Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Religiusitas

2.1.1 Religiusitas

Religiusitas dan spiritualitas merupakan konsep yang berbeda, tetapi

pengertian keduanya sering tumpang tindih. Agama lebih merupakan sebuah lembaga

yang terdiri dari rangkaian ritual wajib maupun pelengkap. Menjadi beragama bisa

berarti melembaga dalam satu agama, mengikuti ritual-ritual yang diwajibkan dan

mengikatkan diri pada aturan agama tersebut. Beragama berarti juga membedakan

diri dengan orang lain yang tidak berada dalam lembaga yang sama. Beragama atau

melaksanakan ritual-ritual agama tidak selalu berarti seseorang memiliki spiritualitas

(Pasiak, 2012).

Definisi spiritualitas hingga kini masih belum jelas dan apakah spiritualitas

bisa benar-benar dipisahkan dari agama juga masih menjadi perdebatan. Spiritualitas

secara umum adalah hal-hal yang bersifat batiniah yang bisa berkaitan maupun tidak

berkaitan dengan agama. Definisi ini lebih merujuk pada status personal dimana

seseorang menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang diyakini sebagai transenden.

Spiritualitas merupakan pengalaman bermakna (meaning), bernilai (value) dan

bertujuan (purpose) dalam kehidupan ketika seseorang berhubungan dengan yang

transenden dan dimanifestasikan dalam hubungan dengan orang lain. Spiritualitas

1
merupakan sebuah spektrum yang terdiri dari sejumlah perilaku dan emosi positif

(Pasiak, 2012).

Agama biasanya mencakup sebuah komunitas dengan kesamaan kepercayaan,

memberikan dukungan dan struktur untuk coping dengan kejadian yang

memunculkan stres tetapi tidak bisa dihindari. Agama mungkin juga memperkuat

pengalaman positif, seperti harapan dan optimisme (Azhari, 2006).

Agama berperan penting dalam integrasi sosial, pengendalian dan dukungan

sosial. Agama sebagai sebuah bentuk perekat sosial, mengikat masyarakat bersama

dan mengintegrasikan individu-individu ke dalamnya dengan mendorong mereka

untuk menerima nilai-nilai sosial mendasar. Dengan demikian, individu mengalami

sosialisasi nilai-nilai masyarakat terutama melalui agama. Rangkaian kepercayaan

dan nilai moral ini mungkin tertanam sedemikian dalam melalui sosialisasi sehingga

mungkin memiliki efek pada perilaku keseharian (Azhari, 2006).

Doktrin agama mendorong perilaku sosial yang positif dan pengorbanan diri.

Dukungan sosial ini berhubungan dengan tingkat depresi, kecemasan, kesendirian dan

masalah kesehatan jiwa lainnya. Dukungan emosional dari orang lain memang

merupakan alat terapeutik utama yang digunakan dalam semua bentuk konseling dan

psikoterapi (Imran, 2007).

Spiritual dianggap sebagai pencarian diri untuk memahami pertanyaan-

pertanyaan kehidupan, makna dan tujuan kehidupan. Agama dan spiritualitas adalah

konsep yang kompleks dengan banyak sisi dan mengembangkan sebuah alat ukur

yang dapat menangkap keagamaan atau spiritualitas secara umum adalah hal yang
2
sulit. Sebagian besar penelitian empiris menilai setiap domain perilaku agama dan

spiritual, melalui alat ukur seperti frekuensi kehadiran di cara keagamaan, berdoa

secara pribadi, penilaian diri terhadap betapa pentingnya agama, coping spiritual dan

penilaian diri terhadap spiritualitas (Kaelber, 2006).

Spiritualitas bisa melibatkan agama formal, tetapi bisa juga tidak. Spiritualitas

bersifat subjektif dan kompleks, sehingga sulit didefinisikan atau diukur. Spiritual

secara umum memiliki empat dimensi, yaitu makna hidup, pengalaman spiritual,

emosi positif dan ritual. Makna hidup bisa terjadi karena otak manusia melakukan

tiga fungsi penting, yaitu perencanaan masa depan, membuat keputusan dan menilai.

Ketiga fungsi ini mengaitkan aspek kognisi, emosi dan nilai. Pengalaman spiritual

adalah pengalaman penyatuan dengan alam semesta yang tidak dapat diperoleh dalam

keadaan sadar biasa. Emosi positif sangat terkait dengan perasaan syukur,

kemampuan mengelola pikiran dan perasaan dalam hubungan intrapersonal sehingga

seseorang bisa memiliki nilai kehidupan yang mendasari kemampuan untuk bersikap

dengan tepat. Ritual menunjukan pada tindakan terstruktur, sistematis dan berulang

(Husain, 2005).

Setiap agama memiliki lima aspek/dimensi yang saling berkaitan (Husain,

2005), yaitu:

a. Dimensi ideologis (kepercayaan)

Merupakan dimensi keimanan seseorang, cara memandang realitas

berdasarkan dogma atau iman yang dipercayainya. Dalam kaitan dengan penyakit,

3
dimensi ideologis mempengaruhi cara seseorang memandang penyakit, termasuk

bagaimana Tuhan terlibat dalam proses penyakit dan kesembuhannya.

b. Dimensi intelektual (pengetahuan agama)

Pengetahuan agama mencakup pengetahuan tentang kitab suci atau sumber

informasi lain, simbol-simbol dan cerita, yang biasanya terpadu dalam satu teologi.

Walaupun tidak semua penganut agama atau spiritualitas mempunyai pengetahuan

yang cukup tentang agama/kepercayaan yang dianutnya, tetapi bagi orang-orang

tertentu agama merupakan hal yang penting.

c. Dimensi ritual (partisipasi dalam praktek-praktek religius)

Kegiatan-kegiatan di tempat ibadah, berdoa, partisipasi dalam upacara

keagamaan. Mendengar nyanyian atau musik religius dapat merupakan sumber-

sumber kenyamanan pada orang-orang tertentu dan hal ini dapat membantu

melakukan coping terhadap stres yang dialami.

d. Dimensi eksperiensial (memiliki pengalaman religius)

Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman religius yang dialami seseorang dan

mempengaruhi kehidupannya. Pengalaman religius dapat merupakan pengalaman

biasa maupun yang luar biasa dimana seseorang mengalami atau merasakan

kehadiran figur tertentu yang diyakininya sebagai Tuhan.

e. Dimensi konsekuensial (pengaruh religiusitas terhadap kegiatan non religius)

Religiusitas dapat mempengaruhi berbagai aspek di luar religiusitas itu

sendiri. Misalnya pengaruh religiusitas terhadap kesehatan karena agama memberikan

4
support dan struktur untuk coping dengan kejadian yang memunculkan stres tetapi

tidak bisa dihindari.

2.1.2 Hubungan religiusitas dan kesehatan

Kesehatan menurut UU Kesehatan nomor 36/2009 adalah "Keadaan sehat,

baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan seseorang

untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis". Definisi tersebut memperlihatkan

pentingnya memperhatikan masalah spiritual dalam mengelola setiap pasien.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa seseorang yang mempraktekkan

ajaran agama, usia harapan hidup lebih panjang, lebih sedikit terkena penyakit stroke

dan jantung, fungsi kekebalan yang lebih baik dan tekanan darah yang lebih rendah

dibandingkan kebanyakan populasi. Penelitian ini membuktikan bahwa ada pengaruh

kuat dari agama terhadap tubuh manusia. Penelitian juga menunjukan bahwa

beragama tidak saja menguntungkan fisik, tetapi juga bagi kesehatan mental

(Vaillant, 2008).

Hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukan bahwa 94% pasien rawat

inap mempercayai kesehatan spiritual sama pentingnya dengan kesehatan fisik,

bahwa 40% pasien menggunakan keyakinan sebagai cara untuk menghadapi penyakit

dan 25% pasien menggunakan doa untuk mendapatkan kesembuhan setiap tahunnya

(Miller, 2012).

Menilai dan mengintegrasikan spiritualitas pasien dapat membangun rasa

saling percaya, memperbaiki hubungan dokter-pasien dan meningkatkan efektivitas

terapi. Outcome mungkin mencakup membaiknya kepatuhan terhadap perubahan


5
gaya hidup yang direkomendasikan dokter atau kepatuhan terhadap rekomendasi

terapeutik. Selain itu, penilaian spiritualitas dapat membantu pasien mengenali

hambatan spiritual atau emosional yang mempengaruhi kesehatan fisik dan mental.

Membahas isu spiritual mungkin dapat membuat mereka mencari sumber

kesembuhan atau coping yang positif (Kassen & Wickramaratne, 2011).

Kepercayaan spiritual bisa berpengaruh penting pada pengambilan keputusan

medis. Menjadi spiritual terkait erat dengan keberhasilan coping, kesembuhan yang

lebih cepat dan kualitas kehidupan yang lebih tinggi. Banyak pasien mungkin

mengharapkan bantuan dengan pemberian makna, harapan dan mengatasi ketakutan.

Kebutuhan spiritual yang tidak terpenuhi berhubungan dengan keputusasaan,

peningkatan mortalitas dan peningkatan kebutuhan sumber daya kesehatan yang tidak

diperlukan (Kennedy, 2006).

Pasien dengan gangguan psikiatri sering menunjukan perasaan religius untuk

menghadapi komorbiditas. Penelitian menunjukan bahwa pasien PTSD (Post

Traumatic Stress Disorder) sering bergantung pada simbol religius yang dapat

memanipulasi dan pada ahkirnya mengimbangi intensitas stres yang muncul. Pasien

OCD (Obsessive Compulsive Disorder) menunjukan lebih banyak obsesi yang

berorientasi pada religius dibandingkan obsesi non religius. Kepercayaan religius

sangat penting di dalam kelompok pasien psikiatri, terapi religius mungkin dapat

membantu pasien yang menderita gangguan afektif, gangguan kecemasan dan bahkan

skizofrenia (Kessler & Demler, 2005).

6
2.2 Homoseksual

2.2.1 Batasan

Homoseksualitas adalah rasa ketertarikan romantis dan atau seksual atau

perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi

seksual, homoseksualitas mengacu kepada "pengalaman seksual, kasih sayang atau

ketertarikan romantis" terutama atau secara eksklusif pada orang dari jenis kelamin

sama (Blanchard, 2008).

Homoseksualitas adalah salah satu dari tiga kategori utama orientasi seksual,

bersama dengan biseksualitas dan heteroseksualitas. Konsensus ilmu-ilmu perilaku

dan sosial dan juga profesi kesehatan dan kesehatan jiwa menyatakan bahwa

homoseksual adalah aspek normal dalam orientasi seksual manusia. Homoseksualitas

bukanlah penyakit kejiwaan dan bukan penyebab efek psikologis negatif, prasangka

terhadap kaum biseskual dan homoseksual yang menyebabkan efek tersebut.

Meskipun begitu banyak sekte-sekte agama dan organisasi yang memandang bahwa

kegiatan homoseksual adalah dosa atau kelainan. Bertentangan dengan pemahaman

umum secara ilmiah, berbagai sekte dan organisasi ini sering menggambarkan bahwa

homoseksualitas merupakan sebuah pilihan (Blanchard, 2008).

Istilah umum dalam homoseksualitas yang sering digunakan adalah lesbian

untuk perempuan pecinta sesama jenis dan ”gay” untuk pria pecinta sesama jenis,

meskipun ”gay” dapat merujuk pada laki-laki atau perempuan. Bagi para peneliti,

jumlah individu yang diidentifikasikan sebagai ”gay” atau ”lesbian” sulit

diperkirakan karena berbagai alasan. Dalam modernitas barat, menurut berbagai


7
penelitian, 2% sampai 13% dari populasi manusia adalah homoseksual atau pernah

melakukan hubungan sesama jenis dalam hidupnya. Sebuah penelitian tahun 2006

menunjukan bahwa 20% dari populasi secara anonim melaporkan memiliki perasaan

homoseksual, meskipun relatif sedikit peserta dalam penelitian ini menyatakan diri

mereka sebagai homoseksual (Morrow, 2006).

Banyak ”gay” dan ”lesbian” memiliki komitmen hubungan sesama jenis,

meski hanya baru-baru ini terdapat sensus dan status hukum atau politik yang

mempermudah keberadaan mereka. Hubungan ini setara dengan hubungan

heteroseksual dalam hal-hal penting secara psikologis. Sejak akhir abad ke-19 telah

ada gerakan menuju hak pengakuan keberadaan dan hak-hak legal bagi orang-orang

homoseksual, yang mencakup hak untuk pernikahan dan kesatuan sipil, hak adopsi

dan pengasuhan, hak kerja, hak untuk mendapatkan jaminan sosial kesehatan

(Morrison, 2008).

2.2.2 Orientasi seksual, identitas dan perilaku

American Psychological Association, American Psychiatric Association dan

National Association of Social Workers menyatakan orientasi seksual bukan hanya

karakteristik pribadi yang dapat didefinisikan secara tersendiri. Bahkan orientasi

seksual seseorang menentukan dengan siapa orang tersebut mungkin menemukan

hubungan yang memuaskan (Griffith, 2005).

Banyak orang yang merasakan ketertarikan kepada sesama jenis kelamin

memiliki fase coming out dalam kehidupan mereka. Umumnya coming out

digambarkan dalam tiga fase. Fase pertama adalah fase "mengenai diri", dimana
8
muncul kesadaran bahwa ia terbuka untuk hubungan sesama jenis. Fase ini sering

digambarkan sebagai coming out yang bersifat internal. Tahap kedua melibatkan

keputusan untuk terbuka kepada orang lain, misalnya keluarga, teman, dll. Tahap

ketiga mencakup hidup secara terbuka sebagai orang lesbian, gay atau biseksual. Di

Amerika Serikat, saat ini orang sering coming out di usia sekolah menengah atas atau

kuliah. Pada usia ini, mereka mungkin tidak percaya atau meminta bantuan dari orang

lain, terutama ketika orientasi mereka tidak diterima di masyarakat. Terkadang

keluarga mereka sendiri bahkan tidak diberitahu (Griffith, 2005).

Perkembangan identitas seksual lesbian, gay atau biseksual adalah suatu

proses yang kompleks dan seringkali sulit. Tidak seperti anggota kelompok minoritas

lainnya (misalnya minoritas etnis dan ras), sebagian besar individu homoseksual tidak

dibesarkan dalam komunitas serupa dimana mereka dapat belajar tentang identitasnya

dan mematangkan identitas itu. Sebaliknya, homoseksual sering dibesarkan dalam

komunitas yang secara terbuka memusuhi homoseksual. Outing adalah upaya

membongkar orientasi seksual seseorang yang tertutup. Banyak yang menentang

keras praktek ini atas dasar privasi (Griffith, 2005).

2.2.3 Identitas gender

Para penulis awal orientasi homoseksual biasanya memahami keterkaitan

intrinsik pada jenis kelamin subjek. Pemahaman ini dianut oleh sebagian besar

teoritis penting homoseksualitas dari pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-

20, seperti Karl Heinrich Ulrichs, Richard Von Krafft-Ebing dan Sigmund Freud

serta individu-individu dari kalangan homoseksual sendiri. Namun, pemahaman


9
tentang homoseksualitas sebagai kelainan seksual pada saat itu telah memicu

pertikaian dan silang pendapat. Setelah abad ke-20, identitas gender semakin dilihat

sebagai fenomena yang berbeda dari orientasi seksual (Boehnlein, 2006).

Individu-individu transgender dan cisgender dapat tertarik kepada pria,

perempuan ataupun keduanya, meskipun prevalensi orientasi seksual yang berlainan

sangat berbeda dalam dua populasi ini. Individu homoseksual, heteroseksual atau

biseksual dapat bersifat maskulin, feminin atau androgini. Banyak anggota dan

pendukung komunitas lesbian dan gay sekarang yang melihat heteroseksual sebagai

gender dan homoseksual tidak sesuai gender sebagai stereotip negatif. Meskipun

demikian, sebuah penelitian oleh Michael Bailey dan K.J Zucker telah menemukan

bahwa mayoritas laki-laki gay dan lesbian tumbuh tidak sesuai gender selama masa

kecil mereka. Richard C. Friedman, dalam bukunya Male Homosexually yang terbit

pada tahun 1990, menulis dari sudut pandang psikoanalisis, berpendapat bahwa hasrat

seksual dimulai lebih lambat dari yang dilansir dalam tulisan-tulisan Sigmund Freud.

Hasrat seksual muncul bukan pada masa bayi, tetapi anatar usia 5-10 tahun dan tidak

terfokus pada figur orangtua tetapi pada orang disekitarnya. Oleh karena itu,

menurutnya pria homoseksual tidak abnormal, karena tidak pernah tertarik secara

seksual pada ibu mereka (Bailey, 2007).

2.2.4 Hubungan sesama jenis

Homoseksual dapat mengekspresikan seksualitasnya dalam berbagai cara dan

dapat muncul dalam perilaku mereka. Beberapa memiliki hubungan seksual dengan

individu-individu dengan identitas gender sama atau lain gender. Penelitian


10
menunjukan banyak pasangan homoseksual yang menginginkan dan berhasil dalam

memiliki komitmen dan hubungan yang bertahan lama. Data penelitian menunjukan

bahwa antara 18%-28% dari pasangan gay dan antara 8%-21% dari pasangan lesbian

di AS telah hidup bersama selama sepuluh tahun atau lebih (Byrnes, 2005).

2.2.5 Pengukuran orientasi seksual

Orientasi seksual dapat dinilai dengan menggunakan skala Kinsey (dikutip

dari Bailey, 2007) yang menggambarkan episode aktivitas seksual mereka dalam

waktu tertentu. Pengukuran ini menggunakan skala mulai 0 (sepenuhnya

heteroseksual), 1 (heteroseksual, sesekali homoseksual), 2 (heteroseksual,

homoseksual lebih dari sekali), 3 (biseksual), 4 (homoseksual, heteroseksual lebih

dari sekali), 5 (homoseksual, sesekali heteroseksual), 6 (sepenuhnya homoseksual).

2.3 Depresi Pada Homoseksual

Depresi pada homoseksual adalah depresi yang terjadi atau dialami oleh

homoseksual. Depresi merupakan gangguan jiwa yang banyak dialami oleh para

homoseksual.

Depresi secara umum adalah suatu keadaan gangguan mood yang secara khas

ditandai oleh rasa sedih, murung, hilangnya semangat dan minat dalam semua atau

hampir semua aktivitas yang biasa dilakukan oleh individu. Selain itu gejala penyerta

termasuk gangguan tidur, nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia,

kelelahan, rasa putus asa, tidak berdaya dan keinginan bunuh diri.

11
Depresi adalah suatu kondisi yang dapat disebabkan oleh defisiensi relatif

salah satu atau beberapa aminergik neurotransmiter (noradrenalin, serotonin,

dopamin) pada sinaps neuron di susunan saraf pusat terutama pada sistem limbik

(Saddock, 2010).

2.3.1 Etiologi

Masalah pada homoseksual pada umumnya adalah merasa rendah diri, merasa

tertekan bathin, takut kepada keluarga dan masyarakat disekitarnya, sehingga

homoseksual cenderung untuk hidup sendiri, apatis, kehilangan peran dimasyarakat

karena dikucilkan atau kehilangan pekerjaan atau mata pencaharian. Selain

menimbulkan masalah pada homoseksual, juga menimbulkan masalah bagi keluarga

dan masyarakat disekitarnya. Perilaku keluarga dan masyarakat yang cenderung

mengucilkan atau menyingkirkan dapat menyebabkan stres dan depresi bagi para

homoseksual tersebut (Coyle, 2007).

Penyebab dasar terjadinya depresi secara umum belum diketahui dengan pasti,

tetapi ada beberapa faktor yang saling terkait yang diduga berperan terhadap

terjadinya depresi yaitu:

a. Faktor biologi

Depresi memiliki dasar biologi yang berkaitan dengan gangguan aktifitas

kimiawi tertentu dalam otak dan beberapa jalur neuronal yang berperan dalam

mengatur mood dan perilaku. Pada depresi terdapat gangguan pada neurotransmiter

tertentu yang merupakan derivat asam amino yang terdiri dari serotonin, norepineprin

12
dan dopamin, yang merupakan neurotransmiter utama dalam terjadinya depresi

(Saddock, 2010).

Norepineprin berhubungan dengan pengaturan emosi pada manusia. Jalur

norepineprin bermula dari daerah disekitar batang otak (locus cereleus) dan

diproyeksikan ke hampir semua bagian otak termasuk sistem limbik yang berperan

langsung tehadap fungsi emosi. Serotonin merupakan neurotransmiter yang paling

berperan dalam timbulnya depresi. Secara umum serotonin berpengaruh kepada

berbagai fungsi normal atau perilaku, misalnya mood, makan, tidur, kegiatan seksual,

kewaspadaan dan aktifitas. Penurunan kadar triptophan secara cepat dalam tubuh

akan menimbulkan penurunan yang bermakna terhadap mood seseorang. Neuron

sistem serotonergik (berasal dari nukleus raphe dan menjalar ke hipokampus)

berfungsi menjaga perilaku-perilaku adaptif terhadap lingkungan dalam menghadapi

berbagai macam stimulus dari luar. Kerusakan pada sistem serotonergik ini dapat

mempengaruhi pengiriman norepineprin dan dapat menyebabkan terjadinya perasaan

tertekan dan sedih. Penurunan serotonin yang mengakibatkan depresi terjadi dengan

mempengaruhi sistem neuron yang lain. Bagian-bagian dalam otak yang dapat

terpengaruh oleh sistem ini antara lain hipothalamus, amigdala dan area kortikal

lainnya sebagai bagian proses kognisi. Peran dopamin terhadap depresi belum begitu

jelas, tetapi ada bukti yang menyebutkan bahwa terjadinya penurunan aktifitas

dopamin pada orang-orang yang mengalami depresi (Saddock, 2010).

Teori klasik tentang patofisiologi depresi akibat adanya kekurangan

neurotransmiter di celah sinaps. Beberapa teori biokimia yang menjelaskan


13
mekanisme biokimiawi depresi tersebut antara lain adalah: 1) menurunnya pelepasan

atau produksi epineprin, terganggunya regulasi aktifitas norepineprin dan

meningkatnya aktifitas alfa2 adrenoreseptor presinaptik, 2) menurunnya pelepasan

dan transport serotonin atau menurunnya kemampuan neurotransmisi serotonergik, 3)

menurunnya aktifitas dopamin dan 4) meningkatnya aktifitas asetilkolin (Sadock,

2010).

Selain faktor neurotransmiter, faktor neuroendokrin juga berperan untuk

terjadinya depresi. Berbagai disregulasi neuroendokrin telah dilaporkan terjadi pada

pasien yang mengalami depresi. Salah satu sumbu neuro endokrin utama yang

berperan pada terjadinya depresi adalah sumbu adrenal. Korteks adrenal akan

melepaskan banyak hormon kortisol pada keadaan hidup yang penuh dengan tekanan

dan ketegangan (Douglas, 2005).

b. Faktor genetik

Penelitian faktor genetik untuk menunjukan peran faktor genetik pada

kejadian depresi, secara umum telah mengalami kemajuan yang cukup pesat pada dua

dekade terahkir. Penelitian ini meyakini bahwa kromosom 11 mungkin berpengaruh

terhadap terjadinya depresi. Kromosom 11 mengandung satu atau lebih gen yang

berkaitan dengan vulnerabilitas depresi. Pada suatu penelitian terbaru menyebutkan

bahwa kromosom 18 dan 21 terdapat daerah yang berhubungan dengan vulnerabilitas

pada gangguan afektif. Penelitian tentang faktor genetik ini masih terus

dikembangkan untuk mencari bukti-bukti yang lebih jelas tentang keterkaitan antara

faktor genetik dengan gangguan afektif (Sadock, 2010)


14
Pola penurunan faktor genetika pada depresi dapat dilihat dari hasil berbagai

penelitian pada keluarga yang menemukan bahwa saudara derajat pertama dari

penderita gangguan depresi mempunyai risiko dua sampai tiga kali lebih besar untuk

menderita gangguan depresi. Penelitian pada anak kembar juga menemukan bahwa

kembar identik akan lebih sering menderita depresi dibandingkan dengan kembar

yang non identik (Sadock, 2010)

c. Faktor psikososial

Faktor psikososial yang diduga dapat menyebabkan depresi antara lain stresor

lingkungan, peristiwa kehidupan, kepribadian premorbid dan faktor kognitif.

Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului

episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai

bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi (Sadock, 2010)

Berbagai peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan seperti kehilangan

pasangan, kesepian, sosial ekonomi, kurangnya dukungan sosial, kehilangan

pendapatan dan pekerjaan dapat menyebabkan seseorang menjadi depresi (Sadock,

2010)

Stresor psikososial yang bersifat akut seperti kehilangan orang yang dicintai,

atau stresor kronis seperti kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan

hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi. Depresi

pada homoseksual sering disebabkan sikap masyarakat yang cenderung mengucilkan

para homoseksual. Stigma yang dialami homoseksual mengakibatkan timbulnya

kendala dalam kehidupan sehari-hari seperti hambatan dalam lingkungan pekerjaan,


15
hubungan interpersonal, menghambat aktivitas di lingkungan sosial dan religius. Bagi

para homoseksual kehilangan peran serta mereka dalam keluarga dan masyarakat

mempunyai dampak yang besar (Fallon, 2008).

Dukungan sosial baik dari keluarga dan masyarakat disekitarnya sangat

dibutuhkan oleh para homoseksual. Seseorang yang memperoleh dukungan sosial

yang tinggi mengalami hal yang positif dalam kehidupannya, mempunyai harga diri

yang lebih tinggi dan berpandangan lebih optimis terhadap kehidupannya dibanding

yang mendapat dukungan sosial yang rendah (Daum, 2008).

Dukungan sosial yang dapat diberikan pada homoseksual berupa: 1) dukungan

emosional yang meliputi ungkapan empati, kepedulian dan perhatian, 2) dukungan

penghargaan yang umumnya diberikan melalui ungkapan penghargaan akan hal-hal

positif yang dimiliki dan dukungan untuk maju, 3)dukungan instrumental meliputi

bantuan seperti pemberian pinjaman uang, modal usaha, 4)dukungan informatif

meliputi pemberian nasihat, petunjuk atau saran (Daum, 2008).

d. Faktor kognitif

Dalam teori ini dibahas mengenai berbagai pola pikir dan keyakinan dianggap

sebagai faktor utama yang menyebabkan atau mempengaruhi kondisi emosional.

Orang-orang yang depresi memiliki perasaan seperti pesimis terhadap diri sendiri,

keyakinan bahwa tidak ada seorangpun yang menyukai dirinya (Burton, 2006).

Adanya gangguan depresi adalah akibat dari cara berpikir seseorang terhadap

dirinya. Orang yang mengalami depresi cenderung menyalahkan diri sendiri. Hal ini

disebabkan karena adanya distorsi kognitif terhadap diri sendiri dan lingkungan,
16
sehingga dalam mengevaluasi diri dan menginterpretasi hal-hal yang terjadi, mereka

cenderung mengambil kesimpulan yang tidak cukup dan berpandangan negatif. Pada

masa kanak-kanak dan remaja, orang-orang yang depresi mengembangkan pandangan

yang negatif, yaitu suatu kecenderungan untuk melihat lingkungan secara negatif

melalui kehilangan orang yang disayang, tragedi yang terjadi susul-menyusul dan

penolakan oleh teman sebaya (Koenig, 2012).

2.3.2 Faktor risiko depresi

Gangguan depresi lebih sering terjadi pada usia kurang dari 40 tahun dan

onsetnya dimulai rata-rata pada umur 30-35 tahun. Pada orang yang tidak mempunyai

riwayat depresi pada keluarga, gangguan depresi biasanya muncul pada usia lebih tua.

Faktor stresor psikososial sering kali menyebabkan usia muda menjadi lebih berisiko

mengalami depresi dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih tua.

Wanita dua kali lebih sering mengalami gangguan depresi dibandingkan

dengan pria. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena wanita lebih sensitif

terhadap stres dan koping yang maladaptif. Prevalensi depresi pada wanita lebih

tinggi dari pria dapat disebabkan faktor ketidakseimbangan hormon, misalnya depresi

”pra-haid”, pasca persalinan dan pasca menopause (Arseneault, 2010).

Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa gangguan depresi

mayor lebih sering terjadi pada individu yang bercerai atau berpisah dibandingkan

dengan yang menikah atau lajang. Wanita lajang lebih rendah kemungkinannya untuk

mengalami depresi dibandingkan dengan yang menikah, sebaliknya pria lajang lebih

banyak yang mengalami gangguan depresi. Depresi juga lebih sering dijumpai pada
17
orang yang tinggal sendiri dibandingkan dengan yang tinggal bersama keluarganya

(Arseneault & Bowes, 2010).

Pernikahan terbukti dapat mempengaruhi kesehatan mental baik pada pria

maupun pada wanita karena dapat ”melegalkan hubungan asmara” dan dapat

mengurangi risiko terhadap terjadinya depresi dan kecemasan. Meskipun demikian

apabila hubungan pernikahan tersebut tidak harmonis, sering terjadi perselisihan

antara suami istri atau ditinggalkan pasangan karena meninggal, hal ini justru dapat

memicu terjadinya depresi dan kecemasan (Arseneault, 2010).

Taraf sosial ekonomi yang rendah memiliki risiko mengalami gangguan

depresi lebih besar dibanding yang taraf sosial ekonominya lebih tinggi. Seseorang

dengan status sosial ekonomi rendah biasanya mempunyai tingkat pendidikan dan

pendapatan yang rendah serta kondisi kehidupan yang buruk, dimana rata-rata tidak

bekerja dan bahkan tidak punya rumah. Sebuah penelitian terhadap kelompok usia

kurang dari 65 tahun melaporkan bahwa pengangguran mengalami depresi tiga kali

lipat lebih sering dibandingkan dengan yang bekerja (Smith, 2007).

Gangguan depresi lebih tinggi pada subjek yang mempunyai riwayat keluarga

yang menderita gangguan depresi dibandingkan dengan kontrol. Riwayat keluarga

bunuh diri juga lebih sering dijumpai pada keluarga subjek yang mengalami depresi

dibandingkan dengan kontrol (Smith, 2007).

Peristiwa-peristiwa kehidupan yang penuh tekanan, baik yang bersifat akut

maupun kronis dapat menimbulkan depresi. Stresor yang terjadi setelah seseorang

menderita gangguan depresi akan memperberat dan memperburuk keluaran depresi


18
yang dialaminya. Akumulasi peristiwa kehidupan yang penuh stres dan kronis

merupakan faktor presdiposisi yang kuat dalam terjadinya gangguan depresi mayor.

Fakta menunjukan bahwa persepsi seseorang terhadap suatu kejadian lebih penting

daripada kejadian itu sendiri untuk menimbulkan kesulitan dalam kehidupan

seseorang (House, 2006).

Para homoseksual sering mengalami diskriminasi dalam kehidupannya baik

dalam hal pendidikan, pekerjaan, peran-peran sosial dimasyarakat, ibadah bahkan

sampai pada hal-hal terkait pemakaman. Hal-hal tersebut tentunya merupakan stresor

yang berat bagi homoseksual. Depresi pada homoseksual lebih sering disebabkan

oleh stigma dan penolakan sosial terhadap mereka (House, 2006).

Dukungan sosial dapat memperbaiki coping atau memodifikasi pengaruh

stresor psikososial maupun dampaknya. Dalam beberapa literatur, secara konsisten

dikatakan bahwa seseorang yang hidup seorang diri mempunyai risiko mengalami

depresi secara bermakna. Terbukti bahwa dukungan sosial yang buruk berhubungan

dengan terjadinya depresi dan kekambuhan (House, 2006).

Kepercayaan dan praktek religius dan spiritual bisa digunakan untuk coping

atau adaptasi terhadap situasi kehidupan yang penuh tekanan. Sebagian besar

penelitian menunjukan bahwa keterlibatan religius dan spiritualitas berhubungan

dengan outcome kesehatan yang lebih baik, termasuk masa hidup yang lebih lama,

kemampuan coping dan kualitas kehidupan terkait kesehatan yang lebih baik, lebih

sedikit kecemasan, depresi dan bunuh diri. Beberapa penelitian menunjukan bahwa

19
diskusi mengenai kebutuhan spiritual pasien dapat mempercepat kesembuhan dari

penyakit (Imran, 2007).

Religiusitas merupakan faktor penting dan menentukan dalam kaitan dengan

kecenderungan bunuh diri pada penderita depresi. Orang-orang yang memiliki afiliasi

religius lebih sedikit memiliki riwayat upaya bunuh diri. Selain itu aspek-aspek moral

yang ada dalam ajaran-ajaran religius memperantarai efek protektif melawan perilaku

bunuh diri pada pasien depresi. Penderita depresi dengan keyakinan religius juga

melaporkan kurang atau tidak adanya pikiran-pikiran bunuh diri. Religius

menyediakan kekuatan positif yang melawan pikiran bunuh diri pada mereka yang

mengalami depresi, kehilangan harapan hidup dan mengalami kejadian-kejadian

penuh tekanan (Imran, 2007).

2.3.3. Gambaran klinis

Gejala utama depresi adalah terdapatnya afek depresi, hilangnya minat dan

kegembiraan dan berkurangnya energi menuju keadaan mudah lelah (rasa lelah yang

nyata setelah bekerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas. Disamping gejala

utama, pasien juga sering mengatakan konsentrasi dan perhatian terganggu, harga diri

dan kepercayaan diri kurang, rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan

yang suram, tidur dan nafsu makan terganggu serta gagasan/perbuatan yang

membahayakan diri sendiri. Sebagian pasien mengalami penurunan nafsu makan dan

beberapa diantaranya justru mengalami peningkatan nafsu makan. Berbagai

perubahan dalam pola makan dan pola tidur ini dapat menyebabkan/memperberat

20
penyakit medis yang menyertai seperti diabetes, hipertensi dan penyakit jantung

(Russel, 2009).

Depresi bukanlah gangguan yang homogen, tetapi merupakan fenomena yang

kompleks. Gejalanya sangat bervariasi, ada yang ringan, sedang dan berat, dengan

atau tanpa gejala psikotik, sering berkomorbiditas dengan gangguan psikiatri lain atau

dengan gangguan fisik lain.

Dalam PPDGJ-III (Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa)

disebutkan kriteria depresi ditetapkan jika terdapat tiga gejala utama yaitu afek

depresif, kehilangan minat dan kegembiraan serta berkurangnya energi yang menuju

meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja)

dan menurunnya aktivitas. Terdapat juga gejala-gejala tambahan yaitu konsentrasi

dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang

rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis,

gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, serta

nafsu makan berkurang. Gejala-gejala tersebut diatas paling tidak ditemukan dalam

jangka waktu dua minggu.

Pada penderita depresi terdapat perubahan dalam empat faktor yang dapat

dilihat yaitu: 1) Perubahan fisik (gangguan tidur, lelah, letih, lesu, nyeri biasanya

berupa nyeri kepala, nyeri otot dan nyeri dada, nyeri abdomen tanpa penyebab fisik,

penurunan nafsu makan, gelisah dan agitasi) 2) Perubahan pikiran (merasa bingung,

lambat dalam berpikir, penurunan konsentrasi dan sulit mengingat, sulit membuat

keputusan, selalu menghindar, kurang percaya diri, merasa bersalah, tidak mau
21
dikritik dan pada kasus berat sering dijumpai adanya pikiran untuk bunuh diri) 3)

Perubahan perasaan (penurunan ketertarikan dengan lawan jenis dan melakukan

hubungan suami istri, merasa bersalah, tidak berdaya, tidak adanya perasaan, merasa

sedih, sering menangis tanpa alas an yang jelas dan terkadang agresif 4) Perubahan

pada kebiasaan sehari-hari (menjauhkan diri dari lingkungan sosial, pekerjaan,

menghindari membuat keputusan, penurunan aktivitas fisik, penurunan perhatian

terhadap diri sendiri).

2.4 Hubungan Religiusitas dan Depresi pada Homoseksual

Penulis belum menemukan penelitian yang secara khusus meneliti bagaimana

peran religiusitas dan depresi pada homoseksual, tetapi dalam penelitian sebelumnya

telah banyak yang membahas tentang peran atau hubungan antara religiusitas dan

depresi.

Penelitian sebelumnya menunjukan, selain memberikan perlindungan dari

depresi, tingkat komitmen religius yang lebih tinggi mungkin memberikan

perlindungan dari bunuh diri yang merupakan bentuk outcome depresi yang paling

berat

Beberapa penelitian memeriksa strategi coping diantara populasi yang berbeda

termasuk mereka yang menghadapi masalah kesehatan serius atau berada dalam stres

kehidupan berat. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa agama (keyakinan

terhadap Tuhan, doa, membaca kitab, mengikuti kegiatan keagamaan,dll) merupakan

faktor penting yang memungkinkan mereka untuk membentuk coping dalam keadaan

hidup yang sulit atau memberikan stres (Kanazawa, 2012).


22
Studi prospektif yang dilakukan pada 720 orang dewasa diketahui bahwa efek

stres yang mengganggu menunjukkan perbandingan terbalik dengan aktivitas religius.

Semakin tinggi aktivitas religius yang dilakukan, semakin kecil kemungkinan

mengalami gangguan psikologis. Studi ini juga menemukan bahwa aktivitas religius

dapat menjadi buffer terhadap efek negatif stres (Hawari, 2005).

Peranan penting religiusitas sebagai coping terhadap penyakit-penyakit yang

dialami juga telah diteliti terhadap 250 orang berusia lanjut yang ada di panti.

Sebanyak 20% penderita mengatakan bahwa praktik religius itu berperan penting

sebagai coping untuk penyakit. Penggunaan coping ini mengurangi efek dari depresi

yang dialami. Hubungan positif ini masih tetap ada meskipun faktor-faktor lain

seperti dukungan sosial, status fungsional, riwayat gangguan psikiatri dan umur

dikontrol (Hawari, 2005).

Religiusitas sebagai sumber daya untuk menemukan makna dan harapan

ketika menghadapi penderitaan juga telah diidentifikasi sebagai komponen kunci

dalam kesembuhan psikologis. Sebagian besar penelitian menunjukan bahwa

keterlibatan religiusitas dan spiritualitas berhubungan dengan outcome kesehatan

yang lebih baik., termasuk masa hidup yang lebih lama, kemampuan coping dan

kualitas kehidupan terkait kesehatan yang lebih baik dan lebih sedikit kecemasan,

depresi dan bunuh diri. Beberapa penelitian menunjukan bahwa diskusi mengenai

kebutuhan spiritual pasien dapat mempercepat kesembuhan dari penyakit (Hawari,

2005)

23
Religiusitas merupakan faktor penting dan menentukan dalam kaitan dengan

kecenderungan bunuh diri pada penderita depresi. Orang-orang yang memiliki afiliasi

religius lebih sedikit memiliki riwayat upaya bunuh diri. Selain itu, aspek-aspek

moral yang ada dalam ajaran-ajaran religius memperantarai efek protektif melawan

perilaku bunuh diri pada pasien depresi. Penderita depresi dengan keyakinan religius

juga melaporkan kurang atau tidak adanya pikiran-pikiran bunuh diri. Religiusitas

menyediakan kekuatan positif yang melawan pikiran bunuh diri pada mereka yang

depresi, kehilangan harapan hidup dan mengalami kejadian-kejadian penuh stres

(Kassen, 2011).

Doa dan berbagai teknik pengendalian diri seperti meditasi dapat memberikan

dampak fisiologis pada tubuh. Menurut beberapa penelitian, meditasi dapat memicu

serangkaian perubahan fisiologis tubuh terutama otak. Perubahan tersebut ditandai

dengan pernafasan yang lebih lambat, perlambatan denyut jantung, penurunan

tekanan darah dan pembuluh darah perifer yang menjadi lebih hangat. Praktik

meditasi dan doa telah dikaitkan dengan perasaan yang lebih spiritual, disertai dengan

perasaan dan kondisi psikologis yang mantap, penuh damai dan tenang. Doa

berhubungan dengan peningkatan aktivitas kortikal otak yang ditandai dengan

peningkatan frekuensi gelombang beta tanpa kehilangan kesadaran dan kewaspadaan

(Kassen, 2011).

Emosi positif berhubungan dengan beberapa area otak. Sistem limbik

berperan besar dalam emosi positif dalam spiritualitas. Afek penyatu dari

kebahagiaan, rasa syukur dari transcenden tampaknya muncul dari struktur limbik.
24
Efek dari emosi positif pada sistem saraf otonom memiliki banyak kesamaan dengan

respon relaksasi terhadap meditasi. Emosi positif dan pengalaman spiritual tidak bisa

dipisahkan. Berbeda dengan respon fight or fright dari emosi negatif, yang

mengaktifkan sistem saraf simpatis, emosi positif mengaktifkan sistem saraf

parasimpatis. Seperti halnya dalam meditasi, emosi positif seperti kebahagian, kasih

sayang, keterikatan, kepercayaan dan pengampunan dapat menurunkan metabolisme,

tekanan darah, denyut jantung, kecepatan nafas dan ketegangan otot.

Lobus frontalis meski tidak terlibat dalam pembentukan pengalaman religius

seperti penglihatan, pendengaran dan penyatuan dengan Tuhan, diketahui

mempengaruhi kepribadian dan fungsi sosial. Pengalaman religius mungkin adalah

sebuah proses kognitif, diperantarai oleh sirkuit neural yang melibatkan korteks

dorsolateral, prefrontalis, dorsomedial, frontalis dan parietalis medial. Keseimbangan

fungsi korteks prefrontalis medial diperlukan untuk aktivitas religius yang seimbang.

Fungsi spesifik yang terlibat dalam regulasi religius ini adalah yang memperantarai

kepatuhan terhadap aturan dan kebiasaan, refleksi diri dan pemahaman tentang

pikiran dan perasaan orang lain dengan kasih sayang dan empati. Ada hipotesis yang

menyatakan bahwa hipofungsi pada korteks prefrontalis medial akan menyebabkan

penurunan religiusitas (hyporeligiosity), sedangkan hiperfungsi pada area ini akan

menyebabkan kepatuhan yang kaku terhadap aturan dan kebiasaan, kecemasan yang

berlebihan tentang diri sendiri dan interpretasi yang berlebih terhadap pikiran orang

lain, menghasilkan religiusitas yang meningkat.

25

Anda mungkin juga menyukai