi kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh:
 Pendisiplinan murid yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dengan mengurangi poin
perilakunya yang menjadi pertimbangan pemberian nilai akhir atau nilai rapor.
 Ketika terlambat datang kerja maka seorang pekerja kantoran bisa mendapatkan sanksi, mulai
dari teguran sampai surat peringatan.
 Polisi yang memberikan surat tilang pada pengendara kendaraan yang tidak mematuhi rambu-
rambu lalu lintas, seperti menyalip ketika marka jalan berupa garis lurus atau ketika
mengendarai motor tanpa menggunakan helm.
 Sanksi sosial berupa pengucilan terhadap masyarakat yang dianggap telah bertindak
menyeleweng dari budaya dan norma sosial yang berlaku di suatu tempat tertentu.
Perlu ditekankan kembali bahwa teori belajar behavioristik ini tidak hanya mencakup dunia
pendidikan saja, tetapi dalam kehidupan sehari-hari. Kita melakukan pembelajaran bukan hanya di
sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Maka dari itu teori ini berhasil
diimplementasikan pada hampir semua lini kehidupan bermasyarakat, meski sebagian besar
implementasi ini tak jauh dari institusi pendidikan.

2. Prinsip Teori Behavioristik


Prinsip merupakan pernyataan fundamental yang kemudian dijadikan pedoman berpikir dan
bertindak. Contoh prinsip adalah seseorang Gubernur yang berintegritas adalah orang yang secara jujur
menjalankan fungsinya sebagai pemimpin daerah, bekerja untuk membenahi kerusakan, menghindari
perilaku tak jujur seperti korupsi dan kerja sama ilegal, sekaligus sebagai pemimpin yang bisa
memberikan contoh tersebut kepada bawahan maupun masyarakat yang dipimpinnya secara nyata,
bukan bualan belaka.
Prinsip tidak hanya dimiliki oleh manusia, tetapi juga teori ini. Pada teori behavioristik, ada
beberapa prinsip yang mencirikan teori kuno ini, di antaranya:
1) Reinforcement and Punishment
2) Primary and Secondary Reinforcement
3) Schedules of Reinforcement
4) Contingency Management
5) Stimulus Control in Operant Learning
6) The Elimination of Responses.

3. Tokoh-tokoh Teori Behavioristik


Teori belajar behavioristik ini dianut dan dipelajari secara mendalam oleh beberapa ahli.
Terdapat beberapa ahli yang menjadi tokoh dalam teori ini. Setiap tokoh memiliki pendapat
berdasarkan pemahamannya masing-masing. Di samping itu, mereka memiliki penilaian yang berbeda-
beda. Penjelasan teori behavioristik menurut beberapa tokoh akan dijabarkan sebagai berikut.
 Edward Lee Thorndike
Edward Thorndike (31 Agustus 1874 sampai 9 Agustus 1949) merupakan seorang
psikolog berkebangsaan Amerika yang dikenal menghabiskan hampir seluruh karirnya di
Columbia University. Karya yang diciptakannya dalam bidang Psikologi Perbandingan dan
proses pembelajaran akhirnya berhasil membuahkan dasar ilmiah dalam psikologi pendidikan
modern.
Thorndike memiliki pengertian dari teori belajar behavioristik yang dipahaminya
sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah rangsangan, contohnya
seperti pikiran dan perasaan. Sedangkan respon adalah reaksi yang ditunjukkan akibat stimulus.
Perubahan tingkah laku akibat pembelajaran bagi Thorndike bisa berupa hal konkrit (bisa
diamati dengan kasat mata) maupun tak konkrit.
Thorndike dikenal akan percobaannya yang paling fenomenal yaitu meneliti perilaku
pembelajaran oleh kucing. Ia meletakkan kucing yang lapar pada sebuah tempat transparan
yang mengurung kucing tersebut dan makanan di luar tempat pengurungan itu. Kucing
tersebut diamati melakukan beberapa gerakan untuk mencapai makanan yang dilihatnya dan
inilah yang diamati Thorndike.
Pada awalnya, kucing berusaha untuk meloncat ke sana ke mari guna meraih makanan
yang dilihatnya. Sampai akhirnya kucing tersebut tidak sengaja menyetuh kenop yang
membukakan jalan dari tempat transparan tersebut dan memperbolehkan kucing meraih
makanan yang dilihatnya. Percobaan ini dilakukan beberapa kali hingga kucing, secara
otomatis, melakukan gerakan menyentuh kenop untuk membuka jalan agar ia bisa
mendapatkan makanan.

Pemahaman dari tokoh Thorndike akhirnya melahirkan beberapa dalil belajar, antara lain:
 Hukum Sebab Akibat, yang menunjukkan kuat lemahnya hubungan antara stimulus dengan respon
tergantung pada akibat yang ditimbulkan.
 Hukum Pembiasaan, yang menunjukkan bahwa hubungan stimulus dengan respon bisa menjadi kuat
ketika dilatih atau diulang.
 Hukum Kesiapan, yang menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dengan respon akan mudah
terbentuk jika ada kesiapan dari individu itu.
 Hukum Reaksi Bervariasi, yaitu hukum yang menyatakan bahwa individu melakukan trial and
error lebih dulu untuk menunjukkan macam-macam respon sebelum mendapat respon paling tepat.
 Hukum Sikap, yaitu hukum yang menyatakan bahwa perilaku seseorang juga ditentukan oleh keadaan
yang ada dalam diri individu seperti emosi dan psikomotor.
 Hukum Aktivitas Berat Sebelah, yaitu individu memberikan respon pada stimulus tertentu sesuai
dengan persepsi terhadap keseluruhan situasi.
 Hukum Respon, yang merupakan pemahaman bahwa individu bisa menyatakan respon tindakan
bahkan pada situasi yang belum pernah dialaminya.
 Hukum Perpindahan Asosiasi, yaitu proses peralihan situasi lama ke situasi baru dengan cara
bertahap, mengurangi unsur situasi lama dan mengenalkan unsur situasi baru.
 Ivan Petrovich Pavlov
Tokoh selanjutnya adalah Ivan Pavlov (lebih dikenal dengan julukan Pavlov saja, 14
September 1849 sampai 27 Februari 1936), merupakan fisiolog sekaligus dokter asal Rusia. Pavlov
terkenal dalam pembahasan teori behavioristik karena percobaannya terhadap anjing.
Percobaan ini dilakukan dengan memperlihatkan makanan pada anjing. Anjing tersebut
kemudian mengeluarkan air liur yang merupakan stimulus alami dan diasosiasikan dengan
keinginan akan makanan tersebut. Percobaan ini dilanjutkan dengan membunyikan lonceng untuk
memanggil anjing yang kemudian akan diperlihatkan makanan.
Pada akhirnya, anjing akan menangkap pembelajaran bahwa lonceng memiliki keterkaitan
dengan makanan, sehingga ketika Pavlov mencoba membunyikan lonceng yang awalnya digunakan
untuk memanggil anjing tersebut, secara otomatis anjing tersebut sudah menanggapi dengan
mengeluarkan air liur.
Hasil eksperimen Pavlov ini akhirnya melahirkan beberapa hukum pembelajaran, yaitu:
o Hukum Pembiasaan yang Dituntut. Hukum ini menjelaskan bahwa jika ada dua macam
stimulus yang diberikan secara bersama-sama (dan salah satunya merupakan reinforcer), maka
gerakan reflek pada stimulus lainnya juga meningkat.
o Hukum Pemusnahan yang Dituntut. Hukum ini memaparkan jika reflek yang diperkuat
melalui respondent conditioning diberikan kembali tanpa adanya reinforcer, maka
kekuatannya akan melemah.

 Burrhus Frederic Skinner


Burrhus Skinner (20 Maret 1904 sampai 18 Agustus 1990) adalah seorang psikolog dari
Amerika yang terkenal akan aliran behaviorismenya. Skinner memiliki pendapat bahwa hubungan
antara stimulus dengan respon yang ditunjukkan individu atau subyek terjadi melalui interaksi
dengan lingkungan. Respon yang ditunjukkan pun tak seluruhnya merupakan hasil dari rangsangan
yang ada, tetapi karena interaksi antara stimulus yang menghasilkan respon. Respon menghasilkan
konsekuensi. Pada akhirnya konsekuensi akan menghasilkan atau memunculkan perilaku
Skinner dalam teori behaviorisitk melahirkan buah pemikirannya yang dikenal dengan istilah
Teori Operant Condiitioning. Teori ini mengungkapakan bahwa tingkah laku yang dilihatkan
subyek tak semata-mata merupakan respon terhadap stimulus tetapi juga tindakan yang disengaja.
Skinner menyatakan pendapatnya bahwa pribadi seseorang merupakan hasil dari respon terhadap
lingkungannya. Dua macam respon tersebut adalah:
 Respondent Response yaitu respon akibat rangsangan tertentu. Contoh: anjing yang
mengeluarkan air liurnya ketika majikannya membawakan makanan untuknya.
 Operant Response yaitu respon yang muncul dan semakin berkembang oleh rangsangan
tertentu. Contoh: seorang anak yang mendapatkan reward ketika ia menjadi juara kelas, maka
ia akan semakin giat belajar untuk mempertahankan bahkan menaikkan prestasinya dengan
harapan diberikan reward kembali (dengan nilai yang sama atau lebih tinggi).

 Robert Gagne
Robert Gagne dikenal sebagai seorang ahli psikologi pendidikan. Gagne memiliki
pendapatnya sendiri mengenai istilah belajar, yaitu sebagai proses suatu organisasi atau siswa
berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman yang pernah dialaminya. Belajar adalah proses
yang memerlukan waktu untuk dapat melihat perubahannya (dari kurang baik menjadi lebih baik).
Gagne juga berpendapat bahwa pembelajaran adalah periode terjadinya penerimaan informasi yang
kemudian diolah dan dihasilkan output dalam bentuk hasil belajar.
Tahapan proses pembelajaran menurun Gagne dijelaskan dalam beberapa tingkatan, yaitu:
1) motivasi
2) pemahaman
3) perolehan
4) penyimpanan
5) ingatan kembali
6) generalisasi
7) perlakuan
8) umpan balik.
Gagne juga menyatakan adanya beberapa kategori belajar, di antaranya:
 Verbal Information. Informasi verbal bisa berwujud uraian kata-kata, ulasan, maupun
penjelasan yang bisa dikomunikasikan menggunakan bahasa baik secara lisan maupun tulisan.
 Intellectual Skill. Kemampuan intelektual merupakan kemampuan yang dibutuhkan dalam
aktivitas mental seperti berpikir, menggunakan logika, dan memecahkan masalah.
 Attitude atau perilaku.
 Cognitive Strategy. Strategi kognitif merupakan kemampuan internal atau dalam diri
seseorang dalam berpikir, memecahkan masalah, hingga mengambil keputusan terkait suatu
kejadian.

 Albert Bandura
Albert Bandura merupakan ahli dalam teori belajar behavioristik yang paling muda. Ia adalah
seorang psikolog lulusan University of British of Columbia yang kemudian melanjutkan
pendidikannya di Universitas Iowa dan Universitas Stanford. Hingga saat ini, Bandura tercatat
sebagai dosen di Universitas Stanford.
Albert Bandura cukup terkenal dalam dunia psikologi pendidikan, terutama dengan Teori
Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory), yaitu konsep dalam teori behavioristik yang
menekankan komponen kognitif, pikiran, pemahaman, dan evaluasi. Teori Pembelajaran Sosial ini
memiliki konsep utama pembelajaran dengan metode pengamatan. Menurut teori ini, perilaku
individu bisa timbul karena proses modeling, atau tindakan peniruan.
Modeling juga dikenal sebagai pembelajaran melalui proses observasi. Pembelajaran ini tidak
sekadar melakukan fotokopipada tindakan yang dilihatnya tetapi juga menyesuaikan, baik itu
mengurangi, menambahi, atau menggeneralisasi dari satu observasi ke observasi lainnya. Ada
beberapa faktor yang memengaruhi dan menentukan apakah seseorang akan belajar dari suatu
situasi, faktor-faktor tersebut antara lain:
 Karakteristik model. Faktor ini menjelaskan kalau manusia lebih mungkin
melakukan modeling pada individu contoh dengan status (sosial, ekonomi, pekerjaan)
yang lebih tinggi.
 Karakteristik orang yang mempelajari tersebut, biasanya adalah mereka yang
tidak memiliki status, kemampuan, atau pun kekuatan. Misalnya anak yang mengikuti
atau modeling perilaku orang tuanya.
 Konsekuensi dari tindakan yang ditiru. Konsekuensi yang semakin besar juga akan
semakin menekan orang untuk melakukan modeling. Misalkan, pegawai kantoran
berusaha sedisiplin mungkin seperti rekan kerjanya untuk menyabet gelar karyawan
terbaik tahun ini.

4. Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Behavioristik


Teori behavioristik ini dikenal sebagai teori pembelajaran yang paling tua. Sebagai
teori yang pertama dikeluarkan dalam mempelajari pola belajar individu, teori ini pun tak
lepas dari segala kelebihan dan kekurangannya. Beberapa hal terkait dengan nilai plus dan
minus teori belajar ini akan disampaikan secara ringkas berikut ini.
 Kelebihan Teori Behavioristik
Berikut kelebihan teori behavioristik, diantaranya:
o Sesuai dengan materi pembelajaran
o Teori belajar ini dinilai cukup cocok dengan pembelajaran dengan tujuan
memiliki kemampuan yang membutuhkan praktik serta pembiasaan yang
disiplin. Teori ini membantu individu dalam belajar secara terus-menerus dan
berkesinambungan dengan tujuan mereka bisa menerapkannya sebaik
mungkin.
o Materi Pembelajaran dirancang secara Khusus.
o Membangun Konsentrasi Individu
o Sesuai dengan Pemahaman Belajar pada Anak
o Perubahan Belajar Menjadi Tolak Ukur Keberhasilan

 Kekurangan Teori Behavioristik


Selain kelebihan, penerapan teori behavioristik juga memiliki kekurangan, antara lain:
o Hanya Berpusat pada Tenaga Pendidik
o Pembelajaran ini hanya berpusat pada guru atau tenaga pendidik, bukannya
pada murid atau individu yang belajar. Hal ini berpotensi membuat individu
yang belajar justru kehilangan kemampuan dan kelebihan alaminya seperti
berkreasi sesuai dengan pikirannya. Pada tipe peserta belajar tertentu, aplikasi
teori belajar ini akan menimbulkan kebosanan dan justru membentuknya
sebagai pribadi yang pasif karena hanya terus menerima dan menerima, tanpa
dilibatkan untuk berpikir dan mengajukan pendapatnya.

Aplikasi Teori Behavioristik pada Pembelajaran


Dalam keinginan untuk menerapkan teori pembelajaran ini, maka tenaga pendidik wajib
mengetahui ciri-ciri dari metode ini, antara lain:
o Mementingan pengaruh lingkungan
o Mementingkan bagian-bagian.
o Mementingkan peranan aksi.
o Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus
respon
o Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya.
o Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan.
TEORI PEMBELAJARAN KONTRUKTIVISME
A. PENGERTIAN TEORI KONSTRUKTIVISME
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri. Pengetahuan bukan tiruan dari
realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan
hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur,
kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu
bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas
melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia
harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Sedangkan menurut Tran Vui Konstruktivisme adalah suatu filsafat belajar yang
dibangun atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman-pengalaman
sendiri.sedangkan teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan
terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk
menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan Fasilitasi orang lain.
Dari keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan
keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan
atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori
perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut
berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan
intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud
dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya,
pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988:
132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159)
menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan,
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru,
sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang
akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang
cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok
dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam
mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini
oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan
Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal
Development (ZPD) dan scaffolding.

Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan


sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara
mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan
teman sejawat yang lebih mampu.

Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap


awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya
(Slavin, 1997). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk
belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan,
peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan
contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial)
disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran
matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari
pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991).
Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan
konstruktivisme sosio (socio-constructivism), siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa
lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi
untuk merespon masalah yang diberikan.

B. TUJUAN TEORI KONSTRUKTIVISME

Tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:


1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri
pertanyaannya.
3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
5. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
C. HUBUNGAN KONSTRUKTIVISME DENGAN TEORI BELAJAR LAIN

Selama 20 tahun terakhir ini konstruktivisme telah banyak mempengaruhi pendidikan


Sains dan Matematika di banyak negara Amerika, Eropa, dan Australia. Inti teori ini
berkaitan dengan beberapa teori belajar seperti teori Perubahan Konsep, Teori Belajar
Bermakna dan Ausuble, Teori Skema dll.

1. Teori Belajar Konsep


Dalam banyak penelitian diungkapkan bahwa teori perubahan konsep ini
dipengaruhi atau didasari oleh filsafat kostruktivisme. Konstruktivisme yang
menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar, dan teori
perubahan konsep yang menjelaskan bahwa siswa mengalami perubahan konsep terus
menerus, sangat berperan dalam menjelaskan mengapa seorang siswa bisa salah
mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia pelajari. Kostruktivisme membantu
untuk mengerti bagaimana siswa membentuk pengetahuan yang tidak tepat.
Dengan demikian, seorang pendidik dibantu untuk mengarahkan sisiwa dalam
pembentukan pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori perubahan konsep sangat
membantu karena mendorong pendidik agar menciptakan suasana dan keadaan yang
memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada murid sehingga pemahaman mereka
lebih sesuai dengan ilmuan. Konstrutivisme dan Teori Perubahan Konsep memberikan
pengertian bahwa setiap orang dapat membentuk pengertian yang berbeda tersebut
bukanlah akhir pengembangan karena setiap kali mereka masih dapat mengubah
pengertiannya sehingga lebih sesuai dengan pengertian ilmuan. “Salah pengrtian”
dalam memahami sesuatu, menurut
Teori Konstruktivisme dan teori Perubahan Konsep, bukanlah akhir dari segala-
galanyamelainkan justru menjadi awal untuk pengembangan yang lebih baik.
2. Teori Bermakna Ausubel
Menurut Ausubel, seseorang belajar denga mengasosiasikan fenomena baru ke
dalam sekema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat
memperkembangkan sekema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar
ini siswa mengonstruksi apa yang ia pelajari sendiri.
Teori Belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan Konstruktivesme.
Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena,
dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya
menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian
yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu
siswa aktif.
3. Teori Skema.
Menurut teori ini, pengetahuan disimpan dalam suatu paket informasi, atau
sekema yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Teori ini lebih menunjukkan
bahwa pengetahuan kita itu tersusun dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan
kita. Dalam belajar, kita dapat menambah skema yang ada sihingga dapat menjadi
lebih luas dan berkembang.

D. PRINSIP-PRINSIP KONSTRUKTIVISME
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar
mengajar adalah:
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan
keaktifan murid sendiri untuk menalar
3. Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan
konsep ilmiah
4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan
lancar.
5. Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa
6. Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
7. Mmencari dan menilai pendapat siswa
8. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.

Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh
hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun
pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan
cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan
bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan
strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa
yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat
penemuan.

E. TOKOH TEORI KONTRUKSIVISME


1. Dewey dan Pembelajaran Demokratis
Pembelajaran berbasis masalah menemukan akar intelektualnya pada penelitian John Dewey
(Ibrahim & Nur, 2004). Dalam demokrasi dan pendidikan Dewey menyampaikan pandangan bahwa
sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium
untuk memecahkan masalah kehidupan nyata. Ilmu mendidik Dewey menganjurkan pembelajar untuk
mendorong pebelajar terlibat dalam proyek atau tugas berorientasi masalah dan membantu mereka
menyelidiki masalah-masalah intelektual dan sosial. Dewey juga menyatakan bahwa pembelajaran
disekolah seharusnya lebih memiliki manfaat dari pada abstrak dan pembelajaran yang memiliki
manfaat terbaik dapat dilakukan oleh pebelajar dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan
proyek yang menarik dan pilihan mereka sendiri.

2. Konstrukivisme Piaget dan Vygotsky


Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan diatas pandangan konstruktivis kognitif
(Ibrahim dan Nur, 2004). Pandangan ini banyak didasarkan teori Piaget. Piaget mengemukakan bahwa
pebelajar dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun
pengetahuan mereka sendiri. Bagi Piaget pengetahuan adalah konstruksi (bentukan) dari
kegiatan/tindakan seseorang (Suparno, 1997). Pengetahuan tidak bersifat statis tetapi terus berevolusi.
Seperti halnya Piaget, Vygotsky juga percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi pada
saat individu berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang dan ketika mereka berusaha untuk
memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman ini (Ibrahim & Nur, 2004). Untuk
memperoleh pemahaman individu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang telah
dimiliki.
Piaget memandang bahwa tahap-tahap perkembangan intelektual individu dilalui tanpa
memandang latar konteks sosial dan budaya individu. Sementara itu, Vygotsky memberi tempat lebih
pada aspek sosial pembelajaran. Ia percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain mendorong
terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual pembelajar. Implikasi dari
pandangan Vygotsky dalam pendidikan adalah bahwa pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial
dengan pembelajar dan teman sejawat. Melalui tantangan dan bantuan dari pembelajar atau teman
sejawat yang lebih mampu, pebelajar bergerak ke dalam zona perkembangan terdekat mereka dimana
pembelajaran baru terjadi (Ibrahim dan Nur, 2004).

3. Bruner dan Belajar Penemuan


Bruner adalah adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan psikologi belajar kognitif. Ia
telah mengembangkan suatu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh yang disebut
dengan belajar penemuan. Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian
pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang lebih baik.
Berusaha sendiri untuk pemecahan masalah dan pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan
pengetahuan yang benar-benar bermakna (Dahar, 1998).
Bruner menyarankan agar pebelajar hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperopleh pengetahuan. Perlunya
pembelajar penemuan didasarkan pada keyakinan bahwa pembelajaran sebenarnya melalui penemuan
pribadi.

Anda mungkin juga menyukai