ANGGOTA KELOMPOK:
1.HALFA NUR AFIFAH
2.KETUT OKA MAHARANI
3.RIYANI FAUZIAH
4.VERONIKA KINANTI
5.WAYAN ELSA W.S.
6.YASYA EKA AGUSTIN
Konvensi London mengembalikan hak Belanda atas Nusantara. Situasi sebelum dan setelah
penyerahan ini tidak begitu baik bagi Belanda karena pemerintah Belanda sedang mengalami
krisis keuangan yang sangat parah, disebabkan banyaknya biaya yang dikeluarkan unutk
melawan pendudukan Prancis serta untuk membayar utang-utang VOC.
Maka pemerintah Belanda mengangkat Van der Capellen (1816-1826) sebagai Gubernur
Jenderal, dengan mengemban tugas penting: yaitu mengeksploitasi kekayaan alam dari negri
jajahan sebesar-besarnya untuk menutupi kas Negara yan kosong. Lalu mengirim du Bus de
Gisignies (1826-1830).
Kedatangan Belanda disambut berbagai perlawanan. Meski akhirnya bisa dipatahkan,
serangkaian perang itu membuat keuangan Belanda semakin merosot. Belanda pun berada
dijurang kebangkrutan.
Untuk menyelamatkan negri Belanda dari krisis ekonomi, diutuslah Johannes Van Den Bosch
sebagai gubernur jenderal yang baru. Tugas utamanya : menggali dana semaksimal mungkin
untuk menyelamatkan Negara dari kebangkrutan. Untuk itu Van den Bosch pun memusatkan
kebijakan pada peningkatan produksi tanaman ekspor. Dari sinilah kebijakan tanam paksa
dimulai.
1) Kebijakan Tanam Paksa : Johannes Van Den Bosch (1830-1870)
Van Den Bosch menghapus system sewa tanah era Raffles dalam menerapkan apa yang
disebut Cultuurstelsel. Oleh bangsa Indonesia system ini sering disebut tanam paksa karena
dalam prakteknya rakyat dipaksa menanam tanaman-tanaman ekspor yang hasilnya dijual
kepada Belanda. Kebijakan ini dirintis di Tanah Sunda (Priangan) yang namanya Prianger
Stelsel.
Sistem TP diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835 diseluruh
Pulau Jawa. Berikut ini kebijakan-kebijakan dasar CultuurStelsel :
· Mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (1/5 alias 20%) untuk ditanami
tanaman ekspor yaitu kopi dan tebu. Hasilnya dijual kepada perintah Belanda yang telah
ditentukan serta untuk kebijakan ini tanah dibebaskan dari pajak.
· Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian menggantinya dengan bekerja ditanah-tanah
pertanian dan pabrik pengolahan hasil pertanian milik pemerintah selama 66 hari atau 1/3
dari tahun yang berjalan.
· Waktu mengerjakan tanaman untuk CultuurStelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi
atau kurang dari 3 bulan.
· Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat.
· Gagal panen yang bukan disebabkan kesalahan petani akan ditanggung pemerintah.
· Pengawasan dalam penggarapan tanah pertanian dan penyerahan hasil tanaman dilakukan
oleh dan disampaikan kepada para kepala desa.
Ø Eksploitasi manusia
Yang dimaksud di sini adalah berupa pengerahan tenaga manusia yang diwarnai
tipudaya, paksaan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dialami rakyat Indonesia
di perkebunan. Di sini muncul sebutan Koeli (Buruh) dan Ordernemer (pemilik perkebunan).
Untuk menjalankan eksploitasi manusia, Belanda membuat peraturan Koeli Ordonantie 1881
yang menjamin agar para pemilik perkebunan dapat memperoleh, mempekerjakan dan
mempertahankan kuli di perkebunan mereka sesuai kebutuhan. Mereka diwajibkan bekerja
dari pagi sampai sore dengan membuka lahan, dan upah serta makanan dan juga tempat
tinggal jauh dari kata layak. Selain bekerja di perkebuan di Indonesia, rakyat Indonesia yang
berasal dari jawa juga di kirim ke Suriname, dan Guyana Belanda untuk bekerja di perkebuna
Belanda di sana. Para pekerja yang tidak kuat dan membangkang kemudian melarikan diri,
namun dengan adanya Poenal Sanctie, para pekerja yang melarikan diri dikenakan hukuman
berupa denda, disekap, ditelanjangi, kerja paksa tanpa upah bahkan ada yang dibunuh.
Ø Eksploitasi Agraria
Eksploitasi ini tampak dalam bentuk peenggunaan lahan-lahan produktif yang sedang
dikerjakan rakyat maupun pembukaan lahan kosong yang dibuka sebagai perkebunan
maupun pertambangan. Ada tiga macam tanah di sini:
1) Tanah yang dikuasai langsung disebut bumi narawita.
2) Tanah hadiah.
3) Tanah mancanegara yang dikuasai bupati.
Ø Reaksi Terhadap Kebijakan Pintu Terbuka
Berdasarkan kebijakan tanam paksa dan pintu terbuka muncul beberapa kritikan dari
berbagai pihak. Para kaum humanis secara lantang menentang praktik eksploitasi.
Penderitaan rakyat Indonesia memicu Broosshoft dan Theodore van Deventer mengkritik
kebijakan tersebut yang intinya menuntut pemerintah kolonial agar memperhatikan dan
mensejahterakan masyarakat pribumi. Kritik van Deventer mempengaruhi politik balas budi
atau yang dikenal dengan Politik Etis.
Ø Politik Etis
Dalam pidatonya Ratu Wihelmina pada tanggal 17 September 1901 menyatakan
Pemerintah Belanda memiliki panggilan moral terhadap kaum pribumi yang kemudian
menjadi mometum kelahiran Politik Etis yang kemudian menuangkannya dalam TRIAS
VAN DEVENTER yang meliputi:
a. Irigasi, yaitu membangun dan memperbaiki pengairan dan bendungan untuk keperluan
pertanian.
b. Edukasi, yaitu menyelenggarakan pendidikan.
c. Migrasi, yaitu menyeimbangkan kepadatan jumlah penduduk.
Dalam bidang politik, para penggagas Politik Etis mendesak diberlakukannya
kebijakan desentralisasi dari Den Haag-Batavia-ke daerah-daerah dengan maksud
memberikan ruang, peran serta kesempatan bai orang-orang Indonesia untuk memikirkan
nasib dan masa depannya sendiri dengan melibatkan mereka dalam dewan-delwan lokal
seperti peningkatan peran pribumi melalui pembentukan Volkstraad/dewan rakyat (1916-
1941).
Namun pelaksanaak politik etis terdapat banyak penyimpangan seperti:
· Irigasi : hanya mengaliri ke tanah perkebunan milik swasta bukan ke tanah-tanah milik
rakyat.
· Edukasi: rakyat hanya belajar sampai kelas 2 sekolah dasar dan bertujuan untuk
mendapatkan tenaga administrasi yang murah. Oleh karena itu pendidikan mendorong
munculnya sekolah nonpemerintah seperti Taman Siswa (Ki Hajar Dewantoro),
Muhamadiyah (Ahmad Dahlan) serta pendidikan untuk kaum perempuan oleh R.A Kartini.
· Migrasi: perpindahan penduduk ternyata ditujukan kepada rakyat untuk menjadi tenaga
penggarap perkebunan milik swasta dan pengusaha Belanda.
Pada akhirnya politik etis memunculkan kaum-kaum terpelajar dari kaum bangsawan
yang mempunyai nasionalis yang pada akhirnya menjadi pelopor pergerakan nasional seperti
Dr. Soetomo dan Dr. Wahidin Sudirohusodo yang kemudian membentuk Oerganisasi
pergerakan nasional yaitu Boedi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908, tanggal itulah sampai
sekarang diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Belanda datang pertama kali ke Indonesia pada tahun 1596-1811,dan yang kedua
kalinya pada tahun 1816-1942. Tujuan kedatangan Belanda ke Indonesia adalah untuk
memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Dan untuk melancarkan usahanya,
Belanda menempuh beberapa cara yaitu membentuk VOC pada tahun 1902 dan membentuk
pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Setelah masa penjajahan itu usai, Belanda
meninggalkan kebudayaan dan kebijakan-kebijakan yang sebagian masih di pakai oleh
Indonesia.
Indonesia pada masa pemerintahan Hindia-Belanda abad XIX sudah mengalami
berbagai pergantian Gubernur Jendral tetapi yang paling menyengsarakan rakyat yaitu pada
masa Gubjen, Rafles, Daendels, Van den Bosch, dan van Hogendrop. Yang menerapkan
system tanam paksa, penyerahan wajib hasil pertanian, penyewaan tanah kepada rakyat,
penyewaan desa pada pihak swasta dan pembuatan jalan dari Anyer sampai Panarukan.
2. Analisis
Indonesia pernah merasakan dijajah oleh negara lain, seperti Portugis dan Inggris. Akan
tetapi penjajahan itu tidak begitu lama. Baru setelah itu bangsa Indonesia mulai dijajah
kembali oleh bangsa barat yaitu Belanda yang kurang lebih selama 300 tahun lamanya. Pada
awalnya Belanda hanya ingin melakukan perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Akan
tetapi melihat kondisi Indonesia yang begitu kaya akan rempah-rempah VOC berniat
melakukan monopoli perdagangan. VOC merupakan persatuan dari berbagai perseroan dan
disahkan dengan suatu piagam yang memberi hak khusus untuk berdagang, berlayar dan
memegang kekuasaan. Jadi pada saat pemerintahan Hindia-Belanda, masyarakat sangat
tertindas karena adanya sistem tanam paksa dan kerja rodi dan pemerintahan yang hanya
mengntungka pemerintahan Belanda, tidak memperhatikan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Kantaprawira, Rusadi, 1999, Sistem Poloitik Indonesia: Suatu Model Pengantar, Bandung,
Sinar Baru Algensindo.
Budiardjo Miriam, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Wardono, Agus, 2006, Sejarah, Klaten, Viva Pakarindo.
DAFTAR PERTANYAAN
1.NAMA/KELOMPOK:
PERTANYAAN:
2.NAMA/KELOMPOK:
PERTANYAAN:
3.NAMA/KELOMPOK:
PERTANYAAN:
4.NAMA/KELOMPOK:
PERTANYAAN:
5.NAMA/KELOMPOK
PERTANYAAN: