Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Penyakit membran hialin atau hyaline membrane disease (HMD)


juga dikenali sebagai respiratory distress syndrome (RDS) adalah
gangguan respirasi yang ditemukan terutama pada bayi prematur akibat
kurangnya surfaktan sehingga mengakibatkan kolapsnya alveoli.

B. EPIDEMIOLOGI

HMD merupakan penyebab kematian utama pada bayi prematur,


di Amerika Serikat sekitar 12% bayi lahir prematur, sekitar 10% bayi
prematur menderita HMD setiap tahunnya. Insiden meningkat pada negara
berkembang.
Insiden HMD tertinggi terjadi pada bayi prematur, ras caucasian,
laki-laki, riwayat saudara sebelumnya yang menderita HMD, lahir melalui
sectio sesaria, asfiksia dan ibu diabetes melitus. Pada tahun 2003, di
Amerika Serikat terdapat 4 juta kelahiran setiap tahunnya, dan 6%
kelahiran berkembang menjadi HMD. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan
kasus HMD dari 11,6% menjadi 12,7%, mayoritas disebabkan karena
kelahiran kurang bulan.
Berdasarkan penelitian di Rumah sakit Hasan Sadikin Bandung
pada tahun 2001, dari 41 bayi yang lahir preterm, 14 bayi mengalami
sindrom gawat nafas, dan 7 bayi didiagnosa HMD. Semuanya lahir dari
kehamilan kurang dari 32 minggu. Hal itu menunjukan prevalensi HMD
pada bayi preterm sebesar 17%.

3
C. ETIOLOGI

Defisiensi surfaktan (penurunan produksi dan sekresi) adalah


penyebab utama dari HMD. Konstituen utama surfaktan adalah
dipalmitoyl fosfatidilkolin (lesitin), fosfatidilgliserol, apoprotein (protein
surfaktan SP-A, -B, -C, -D), dan kolesterol.
Dengan pertambahan usia kehamilan, jumlah fosfolipid yang
disintesis meningkat dan disimpan dalam sel alveolar tipe II. Bahan aktif
permukaan ini akan dilepaskan ke dalam alveoli, di mana mereka akan
mengurangi tegangan permukaan dan membantu mempertahankan
stabilitas alveolus dengan mencegah runtuhnya ruang udara kecil pada
akhir ekspirasi. Jumlah yang dihasilkan atau dilepaskan mungkin tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan pasca kelahiran karena immaturitas.
Surfaktan yang hadir dalam konsentrasi tinggi pada paru janin
mengalami homogenasi pada usia kehamilan 20 minggu, tetapi tidak
mencapai permukaan paru-paru sampai nanti. Ia muncul dalam cairan
amnion pada waktu di antara 28 dan 32 minggu. Tingkat maturitas dari
surfaktan paru biasanya terjadi setelah 35 minggu.
Meskipun jarang, kelainan genetik dapat berkontribusi dalam
terjadinya gangguan pernapasan. Kelainan pada gen protein surfaktan B
dan C serta sebuah gen bertanggungjawab untuk mengangkut surfaktan
melintasi membran (ABC transporter 3 [ABCA3]) berhubungan dengan
penyakit pernapasan berat dan sering mematikan yang diturunkan.
Sebagian sintesis surfaktan bergantung pada pH normal, suhu, dan perfusi.
Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia paru, khususnya terkait dengan
hipovolemia, hipotensi, dan stres dingin, dapat menekan sintesis surfaktan.
Lapisan epitel paru-paru juga dapat terluka oleh konsentrasi oksigen yang
tinggi dan efek dari manajemen respirator, sehingga mengakibatkan
pengurangan surfaktan yang lebih lanjut.

4
D. PATOFISIOLOGI

Peranan surfaktan ialah untuk merendahkan tegangan permukaan


alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa
udara fungsionil pada akhir ekspirasi. Defisiensi substansi surfaktan yang
ditemukan pada penyakit membrane hialin menyebabkan kemampuan paru
untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu. Alveolus akan kembali
kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk pernafasan berikutnya
dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar yang disertai
usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini akan menyebabkan
terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.
Hipoksia akan menimbulkan: (1) oksigenasi jaringan menurun
sehingga akan terjadi metabolisme anaerob dengan penimbunan asam
laktat dan asam organik lainnya yang menyebabkan terjadinya asidosis
metabolik pada bayi, (2) kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus
alveolaris yang akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli
dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan
jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut
membran hialin. Asidosis dan atelektasis juga menyebabkan terganggunya
sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah paru akan
menurun dan hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan
substansi surfaktan.
Penyebab utama HMD adalah defisiensi surfaktan di paru yang
belum matang. Paru-paru yang secara struktural belum matang dan
defisiensi surfaktan memiliki compliance yang rendah dan kecenderungan
untuk atelektasis; faktor lain pada bayi prematur yang meningkatkan risiko
atelektasis adalah penurunan radius alveolar dan dinding dada yang lemah.
Dengan atelektasis, bagian paru dengan perfusi baik tetapi ventilasi yang
buruk mengarah ke ketidaksesuaian V/Q (dengan shunting intrapulmonal)
dan hipoventilasi alveolar dengan akibat hipoksemia dan hiperkarbia.

5
Hipoksemia berat dan hipoperfusi sistemik menyebabkan penurunan
transportasi O2, metabolisme anaerob dan menyusulnya asidosis laktat.
Hipoksemia dan asidosis lebih lanjut dapat memperburuk
oksigenasi melalui vasokonstriksi paru sehingga menyebabkan right-to-left
shunt pada foramen ovale dan duktus arteriosus. Faktor lain seperti
barotrauma atau volutrauma dan FiO2 tinggi mungkin mengawali
pelepasan sitokin dan kemokin inflamasi yang menyebabkan lebih banyak
kecederaan sel endotel dan epitel. Kecederaan ini mengurangkan sintesis
dan fungsi surfaktan serta peningkatan permeabilitas endotel yang
mengarah ke edema pulmonal. Kebocoran protein ke dalam ruang alveolar
memperburuk lebih lanjut defisiensi surfaktan dengan mengakibatkan
inaktivasi surfaktan. Secara makroskopis, paru terlihat padat dan
atelektasis. Secara mikroskopis, dapat dilihat atelektasis alveolar difus dan
edema pulmonal.

Gambar 1. Patofisiologi penyakit membran hialin

6
E. DIAGNOSIS

1. Gejala Klinis
Penyakit membran hialin sering terjadi pada bayi prematur
dengan berat badan 1000-2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu.
Jarang ditemukan pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram.
Sering disertai dengan riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda
gawat bayi pada akhir kehamilan. Tanda gangguan pernafasan mulai
tampak 6-8 jam pertama setelah kelahiran dan gejala yang
karakteristik mulai terlihat pada umur 24-72 jam. Bila keadaan
membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama.
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh
atelektasis dan perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan
memperlihatkan gambaran klinis seperti dispnea atau hiperpnea,
sianosis karena saturasi O2 yang menurun, retraksi suprasternal,
retraksi interkostal dan expiratory grunting. Selain tanda gangguan
pernafasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia (sering
ditemukan pada penderita HMD berat), hipotensi, kardiomegali,
pitting edema terutama di daerah dorsal tangan atau kaki, hipotermia,
tonus otot yang menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi
komplikasi. Scoring system yang sering digunakan pada bayi preterm
dengan HMD adalah Silverman-Anderson score atau skor Downes.

Tabel 1. Skor Downes.


Score 0 1 2
Frekuensi nafas
<60 60 -80 >80
(x/menit)
Sianosis None In room air In 40% oxigen
Moderate-
Retraksi None Mild
severe

7
Audible
Audible with
Merintih None without
stethoscope
stethoscope
Delayed /
Air entry Clear Barely audible
decrease
Skor : > 6 = Respiratory distress
respiratory failure < 6 = Inpending

Gambar 2. Silverman-Anderson scoring system

Skor 10 = Severe respiratory distress


Skor ≥ 7 = Impending respiratory failure
Skor 0 = No respiratory distress

2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Gas Darah
Hasil analisis gas darah menunjukkan asidosis respiratorik dan
asidosis metabolik dengan hipoksia. Asidosis respiratorik terjadi

8
karena atelektasis dari alveoli dan atau overdistensi dari bronkiolus
(terminal airways). Asidosis metabolik yang terjadi pada HMD dawali
dengan asidosis laktat sebagai akibat dari menurunnya perfusi ke
jaringan sehingga tubuh menggunakan jalur anaerob untuk
metabolisme. Hipoksia pada HMD ini terjadi dari right-to-left
shunting melalui pembuluh dari pulmonal, patent ductus artreriosus
(PDA), dan atau foramen ovale tidak menutup.

Pulse Oximetry
Pulse oximetry adalah tindakan non-invansif yang digunakan
untuk memantau saturasi oksigen dalam darah, dimana saturasi
dipertahankan pada nilai 90-95%. Akan tetapi alat ini tidak dapat
mendeteksi terjadinya hiperoksia. Pada metode konvensional
digunakan metode monitoring in-line arterial PaO2 dan monitoring
transkutaneus. Monitoring transkutaneus CO2 seharusnya dgunakan
pada infant dengan HMD untuk memonitor ventilasi yang
berhubungan dengan PaCO2.

Gambaran Radiologis
Diagnosis yang tepat dengan pemeriksaan foto rontgen toraks.
Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala yang
mirip penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks, hernia
diafragmatika, dan lain-lain.

a. Foto toraks posisi AP dan lateral (bila diperlukan serial)


Gambaran radiologis memberi gambaran penyakit membran
hialin. Gambaran yang khas berupa pola retikulogranular, yang
disebut dengan ground glass appearance, disertai dengan
gambaran bronkus di bagian perifer paru (air bronchogram).

9
Terdapat 4 stadium:
 Stadium 1: pola retikulogranular (ground glass appearance)
 Stadium 2: stadium 1 + air bronchogram
 Stadium 3: stadium 2 + batas jantung - paru kabur
 Stadium 4: stadium 3 + white lung appearance

Gambar 3. HMD dengan granular appearance pada kedua paru

Gambar 4. HMD dengan granular appearance dan air broncogram

10
Gambar 5. HMD dengan gambaran batas jantung-paru kabur (kiri)

Gambar 6. white lung appearance (kanan)

Gambar 7. HMD pada bayi prematur

11
Gambar 8. HMD pada bayi yang sudah mendapat terapi surfaktan. Tampak
gambaran gelembung udara pada lobus atas

Selama perawatan, diperlukan foto toraks serial dengan


interval sesuai indikasi. Pada pasien dapat ditemukan pneumotoraks
sekunder karena pemakaian ventilator, atau terjadi bronchopulmonary
dysplasia (BPD) setelah pemakaian ventilator jangka lama.

Pemeriksaan Fungsi Paru


Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan tim yang
berpengalaman. Peningkatan frekuensi pernafasan pada penyakit ini
akan memperlihatkan perubahan pada fungsi paru lainnya seperti tidal
volume menurun, lung compliance berkurang, penurunan functional
residual capacity disertai vital capacity yang terbatas. Demikian pula
fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.

Pemeriksaan Fungsi Kardiovaskuler


Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperlihatkan
beberapa perubahan dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus
arteriosus paten, pirau dari kiri ke kanan atau pirau kanan ke kiri
(bergantung pada lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri paru
dan sistemik.

12
Gambaran Patologi / Histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya
atelektasis dan membran hialin di dalam alveolus atau duktus
alveolaris. Di samping itu terdapat pula bagian paru yang mengalami
emfisema. Membran hialin yang ditemukan terdiri dari fibrin dan sel
eosinofilik yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel alveolus
yang nekrotik.

F. DIAGNOSIS BANDING

Penyakit Gejala Radiologi


Ateletaksis, air
Sianosis, apnea, pernafasan
HMD broncogram, infitrat
cuping hidung
granular
Hiperekspansi perihiler
Transient pulmonal, peningkatan
Takipnea segera setelah lahir,
Tachypnoea of the corakan vaskuler
retraksi, merintih
Newborn (TTN) pulmonal, infitrat sudut
costofrenikus tumpul
Takipnea, nafas cuping
Infitrat kasar bilateral,
Aspirasi Mekonium hidung, retraksi, sianosis,
hiperinflasi paru
mekonium stained skin

1. Transient Tachypnoea of the newborn (TTN)


Peningkatan kadar epinefrin pada fetus pada saat partus umumnya
mengurangi produksi cairan paru dan mengaktivasi channel natrium yang
menimbulkan terjadinya reabsorbsi. Gagalnya untuk membersihkan paru
dari cairan paru ini menyebabkan terjadinya TTN. Faktor risiko terjadi
TTN termasuk kelahiran preterm, kelahiran dengan sectio caesaria, dan
bayi dengan jenis kelamin laki-laki.

13
TTN juga dihubungkan dengan maternal asma. Pada gejala awal,
TTN sulit untuk dibedakan dengan penyakit membran hialin. Diagnosis
TTN hanya dapat ditegakkan dengan foto rontgen paru yaitu adanya
opasitas paru yang berbentuk “streaky”, ditemukannya cairan pada fisura
transversalis, dan biasanya disertai dengan kardiomegali. TTN terjadi pada
5 dari 1000 bayi cukup bulan. Gejala TTN ialah adanya takipnea yang
parah (frekuensi nafas >60x/menit) dan terjadinya hiperinflasi, tetapi
jarang disertai dengan grunting. TTN merupakan diagnosis eksklusi,
dimana diagnosis sindrom gawat nafas, sepsis dan gagal jantung sudah
disingkirkan.

Gambar 9. Transient tachypnoea of the newborn dengan gambaran cairan


pada fisura transversalis dan hiperekspansi paru.

2. Meconium aspiration syndrome


Aspirasi mekonium jarang terjadi pada bayi kurang bulan. Sindrom
aspirasi mekonium terjadi apabila janin mengeluarkan mekonium ke dalam
cairan amnion ketika masih berada dalam kandungan, dan cairan amnion
yang terkontaminasi mekonium teraspirasi oleh bayi. Aspirasi mekonium
menyebakan obstruksi mekanis pada paru sehingga menyebabkan
terperangkapnya udara dan mengakibatkan atelektasis dan
ketidakseimbangan perfusi-ventilasi. Secara klinis, bayi tampak berwarna
kuning kehijauan atau lebih dikenali sebagai meconium-stained skin.

14
Penegakkan diagnosis aspirasi mekoneum dapat dilakukan dengan
kombinasi foto rontgen dengan gambaran bercak-bercak konsolidasi atau
atelektasis, infiltrat kasar di kedua lapangan paru, dan hiperinflasi karena
terperangkapnya udara.

Gambar 10. Foto thoraks sindrom aspirasi mekonium

3. Pneumotoraks
Kekurangan surfaktan yang relatif pada bayi yang lahir dengan usia
gestasi 32-34 minggu menghasilkan paru-paru yang kurang compliance
sehingga meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks dan
pneumomediastinum. Pneumotoraks kecil umumnya dapat sembuh secara
spontan. Selama ini, oksigen 100% digunakan sebagai penanganan
pneumotoraks kecil, akan tetapi efektivitasnya belum terbukti dan dengan
risiko terjadinya toksisitas oksigen, maka penanganan ini sudah tidak lagi
dilakukan.
Penanganan yang sedang berkembang ialah penggunaan
kateterisasi pigtail yang dimasukan dengan teknik Seldinger. Keuntungan
tindakan ini ialah tindakannya yang cepat dan mudah, serta sedikitnya skar
yang ditimbulkan dibandingkan dengan traditional chest tubes.

15
Gambar 11. Pneumotoraks pada paru sisi kanan

G. PENATALAKSANAAN

1. Perawatan Antenatal
Intervensi untuk mencegah terjadinya HMD harus dimulai
sebelum kelahiran dan melibatkan bagian anak dan kebidanan. Secara
umum sekresi surfaktan meningkat selama proses persalinan, oleh
karena itu operasi sectio caesaria elektif tidak dianjurkan. Bayi
preterm yang berisiko untuk terjadinya HMD seharusnya dilahirkan di
tempat yang memiliki tenaga ahli dan fasilitas yang dilengkapi dengan
Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) dan ventilator mekanik.
Untuk bayi yang usia gestasi kurang dari 27 minggu,
kemungkinan untuk meninggal pada tahun pertama kehidupan
berkurang bila dilahirkan di rumah sakit yang memiliki Neonatal
Intensif Care Unit (NICU). Pemanfaan obat tokolitik dapat digunakan
untuk menunda persalinan sementara agar ibu dapat dirujuk ke rumah
sakit dengan fasilitas NICU.

2. Pemberian Kortikosteroid Pada Ibu


Steroid antenatal diberikan pada ibu untuk menurunkan risiko
kematian pada neonatal. Keberhasilan pemberian steroid hanya
terlihat pada bayi preterm yang ibunya menerima dosis pertama

16
steroid 1-7 hari sebelum persalinan. Betamethason dan dexamethason
digunakan untuk meningkatkan pematangan paru janin. Pemberian
steroid antenatal direkomendasikan pada semua kehamilan yang
berisiko terjadinya persalinan preterm. Dosis tunggal pemberian
betamethason adalah 12 mg. Interval optimal untuk memulai terapi
berdasarkan taksiran persalinan adalah >24 jam dan <7 hari. Tidak ada
bukti yang jelas menunjukkan pemberian dosis ulangan dapat
meningkatkan keberhasilan efek kortikosteroid.

3. Stabilisasi Kamar Bersalin


Bayi dengan defisiensi surfaktan mengalami gangguan dalam
mencapai kapasitas residu fungsional yang adekuat dan memastikan
pengaliran udara di alveolar terus menerus. Dulu kebanyakan bayi
preterm, tali pusat dipotong segera setelah lahir agar dapat
dipindahkan ke lingkungan hangat dengan cepat untuk memudahkan
proses resusitasi. Prosedur mengklem tali pusat dengan cepat
dipersoalkan baru-baru ini. Lebih kurang setengah dari volume darah
dari bayi preterm terkandung dalam tali pusat plasenta, dengan
menunda pengkleman tali pusat selama 30-45 detik dapat
mengakibatkan peningkatan volume darah sebanyak 8-24% terutama
pada persalinan spontan, sehingga terjadinya peningkatan kadar
hematokrit, berkurangnya keperluan untuk transfusi dan berkurangnya
insiden perdarahan intraventrikuler.
Saturasi oksigen optimal yang diperlukan ketika meresusitasi
bayi preterm masih belum diketahui, tetapi terdapat banyak bukti
meresusitasi dengan konsentrasi oksigen murni 100% dibandingkan
dengan udara ruangan dihubungkan dengan peningkatan kadar
mortalitas. Adanya bukti biokimia tentang toksisitas oksigen yang
terjadi akibat pemberian oksigen murni.
Penggunaan oksigen murni 100% tidak lagi diperlukan,
sekarang pencampur oksigen-udara ruangan seharusnya tersedia di

17
kamar bersalin untuk membolehkan titrasi oksigen sesuai kondisi
bayi. Pulse oximetry dapat digunakan untuk membantu pemberian
oksigen murni. Oleh sebab itu penggunaan oksigen murni untuk
meresusitasi haruslah terkontrol dengan pencampur oksigen-udara
ruangan. Pemberiannya dimulai dengan konsentrasi oksigen yang
paling rendah, biasanya konsentrasi sebanyak 30%. Saturasi normal
bayi preterm yang baru lahir semasa proses transisi adalah 40-60%
dan mencapai 50 - 80% setalah usia 5 menit dan mencapai >85%
setelah usia 10 menit.
Pemberian rutin ventilasi tekanan positif (bagging) tidak sesuai
bagi preterm yang belum nafas spontan. Jika ventilasi tekanan positif
diperlukan untuk menstabilkan bayi, hindari volume tidal yang
berlebihan dengan menggunakan alat resusitasi yang bisa mengukur
atau melimitasi peak inspiratory pressure (PIP) dan waktu yang sama
dapat mempertahankan positive end-expiratory pressure (PEEP)
semasa ekspirasi. Contoh alatnya adalah Neopuff.
Hanya sebagian kecil bayi memerlukan intubasi di kamar
bersalin. Bayi-bayi ini adalah yang menerima surfaktan dan yang tidak
menunjukkan respon pada pemberian CPAP. Jika intubasi diperlukan,
posisi benar tuba endotraakeal diketahui dengan menggunakan alat
yang mendeteksi CO2 kolorimetrik, sebelum pemberian surfaktan dan
penggunaan ventilator.

4. Penatalaksanaan Umum
Dasar tindakan ialah mempertahankan bayi dalam suasana
fisiologis agar bayi mampu melanjutkan perkembangan paru dan
organ lain sehingga dapat mengadakan adaptasi sendiri terhadap
sekitarnya. Tindakan yang perlu dikerjakan ialah :
a) Memberikan lingkungan yang optimal
Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam
batas normal (36,5-37˚C) dengan meletakkan bayi di dalam

18
inkubator. Humiditas ruangan juga harus adekuat (70-80%). Semua
usaha meresusitasi bayi haruslah dengan langkah mencegah
terjadinya hipotermia untuk meningkatkan angka kehiudpan. Selain
radiant warmer, menyelubungi bayi dengan plastik polietilen dapat
menurunkan insiden hipotermia, terutama pada bayi preterm.
b) Pemberian cairan dan nutrisi
Pada fase akut, harus diberikan melalui intravena. Cairan
yang diberikan harus cukup untuk menghindarkan dehidrasi dan
mempertahankan homeostasis tubuh yang adekuat. Pada hari-hari
pertama diberikan glukosa 5-10% dengan jumlah yang disesuaikan
dengan umur dan berat badan (60-125 ml/kgbb/hari). Asidosis
metabolik pada penderita, harus segera diperbaiki dengan
pemberian NaHCO3 secara intravena. Pemeriksaan keseimbangan
asam-basa tubuh harus diperiksa secara teratur agar pemberian
NaHCO3 dapat disesuaikan dengan mempergunakan rumus:
kebutuhan NaHCO3 (mEq) = deficit basa x 0,3 x berat badan bayi.
Pada pemberian NaHCO3 ini bertujuan untuk mempertahankan pH
darah antara 7,35-7,45. Pada asidosis yang berat, penilaian klinis
yang teliti harus dikerjakan untuk menilai apakah basa yang
diberikan sudah cukup adekuat.
Bila bayi sudah tidak lagi sesak, minimal enteral feeding
dengan air susu dapat diinisiasikan sesegera mungkin, dengan
jumlah <20ml/kgBB/hari untuk membantu maturasi dan
meningkatkan fungsi saluran pencernaan bayi, meningkatkan berat
badan bayi dan memperpendek waktu perawatan di rumah sakit.
Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen
respirasi. Tekanan parsial O2 diharapkan antara 50-70 mmHg.
PaCO2 antara 45-60 mmHg (permissive hypercapnia). pH
diharapkan tetap diatas 7,25 dengan saturasi oksigen antara 88-
92%.

19
c) Pemberian oksigen
Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi
yang baru lahir. Pemberian O2 yang terlalu tinggi dapat
menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan seperti fibrosis
paru (bronchopulmonary dysplasia (BPD)), kerusakan retina
(fibroplasi retrolental/retinopathy of prematurity (ROP)) dan lain-
lain. Untuk mencegah timbulnya komplikasi ini, pemberian O2
sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan saturasi oksigen, sebaiknya
diantara 85-93% dan tidak melebihi 95% untuk mengurangi
terjadinya ROP dan BPD.
Terapi oksigen sesuai dengan kondisi:
 Nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan
konsentrasi yang cukup untuk mempertahankan tekanan
oksigen arteri antara 50-70 mmHg untuk distres pernafasan
ringan.
 Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada
konsentrasi oksigen inspirasi 60% atau lebih, penggunaan
NCPAP (Nasal Continuous Positive Airway Pressure)
terindikasi. NCPAP merupakan metode ventilasi yang
noninvasif. Penggunaan NCPAP sedini mungkin untuk
stabilisasi bayi dengan berat lahir sangat rendah (1000-1500
gram) di ruang persalinan juga direkomendasikan untuk
mencegah kolaps alveoli. Penggunaan humidified high flow
nasal cannula therapy (HHFNC) sebagai pengganti NCPAP
sedang digalakkan di beberapa negara karena memiliki
keefektivitasan yang sama dengan NCPAP serta dapat
digunakan untuk bayi dengan semua usia gestasi.

5. Ventilator Mekanik
Tujuan penggunaan ventilator adalah untuk memastikan
perfusi pulmonal yang berkesinambungan sehingga menurunkan

20
resiko terjadinya trauma paru, dan menurunkan work of breathing
pasien. Kesulitannya adalah dalam menentukan ventilator yang paling
sesuai untuk menangani gagal nafas neonatus.16 Ventilator mekanis
dibagi menjadi dua, yaitu :
a) Non Invasif
Continuous positive airway pressure (CPAP) adalah
memberikan tekanan yang berkesinambungan pada alveoli
sepanjang siklus respirasi, memastikan alveolar terus inflasi dan
mencegahnya dari kolaps, terutama pada akhir ekspirasi. Dulu
CPAP digunakan melalui selang endotrakeal, tapi kini CPAP bisa
diberikan secara nasal. Keuntungan dalam penggunaan CPAP
adalah menghasilkan pola pernafasan yang regular, terutama pada
bayi preterm. CPAP terdiri atas tiga komponen, yaitu :
 Sirkuit yang mensuplai gas inspirasi yang harus dalam keadaan
hangat dan lembap secara terus menerus.
 Komponen yang menghubungkan komponen pertama dengan
jalan nafas bayi. Yang sering digunakan sekarang adalah selang
binasal.
 Komponen terakhir adalah alat yang menghasilkan tekanan
positif.
b) Invasif
Dibagi menjadi dua yaitu:
 Konvensional
 Intermittent Mandatory Ventilation (IMV)
Dengan IMV tenaga medis dapat menentukan kadar di mana
ventilator mekanis memberikan nafas mekanis pada bayi,
dimana ada interval regularnya. Ini membolehkan bayi
bernafas spontan antara dua jarak nafas buatan.
Kekurangannya adalah bayi sering bernafas tidak teratur
dengan penggunaan IMV. Pertukaran gas sangat bervariasi
pada IMV, tergantung kondisi bayi bernafas dengan atau

21
melawan ventilator. Selain menyebabkan tidak effisiensinya
proses pertukaran gas tapi juga bisa mengakibatkan
terperangkapnya udara.
 Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation (SIMV)
Pada SIMV, onset dari nafas buatan ditentukan berdasarkan
onset dari nafas spontan jika terjadi dalam timing window.
Contohnya, jika kadar SIMV berdasarkan frekuensi nafas 30
kali/menit, siklus ventilator akan terjadi setiap 2 detik. Pada
setiap kali ventilator seharusnya memulai nafas buatan, ia
akan menunggu nafas spontan terlebih dahulu, jika nafas
spontan didapatkan dalam timing window.
 Assist/Control Ventilation (A/C)
Pada A/C semua nafas spontan yang melebihi ambang batas
akan menghasilkan nafas buatan pada onset inspirasi
(assist/membantu). Jika terjadi henti nafas atau
ketidakmampuan paru dalam menghasilkan nafas spontan
maka nafas buatan akan diberikan dengan kadar yang
ditetapkan oleh tenaga medis (kontrol).
 Non Konvensional
Disebut juga dengan High-Frequency Ventilation (HFV),
yaitu ventilator nontidal dimana volume pemberian gas lebih
rendah dari anatomic dead space dan diberikan dengan kadar
yang sangat cepat. Keuntungan dari penggunaan HFV adalah
pemberian volume gas yang rendah pada kadar yang cepat
menghasilkan tekanan alveolar yang lebih rendah dan
menurunkan risiko terjadinya trauma paru akibat pemberian
volume dan tekanan yang eksesif. Pada ventilator konvensional,
jantung dapat mengkompensasi dengan pengisian cepat saat
tekanan intrathoraks berada pada nilai paling rendah (PEEP).
Pada HFV, tekanan nafas rata-rata meningkat oleh itu, aliran

22
balik vena menurun sehingga jantung harus bekerja lebih kuat
untuk menigkatkan volume inputnya.

6. Terapi Surfaktan
Terapi surfaktan sudah digunakan selama lebih dari dua
dekade. Dapat digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan pada
bayi dengan risiko HMD, untuk mengurangi resiko timbulnya
pneumotoraks dan timbulnya kematian.
Surfaktan profilaksis, atau preventif merupakan pemberian
surfaktan secara intratrakeal pada bayi dengan risiko tinggi untuk
terjadinya gawat nafas setelah resusitasi dini dalam 10-30 menit
setelah kelahiran. Pemberian surfaktan rescue dibagi lagi menjadi 2
yaitu, rescue dini yaitu pemberian surfaktan dalam 1-2 jam setelah
kelahiran dan rescue lambat yaitu pemberian lebih dari 2 jam setelah
kelahiran. Bayi yang lahir dengan usia gestasi <30 minggu
memberikan perbaikan setelah diberikan surfaktan profilaksis dan
rescue. Akan tetapi, bayi prematur yang diterapi dengan surfaktan
profilaksis terbukti memiliki insidensi yang lebih rendah dalam
terjadinya sindrom gawat nafas.
Dosis total 4ml/kgBB dapat diberikan dalam jangka waktu 48
jam pertama kehidupan dengan interval minimal 6 jam antara
pemberian. Bayi tidak perlu dimiringkan ke kanan dan ke kiri setelah
pemberian surfaktan, karena surfaktan akan menyebar sendiri melalui
pipa endotrakeal. Selama pemberian surfaktan dapat terjadi obstruksi
jalan nafas yang disebabkan oleh viskositas obat. Efek samping dapat
berupa perdarahan dan infeksi paru.
Terdapat beberapa jenis preparat surfaktan yang dapat
diberikan untuk neonates dengan sindrom gawat nafas, antara lain
surfaktan sintetik (protein-free) dan natural (diambil dari paru hewan).
Surfaktan natural lebih baik dari preparat sintetik dalam mengurangi

23
pulmonary air leaks dan mortalitas. Surfaktan natural merupakan
terapi pilihan di Eropa.
Terapi surfaktan selama lebih dari beberapa hari pertama
kehidupan bayi memberikan respons langsung dan tidak terbukti
adanya perbedaan pada efek jangka panjang.

7. Pemberian Antibiotik
Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat
antibiotika untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pemberian
antibiotik dimulai dengan spektrum luas, biasanya dimulai dengan
ampisilin 50mg/kgBB intravena setiap 12 jam dan gentamisin
3mg/kgBB untuk bayi dengan berat lahir kurang dari 2 kilogram. Jika
tak terbukti ada infeksi, pemberian antibiotika dihentikan.
Selain itu, pneumonia congenital juga bisa menyerupai HMD.
Oleh karena itu, dianjurkan semua bayi dengan sindroma distres
pernafasan untuk menjalani kultur darah, dan mencari tanda-tanda
sepsis lain seperti neitropenia atau meningkatnya protein C reaktif.
Regimen yang sering dipakai adalah penisilin atau ampisilin dan
dikombinasikan dengan aminoglikosida, namun setiap rumah sakit
mempunyai protocol tersendirinya berdasarkan profil pathogen yang
ditemukan di daerahnya.

8. Tatalaksana dan pencegahan duktus arteriosus persisten (PDA)


Insiden PDA tinggi pada bayi prematur dan sering
menimbulkan masalah dalam penanganan HMD. Pemberian
indomethacin profilaksis dapat menurunkan resiko terjadinya PDA.
Indomethacin atau ibuprofen dapat digunakan untuk menstimulasi
penutupan duktus arteriosus. Tanda PDA adalah hipotensi (terutama
tekanan darah diastolic yang amat rendah).

24
H. KOMPLIKASI

Perdarahan sistem saraf pusat (SSP), perdarahan intraventrikular


(IVH) dan duktus arteriosus paten (PDA) merupakan masalah klinis
signifikan yang mempengaruhi perawatan bayi dengan HMD. Duktus
arteriosus paten dan gagal jantung kongestif serta edema pulmonal
memperburuk fungsi pernafasan dengan lebih lanjut, menurunkan
compliance paru dan mungkin mengnonaktifkan surfaktan paru.
Diagnosis segera dan pengobatan medis atau bedah pada PDA
diindikasikan pada pengobatan HMD. Perdarahan SSP akut sering
dikaitkan dengan syok, gangguan paru dan perdarahan pulmonal. Fluktuasi
pada status pernafasan dapat menyebabkan IVH dan dapat diminimalkan
dengan perhatian khusus terhadap perawatan pernafasan dan penggunaan
sedasi yang bijaksana. Cairan intravena dan pemberian per oral harus
disesuaikan dengan baik selama perawatan akut pada bayi dengan HMD.
Pemberian cairan berlebihan merusak fungsi paru dan meningkatkan risiko
PDA.

I. PROGNOSIS

Prognosis sindrom ini tergantung dari tingkat prematuritas dan


beratnya penyakit. Pada penderita yang ringan penyembuhan dapat terjadi
pada hari ke-3 atau ke-4 dan pada hari ke-7 terjadi penyembuhan
sempurna. Pada penderita yang lanjut mortalitas diperkirakan 20-40%.
Dengan perawatan yang intensif dan cara pengobatan terbaru mortalitas ini
dapat menurun. Prognosis jangka panjang sulit diramalkan. Kelainan yang
timbul di kemudian hari lebih cenderung disebabkan komplikasi
pengobatan yang diberikan dan bukan akibat penyakitnya sendiri. Pada
fungsi paru yang normal pada kebanyakan bayi yang dapat hidup dari
HMD, prognosisnya sangat baik.
Keseluruhan mortalitas bayi BBLR yang dirujuk ke pusat
perawatan intensif maupun secara mantap; sekitar 75% dari mereka yang

25
berada di bawah 1000 gram bertahan hidup, dan mortalitas secara
progresif menurun pada berat badan yang lebih tinggi, dengan lebih dari
95% bayi sakit yang bertahan hidup beratnya lebih dari 2500 gram.
Walaupun 85-90% dari semua bayi HMD yang bertahan hidup setelah
mendapat dukungan ventilasi dengan respirator adalah normal, harapan
yang ada pada mereka yang beratnya diatas 1500 gram adalah jauh lebih
baik; sekitar 80% dari mereka yang beratnya dibawah 1500 gram tidak
mengalami sekuele neurologis atau mental. Prognosis jangka panjang
untuk tercapainya fungsi paru yang normal pada kebanyakan bayi HMD
yang bertahan hidup adalah sangat baik. Namun bayi yang berhasil
bertahan hidup dari kegagalan pernapasan neonatus yang berat dapat
mengalami gangguan paru dan perkembangan saraf yang berarti.

26

Anda mungkin juga menyukai