Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA MISKIN DI


KAWASAN PESISIR

Tugas Mata Kuliah


“WAWASAN KEMARITIMAN”

DOSEN
Prof. Dr. Ir. R. Marsuki Iswandi, M.Si

OLEH :

MARINA
NPM. G2C1 18 084
KELAS. B

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK


PASCA SARJANA MAGISTER (S2)
UNIVERSITAS HALU OLEO
TAHUN AKADEMIK 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
tentang MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA MISKIN DI KAWASAN PESISIR ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih
pada Prof. Dr. Ir. R. Marsuki Iswandi, M.Siselaku Dosen mata kuliah Wawasan
Kemaritiman yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Wawasan Kemaritiman terutama terkait
dengan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir, dan juga bagaimana dapat Langkah-langkah
dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di kawasan pesisir. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari
kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan dari segi
langkah dan sestematika dalam penulisan makalah ini khususnya dari dosen yang
bersangkutan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda
demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Kendari, 30 Maret 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i


KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penulisan ...................................................................................... 4
1.5 Ruang Lingkup Pembahasan ........................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep Wilayah Pesisir ................................................................................ 6
2.1.1 Karakteristik Wilayah Pesisir .............................................................. 6
2.1.2 Komponen Wilayah Pesisir ................................................................. 7
2.1.3 Sumber Daya Wilayah Pesisir ............................................................. 8
2.2 Keluarga Miskin dan Masyarakt Miskin di Kawasan Pesisir ........................ 13
2.3 Upaya Peningkatan Kesejahteraan Keluarga Misikin .................................. 16
2.3.1 Pendekatan Pemberdayaan ............................................................... 16
2.3.2 Peran Penting Pemerintah ................................................................. 18
2.3.3 Statregi Pemberdayaan ...................................................................... 20
2.3.4 Penerapan UU No.27 Tahun 2007...................................................... 21

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 25
3.2 Saran ............................................................................................................ 26

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan di
tengah masyarakat, khususnya masyarakat pesisir menjadi fakta nyata dalam
perkembangan pembangunan Indonesia. Selama bertahun-tahun
perekonomian makro kelihatan bertumbuh namun di balik pertumbuhan itu
tersembunyi persoalan sensitif yang dapat menimbulkan konflik horizontal
dan vertikal di tengah bangsa.
Pemerintah Indonesia seharusnya berupaya mencapai tujuan
pembangunan,yakni struktur masyarakat Indonesia yang sejahtera.
Masyarakat sejahtera adalah masyarakat yang memiliki kualitas hidup yang
baik, diukur antara lain dari pemerataan dan keterjangkauan pendidikan,
pelayanan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan hidup baik primer maupun
sekunder (Gumelar, 1998).
Sayangnya, para penyelenggara negara terlalu asyik terbuai oleh
perubahan- perubahan fisik yang nampak serta dianggap sebagai keberhasilan
pembangunan. Pemerintah menganggap pertumbuhan GNP sudah
merepresentasikan kondisi perekonomian yang ada di tengah masyarakat.
Pemerintah memprioritaskan pembangunan investasi besar seperti
pelabuhan, jalan, dan kawasan industri, namun kurang memberi porsi yang
sepadan untuk pembangunan terhadap masyarakat menengah ke bawah.
Padahal pertumbuhan ekonomi Indonesia juga harus selaras dengan
ketersediaan kebutuhan pokok dan tambahan di dalam setiap keluarga
Indonesia sehingga setiap penduduk dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya.
Kebanyakan masyarakat pesisir Indonesia, terkhusus masyarakat nelayan
ternyata masih belum mendapatkan nilai lebih dari potensi kekayaan sumber
daya laut Indonesia. Masyarakat nelayan umumnya masih jauh dari sejahtera

1
yang ditunjukkan dari pendidikan keluarga nelayan yang rendah dan tidak
dapat memenuhi standar kesehatan maupun kebutuhan sehari-hari.
Menurut Mulyadi (2005) ada empat masalah pokok yang menjadi
penyebab dari kemiskinan, yaitu kurangnya kesempatan (lack of opportunity),
rendahnya kemampuan (low of capabilities), kurangnya jaminan (low level-
security), dan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik sehingga
menyebabkan kerentanan (vulnerability), keterpurukan (voicelessness), dan
ketidakberdayaan (powerlessness) dalam segala bidang.
Ketika pemerintah ingin menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim
Dunia, namun masyarakat pesisir, khususnya masyarakat nelayan justru hanya
menjadi penonton saja. Produksi hasil laut yang diperoleh nelayan sangatlah
minim jika dibandingkan potensi sumber daya laut yang berada di lingkungan
sekitar nelayan tersebut. Kebijakan tegas yang dilakukan Kementerian
Kelautan dan Perikanan dalam menindak ilegal fishing dan kejahatan laut
lainnya ternyata belum cukup untuk mengembalikan citra Indonesia sebagai
masyarakat bahari dan maritim. Kebijakan ini seharusnya dilanjutkan upaya
dari pemerintah untuk meningkatkan daya saing masyarakat pesisir,
khususnya nelayan sehingga pengelolaan wilayah pesisir dan laut dapat
dilakukan bersama-sama.
Maka dari itu, sering kita melihat fenomena potensi pesisir dan pulau-
pulau kecil yang seringkali tidak berbanding lurus dengan tingkat
kesejahteraan masyarakat yang ada di dalamnya. Nelayan seringkali
dipandang sebagai salah satu kelompok masyarakat yang identik dengan
kemiskinan. Anggapan ini patut direnungkan bersama. Pada tahun 2008,
tercatat keberadaan masyarakat pesisir di Indonesia, tersebar di 10.639 desa
pesisir, dimana masyarakat miskinnya berjumlah kurang lebih 10 juta jiwa,
terdiri dari 7,8 juta penduduk miskin dan 2,2 juta penduduk sangat miskin.
Tahun 2011, masyarakat miskinnya bertambah menjadi 14,7 juta penduduk.
Hal tersebut menimbulkan sebuah ironi bagi kita semua karena bagaimana

2
bisa, sebuah negeri dengan kekayaan laut yang begitu melimpah malah tidak
memberikan kesejahteraan bagi para nelayan dan masyarakat pesisir? Apa
sebenarnya yang menjadi masalah?
Kemiskinan di wilayah pesisir sering pula memicu sebuah lingkaran setan
karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan
pesisir, namun mereka pula yang akan menanggung dampak dari kerusakan
lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktek
perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. Mengingat
kenyataan bahwa struktur usaha perikanan tangkap sejauh ini memang masih
didominasi oleh usaha skala kecil. Sebagian besar nelayan yang tergolong
miskin merupakan nelayan tradisional yang memiliki keterbatasan kapasitas
penangkapan baik penguasaan teknologi, metode penangkapan, maupun
permodalan.Kategorisasi nelayan tradisional dan modern ini luput dari
pertimbangan pemerintah dalam memformulasikan kebijakan yang mengatur
masyarakat nelayan.
Pada era Kementerian Kelautan dan Perikanan yang baru pada
Pemerintah Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Menteri
Nomor 2/Permen-KP/2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan
ikan pukat hela dan pukat tarik yang kemudian direspon oleh nelayan dalam
bentuk protes. Masalahnya, Peraturan Menteri itu bukan hanya membatasi
penggunaan pukat, namun juga berpotensi terhadap hilangnya mata
pencaharian nelayan tradisional yang sangat bergantung pada penggunaan
peralatan penangkapan ikan. Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman
dan penangkapan ikan karang dengan pukat masih jauh lebih besar dari
pendapatan mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya perbedaan
pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan
ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di
wilayah pesisir itu sendiri.

3
Berdasarkan Latar belakang diatas tersebut menjadi tugas bersama kita
sebagai akademisi untuk dalam memberikan sumbangsi pikiran dalam upaya
peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di kawasan pesisir dengan
melakukan langkah-langkah diskusi-diskusi diperguruan tinggi dan diskusi
dilingkungan eksternal lainnya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka yang menjadi pokok
permasalahan sebagai kajian dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Apa yang menjadi arti dari Wilayah Pesisir itu sendiri ?
2. Seperti apa keluarga miskin dan Masryakat di Wilayah Pesisir itu ?
3. Upaya apa saja yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan
keluarga miskin di Kawasan Pesisir ?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu :
1. Untuk Memahami arti dari pada wilayah pesisir itu sendiri !
2. Untuk Mengetahuai seperti apa kategori keluarga miskin di kawasan pesisir
!
3. Untuk mengetahui Upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah
dalam meingkatkan kesejahteraan keluarga miskin di wikayah pesisir;
1.4 Manfaat Penulisan
Adapu manfaat dalam penulisan makalah ini adalah yaitu secara individu
saya pribadi dapat mengetahui bagaimana kehidupan seorang nelayana
sepenuuhnya dalam menopang kehidupan ekonomi, selain itu juga menjadi
literasi bagi saya dalam mengembangkan wawasan kemaritiman saya sehingga
ketika kedepan saya bisa mengeksplokasi ilmu dan pengetahuan yang menjadi
pembelajaran saya di lungkup akademik.

4
Selain itu, manfaat umum yang menjadi perhatian mahasiswa lain yaitu
menjadi referensi bagi mereka dalam membuat makalah terkait judul tersebut,
sehingga apa yang menjadi penyajian dalam penulisan makalah ini dapat
berguna pula dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan yang akan
dating.
1.5 Ruang Lingkup Penulisan
Pada penulisa makalah sesuai tema yang diberikan oleh dosen Pembina mata
kuliah yakni “Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga Miskin di Wilayah Pesisir
Indonesia” dengan focus pembahasan terkait dengan kerangka sebagai berikut
:
2.1 Menjelaskan Konsep Wilayah Pesisir Indoensia
2.2 Menjelaskan Keluarga miskin dan Masyarakat nelayan di Wilayah Pesisir.
2.3 Menjelaskan Upaya Pemerintah dalam Meningktakan Kesejahteraan
Keluarga Miskin di Kawasan Pesisir Indonesia

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Wilayah Pesisir
2.1.1 Karakteristik Wilayah Pesisir
Pesisir adalah tempat dimana daratan dan lautan bertemu. Bila garis
pertemuan ini tidak bergerak/pindah, mendefinisikan pesisir menjadi hal yang
mudah, hanya akan berarti suatu garis pada peta namun proses alami yang
membentuk pesisir sangatlah dinamis, bervariasi baik dalam hal ruang maupun
waktu. Jadi, garis yang menyatukan daratan dan lautan bergerak/pindah
secara konstan, dengan pasang surut ombak, dan lewatnya badai,
menciptakan suatu wilayah interaksi antara daratan dan lautan.
Terdapat dari bagian-bagian dari lingkungan pesisir yang jelas-jelas
memiliki interaksi yang kuat antara daratan dan lautan, termasuk pesisir, rawa-
rawa, bakau dan batu-batu karang; bagian-bagian lain mungkin lebih jauh dari
pesisir (pedalaman atau laut bebas), namun begitu bagian-bagian tersebut
memainkan peranan yang penting dalam membentuk pesisir. Salah satu yang
terpenting diantaranya adalah sungai-sungai yang merupakan air tawar dan
endapan untuk lingkungan pesisir. Dalam hal ini, batas pedalaman dengan
pesisir merupakan batas-batas penangkapan yang mungkin jaraknya beribu-
ribu kilometer ke arah pedalaman pada bagain depan dari daerah
penangkapan.
Karenanya, pesisir mungkin dianggap sebagai daerah yang
memperlihatkan suatu hubungan antara daratan dan lautan, dan suatau
daerah pesisir didefinisikan (Ketchum, 1972) sebagai tanda dari daratan kering
dan ruang lautan yang berbatasan dengannya (perairan dan daratan yang
sebagian tenggelam), dimana proses-proses teresterial dan penggunaan-
penggunaan daratan secara langsung mempengaruhi proses-proses dan
pemanfaatan kelautan dan terestrerial; daerah pesisir terdiri dari daratan yang

6
berinteraksi dengan lautan, dan ruang lautan yang berinteraksi dengan
daratan.
Jadi daerah pesisir merupakan Terdiri dari komponen daratan dan
komponen lautan, Memiliki batas-batas daratan dan lautan yang ditentukan
oleh tingkat pengaruh dari daratan terhadap lautan dan lautan terhadap
daratan, Tidak seragam dalam hal kelebaran, kedalaman atau ketinggian. Tiga
faktor yang memperlihatkan, untuk pesisir berpasir, kekuatan dari interaksi
antara proses-proses dan pemanfaatan-pemanfaatan pesisir dan laut, yang
disini disebut sebagai “tingkat kepesisiran”, terdapat jarak dari pesisir, dapat
juga diterapkan pada lingkungan-lingkungan pesisir lainnya, seperti delta,
sistem pesisir/rintangan dan pesisir muara, dimana berbagai proses fisik dan
biologi dari lingkungan tersebut akan menetukan “tingkat kepesisirannya”.
Misalnya, pada pesisir delta, faktor-faktor penentu yang penting akan
merupakan tingkat penetrasi air asin ke permukaan air tawar dan sistem air
tanah, serta jarak ke arah laut menuju endapan teresterial.

2.1.2 Komponen Wilayah Pesisir

Seperti halnya wilayah pesisir lain dalam permukaan bumi, wilayah


pesisir memiliki aspek keruangan. Wilayah pesisir terjadi karena mekanisme
yang bekerja dalam batas bentang alam tertentu, yaitu : proses geomorfologis
yang terjadi dalam rentang waktu yang sangat lama, pola kolonisasi organisme,
serta perubahan yang sifatnya lokal dalam rentang waktu yang relatif pendek,
baik alami maupun gangguan aktivitas manusia. Wilayah pesisir dengan
demikian adalah suatu bentang alam yang distinct, suatu unit terukur yang
ditentukan oleh kelompok ekosistem yang saling berinteraksi dimana
kelompok ini berulang, baik dalam skala temporal, proses geomorfologi yang
berulang, serta regim perubahannya (Forman and Gordon, 1986). Dengan
demikian, komponen sistem wilayah pesisir dapat ditelaah dari segi :

7
a. Struktur hubungan keruangan antara ekosistem yang distinct atau elemen-
elemen yang ada. Lebih spesifik, struktur keruangan dilihat dari distribusi
energi, materi, serta spesies yang berkaitan dengan besar, bentuk, jumlah,
jenis, serta konfigurasi dari ekosistem tersebut.
b. Fungsi : interaksi antara elemen spasial yang berkaitan dengan aliran
energi, material, spesies, serta proses yang dipicu oleh kegiatan manusia
dalam elemen ekosistem tersebut.
c. Perubahan : aksi yang menyebabkan perubahan struktur dan fungsi
ekologis sejalan dengan waktu

2.1.3 Sumber Daya Wilayah Pesisir


Secara umum, banyak potensi yang terdapat di pesisir dan kelautan yang
memiliki karakteristik yang sangat spesifik. Dikatakan spesifik, karena memiliki
keanekaragaman biota laut (ikan dan vegetasi laut) dan potensi lainnya seperti
kandungan bahan mineral. Sumberdaya pesisir dan kelautan dapat dibedakan
secara biotik dan abiotik.
a. Sumberdaya Biotik
merupakan sumberdaya yang bersifat biologis atau merupakan
makhluk hidup. Secara biotik, sumberdaya pesisir dan kelautan adalah :
1. Ikan dan Hewan Laut Lainnya
Dalam definisi Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang
perikanan, dikatakan bahwa ikan adalah segala jenis organisme yang
seluruh atau sebahagian hidupnya berada dalam lingkungan perairan.
Sumberdaya perikanan, merupakan hasil kekayaan laut yang memiliki
potensi besar untuk menambah devisa Negara. Selain ikan, hewan laut
lainnya banyak yang dapat dimanfaatkan terutama untuk dikonsumsi,
seperti kerang, cumi-cumi, lobster, dan lainnya. Untuk setiap karakteristik
wilayah pesisir memiliki sumberdaya ikan yang berbeda-beda. Sumberdaya
ikan dan hewan laut lainnya banyak berada pada zona neritik atau laut

8
dangkal dimana kondisi di zona tersebut sangat mendukung bagi
kehidupan ikan dan hewan lautnya seperti ketersediaan cahaya matahari,
kekuatan arus, dan keberagaman vegetasi yang hidup debagai suatu
kesatuan ekosistem. (Raharjo Adisasmita, 2006).
2. Tumbuhan Laut
Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung
kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi
ekologis sebagai penyedia nutrient bagi biota perairan, tempat pemijahan
dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan amukan angin
taufan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain
sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti
penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat-obatan, dan lain-
lain. Ekosistem bakau banyak terdapat di bagian-bagaian pulau-pulau yang
terlindung dan menyebar hampir disetiap kelompok pulau, seperti
Karimun, Batam, Bintan, Siantan, Tambelan, Singkep/Selayar. Jenis hutan
bakau yang umumnya ditemukan antara lain : Rhizophora, Soneratia dan
Avicenia.
Pengertian mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau
suatau individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di
daerah pasang surut. Hutan mangroove adalah tipe hutan yang secara
alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang
naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem
mangroove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan
abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangroove.

Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem subur yang
terdapat di beberapa wilayah pesisir Indonesia. Ekosistem ini di bentuk
oleh komunitas karang dan berbagai biota laut yang berasosiasi dengan

9
karang. Dalam hal evaluasi terhadap kondisi ekosistem terumbu karang,
kriteria yang dikembangkan berupa tutupan karang.
Ekosistem terumbu karang dikatakan buruk apabila mempunyai
karang hidup sebesar 0-24,9 %, sedang apabila tutupan karang hidup 25-
49,9 %, dikatakan bagus apabila tutupan karang hidup 50-74,9 % dan
dikatakan sangat bagus apabila mempunyai tutupan karang hidup > 75 %
(Raharjo Adisasmita, 2006).

Rumput Laut dan Lamun (Seagrass)

Perairan dangkal di beberapa pulau di Indonesia mempunyai


beberapa jenis rumput laut dan lamun. Tumbuhan laut yang terdiri dari
kelompok lamun dan rumput laut hampir menyebar di seluruh kelompok
pulau dan berasosiasi dengan ekosistem hutan bakau dan terumbu karang.
Jenis-jenis lamun yang dijumpai di Kepulauan Riau antara lain : Cymodocea
rotundata, C. serrulata, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Holodule
pinnifolia, H. Uninervis, Holophila ovalis, Syringodium isoetifolum dan
Thalassodendrum ciliatum. Sedangkan jenis rumput laut yang banyak
ditemukan di rataan terumbu karang maupun lamun antara lain kelompok
algae merah (Gelidiella, Hypnea, Gracilaria, Neoginiolithon,
Lithothamnion, Dictyota, Laurencia, Fauche), kelompok alga hijau
(Caulerpa, Halimeda, Cahemorpha, Udoea, Chlorodermis, Valonia, Ulva)
dan kelompok alga coklat (Sargassum, Padina, Turbinaria).

b. Sumber Daya Abiotik


Air Laut
Air laut mengandung 3,5 % garam-garam, gas-gas terlarut, bahan-
bahan organik dan partikel-partikel tak terlarut. Keberadaan garam-
garaman mempengaruhi sifat fisis air laut (seperti: densitas,
kompresibilitas, titik beku, dan temperatur dimana densitas menjadi
maksimum) beberapa tingkat, tetapi tidak menentukannya. Beberapa sifat

10
(viskositas, daya serap cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh
salinitas. Dua sifat yang sangat ditentukan oleh jumlah garam di laut
(salinitas) adalah daya hantar listrik (konduktivitas) dan tekanan osmosis.
Garam-garaman utama yang terdapat dalam air laut adalah klorida
(55 %), natrium (31 %), sulfat (8 %), magnesium (4 %), kalsium (1 %),
potassium (1 %) dan sisanya (kurang dari 1 %) terdiri dari bikarbonat,
bromide, asam borak, strontium dan florida. Tiga sumber utama garam-
garaman di laut adalah pelapukan batuan di darat, gas-gas vulkanik dan
sirkulasi lubang-lubang hidrotermal (Hydrothermal vents) di laut dalam.
Secara ideal, salinitas merupakan jumlah dari seluruh garam-garaman
dalam gram pada setiap kilogram air laut, oleh karena itu penentuan harga
salinitas dilakukan dengan meninjau komponen yang terpenting saja yaitu
klorida (CI). Kandungan klorida pada satu kilogram air laut jika semua
halogen digantikan oleh klorida. Penetapan ini mencerminkan proses
kimiawi titrasi untuk menentukan kandungan klorida.
Angin Laut
Angin ini terjadi di daerah pantai yang diakibatkan adanya
perbedaan sifat daratan dan lautan. Pada malam hari daratan lebih dingin
daripada lautan sehingga di daratan merupakan daerah maksimum yang
menyebabkan terjadinya angin darat. Sebaliknya, pada siang hari terjadi
angin laut.
Gelombang Laut
Gelombang selalu menimbulkan sebuah ayunan air yang bergerak
tanpa henti- hentinya pada permukaan air laut dan jarang dalam sama
sekali diam. Secara teori, pengertian gelombang laut (ideal) adalah
pergerakan naik turunnya muka air laut yang membentuk lembah dan
bukit mengikuti gerak sinusoidal.

11
Penyebab terjadi gelombang laut dipengaruhi beberapa faktor
berikut :
a. Kecepatan angin,
b. Lama anginnya bertiup dan luas daerah yang terkena pengaruh,
c. Kedalaman air laut,
d. Adanya getaran kulit bumi di dasar laut,
e. Tetapi faktor utamanya karena angin dan gempa.
Minyak Laut Sumber energi yang banyak digunakan untuk memasak,
kendaraan bermotor dan industri berasal dari minyak bumi, gas alam dan
batu bara. Ketiga jenis bahan bakar tersebut berasal dari pelapukan sisa-
sisa organisme, sehingga disebut bahan bakar fosil. Minyak bumi dan gas
alam berasal dari jasad renik lautan, tumbuhan dan hewan yang mati
sekitar 150 juta tahun yang lampau. Sisa-sisa organism itu mengendap di
dasar lautan yang kemudian ditutupi oleh lumpur. Lapisan lumpur tersebut
lambat laun berubah menjadi batuan karena pengaruh suhu dan tekanan
lapisan di atasnya. Sementara itu, dengan meningkatnya tekanan dan
suhu, bakteri anaerob menguraikan sisa-sisa jasad renik itu dan
mengubahnya menjadi minyak dan gas. Proses pembentukan minyak dan
gas ini memakan waktu jutaan tahun. Minyak dan gas yang terbentuk
meresap dalam batuan yang berpori bagaikan air dalam batu karang.
Minyak dan gas dapat pula bermigrasi dari suatu daerah ke daerah lain,
kemudian terkonsentrasi jika terhalang oleh lapisan yang kedap. Walaupun
minyak bumi dan gas alam terbentuk di dasar lautan, banyak sumber
minyak dan gas yang terdapat di daratan. Hal ini terjadi karena pergerakan
kulit bumi, sehingga sebagian lautan menjadi daratan.

2.2 Keluarga Miskin dan Masyarakat Miskin di kawasan Pesisir

12
Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal
di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara
langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Definisi inipun bisa
juga dikembangkan lebih jauh karena pada dasarnya banyak orang yang
hidupnya bergantung pada sumberdaya laut. Mereka terdiri dari nelayan
pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya,
pedagang ikan, pengolah ikan, supplier faktor sarana produksi perikanan.
Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa
pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang
memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong
kehidupannya.
Nelayan adalah suatu fenomena sosial yang sampai saat ini masih
merupakan tema yang sangat menarik untuk didiskusikan. Membicarakan
nelayan hampir pasti isu yang selalu muncul adalah masyarakat yang marjinal,
miskin dan menjadi sasaran eksploitasi penguasa baik secara ekonomi
maupun politik. Kemiskinan yang selalu menjadi “trade mark” bagi nelayan
dalam beberapa hal dapat dibenarkan dengan beberapa fakta seperti kondisi
pemukiman yang kumuh, tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah,
rentannya mereka terhadap perubahan-perubahan sosial, politik, dan
ekonomi yang melanda, dan ketidakberdayaan mereka terhadap intervensi
pemodal, dan penguasa yang datang.
Kemiskinan yang merupakan indikator ketertinggalan masyarakat
pesisir ini disebabkan paling tidak oleh tiga hal utama, yaitu kemiskinan
struktural, kemiskinan super-struktural, dan kemiskinan kultural.
a. Kemiskinan struktral
Kemiskinan Struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena
pengaruh faktor atau variabel eksternal di luar individu. Variabel-variabel
tersebut adalah struktur sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif
atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan,

13
ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya pembangunan
khususnya sumberdaya alam. Hubungan antara variabel-variabel ini dengan
kemiskinan umumnya bersifat terbalik. Artinya semakin tinggi intensitas,
volume dan kualitas variabel-variabel ini maka kemiskinan semakin berkurang.
Khusus untuk variabel struktur sosial ekonomi, hubungannya dengan
kemiskinan lebih sulit ditentukan. Yang jelas bahwa keadaan sosial ekonomi
masyarakat yang terjadi di sekitar atau di lingkup nelayan menentukan
kemiskinan dan kesejahteraan mereka.
b. Kemiskinan super-struktural
Kemiskinan Super-Struktural adalah kemiskinan yang disebabkan
karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada
pembangunan nelayan. Variabel-variabel superstruktur tersebut diantaranya
adanya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan
perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang diimplementasikan
dalam proyek dan program pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini
sangat sulit diatasi bila saja tidak disertai keinginan dan kemauan secara tulus
dari pemerintah untuk mengatasinya. Kesulitan tersebut juga disebabkan
karena kompetisi antar sektor, antar daerah, serta antar institusi yang
membuat sehingga adanya ketimpangan dan kesenjangan pembangunan.
Kemiskinan super-struktural ini hanya bisa diatasi apabila pemerintah, baik
tingkat pusat maupun daerah, memiliki komitmen khusus dalam bentuk
tindakan-tindakan yang bias bagi kepentingan masyarakat miskin. Dengan kata
lain affirmative actions, perlu dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun
daerah.
c. Kemiskinan Kultural
Kemiskinan Kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena
variabel-variabel yang melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu.
Akibatnya sulit untuk individu bersangkutan keluar dari kemiskinan itu karena
tidak disadari atau tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan. Variabel-

14
variabel penyebab kemiskinan cultural adalah tingkat pendidikan,
pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-
pandangan tertentu, serta ketaatan pada panutan. Kemiskinan secara
struktural ini sulit untuk diatasi. Umumnya pengaruh panutan (patron) baik
yang bersifat formal, informal, maupun asli (indigenous) sangat menentukan
keberhasilan upayaupaya pengentasan kemiskinan kultural ini. Penelitian di
beberapa negara Asia yang masyarakatnya terdiri dari beberapa golongan
agama menunjukkan juga bahwa agama serta nilai-nilai kepercayaan
masyarakat memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap status sosial
ekonomi masyarakat dan keluarga.
Jika dikaji lebih dalam terdapat beberapa aspek yang menyebabkan
terpeliharanya kemiskinan masyarakat di pesisir. Di antaranya, kebijakan
pemerintah yang tidak memihak masyarakat miskin. Banyak kebijakan terkait
penanggulangan kemiskinan di pesisir bersifat top down dan selalu
menjadikan masyarakat sebagai obyek bukan subyek. Demikian pula kondisi
bergantung pada musim sangat berpengaruh pula pada tingkat kesejahteraan
nelayan.
Akibat anomali iklim dalam tiga tahun terakhir ini waktu melaut
nelayan hanya 180 hari dalam setahun. Rendahnya Sumber Daya Manusia
(SDM) dan peralatan yang digunakan berpengaruh pula pada cara menangkap
ikan. Sementara keterbatasan dalam pemahaman teknologi menjadikan
kualitas dan kuantitas tangkapan tidak mengalami perbaikan.
Kondisi lain yang turut berkontribusi memperburuk tingkat
kesejahteraan nelayan adalah kebiasaan atau pola hidup konsumtif.
Umumnya masyarakat pesisir ketika hasil tangkapannya sedang baik akan
menghabiskannya dalam waktu singkat. Sebaliknya ketika paceklik peralatan
apa saja di rumah akan dijual dengan harga murah. Di sisi lain pengelolaan dan
pemanfaatan potensi sumber daya kelautan dan pesisir selalu beriringan
dengan kerusakan lingkungan dan habitat seperti terumbu karang, hutan

15
mangrove, dan padang lamun. Parahnya kerusakan ekosistim pesisir semakin
memengaruhi kuantitas hasil tangkapan nelayan. Masalah kemiskinan
masyarakat pesisir pada dasarnya bersifat multidimensi sehingga untuk
menyelesaikannya diperlukan rekayasa sosial. Bukan solusi secara parsial.

2.3 Upaya Peningkatan Kesejahteraan Keluarga Miskin di Wilayah Pesisir


2.3.1 Pendekatan Pemberdayaan
Dalam Upaya mengatasi permasalahan kemiskinan masyarakat pesisir,
maka paling tidak pendekatan pemberdayaan baru saja diimplementasikan
dikawasan pesisir Indonesia yaitu (1) penciptaan lapangan kerja alternatif
sebagai sumber pendapatan lain bagi keluarga, (2) mendekatkan masyarakat
dengan sumber modal dengan penekanan pada penciptaan mekanisme
mendanai diri sendiri (self financing mechanism), (3) mendekatkan
masyarakat dengan sumber teknologi baru yang lebih berhasil dan berdaya
guna, (4) mendekatkan masyarakat dengan pasar, serta (5) membangun
solidaritas serta aksi kolektif di tengah masyarakat.
Kelima pendekatan ini dilaksanakan dengan memperhatikan secara
sungguh-sungguh aspirasi, keinginan, kebutuhan, pendapatan, dan potensi
sumberdaya yang dimiliki masyarakat.
1. Penciptaan Lapangan Kerja Alternatif
Penciptaan lapangan kerja alternatif sebagai sumber pendapatan lain
bagi keluarga. Pengembangan mata pencaharian alternatif dilaksanakan
dengan pertimbangan bahwa sumber-daya pesisir secara umum dan
perikanan tangkap secara khusus telah banyak mengalami tekanan dan
degradasi. Data empiris menunjukkan bahwa sudah terlalu banyak nelayan
yang berkonsentrasi di perairan tertentu. Malahan secara nasional,
tampaknya jumlah nelayan juga sudah berlebihan. Potensi ikan laut yang
tersedia, kalau memang benar estimasinya, sudah tidak mampu dijadikan
andalan bagi peningkatan kesejahteraan. Kalau jumlah ikan yang

16
diperbolehkan ditangkap betul-betul diambil semuanya maka berdasarkan
perhitungan kasar secara rata-rata, nelayan sangat sulit untuk sejahtera.

2. Mendekatkan masyarakat dengan sumber modal


Pendekatan ini melalui penekanan pada penciptaan mekanisme mendanai
diri sendiri (self financing mechanism). Strategi ini sangat penting karena pada
dasarnya saat ini masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan pembudidaya
ikan sangat sulit untuk memperoleh modal. Sifat bisnis perikanan yang
musiman, ketidakpastian serta resiko tinggi sering menjadi alasan keengganan
bank menyediakan modal bagi bisnis ini. Sifat bisnis perikanan seperti ini yang
disertai dengan status nelayan yang umumnya rendah dan tidak mampu
secara ekonomi membuat mereka sulituntuk memenuhi syarat-syarat
perbankan yang selayaknya diberlakukan seperti perlu adanya collateral,
insurance dan equity.

3. Mendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi baru


Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan teknologi yang lebih
berhasil dan berdaya guna. Teknologi yang digunakan masyarakat pesisir,
khususnya nelayan, pada umumnya masih bersifat tradisional. Karena itu
maka produktivitas rendah dan akhirnya pendapatan rendah. Upaya
meningkatkan pendapatan dilakukan melalui perbaikan teknologi, mulai dari
teknologi produksi hingga pasca produksi dan pemasaran.
4. Mendekatkan masyarakat dengan pasar.
Pasar adalah faktor penarik dan bisa menjadi salah kendala utama bila
pasar tidak berkembang. Karena itu maka membuka akses pasar adalah cara
untuk mengembangkan usaha karena bila tidak ada pasar maka usaha sangat
terhambat perkembangannya.

5. Membangun solidaritas serta aksi kolektif di tengah masyarakat.

17
Pemberdayaan melalui pengembangan aksi kolektif sama artinya
dengan pengembangan koperasi atau kelompok usaha bersama. Hanya di sini
istilah yang digunakan adalah aksi kolektif yaitu untuk membuka kesempatan
kepada masyarakat membentuk kelompokkelompok yang diinginkannya yang
tidak semata-mata koperasi atau kelompok usaha bersama. Aksi kolektif
merupakan suatu aksi bersama yang bermuara pada kesejahteraan setiap
anggota secara individu.
Kelima pendekatan ini dilaksanakan dengan memperhatikan secara
sungguh-sungguh aspirasi yang diingikan oleh masyarakat pesisir dengan
tujuan mengetahui apa yang menjadi kebutuhan-kebutuhan mereka,
sehingga dari pendekatan tersebut dapat meningkatkan pendapatan dalam
kelurga dipesisir dan mampu mengekplorasi lagi potensi sumberdaya yang
dimiliki masyarakat pesisir.
2.3.2 Peran Penting Pemerintah dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Secara umum kondisi nelayan di negeri ini masih cukup
memprihatinkan. Sebagian -besar masyarakat nelayan masih termasuk dalam
kategori keluarga miskin. Akibatnya, profesi nelayan belum mampu menjadi
mata pencaharian hidup idaman masyarakat.
Kondisi ini tentu sangat kontradiktif dengan potensi maritim Indonesia
yang sangat besar. Potensi garis pesisir pantai yang menyelimuti nusantara
sebanyak 70 persen jika dikelola dengan benar bisa jadi lebih dari minyak bumi
dan gas. Namun kenyataannya, jumlah ekspor produk perikanan di Indonesia
tidak lebih besar dari negara tetangga seperti Thailand. Seharusnya nelayan
menjadi penggerak kemajuan ekonomi bangsa.
Pemerintah memiliki peran penting dan memberikan prioritas lebih terhadap
kehidupan masyarakat nelayan. Kebijakan yang berpihak terhadap sektor perikanan
dan kelautan pun terus dibuat. Pemerintah menargetkan sektor perikanan sebagai
penyumbang devisa utama di Indonesia.

18
Salah satu kebijakan itu adalah menjamin kemudahan dalam akses
permodalan untuk nelayan dari perbankan serta kemudahan membuat
sertifikasi hak atas tanah bagi nelayan dan pembudidaya ikan. Selama ini
masih terjadi diskriminasi yang dilakukan lembaga keuangan dan perbankan
dalam memberikan kredit kepada nelayan kecil. Rendahnya pencairan kredit
tersebut berimbas pada rendahnya produktivitas nelayan.
Pemerintah juga harus mendorong diversifikasi produk hasil perikanan,
dan peningkatan kemampuan teknis bagi masyarakat pelaku usaha kelautan
dan perikanan. Tujuan kebijakan ini agar mampu memberdayakan nelayan
sehingga kesejahteraannya semakin meningkat. Untuk menggapai itu, para
nelayan tersebut harus dididik untuk mengenal bisnis. Sehingga bisa menjadi
pelaku usaha yang handal dan bukan hanya sebagai objek semata oleh
pengusaha ikan yang lebih besar.
Melalui kemampuan kompetensi bisnis tersebut, para nelayan
diharapkan akan bisa memanfaatkan segala potensi perairan Indonesia
sebagai sumber mata pencaharian. Sedangkan untuk para pembudidaya
mampu menghasilkan produk perikanan yang berkualitas.
Masyarakat pesisir diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan
dengan memanfaatkan potensi kelautan dan perikanan yang kita miliki. Para
pengolah mampu meningkatkan nilai tambah produk perikanan sehingga
mampu bersaing di pasar global.
Untuk mencapai target program ini dibutuhkan dari Kementerian atau
lembaga pemerintah, perbankan nasional dan lembaga keuangan lainnya
dapat terus menjalin kerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan
dalam memberikan pelayanan yang lebih optimal kepada nelayan,
pembudidaya ikan, pengolah dan masyarakat pesisir lainnya.
Di sisi lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyusun
sejumlah aturan di bidang penanaman modal industri perikanan nasional.
Salah satunya adalah mengenai skema penanaman modal asing (PMA) dan

19
nasional (PMDN) di kegiatan usaha penangkapan dan pengolahan ikan
Indonesia.
Adanya ketentuan penanaman modal tersebut tidak lepas dari upaya
pemerintah membangkitkan bisnis penyimpanan hasil tangkapan (cold
storage) nasional yang redup lantaran banyaknya kegiatan ekspor ikan oleh
kapal asing yang beroperasi di Indonesia. Upaya ini juga diyakininya dapat
memberi nilai tambah terhadap komoditas ikan yang akan berdampak pada
meningkatnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor perikanan.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan memang sedang
menjadi sorotan. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia juga mendesak
nasib nelayan diperjuangkan kesejahteraannya dengan melibatkan peran dan
keikutsertaan nelayan secara langsung dalam mewujudkan kehidupan lebih
baik bagi nelayan.
2.3.3 Strategi dalam Pemberdayaan Masyarakat pesisir
Konsep pemberdayaan (empowerment) dalam wacana pembangunan
masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan
kerja dan keadilan. Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan
tingkat individu dan sosial. Pemberdayaan mengesankan arti adanya sikap
mental yang tangguh dan kuat (Hikmat, 2001). Dari konsep pemberdayaan
tersebut, dapat dikatakan bahwa pemberdayaan masyarakat pesisir dan
lautan merupakan pemberdayaan masyarakat pesisir untuk memanfaatkan
dan mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan lestari
sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan mereka. Menurut Soesilowati
dalam Latif (1999), ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk
memberdayakan masyarakat pesisir yaitu :
1. Strategi Fasilitatif yaitu strategi yang mengharapkan kelompok yang
menjadi sasaran suatu program sadar terhadap pilihan-pilihan dan
sumberdaya yang dimiliki. Strategi ini dikenal sebagai strategi kooperatif,

20
yaitu agen perubah bersama-sama masyarakat mencari penyelesaian
terhadap suatu masalah.
2. Strategi Edukatif, yaitu strategi yang memberikan pengetahuan dan
keahlian pada masyarakat yang akan diberdayakan.
3. Strategi Persuasif, yaitu strategi yang berupaya membawa perubahan
melalui kebiasaan dalam berperilaku. Strategi ini lebih cocok digunakan
bila masyarakat tidak sadar terhadap kebutuhan perubahan atau
mempunyai komitmen yang rendah terhadap perubahan.
4. Strategi kekuasaan, yaitu strategi yang membutuhkan agen perubah yang
mempunyai sumber-sumber untuk memberi bonus atau sanksi pada
target serta mempunyai akses untuk monopoli.
Inti dari empat strategi pemberdayaan di atas adalah memberikan
cara pengelolaan terbaik yang harus dilakukan agar masyarakat pesisir mau
dan mampu mengelola sumberdaya yang mereka miliki. Nikijuluw (2002)
menjelaskan tiga bentuk manajemen pengelolaan sumberdaya perikanan
dan lautan, yaitu pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat
(PSPBM), pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah dan ko-
manajemen (integrasi PSPBM dan pengelolaan sumberdaya perikanan oleh
pemerintah).
2.3.4 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
Dalam UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, pada
Bab I pasal 1 menjelaskan antara lain mengenai :
1. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian
Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara
pemerintah dan Pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut,
serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

21
2. Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumberdaya hayati,
sumberdaya nonhayati; sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan;
sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun,
mangroove dan biota laut lain; sumberdaya non-hayati meliputi pasir,
air laut, mineral dasar laut; sumberdaya buatan meliputi infrastruktur
laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa
lingkungan berupa keindahan alam. Permukaan dasar laut tempat
instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta
energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.
3. Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi
perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut di ukur dari garis pantai,
perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuary, teluk,
perairan dangkal, rawa payau, dan laguna.
4. Kawasan adalah bagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
memiliki fungsi tertentu yang di tetapkan berdasarkan kriteria
karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan
keberadaannya.
5. Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah uapaya
perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan,
ketersediaan, dan kesinambungan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai
dan keanekaragamannya.
6. Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang
dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil secara berkelanjutan.

22
Sedangkan pada Bab II ini, dijelaskan juga tujuan pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil yang berbunyi : “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil dilaksanakan dengan tujuan :
1. Melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan
memperkaya Sumberdaya Pesisir dan sistem ekologisnya secara
berkelanjutan;
2. Menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil;
3. Memperkuat peran masyarakat dan lembaga pemerintah serta
mendorong inisiatif masyarakat dalam mendorong pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan,
keseimbangan dan keberlanjutan;
4. Meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui
peran serta masyarakat dalam pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.

Implikasi dari Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, Tentang Pengelolaan


Wilayah Pesisir terhadap perikanan adalah :
1. Kepentingan pusat dan daerah merupakan keterpaduan dalam bidang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti pertahanan
negara, wilayah perbatasan negara, kawasan konservasi, alur pelayaran
internasional, Kawasan migrasi ikan dan kawasan perjanjian internasional
di bidang kelautan dan perikanan.
2. Kawasan pemanfaatan umum yang setara dengan kawasan budidaya
dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
merupakan kawasan yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi,
sosial budaya, seperti kegiatan perikanan, prasarana perhubungan laut,
industri maritim, pariwisata, pemukiman, dan pertambangan.

23
3. Zona pemanfaatan terbatas merupakan bagian dari zona konservasi
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang pemanfaatannya hanya boleh
dilakukan untuk budidaya pesisir, ekowisata, dan perikanan tradisional.
4. Penebangan mangrove pada kawasan yang telah dialokasikan dalam
perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk
budidaya perikanan diperbolehkan sepanjang memenuhi kaidah-kaidah
konservasi.

24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pokok pembahasan yang disajikan dalam materi
penyusunan makalah tentu hal yang paling penting yang dapat ditarik
kesimpulan yaitu sebagai berikut bahwa :
1. Kawawasan pesisir tidak terlepas dari adanya karakteristik yang ada
didalamnya, selain itu kawasan pesisir dapat memiliki komponen
wilayah/kawasan maupun sumber daya wilayah;
2. Kemiskinan yang merupakan indicator dalam wilayah pesisir memiliki tiga hal
utama yaitu kemiskinan structural, kemiskinan super- sktuktural, dan kemiskinan
cultural. Dari ketiga kategori tersebut;
3. Dalam Upaya mengatasi permasalahan kemiskinan masyarakat pesisir,
maka paling tidak pendekatan pemberdayaan baru saja diimplementasikan
dikawasan pesisir Indonesia yaitu (1) penciptaan lapangan kerja alternatif
sebagai sumber pendapatan lain bagi keluarga, (2) mendekatkan
masyarakat dengan sumber modal dengan penekanan pada penciptaan
mekanisme mendanai diri sendiri (self financing mechanism), (3)
mendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi baru yang lebih
berhasil dan berdaya guna, (4) mendekatkan masyarakat dengan pasar,
serta (5) membangun solidaritas serta aksi kolektif di tengah masyarakat;
4. Menurut Soesilowati dalam Latif (1999), ada beberapa strategi yang dapat
dilakukan untuk memberdayakan masyarakat pesisir yaitu (a) Strategi
Fasilitatif yaitu strategi yang mengharapkan kelompok yang menjadi
sasaran suatu program sadar terhadap pilihan-pilihan dan sumberdaya
yang dimiliki. Strategi ini dikenal sebagai strategi kooperatif, yaitu agen
perubah bersama-sama masyarakat mencari penyelesaian terhadap suatu
masalah. (b) Strategi Edukatif, yaitu strategi yang memberikan
pengetahuan dan keahlian pada masyarakat yang akan diberdayakan, (c)

25
Strategi Persuasif, yaitu strategi yang berupaya membawa perubahan
melalui kebiasaan dalam berperilaku. Strategi ini lebih cocok digunakan
bila masyarakat tidak sadar terhadap kebutuhan perubahan atau
mempunyai komitmen yang rendah terhadap perubahan, (4) Strategi
kekuasaan, yaitu strategi yang membutuhkan agen perubah yang
mempunyai sumber-sumber untuk memberi bonus atau sanksi pada target
serta mempunyai akses untuk monopoli.
5. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
Dalam UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, pada
Bab I pasal 1 menjelaskan antara lain mengenai : (1) Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (2) Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
(3) Perairan Pesisir adalah laut (4) Kawasan adalah bagian Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang memiliki fungsi tertentu yang di tetapkan
berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk
dipertahankan keberadaannya (5) Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil adalah uapaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan
Wilayah Pesisir.

3.2 Saran/Rekomendasi
Paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan Presiden Jokowi baru-baru
ini ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya
masyarakat nelayan. Namun, selain membuat kebijakan ekonomi, salah satu
hal mendasar yang harus segera dibenahi pemerintah adalah
1. pendidikan masyarakat pesisir. Pendidikan memiliki peranan yang sentral
karena setiap negara bersaing dalam menyiapkan tenaga kerja yang
berkualitas, memiliki kemampuan yang terampil dan terdidik. Perbaikan
sarana dan prasaranapendidikan di lingkungan masyarakat nelayan akan
memacu peningkatan kualitas SDM nelayan.

26
2. Pendidikan yang diberikan berupa pendidikan umum maupun peningkatan
kemampuan nelayan dalam menangkap hasil laut. Kehidupan masyarakat
nelayan yang miskin dan dekat dengan laut menyebabkan tingginya
kerentanan kesehatan masyarakat nelayan. Jaminan kesehatan dari
pemerintah akan sangat membantu perekonomian keluarga nelayan.
3. Alokasi pengeluaran yang seharusnya digunakan untuk biaya kesehatan
dapat dimanfaatkan oleh nelayan untuk kebutuhan hidup yang lain.
4. Pemerintah pusat juga seharusnya mendesak pemerintah daerah untuk
lebih memperhatikan pembangunan wilayah pesisir daerah.
5. Pemerintah daerah seharusnya membuka kesempatan kepada masyarakat
nelayan untuk dapat meningkatkan perekonomiannya. Bantuan ini dapat
berupa regulasi laut yang pro nelayan kecil, pelatihan dan subsidi
kebutuhan produksi ikan, serta penyediaan fasilitas pendingin ikan yang
dapat digunakan oleh komunitas nelayan.
6. Pemerintah daerah perlu membentuk badan usaha milik daerah ataupun
koperasi untuk mengatur sistem pengangkutan hasil laut yang langsung
menuju pasar utama sehingga dapat mengurangi biaya distribusi
danmemperlama daya tahan hasil laut.
7. Pemerintah daerah juga harus lebih mendengar keluhan dan masukan dari
komunitas-komunitas nelayan sehingga hak dan kebutuhan masyarakat
nelayan dapat lebih diakomodir.

27
DAFTAR PUSTAKA

Gregorius Sahdan, 2008. Menanggulangi Kemiskinan Desa. Jurnal Ekonomi Rakyat


Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan, Yogyakarta:
Graha Ilmu
Menurut Maharani . 2017. Identifikasi Kondisi Kemiskinan Masyarakat Nelayan Di
Kawasan Pesisir Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. LRC

Referensi Media Online :


https://wkuswandoro.wordpress.com/2016/01/31/strategi-pemberdayaan-
masyarakat-desa-berbasis-partisipasi/
ANALISA PERMASALAHAN KEMIS KINAN DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF TEORI
MODERNISASI DAN DEPENDENSI diupload Kamis, 08 Desember 2011 padA SITUS
https://fandi-sos.blogspot.com/2011/12/analisa-permasalahan-kemiskinan
di.html diakses 23 maret 2019
https://portaltataruang.wordpress.com/2007/09/17/perencanaan-wilayah-
pesisir/ diakses pada 23 Maret 2019
Penulis Penulis adalah Direktur Eksekutif Centre for People Studies and Advocation
(CePSA) dalam situs https://news.kkp.go.id/index.php/meningkatkan-
kesejahteraan-masyarakat-pesisir/ diakses 21 Maret 2019.

http://www.swarasenayan.com/indeks-kedalaman-kemiskinan-nelayan-dan-
masyarakat-pesisir-ntb/ diakses pada 23 Maret 2019

Referensi Peraturan :
UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
UU No. 31 Tahun 2004 dan UU RI No.45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan

28

Anda mungkin juga menyukai