Disusun oleh :
Pembimbing :
dr. Rose Mafiana, SpAn, KNA, KAO, MARS
Oleh:
Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode periode 4
Februari – 11 Maret 2019
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat dan
berkat-Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Perawatan Intensif pada Kehamilan” ini
dapat diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu
syarat ujian kepaniteraan klinik di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Rose Mafiana,
SpAn, KNA, KAO, MARS atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih
baik. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan telaah ilmiah ini.
Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk
penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Penulis
3
DAFTAR TABEL
4
DAFTAR GAMBAR
5
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................... 2
KATA PENGANTAR................................................................................................ 3
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... 4
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................. 5
DAFTAR ISI .............................................................................................................. 6
BAB I PENDAHULUAN.............................................. Error! Bookmark not defined.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 9
BAB III KESIMPULAN ......................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 66
6
BAB I
PENDAHULUAN
Kasus permasalahan obstetri yang dapat menyebabkan ibu hamil jatuh dalam
masa kritis antara lain preeklampsia dan komplikasinya, perdarahan, dan sepsis yang
mencapai 80% dari seluruh penyebab lainnya. Preeklampsia terjadi pada 3-4%
kehamilan di United States.1 Kejadian preeklampsia dengan gejala berat dan sindrom
HELLP mencapai 9,5 dalam 1000 persalinan.2 Perdarahan antepartum berat terjadi
pada 3-5% kehamilan. Insiden plasenta previa adalah 4,0 per 1000 kehamilan, solusio
plasenta terjadi pada 0,4% hingga 1,0% kehamilan, dan insidensinya meningkat,
khususnya di antara wanita Afrika-Amerika di Amerika Serikat. Atonia uteri adalah
penyebab paling umum dari perdarahan postpartum berat, terhitung sekitar 80% dari
kasus.3
Infeksi yang paling sering terjadi pada ibu hamil ialah korioamnionitis. Sekitar
0,5%-10% wanita hamil terkena korioamnionitis, terjadi paling banyak pada usia
gestasi di bawah usia kehamilan 27 minggu yaitu sebanyak 41%.4 Endometritis adalah
peradangan pada lapisan endometrium rahim, dapat terjadi tanpa kehamilan (seperti
PID, sekitar 70-90% wanita dengan salpingitis), ataupun post-partum (setelah
persalinan pervaginam, insidensi 1-3%, setelah persalinan Caesar, insidensi 13-90%).4
Sepsis adalah komplikasi infeksi maternal yang mengancam jiwa, dan langka, yang
mengenai 1 dari 8000 persalinan, sekitar 45% kejadian sepsis terjadi postpartum.4
Insidensi PPCM di Amerika Serikat berkisar 1 pada 1000 sampai 4000 kelahiran
hidup.5
Komplikasi maternal dan fetal bisa didapatkan. Misalnya pada preeklampsia,
komplikasi maternal yang didapatkan dapat berupa perdarahan postpartum, abruption
plasenta, dan gagal jantung. Komplikasi fetal antara lain; BBLR, asfiksia perinatal,
atau kematian janin intrauterine dan kematian janin intrapartum dapat terjadi pada
preeklamsia dengan gejala berat dan sindrom HELLP.2
Banyak perubahan yang terjadi pada tubuh ibu hamil. Perubahan pada tubuh
hamil antara lain; penambahan berat badan, perubahan dari jalan napas juga terjadi
pada ibu hamil, yaitu terjadi pembesaran kapiler pada mukosa nasal, oropharingeal,
dan laring, terjadinya anemia fisiologis, faktor pembekuan dan fibrinogen meningkat,
7
jumlah trombosit menurun. Terjadi pula perubahan pada sistem kardiovaskular, yatu
terjadi peningkatan cardiac output dan vasodilatasi pembuluh darah.6
Pada kehamilan, terjadi perubahan fisiologis pada tubuh ibu hamil, sehingga
penatalaksanaan terhadap kasus-kasus kritis ibu hamil memerlukan pendekatan
tersendiri, ditambah adanya komplikasi maternal dan fetal yang mungkin didapatkan,
menjadi latar belakang penyusunan telaah ilmiah ini. Telaah ilmiah ini disusun
berdasarkan penyakit obstetri yang paling banyak menyebabkan keadaaan kritis ibu
hamil serta penatalaksanaan yang harus diberikan pada pasien-pasien tersebut.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
AB II TINJAUAN PUSTAKA
b. Sistem Respirasi
Konsumsi oksigen meningkat 30-40% selama kehamilan yang
dibandingkan dengan segera periode post partum sebagai kontrol. Peneliti
lain yang membandingkan dengan nilai 8-12 bulan post partum sebagai
control, menemukan kenaikan konsumsi oksigen sebesar 60% selama
kehamilan. Peningkatan yang progresif ini disebabkan terutama oleh
kebutuhan metabolic fetus, uterus, dan plasenta dan sekunder oleh
kenaikan kerja jantung dan paru. Produksi CO2 menunjukkan perubahan
yang sama dengan konsumsi oksigen.6
9
Pembesaran kapiler pada mukosa nasal, oropharingeal, dan laring dimulai
pada trimester pertama dan meningkat secara progresif sepanjang
kehamilan. Pernapasan melalui hidung umumnya sulit, dan dapat terjadi
epistaksis akibat dari pembengkakan mukosa nasal.6
c. Perubahan Volume Darah
Volume darah ibu meningkat selama kehamilan yang dimulai pada
trimester pertama (15%) dan meningkat dengan cepat pada trimester kedua
(50%) dan trimester ketiga (55%), termasuk peningkatan volume plasma,
sel darah merah, dan sel darah putih. Volume plasma meningkat 40-50%,
sedangkan sel darah merah meningkat 15-20% yang menyebabkan
terjadinya anemia fisiologis (normal Hb;12gr%, hematocrit 35%).
Disebabkan hemodilusi ini, viskositas darah menurun kurang lebih 20%.
Mekanisme yang pasti dari peningkatan volime plasma ini belum
diketahui, tetapi beberapa hormone seperti renin-angiotensi-aldosteron,
atrial natriuretic peptide, estrogen, dan progesterone mungkin berperan
dalam mekanisme tersebut.6
d. Karena ekspansi dalam volume plasma lebih besar dari peningkatan massa
sel darah merah, terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin, hematorit, dan
jumlah sel darah merah. Jumlah trombosit cenderung turun secara
progresif, meskipun biasanya tetap dalam batas normal. Kehamilan
menyebabkan peningkatan dua hingga tiga kali lipat dalam kebutuhan zat
besi. Zat besi tersebut digunakan untuk sintesis hemoglobin untuk ibu dan
janin, dan untuk produksi enzim tertentu.7
10
Faktor pembekuan I, VII, VIII, IX, X, dan XII dan fibrinogen
meningkat. Pada proses kehamilan, dengan bertambahnya umur
kehamilan, jumlah trombosit menurun. Perubahan-perubahan ini adalah
untuk perlindungan terhadap perdarahan katastropik tapi juga akan
merupakan predisposisi terhadap fenomena tromboemboli. Karena
plasenta kaya dengan tromboplastin, maka pada solusio plasenta, ada
risiko terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC). Kadar
fibrinogen meningkat secara signifikan sebanyak 50%. Dengan demikian,
kehamilan mengubah keseimbangan dalam sistem koagulasi, sehingga
meningkatkan terjadinya trombosis vena.7
Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi penting:7
Untuk memelihara kebutuhan peningkatan sirkulasi karena ada
pembesaran uterus dan unit foeto-plasenta.
Mengisi peningkatan reservoir vena
Melindungi ibu dari perdarahan pada saat melahirkan.
Selama kehamilan inu menjadi hiperkoagulopati.
e. Sistem Kardiovaskular
Perubahan sistem kardiovaskular dimulai sejak awal kehamilan. Saat
usia kehamilan 8 minggu, terjadi peningkatan kardiak output sebanyak
20%. Hal yg utama yaitu terjadinya vasodilatasi pembuluh darah.
Perubahan tersebut dimediasi oleh faktor-faktor yaitu nitrit oksida,
estradiol, dan prostaglandin. Vasodilatasi perifer terjadi sekitar 25-30%
yang menyebabkan resistensi sistem vaskular.7
Untuk mengkompensasinya, terjadi peningkatan kardiak output
sebanyak 40%. Peningakatan kardiak output, peningkatan permeabilitas
kapiler, atau keduanya dapat menyebabkan ekstravasasi cairan
ekstravaskular ke intravskular. Hal tersebut dapat menimbulkan edema
paru. Edema paru umumnya terjadi pada pre eklamsia.7
Pembesaran uterus yang gravid dapat menyebabkan kompresi
aortocaval ketika wanita hamil tersebut berada pada posisi supine dan hal
11
ini akan menyebabkan penurunan aliran balik vena dan maternal hipotensi,
menimbulkan keadaan yang disebut supine hypotensive syndrome .
Sepuluh persen dari waita hamil menjadi hipotensi dan diaforetik bila
berada dalam posisi terlentang, yang bila tidak dikoreksi dapat
menimbulkan penurunan aliran darah uterus dan foetal asfiksia.6
12
h. Perubahan Susunan Saraf Pusat dan Perifer
Susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer berubah selama
kehamilan, MAC menurun 25-40% selama kehamilan. Peningkatan
konsentrasi progesterone dan endorphin adalah penyebab penurunan MAC
tersebut. Terdapat penyebaran dermatom yang lebih lebar pada parturient
setelah epidural anestesi bila dibandingkan dengan yang tidak hamil. Hal
ini karena ruangan epidural menyempit karena pembesaran plexus venosus
epidural disebabkan karena kompresi aortocaval oleh uterus yang
membesar.6
13
pneumonia, asma bronkial, trauma, kanker, penyalahgunaan obat, infeksi
saluran kemih yang rumit, gangguan autoimun yang sudah ada sebelumnya,
penyakit paru kronis, gangguan endokrin, dan tromboemboli paru adalah
umum terjadi. Sekitar 12% hingga 45% dari penerimaan ICU adalah selama
periode antepartum, 50% selama persalinan atau 24 jam setelah melahirkan,
dan 10% hingga 15% terjadi setelah postpartum periode. Penyebab penyakit
kritis selama kehamilan dapat dilihat pada Tabel 1.8
14
partum.5 Hipertensi kronik didefinisikan sebagai hipertensi yang ditemukan
sebelum kehamilan 20 minggu.9
Hipertensi postpartum didefinisikan sebagai wanita yang sebelumnya
normotensif, mengalami hipertensi (biasanya ringan) pada periode 2 minggu –
6 bulan postpartum. Tekanan darah akan tidak stabil dalam beberapa bulan,
dan normal setelah 1 tahun.9
b. Penatalaksanaan
Non-farmakologis
Diet normal tanpa pembatasan asupan garam, terutama mendekati
persalinan. Kurangnya asupan gatam dapat mengurangi cairan intravascular.
Suplementasi kalsium ≥1 gram per hari dapat mengurangi risiko preeclampsia
secara signifikan. Latihan aerobik selama 30-60 menit 2 kali seminggu selama
kehamilan dapat mengurangi risiko hipertensi selama kehamilan.10
Farmakologis
Tujuan utama control tekanan darah adalah mengurangi prevalensi
hipertensi berat dan mengurangi risiko komplikasi maternal dan fetal.
Konsensus nasional dan guideline internasional adalah mulai pemberian obat-
obatan pada tekanan darah ≥160/110 mmHg. Guideline dari AHA untuk mulai
terapi farmakologis pada tekanan darah sistolik 150-159 dengan tekanan darah
diastolic 100-109 mmHg. Rekomendasi dari ACOG, terapi diberikan dengan
target tekanan darah sistolik 120-160 dan tekanan darah diastolic 80-105
mmHg.10
Obat-obatan lini pertama untuk hipertensi yang diinduksi kehamilan adalah:
- Labetalol
Dosis yang diberikan adalah 200-1200 mg per hari, dosis terbagi dalam
2 – 3 kali per hari. Pemberian labetalol pada hipertensi yang diinduksi
kehamilan dapat berhubungan dengan restriksi pertumbuhan fetal dan
bradikardi neonatus.10
Labetalol dapat memblokade reseptor adrenergik α1 yang
menyebabkan vasodilatasi. Obat ini juga memiliki efek blok reseptor
adrenergik β lebih besar dibanding α (perbandingan 3:1). Pada studi meta-
15
analisis, labetalol memiliki lebih sedikit efek samping pada kondisi
maternal dibanding hydralazine.10
Labetalol adalah obat kombinasi antagonis reseptor adrenergik alpha
dan beta dengan perbandingan 1 : 7 setelah pemberian intravena. Labetalol
sebaiknya dihindari pada wanita dengan asma berat atau gagal jantung
kongestif. Beberapa studi metaanalisis menyatakan jika labetalol IV
memiliki efek yang sama dengan hidralazin IV namun dengan efek
samping maternal yang lebih sedikit.1
- Nifedipin
Dosis pemberian adalah 30-90 mg/hari dengan dosis maksimum 120
mg per hari, preparat slow-release, dosis terbagi menjadi 1-3 kali per hari.
Nifedipin dianggap aman untuk diberikan selama kehamilan. Baru-baru ini
guideline di China merekomendasikan Penggunaan nimodipin (20-60 mg
per oral, terbagi menjadi 2-3 kali sehari), dan nicardipine (20-40 mg per
oral, terbagi menjadi 3 kali sehari).10
- Hidralazin
Dosis yang direkomendasikan adalah 50-300 mg, terbagi menjadi 3-4
dosis per hari. Hidralazin merupakan vasodilator yang sebelumnya
direkomendasikan untuk hipertensi berat dalam kehamilan. Efek samping
yang umum adalah nyeri kepala, nausea, dan muntah. Studi meta-analisis
terbaru menyatakan jika hidralazin kurang efektif dibandingkan labetalol
untuk hipertensi diinduksi kehamilan pada seluruh aspek.10
c. Komplikasi
Hipertensi yang diinduksi kehamilan menambah risiko eklampsia dan
mengancam kesehatan maternal dan fetal. Pengobatan diberikan jika tekanan
sistolik ≥150 mmHg, atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg menggunakan
labetalol, nifedipine atau metildopa sebagai agen lini pertama diberikan per
oral. Jika terjadi hipertensi kronik, satu agen harus diberikan sampai dosis
maksimum terlebih dahulu sebelum dikombinasikan dengan agen lain.
Hipertensi emergensi dengan tekanan darah sistolik >160 mmHg atau tekanan
darah diastolik > 110 mmHg dapat menyebabkan stroke maternal atau
16
eklampsia. Jika terminasi kehamilan diperlukan, terapi parenteral dengan
labetalol atau hidralazin, atau nifedipin secara per oral dapat diberikan.10
17
Januari 2012 sampai 31 Desember 2016, terdapat 213 wanita preeklamsi,
dengan 107 wanita mengalami preeklamsia tanpa gejala berat, 90 wanita
mangalami preeklamsia dengan gejala berat, dan 16 wanita mengalami
sindrom HELLP.2
c. Patofisiologi
Invasi Tropoblas Abnormal
Pada implantasi yang normal, seperti diperlihatkan secara skematis
pada gambar 3, arteriola spiralis uteri mengalami remodeling yang sempurna
oleh invasi trofoblas endovaskular. Sel sel ini menggantikan lapisan endotel
dan otot pembuluh darah untuk memperbesar diameter pembuluh darah. Akan
tetapi pada preeklampsia terdapat invasi trofoblas yang tidak sempurna dimana
invasinya sangat dangkal, hanya pembuluh darah desidua yang dilapisi
trofoblas endovaskuler, tidak mencapai pembuluh darah pada miometrium,
sehingga arteriola di miometrium ini tidak kehilangan lapisan endotel dan
jaringan muskuloelastis yang menyebabkan diameter pembuluh darah hanya
setengah dari pembuluh darah plasenta normal. Besarnya invasi trofoblas yang
tak sempurna ke arteri spiralis berkorelasi dengan beratnya hipertensi.1
18
miointimal, dan nekrosis medial. Akumulasi lipid pertama kali terjadi dalam
sel myointimal dan kemudian dalam makrofag. Sel sarat lipid tersebut dan
temuan – temuan yang terkait dengannya ditunjukkan pada gambar 4, disebut
sebagai atherosis. Biasanya pembuluh yang dipengaruhi oleh atherosis
mengalami dilatasi aneurismal.1
19
Gambar 5. Remodeling vaskuler pada kehamilan normal dan preeclampsia
Faktor imunologis
Adanya toleransi imun atau disregulasi imun maternal kepada antigen
fetal dan plasental yang diturunkan dari paternal. Secara pasti, adanya
perubahan histologis pada interface maternal-plasental mendukung adanya
penolakan graft akut. Beberapa faktor yang mungkin berkaitan dengan
disregulasi termasuk immunization dari kehamilan sebelumnya, gen HLA
yang diturunkan, NK-cell receptor haplotypes, dan kemungkinan dari gen
diabetes dan hipertensi.1
Beberapa data juga menyebutkan, preeclampsia merupakan penyakit
yang dimediasi imun. Contohnya, risiko preeclampsia meningkat pada
keadaan yang mana formasi antibodi blocking pada tempat antigenic
plasental mungkin terganggu. Pada kasus seperti ini, kehamilan pertama
memiliki risiko yang lebih tinggi. Disregulasi toleransi juga mungkin
menjelaskan risiko yang meningkat pada kasus double dose (kromorom
janin terdiri dari 2 set kromosom paternal).1
d. Tatalaksana10
Manajemen Preeklampsia
20
Mencegah kejang(berkembang menjadi eklampsia).
Kontrol tekanan darah. Tujuannya adalah untuk menstabilkan TD
diastolik antara 90 dan 100mmHg.
Mengantisipasi dan mencegah komplikasi.
Mencegah kerusakan pada janin.
Gunakan ABC
B : Breathing:
C : Circulation:
21
Carilah edema.
D : Disabilitas:
Catat tanda-tanda vital pada flow sheet atau critical care chart.
Indikasi
22
PEB dengan tanda-tanda peningkatan iritabilitas sistem saraf pusat:
sakit kepala
gangguan penglihatan
hyperreflexia
Pemberian MgSO4
MgSO4 dapat diencerkan dalam glukosa 5% atau saline 0,9%. Dua rejimen
dijelaskan.
23
B. Pemberian MgSO4 intravena
Loading dose:
Isi paediatric infusion burette set dengan 22ml glukosa 5%.
Tambahkan 8ml 50% MgSO4 (4g). Infus pada 60 tetes / menit (60 ml /
jam), total 30ml akan melebihi 30 menit.
Jika kejang tidak berhenti:
Berikan 2g MgSO4 lebih lanjut: gambarkan 4ml (2g) 50% MgSO4 ke
dalam jarum suntik 10ml dan tambahkan 6ml saline 0,9% atau glukosa
5%, menyuntikkan lebih dari 2 mnt (5ml / mnt).
Maintenance:
Isi paediatric infusion burette set dengan 112ml glukosa 5%.
Tambahkan 8ml 50% MgSO4 (4g).
Infus 30 tetes / menit (30ml / jam), total 120ml akan berjalan lebih dari
4 jam = 1g / jam. Ulangi manajemen yang sama setiap 4 jam selama
setidaknya 24 jam setelah kejang terakhir atau kelahiran.
Untuk kejang berulang:
Berikan second loading dose atau tingkatkan infus menjadi 1,5 atau 2
g / jam (45 atau 60 tetes per menit)
hipotensi, aritmia.
depresi pernafasan.
Memerah (flushing), mual / muntah.
mengantuk, bicara cadel, penglihatan ganda.
24
Pemantauan
Lama pengobatan
25
Manajemen Eklampsia
Tujuan manajemen
Penghentian kejang.
Stabilisasi jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi.
Pencegahan kejang lebih lanjut.
Pencegahan kerusakan dan persalinan janin yang aman.
A : Airway:
Pertahankan jalan napas, gunakan tambahan jalan nafas (mis. Jalan nafas
Guedel) seperlunya, posisikan pasien di sisi kiri, berikan oksigen melalui
masker wajah (15l / mnt).
B : Breathing:
C : Circulation:
D : Disabilitas:
26
1. Untuk menghentikan kejang:
Mulai magnesium sulfat (MgSO4) dan berlanjut selama 24 jam setelah
melahirkan atau kejang terakhir.
2. Untuk mengontrol TD
Tujuannya adalah untuk menstabilkan TD diastolik antara 90 dan
100mmHg.
3. Untuk melahirkan bayi
Mulai steroid jika kehamilan <36 minggu.
Rencanakan kelahiran saat pasien stabil.
Anestesi regional lebih disukai jika koagulasi dan jumlah trombosit
memadai.
Hindari ketamin dan ergometrine.
27
Antihipertensi
Individu yang memiliki tekanan darah sistolik di atas 160 mmHg atau
tekanan darah diastolik di atas 110 mmHg dan bertahan selama 15 menit,
disebut sebagai hipertensi berat (dianggap sebagai hipertensi emergensi) yang
memerlukan pemberian lini pertama antihipertensi lini pertama sesegera
mungkin dalam 30-60 menit untuk mengurangi risiko stroke maternal.10
Lini pertama
Labetalol
Dosis awal yang diberikan adalah 20 mg (secara intravena), lalu 80 mg
setiap 20-30 menit, sampai dosis maksimum 300 mg, atau infus konstan 1-2
mg/menit. 10
Nifedipine
Obat ini diberikan dalam bentuk tablet 10-30 mg. Obat ini aman
digunakan untuuk persalinan.10
Hidralazin
Pemberian hidralazin diberikan secara intravena atau intramuskular
dengan dosis 5 mg, lalu 5-10 mg setiap 20-40 menit, atau infus konstan 0,5-10
mg/jam.
Jika labetalol, hidralazin, atau nifedipin tidak efektif dalam mengatur
tekanan darah, dipertimbangkan untuk pemberian nicardipine atau labetalol IV
atau agen antihipertensi lain.1
Lini kedua
Nicardipin
Nicardipin adalah agen penghambat masuknya kalsium yanh dapat
diberikan dengan IV dan efek yang diberikan adalah penurunan cepat tekanan
darah sistolik dan diastolik pada wanita hamil. Ini adlaah pilihan tepat untuk
mengobati hipertensi berat yang tidak membaik setelah pemberian labetalol
atau hidralazin.1
Sodium Nitroprusside
Infus konstan dengan dosis 0,5-10 µ/kg/menit. [1] Sodium
nitroprusside adalah vasodilator otot polos poten yang berinteraksi dengan
grup sulfhydryl pada sel ensotelial dan selanjutnya dihasilkannya NO. NO akan
28
merelaksasi pembuluh darah arteri dan menurunkan afterload dan venous
return. Obat ini digunakan pada wanita hamil dengan hipertensi berat yanh
tidak respon dengan terapi hidralazin atau labetalol. Obat ini sebaiknya hanya
digunakan pada situasi emergensi dan dengan waktu sesingkat mungkin karena
mrtabolisme sodium nitroprusside menghAilkan cyanida, yang mana dapat
mengalami transfer plasenta, lalu mengekspos fetus ke postensial toksisitas
cyanida. Namun, fetal harm jarang terjadi jika penggunaan sodium
nitroprusside dalam jangka pendek dengan dosis 2 µg/kg/menit atau kurang.
Penggunaan obat ini diperlukan titrasi yang hati-hati; monitoring tekanan darah
arterial berkelanjutan sangat penting.1
Esmolol
Esmolol adalah antagonis reseptor beta-adrenergik jangka pendek yang
dapat digunakan untuk mengobati hipertensi akut. Beberapa laporan kasus
menyatakan efek yang diberikan esmolol berupa bradikardi fetal transien pada
hampir semua kasus dan DJJ kembali ke baseline setelah diskontinuasi dari
obat. Transfer plasenta cepat dan provider anestesi sebaiknya mengamati efek
klinis dari blokase reseptor beta-adrenergik pada fetus. Administrasi esmolol
kepada maternal menghasilkan derajat yang blokade reseptor beta-adrenergik
pada ekstremitas fetal dibandingkan administrasi maternal setelah pemberian
dosis equipotent labetalol.1
Profilaksis kejang
Penggunaan rutin magnesium sulfat untuk profilaksis kejang pada
wanita dengan preeklamsia berat sudah banyak diterima. Mekanisme
antikonvulsan dari magnesium sulfat tidak terlalu jelas, namun diduga jika
kejang eklamsi terjadi akibat vasospasme cerebral.1
e. Komplikasi
Wanita dengan riwayat preeklamsia meningkatkan risiko mengalami
hipertensi kronik dan penyakit kardiovaskuler termasuk penyakit jantung
iskemik dan stroke sampai 2 kali, dan onset lebih cepat untuk mendapatkan
penyakit kardio vaskular di masa yang akan datang.1
Komplikasi yang ditimbulkan akibat preeklamsia adalah komplikasi
maternal antara lain, perdarahan postpartum, abruption plasenta, dan gagal
29
jantung. Komplikasi neonatal yang dapat terjadi antara lain; BBLR, asfiksia
perinatal, masuknya bayi ke NICU, dilakukannya resusitasi neonatal.
Kematian janin intrauterine dan kematian janin intrapartum dapat terjadi pada
preeklamsia dengan gejala berat dan sindrom HELLP.2
30
menggambarkan plasenta yang berimplantasi di suatu tempat di segmen
rahim bawah, baik di atas atau sangat dekat internal cervical os.12
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah
rahim sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri
internum.13
b. Insiden
Insiden plasenta previa adalah 4,0 per 1000 kehamilan. Penyebab
pastinya tidak jelas, tetapi trauma uterus sebelumnya (misalnya bekas luka
dari persalinan sesar sebelumnya) adalah faktor umum. Plasenta dapat
berimplantasi di daerah bekas luka, yang biasanya mencakup segmen
rahim bawah. Kondisi yang terkait dengan plasenta previa termasuk
multiparitas, usia ibu lanjut, riwayat merokok, janin laki-laki, kelahiran
sesar sebelumnya atau operasi uterus lainnya, dan plasenta previa
sebelumnya. Adanya plasenta previa meningkatkan kemungkinan bahwa
pasien akan memerlukan histerektomi peripartum.3
c. Klasifikasi
Klasifikasi lebih lanjut dapat dibuat berdasarkan hubungan antara
plasenta dan ostium uteri internum.13
Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi
seluruh ostium uteri internum.
Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian
ostium uteri internum.
Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada
pinggir ostium unteri internum.
Plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen
bawah rahim sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih kurang 2
cm dari ostium uteri internum. Jarak yang lebih dari 2 cm dianggap
plasenta letak normal.
31
Gambar 6. Klasifikasi plasenta previa
d. Gambaran klinis
Gejala paling menonjol dari plasenta previa adalah perdarahan uterus
keluar melalui vagina tanpa rasa nyeri. Perdarahan diperhebat berhubug
segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi sekuat segmen atas rahim.
Pada palpasi abdomen, sering ditemui bagian terbawah janin masih tinggi
di atas simfisis dengan letak janin tidak dalam letak memanjang. Palpasi
abdomen tidak membuat ibu hamil merasa nyeri dan perut tidak tegang.13
e. Diagnosis
Perempuan hamil yang mengalami perdarahan dalam kehamilan lanjut
biasanya menderita plasenta previa atau solusio plasenta. Gambaran klinis
yang klasik sangat menolong membedakan antara keduanya. Dahulu untuk
kepastian diagnosis pada kasus dengan perdarahan banyak, pasien
dipersiapkan di dalam kamar bedah dan segala sesuatu termasuk staf dan
perlengkapan anestesi semua siap untuk tindakan sesar. Dengan pasien
posisi litotomi diatas meja operasi dilakukan periksa dalam (vaginal
toucher) dalam lingkungan disinfeksi tingkat tinggi (DTT) secara hati-hati
dengan dua jari telunjuk dan jari tengah meraba forniks posterior untuk
mendapat kesan ada atau tidak ada bantalan antara jari dengan bagian
terbawah janin. Perlahan jari-jari digerakkan menuju pembukaan serviks
untuk meraba plasenta. Jika terjadi perdarahan banyak atau ternyata
plasenta previa totalis, langsung dilanjutkan dengan seksio sesarea.
Persiapan demikian disebut dengan double set-up examination. Perlu
32
diketahui tindakan periksa dalam dikontra-indikasikan dilakukan diluar
persiapan double set-up examination.13
Sekarang ini, double set-up examination sudah jarang dilakukan
berhubungan telah tersedia alat ultrasonografi. Transabdominal
ultrasonografi dalam keadaan kandung kemih yang dikosongkan akan
dengan ketepatan yang tinggi sampai 96%-98%.10 Ultrasonografi
transvaginal telah menjadi gold standard untuk diagnosis plasenta previa,
jarak dari tepi plasenta ke internal os diukur dan memprediksi
kemungkinan perdarahan antepartum dan kebutuhan untuk persalinan
sesar.11 Namun, di tangan yang tidak ahli pemakaian transvaginal
ultrasonografi bisa memprovokasi perdarahan lebih banyak.10 Kemajuan
dalam ultrasonografi telah membuat double set-up examination hampir
tidak terpakai dalam praktik obstetrik modern. Magnetic resonance
imaging (MRI) juga berguna untuk diagnosis plasenta previa, tetapi
penggunaannya tidak praktis dalam kebanyakan kasus perdarahan
antepartum.3
Tanda klinis klasik plasenta previa adalah perdarahan vagina yang tidak
nyeri selama trimester kedua atau ketiga. Episode pertama perdarahan
biasanya terjadi prematur dan tidak berhubungan dengan peristiwa tertentu.
Kurangnya nyeri perut dan / atau tidak adanya tonus uterus yang abnormal
membantu membedakan kejadian ini dari solusio plasenta. Tidak adanya
faktor-faktor ini tidak menyingkirkan solusio, dan pasien dengan plasenta
previa berisiko untuk coexisting dengan solusio plasenta.13
f. Patofisiologi
Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada trimester ketiga dan
mungkin juga lebih awal, oleh karena telah mulai terbentuknya segmen
bawah rahim, tapak plasenta akan mengalami pelepasan. Sebagaimana
diketahui tapak plasenta terbentuk dari jaringan maternal yaitu bagian
desidua basalis yan bertumbuh menjadi bagian dari uri. Dengan
melebarnya isthimus uteri menjadi segmen bawah rahim, maka plasenta
yang berimplantasi di situ sedikit banyak akan mengalami laserasi akibat
pelepasan pada desidua sebagai tapak plasenta. Demikian pula pada waktu
33
serviks mendatar (effacement) dan membuka (dilatation) ada bagian tapak
plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi itu akan terjadi perdarahan
yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu dari ruangan intervillus dari
plasenta. Oleh karena fenomena pembentukan segera bawah rahim itu
perdarahan pada plasenta previa betapa pun pasti akan terjadi (unavoidable
bleeding). Perdarahan di tempat itu relatif dipermudah dan diperbanyak
oleh karena segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu berkontraksi
dengan kuat karena elemen otot yang dimilikinya sangat minimal, dengan
akibatpembuluh darah pada tempat itu tidak akan tertutup dengan
sempurna. Perdarahan akan berhenti karena terjadi pembekuan kecuali jika
ada laserasi mengenai sinus yang besar dari plasenta pada mana perdarahan
akan berlangsung lebil banyak dan lebih lama.13
g. Komplikasi13
Anemia dan syok
Plasentasi abnormal, seperti plasenta akreta
Kelainan letak janin
Kelahiran prematur dan gawat janin
Perdarahan postpartum
Kematian maternal akibat perdarahan
Disseminated intravascular coagulation
34
balik plasenta. Fetal compromise terjadi karena hilangnya luas permukaan
plasenta untuk pertukaran oksigen dan nutrisi ibu-janin.3
Solutio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan
maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan
desidua endometrium sebelum waktunya yakni sebelum anak lahir.13
b. Insiden
Solusio plasenta terjadi pada 0,4% hingga 1,0% kehamilan, dan
insidensinya meningkat, khususnya di antara wanita Afrika-Amerika di
Amerika Serikat. Penyebabnya tidak dipahami dengan baik, tetapi
beberapa kondisi diketahui sebagai faktor risiko. Pasien yang dirawat di
rumah sakit karena penyakit pernapasan akut dan kronis berisiko
mengalami solusio plasenta karena alasan yang tidak jelas.3
c. Klasifikasi
Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja (ruptura sinus
marginalis), dapat pula terlepas luas (solusio plasenta parsialis), atau bisa
seluruh permukaan maternal plasenta terlepas (solusio plasenta totalis).
Perdarahan bisa keluar melalui vagina (revealed hemorrhage) dan tidak
keluar melalui vagina (concealed hemorrhage).13
Solusio plasenta ringan
Luas plasenta yang terlepas kurang dari 25%. Jumlah darah yang
keluar biasanya kurang dari 250 ml. Gejala masih sulit dibedakan
dengan plasenta previa kecuali warna darah yang kehitaman.
Komplikasi terhadap ibu dan janin belum ada.
Solusio plasenta sedang
Luas plasenta yang terlepas telah melebihi 25% tetapi belum
mencapai separuhnya (50%). Jumlah darah yang keluar lebih banyak
dari 250 ml tetapi belum mencapai 1.000 ml. Gejala dan tanda sudah
jelas seperti rasa nyeri perut yang terus menerus, denyut jantung janin
menjadi cepat, hipotensi, dan takikardia.
Solusio plasenta berat
35
Luas plasenta yang sudah melebihi 50%. Jumlah darah yang keluar
melebihi dari 1.000 ml atau lebih. Gejala dan tanda klinik jelas,
keadaan umum penderita buruk disertai syok, dan hampir semua
janinnya telah meninggal. Komplikasi koagulopati dan gagal ginjal
yang ditandai pada oliguri biasanya telah ada.
d. Diagnosis
Dalam banyak hal diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gejala dan
tanda klinik yaitu perdarahan melalui vagina, nyeri pada uterus, kontraksi
tetanik pada uterus, dan pada solusio plasenta yang berat terhadap kelainan
denyut jantung janin pada pemerikasaan dengan KTG. Diagnosis definitif
hanya bisa ditegakan secara retrospektif yaitu setelah partus dengan
melihat adanya hematoma retroplasenta.13
Pemeriksaan dengan ultrasonografi berguna untuk membedakannya
dengan plasenta previa, tetapi pada solusio plasenta pemeriksaan USG
tidak memberikan kepastian berhubungan kompleksitas gambaran
retroplasenta yang normal mirip dengan gambaran perdarahan
retroplasenta pada solusio plasenta. Ultrasonografi sangat spesifik untuk
solusio plasenta (96%), tetapi sangat tidak sensitif (24%). Hal ini juga
berguna untuk menentukan lokasi plasenta, yang dapat menyingkirkan
plasenta previa sebagai penyebab perdarahan vagina. Pemeriksaan
ultrasonografi dapat memastikan apakah terdapat hematoma retroplasenta
atau subkorionik. Temuan normal tidak menyingkirkan diagnosis solusio
plasenta.3
Penggunaan color Doppler bisa membantu diagnosis solusio plasenta
dimana tidak terdapat sirkulasi darah yang aktif, sedangkan pada
kompleksitas lain, baik kompleksitas retroplasenta yang hiperekoik
maupun yang hipoekoik seperti mioma dan kontraksi uterus, terdapat
sirkulasi aktif padanya.13
e. Patofisiologi
Sesungguhnya solusio plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses
yang bermula dari suatu keadaan yang mampu memisahkan vili-vili
36
koreialis plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga
terjadi perdarahan. Oleh karena itu patofisiologinya tergantung pada
etiologi. Pada trauma abdomen etiologinya jelas karena robeknya
pembuluh darah desidua.13
Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel yang
disebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat
menyebabkan pembentukan thrombosis dalam pembuluh darah desidua
atau dalam vascular vili dapat berujung pada iskemia dan hipoksia
setempat yang menyebabkan kematian sejumlah sel dan mengakibatkan
perdarahan sebagai hasil akhir. Dengan demikian, pada tingkat permulaan
sekali dari proses terdiri atas pembentukan hematom yang bisa
menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi dan kerusakan pada
bagian plasenta lainnya yang berdekatan.13
Terdapat beberapa keadaan yang secara teoritis dapat berakibat
kematian sel karena iskemia dan hipoksia desidua. (1) pada pasien
korioamnioitis, misalnya pada ketuban pecah prematus, terjadi pelepasan
lipopolisakarida dan endotoksin lain yang berasal dari agen yang infeksius
dan menginduksi pembentukan dan penumpukan sitokines, eisikanoid dan
bahan-bahan oksidan lain seperti supereoksida. (2) kelainan genetic berupa
defisiensi protein C dan protein S keduannya meningkatkan pembentukan
thrombosis dan dinyatakan terlibat dalam etiologi preeklamsia dan solusio
plasenta. (3) pada pasien dengan penyakit trombofilia di mana ada
kencendrungan pembekuan berakhir dengan pembentukan thrombosis di
dalam desidua basalis yang mengakibatkan iskemia dan hipoksia. (4)
keadaan hyperhomocysteinemia dapat menyebabkan kerusakan pada
endothelium vascular yang berakhir dengan pembentukan thrombosis pada
vena atau menyebabkan kerusakan pada arteri spiralis yang memasok
darah ke plasenta dan menjadi sebab lain solusio plasenta. (5) nikotin dan
kokain keduanya dapat menyebabkan vasokonstriksi yang bisa
menyebabkan iskemia dan pada plasenta sering dijumpai bermacam lesi
seperti infark, oksidatif stress, apoptosis dan nekrosis yang kesemuannya
37
ini berpotensi merusak hbuungan uterus dengan plasenta yang berujung
kepada solusi plasenta.13
f. Komplikasi
Komplikasi solusio plasenta berasal dari perdarahan retroplasenta yang
terus berlangsung sehingga menimbulkan berbagai akibat pada ibu seperti
anemia, syok hipovolemik, insufisiensi fungsi plasenta, gangguan
pembekuan darah, gagal ginjal. Sindroma Sheehan terdapat pada beberapa
penderita yang terhindar dari kematian setelah menderita syok yang
berlangsung lama yang menyebabkan iskemia dan nekrosis adenohipofisis
sebagai akibat solusio plasenta.13
Kematian janin, kelahiran prematur dan kematian perinatal merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi pada solusio plasenta. Solusio
plasenta berulang dilaporkan juga bisa terjadi pada 25% perempuan yang
pernah menderita solusio plasenta sebelumnya. Solusio plasenta kronik
dilaporkan juga sering terjadi di mana proses pembentukan hematom
retroplasenta berhenti tanpa dijelang oleh persalinan. Komplikasi
koagulopati dijelaskan sebagai berikut. Hematoma retroplasenta yang
terbentuk mengakibatkan pelepasan retroplasenta berhenti ke dalam
peredaran darah. Tromboplastin bekerja mempercepat perombakan
protrombin menjadi trombin. Trombin yang terbentuk dipakai untuk
mengubah fibrinogen menjadi fibrin untuk membentuk lebih banyak
bekuan utama pada solusio plasenta berat. Melalui mekanisme ini apabila
pelepasan tromboplastin cukup banyak dapat menyebabkan terjadi
pembekuan darah intravaskular yang luas (disseminated intravascular
coagulation) yang semakin menguras persediaan fibrinogen dan faktor-
faktor pembekuan lain.13
Curah jantung yang menurun dan kekakuan pembuluh darah ginjal
akibat tekanan intrauterina yang meninggi menyebabkan perfusi ginjal
sangat menurun dan menyebabkan anoksia. Keadaan umum yang terjadi
adalah nekrosis tubulus-tubulus ginjal secara akut menyebabkan
kegagalan fungsi ginjal.13
38
Mungkin terjadi ekstravasasi luas darah ke dalam otot uterus dan di
bawah lapisan serosa uterus yang disebut sebagai apopleksio
uteroplasental ini, yang pertama kalinya dilaporkan oleh Couvelaire pada
awal tahun 1900-an, sekarang sering disebut sebagai uterus couvelaire.
Pada keadaan ini perdarahan retroplasenta menyebabkan darah menerobos
melalui sela-sela serabut miometrium dan bahkan bisa sampai ke bawah
perimetrium dan ke dalam jaringan pengikat ligamentum latum, ke dalam
ovarium bahkan bisa mengalir sampai ke rongga pernitonei. Perdarahan
miometrium ini jarang sampai mengganggu kontraksi uterus sehingga
terjadi perdarahan postpartum berat dan bukan merupakan indikasi untuk
histerektomi.13
2.3.3. Tatalaksana Pendarahan Antepartum Mayor8
39
2.4. Pendarahan Obstetri Postpartum
Menurut Obstetric Haemorrhage Clinical Guideline tahun 2018, perdarahan
postpartum dibagi menjadi primer dan sekunder. Pendarahan postpartum primer
adalah perdarahan dari saluran genital dalam waktu 24 jam setelah kelahiran bayi,
sedangkan pendarahan postpartum sekunder adalah pendarahan yang tidak normal
atau berlebihan dari jalan lahir antara 24 jam dan hingga 12 minggu setelah
melahirkan. Perdarahan postpartum primer dibagi menjadi tiga, yaitu minor,
mayor, dan masif. Perdarahan postpartum primer minor adalah kehilangan 500-
1000 ml darah dari saluran genital dalam waktu 24 jam setelah kelahiran bayi.
Perdarahan postpartum primer mayor adalah kehilangan lebih dari 1000 ml darah
dari saluran genital dalam waktu 24 jam setelah kelahiran bayi. Perdarahan
postpartum primer masif adalah kehilangan darah > 2000 ml atau tingkat
kehilangan darah 150ml / menit, atau 50% kehilangan volume darah dalam 3 jam.11
40
endogen, terutama oksitosin dan prostaglandin yang membuat uterus
berkontraksi dan konstriksi pembuluh uterus. Atonia uteri merupakan
kegagalan proses ini. Selain itu, ibu hamil dengan perdarahan obstetrik
mungkin memiliki arteri uterin yang relatif tidak responsif terhadap zat
vasokonstriktor.3
c. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan palpasi didapatkan
fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek.
Pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah
sebanyak 500-1.000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi
masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi
pemberian darah pengganti.13
Uterus yang lunak, berkontraksi buruk dan pendarahan vagina adalah
temuan yang paling umum pada pasien dengan atonia uteri. Tidak adanya
perdarahan pervaginam tidak menyingkirkan kelainan ini karena uterus
yang membesar dapat mengandung lebih dari 1000 mL darah. Perdarahan
yang tidak dikenali dapat bermanifestasi pada awalnya sebagai takikardia,
hipovolemia yang memburuk pada akhirnya menyebabkan hipotensi.3
d. Patofisiologi
Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan
mekanisme ini. Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh
kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah
yang memvaskularisasikan daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi
apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.12
Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan
bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan
perdarahan postpartum, lapisan tengah miometrium tersusun sebagai
anyaman dan ditembus oleh pembuluh darah. Masing-masing serabut
mempunyai dua buah lengkungan sehingga setiap dua buah serabut kira-
kira membentuk angka delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan
41
otot seperti diatas, jika otot berkontraksi akan menjempit pembuluh darah.
Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan menyebabkan
pembuluh darah pada uterus tetap vasodilatasi sehingga terjadinya
perdarahan postpartum.12
Hal-hal yang menyebabkan atonia uteri adalah:12
Disfungsi uterus.
Atonia uteri primer merupakan disfungsi instrinsik uterus.
Partus lama.
Kelemahan akibat partus lama bukan hanya rahim yang lemah,
cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan, tetapi juga ibu yang
keletihan kurang berthan terhadap kehilangan darah.
e. Tatalaksana
Respons multidisipliner terhadap atonia sangat penting. Tindakan
resusitasi umum, yaitu:3
Akses intravena besar,
Pemberian intravena larutan kristaloid dan koloid dan vasopresor,
Penentuan laboratorium konsentrasi hemoglobin atau hematokrit dan
penilaian status koagulasi, dan
Persiapan darah untuk transfusi.
Kompresi bimanual dan pijatan uterus dan infus oksitosin terus
menerus dapat membantu memulihkan tonus uterus. Namun hanya ada
sedikit data untuk memandu terapi jika strategi manajemen ini gagal,
praktik saat ini bergantung pada pendapat ahli dan penilaian klinis. Dalam
kasus respon yang tidak adekuat terhadap oksitosin, agen uterotonik
tambahan harus digunakan. Tiga kelas obat saat ini tersedia untuk
pengobatan atonia uteri: oksitosin, alkaloid ergot, dan prostaglandin.3
42
Menyebabkan vasodilatasi, oleh karena itu hati-
hati digunakan pada pasien yang tidak stabil
Onset: 2-3 menit, durasi: 30 menit
Ergometrine 500 mcg dapat diberikan secara lambat iv / im
Menyebabkan mual, muntah dan sakit kepala
Menimbulkan hipertensi, karenanya
dikontraindikasikan pada preeklampsia
Prostaglandin Intramuskuler 0,25 mg, diulang
f2α agonist Maksimal 2 mg dapat diberikan penggunaan
Carboprost) intramyometrial
Menyebabkan bronkospasme yang parah,
karenanya dikontraindikasikan pada pasien asma
Prostaglandin 800 mcg dapat digunakan dosis yang
E1 analogue direkomendasikan
(Misoprostol) Bisa secara rectal, oral atau sublingual
Sering terjadi menggigil dan kenaikan suhu
sementara
43
penyebab utama perdarahan postpartum primer dan sekunder. Risiko
perdarahan postpartum meningkat secara signifikan jika interval antara
kelahiran bayi dan plasenta melebihi 30 menit. Keparahan perdarahan berkisar
dari minimal hingga berat dan dapat mengancam jiwa dan membutuhkan
transfusi. Faktor risiko dari retensio plasenta termasuk riwayat retensio
plasenta sebelumnya, kelahiran prematur, penggunaan oksitosin selama
persalinan, preeklampsia, dan nulliparitas.3
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir
disebut sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan
pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara
plasenta dan uterus. Disebut sebagai plasenta akreta bila implantasi menembus
desidua basalis dan Nitabuch layer, disebut sebagai plasenta inkreta bila
plasenta sampai menembus miometrium dan disebut plasenta perkreta bila vili
korialis sampai menembus perimetrium.13
Penyebab terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio
sesarea, pernah kuret berulang, dan multiparitas. Bila sebagian kecil dari
plasenta masih tertinggal di uterus disebut rest placenta dan dapat
menimbulkan perdarahan post partum primer dan (lebih sering) sekunder.
Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/separasi plasenta akan
ditandai oleh perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta
sudah sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze),
sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta selama
plasenta belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian
plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak
(perdarahan kala III) dan harus diantisipasi dengan segeran melakukan
placenta manual, meskipun kala uri belum lewat setengah jam.13
Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau
setelah melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang
tidak lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada
perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat ontraksi rahim sudah baik
dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke
dalam rahim dengan cara manual/digital atau kuret dan pemberian uterotonika.
44
Anaemia yang ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberi transfusi darah
sesuai dengan keperluannya.13
2.4.3. Tatalaksana Pendarahan Postpartum Mayor
Pendarahan postpartum primer yang melibatkan perkiraan kehilangan
darah 500-1.000 ml (dan tanpa adanya tanda-tanda klinis syok) harus segera
melakukan tindakan dasar (pemantauan ketat, akses intravena, jumlah darah
lengkap, kelompok dan skrining) untuk memfasilitasi resusitasi jika
diperlukan.11
Posisi pasien trendelenburg
Berikan oksigen NRM dan saturasi oksigen
Terus menerus menilai jalan nafas, pernapasan, sirkulasi
Pijat rahim dan mulai kompresi bimanual
Cari penyebab kehilangan darah 4T (Tone, Tissue, Trauma, Thrombin)
Kosongkan kandung kemih dengan memasukkan ukuran 12 Foleys
Catheter
Akses IV dengan satu (pertimbangkan dua) aboket besar
Ambil sampel darah
Cairan intravena Hartmanns 1000ml
Lakukan skrining dan pengobatan infeksi potensial.
Berikan Obat Uterotonik :
ulangi oxytocic bolus: Ergometrine 500mcgs (IM atau IV dengan hati-
hati) atau Syntometrine 500 mikrogram / 5 IU solution untuk injeksi IM
atau Oxytocin 10 IU / ml unit IM (jika hipertensi)
Oksitosin 40 / IU dalam NSaline 0,9% 500ml @ 125ml / jam IV
Misoprostol 800-1000 mcg PR
Carboprost 250mcg IM pada interval 15 menit hingga maksimum 8 dosis
(hati-hati pada asma)
Asam traneksamat 1g IV
45
2.5. Tatalaksana Pendarahan Obstetrik11
Resusitasi maternal:
(Diadaptasi dan dimodifikasi dari RCOG Green top guideline no. 52, 2009)
Pendarahan ringan (100 - 1000 ml kehilangan darah, tidak ada gejala klinis syok)
46
Pada perdarahan masif (> 1000ml / kehilangan darah terus-menerus, atau pasien
yang mengalami syok secara klinis) ibu memerlukan resusitasi aktif. Faktor-
faktor berikut perlu ditangani:
Pemantauan:
Tanda-tanda klinis syok harus terus dipantau seperti warna pasien, pucat,
keluaran urin (UO), suhu dan waktu pengisian kapiler (CRT). Pemantauan
tekanan darah invasif dapat dilakukan untuk pasien yang rapuh. Semua
parameter yang dicatat harus didokumentasikan dengan baik pada bagan alur
untuk referensi lebih lanjut.
47
Terapi penggantian cairan dan darah:
Hemoglobin> 8 g%
Jumlah trombosit> 75 x 109 / liter
Waktu protrombin (PT) <1,5 x kontrol rata-rata
Waktu protrombin aktif (APTT) <1,5 x kontrol rata-rata
Fibrinogen> 1,0 g / l
48
Tabel Cairan untuk resusitasi volume
Masalah yang semakin penting dalam transfusi darah adalah efek buruk
yang terkait dengan transfusi, termasuk potensi infeksi dan transmisi prion,
meningkatnya biaya dan kemungkinan masalah ketersediaan kedepannya. Pasien
ha rus dipantau dengan hati-hati untuk mendiagnosis komplikasi (demam,
hiperkalemia, hipokalsemia, toksisitas sitrat, dan lain-lain) yang terlihat setelah
transfusi darah masif. Perhatian yang sama harus diberikan untuk rebound
49
hypercoagulation dan tromboemboli yang mengikuti transfusi darah terutama
pada kehamilan yang merupakan kondisi hiperkoagulasi dengan sendirinya. Ini
dapat dicegah dengan penggunaan graduated compression stockings dan
tromboprofilaksis farmakologis.
50
perdarahan obstetri mayor. Oleh karena itu, penggunaan simpanan darah
preautologous tidak dianjurkan pada kehamilan.
Penggunaan antifibrinolitik:
51
2.6. Korioamnionitis
a. Insiden
Infeksi yang paling sering terjadi pada ibu hamil. Sekitar 0,5%-10%
wanita hamil terkena korioamnionitis, tergantung pada karakteristik
demografik dan obstetric pada populasi tertentu. Salah satu studi
menyebutkan insidensi korioamnionitis adalah 41% pada kelahiran di bawah
usia gestasi 27 minggu, 15% pada usia kehamilan 28-36 minggu, dan 2% pada
usia kehamilan aterm.4
Faktor risiko terjaidnya korioamniontisi adalah paritas rendah, riwayat
korioamnionitis pada kelahiran sebelumnya, jumlah pemeriksaan vaginal.
Durasi persalinan, durasi membrane rupture, dan penggunaan monitor
internal.14
b. Patofisiologi
Pada banyak kasus, bakteri dapat mencapai kavitas amnion dan fetus
dengan mekanisme ascending ke cervix setelah rupture membrane.
Korioamnionitis berkembang secara signifikan pada wanita inpartu dengan
ketuban pecah dini. Agen infeksius yang berada pada sirkulasi maternal dapat
berpindah secara transplasental dan mendapat akses ke kavitas amnion.
Korioamnionitis sering disebabkan polymicrobial dan bakteri yang secara
normal pada traktus genitalia dapat menyababkan korioamnionitis seperti,
Bacteroides sp,, Streptococci group B, Mycoplasma sp., Ureaplasma sp.,
Escherichia coli.4
c. Diagnosis
Diagnosis korioamnionitis tergantung pada gejala klinis. Gejala
seringkali tidak muncul. Gejala klinis yang mungkin muncul, antara lain:12
- Temperatur di atas 380C
- Takikardi maternal dan atau fetal
- Nyeri tekan uterus
- Cairan amniotik berbau tidak sedap
52
d. Tatalaksana
Terapi untuk pasien dengan korioamnionitis adalah terminasi kehamilan,
penatalaksanaan suportif, pemberian antibiotik.14
Pemberian antibiotik
Beberapa pilihan antibiotik yang dapat diberikan adalah ;
- Ampicillin dan gentamicin
- Clindamycin atau metronidazole saat dicurigai terdapat endometritis
(postpartum)
- Vancomycin untuk pasien alergi penisilin
- Alternatif pemberian antibiotik; monoterapi dengan ampicillin-
sulbactam, ticarcillin-clavulanate, cefoxitin, cefotetan, atau piperacillin-
tazobactam
Penatalaksanaan suportif
Penatalaksanaan suportif pada neonatus yang sepsis antara lain;
- Penghangat
- observasi tanda-tanda vital
- persiapan resusitasi
- cegah syok hipovolemik.
e. Komplikasi4
- Komplikasi maternal
Kelahiram premature, abrupsio plasenta, infeksi postpartum, atonia
uterin, perdarahan postpartum, histerektomi peripartum, sepsis, dan
kematian. Insidensi persalinan Caesar akan meningkat pada wanita
dengan korioamnionitis dengan distosia janin. Beberapa penelitian
menyebutkan jika infeksi akan mempengaruhi kontraktilitas uterus dan
berkontribusi dalam meningkatkan risiko persalinan Caesar.
- Komplikasi Fetal
Komplikasi neonatal termasuk pneumonia, meningitis, sepsis, dan
kematian. Beberapa penelitian menunjukan terdapat hubungan yang kuat
antara korioamnionitis dan palsi serebral. Meta-analisis menyebutkan
risiko relative palsi cerebral antara 1,9-4,7 pada bayi premature dan aterm
53
yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis. Risiko janin terkena penyakit
paru kronik bertambah jika terekspos dengan korioamnionitis.
d. Tatalaksana
Tatalaksana yang dapat dilakukan pada pasien dengan sepsis masuk ke
dalam Hour-1 bundle. Tatalaksana dilakukan sesegera mungkin terutama
pasien dengan hipotensi, daripada menunggu dan memperlambat resusitasi.
Resusitasi mungkin memerlukan lebih dari 1 jam, namun inisiasis resusitasi
dan tatlaksana seperti pengambilan darah untuk mengukur laktat, kultur
darah, administrasi cairan dan antibiotic, dan hipotensi yang mangancam
jiwa, inisiasi terapi vasopressor, harus dilakukan sesegera mungkin.15
54
Mengukur level laktat. Ukur ulang jika
laktat inisial >2 mmol/L
55
sebaiknya dipersempit setelah identifikasi patogen dan tes sensitivitas
dilakukan, atau hentikan pemberian jika pada pasien tidak ditemukan tanda
infeksi.15
Pemberian cairan intravena
Resusitasi cairan awal sangat penting untuk stabilisasi hipoperfusi
jaringan akibat sepsis atau syok septik. Jika pasien memberikan gambatan
sepsis, dan atau hipotensi dan peningkatan laktat, resusitasi cairan harus
selesai dalam 3 jam setelah penemuan. Pemberian cairan kristaloid
direkomendasikan minimal 30 cc/kg secara intravena.15
Pemberian vasopressor
Pengembalian tekanan perfusi secara adekuat dengan cepat ke organ
vital adalah kunci dari resusitasi. Hal ini tidak boleh terlambat. JIka tekanan
darah tidak kembali setelah resusitasi cairan inisial, maka vasopressor harus
diberikan pada 1 jam pertama untuk mencapai rerata tekanan arteri ≥ 65
mmHg.15
Vasopressor dan inotropes adalah obat yang digunakan untuk
vasokonstriksi atau meningkatkan kontraktilitas jatung, pada pasien dengan
syok. Vasopressor akan menyebabkan vasokonstriksi yang menyebabkan
peningkatan systemic vascular resistance (SVR) dan akan meningkatkan
mean arterial pressure (MAP) dan meningkatkan perfusi organ. Inotropik
bekerja dengan meningkatkan kontraktilitas jantung untuk meningkatkan
cardiac output (CO).16
Pilihan lini pertama vasopressor adalah norepinefrin 0.1 to 2.0
µg/kgBB/menit. Epinefrin sebagai pilihan alternatif pertama norepinefrin.
Vaspressome dengan dosis 0,03-0,04 unit/menit dapat digunakan jika pasien
tidak respon dengan agen vasopressor lain. Dopamin hanya digunakan untuk
pasien tertentu seperti pasien dengan bradikardi absolut atau relatif.16
Tujuan utama terapi adalah eliminasi dan atau pengobatan agresif
sumber infeksi fengan antibiotik dan jika terdapat indikasi, dilakukan
ekstirpasi surgical. Antibiotik inisial sebaiknya antibiotik spectrum luas yang
dapat mengatasi bakteri seperti Eschericia coli, enterococcus, dan organisme
anaerobic. Kombinasi ampicillin, gentamicin dan clindamycin merupakan
56
regimen efektif seperti kombinasi imipenem, cilastatin, dan vancomycin.
Konsultasi dengan spesialis, dan pemberian antibiotik sesuai uji sensitivitas
antibiotik.16
2.8. Endometritis
a. Definisi
Endometritis adalah inflamasi pada lapisan endometrial uterus.
Inflamasi dapat juge melibatkan myometrium dan parametrium.4
b. Insiden
Insiden endometritis post-partum di US beragam tergantung pada jalan
persalinan yang populasi pasien. Setelah persalinan per-vaginam, insidensi 1-
3%. Setelah persalinan Caesar, insidensi sebesar 13-90%, tergantung pada
faktor risiko yang ada dan apakah profilaksis antibiotic diberikan
perioperative. Pada populasi non-obstetri endometritis konkomitan dapat
terjadi pada 70-90% wanita dengan salpingitis.4
c. Klasifikasi
Endometritis dapat dibagi menjadi endometritis berhubungan
kehamilan dan endometritis yang tidak berhubungan dengan kehamilan.4
d. Patofisiologi
Saat kondisi endometritis tidak berhubungan dengan kehamilan, yang
dimaksud adalah PID (Pelvis Inflammatory Disease). Endometritis sering
berhubungan dengan inflamasi tuba Fallopi (salpingitis), ovarium
(oophoritis), dan peritoneum pelvis (peritonitis pelvis).4
Infeksi pada endometrium, atau deisuda, biasanya disebabkan oleh
infeksi ascending dari traktus genital inferior. Endometritis dapat terjadi
secara akut ataupaun kronik. Pada endometritis akut, terdapat neutrophil
diantara glandula endometrial.4
Pada endometritis kronik, terdapat sel-sel plasma dan limfosit diantara
stroma endometrial. Endometritis kronik pada populasi obstetrik biasanya
berhubungan dengan hasil konsepsi yang tersisa setelah persalinan atau
aborsi. Pada populasi non-obstetri, endometritis kronik pernah ditemukan
berhubungan dengan infeksi dan keberadaaan IUD (Intrauterine Device).4
57
e. Diagnosis
Penegakan diagnosis didasarkan pada gejala klinis dan pemeriksaan
fisik. Pada pemeriksaan fisik beberapa hal dapat ditemukan antara lain;
demam (temperatur oral 380C atau lebih pada 10 hari pertama post-partum
atau 38,70C dalam 24 jam pertama postpartum) yang terjadi dalam kurun
waktu 36 jam setelah persalinan, nyeri perut bawah, nyeri tekan uterus, nyeri
tekan adneksa (tanda salpingitis), foul-smelling lochia, dan takikardi.4
f. Tatalaksana
Setelah penegakan diagnosis dan menyingkirkan sumber infeksi lain,
inisiasi antibiorik spektrum luas harus dilakukan. Perbaikan akan terlihat
setelah 48-72 jam pada 90% wanita yang diberikan antibiotik. Terapi
antibiotik yaitu kombinasi clindamycin dan gentamisin yang diberikan secara
intravena setiap 8 jam. Kombinasi antibiotik lain yaitu cephalosporin generasi
kedua atau ketiga dengan metronidazole juga merupakan pilihan.4
g. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain; infeksi luka, peritonitis,
infeksi adneksa, phlegmon parametrial, abses pelvis, hematoma pelvis, dan
thrombophlebitis septik pelvis Salpingitis dapat menyebabkan terjadinya
dismotilitas tuba dan adhesi yang menyebabkan infertilitas, insiden lebih
tinggi untuk kehamilan ektopik dan nyeri pelvis kronik.4
58
Serikat lebih banyak terjadi pada kulit hitam. Lebih dari 40% kasus penelitian
menyatakan lebih banyak terjadi pada wanita kulit hitam dan setenghanya
terjadi pada bagian Selatan Amerika Serikat. Penelitian populasi di California
menunjukan insidensi PPCM pada kulit hitam 1 : 1421 sedangkan pada kulit
putih 1 : 4075. [2]. Studi meta-analisis menunjukkan, 22% pasien dengan
PPCM mengalami preeklamsi. Studi lain menunjukkan penyakit hipertensi
pada kehamilan apapun (preeklamsia, hipertensi gestasional, atau hipertensi
kronik) ada pada 37% wanita dengan PPCM.5
c. Patofisiologi
Hemodinamik dan penyebab lain
Pada kehamilan, terjadi peningkatan hemodinamik, yang mana terjadi
peningkatan volume darah dan massa sel darah merah, menyebabkan
terjadinya peningkatan preload. Cardiac output dipengaruhi oleh preload,
contractility, dan afterload. Peningkatan preload, peningkatan denyut
jantung sebesar 15% sampai 30%, peningkatan stroke volume sebesar 15%-
25%, akan mengakibatkan peningkatan cardiac output sebesar 20% sampai
50%. Resistensi vaskular akan menurun sebesar 30%, walaupun afterload
akan meningkat kembali pada akhir kehamilan. Perubahan-perubahan ini
akan terjadi pada trimester 1 dan 2, sehingga pada pasien dengan penyakit
struktural jantung sebelumnya, secara klinis akan mengalami gagal jantung
pada jangka waktu ini.5
59
Hipotesis Vasculo-hormonal (Prolaktin)
Model mencit PPCM (yang dibuat dengan membuang Sehingga, hilangnya STAT3 knockout secara
faktor transkripsi STAT3 terutama di kardiomiosit signifikan menyebabkan PPCM diinduksi
kehamilan.
60
d. Diagnosis
Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute and the Office of Rare
Diseases, kriteria diagnosis kardiomiopati diinduksi kehamilan adalah:17
- Adanya gagal jantung pada bulan terakhir kehamilan atau 5 bulan setelah
persalinan
- Tidak adanya penyebab lain dari gagal jantung
- Tidak adanya penyakit jantung yang diketahui sebelum bulan terakhir
kehamilan
- Disfungsi sistolik ventrikel kiri yang dibuktikan dengan kriteria
echocardiografi klasik, yaitu menurunnya fraksi ejeksi ventrikel kiri
<45%, pemendekan fraksi <30%, volume end-diastolic ventrikel kiri ≥27
mm/m2.18
Pasien dengan PPCM memiliki gejala dan tanda tipikal gagal jantung sistolik.
Pada pemeriksaan klinis, impulse apikal bergeser ke lateral dan terdengar S3
gallop. Karena adanya enlargement pada ventrikel kiri dan perubahan
geometri kavitas ventricular, regurgitasi mitral fungsional biasanya terlihat.18
e. Tatalaksana
Penatalaksanaan PPCM sesuai dengan dasar penatalaksanaan CHF dan DCM.
61
Kontrol volume darah
Edema pulmonal dari gagal jantung biasanya respon baik dengan
pemberian diuretic untuk mengurangi preload. Hipertensi merupakan hal
yang biasa, dan reduksi afterload dilakukan dengan pemberian hydralazine
atau vasodilator lain. Pemberian beta bloker juga dapat dilakukan. Karena
adanya efek fetal, pemberian ACE inhibitor ditahan sampai setelah
persalinan. Jika terjadi gagal jantung kronik, ada kemungkinan yang cukup
tinggi tromboembolisme, dan heparin sebagai profilaksis
direkomendasikan.17,18
62
f. Komplikasi
Komplikasi pada maternal termasuk hipoksia, tromboembolisme, gagal
jantung progresif, dan aritmia. Komplikasi fetal yang dapat terjadi antara lain;
distress karena hipoksia maternal, distress karena hipoperfusi plasental
sebagai akibat dari cardiac output yang buruk, hypovolemia maternal kibat
diuresis yang berlebihan, atau hipotensi karena reduksi afterload yang
agresif.17
63
BAB III
KESIMPULAN
BAB III KESIMPULAN
1. Perubahan fisiologis pada kehamilan dapat terjadi, mulai dari perubahan berat
badan, sistem respirasi, perubahan volume darah, perubahan pada ginjal,
saluran cerna, hingga perubahan pada system saraf pusat dan perifer serta
perubahan lainnya, pada keadaan tertentu perubahan ini dapat menjadi suatu
penyakit patologis pada ibu hamil.
2. Beberapa penyakit pada ibu hamil yang dapat jatuh dalam masa kritis antara
lain preeklampsia-eklampsia, sepsis, dan perdarahan obstetri, yang dapat
menyebabkan kondisi seperti penurunan kesadaran, syok septik, syok
hemoragik, dan komplikasi maternal dan fetal lain yang dapat membahayakan
kehidupan ibu dan bayi.
3. Hipertensi pada kehamilan dapat meningkatkan risiko eklampsia ataupun
stroke maternal pada ibu. Selanjutnya, jika terjadi preeklampsia, risiko
perdarahan postpartum, abruption plasenta serta gagal jantung juga dapat
terjadi. BBLR, asfiksia perinatal, kematian janin intrauterine atau intrapartum
dapat terjadi jika ibu hamil telah mengalami preeklampsia atau telah progresif
menjadi preeklampsia berat atau sindrom HELLP. Penatalaksanaan yang
diberikan adalah pemberian antihipertensi per oral untuk mempertahankan
TDS di 120-160 mmHg dan TDD di 80-105 mmHg. Jika terjadi hipertensi
emergensi (tekanan darah sistolik >160 mmHg atau tekanan darah diastolik >
110 mmHg bertahan minimal 15 menit), pemberian antihipertensi intravena
atau nifedipin per oral untuk menurunkan peningkatan tekanan darah yang
akut. Pemberian profilaksis kejang yaitu magnesium sulfat juga perlu diberikan
pada ibu hamil dengan preeklampsia.
4. Perdarahan obstetrik dapat menyebabkan anemia dan syok pada ibu, kelahiran
prematur dan gawat janin, kematian maternal akibat perdarahan, dan
disseminated intravascular coagulation. Penatalaksanaan yang dapat
diberikan pada perdarahan obstetrik mayor adalah pemberian oksigen, cairan
kristaloid, produk darah. Pada pendarahan antepartum dapat diberikan
64
oksitosin. Pada pendarahan postpartum dapat diberikan syntocinon atau
ergometrin, carboprost dan misoprostol. Beberapa penyebab pendarahan
postpartum, yaitu atonia uteri, trauma, retensio plasenta, gangguan koagulasi.
65
DAFTAR PUSTAKA
[4] S. Segal, "Fever and Infection," in Chestnut's Obstetric Anesthesia Principles and
Practice Fifth Edition, Philadelphia, Elseiver, 2014, pp. 862-864, 865-866.
[5] Z. Arany and U. Elkayam, "Peripartum Cardiomyopathy," Circulation AHA Journal, vol.
133, no. 14, pp. 1397-1409, 2016.
[6] D. Y. Bisri and T. Basri, Anatomi dan Fisiologi Wanita Hamil, Jakarta: Kolegium
Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia, 2013, p. 2013.
[8] S. T. Pandya and K. Mangalampally, "Critical care in obstetrics," Indian J Anaesth, vol.
62, no. 9, pp. 724-733, 2018.
[10] Y. Lin, Y. Zhang, Y. Jiang and W. Song, "Medication for management of pregnancy-
induced," Clin Trials Degener Dis, vol. 3, no. 2, pp. 83-87, 2018.
66
[14] F. M. Bany-Mohammed, "Chorioamnionitis," Medscape, 8 Mei 2018. [Online].
Available: https://emedicine.medscape.com/article/973237-overview. [Accessed 9
Maret 2019].
[15] M. M. Levy, L. E. Evans and A. Rhodes, "The Surviving Sepsis Campaign Bundle: 2018
update," 19 April 2018. [Online]. Available:
https://doi.org/10.1097/CCM.0000000000003119. [Accessed 3 January 2019].
[21] W. Wan and T. Gin, "General obstetric emergencies," in Oh’s Intensive Care Manual
Seventh Edition, United States, Elsevier, 2014, pp. 682-691.
67
68