Anda di halaman 1dari 29

BAB III

PEMBAHASAN KASUS

III.1. Pembahasan

1. Cedera kepala berat


- Anamnesis
Pasien datang dengan sadarkan diri 30 menit SMRS setelah kecelakaan lalu
lintas. 30 menit SMRS pasien sedang menyebrang jalan raya kemudia
pasien ditabrak motor dari arah samping kanan dengan kecepatan motor
kurang lebih 20-30 km/jam, pasien kemudian tidak sadarkan diri. Terdapat
darah yang keluar dari telinga. Mual disangkal, muntah disangkal.
- Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum
Kesadaran : Soporcoma (E2M1V2)
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Berat badan : 65 kg
Tinggi badan : 165 cm
IMT : 23 kg/m2 (Normoweight)

Vital Sign
Tekanan darah : 170/99 mmHg
Frekuensi nadi : 94 kali/menit
Frekuensi nafas : 20 kali/menit
Suhu : 360 C per axilla
Kepala : dbn
Mata : tampak hematoma periorbital OD
Thoraks : dbn
Abdomen : dbn
Ekstremitas :
- Perfusi (baik, nadi distal teraba)
- Deformitas (tampak pemendekan tungkai kanan bawah)
- Pembengkakan (tampak pembengkakan tungkai kanan bawah)
- Krepitasi (+)
- Penilaian luka : tampak luka bersih pada tungkai bawah anterior
dengan diameter 0.5 cm, perdarahan (+), bone expose (-), deformitas
(+), tanda peradangan (+)

11
12

- Rujukan ilmiah
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Klasifikasi :
- Morfologi
Cedera kepala berdasarkan fraktur tulang tengkorak baik bagian
tempurung ataupun basis. Pada tempurung dapat terjadi fraktur linier,
depresi, terbuka atau tertutup. Sedangkan pada basis dapat terjadi
dengan atau tanpa kebocoran LCS dan dengan atau tanpa kelumpuhan
N.VII.
- Mekanisme Cedera Kepala
Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala
tembus. Cedera kepala tumpul biasa nya berkaitan dengan kecelakaan
mobil-motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus
disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput
durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus
atau cedera tumpul.
- Beratnya Cedera
Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara
kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam
deskripsi beratnya penderita cedera kepala
13

2. Fraktur tertutup 1/3 distal os tibia et fibula dextra


- Anamnesis
-
- Pemeriksaan fisik
- Perfusi (baik, nadi distal teraba)
- Deformitas (tampak pemendekan tungkai kanan bawah)
- Pembengkakan (tampak pembengkakan tungkai kanan bawah)
- Krepitasi (+)
- Penilaian luka : tampak luka bersih pada tungkai bawah anterior dengan
diameter 0.5 cm, perdarahan (+), bone expose (-), deformitas (+), tanda
peradangan (+)

- Rujukan ilmiah
14

Fraktur didefinisikan sebagai gangguan pada kontinuitas tulang, tulang


rawan, dan lempeng epifisis. Fraktur dapat dibedakan berdasarkan sifatnya
yaitu fisiologis dan patologi. Fraktur menyebabkan perubahan pada
arsitektur tulang, terutama pada fraktur komplet. Perubahan yang terjadi
disebut displacement menyangkut :
- Translasi (pergeseran tulang kesamping, depan, atau belakang),
- Angulasi (perubahan sudut antar fragmen dengan bagian
proksimalnya),
- Rotasi (putaran tulang, sepintas tulang tetap tampak lurus
namun bagian distal namoak deformitas rotasional),
- Panjang (fragmen tulang menjauh atau memendek)
Deskripsi fraktur yang baik harus mencakup :
- Lokasi
- Nama tulang berserta posisi (kanan atau kiri)
- Ekstensi (komplet atau inkomplet)
- Konfigurasi (transversal, oblik, spiral, kominutif)
- Hubungan antar tulang dengan dunia luar (tertutup atau terbuka)
- Komplikasi
Tatalaksana dari fraktur adalah untuk menyatukan fragmen tulang
yang terpisah. Secara umum prinsip dari tatalaksana fraktur adalah
reposisi/reduksi, fiksasi, dan rehabilitasi. Reduksi tidak perlu dilakukan
jika :
- Fraktur tidak disertai atau hanya sedikit displacement
- Pergeseran yang terjadi tidak bermakna
- Reduksi tidak dapat dilakukan (misal pada fraktur kompresi
vertebra)
Reduksi tertutup harus dilakukan dengan anastesi dan relaksasi
otot. Manuver reduksi tertutup dilakukan pada masing-masing lokasi,
namun prinsipnya dilakukan dengan tiga langkah :
- Menarik bagian distal searah dengan sumbu tulang.
- Reposisi fragmen ke tempat semula, dengan gaya berlawanan
dari gaya penyebab trauma.
- Menyusun agar fragmen terletak pada masing-masing bidang.
Reduksi terbuka dilakuka jika telah dilakukan reduksi tertutup namun
gagal, terdapat fragmen articular yang besar, aflusi, dan non union.
Fraktur terbuka bergantung pada derajat fraktur. Klasifikasi derajat fraktur
menurut Gustilo dan Anderson :
Tipe I : laserasi < 1 cm, pin point, kerusakan jaringan tidak berarti,
luka relative bersih
15

Tipe II : laserasi > 1 cm, tidak ada kerusakan jaringan yang hebat atau
aflusi, ada kontaminasi
Tipe III : laserasi luas, sudak hebat, atau hilangnya jaringan sekitar,
terdapat kontaminasi.
Tipe IIIA : tulang fraktur masih tertutup jaringan lunak
Tipe IIIB : tulang fraktur tidak tertutup tanpa flap, periosteal stripping
Tipe IIIC : fraktur disertai dengan kerusakan pembuluh darah.
Berdasarkan British Orthopedic Assosiation dan British
Association of Plastic, reconstructive and Aesthetic Surgeons (2009)
mengungkapkan b1ahwa fraktur terbuka semua derajat perlu mendapatkan
antibiotic dalam 3 jam post trauma. Antibiotic yang menjadi pilihan adalah
co-amoksilav dan sefuroksim.

III.2. Anatomi Kepala


1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar, dan
pericranium.1
2. Tulang Tegkorak
Anatomi normal tengkorak ditunjukkan pada Gambar 3.1 dan Gambar 3.2.
Masalah yang paling umum pada foto tengkorak polos adalah membedakan
sutura tengkorak dari alur pembuluh darah dan fraktur. Sutura utama adalah
koronal, sagital, dan lambdoid. Sebuah sutura juga berjalan dalam bentuk
pelangi di atas telinga. Pada orang dewasa, sutura berbentuk simetris dan
memiliki tepi yang sklerotik (sangat putih). Alur vaskular biasanya terlihat pada
tampilan lateral dan meluas pada sisi posterior dan superior dari hanya di depan
telinga. Alur vaskular tersebut merupakan gambaran dari Arteri Meningea
Media, yang mana jika terjadi trauma kepala dapat menyebabkan arteri ini
pecah, sehingga dapat menyebabkan terjadinya perdarahan epidural.1
16
17

Gambar 3.1 Foto Polos Kranium


(A) Lateral, (B) Anteroposterior (AP), (C) AP Towne’s projection, (D) AP Waters’ view
18

Gambaran 3.2 Vaskularisasi Tulang Tengkorak

3. Meningens
Meningia merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang. Fungsi meningia yaitu melindungi struktur saraf halus yang
membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan
memperkecil benturan atau getaran. Meningiaterdiri atas 3 lapisan, yaitu :1
a. Duramater (Lapisan sebelah luar)
Duramater adalah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan
ikat tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak
dan duramater propia di bagian dalam. Duramater pada tempat tertentu
mengandung rongga yang mengalirkan darah vena dari otak, rongga ini
dinamakan sinus longitudinal superior yang terletak diantara kedua hemisfer
otak.
b. Arachnoid (Lapisan tengah)
Arachnoid adalah membran impermeabel halus yang meliputi otak dan
terletak diantara piamater di sebelah dalam dan duramater di sebelah luar.
Ruang sub arachnoid pada bagian bawah serebelum merupakan ruangan
yang agak besar disebut sistermagna.
c. Piamater (Lapisan sebelah dalam)
Piamater merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak.
Piameter berhubungan dengan arachnoid melalui struktur jaringan ikat.
19

Gambar 3.3. Potongan Melintang Tulang Tengkorak dan Meningens

4. Otak
Otak merupakan suatu organ tubuh yang sangat penting karena merupakan
pusat dari semua organ tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam
rongga tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak
terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang otak
(Trunkus serebri). Besar otak orang dewasa kira-kira 1300 gram, 7/8 bagian
berat terdiri dari otak besar.1
a. Otak besar (cerebrum)
Otak besar adalah bagian terbesar dari otak dan terdiri dari dua
hemispherium cerebri yang dihubungkan oleh massa substansia alba yang
disebut corpus callosum. Setiap hemisfer terbentang dari os frontale sampai
ke os occipitale, diatas fossa cranii anterior, media, dan posterior, diatas
tentorium cerebelli. Hemisfer dipisahkan oleh sebuah celah dalam, yaitu
fossa longitudinalis cerebri, tempat menonjolnya falx cerebri.
Otak mempunyai 2 permukaan, permukaan atas dan permukaan bawah.
Kedua lapisan ini dilapisi oleh lapisan kelabu (substansia grisea) yaitu pada
bagian korteks serebral dan substansia alba yang terdapat pada bagian
dalam yang mengandung serabut saraf. Fungsi otak besar yaitu sebagai
pusat berpikir (kepandaian), kecerdasan dan kehendak. Selain itu otak besar
juga mengendalikan semua kegiatan yang disadari seperti bergerak,
mendengar, melihat, berbicara, berpikir dan lain sebagainya.
b. Otak kecil (cerebellum)
Otak kecil terletak dibawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang
dihubungkan oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan pada
kedua belahan dan menyampaikan rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak
kecil adalah untuk mengatur keseimbangan tubuh serta mengkoordinasikan
kerja otot ketika bergerak.
20

c. Batang Otak (Trunkus serebri)


Batang otak terdiri dari :
 Diensefalon
Atap dari mesensefalon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke
atas, dua di sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan dua
disebelah bawah disebut korpus kuadrigeminus inferior. Mesensefalon
ini berfungsi sebagai pusat pergerakan mata, mengangkat kelopak
mata, dan memutar mata.
 Mesensefalon
Atap dari mesensefalon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke
atas, dua di sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan dua
disebelah bawah disebut korpus kuadrigeminus inferior. Mesensefalon
ini berfungsi sebagai pusat pergerakan mata, mengangkat kelopak
mata, dan memutar mata.
 Pons varoli
Pons varoli merupakan bagian tengah batang otak dan arena itu
memiliki jalur lintas naik dan turun seperti otak tengah. Selain itu
terdapat banyak serabut yang berjalan menyilang menghubungkan
kedua lobus cerebellum dan menghubungkan cerebellum dengan
korteks serebri.
 Medula oblongata
Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling
bawah yang menghubungkan pons varoli dengan medulla spinalis.
Medulla oblongata memiliki fungsi yang sama dengan diensefalon.
5. Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal adalah hasil sekresi plexus khoroid. Cairan ini bersifat
alkali, bening mirip plasma dengan tekanannya 60-140 mmH2O. Sirkulasi
cairan serebrospinal yaitu cairan ini disalurkan oleh plexus khoroid ke dalam
ventrikel-ventrikel yang ada di dalam otak. Cairan itu masuk ke dalam kanalis
sentralis sumsum tulang belakang dan juga ke dalam ruang subaraknoid melalui
celah-celah yang terdapat pada ventrikel keempat. Setelah itu cairan ini dapat
melintasi ruangan di atas seluruh permukaan otak dan sumsum tulang belakang
hingga akhirnya kembali ke sirkulasi vena melalui granulasi araknoid pada
sinus sagitalis superior. Oleh karena susunan ini maka bagian saraf otak dan
sumsum tulang belakang yang sangat halus terletak diantara dua lapisan cairan.
Dengan adanya kedua ‘bantalan air’ ini maka sistem persarafan terlindungi
dengan baik. Cairan serebrospinal ini berfungsi sebagai buffer, melindungi otak
dan sumsum tulang belakang dan menghantarkan makanan ke jaringan sistem
persarafan pusat.1
21

6. Tekanan Intra Kranial (TIK)


Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu perfusi
otak dan akan memacu terjadinya iskemia. Tekanan intrakranial normal pada
saat istirahat adalah 10 mmHg. Tekanan intrakranial yang lebih dari 20 mmHg
khususnya bila berkepanjangan dan sulit diturunkan akan menyebabkan hasil
yang buruk kepada penderita.1
Doktrin Monro-Kellie
Doktrin Monro-Kellie adalah suatu konsep sederhana namun penting
sekali dapat menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah
bahwa volume total intrakranial harus selalu konstan, karena rongga kranium
pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin membesar. Oleh karena
itu segera setelah cedera kepala, suatu massa perdarahan dapat membesar
sementara tekanan intrakranial masih tetap normal. Namun bila batas
penggeseran cairan serebrospinal dan darah intravaskuler terlampaui maka
tekanan intrakranial akan mendadak meningkat dengan cepat.1
Votak + VCSS + Vdarah + Vmassa = Konstan
Dalam Doktrin Monro-Kellie, dijelaskan bahwa volume isi intrakranial
akan selalu konstan. Bila terdapat penambahan massa seperti adanya hematoma
akan menyebabkan tergesernya CSS dan darah vena keluar dari ruang
intrakranial dengan volume yang sama, TIK akan tetap normal. Namun bila
mekanisme kompensasi ini terlampaui maka kenaikan jumlah massa yang
sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang tajam.1
Kurva Volume-Tekanan menjelaskan bahwa isi intrakranial dapat
mengkompenasi sejumlah massa baru intrakranial, seperti perdarahan subdural
atau epidural sampai pada titik tertentu. Bila volume masa perdarahan ini telah
mencapai 100-150 ml, akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang
sangat cepat dan akan menyebabkan penghentian aliran otak.1

III.3. Trauma Kepala


1. Definisi
Trauma kepala atau trauma kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of
America, trauma kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.2
22

2. Patofisiologi
Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala. Lesi
jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada
tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri. Terjadinya
benturan pada kepala dapat terjadi pada tiga jenis keadaan yaitu, kepala diam
dibentur benda yang bergerak, kepala yang bergerak membentur benda yang
diam, dan kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang
lain dibentur oleh benda yang bergerak.2
Dalam mekanisme trauma kepala dapat terjadi peristiwa contre coup
dan coup. Contre coup dan coup pada trauma kepala dapat terjadi kapan saja
pada orang orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Trauma
kepala pada coup disebabkan hantaman otak bagian dalam pada sisi yang
terkena sedangkan contre coup pada sisi yang berlawanan dengan daerah
benturan.2
Berdasarkan patofisiologinya trauma kepala dibagi menjadi trauma
kepala primer dan trauma kepala sekunder. Trauma kepala primer merupakan
cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera, dan ini
merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi
permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil,
sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal
Trauma kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari trauma kepala
primer dan lebih merupakan fenomena metabolik. Pada penderita trauma kepala
berat, pencegahan trauma kepala sekunder dapat mempengaruhi tingkat
kesembuhan penderita. Penyebab trauma kepala sekunder antara lain penyebab
sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo atau hiperkapnea, hipertermia, dan
hiponatremia) dan penyebab intrakranial (tekanan intrakranial meningkat,
hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan
infeksi. Berdasarkan Skala Koma Glasgow, trauma kepala dibagi atas:2
 Trauma kepala Ringan
Trauma kepala ringan adalah trauma kepala dengan SKG 14-15 dimana
tidak dijumpai keadaan hilangnya kesadaran (< 30 menit), pasien dapat
mengeluh pusing dan nyeri kepala, pasien dapat menderita abrasi, laserasi,
atau hematoma kulit kepala serta tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
 Trauma kepala Sedang
Trauma kepala sedang adalah trauma kepala dengan SKG 9-13. Pasien
mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti
perintah sederhana. Dapat dijumpai konkusi, amnesia pasca-trauma,
muntah, kejang serta tanda kemungkinan fraktur kranium (Battle sign,
mata rabun, otorea, atau rinorea cairan serebrospinal).
23

 Trauma kepala Berat


Trauma kepala berat adalah trauma kepala dengan SKG 3-8 dimana
terdapat penurunan derajat kesadaran secara progresif (koma). Pada
keadaan ini dapat dijumpai tanda neurologis fokal, serta trauma kepala
penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium. Hampir 100% trauma kepala
berat dan 66% trauma kepala sedang menyebabkan cacat yang permanen.
Pada trauma kepala berat terjadinya cedera otak primer seringkali disertai
cedera otak sekunder apabila proses patofisiologi sekunder yang menyertai
tidak segera dicegah dan dihentikan.
24

3. Jenis cedera kepala


a. Fraktur Tulang Tengkorak3
Fraktur tulang kepala atau tengkorak dapat terjadi pada atap maupun dasar
tengkorak, dapat berbentuk garis atau bintang, dan dapat pula terbuka
25

ataupun tertutup. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak


menjadikan petunjuk kecurigaan kita untuk melakukan pemeriksaan lebih
rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eyes
sign), ekimosis retroaurikular (battle’s sign), kebocoran cairan
serebrospinal dari hidung (rhinorrhea) atau dari telinga (otorrhea) dan
gangguan fungsi saraf kranialis VII (fasialis) dan VII (gangguan
pendengaran) yang mungkin timbul segera atau beberapa hari paska trauma
kepala
b. Perdarahan Intrakranial
Perdarahan Subgaleal
Subgaleal hematoma adalah perdarahan antara periosteum dan galea
aponeurosis. Sebagian besar terjadi karena tindakan vaccum pada saat
persalinan (ventouse assisted delivery), dimana terjadi ruptur pada vena
emissary (penghubung antara dural sinus dan vena scalp) yang
menyebabkan akumulasi darah dibawah aponeurosis dan di permukaan
periosteum. Subgaleal hematoma juga sering terjadi pada trauma kepala,
perdarahan intrakranial, atau fraktur tengkorak. Hal-hal tersebut tidak
berhubungan secara signifikan dengan tingkat keparahan perdarahan
subgaleal.3
Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural adalah perdarahan antara tulang kranial dan
duramater, yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea
media. Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda.
Baru setetelah hematoma bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan
dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami mual dan
muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala perdarahan epidural
yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun
(biasanya somnolen), disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan
mungkin terjadi hemiparese kontralateral.3
Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terletak diantara duramater
dan arakhnoid. Perdarahan subdural merupakan perdarahan intrakranial
yang paling sering terjadi. Karakteristik perdarahan subdural biasanya
dibagi berdasarkan ukuran, lokasi dan lama kejadian.3
 Perdarahan subdural akut
Secara umum perdarahan subdural akut terjadi dibawah 72 jam dan
biasanya pasien dalam keadaan koma. Gejala klinis perdarahan
subdural akut dapat berupa pusing, mual, bingung, penurunan
26

kesadaran, sulit berbicara, henti napas dan hilangnya kontrol atas


denyut nadi dan tekanan darah.
 Perdarahan subdural subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi dari hari ketiga hingga
minggu ketiga setelah cedera.
 Perdarahan subdural kronis
Perdarahan subdural kronis biasanya terjadi setelah 21 hari atau lebih.
25 hingga 50 persen dari pasien yang menderita perdarahan subdural
kronis tidak memiliki riwayat trauma kepala, biasanya trauma kepala
yang terjadi adalah trauma kepala ringan. Gejala klinis dari perdarahan
ini dapat berupa penurunan kesadaran, pusing, kesulitan berjalan atau
keseimbangan, disfungsi kognitif atau hilang ingatan, perubahan
kepribadian, defisit motorik, kejang, dan inkontinensia.3
c. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid adalah ekstravasasi darah ke dalam rongga
subaraknoid yang terdapat di antara lapisan piamater dan membran
araknoid. Etiologi yang paling sering dari perdarahan subaraknoid non
traumatik adalah pecahnya aneurisma intrakranial (berry aneurism).
Gejala klinisnya biasanya tampak sepuluh hingga dua puluh hari setelah
terjadinya ruptur. Gejala yang paling sering berupa sakit kepala, nyeri
daerah orbital, diplopia, gangguan penglihatan, gangguan sensorik dan
motorik, kejang, ptosis, disfasia.3
d. Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel
otak. Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan
intraserebral.3
e. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan
otak yang semakin lama semakin banyak dan menimbulkan tekanan
pada jaringan otak sekitar. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial yang dapat menyebabkan konfusi dan letargi. Gejala klinis
biasanya timbul dengan cepat bergantung pada lokasi perdarahan.
Gejala yang paling sering adalah sakit kepala, nausea, muntah, letargi
atau konfusi, kelemahan mendadak atau kebas pada wajah, tangan atau
kaki yang biasanya pada satu sisi, hilangnya kesadaran, hilang
penglihatan sementara, dan kejang.
27

III.4. Radiografi Pada Trauma Kepala


1. Indikasi Pemeriksaan Radiografi
Tidak semua pasien dengan cedera kepala membutuhkan pemeriksaan
neuroradiologis. Penelitian menunjukkan bahwa kurang dari 10% pasien
dengan cedera kepala ringan ternyata memiliki hasil yang positif pada
pemeriksaan CT scan, dimana kurang dari 1% yang membutuhkan intervensi.
Hal ini menunjukkan bahwa masih ada sejumlah kecil pasien yang diuntungkan
dengan pencitraan radiologis.4
Pasien harus diperiksa secara klinis dan diagnosis dibuat berdasarkan
apakah pada pemeriksaan fisik dan riwayat perjalanan penyakit menunjukkan
cedera kepala sedang hingga berat atau cedera kepala ringan. CT, MRI, atau
radiografi tengkorak tidak diperlukan untuk pasien berisiko rendah. Risiko
rendah didefinisikan sebagai mereka yang tidak menunjukkan gejala atau hanya
pusing, sakit kepala ringan, kulit kepala lecet, atau hematoma, usia lebih dari 2
tahun, dan tidak memiliki temuan yang berisiko sedang ataupun tinggi.4
Pasien dengan resiko sedang adalah mereka yang memiliki salah satu
kondisi berikut: riwayat penurunan tingkat kesadaran beberapa waktu ataupun
setelah terjadi cedera kepala, sakit kepala berat atau progresif, kejang pasca-
trauma, muntah terus menerus, multipel trauma, cedera wajah yang serius,
tanda-tanda dari fraktur tengkorak basilar (hemotympanum, “raccoon eyes”,
rinorrea atau otorrea), dugaan kekerasan pada anak, gangguan perdarahan, atau
usia lebih muda dari 2 tahun.4
Pasien berisiko tinggi adalah mereka dengan salah satu kondisi berikut:
temuan neurologis fokal, pasien dengan derajat kesadaran berdasarkan GCS
dengan skor 8 atau kurang, dipastikannya terdapat penetrasi tengkorak,
gangguan metabolik, keadaan postictal, atau penurunan atau depresi tingkat
kesadaran (tidak berhubungan dengan narkoba, alkohol , atau obat-obatan
depresan pada system saraf pusat lainnya). Jika terdapat cedera sedang atau
berat dan pasien dengan kondisi neurologis yang tidak stabil, CT scan harus
dilakukan untuk menyingkirkan adanya hematoma. Jika pasien dengan kondisi
neurologis yang stabil, MR scan lebih digunakan untuk mencari cedera dengan
penekanan parenkim. Dalam cedera kepala ringan (tanpa kehilangan kesadaran
atau defisit neurologis), pasien dapat hanya diobservasi. Jika sakit kepala terus-
menerus terjadi setelah trauma, CT scan harus dilakukan.4
2. Foto Polos Kepala
Foto polos kepala hanya menunjukkan ada tidaknya patah tulang, dan
tidak mampu menghasilkan visibilitas yang baik pada otak atau adanya darah
untuk menunjukkan cedera intrakranial. Adanya patah tulang tengkorak tanpa
kelainan neurologis tidak begitu signifikan. Patah tulang tengkorak yang
28

ditentukan berdasarkan pemeriksaan foto polos kepala pada pasien dengan


cedera kepala ringan telah dilaporkan dengan angka sangat rendah, mulai dari
1,9% hingga 4,3%. Patah tulang tengkorak tidak selalu berarti cedera
intrakranial yang signifikan, meskipun tidak adanya patah tulang tengkorak,
pasien dapat memiliki kelainan patologis yang signifikan pada intrakranialnya.4
Foto polos kepala sangat membantu pada pasien yang dicurigai tidak
cedera akibat kecelakaan, patah tulang tengkorak depresi, cedera kepala akibat
penetrasi oleh benda asing, atau trauma kepala pada anak-anak kurang dari 2
tahun,walaupun tanpa gejala neurologis.4
Proyeksi yang sering digunakan pada radiografi konvensional :
 Proyeksi lateral
 Proyeksi PA
 Proyeksi towne (sudut 30 o kaudal)
 Proyeksi basal
3. Radiografi pada Fraktur Tengkorak
Pemeriksaan foto polos kepala untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur
tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan
intrakranial. Fraktur pada tengkorak dapat berupa fraktur impresi (depressed
fracture), fraktur linear, dan fraktur diastasis (traumatic suture separation).
Fraktur impresi biasanya disertai kerusakan jaringan otak dan pada foto terlihat
sebagai garis atau dua garis sejajar dengan densitas tinggi pada tulang
tengkorak (Gambar 3.4a). Fraktur linear harus dibedakan dari gambaran
pembuluh darah normal atau dengan garis sutura interna, yang tidak bergerigi
seperti sutura eksterna. Garis sutura interna bersifat superimposisi pada sutura
yang bergerigi, sedangkan fraktur akan menyimpang dari itu di beberapa titik.
Selain itu, pada foto polos kepala, fraktur ini terlihat sebagai garis radiolusen,
paling sering di daerah parietal (Gambar 3.4b). Garis fraktur biasanya lebih
radiolusen daripada pembuluh darah dan arahnya tidak teratur. Fraktur diastasis
lebih sering pada anak-anak dan terkihat sebagai pelebaran sutura (Gambar
3.4c).5
29

4.
5.

Gambar 3.4 Gambaran Fraktur Impresi (a), Fraktur Linear (b),


dan Fraktur Diastasis (c)

4. Radiografi Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)


Peningkatan TIK lebih mudah ditemukan pada CT scan. Tetapi terdapat
gambaran khas untuk peningkatan TIK pada radiografi konvensional.3
 Diatesis sutura
 Erosi sella
 Pendorongan pineal
 Copper beaten skull. Gambaran penekanan girus otak pada permukaan
tulang tengkorak.
Pada orang dewasa, erosi dari dorsum sellae merupakan tanda cardinal dari
peningkatan TIK. Diawali dengan porosis dari korteks anterior dorsum
sellae serta dasarnya dan berujung pada erosi yang lebih jelas. Normalnya,
badan pineal terletak 3 mm dari midline pada foto polos PA dan Towne.
5. CT scan (Computerized Tomography, CT) Kepala
a. Indikasi CT scan
Tidak semua cedera kepala membutuhkan pencitraan neurologi atau
yang biasa disebut dengan neuroimaging. Studi menunjukkan bahwa
kurang dari 10% pasien yang dianggap memiliki cedera minor,
memiliki temuan positif pada CT dan kurang dari 1% memerlukan
intervensi bedah. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada risiko kecil
untuk pasien dengan cedera kepala ringan-sedang yang mendapat
keuntungan dari pencitraan neurologis.5
Mendefinisikan antara cedera kepala minor maupun mayor telah
menjadi problema. Beberapa keadaan yang membutuhkan cedera mayor
dan hampir selalu membutuhkan pencitraan seperti penurunan tingkat
kesadaran, hilangnya kesadaran lebih dari 5 menit, temukan kelainan
neurologis fokal, kejang, gagalnya peningkat-an status mental, cedera
30

penetrasi tengkorak, anda tanda fraktur depresi dan delirium dengan


peningkatan agresi saat pemeriksaan.5
Akan tetapi, ada beberapa perdebatan tentang perlunya
pencitraan otak termasuk New Orleans Criteria dan Canadian Head CT
rules. Canadian Head CT Rules memiliki kriteria inklusi yakni GCS
13-15, usia diatas sama dengan 16 tahun, tidak ada koagulopati dan
tidak ada fraktur terbuka yang terlihat. Selain itu juga CT tidak
dibutuhkan apabila tidak ada kriteria-kriteria antara lain usia diatas 65
tahun, muntah lebih dari 2 kali, terduga fraktur terbuka maupun depresi
dari tulang tengkorak, tanda-tanda fraktur basis krani yang terdiri dari
hemotimpanum, racoon’s eyes, otorea dan battle’s sign. Disamping itu
kriteria lainnya adalah GCS<15, amnesia retrograde lebih dari 30 menit
dan kejadian berbahaya seperti tertabrak kendaraan bermotor dan jatuh
dari ketinggian lebih dari 1 meter.5
Kriteria inklusi New Orleans Rule meliputi usia diatas 18 tahun,
GCS 15 dan trauma tumpul yang menyebabkan amnesia dan
disorientasi. Selain itu juga CT tidak dibutuhkan apabila tidak ada
kriteria-kriteria antara lain sakit kepala, muntah, usia diatas 60 tahun,
intoksikasi obat dan alkohol, amnesia anterograde persisten, kejang dan
trauma pada klavikula yang terlihat.Indikasi pemeriksaan CT scanpada
kasus trauma kepala adalah seperti berikut:6
 Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan
berat.
 Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
 Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
 Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran.
 Sakit kepala yang hebat.
 Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi
jaringan otak.
 Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan
intraserebral.
Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur anatomis
kepala, dan merupakan alat yang paling baik untuk mengetahui,
menentukan lokasi dan ukuran dari perdarahan intrakranial.
b. Interpretasi Gambaran CT Scan pada Trauma Kepala
 Fraktur Tulang Kepala
31

Fraktur pada dasar tengkorak seringkali sukar dilihat. Fraktur dasar


tengkorak (basis kranii) biasanya memerlukan pemeriksaan CT
Scan dengan teknik “Jendela Tulang” (bone window) untuk
mengidentifikasi garis frakturnya. Fraktur dasar tengkorak yang
melintang kanalis karotikus dapat mencederai arteri karotis
(diseksi, pseuoaneurisma ataupun trombosis) perlu
dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan angiography
cerebral. Pada Gambar 3.5, memperlihatkan gambaran fraktur
tulang temporal petrous kiri, yang melibatkan telinga tengah
(panah kecil). Dapat dilihat juga adanya gambaran sedikit udara
pada fossa posterior dari tulang tengkorak (panah terbuka).6

Gambar 3.5 Fraktur Basis Kranii pada CT Scan Kepala

 Perdarahan Epidural
Hematoma epidural didefinisikan sebagai perdarahan ke dalam
ruang antara duramater, yang tidak dapat dipisahkan dari
periosteumtengkorak dan tulang yang berdekatan.7
Hematoma epidural biasanya dapat dibedakan dari hematoma
subdural dengan bentuk bikonveks dibandingkan dengan crescent-
shape dari hematoma subdural. Selain itu, tidak seperti hematoma
subdural, hematoma epidural biasanya tidak melewati sutura.
Hematoma epidural sangat sulit dibedakan dengan hematoma
subdural jika ukurannya kecil. Dengan bentuk bikonveks yang
khas,elips, gambaran CT scan padahematoma epidural tergantung
pada sumber perdarahan, waktu berlalu sejak cedera, dan tingkat
keparahan perdarahan. Karena dibutuhkan diagnosis yang akurat
dan perawatan yang cepat, diperlukan pemeriksaan CT scan dengan
cepat dan intervensi bedah saraf.7
32

Pada gambar 3.6, pasien mengalami kecelakaan kendaraan


bermotor, terlihat peningkatan kepadatan (hiperdens) di daerah
lenticular pada CT Scan aksial non kontras di wilayah parietalis
kanan. Ini biasanya terjadi akibat pecahnya arteri meningeal media.
Sedikit perdarahan juga terlihat di lobus frontal kiri (perdarahan
intraserebral).7

Gambar 3.6 Gambaran hiperdens dan tampak bikonveks

 Perdarahan Subdural
Sebelum CT scan dan teknologi pencitraan magnetik (MRI),
hematoma subdural didiagnosis hanya berdasarkan efek massa,
yang digambarkan sebagai perpindahan dari pembuluh darah
pada angiogram atau sebagai kalsifikasi kelenjar hipofisis pada
foto polos kepala. Munculnya CT scan dan MRI telah menjadi
pilihan diagnosik rutin bahkan untuk perdarahan kecil.
Hematoma subdural merupakan kejadian yang cukup
sering terjadi dan diasosiasikan dengan mortalitas yang tinggi.
Kedekatan tulang tengko-rak dapat menyebabkan hematoma
kecil yang tersebar dengan bentuk konveks. Hematoma ini
terjadi akibat robeknya pembuluh darah vena yang
menghubungkan permukaan kortikal dengan sinus dura yang
biasa disebut dengan bridging vein.
Pada fase akut, hematoma subdural muncul berbentuk
bulan sabit, ketika cukup besar, hematoma subdural
menyebabkan pergeseran garis tengah. Pergeseran dari gray
matter-white matter junction merupakan tanda penting yang
menunjukkan adanya lesi.
33

Gambar 3.7. Gambaran Perdarahan Subdural pada CT Scan

Jika ditemukan hematoma subdural pada CT scan, penting


untuk memeriksa adanya cedera terkait lainnya, seperti patah tulang
tengkorak (Gambar 3.8) kontusio intra parenkimal, dan darah pada
subaraknoid (Gambar 3.8). Adanya cedera parenkim pada pasien
dengan hematoma subdural adalah faktor yang paling penting
dalam memprediksi hasil klinis mereka.3,5

Gambar 3.8 Gambaran Perdarahan Subdural dengan Fraktur Tengkorak (kiri)


dan Perdarahan Subdural disertai Perdarahan Subarakhnoid (kanan)

 Perdarahan Subarakhnoid
Pada CT scan, perdarahan subaraknoid (SAH) terlihat mengisi
ruangan subaraknoid yang biasanya terlihat gelap dan terisi CSF
di sekitar otak. Rongga subaraknoid yang biasanya hitam
mungkin tampak putih di perdarahan akut. Temuan ini paling
jelas terlihat dalam rongga subaraknoid yang besar.3,8
34

Perdarahan subaraknoid lebih sering terjadi pada anak


anak daripada dewasa, yang relatif lebih memiliki ruang
subaraknoid lebih lebar dari dewasa dan muncul pada 11% dari
pasien dengan cedera otak akibat trauma. Letak dari perdarahan
ini biasanya dekat dengan kontusio. Karena perdarahan ini
memiliki hematokrit yang rendah dan deoksihemoglobin yang
rendah, akan sulit menilai perdarahan ini dengan MRI, maka dari
itu CT lebih sering digunakan. Perdarahan ini sering terjadi
akibat pecahnya AVM atau aneurisma yang terjadi secara
spontan dan berekstravasasi mengisi ruang subaraknoid yakni
antara piamater dan arachnoidmater.8

Gambar 3.9. Gambaran Perdarahan Subarakhnoid pada CT Scan Kepala

Ketika CT scan dilakukan beberapa hari atau minggu setelah


perdarahan awal, temuan akan tampak lebih halus. Gambaran putih
darah dan bekuan cenderung menurun, dan tampak sebagai abu-
abu. Sebagai tambahan dalam mendeteksi SAH, CT scan berguna
untuk melokalisir sumber perdarahan.
 Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral biasanya disebabkan oleh trauma terhadap
pembuluh darah, timbul hematoma intraparenkim dalam waktu ½-
6 jam setelah terjadinya trauma. Hematoma ini bisa timbul pada
area kontralateral trauma. Pada CT scan sesudah beberapa jam akan
tampak daerah hematoma (hiperdens), dengan tepi yang tidak rata.
35

8
Gambar 3.10. Gambaran Perdarahan Intraserebral pada CT Scan Kepala

 Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada
ventrikel otak. Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila
terjadi perdarahan intraserebral (Gambar 18). Pada perdarahan
intraventrikular akan terlihat peningkatan densitas dari
gambaran CT scan kepala. Jika terlambat ditangani, perdarahan
intraventrikular akan menyebabkan terjadinya ventrikulomegali
pada sistem ventrikel (hidrosefalus) dari gambaran CT scan.9
Perdarahan ini disebabkan oleh perdarahan kapiler dan
terjadi menjadi 4 stadium, yakni :9
1. Stadium 1 – perdarahan pada regio subependimal
2. Stadium 2 – perdarahan pada regio subependimal dengan
pelebaran me-nuju ventrikulus lateralis tanpa adana
pelebaran ventrikel
3. Stadium 3 – perdarahan subependimal dengan ekstensi
menuju ventri-kulus lateralis dengan pelebaran ventrikel
4. Stadium 4 – perdarahan intraparenkimal
36

Gambar 3.10. Gambaran Perdarahan Intraserebral disertai Perdarahan Intraventrikular pada


CT Scan Kepala

6. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI merupakan pilihan utama mendeteksi kelainan intracranial karena lebih
sensitive dibandingan dengan CT scan. Dalam trauma kepala, MRI berperan
besar untuk mendeteksi adanya diffuse axonal injury (DAI). DAI merupakan
kerusakan akson menyeluruh yang menyebabkan kehilangan kesadaran
mendadak dan koma selama lebih dari 6 jam.
Penyebab DAI biasanya terkait dengan akselerasi dan deselerasi cepat
dari otak. Kerusakan akson ini dapat terjadi segera pada saat trauma (primer)
atau beberapa menit sampai jam setelah kejadian (sekunder). Bagian-bagian
otak yang lebih rentan terhadap DAI adalah substansia alba di parasagital lobus
frontal, lobus parietal (termasuk deep white matter), corpus callosum anterior
dan posterior, ganglia basalis (termasuk kapsula interna), serebelum (termasuk
middle cerebellar peduncle), dan pons (termasuk dorsolateral rostral
brainstem).10
Gambaran DAI pada MRI adalah sebagai berikut:10
 Perdarahan petekie kecil tampak hiperintens pada gambaran T1-
weighted Images.
 Gambaran yang paling sering ditemukan adalah area hiperintens
multipel pada T2-weighted images di cervicomedullary junction pada
lobus temporal dan parietal atau di corpus callosum (Gambar 3.11)

37

Gambar 3.11 Diffuse axonnal injury

Sekuen lain pada MRI yang dapat membantu diagnosis cedera kepala adalah
fluid attenuated inversion recovery (FLAIR). FLAIR merupakan pulse
sequence yang meniadakan sinyal dari cairan serebrospinal sehingga
gambaran hiperintens berkaitan dengan edema. T2 weighted-MRI
khususnya FLAIR MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi traumatic
dibandingkan CT scan. Gradient-recalled echo (GRE) T2 weighted imaging
dan susceptibility weighted imaging (SWI) sering digunakan untuk
mengidentifikasi perdarahan yang tampak hipointens pada modalitas ini.
Penggunaan tiga sekuen sering digunakan untuk men-diagnosis cedera
kepala karena kemampuannya untuk menemukan kelainan tersembunyi;
kombinasi T1, T2, FLAIR, dan SWI telah diketahui dapat membuat
segmentasi dan model tiga dimensi pada edema dan perdarahan pada
substansia alba dan nigra.

Gambar 3.12 Gambaran MRI akut dan kronis pada cedera kepala
38

Gambar 3.13 Gambaran SWI potongan sagittal (kiri)


dan aksial (kanan) pada otak normal.

Diffusion MRI juga memegang peranan besar dalam diagnosis cedera


kepala karena kemampuannya untuk mendeteksi efek trauma pada struktur
substansia alba. Diffusion MRI lebih sensitif mendeteksi peningkatan
kandungan air dibandingkan MRI konvensional. Meskipun demikian,
diffusion MRI tidak dapat menggantikan MRI konvensional dalam
mendeteksi perdarahan minimal.10
Diffusion Weighted Imaging (DWI) dapat mendeteksi trauma akson
saat pulse sequence lain gagal. DWI telah terbukti dapat mengindentifikasi
shearing injury yang tidak terlihat pada T2/FLAIR, sehingga sangat berguna
dalam evaluasi cedera kepala tertutup. Gangguan pada jalur akson substansia
alba dapat dideteksi secara dini melalui pemeriksaan Diffusion Tensor
Imaging (DTI). DTI memeriksa integritas jalur substansia alba dengan
mengukur derajat dan arah difusi air.10,11
DTI telah menjadi biomarker potensial untuk mendeteksi kelainan
pada pasien cedera kepala ringan yang dengan pemeriksaan neuroimaging
lain dinyatakan normal. Skala yang paling sering dipakai dalam DTI adalah
fractional anisotropy (FA) yang mengukur orientasi dan integritas substansia
alba. Penurunan FA mengindikasikan degradasi dan diskontinuitas akson
dengan bertambahnya kandungan air di antara jalur akson atau dalam ruang
perivaskular khusunya pada corpus callosum.11
39

Gambar 3.14 Gambaran DTI. Kiri: Map fractional anisotropy (FA). Area berwarna putih adalah area
dengan anisotropy tinggi. Kanan: map orientasi warna. Difusi di arah kanan-kiri ditampilkan dengan
warna merah, difusi di arah superior-inferior ditampilkan dengan warna biru, dan difusi di arah
anterior-posterior ditampilkan dengan warna hijau.

Diffusion spectrum imaging (DSI) merupakan teknik terbaru yang membuat


pemetaan arsitektur jaras saraf yang komplek menggunakan teknologi
spektrum tiga dimensi. Teknik ini sangat efektif bila dikombinasikan dengan
CT/MRI untuk mengetahui efek cedera kepala terhadap struktur spesifik
substansia alba dan mengindetifikasi abnormalitas yang tidak terdeteksi oleh
modalitas lain.11
Pada pasien cedera kepala anak, kombinasi T2, FLAIR, dan SWI
memberikan hasil yang lebih akurat terhadap tingkat keparahan kerusakan
substansia alba dan deteksi dampak lesi dibandingkan CT scan.

Anda mungkin juga menyukai