TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Religiusitas
2.1.1 Religiusitas
pengertian keduanya sering tumpang tindih. Agama lebih merupakan sebuah lembaga
yang terdiri dari rangkaian ritual wajib maupun pelengkap. Menjadi beragama bisa
berarti melembaga dalam satu agama, mengikuti ritual-ritual yang diwajibkan dan
mengikatkan diri pada aturan agama tersebut. Beragama berarti juga membedakan
diri dengan orang lain yang tidak berada dalam lembaga yang sama. Beragama atau
(Pasiak, 2012).
Definisi spiritualitas hingga kini masih belum jelas dan apakah spiritualitas
bisa benar-benar dipisahkan dari agama juga masih menjadi perdebatan. Spiritualitas
secara umum adalah hal-hal yang bersifat batiniah yang bisa berkaitan maupun tidak
berkaitan dengan agama. Definisi ini lebih merujuk pada status personal dimana
1
merupakan sebuah spektrum yang terdiri dari sejumlah perilaku dan emosi positif
(Pasiak, 2012).
memunculkan stres tetapi tidak bisa dihindari. Agama mungkin juga memperkuat
sosial. Agama sebagai sebuah bentuk perekat sosial, mengikat masyarakat bersama
dan nilai moral ini mungkin tertanam sedemikian dalam melalui sosialisasi sehingga
Doktrin agama mendorong perilaku sosial yang positif dan pengorbanan diri.
Dukungan sosial ini berhubungan dengan tingkat depresi, kecemasan, kesendirian dan
masalah kesehatan jiwa lainnya. Dukungan emosional dari orang lain memang
merupakan alat terapeutik utama yang digunakan dalam semua bentuk konseling dan
pertanyaan kehidupan, makna dan tujuan kehidupan. Agama dan spiritualitas adalah
konsep yang kompleks dengan banyak sisi dan mengembangkan sebuah alat ukur
yang dapat menangkap keagamaan atau spiritualitas secara umum adalah hal yang
2
sulit. Sebagian besar penelitian empiris menilai setiap domain perilaku agama dan
spiritual, melalui alat ukur seperti frekuensi kehadiran di cara keagamaan, berdoa
secara pribadi, penilaian diri terhadap betapa pentingnya agama, coping spiritual dan
Spiritualitas bisa melibatkan agama formal, tetapi bisa juga tidak. Spiritualitas
bersifat subjektif dan kompleks, sehingga sulit didefinisikan atau diukur. Spiritual
secara umum memiliki empat dimensi, yaitu makna hidup, pengalaman spiritual,
emosi positif dan ritual. Makna hidup bisa terjadi karena otak manusia melakukan
tiga fungsi penting, yaitu perencanaan masa depan, membuat keputusan dan menilai.
Ketiga fungsi ini mengaitkan aspek kognisi, emosi dan nilai. Pengalaman spiritual
adalah pengalaman penyatuan dengan alam semesta yang tidak dapat diperoleh dalam
keadaan sadar biasa. Emosi positif sangat terkait dengan perasaan syukur,
seseorang bisa memiliki nilai kehidupan yang mendasari kemampuan untuk bersikap
dengan tepat. Ritual menunjukan pada tindakan terstruktur, sistematis dan berulang
(Husain, 2005).
2005), yaitu:
berdasarkan dogma atau iman yang dipercayainya. Dalam kaitan dengan penyakit,
3
dimensi ideologis mempengaruhi cara seseorang memandang penyakit, termasuk
informasi lain, simbol-simbol dan cerita, yang biasanya terpadu dalam satu teologi.
sumber kenyamanan pada orang-orang tertentu dan hal ini dapat membantu
Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman religius yang dialami seseorang dan
biasa maupun yang luar biasa dimana seseorang mengalami atau merasakan
4
support dan struktur untuk coping dengan kejadian yang memunculkan stres tetapi
baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan seseorang
untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis". Definisi tersebut memperlihatkan
ajaran agama, usia harapan hidup lebih panjang, lebih sedikit terkena penyakit stroke
dan jantung, fungsi kekebalan yang lebih baik dan tekanan darah yang lebih rendah
kuat dari agama terhadap tubuh manusia. Penelitian juga menunjukan bahwa
beragama tidak saja menguntungkan fisik, tetapi juga bagi kesehatan mental
(Vaillant, 2008).
bahwa 40% pasien menggunakan keyakinan sebagai cara untuk menghadapi penyakit
dan 25% pasien menggunakan doa untuk mendapatkan kesembuhan setiap tahunnya
(Miller, 2012).
hambatan spiritual atau emosional yang mempengaruhi kesehatan fisik dan mental.
medis. Menjadi spiritual terkait erat dengan keberhasilan coping, kesembuhan yang
lebih cepat dan kualitas kehidupan yang lebih tinggi. Banyak pasien mungkin
peningkatan mortalitas dan peningkatan kebutuhan sumber daya kesehatan yang tidak
Traumatic Stress Disorder) sering bergantung pada simbol religius yang dapat
memanipulasi dan pada ahkirnya mengimbangi intensitas stres yang muncul. Pasien
sangat penting di dalam kelompok pasien psikiatri, terapi religius mungkin dapat
membantu pasien yang menderita gangguan afektif, gangguan kecemasan dan bahkan
6
2.2 Homoseksual
2.2.1 Batasan
perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi
ketertarikan romantis" terutama atau secara eksklusif pada orang dari jenis kelamin
Homoseksualitas adalah salah satu dari tiga kategori utama orientasi seksual,
dan sosial dan juga profesi kesehatan dan kesehatan jiwa menyatakan bahwa
bukanlah penyakit kejiwaan dan bukan penyebab efek psikologis negatif, prasangka
Meskipun begitu banyak sekte-sekte agama dan organisasi yang memandang bahwa
umum secara ilmiah, berbagai sekte dan organisasi ini sering menggambarkan bahwa
untuk perempuan pecinta sesama jenis dan ”gay” untuk pria pecinta sesama jenis,
meskipun ”gay” dapat merujuk pada laki-laki atau perempuan. Bagi para peneliti,
melakukan hubungan sesama jenis dalam hidupnya. Sebuah penelitian tahun 2006
menunjukan bahwa 20% dari populasi secara anonim melaporkan memiliki perasaan
homoseksual, meskipun relatif sedikit peserta dalam penelitian ini menyatakan diri
meski hanya baru-baru ini terdapat sensus dan status hukum atau politik yang
heteroseksual dalam hal-hal penting secara psikologis. Sejak akhir abad ke-19 telah
ada gerakan menuju hak pengakuan keberadaan dan hak-hak legal bagi orang-orang
homoseksual, yang mencakup hak untuk pernikahan dan kesatuan sipil, hak adopsi
dan pengasuhan, hak kerja, hak untuk mendapatkan jaminan sosial kesehatan
(Morrison, 2008).
memiliki fase coming out dalam kehidupan mereka. Umumnya coming out
digambarkan dalam tiga fase. Fase pertama adalah fase "mengenai diri", dimana
8
muncul kesadaran bahwa ia terbuka untuk hubungan sesama jenis. Fase ini sering
digambarkan sebagai coming out yang bersifat internal. Tahap kedua melibatkan
keputusan untuk terbuka kepada orang lain, misalnya keluarga, teman, dll. Tahap
ketiga mencakup hidup secara terbuka sebagai orang lesbian, gay atau biseksual. Di
Amerika Serikat, saat ini orang sering coming out di usia sekolah menengah atas atau
kuliah. Pada usia ini, mereka mungkin tidak percaya atau meminta bantuan dari orang
proses yang kompleks dan seringkali sulit. Tidak seperti anggota kelompok minoritas
lainnya (misalnya minoritas etnis dan ras), sebagian besar individu homoseksual tidak
dibesarkan dalam komunitas serupa dimana mereka dapat belajar tentang identitasnya
intrinsik pada jenis kelamin subjek. Pemahaman ini dianut oleh sebagian besar
teoritis penting homoseksualitas dari pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-
20, seperti Karl Heinrich Ulrichs, Richard Von Krafft-Ebing dan Sigmund Freud
pertikaian dan silang pendapat. Setelah abad ke-20, identitas gender semakin dilihat
sangat berbeda dalam dua populasi ini. Individu homoseksual, heteroseksual atau
biseksual dapat bersifat maskulin, feminin atau androgini. Banyak anggota dan
pendukung komunitas lesbian dan gay sekarang yang melihat heteroseksual sebagai
gender dan homoseksual tidak sesuai gender sebagai stereotip negatif. Meskipun
demikian, sebuah penelitian oleh Michael Bailey dan K.J Zucker telah menemukan
bahwa mayoritas laki-laki gay dan lesbian tumbuh tidak sesuai gender selama masa
kecil mereka. Richard C. Friedman, dalam bukunya Male Homosexually yang terbit
pada tahun 1990, menulis dari sudut pandang psikoanalisis, berpendapat bahwa hasrat
seksual dimulai lebih lambat dari yang dilansir dalam tulisan-tulisan Sigmund Freud.
Hasrat seksual muncul bukan pada masa bayi, tetapi anatar usia 5-10 tahun dan tidak
terfokus pada figur orangtua tetapi pada orang disekitarnya. Oleh karena itu,
menurutnya pria homoseksual tidak abnormal, karena tidak pernah tertarik secara
dapat muncul dalam perilaku mereka. Beberapa memiliki hubungan seksual dengan
memiliki komitmen dan hubungan yang bertahan lama. Data penelitian menunjukan
bahwa antara 18%-28% dari pasangan gay dan antara 8%-21% dari pasangan lesbian
di AS telah hidup bersama selama sepuluh tahun atau lebih (Byrnes, 2005).
dari Bailey, 2007) yang menggambarkan episode aktivitas seksual mereka dalam
Depresi pada homoseksual adalah depresi yang terjadi atau dialami oleh
homoseksual. Depresi merupakan gangguan jiwa yang banyak dialami oleh para
homoseksual.
Depresi secara umum adalah suatu keadaan gangguan mood yang secara khas
ditandai oleh rasa sedih, murung, hilangnya semangat dan minat dalam semua atau
hampir semua aktivitas yang biasa dilakukan oleh individu. Selain itu gejala penyerta
kelelahan, rasa putus asa, tidak berdaya dan keinginan bunuh diri.
11
Depresi adalah suatu kondisi yang dapat disebabkan oleh defisiensi relatif
dopamin) pada sinaps neuron di susunan saraf pusat terutama pada sistem limbik
(Saddock, 2010).
2.3.1 Etiologi
Masalah pada homoseksual pada umumnya adalah merasa rendah diri, merasa
mengucilkan atau menyingkirkan dapat menyebabkan stres dan depresi bagi para
Penyebab dasar terjadinya depresi secara umum belum diketahui dengan pasti,
tetapi ada beberapa faktor yang saling terkait yang diduga berperan terhadap
a. Faktor biologi
kimiawi tertentu dalam otak dan beberapa jalur neuronal yang berperan dalam
mengatur mood dan perilaku. Pada depresi terdapat gangguan pada neurotransmiter
tertentu yang merupakan derivat asam amino yang terdiri dari serotonin, norepineprin
12
dan dopamin, yang merupakan neurotransmiter utama dalam terjadinya depresi
(Saddock, 2010).
norepineprin bermula dari daerah disekitar batang otak (locus cereleus) dan
diproyeksikan ke hampir semua bagian otak termasuk sistem limbik yang berperan
berbagai fungsi normal atau perilaku, misalnya mood, makan, tidur, kegiatan seksual,
kewaspadaan dan aktifitas. Penurunan kadar triptophan secara cepat dalam tubuh
berbagai macam stimulus dari luar. Kerusakan pada sistem serotonergik ini dapat
tertekan dan sedih. Penurunan serotonin yang mengakibatkan depresi terjadi dengan
mempengaruhi sistem neuron yang lain. Bagian-bagian dalam otak yang dapat
terpengaruh oleh sistem ini antara lain hipothalamus, amigdala dan area kortikal
lainnya sebagai bagian proses kognisi. Peran dopamin terhadap depresi belum begitu
jelas, tetapi ada bukti yang menyebutkan bahwa terjadinya penurunan aktifitas
2010).
pasien yang mengalami depresi. Salah satu sumbu neuro endokrin utama yang
berperan pada terjadinya depresi adalah sumbu adrenal. Korteks adrenal akan
melepaskan banyak hormon kortisol pada keadaan hidup yang penuh dengan tekanan
b. Faktor genetik
kejadian depresi, secara umum telah mengalami kemajuan yang cukup pesat pada dua
terhadap terjadinya depresi. Kromosom 11 mengandung satu atau lebih gen yang
pada gangguan afektif. Penelitian tentang faktor genetik ini masih terus
dikembangkan untuk mencari bukti-bukti yang lebih jelas tentang keterkaitan antara
penelitian pada keluarga yang menemukan bahwa saudara derajat pertama dari
penderita gangguan depresi mempunyai risiko dua sampai tiga kali lebih besar untuk
menderita gangguan depresi. Penelitian pada anak kembar juga menemukan bahwa
kembar identik akan lebih sering menderita depresi dibandingkan dengan kembar
c. Faktor psikososial
Faktor psikososial yang diduga dapat menyebabkan depresi antara lain stresor
episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai
bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi (Sadock, 2010)
2010)
Stresor psikososial yang bersifat akut seperti kehilangan orang yang dicintai,
atau stresor kronis seperti kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan
para homoseksual kehilangan peran serta mereka dalam keluarga dan masyarakat
yang tinggi mengalami hal yang positif dalam kehidupannya, mempunyai harga diri
yang lebih tinggi dan berpandangan lebih optimis terhadap kehidupannya dibanding
positif yang dimiliki dan dukungan untuk maju, 3)dukungan instrumental meliputi
d. Faktor kognitif
Dalam teori ini dibahas mengenai berbagai pola pikir dan keyakinan dianggap
Orang-orang yang depresi memiliki perasaan seperti pesimis terhadap diri sendiri,
keyakinan bahwa tidak ada seorangpun yang menyukai dirinya (Burton, 2006).
Adanya gangguan depresi adalah akibat dari cara berpikir seseorang terhadap
dirinya. Orang yang mengalami depresi cenderung menyalahkan diri sendiri. Hal ini
disebabkan karena adanya distorsi kognitif terhadap diri sendiri dan lingkungan,
16
sehingga dalam mengevaluasi diri dan menginterpretasi hal-hal yang terjadi, mereka
cenderung mengambil kesimpulan yang tidak cukup dan berpandangan negatif. Pada
yang negatif, yaitu suatu kecenderungan untuk melihat lingkungan secara negatif
melalui kehilangan orang yang disayang, tragedi yang terjadi susul-menyusul dan
Gangguan depresi lebih sering terjadi pada usia kurang dari 40 tahun dan
onsetnya dimulai rata-rata pada umur 30-35 tahun. Pada orang yang tidak mempunyai
riwayat depresi pada keluarga, gangguan depresi biasanya muncul pada usia lebih tua.
Faktor stresor psikososial sering kali menyebabkan usia muda menjadi lebih berisiko
dengan pria. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena wanita lebih sensitif
terhadap stres dan koping yang maladaptif. Prevalensi depresi pada wanita lebih
tinggi dari pria dapat disebabkan faktor ketidakseimbangan hormon, misalnya depresi
mayor lebih sering terjadi pada individu yang bercerai atau berpisah dibandingkan
dengan yang menikah atau lajang. Wanita lajang lebih rendah kemungkinannya untuk
mengalami depresi dibandingkan dengan yang menikah, sebaliknya pria lajang lebih
banyak yang mengalami gangguan depresi. Depresi juga lebih sering dijumpai pada
17
orang yang tinggal sendiri dibandingkan dengan yang tinggal bersama keluarganya
maupun pada wanita karena dapat ”melegalkan hubungan asmara” dan dapat
antara suami istri atau ditinggalkan pasangan karena meninggal, hal ini justru dapat
depresi lebih besar dibanding yang taraf sosial ekonominya lebih tinggi. Seseorang
dengan status sosial ekonomi rendah biasanya mempunyai tingkat pendidikan dan
pendapatan yang rendah serta kondisi kehidupan yang buruk, dimana rata-rata tidak
bekerja dan bahkan tidak punya rumah. Sebuah penelitian terhadap kelompok usia
kurang dari 65 tahun melaporkan bahwa pengangguran mengalami depresi tiga kali
Gangguan depresi lebih tinggi pada subjek yang mempunyai riwayat keluarga
bunuh diri juga lebih sering dijumpai pada keluarga subjek yang mengalami depresi
maupun kronis dapat menimbulkan depresi. Stresor yang terjadi setelah seseorang
merupakan faktor presdiposisi yang kuat dalam terjadinya gangguan depresi mayor.
Fakta menunjukan bahwa persepsi seseorang terhadap suatu kejadian lebih penting
sampai pada hal-hal terkait pemakaman. Hal-hal tersebut tentunya merupakan stresor
yang berat bagi homoseksual. Depresi pada homoseksual lebih sering disebabkan
dikatakan bahwa seseorang yang hidup seorang diri mempunyai risiko mengalami
depresi secara bermakna. Terbukti bahwa dukungan sosial yang buruk berhubungan
Kepercayaan dan praktek religius dan spiritual bisa digunakan untuk coping
atau adaptasi terhadap situasi kehidupan yang penuh tekanan. Sebagian besar
dengan outcome kesehatan yang lebih baik, termasuk masa hidup yang lebih lama,
kemampuan coping dan kualitas kehidupan terkait kesehatan yang lebih baik, lebih
sedikit kecemasan, depresi dan bunuh diri. Beberapa penelitian menunjukan bahwa
19
diskusi mengenai kebutuhan spiritual pasien dapat mempercepat kesembuhan dari
kecenderungan bunuh diri pada penderita depresi. Orang-orang yang memiliki afiliasi
religius lebih sedikit memiliki riwayat upaya bunuh diri. Selain itu aspek-aspek moral
yang ada dalam ajaran-ajaran religius memperantarai efek protektif melawan perilaku
bunuh diri pada pasien depresi. Penderita depresi dengan keyakinan religius juga
menyediakan kekuatan positif yang melawan pikiran bunuh diri pada mereka yang
Gejala utama depresi adalah terdapatnya afek depresi, hilangnya minat dan
kegembiraan dan berkurangnya energi menuju keadaan mudah lelah (rasa lelah yang
nyata setelah bekerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas. Disamping gejala
utama, pasien juga sering mengatakan konsentrasi dan perhatian terganggu, harga diri
dan kepercayaan diri kurang, rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan
yang suram, tidur dan nafsu makan terganggu serta gagasan/perbuatan yang
membahayakan diri sendiri. Sebagian pasien mengalami penurunan nafsu makan dan
perubahan dalam pola makan dan pola tidur ini dapat menyebabkan/memperberat
20
penyakit medis yang menyertai seperti diabetes, hipertensi dan penyakit jantung
(Russel, 2009).
kompleks. Gejalanya sangat bervariasi, ada yang ringan, sedang dan berat, dengan
atau tanpa gejala psikotik, sering berkomorbiditas dengan gangguan psikiatri lain atau
disebutkan kriteria depresi ditetapkan jika terdapat tiga gejala utama yaitu afek
depresif, kehilangan minat dan kegembiraan serta berkurangnya energi yang menuju
meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja)
dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang
rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis,
gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, serta
nafsu makan berkurang. Gejala-gejala tersebut diatas paling tidak ditemukan dalam
Pada penderita depresi terdapat perubahan dalam empat faktor yang dapat
dilihat yaitu: 1) Perubahan fisik (gangguan tidur, lelah, letih, lesu, nyeri biasanya
berupa nyeri kepala, nyeri otot dan nyeri dada, nyeri abdomen tanpa penyebab fisik,
penurunan nafsu makan, gelisah dan agitasi) 2) Perubahan pikiran (merasa bingung,
lambat dalam berpikir, penurunan konsentrasi dan sulit mengingat, sulit membuat
keputusan, selalu menghindar, kurang percaya diri, merasa bersalah, tidak mau
21
dikritik dan pada kasus berat sering dijumpai adanya pikiran untuk bunuh diri) 3)
hubungan suami istri, merasa bersalah, tidak berdaya, tidak adanya perasaan, merasa
sedih, sering menangis tanpa alas an yang jelas dan terkadang agresif 4) Perubahan
peran religiusitas dan depresi pada homoseksual, tetapi dalam penelitian sebelumnya
telah banyak yang membahas tentang peran atau hubungan antara religiusitas dan
depresi.
perlindungan dari bunuh diri yang merupakan bentuk outcome depresi yang paling
berat
termasuk mereka yang menghadapi masalah kesehatan serius atau berada dalam stres
faktor penting yang memungkinkan mereka untuk membentuk coping dalam keadaan
mengalami gangguan psikologis. Studi ini juga menemukan bahwa aktivitas religius
dialami juga telah diteliti terhadap 250 orang berusia lanjut yang ada di panti.
Sebanyak 20% penderita mengatakan bahwa praktik religius itu berperan penting
sebagai coping untuk penyakit. Penggunaan coping ini mengurangi efek dari depresi
yang dialami. Hubungan positif ini masih tetap ada meskipun faktor-faktor lain
seperti dukungan sosial, status fungsional, riwayat gangguan psikiatri dan umur
yang lebih baik., termasuk masa hidup yang lebih lama, kemampuan coping dan
kualitas kehidupan terkait kesehatan yang lebih baik dan lebih sedikit kecemasan,
depresi dan bunuh diri. Beberapa penelitian menunjukan bahwa diskusi mengenai
2005)
23
Religiusitas merupakan faktor penting dan menentukan dalam kaitan dengan
kecenderungan bunuh diri pada penderita depresi. Orang-orang yang memiliki afiliasi
religius lebih sedikit memiliki riwayat upaya bunuh diri. Selain itu, aspek-aspek
moral yang ada dalam ajaran-ajaran religius memperantarai efek protektif melawan
perilaku bunuh diri pada pasien depresi. Penderita depresi dengan keyakinan religius
juga melaporkan kurang atau tidak adanya pikiran-pikiran bunuh diri. Religiusitas
menyediakan kekuatan positif yang melawan pikiran bunuh diri pada mereka yang
(Kassen, 2011).
Doa dan berbagai teknik pengendalian diri seperti meditasi dapat memberikan
dampak fisiologis pada tubuh. Menurut beberapa penelitian, meditasi dapat memicu
tekanan darah dan pembuluh darah perifer yang menjadi lebih hangat. Praktik
meditasi dan doa telah dikaitkan dengan perasaan yang lebih spiritual, disertai dengan
perasaan dan kondisi psikologis yang mantap, penuh damai dan tenang. Doa
(Kassen, 2011).
berperan besar dalam emosi positif dalam spiritualitas. Afek penyatu dari
kebahagiaan, rasa syukur dari transcenden tampaknya muncul dari struktur limbik.
24
Efek dari emosi positif pada sistem saraf otonom memiliki banyak kesamaan dengan
respon relaksasi terhadap meditasi. Emosi positif dan pengalaman spiritual tidak bisa
dipisahkan. Berbeda dengan respon fight or fright dari emosi negatif, yang
parasimpatis. Seperti halnya dalam meditasi, emosi positif seperti kebahagian, kasih
sebuah proses kognitif, diperantarai oleh sirkuit neural yang melibatkan korteks
fungsi korteks prefrontalis medial diperlukan untuk aktivitas religius yang seimbang.
Fungsi spesifik yang terlibat dalam regulasi religius ini adalah yang memperantarai
kepatuhan terhadap aturan dan kebiasaan, refleksi diri dan pemahaman tentang
pikiran dan perasaan orang lain dengan kasih sayang dan empati. Ada hipotesis yang
menyebabkan kepatuhan yang kaku terhadap aturan dan kebiasaan, kecemasan yang
berlebihan tentang diri sendiri dan interpretasi yang berlebih terhadap pikiran orang
25