Anda di halaman 1dari 3

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KINERJA PROGRAM BANTUAN BIBIT

TANAMAN PERKEBUNAN DI SULAWESI SELATAN

Muthya Diana
Peneliti Muda pada Balitbangda Provinsi Sulawesi Selatan

PENDAHULUAN

Sub sektor perkebunan sebagai bagian dari sektor pertanian mempunyai peranan yang
cukup penting bagi perekonomian nasional, terutama sebagai penyedia lapangan kerja,
penyedia kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri serta sumber pendapatan dan devisa
negara. Bagi Provinsi Sulawesi Selatan, komoditas perkebunan merupakan salah satu sektor
andalan bagi pendapatan daerah. Setiap tahun, subsektor perkebunan khususnya untuk
komoditas kakao, biji-bijian berminyak, kopi, teh dan rempah-rempah selalu menempati
peringkat kedua setelah sektor pertambangan (nikel) dalam kontribusinya terhadap nilai
ekspor Provinsi Sulawesi Selatan. Pada Tahun 2015 komoditas perkebunan tersebut
menyumbang 19,89% dari total nilai ekspor Sulawesi Selatan yang mencapai nilai US$
1.409,10 juta (BPS Sulsel,2016), sedangkan pada Tahun 2016 meningkat menjadi 20,98%
dari total nilai ekspor Sulawesi Selatan sebesar US$ 1154,6 juta (BPS Sulsel, 2017).
Dalam periode 2012-2015, sektor pertanian secara luas (pertanian bahan pangan,
perkebunan, perternakan, perikanan dan kehutanan) memberikan peran berkisar 22% terhadap
PDRB Sulsel setiap tahunnya (sulsel.bps.go.id/linkTableDinamis). Sedangkan sub sektor
perkebunan sendiri memberikan kontribusi berkisar 4% terhadap sektor pertanian (lihat Tabel
1).
Tabel 1. Distribusi Perkebunan Terhadap Total PDRB Prov. Sulsel
Sub Sektor 2012 2013 2014 2015
Perkebunan Semusim 0.16 0.16 0.16 0.16
Perkebunan Tahunan 4.21 4.12 4.38 4.37
Total 4.37 4.28 4.54 4.53
Sumber : BPS Sulsel (diolah)
Dilain pihak, produksi beberapa komoditas hasil perkebunan Sulawesi Selatan
menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Kakao misalnya, pada tahun 2012 produksinya
tercatat pada 175.813 ton, pada tahun 2013 turun menjadi 148.956 ton, tahun 2014 menjadi
143.237 ton dan tahun 2015 hanya sebesar 140.317 ton (http://rakyatsulsel.com/angka-
sementara-produksi-kakao-sulsel-2015-capai-140-317-ton.html). Komoditas kopi robusta dan
kelapa dalam juga menunjukkan penurunan produksi (lihat Tabel 2).
Tabel 2. Produksi Kopi Robusta dan Kelapa Dalam Sulsel 2012-2017
Produksi (ton)
Komoditas
2013 2014 2015 2016*
Kopi Robusta 11.924 12.106 9.187 9.175
Kelapa Dalam 70.576 72.840 67.573 49.395
*
Angka sementara
Sumber : Statistik Kopi, Statistik Kelapa Dalam, Ditbun Kementerian Pertanian
Salah satu aspek penting dalam keberhasilan budidaya tanaman khususnya dalam
peningkatan produksi dan mutu hasil produksi adalah penggunaan bibit/benih unggul
bersertifikat. Pada kenyataannya, masih banyak petani menggunakan benih lokal yang
diperoleh dari hasil pembibitan sendiri (benih ilegitim). Benih yang diperoleh dengan cara
tersebut tingkat mutu dan hasil tanaman belum tentu baik, jika dibandingkan dengan benih
yang telah melalui tahapan pengujian mutu. Penggunaan benih ilegitim ini antara lain
disebabkan karena adanya kesenjangan permintaan dan kemampuan produksi benih
bersertifikat, kurangnya informasi dan pengetahuan konsumen mengenai bahan tanam yang
baik dan benar, harga benih unggul yang relatif mahal, dan prosedur pembelian benih dari
produsen yang ditunjuk pemerintah dianggap masih banyak masalah oleh sebagian konsumen
(http://ditjenbun.pertanian.go.id /bbpptpambon/berita-371).
Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka tidak heran jika pembangunan sektor
pertanian termasuk di dalamnya sub sektor perkebunan senantiasa menjadi prioritas
Pemerintah, termasuk Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam Rencana Pembangunan
Daerah Jangka Menengah (RPJMD) Prov. Sulawesi Selatan periode 2013-2018, salah satu
program prioritas Pemerintah Prov. Sulawesi Selatan adalah Program Bantuan Bibit Tanaman
Perkebunan. Dari program ini diharapkan petani akan mendapat bibit unggul agar dapat
meningkatkan produksi dan produktivitas di sektor pertanian di Sulawesi Selatan.
Program bantuan bibit/benih diberikan kepada masyarakat dalam bentuk bantuan
hibah dan bantuan sosial sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor
39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari
Anggaran APBD, serta Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 55 Tahun 2012 tentang
Tata Cara Penganggaran, Pelaksanaan dan Penatausahaan, Pertanggungjawaban dan
Pelaporan serta Monitoring dan Evaluasi Belanja Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber
dari Anggaran APBD Provinsi Sulawesi Selatan.
Program secara operasional telah berlangsung sejak tahun 2014 dan ditargetkan
berakhir pada tahun 2018, sehingga perlu dilakukan evaluasi sebagai bahan masukan untuk
perbaikan pelaksanaan program yang akan datang. Dalam implementasinya SKPD pelaksana
yaitu Dinas Perkebunan Prov. Sulsel, telah melaksanakan evaluasi bersama-sama dengan
Bappeda dan Biro Pembangunan Prov. Sulawesi Selatan. Evaluasi yang telah dilaksanakan
tersebut meliputi on going evaluation dan ex-post evaluation. On going evaluation (evaluasi
yang dilaksanakan selama proses implementasi program) yang telah dilaksanakan berupa
kegiatan monitoring. Sedangkan ex-post evaluation (evaluasi pada akhir pelaksanaan
program) yang telah dilaksanakan adalah kegiatan evaluasi pada akhir tahun anggaran.
Namun kedua jenis evaluasi tersebut hanya dilakukan terhadap realisasi fisik dan keuangan,
tanpa menanyakan tentang manfaat atau nilai dari program tersebut terhadap sasaran
kebijakan atau program. Jenis evaluasi seperti ini disebut Dunn (2013) sebagai evaluasi semu
(pseudo evaluation).
Sementara itu di era pelayanan publik sekarang ini, paradigma yang berkembang
menuntut adanya penilaian kinerja suatu program dengan melihat sejauhmana program
tersebut dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Sehingga untuk memperoleh penilaian yang
komprehensif dan objektif terhadap kinerja program bantuan bibit, perlu dilakukan evaluasi
dengan pendekatan dan kriteria lain yang memperhatikan nilai atau manfaat program yang
diterima oleh masyarakat. Dengan demikian perlu dilakukan evaluasi yang menekankan pada
pengukuran hasil (outcome) selain keluaran (Output)
Mockay (2008) menjelaskan bahwa indikator kinerja (Performance indicators)
merupakan ukuran mengenai masukan, kegiatan, keluaran, hasil dan dampak dari kegiatan-
kegiatan pemerintah. Bappenas (2004), me
Bappenas (2004),
Dunn (2013) menjelaskan bahwa terdapat enam indikator (kriteria) yang dapat
digunakan untuk menilai sebuah kinerja berhasil atau tidak berhasil yaitu : 1) Effectiveness
atau keefektifan, yaitu berkenaan dengan apakah suatu alternative mencapai hasil (akibat)
yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan, 2) efficiency atau efesiensi,
yaitu berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas
tertentu, 3) adequacy atau kecukupan, yaitu berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat
efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan adanya
masalah, 4) equity atau kesamaan, yaitu erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial
dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda
dalam masyarakat, 5) responsiveness atau ketanggapan, yaitu berkenaan dengan seberapa jauh
suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai masyarakat, dan 6)
appropriateness atau ketepatgunaan, yaitu yang berhubungan dengan rasionalitas substantive,
karena pertanyaan tentang hal ini tidak berkenaan dengan satuan kriteria individu tetapi dua
atau lebih kriteria secara bersama-sama.
Penelitian tentang kinerja program atau kebijakan telah banyak dilakukan, namun pada
umumnya hanya menganalisa indikator efektifitas. Misalnya yang dilakukan Zanzes, dkk
(2015) tentang Analisis Efektivitas Program Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) terhadap
Tingkat Pendapatan Pada Kelompok Tani Wahana Sari,

Anda mungkin juga menyukai