Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH SEJARAH

(MASA KEKUASAAN BELANDA KE-2 DI INDONESIA)

ANGGOTA KELOMPOK:
1.HALFA NUR AFIFAH
2.KETUT OKA MAHARANI
3.RIYANI FAUZIAH
4.VERONIKA KINANTI
5.WAYAN ELSA W.S.
6.YASYA EKA AGUSTIN

SMA N 1 SEPUTIH MATARAM


TAHUN PELAJARAN 2018/2019
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Latar belakang kedatangan Belanda ke Indonesia adalah akibat meletusnya perang
delapan puluh tahun antara Belanda dan Spanyol (1568-1648). Pada awalnya, perang antara
Belanda dan Spanyol bersifat agama karena Belanda mayoritas beragama kristen protestan
sedangkan orang Spanyol beragama kristen katolik. Perang tersebut kemudian menjadi
perang ekonomi dan politik. Raja philip II dari Spanyol memerintahkan kota Lisabon tertutup
bagi kapal Belanda pada tahun 1585 selain karena faktor tesebut juga karena adanya petunjuk
jalan ke Indonesia dari Jan Huygen Van Lischoten, mantan pelaut Belanda yang bekerja pada
Portugis dan pernah sampai di Indonesia.
Tujuan kedatangan belanda ke indonesia adalah untuk berdagang rempah-rempah.
Setelah berhasil menemukan daerah penghasil rempah-rempah dan keuntungan yang besar,
belanda berusaha untuk mengadakan monopoli perdagangan rempah-rempah dan menjajah.
Untuk melancarkan usahanya, belanda menempuh beberapa cara seperti pembentukan VOC
dan pembentukan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.
Pada awal abad XIX Jawa Setelah pemerintahan Inggris berakhir, yaitu pada tahun
1816, Indonesia kembali dikuasai oleh Pemerintahan Hindia-Belanda. Pada masa ”kedua”
penjajahan ini, yang sangat terkenal adalah sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Van den
Bosch. Pelaksanaannya pun dimulai pada tahun 1830. Terdapat ketentuan-ketentuan dalam
pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut. Namun pada akhirnya, dalam praktek
sesungguhnya terdapat banyak penyimpangan-penyimpangan.
Terdapat perbedaan antara penerapan sistem sewa tanah yang dilaksanakan oleh
Raffles serta sistem tanam paksa yang dilaksanakan oleh Van den Bosch. Keduanya
membawa dampak yang tidak sedikit bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Dalam perkembangan sampai dengan paruh pertama abad ke-19, kebijakan selain
bidang perekonomian, dalam bidang pendidikan juga tidak diabaikan oleh pemerintah
Hindia-Belanda, tetapi itu hanya masih berupa rencana dari pada tindakan nyata. Dalam
periode itu pemerintah harus melakukan penghematan anggaran, biaya untuk menumpas
Perang Dipenogoro (1825-1830), dan untuk pelaksanaan Culturstelsel.
Dalam rangka usahanya menguasai Indonesia,Belanda secara licik menjalankan
politik pecah belah,sehingga kerajaan-kerajaan yang saling bertentangan itu menjadi
lemah.Kesempatan inilah digunakan oleh Belanda untuk menjajah Indonesia.
MASA KEKUASAAN BELANDA KE 2 DI INDONESIA (1816-1942)

Konvensi London mengembalikan hak Belanda atas Nusantara. Situasi sebelum dan setelah
penyerahan ini tidak begitu baik bagi Belanda karena pemerintah Belanda sedang mengalami
krisis keuangan yang sangat parah, disebabkan banyaknya biaya yang dikeluarkan unutk
melawan pendudukan Prancis serta untuk membayar utang-utang VOC.
Maka pemerintah Belanda mengangkat Van der Capellen (1816-1826) sebagai Gubernur
Jenderal, dengan mengemban tugas penting: yaitu mengeksploitasi kekayaan alam dari negri
jajahan sebesar-besarnya untuk menutupi kas Negara yan kosong. Lalu mengirim du Bus de
Gisignies (1826-1830).
Kedatangan Belanda disambut berbagai perlawanan. Meski akhirnya bisa dipatahkan,
serangkaian perang itu membuat keuangan Belanda semakin merosot. Belanda pun berada
dijurang kebangkrutan.
Untuk menyelamatkan negri Belanda dari krisis ekonomi, diutuslah Johannes Van Den Bosch
sebagai gubernur jenderal yang baru. Tugas utamanya : menggali dana semaksimal mungkin
untuk menyelamatkan Negara dari kebangkrutan. Untuk itu Van den Bosch pun memusatkan
kebijakan pada peningkatan produksi tanaman ekspor. Dari sinilah kebijakan tanam paksa
dimulai.
1) Kebijakan Tanam Paksa : Johannes Van Den Bosch (1830-1870)
Van Den Bosch menghapus system sewa tanah era Raffles dalam menerapkan apa yang
disebut Cultuurstelsel. Oleh bangsa Indonesia system ini sering disebut tanam paksa karena
dalam prakteknya rakyat dipaksa menanam tanaman-tanaman ekspor yang hasilnya dijual
kepada Belanda. Kebijakan ini dirintis di Tanah Sunda (Priangan) yang namanya Prianger
Stelsel.
Sistem TP diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835 diseluruh
Pulau Jawa. Berikut ini kebijakan-kebijakan dasar CultuurStelsel :
· Mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (1/5 alias 20%) untuk ditanami
tanaman ekspor yaitu kopi dan tebu. Hasilnya dijual kepada perintah Belanda yang telah
ditentukan serta untuk kebijakan ini tanah dibebaskan dari pajak.
· Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian menggantinya dengan bekerja ditanah-tanah
pertanian dan pabrik pengolahan hasil pertanian milik pemerintah selama 66 hari atau 1/3
dari tahun yang berjalan.
· Waktu mengerjakan tanaman untuk CultuurStelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi
atau kurang dari 3 bulan.
· Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat.
· Gagal panen yang bukan disebabkan kesalahan petani akan ditanggung pemerintah.
· Pengawasan dalam penggarapan tanah pertanian dan penyerahan hasil tanaman dilakukan
oleh dan disampaikan kepada para kepala desa.

Pelanggaran dalam kebijakan tanam paksa :


· Tanah milik rakyat digunakan seluruhnya unuk ditanami tanaman paksa
· Hasil panen diserahkan kepada pemerintah colonial seluruhnya
· Tanah yang digunakan untuk tanaman paksa tetap dikenai pajak
· Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh
Bagi pemerintah Belanda system ini berhasil dengan luar biasa karena pada tahun 1860-an
72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Hindia-Belanda. Sistem TP menuai kritik
dari berbagai pihak. Pengkritiknya yang terkenal adalah seorang mantan asisten residen di
Lebak, Banten yang benama Eduard Douwes Dekker yang ditulis dalam buku yang berjudul
“Max Havelaar” dengan menggunakan nama samaran Multatuli yang mengisahkan
masyarakat petani yang menderita karena kebijakan Belanda.
Sistem TP kemudian dihapus tahun 1870 lalu dikeluarkan UU Agraria dan UU Gula.
Tujuan UU Agraria :
1. Melindungi hak milik petani atas tanahnya dari penguasa dan pemodal asing
2. Memberi peluang kepada pemodal asing untuk menyewa tanah dari penduduk Indonesia
seperti Inggris, Belgia, AS, Jepang, Cina, dll. Selain itu pengusaha swasta dapat menyewa
tanah pemerintah hingga 75 tahun.
3. Membuka kesempatan kerja kepada penduduk untuk menjadi buruh perkebunan.
Tujuan UU Gula yaitu memberikan kesempatan yang lebih luas kepada pengusaha gula untuk
mengambil alih pabrik-pabrik gula milik pemerintah
2) Kebijakan Pintu Terbuka (1870-1900), Eksploitasi Manusia dan Eksploitasi Agraris
Dampak kemenangan partai Liberal (1850) adalah diterapkannya system ekonomi liberal
termasuk di Nusantara. Dengan demikian melalui kebijakan ini rakyat Indonesia pertama kali
diperkenalkan system kapitalisme. Maksus utama kebijakan pintu terbuka adalah membuka
ruang pintu seluas-luasnya bagi pihak swasta dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Contoh perkebunan swasta asing di Indonesia :
1. Perkebunan tembakau di Deli , Kedu, Klaten, dll.
2. Perkebunan tebu di Madiun, Kediri, dll
3. Perkebunan Kina di Jawa Barat
4. Perkebunan karet di Palembang
5. Perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara
6. Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatera.
Selain itu pertambangan perkembang di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, minyak di
Sumatera dan Kalimantan, batu bara di Sumbar dan Sumsel dan timah di Pulau Bangka.
Kebijakan ini menjadi sarana eksploitasi baru yang tidak kalah buruk dari kebijakan TP.
Eksploitasi itu terdiri dari 2 bentuk; eksploitasi manusia dan eksploitasi agraria.
· Eksploitasi Manusia
berupa pengerahan tenaga manusia yang diwarnai tipu daya, ketidak adilan, dan kesewenang-
wenangan yang mereka alami diperkebunan itu
Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan peraturan baru yang mendukung dan menjamin
agar para pemilik perkebunan dapat memperoleh, memperkerjakan, dan mempertahankan
kuli yang bekerja di perkebunan mereka sesuai kebutuhan. Peraturan itu di beri nama
Koeli Ordonantie 1881. Dimasukkan juga tentang hukuman-hukuman yang bisa dikenakan
terhadap pelanggaran perjanjian kontrak yang disebut Poenale sanctie.
· Eksploitasi Agraria
Tampak dalam bentuk penggunaan lahan baik produktif maupun lahan kosong.dampak
negative dari kebijakan TP bagi masyarakat Jawa :
a) Para priayi dan birokrat kesultanan, yang disebut patuh menyewakan
tanah lungguh kepada para pengusaha swasta
b) Di lahan-lahan perkebunan yng mereka kelola sebelumnya itu, rakyat jawa dijadikan
tenaga kerjanya.
c) Sebagian masyarakat jawa dikirim secara paksa ke Suriname untuk bekerja di
perkebunan-perkebunan Belanda di tempat itu
d) Para bupati di 18 wilayah karesidenan di Jawa ikut menyewakan sebagian tanah yang
berada di wilayah kekuasaanya kepada para pengusaha perkebunan swasta asing.
3) Politik etis
Kebijakan politik etis mencakup 2 bidang yaitu politik dan ekonomi.
Penderitaan rakyat Indonesia memicu kritik melalui tulisan dari kaum etis yang di pelopori
oleh wartawan Koran DE LOCOMOTIEF yaitu PIETER BROOSSHOOFT dan CORNARD
THEODORE van DEVENTER
Politik etis yang diusulkan VAN DEFENTER disebut TRIAS POLITIKA:
1 Irigasi (pengairan) yaitu membangun bendungan untuk keperluan pertanian.
2 Migrasi yaitu mengajak rakyat untuk bertransmigrasi agar terjadi keseimbangan penduduk
3 Edukasi yaitu menyelenggarakan pendidikan dengan memperluas bidang pengajaran dan
pendidikan.
Pelanggarn trias politika :
· Pengairan dialirkan hanya ke tanah-tanah perkebunan swasta,bukan ketanah rakyat
· Pengkastaan pendidikan.
· Migrasi keluar pulau Jawa ternyata ditujukan ke perkebunan milik swasta dan perkebunan
milik pengusaha Belanda dan swasta asing.
Dengan adanya Konvensi London maka Belanda berhak atas wilaayah kekuasaanya
terdahulu. Krisis keuangan yang diakibatkan perang terhadap Perancis serta untuk membayar
hutang dari VOC menyebabkan kas negara Belanda mengalami kekosongan. Oleh karena itu
dikirimlah Van Der Capellen (1816-1826) sebagai Gubernur Jenderal di Nusantara untuk
mengeksploitasi kekayaan alam nusantara guna mengisi kekosongan kas negara. Setelah Van
der Capleen dilanjutkan oleh de Gisignies (1826-1830). Keduanya memimpin secara tidak
adil dan sewenang-wenang. Akhirnya muncul perlawanan seperti:
a) Perang Saparua (1817).
b) Perlawanan Sultan Palembang (1818-1825).
c) Perang Diponegoro (1825-1830).
d) Perang padri (1815-1838).
e) Perang Bone (1824)
Namun perlawanan tersebut dapat diredam oleh panglima militernya yaitu Hendrik
Merkus de Knok (1826-1830). Sementara di eropa, Belanda harus mengeluarkan biaya yang
besar untuk menghadapi pemberontakan dari Belgia yang akhirnya lepas dari Belanda pada
tahun 1830. Dengan perlawanan-perlawanan tersebut kas negara diambang kebangkrutan.
Untuk mengatasi masalah tersebut Belanda mengirimkan Gubernur Jenderal yang
baru yaitu Johannes van Den Bosch. Tugas utamanya menggali dana maksimal untuk
menyelamatkan negara dari kebaangkrutan. Kebijakan pertamanya memusatkan peingkatan
produksi tanaman ekspor. Di sinilah dia menerapka sitem tanam paksa.
· Kebijakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel): Van Den Bosch (1830-1870)
1. Mewajibkan setiap desa menyisihkan 1/5 tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor.
2. Rakyat yang tidak memiliki tanah diwajibkan bekerja selam 66 hari di tanah produksi milik
Belanda.
3. Waktu penanaman padi tidak boleh melebihi waktu 3 bulan.
4. Kelebihan hasil produksi dikembalikan kepada rakyat.
5. Kerusakan akibat gagal panen diserahkan kepada rakyat.
6. Pengawasan dan penggarapan lahan dilakukan dan disampaikan melalui kepala desa.
Namun pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan. Rakyat dipaksa bekerja
melakukan 4 sampai 5 kali lebih banyak bekerja. Bagi belanda sistem ini sangat
menguntungkan. Kas negara mengalami surplus. Namun sitem ini mndapat kritikan dari
berbagai pihak, salah satunya Eduard douwes Dekker. Sistem tanam paksa kemudian dihapus
pada tahun 1870 setelah dikeluarkannya UU Agraria (Agrarische Wet) dan UU Gula (Suiker
Wet). Tujuan dikeluarkannya UU agraria adalah:
· Melindungi hak milik petani atas tanahnya dari penguasa asing.
· Memberi peluang kepada pemodal asing untuk menyewa tanah dari penduduk Nusantara.
· Membuka kesempatan kerja kepada penduduk untuk menjadi buruh perkebunan.
Sementara UU Gula bertujuan untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada
para pengusaha gula untuk mengambil alih pabrik-pabrik gula milik pemerintah.
Ø Kebijakan Pintu Terbuka (1870-1900) : Eksploitasi Manusia dan agraria)
1. Latar belakang
a) Perubahan politik di Belanda.
Pada tahun 1850 partai liberal memenangkan politik di Belanda yang megakibatkan
sitem peerintahan berubah menjadi sistem liberalis. Karena sistem liberalis bergantung pada
pemilik modal, perekonomian digerakkan dengan sistem kapitalisme.
b) Pengaruh Revolusi Industri.

2. Penerapan dan dampak politik pintu terbuka


Penerapan politik pintu terbuka berdasarkan UU agraria dan UU gula pada tahun 1870
membuat banyak pengusaha asing menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini didasari
dengan munculnya pabrik-pabrik milik swasta yang berkembang di Indonesia seperti Pabrik
tembakau di Deli, Besuki dan Kediri, Pabrik tebu di Batavia, semarang dan berbagai daerah
di pulau jawa, pabrik kina di Jawa Barat, pabrik teh di Jawa barat dan Sumatera dan lain
sebagainya.
Dampak penerapan pintu terbuka bagi Belanda adalah kemakmuran sedangkan
penderitaan bagi rakyat Indonesia.

Ø Eksploitasi manusia
Yang dimaksud di sini adalah berupa pengerahan tenaga manusia yang diwarnai
tipudaya, paksaan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dialami rakyat Indonesia
di perkebunan. Di sini muncul sebutan Koeli (Buruh) dan Ordernemer (pemilik perkebunan).
Untuk menjalankan eksploitasi manusia, Belanda membuat peraturan Koeli Ordonantie 1881
yang menjamin agar para pemilik perkebunan dapat memperoleh, mempekerjakan dan
mempertahankan kuli di perkebunan mereka sesuai kebutuhan. Mereka diwajibkan bekerja
dari pagi sampai sore dengan membuka lahan, dan upah serta makanan dan juga tempat
tinggal jauh dari kata layak. Selain bekerja di perkebuan di Indonesia, rakyat Indonesia yang
berasal dari jawa juga di kirim ke Suriname, dan Guyana Belanda untuk bekerja di perkebuna
Belanda di sana. Para pekerja yang tidak kuat dan membangkang kemudian melarikan diri,
namun dengan adanya Poenal Sanctie, para pekerja yang melarikan diri dikenakan hukuman
berupa denda, disekap, ditelanjangi, kerja paksa tanpa upah bahkan ada yang dibunuh.
Ø Eksploitasi Agraria
Eksploitasi ini tampak dalam bentuk peenggunaan lahan-lahan produktif yang sedang
dikerjakan rakyat maupun pembukaan lahan kosong yang dibuka sebagai perkebunan
maupun pertambangan. Ada tiga macam tanah di sini:
1) Tanah yang dikuasai langsung disebut bumi narawita.
2) Tanah hadiah.
3) Tanah mancanegara yang dikuasai bupati.
Ø Reaksi Terhadap Kebijakan Pintu Terbuka
Berdasarkan kebijakan tanam paksa dan pintu terbuka muncul beberapa kritikan dari
berbagai pihak. Para kaum humanis secara lantang menentang praktik eksploitasi.
Penderitaan rakyat Indonesia memicu Broosshoft dan Theodore van Deventer mengkritik
kebijakan tersebut yang intinya menuntut pemerintah kolonial agar memperhatikan dan
mensejahterakan masyarakat pribumi. Kritik van Deventer mempengaruhi politik balas budi
atau yang dikenal dengan Politik Etis.

Ø Politik Etis
Dalam pidatonya Ratu Wihelmina pada tanggal 17 September 1901 menyatakan
Pemerintah Belanda memiliki panggilan moral terhadap kaum pribumi yang kemudian
menjadi mometum kelahiran Politik Etis yang kemudian menuangkannya dalam TRIAS
VAN DEVENTER yang meliputi:
a. Irigasi, yaitu membangun dan memperbaiki pengairan dan bendungan untuk keperluan
pertanian.
b. Edukasi, yaitu menyelenggarakan pendidikan.
c. Migrasi, yaitu menyeimbangkan kepadatan jumlah penduduk.
Dalam bidang politik, para penggagas Politik Etis mendesak diberlakukannya
kebijakan desentralisasi dari Den Haag-Batavia-ke daerah-daerah dengan maksud
memberikan ruang, peran serta kesempatan bai orang-orang Indonesia untuk memikirkan
nasib dan masa depannya sendiri dengan melibatkan mereka dalam dewan-delwan lokal
seperti peningkatan peran pribumi melalui pembentukan Volkstraad/dewan rakyat (1916-
1941).
Namun pelaksanaak politik etis terdapat banyak penyimpangan seperti:
· Irigasi : hanya mengaliri ke tanah perkebunan milik swasta bukan ke tanah-tanah milik
rakyat.
· Edukasi: rakyat hanya belajar sampai kelas 2 sekolah dasar dan bertujuan untuk
mendapatkan tenaga administrasi yang murah. Oleh karena itu pendidikan mendorong
munculnya sekolah nonpemerintah seperti Taman Siswa (Ki Hajar Dewantoro),
Muhamadiyah (Ahmad Dahlan) serta pendidikan untuk kaum perempuan oleh R.A Kartini.
· Migrasi: perpindahan penduduk ternyata ditujukan kepada rakyat untuk menjadi tenaga
penggarap perkebunan milik swasta dan pengusaha Belanda.
Pada akhirnya politik etis memunculkan kaum-kaum terpelajar dari kaum bangsawan
yang mempunyai nasionalis yang pada akhirnya menjadi pelopor pergerakan nasional seperti
Dr. Soetomo dan Dr. Wahidin Sudirohusodo yang kemudian membentuk Oerganisasi
pergerakan nasional yaitu Boedi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908, tanggal itulah sampai
sekarang diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional.
PENUTUP

1. Kesimpulan
Belanda datang pertama kali ke Indonesia pada tahun 1596-1811,dan yang kedua
kalinya pada tahun 1816-1942. Tujuan kedatangan Belanda ke Indonesia adalah untuk
memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Dan untuk melancarkan usahanya,
Belanda menempuh beberapa cara yaitu membentuk VOC pada tahun 1902 dan membentuk
pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Setelah masa penjajahan itu usai, Belanda
meninggalkan kebudayaan dan kebijakan-kebijakan yang sebagian masih di pakai oleh
Indonesia.
Indonesia pada masa pemerintahan Hindia-Belanda abad XIX sudah mengalami
berbagai pergantian Gubernur Jendral tetapi yang paling menyengsarakan rakyat yaitu pada
masa Gubjen, Rafles, Daendels, Van den Bosch, dan van Hogendrop. Yang menerapkan
system tanam paksa, penyerahan wajib hasil pertanian, penyewaan tanah kepada rakyat,
penyewaan desa pada pihak swasta dan pembuatan jalan dari Anyer sampai Panarukan.
2. Analisis
Indonesia pernah merasakan dijajah oleh negara lain, seperti Portugis dan Inggris. Akan
tetapi penjajahan itu tidak begitu lama. Baru setelah itu bangsa Indonesia mulai dijajah
kembali oleh bangsa barat yaitu Belanda yang kurang lebih selama 300 tahun lamanya. Pada
awalnya Belanda hanya ingin melakukan perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Akan
tetapi melihat kondisi Indonesia yang begitu kaya akan rempah-rempah VOC berniat
melakukan monopoli perdagangan. VOC merupakan persatuan dari berbagai perseroan dan
disahkan dengan suatu piagam yang memberi hak khusus untuk berdagang, berlayar dan
memegang kekuasaan. Jadi pada saat pemerintahan Hindia-Belanda, masyarakat sangat
tertindas karena adanya sistem tanam paksa dan kerja rodi dan pemerintahan yang hanya
mengntungka pemerintahan Belanda, tidak memperhatikan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA

Kantaprawira, Rusadi, 1999, Sistem Poloitik Indonesia: Suatu Model Pengantar, Bandung,
Sinar Baru Algensindo.
Budiardjo Miriam, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Wardono, Agus, 2006, Sejarah, Klaten, Viva Pakarindo.
DAFTAR PERTANYAAN

1.NAMA/KELOMPOK:

PERTANYAAN:

2.NAMA/KELOMPOK:

PERTANYAAN:

3.NAMA/KELOMPOK:

PERTANYAAN:

4.NAMA/KELOMPOK:

PERTANYAAN:

5.NAMA/KELOMPOK

PERTANYAAN:

Anda mungkin juga menyukai