Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stunting masih menjadi permasalahan gizi yang dialami oleh dunia.

Berdasarkan data statistik dalam World Health Statistics (2016), pada tahun

2015 diperkirakan 156 juta anak mengalami stunting. Prevalensi stunting

tertinggi berada di kawasan Afrika (38%), diikuti dengan kawasan Asia

Tenggara (33%). The Sustainable Development Goals (SDG’s) menargetkan

semua bentuk kekurangan gizi berakhir pada tahun 2030, termasuk

mencapai target global berakhirnya stunting dan wasting pada anak di bawah

5 tahun pada 2025, serta memenuhi gizi remaja putri, ibu hamil, ibu

menyusui, dan orangtua.

Pada tahun 2015, prevalensi stunting Indonesia mencapai angka

18.9% untuk balita stunting dan 10.1% untuk balita severe stunting

(Kemenkes RI, 2016). Angka tersebut mengalami penurunan pada balita gizi

pendek, dan pada balita gizi sangat pendek yang sangat drastis

dibandingkan dengan prevalensi pada tahun 2013. Pada tahun 2013,

prevalensi balita stunting sebesar 19.2% dan balita severe stunting sebesar

18% (Riskesdas, 2013).

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menduduki peringkat ke-21

nasional dengan prevalensi stunting sebesar 20.6% (Kemenkes RI, 2016).

Lebih rendah dibandingkan dengan angka nasional, namum masih menjadi

masalah yang harus ditanggulangi. Angka stunting tertinggi berada di

Kabupaten Sleman, menyusul Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul,

serta Kabupaten Kulon Progo dan Kota Yogyakarta menduduki peringkat

1
9
2

yang sama. Presentasi status gizi balita stunting Kabupaten Sleman pada

tahun 2015 mencapai angka 12,86%. Turun 0.01% setelah pada tahun 2014

angka stunting sebesar 12,87%.

Berdasarkan hasil skrining penilaian status gizi balita yang tercatat

dalam seluruh posyandu di Kecamatan Seyegan pada Bulan Agustus 2016,

ditemukan balita stunting sebanyak 579 dari total jumlah balita sebanyak

3019 balita. Angka yang cukup tinggi dibandingkan dengan angka Kabupaten

Sleman. Sekitar dua dari sepuluh balita mengalami stunting di Kecamatan

Seyegan.

Permasalahan stunting pada balita ini sering diabaikan oleh

masyarakat. Padahal stunting merupakan indikator kuat terjadinya kelaparan

dan kemiskinan dibandingkan dengan indikator antropometri lain. Stunting

menunjukkan kondisi kronis kekurangan gizi akibat proses kumulatif yang

dapat terjadi sejak masa kehamilan, masa bayi, masa kanak-kanak, dan

berlanjut sepanjang siklus kehidupan (Infodatin Kemenkes RI, 2015).

Stunting tidak hanya menghalangi seseorang memperoleh potensi

pertumbuhan fisik, namun juga kemampuan intelektual, bahkan

kesejahteraan. Stunting memberikan efek baik jangka pendek maupun

jangka panjang yang kaitannya tidak hanya pada level individu namun

sistemik. Sebagai konsekuensi jangka pendek dari stunting adalah terjadinya

morbiditas, mortalitas, dan kecacatan. Sementara jangka panjangnya berefek

pada ukuran tubuh ketika dewasa, produktivitas ekonomi, kemampuan

bereproduksi, bahkan penyakit metabolik dan kardiovaskular (Walraven,

2011).
3

Maka jelas, permasalahan stunting ini harus menjadi prioritas

penanggulangan dalam pembangunan nasional. Buruknya efek dari stunting

bahkan secara tegas mengharuskan hak untuk mendapat gizi yang cukup

diakui sebagai hak asasi manusia. Undang-Undang nomor 36 tahun 2009

secara tegas memuat tujuan pembinaan gizi yaitu tercapainya mutu gizi

perorangan dan masyarakat, melalui:

1. Perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang;

2. Perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan PHBS;

3. Peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan

kemajuan ilmu dan teknologi (Millennium Challege Account Indonesia,

2013).

Status gizi yang baik akan dicapai dengan perilaku makan yang positif

serta berbagai macam intervensi dan kebijakan yang mantap. Keterpaduan

dari lintas sektoral dan program kesehatan sangat mendukung upaya

peningkatan status gizi (Supariasa, 2012). Upaya-upaya tersebut sebenarnya

sudah banyak dilakukan, namum belum memberikan hasil yang

membanggakan. Hal ini disebabkan karena intervensi gizi yang dilakukan

masih dianggap kurang tepat, tidak cost effective dan belum lintas sektor (Ali,

2009).

Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang

sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan

(Millenium Change Account Indonesia, 2013). Melalui Posyandu tumbuh

kembang anak balita dapat dimonitoring setiap bulannya, sehingga dapat

dilihat apakah balita mengalami tumbuh kembang yang baik atau tidak.

Upaya pengembangan kualitas sumber daya manusia dengan


4

mengoptimalkan tumbuh kembang anak dapat dilaksanakan secara merata

apabila sistem pelayanan kesehatan yang berbasis masyarakat seperti

posyandu dapat dilakukan secara efektif, efisien, dan dapat menjangkau

semua sasaran yang membutuhkan layanan tumbuh kembang anak, ibu

hamil, ibu menyusui, dan ibu nifas (Depkes RI, 2006).

Efek sinergis dari stimulasi perkembangan dini anak, pola makan dan

pengasuhan yang baik, serta intervensi gizi, berpotensi menghasilkan

dampak yang lebih besar pada pertumbuhan dan perkembangan anak,

dibandingkan dengan intervensi tunggal (WHO 1999; Yousafzai et al. 2013

dalam Dewey, 2016). Keterpaduan dari lintas sektoral dan program

kesehatan sangat mendukung upaya peningkatan status gizi (Supariasa,

2012). Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk

meneliti lebih lanjut tentang “Hubungan keaktifan ke posyandu dengan

peningkatan status gizi pada balita stunting.”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan

penelitian, yaitu “Apakah terdapat hubungan antara keaktifan ke posyandu

dengan peningkatan status gizi pada balita stunting 6-59 bulan di wilayah

kerja Puskesmas Seyegan?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan keaktifan ke posyandu dengan peningkatan status

gizi pada balita stunting selama 6 bulan di wilayah kerja Puskesmas

Seyegan, Kabupaten Sleman.


5

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi peningkatan status gizi pada balita stunting selama

6 bulan

b. Mengidentifikasi hubungan keaktifan balita stunting ke posyandu

dengan peningkatan status gizinya

c. Mengidentifikasi faktor-faktor lain yang berhubungan dengan

peningkatan status gizi balita stunting seperi penyakit infeksi, riwayat

ASI eksklusif, riwayat BBLR, riwayat PBLR, pendidikan ibu, dan

pekerjaan ibu

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

a. Peneliti dapat menggali lebih dalam ilmu gizi berkaitan dengan

penelitian yang dilakukan.

b. Peneliti mendapat kesempatan untuk menerapkan ilmu yang sudah

diberikan selama perkuliahan.

c. Peneliti mendapat sampel gambaran nyata kondisi gizi anak-anak

Indonesia

d. Peneliti mendapat kesempatan terjun langsung ke masyarakat.

2. Bagi Pengampu Kebijakan (Pemerintah)

Penelitian ini membantu proses evaluasi kebijakan pemerintah

khususnya pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan

pemerintah Kabupaten Sleman dalam hal upaya promotif dan preventif

kejadian stunting.
6

3. Bagi Masyarakat

Masyarakat (khusunya ibu) menyadari betul akan perannya, sehingga

akan berusaha meningkatkan kualitas diri dan melakukan yang terbaik

untuk anaknya.

4. Bagi Peneliti Lain

Semoga penelitian ini bisa dijadikan acuan atau rujukan untuk penelitian

yang lebih mendalam.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian sejenis yang pernah dilakukan diantaranya:

1. Anwar, Faisal., Khomsan, Ali., Sukandar, Dadang., Riyadi, Hadi.,

Mudjajanto, Eddy S (2010). High Participation in the Posyandu Nutrition

Program Improved Children Nutritional Status.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status gizi dan asupan

baita yang berkeaktifan dalam posyandu. Berdasarkan hasil penelitian

ini disimpulkan bahwa aktivitas di Posyandu mempunyai dampak positif

pada status gizi balita, dilihat berdasarkan berat badan menurut usia

(BB/U), dan berat badan menurut tinggi (BB/TB). Semakin tinggi

frekuensi kunjungan ke posyandu, semakin baik status gizi balita.

Persamaan: Persamaan terletak pada salah satu variabel independen

berupa keaktifan dalam posyandu

Perbedaan: Perbedaan terletak pada disain penelitian, dan lokasi

penelitian

2. Wasaraka, Yulia Nuradha Kartosiana., Prawirohartono, Endy Peryanto.,

Soenarto, Yati (2015). Perbedaan Proporsi Stunting pada Anak Usia 12-
7

24 Bulan Berdasarkan Pemanfaatan Pelayanan Posyandu di Kabupaten

Jayapura, Papua.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan proporsi

stunting pada anak usia 12-24 bulan berdasarkan pemanfaatan

pelayanan posyandu di Kabupaten Jayapura. Jenis penelitian

observasional dengan desain cross sectional. Berdasarkan hasil

penelitian ini disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi stunting

berdasarkan pemanfaatan pelayanan posyandu.

Persamaan: Persamaan terletak pada salah satu variabel independen

berupa pemanfaatan pelayanan posyandu

Perbedaan: Perbedaan terletak pada disain penelitian, lokasi

penelitian, dan rentang usia

3. Destiadi, Alfian., Nindya, Triska Susila., Sumarmi, Sri. (2015) Frekuensi

Kunjungan Posyandu dan Riwayat Kenaikan Berat Badan sebagai

Faktor Resiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 3-5 Tahun.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang

berhubungan dengan status gizi balita stunting yaitu frekuensi

kunjungan ke posyandu dan kenaikan berat badan. Penelitian ini bersifat

analitik yang dilakukan secara case control. Berdasarkan hasil penelitian

ini disimpulkan bahwa frekuensi kunjungan posyandu yang rendah

merupakan faktor yang paling dominan terhadap kejadian stunting pada

balita usia 3-5 tahun.

Persamaan: Persamaan terletak pada salah satu variabel independen

berupa frekuensi kunjungan posyandu


8

Perbedaan: Perbedaan terletak pada disain penelitian dan lokasi

Penelitian

4. Welasasih, Bayu Dwi., Wirjatmadi, R. Bambang. (2012) Beberapa

Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita Stunting

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang

berhubungan dengan status gizi balita stunting baik langsung maupun

tidak langsing di Desa Kembangan, Kecamatan Kebomas, Kabupaten

Gresik. Penelitian ini bersifat analitik yang dilakukan secara cross

sectional. Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa faktor

umur, jenis konsumsi, tingkat kehadirana ke posyandu, frekuensi sakit,

dan lama sakit berhubungan secara bermakna dengan terjadinya status

gizi stunting pada balita.

Persamaan: Persamaan terletak pada salah satu variabel independen

berupa tingkat kehadiran ke posyandu

Perbedaan: Perbedaan terletak pada disain penelitian dan lokasi

Penelitian

Anda mungkin juga menyukai