Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA


KONSEP STRESS, RENTANG SEHAT-SAKIT JIWA, DAN KOPING

Disusun Oleh:

1. Faustina Nainoe 113063C117012


2. Hanson Joshua 113063C117013
3. Hariani 113063C117014
4. Init Almahera 113063C117016
5. Jimmy Lin Yosep 113063C117017
6. Kiki Triati 113063C117018
7. Lie Yusti Anastasia 113063C117020
8. Muhammdad Gadafi 113063C117021
9. Natalia Adriani Uku Hipir 113063C117022

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN
BANJARMASIN
2019
A. Konsep Stress
1. Pengertian Stress

Stress adalah beban rohani yang melebihi kemampuan rohani itu


sendiri,sehingga perbuatan kurang terkontrol secara sehat (Prabowo, 2014, p. 48).

2. Etiologi

Stresor adalah fakta penyebab trauma dalam perkembangan gangguan stress


pasca traumatik. Tetapi tidak semua orang mengalami gangguan stress pasca
traumatik setelah suatu peristiwa traumatik, walau pun stresor adalah diperlukan
(Prabowo, 2014, p. 48).

3. Sumber-sumber stress

Sarafino yang dikutip oleh Sarwono(1998), membedakan sumber-sumber stress,


yaitu dalam diri individu, keluarga, komunitas dan masyarakat.

a. Sumber-sumber stress dalam diri seseorang.Sumber stress itu terkadang bisa


bersumber dari dalam diri seseorang.misalnya adalah melalui kesakitan stress
yang muncul tergantung pada keadaan rasa sakit dan umur individu.stress juga
akan muncul pada diri seseorang melalui penilaian dari kekuatan mutifasional
yang melawan,bila seseorang mengalami konflik.
b. Sumber-sumber stress dalam keluarga stres disini dapat bersumber dari interksi di
antara para anggota keluarga seperti: persilisihan dalam masalah keluarga soal
keuangan,perasaan saling acuh tak acuh.
c. Sumber-sumber stress di dalam komunitas dan lingkungan interaksi subyek di luar
lingkungan keluarga melengkapi sumber-sumber stress.stress dapat berasal dari
pekerjaan dan lingkungan yang stress full sifatnya.
(Prabowo, 2014, p. 49)

4. Pendekatan-pendekatan stress
Menurut beberapa penulis(Sarafino,1990 :Sutherland & Coopwe,1990; Prabowo,
2014), stress di antara dapat dikonseptualisasikan dari berbagai macam titik/pandang
diantaranya:
a. Stress sebagai stimulus
Pendekatan yang pertama menitik beratkan pada lingkungan dan
menggambarkan stress sebagai suatu stimulus (atau stres sebagai vatiapel
pepas) gipocrates percaya bahwa karakteristik kesehatan dan penyakit di
kondisikan oleh lingkungan eksternal(Sutherland & Cooper,1990; Prabowo,
2014, p. 49)
b. Stress sebagai respon
Pendekatan ini memfokuskan pada reaksi seseorang terhadap stesor dan
menggambarkan stress sebagai suatu respon(atau stress sebagian suatu
variabel tergantung)respon yang dimaksud disini adalah respon yang
mengandung dua komponen yaitu komponen psikologis dan fisiologi
(Prabowo, 2014, p. 50).
c. Stress sebagai interaksi individu dengan lingkungan individu akan memberi
reaksi stress yang berbeda pada stresor yang sama misalnya kita bisa
mengamati prilaku orang dilalu lintas.orang-orang yang terperangkap di lalu
lintas terus-menerus akan melihat sementara ada juga yang tenang-tenang saja,
bahkan tidak jarang masih dapat menikmati musik (Prabowo, 2014, p. 50).
5. Manajemen Stress
Metode skill dan strategi yang sering dipergunakan untuk mengatasi stress
menurut penelitian Susan Richard Lazarus (1986) adalah;
a. Dengan sifat religius pemecahan masalah secara terencana, menganalisis situasi
untuk mencapai solusi, kemudian mengambil tindakan untuk memperbaiki
masalah.
b. Koping konfrotatif, mengambil tindakan tegas, kadang disertai marah atau
pengambilan risiko untuk mengubah situasi.
c. Mencari dukungan sosial, mencoba mencari informasi dukuungan emosi.
d. Menjauh. Dengan usaha kognisi memisahkan diri dari atau melupakan situasi
untuk menciptakan pandangan positif terhadap masalah.
e. Melarikan diri, menghindar, berpikir pengharapan untuk terjadinya keajaiban yang
dapat menyelesaikan masalahnya.
f. Kontrol diri, memodulasi perasaan atau aksi yang berkaitan dengan problem.
Menyembunyikan perasaan untuk mencegah interaksi emosi dengan
memperlambat langkah pengambilan keputusan untuk menghindari pilihan yang
invulsif.
g. Menerima tanggung jawab, mengakui perannya dalam masalah, sambil berusaha
membuatnya menjadi benar.
h. Penaksiran ulang positif, menciptakan arti positif dari masalah untuk
perkembangan.
Menurut Martha Davis, seperti dikutip Achir Yani (1995) ada sepuluh langkah
pengelolaan stress:
a. Mengidentifikasi gejala stress.
b. Mengidentifikasi sumber stress.
c. Mengidentifikasi bagaimana pasien berespon terhadap stress.
d. Menyusun tujuan untuk berespon lebih aktif terhadap stress.
e. Memotivasi diri pasien.
f. Mengubah pikiran pasien.
g. Menghadapi masalah.
h. Jika konflik, berunding.
i. Ikuti dan seimbangkan diri pasien.
Menurut Indriana (2000) manajemen stress yang dapat dilakukan terdiri atas
beberapa langkah, yaitu:
a. Menyadari adanya stress atau sedang mengalami stress.
b. Menganalisis dan mengatasi stress:
a) Melakukan suatu tindakan.
b) Mundur atau menghilang.
c) Diam, tidak melakukan apapun.
d) Menyesuaikan sikap: tempatkan stresor pada perspektif yang benar dan
hindarkan pemikiran dan fantasi negatif.
c. Perbaikan kebiasaan makan dan olahraga.
d. Mengubah respon terhadap stress:
e) Relaksasi progresif.
f) Biofeedback.
g) Meditasi.
h) Pertemuan kelompok.
i) Konseling
e. Istirahat pendek pada siang hari.
f. Mempersiapkan dan mengorganisasi kegiatan atau pekerjaan.
g. Rekreasi.
h. Memperkuat keyakinan terhadap Tuhan.
6. Cara mengendalikan stress
Kiat mengendalikan stress menurut Grant Brecht (2000) sebagai mana
ditemukan Sunaryo (2004), adalah sebagai berikut:
a. Sikap, keyakinan, dan pemikiran harus positif, fleksibel, rasional, dan adaptif
terhadap orang lain. Artinya jangan terlebih dahulu menyalahkan orang lain
sebelum intropeksi diri dengan pengendalian internal.
b. Kendalikan berbagai faktor penyebab stress dengan cara : kemampuan menyadari
(awareness skills) kemampuan menerima (aceptance skills), kemampuan untuk
menghadapi (copping skills), kemampuan untuk bertindak (oction skills).
c. Perhatikan diri anda, proses interpersonal dan interaktif, serta lingkungan Anda.
d. Kembangkan sikap efisien.
e. Relaksasi.
f. Visualisasi (angan-angan yang terarah).
g. Circuit breaker dan koridor stress.
7. Berbagai macam stress
Menurut Dadang Hawari (2001) kondisi stress seseorang dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis:
a. Kondisi eustress (tidak stress): seseorang yang dapat mengatasi stress dan tidak
ada gangguan pada fungsi organ tubuh.
b. Kondisi distres (stres): pada saat seseorang menghadapi stresor terjadi gangguan
pada satu atau lebih organ tubuh, sehingga orang tersebut tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik.
8. Predisposisi Stres
Menurut sunaryo (2004), beberapa faktor yang mempengaruhi stres individu
adalah:
a. Faktor biologi: herediter, konstitusi tubuh, kondisi fisik, neurofisiologik, dan
neurohormonal.
b. Faktor fisikoedukatif: kepribadian, pengalaman, dan kondisi lingkungan.
9. Tahapan Stres
Menurut robeth J.Van Amberg (1979), sebagaimana ditemukan oleh dadang
hawari (2001), tahapan stres adalah sebagai berikut:
a. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu
bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa
memperhintungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan manjadi.
b. Stres tahap kedua yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak
segar atau letih, mudah lelah pada saat menjelang sore, mudah lelah sesudah
makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak nyaman (bowel discomfort),
jantung bedebar, otot tekuk dan punggung tegang.hal tersebut karena cadangan
tidak memadai.
c. Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti depekasi tidak
teratur (kadang-kadang diare), otot semakin tegang emosional, insomnia, mudah
terjaga dan sulit tidur kembali (middel insomnia), bangun terlalu pagi dan sulit
tidur kembali (latte bisomia), koordinasi tubuh terganggu dan mau jatuh pingsan.
d. Stress tahap ke empat, tahapan stress dengan keluhan seperti tidak mampu
bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit dan menjenuhkan ,
respon tidak adekuat , kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur, sering
menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan
kecemasan .
e. Stress tahap ke lima, yaitu tahapan stress yang di tandai dengan kelelahan fisik
dan mental (physical and phycological exhaustion) ketikdakmampuan
menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat,
meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung dan panik.
f. Stress tahap ke enam, (paling berat) yaitu tahapan stress dengan tanda-tanda ,
seperti jantung berdebar keras, sesak nafas , badan gemetar,dingin dan banyak
keluar keringat,loyo,serta pingsan collaps.
B. Definisi Sehat Jiwa
Banyak ahli mendefinisikan mengenai sehat jiwa diantaranya menurut:
a. WHO
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sejahtera secara fisik, sosial dan mental
yang lengkap dan tidak hanya terbebas dari penyakit atau kecacatan. Atau dapat
dikatakan bahwa individu dikatakan sehat jiwa apabila berada dalam kondisi fisik,
mental dan sosial yang terbebas dari gangguan (penyakit) atau tidak dalam kondisi
tertekan sehingga dapat mengendalikan stress yang timbul.
Sehingga memungkinkan individu untuk hidup produktif, dan mampu
melakukan hubungan sosial yang memuaskan. Keperawatan Jiwa. (KEMENKES,
2016, p.9)

b. UU Kesehatan Jiwa No.03 Tahun 1966


Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi mental yang sejahtera sehingga
memungkinkan seseorang berkembang secara optimal baik fisik, intelektual dan
emosional dan perkembangan tersebut berjalan secara selaras dengan keadaan
orang lain sehingga memungkinkan hidup harmonis dan produktif. Coba Anda
diskusikan dengan teman Anda adakah carilah definisi lain mengenai sehat jiwa
menurut ahli yang lain (KEMENKES, 2016, p.9).
1. Ciri-Ciri Sehat Jiwa (Mental)
Berikut ini akan dijelaskan ciri sehat jiwa dari menurut beberapa ahli diantaranya
menurut:
a. Yahoda yahoda
Mencirikan sehat jiwa sebagai berikut:
- Memiliki sikap positif terhadap diri sendiri.
- Tumbuh, berkembang dan beraktualisasi.
- Menyadari adanya integrasi dan hubungan antara: masa lalu dan
sekarang.
- Memiliki otonomi dalam pengambilan keputusan dan tidak bergantung
pada siapapun.
- Memiliki persepsi sesuai dengan kenyataan.
- Mampu menguasai lingkungan dan beradaptasi.
(KEMENKES, 2016, p.10)
b. WHO (World Health Organisation/Organisasi Kesehatan Dunia)
Pada tahun 1959 dalam sidang di Geneva, WHO telah berhasil merumuskan
kriteria sehat jiwa. WHO menyatakan bahwa, seseorang dikatakan mempunyai
sehat jiwa, jika memiliki kriteria sebagai berikut:
- Individu mampu menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan,
meskipun kenyataan itu buruk baginya.
- Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya.
- Merasa lebih puas memberi dari pada menerima.
- Secara relatif bebas dari rasa tegang (stress), cemas dan depresi.
- Mampu berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling
memuaskan.
- Mampu menerima kekecewaan sebagai pelajaran yang akan datang.
- Mempunyai rasa kasih sayang.
Pada tahun 1984, WHO menambahkan dimensi agama sebagai salah satu dari 4
pilar sehat jiwa yaitu: Kesehatan secara holistik yaitu sehat secara jasmani/ fisik
(biologik); sehat secara kejiwaan (psikiatrik/ psikologik); sehat secara sosial; dan sehat
secara spiritual (kerohanian/ agama).Berdasarkan keempat dimensi sehat tersebut,the
American Psychiatric Association mengadopsi menjadi paradigma pendekatan
biopsycho-socio-spiritual. Dimana Keperawatan Jiwa 11 dalam perkembangan
kepribadian seseorang mempunyai 4 dimensi holistik, yaitu agama, organobiologik,
psiko-edukatif dan sosial budaya (KEMENKES, 2016, p.10).
c. Maslow
Maslow mengatakan individu yang sehat jiwa memiliki ciri sebagai berikut:
- Persepsi Realitas yang akurat.
- Menerima diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
- Spontan.
- Sederhana dan wajar.
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa sesesorang dikatakan
sehat jiwa jika:
- Nyaman terhadap diri sendiri
a) Mampu mengatasi berbagai perasaan : rasa marah, rasa takut,
cemas, iri, rasa bersalah, rasa senang, cinta mencintai, dll.
b) Mampu mengatasi kekecewaaan dalam kehidupan.
c) Mempunyai Harga Diri yang wajar.
d) Menilai diri secara nyata, tidak merendahkan dan tidak pula
berlebihan.
e) Merasa puas dengan kehidupan sehari-hari.
(KEMENKES, 2016, p.11)
- Nyaman berhubungan dengan orang lain.
a) Mampu mencintai dan menerima cinta dari orang lain.
b) Mempunyai hubungan pribadi yang tetap.
c) Mampu mempercayai orang lain.
d) Dapat menghargai pendapat orang yang berbeda.
e) Merasa menjadi bagian dari kelompok.
f) Tidak mengakali orang lain, dan tidak memberikan dirinya diakali
orang lain.
(KEMENKES, 2016, p.11)
- Mampu memenuhi kebutuhan hidup
a) Menetapkan tujuan hidup yang nyata untuk dirinya.
b) Mampu mengambil putusan.
c) Menerima tanggung jawab.
d) Merancang masa depan.
e) Menerima ide/pengalaman hidup.
f) Merasa puas dengan pekerjaannya.
(KEMENKES, 2016, p.11)
C. Paradigma Keperawatan Jiwa
Tujuan paradigma keperawatan adalah mengatur hubungan antara berbagai
teori dan model konseptual keperawatan guna mengembangkan model konseptual dan
teori-teori sebagai kerangka kerja keperawatan. Fenomena adalah perilaku klien
dalam menghadapi ketidakpastian kondisi yang dialami akibat ketidaknyamanan
akibat dari sakit yang dialaminya. Falsafah keperawatan adalah suatu bentuk
pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari layanan kesehatan
didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan. Dalam melakukan peran dan fungsinya
seorang perawat harus memiliki keyakinan terhadap nilai keperawatan yang menjadi
pedoman dalam memberikan asuhan keperawatan. Keyakinan yang harus dimiliki
oleh seorang perawat yaitu:
a. Bahwa manusia adalah mahluk holistik yang terdiri dari komponen bio-psiko-
sosio dan spiritual.
b. Tujuan pemberian asuhan keperawatan adalah meningkatkan derajat kesehatan
manusia secara optimal.
c. Tindakan keperawatan yang diberikan merupakan tindakan kolaborasi antara
tim kesehatan, klein amuapun keluraga.
d. Tindakan keperawatan yang diberikan merupakan suatu metode pemecahan
masalah dengan pendekatan proses keperawatan.
e. Perawat bertanggung jawab dan bertanggung gugat.
f. Pendidikan keperawatan harus dilakukan secara terus-menerus.
(KEMENKES, 2016, p.12)
Pada Gambar 1.1berikut ini akan menjelaskan lebih rinci mengenai Skema Paradigma
keperawatan.

Klien / Manusia

Keperawatan Sehat sakit

Lingkungan

Gambar 1.1
Skema Paradigma keperawatan
Empat komponen dalam paradigma keperawatan meliputi : manusia, keperawatan,
lingkungan, dan kesehatan.

a. Manusia
Keperawatan jiwa memandang manusia sebagai mahluk holisstik yang terdiri
dari komponen bio – psiko – sosial dan spiritual merupakan satu kesatuan utuh dari
aspek jasmani dan rohani serta unik karena mempunyai berbagai macam kebutuhan
sesuai tingkat perkembangannya (Konsorsium Ilmu Kesehatan, 1992).
Kozier, (2000) mengatakan manusia adalah suatu sistem terbuka, yang selalu
berinteraksi dengan lingkungan eksternal dan internal agar terjadi keseimbangan
(homeoatatis), Paradigma keperawatan memandang manusia sebagai mahluk holistik,
yang merupakan sistem terbuka, sistem adaptif, personal dan interpersonal.
Sebagai sistem terbuka, manusia mampu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
lingkungannya, baik lingkungan fisik, biologis, psikologis maupun sosial dan
spiritual. Sebagai sistem adaptif manusia akan menunjukkan respon adaptif atau
maladaptif terhadap perubahan lingkungan. Respon adaptif terjadi apabila manusia
memiliki mekanisme koping yang baik dalam menghadapi perubahan lingkungan,
tetapi apabila kemampuan merespon perubahan lingkungan rendah, maka manusia
akan menunjukan prilaku yang maladaptif.
Manusia atau klien dapat diartikan sebagai individu, keluarga ataupun
masyarakat yang menerima asuhan keperawatan.

b. Keperawatan
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional sebagai bagian
integral pelayanan kesehatan yang dilakukan secara komprpehensif berbentuk
pelayanan biologis, psikologis, sosial, spiritual dan kultural, ditujukan bagi individu,
keluarga dan masyarakat sehat maupun sakit mencakup siklus hidup manusia.
Pemberian asuhan keperawatan dilakukan melalui pendekatan humanistik
yaitu menghargai dan menghormati martabat manusia dan menjunjung tinggi keadilan
bagi semua manusia. Keperawatan bersifat universal yaitu dalam memberikan asuhan
keperawatan seorang perawat tidak pernah membedakan klien berdasarkan atas ras,
jenis kelamin, usia, warna kulit, etnik, agama, aliran politik dan status ekonomi sosial.
Keperawatan menganggap klien sebagai partner aktif, dalam arti perawat selalu
bekerjasama dengan klien dalam memberikan asuhan keperawatan.
Asuhan keperawatan merupakan metode ilmiah yaang dalam pemberiannya
menggunakan proses terapeutik melibatkan hubungan kerja sama antara perawat
dengan klien, dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal (
Carpenito, 1989 dikutip oleh Keliat,1991). Proses keperawatan membantu perawat
melakukan praktik keperawatan, dalam menyelesaikan masalah keperawatan klien,
atau memenuhi kebutuhan klien secara ilmiah, logis, sistematis, dan terorganisasi.
Pada dasarnya, proses keperawatan merupakan salah satu teknik penyelesaian
masalah (Problem solving). Proses keperawatan merupakan proses yang dinamis,
siklik, saling bergantung, luwes, dan terbuka. Melalui proses keperawatan, perawat
dapat terhindar dari tindakan keperawatan yang bersifat rutin dan intuisis.
Melalui proses keperawatan, seorang perawat mampu memenuhi kebutuhan
Keperawatan Jiwa dan menyelesikan masalah klien berdasarkan prioritas masalah
sehingga tindakan keperawatan sesuai dengan kondisi klien, hal ini terjadi karena
adanya kerja sama antara perawat dan klien. Pada tahap awal, perawat sebagai
pemberi asuhan keperawatan memiliki peran yang lebih besar dari peran klien, namun
pada tahap selanjutnya peran klien menjadi lebih besar dibandingkan perawat
sehingga kemandirian klien dapat tercapai.
c. Kesehatan
Sehat adalah suatu keadaan dinamis, dimana individu harus mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi, baik perubahanpada lingkungan
internal maupun eksternal untuk memepertahankan status kesehatannya. Faktor
lingkungan internaladalah faktor yang bersal dari dalam individu yang mempengaruhi
kesehatan individu seperti varibel psikologis, intelektual dan spiritual serta proses
penyakit. Sedangkan faktor lingkungan eksternal adalah faktor – faktor yang berada
diluar individu dapat mempengaruhi kesehatan antara lain variabel lingkungan fisik,
hubungan sosial dan ekonomi.
Salah satu ukuran yang digunakan untuk menentukan status kesehatan adalah
rentang sehat sakit. Menurut model ini, keadaaan sehat selalu berubah secara konstan.
Kondisi kesehatan individu selalu berada dalam rentang sehat sakit, yaitu berada
diantara diantara dua kutub yaitu sehat optimal dan kematian. Apabila status
kesehatan bergerak kearah kematian, ini berarti individu berada dalam area sakit
(illness area), tetapi apabila status kesehatan bergerak ke arah sehat maka individu
berada dalam area sehat (wellness area).

d. Lingkungan
Yang dimaksud lingkungan dalam keperawatan adalah faktor eksternal yang
mempengaruhi perkembangan manusia, yaitu lingkungan fisik, psikologis, sosial.
budaya, status ekonomi, dan spiritual. Untuk mencapai keseimbangan, manusia harus
mampu mengembangkan strategi koping yang efektif agar dapat beradaptasi, sehingga
hubungan interpersonal yang dikembangkan dapat menghasilkan perubahan diri
individu (KEMENKES, 2016, p.14).
D. Konsep Koping
1. Sumber Koping
Sumber koping meliputi aset ekonomi, kemampuan dan keterampilan, teknik
pertahanan, dukungan sosial, serta motivasi.
2. Mekanisme Koping
Koping mekanisme adalah suatu usaha langsung dalam manajemen stres. Ada
tiga tipe mekanisme koping, yaitu sebagai berikut.
a. Mekanisme koping problem focus. Mekanisme ini terdiri atas tugas dan
usaha langsung untuk mengatasi ancaman diri. Contoh: negosiasi,
konfrontasi, dan mencari nasihat.
b. Mekanisme koping cognitively focus. Mekanisme ini berupa seseorang dapat
mengontrol masalah dan menetralisasinya. Contoh: perbandingan positif,
selective ignorance, substitution of reward, dan devaluation of desired
objects.
c. Mekanisme koping emotion focus. Pasien menyesuaikan diri terhadap distres
emosional secara tidak berlebihan. Contoh: menggunakan mekanisme
pertahanan ego seperti denial, supresi, atau proyeksi.

Mekanisme koping dapat bersifat konstruktif dan destruktif. Mekanisme


konstruktif terjadi ketika kecemasan diperlakukan sebagai sinyal peringatan dan
individu menerima sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah.
Mekanisme koping destruktif menghindari kecemasan tanpa
menyelasaikan konflik. Selain dapat dikategorikan dalam tiga tipe di atas,
mekanisme koping dapat dikategorikan sebagai task oriented reaction dan ego
oriented reaction. Task oriented reaction adalah berpikir serta mencoba berhati-
hati untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan konflik, dan memberikan
kepuasan. Task oriented reaction berorientasi dengan kesadaran secara langsung
dan tindakan. Sementara, ego ariented reaction sering digunakan untuk
melindungi diri. Reaksi ini sering disebut sebagai mekanisme pertahanan. Setiap
orang menggunakan mekanisme pertahanan dan membantu seseorang mengatasi
kecemasan dalam tingkat ringan sampai dengan sedang. Ego oriented reaction
dilakukan pada tingkat tidak sadar (Yusuf, 2015, p.24).

Mekanisme Koping Rasional


Rasionalisasi Berusaha membuktikan bahwa
perbuatannya (yang sebenarnya tidak
baik) rasional adanya, sehingga dapat
disetujui dan diterima oleh diri sendiri
dan masyarakat.
Contoh:
 Tidak mau bermain bulu tangkis
karena “badan kurang enak“ atau
“besok ada ujian” padahal
sebenarnya takut kalah
Identifikasi Menambah harga diri dengan
menyamakan dirinya dengan seorang
atau suatu hal yang dikaguminya.
Contoh:
 Anak merokok atau membaca koran
seperti kebiasaan ayahnya.
 Anak bersolek seperti ibunya.
 Bergaya “pahlawan” seperi bintang
film, atlet, penyanyi, dan
sebagainya.
Introyeksi Identifikasi yang berbentuk primitif.
Menyatukan nilai dan norma luar
dengan struktur egonya sehingga
individu tidak bergantung pada belas
kasihan tentang hal-hal yang dirasakan
sebagai ancaman.
Contoh: Memasukkan aspek
kepercayaan ke dalam pendiriannya
dalam menghadapi keadaan yang
mengancamnya.
Represi Secara tidak sadar menekan pikiran
yang berbahaya dan menyedihkan dari
alam sadar ke alam tidak sadar,
semacam penyingkiran.
Contoh: Melihat temannya meninggal.
Perilaku seolah-olah lupa kejadian
tersebut.
Supresi Individu secara sadar menolak
pikirannya keluar dari alam sadarnya
dan memikirkan hal yang lain. Supresi
tidak begitu berbahaya karena dilakukan
secara sengaja dan individu mengetahui
apa yang dibuatnya.
Regresi Mundur ke tingkat perkembangan yang
lebih rendah, dengan respons yang
kurang matang dan biasanya dengan
aspirasi yang kurang.
Contoh:
 Anak yang punya adik lagi. Perilaku
kakaknya menjadi isap jempol atau
ngompol untuk menarik perhatian.
 Orang dewasa bila ingin sesuatu
harus segera terpenuhi, bila tidak
akan marah-marah seperti anak
kecil.
 Pengantin baru bila ada kesukaran
sedikit saja dalam keluarga maka
lari ke ibu atau orang tua.
Proyeksi Menyalahkan orang lain mengenai
kesulitannya sendiri atau melemparkan
kepada orang lain keinginannya yang
tidak baik.
Contoh:
 Anak tidak lulus karena guru
sentimen.
 Suami berzina karena wanita lain
menggodanya.
 Pemain tidak baik permainannya
melihat raketnya
Penyusunan reaksi (reaksi formasi) Mencegah keinginan yang berbahaya
bila diekspresikan, dengan
melebihlebihkan sikap dan perilaku
yang berlawanan dan menggunakannya
sebagai rintangan.
Contoh: Fanatik dalam mengutuk
perjudian agar dapat menindas
kecenderungan diri ke arah itu.
Sublimasi Mencari pemuasan atau menghilangkan
keinginan seksual dalam kegiatan
nonseksual. Nafsu yang tidak terpenuhi
(terutama seksual) disalurkan kepada
kegiatan lain yang dapat diterima oleh
masyarakat.
Contoh: Individu yang belum atau tidak
kawin, berusaha mementingkan dan
mengejar karier untuk mendapat
kepuasan
Kompensasi Menutupi kelemahan dengan
menonjolkan sifat yang baik atau
frustasi terhadap satu bidang, bisa juga
mencari kepuasan secara berlebihan
dalam bidang lain.
Contoh: Individu tidak pintar, dia
berusaha dirinya menjadi jagoan
Pemindahan (displacement) Emosi atau fantasi terhadap seseorang
atau benda dicurahkan kepada
seseorang/benda lain yang biasanya
lebih kurang berbahaya dari semula.
Contoh: Anak dimarahi ibu, maka anak
ganti memukul adik.
Pelepasan atau penebusan (undoing) Meniadakan atau membatalkan suatu
pikiran. Kecenderungan atau tindakan
yang tidak disetujui/tidak bermoral.
Bentuk pelepasan/penebusan antara lain
meminta maaf, menyesalkan, memberi
pilihan, atau melakukan penitensi dan
menjalani hukuman
Contoh:
 Suami tidak setia memberi
bermacam hadiah pada istri.
 Pedagang/pegawai yang berbuat
tidak sesuai dengan etika, maka
memberi sumbangan besar untuk
kegiatan sosial.
Penyekatan emosional Mengurangi keterlibatan ego dan
menarik diri menjadi pasif untuk
melindungi diri sendiri dari kesakitan
atau kekecewaan.
Contoh: Tidak menaruh harapan terlalu
tinggi.
Isolasi (intelektualisasi, disosiasi) Suatu bentuk penyekatan emosional
karena beban emosi dalam suatu
keadaan yang menyakitkan, diputuskan,
atau diubah (distorsi). Contoh:
 Rasa sedih karena kematian orang
dekat, maka mengatakan “sudah
nasibnya” atau “sekarang ia sudah
tidak menderita lagi”.
 Dalam keadaan menyakitkan
berkata, “Biarlah tidak apa-apa”.
 Seorang pedagang yang kasar bisa
menjadi seorang ayah yang lemah
lembut.
Simpatisme Berusaha mendapatkan simpati dengan
cara menceritakan berbagai
kesukarannya, misalnya penyakit atau
kesusahan yang lain. Oleh karena bila
orang simpati maka harga diri
meningkat walaupun ada kegagalan.
Memberontak (acting out) Mengurangi kecemasan yang
dibangkitkan oleh berbagai keinginan
yang terlarang dengan membiarkan
ekspresinya dan melakukannya.
(Yusuf, 2015, p.27)
Daftar Rujukan

Baradero, M., et al. (2015). Kesehatan Mental, Psikiatri; Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta:
EGC
Jaya, K. (2015). Keperawatan Jiwa. Jakarta: Binarupa Aksara
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia
Prabowo, E. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika
Yusuf, A., at al. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai