Anda di halaman 1dari 41

ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM PERKEMIHAN

INKONTINENSIA URINE & RETENSI URINE

KELOMPOK 4

ANGGOTA :

1. ALFINA NORA
2. ANNISHA ALLAMA NOPTIKA
3. ARENA IRAWAN
4. FINNY NAFA RISKUIN
5. IBNU ANSYAR
6. INTAN PERMATA SARI
7. KARMILA
8. LEDYS AMELIA
9. MARTINA WISDAYANTI
10. RAHMAT ILLAHI
11. RANI PUTRI ANDESCO
12. SUCI WAHYU BUSTA
13. YUMIKO PASTIKA

SI KEPERAWATAN (3A)

STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG


2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikanrahmat-Nya kepada
kami sehingga dapat menyelesaikan askep mengenai penyakit Inkontinensia Urine dan Retensi Urine. Askep ini
disusun dalam rangka pendokumentasian dari aplikasi pembelajaran matakuliah Sistem Perkemihan.
Penyusunan askep ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran
dan kritik yang membangun demikesempurnaan askep ini di masa mendatang. Pada akhirnya, penyusun
mengharapkan semoga askep ini bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Padang, 7 Oktober 2018

Kelompok 4
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : Pendahuluan

1. Latar belakang
2. Tujuan

BAB II : Tinjauan Teori

A. KONSEP PATOFISIOLOGI PENYAKIT

1. Pengertian
2. Anatomi dan fisiologi
3. Etiologi
4. Klasifikasi
5. Manisfestasi klinis
6. Komplikasi
7. Patofisiologi
8. WOC
9. Pemeriksaan diagnostik
10. Penatalaksanaan medis dan keperawatan
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
2. Diagnosa keperawatan
3. Intervensi keperawatan

BAB III : Penutup

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini
lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah
melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar
panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding depan
vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan
prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik.
Dalam proses berkemih secara normal, seluruh komponen sistem saluran kemih
bawah yaitu detrusor, leher buli-buli dan sfingter uretra eksterna berfungsi secara
terkordinasi dalam proses pengosongan maupun pengisian urin dalam buli-buli. Secara
fisiologis dalam setiap proses miksi diharapkan empat syarat berkemih yang normal
terpenuhi, yaitu kapasitas buli-buli yang adekuat, pengosongan buli-buli yang sempurna,
proses pengosongan berlangsung di bawah kontrol yang baik serta setiap pengisian dan
pengosongan buli-buli tidak berakibat buruk terhadap saluran kemih bagian atas dan
ginjal. Bila salah satu atau beberapa aspek tersebut mengalami kelainan, maka dapat
timbul gangguan miksi yang disebut inkontinensia urin
Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati. Di
Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami gangguan ini.
Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan berat gangguan
meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15 tahun atau lebih
didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi
meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan
kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20%
pada wanita dengan 5 anak.
Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya
keluarnya urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan jarang
ditemukan adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan miksi mendadak.
Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar kecil penderita
telah membasahkan celananya. Jenis inkontinensia ini dikenal karena gangguan
neuropatik pada kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan anatomik
yang dianggap sebagai penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan inkontinensia
desakan. Sering didapati inkontinensia stres dan desakan secara bersamaan.
Retensio urine adlah ketidakmampuan untuk melakukan urinasi meskipun
terdapatkeinginan atau dorongan terhadap hal tersebut. (Brunner & Suddarth). Retensio
urine adalah sutau keadaan penumpukan urine di kandung kemih dan tidak punya
kemampuan untuk mengosongkannya secara sempurna. (PSIK UNIBRAW).
Urin merupakan hasil dari ekskresi manusia yang dihasilkan dari penyaringan
darah yang dilakukan di ginjal. Urin normal berwarna kekuning-kuningan atau terang dan
transparan.Urin terdiri dari air dengan bahan terlarut berupa sisa metabolisme (seperti
urea), garam terlarut, dan materi organik. Cairan dan materi pembentuk urin berasal dari
darah atau cairan interstisial. Komposisi urin berubah sepanjang proses reabsorbsi ketika
molekul yang penting bagi tubuh, misal glukosa, diserap kembali ke dalam tubuh melalui
molekul pembawa. Cairan yang tersisa mengandung urea dalam kadar yang tinggi dan
berbagai senyawa yang berlebih atau berpotensi racun yang akan dibuang keluar tubuh.
Materi yang terkandung di dalam urin dapat diketahui melalui urinalisis.
Dalam urin bisa terdapat amonia. Amonia adalah suatu produk yang dihasilkan
ketika proses pencernaan protein. Hati memproduksi amonia yang berbahaya terutama
jika fungsi hati juga tidak berjalan dengan baik.
Setiap menit akan mengalir sejumlah 1060 ml darah (1/5 cardic out put) menuju
ke 2 ginjal melalui arteri renalis. Dari jumlah tersebut darah yang akan kembali melalui
vena renalis sejumlah 1059 ml sedangkan sisanya sebesar 1 ml akan keluar sebagai urin.
B. TUJUAN

1. Untuk mengetahui pengertian Inkontinensia urine dan Retensi urine


2. Untuk mengetahui anatomi Inkontinensia urine dan Retensi urine
3. Untuk mengetahui etiologi Inkontinensia urine dan Retensi urine
4. Untuk mengetahui klasifikasi Inkontinensia urine dan Retensi urine
5. Untuk mengetahui manisfestasi klinis Inkontinensia urine dan Retensi urine
6. Untuk mengetahui komplikasi Inkontinensia urine dan Retensi urine
7. Untuk mengetahui patofisiologi Inkontinensia urine dan Retensi urine
8. Untuk mengetahui WOC Inkontinensia urine dan Retensi urine
9. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik Inkontinensia urine dan Retensi urine
10. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dan keperawatan Inkontinensia urine
dan Retensi urine
11. Untuk mengetahui pengkajian mengenai Inkontinensia urine dan Retensi urine
12. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan mengenai Inkontinensia urine dan
Retensi urine
13. Untuk mengetahui intervensi keperawatan mengenai Inkontinensia urine dan
Retensi urine
BAB II
TINJAUAN TEORI

I. KONSEP PATOFISIOLOGI PENYAKIT


A. PENGERTIAN
INKONTINENSIA URINE
Inkontenensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkemdali atau terjadi diluar keinginan. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita
yang pernah melahirkan dari pada yang belum pernah melahirkan (nulipara). diduga
disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita
inkontenensia telah menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-urektrokel.
Tetapi kadang-kadang dijumoai penderita dengan proplapsus total uterus dan vagina
dengan kontenensia urine yang baik.
Diperkirakan prevelensi inkontenensia urine berkisar antara 15-30% usia lanjut di
masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami
inkotenensia urine, dan kemungkinan bertambah berat inkotenensia urinenya 25-30% saat
berumur 65-74 tahun. Masalah inkotenensia urine ini angka kejadiaannya meningkat dua
kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Perubahan-perubahan akibat proses
menua mempengaruhi salran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut merupakan
predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontenensia, tetapi tidak menyebabkan
inkotenensia. Jadi inkonentesia bukan bagian normal proses menua.
RETENSI URINE
Retensi urine adalah suatau keadaan penumpukan urine dikandung kemih dan
tidak mempunyai kemampuian untuk mengosongkannya secera sempurna. Retensio urine
adalah kesulitan muksi karena kegagalan urine dan fesika urinaria. Retensio urine adalah
tertahannya urine di dalam kandung kemih, dapat terjadi secara akut maupun kronis.
Retensio urine dalah ketidakmampuan untuk melakukan urinasi meskipun terdapat
keinginan atau dorongan terhadap hal tersebut, Retensio urine adalah suatu kemampuan
penumpukan urine dikandung kemih dan tidak punya kemampuan untuk
menggosongkannya.
B. ANATOMI FISIOLOGI
1. Ginjal (Ren)
Ginjal terletak pada dinding posterior di belakang peritoneum pada kedua sisi
vertebra torakalis ke-12 sampai vertebra lumbalis ke-3. Bentuk ginjal seperti biji
kacang. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis
dextra yang besar.

Fungsi ginjal

Fungsi ginjal adalah memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat


toksis atau racun, mempertahankan suasana keseimbangan cairan, mempertahankan
keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.

2. Fascia renalis
Fascia renalis terdiri dari: a) fascia (fascia renalis), b) jaringan lemak perirenal,
dan c) kapsula yang sebenarnya (kapsula fibrosa), meliputi dan melekat dengan erat
pada permukaan luar ginjal.
3. Stuktur ginjal
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat
korteks renalis di bagian luar, yang berwarna cokelat gelap, medulla renalis di bagian
dalam yang berwarna cokelat lebih terang dibandingkan korteks. Bagian medulla
berbentuk kerucut yang disebut piramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap
kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil yang disebut papilla renalis (Panahi,
2010).
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya
pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk corong
yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga calices
renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga calices
renalis minores. Struktur halus ginjal terdiri dari banyak nefron yang merupakan unit
fungsional ginjal. Diperkirakan ada 1 juta nefron dalam setiap ginjal. Nefron terdiri
dari: glomerulus, tubulus proximal, ansa henle, tubulus distal dan tubulus urinarius
(Panahi, 2010).
4. Proses pembentukan urin
Tahap pembentukan urin
a. Proses filtrasi, di glomerulus.
Terjadi penyerapan darah yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali
protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh simpai bowmen yang terdiri
dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dll, diteruskan ke tubulus
ginjal. Cairan yang disaring disebut filtrat glomerulus.
b. Proses reabsorbsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa,
sodium, klorida fosfat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara
pasif (obligator reabsorbsi) di tubulus proximal. Sedangkan pada tubulus
distal terjadi kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila diperlukan
tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan sisanya
dialirkan pada papilla renalis.
c. Proses sekresi
Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal dialirkan ke papilla
renalis selanjutnya diteruskan ke luar (Rodrigues, 2008).
5. Pendarahan
Ginjal mendapatkan darah dari aorta abdominalis yang mempunyai percabangan
arteri renalis, arteri ini berpasangan kiri dan kanan. Arteri renalis bercabang menjadi
arteri interlobularis kemudian menjadi arteri akuarta. Arteri interlobularis yang berada
di tepi ginjal bercabang manjadi arteriole aferen glomerulus yang masuk ke
gromerulus. Kapiler darah yang meninggalkan gromerulus disebut arteriole eferen
gromerulus yang kemudian menjadi vena renalis masuk ke vena cava inferior (Barry,
201l).
6. Persarafan ginjal.
Ginjal mendapatkan persarafan dari fleksus renalis (vasomotor). Saraf ini berfungsi
untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal, saraf ini berjalan
bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal (Barry, 2011).
7. Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke vesika urinaria.
Panjangnya ±25-34 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada
rongga abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga pelvis. Lapisan dinding ureter
menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik yang mendorong urin masuk ke dalam
kandung kemih.
Lapisan dinding ureter terdiri dari:
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah lapisan otot polos
c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
8. Vesika urinaria (kandung kemih)
Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk seperti buah pir
(kendi). Letaknya di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Vesika
urinaria dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet.
9. Uretra
Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang berfungsi
menyalurkan air kemih ke luar. Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm,
terdiri dari:
a. Uretra pars prostatika
b. Uretra pars membranosa
c. Uretra pars spongiosa.
Uretra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm. sphincter uretra terletak di
sebelah atas vagina (antara clitoris dan vagina) dan uretra disini hanya sebagai
saluran ekskresi (Panahi, 2010).
10. Urin.
Sifat fisis air kemih, terdiri dari:
a. Jumlah ekskresi dalam 24 jam ±1.500 cc tergantung dari pemasukan (intake)
cairan dan faktor lainnya.
b. Warna bening kuning muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh.
c. Warna kuning tergantung dari kepekatan, diet, obat-obatan dan
sebagainya.
d. Bau, bau khas air kemih bila dibiarkan lama akan berbau amoniak.
e. Berat jenis 1,015-1,020.
f. Reaksi asam, bila lama-lama menjadi alkalis, juga tergantung daripada diet
(sayur menyebabkan reaksi alkalis dan protein member reaksi asam).
Komposisi air kemih, terdiri dari:
a. Air kemih terdiri dari kira-kira 95% air.
b. Zat-zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein, asam urea, amoniak dan
kreatinin.
c. Elektrolit natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fosfat dan sulfat.
d. Pigmen (bilirubin dan urobilin).
e. Toksin.
f. Hormon (Velho, 2013).
11. Mikturisi
Mikturisi ialah proses pengosongan kandung kemih setelah terisi dengan urin.
Mikturisi melibatkan 2 tahap utama, yaitu:
a. Kandung kemih terisi secara progesif hingga tegangan pada dindingnya
meningkat melampaui nilai ambang batas, keadaan ini akan mencetuskan
tahap ke-2.
b. Adanya refleks saraf (disebut refleks mikturisi) yang akan mengosongkan
kandung kemih. Pusat saraf miksi berada pada otak dan spinal cord (tulang
belakang). Sebagian besar pengosongan diluar kendali tetapi pengontrolan
dapat dipelajari “latih”. Sistem saraf simpatis : impuls menghambat vesika
urinaria dan gerak spinchter interna, sehingga otot detrusor relax dan spinchter
interna konstriksi. Sistem saraf parasimpatis : impuls menyebabkan otot
detrusor berkontriksi, sebaliknya spinchter relaksasi terjadi mikturisi
(Roehrborn, 2009).
12. Ciri-ciri urin normal.
a. Rata-rata dalam satu hari 1-2 liter tapi berbeda-beda sesuai dengan jumlah
cairan yang masuk.
b. Warnanya bening tanpa ada endapan.
c. Baunya tajam.
d. Reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6 (Velho, 2013)
C. ETIOLOGI
INKONTINENSIA URINE
Disebabkan oleh banyak factor termasuk kelainan anatomis dan fisik, fisiologis,
psikososial, dan factor farmakologis. Inkontinensia anatomis dan fisiologis disebabkan
oleh kelemahan atau kerusakan sfingter, deformitas uretra, perubahan tonus otot pada
jembatan uretrovesika, dan instabilitas detrusor.
1. Inkontinensia urine stress
Terjadi karena trauma obstetric maupun bedah, kehilangan esterogen yang
berhubungan dengan menopause, mengejan yang berulang, prolaps urogenital,
dan kelemahan congenital. Intervensi bedah dapat menyebabkan kerusakan leher
kantong kemih, dengan kemungkinan terjadinya inkontinensiapermanen.
2. Inkontinensia urine overflow
Karena kehilang urine involunter sehubungan dengan kelebihan distensi
buli-buli. Buli-buli tidak dapat menyimpan urine namun tidak kosong
sepenuhnya, menyebabkan keluarnya urine karena berkurangnya tekanan resisten.
Dan penyebabnya adalah karena obat-obatan
3. Inkontinensia fungsional
Terjadi karena penyeban fisik, psikososial, atau farmakologis yang tidak
berhubungan dengan status sitem kemih. Penyebab psikososial seperti demensia,
hingga kebingungan.

RETENSI URINE

Kegagalan detrusor adalah penyebab paling umum terjadinya retensi urine pada
perempuan. Kegagalan kandung kemih untuk berkontraksi sering kali berkaitan dengan
kelainan neurologis. Pada laki-laki retensi sering kali terjadi akibat obstruksi yang terjadi
dikarenakan pembesaran prostat. Kelainan lainnya yang dapat menyebabkan retensi
adalah struktur uretra, obat-obatan, disinergia detrusor-sfingter, batu, gumpalan
darah,kontraktur leher kandung kemih,dan riwayat mutilasi genital pada perempuan.
Neuropati yang mempengaruhi fungsi kandung kemih meliputi diabetes mellitus, stroke,
dan cedera pada syaraf tulang belakang. Masalah seumur hidup tersebut dapat
mempengaruhi status neurologis dari kandung kemih dan menganggu refleks miksi.

Retensi dapat disebabkan oleh berkurangnya input sensoris menuju dan dari
kandung kemih, ketegangan otot, rasa cemas, atau kondisi neurologis lainnya yang
mempengaruhi kandung kemih. Operasi sering kali menjadi factor penyebab anestesi
spinal sering kali menyebabkan retensi dibandingkan anestesi umum. Setelah operasi 10-
15% klien yang menjalani anestesi umum membutuhkan pemasangan kateter dikarenakan
ketidakmampuan berkemih.
Pada perempuan prolaps dari dinding belakang vagina (rektokel atau enterokel)
meningkatkan risiko terjadinya retensi karena tekanan yang timbul pada uretra. Sistokel
yang besar juga dapat menyebabkan kinking pada leher kandung kemih sehingga,
mengurangi kemampuan pengosongan kandung kemih.
Yang menjadi penyebab umum retensi urine adalah BPH , hal ini bukan masalah
yang dapat dicegah dan pasien dengan prostat yang membesar harus dipantau secara ketat
dalam hal kemungkinan terjadinya obstruksi sekunder yang disebabkan oleh pembesaran
prostat. Penyakit atau perlukaan neurologis, seperti diabetes mellitus, trauma sumsum
tulang belakang, atau seklerosis multiple juga dapat menyebabkan retensi urine. Factor
risiko lain seperti riwayat kelainan structural dan penggunaan obat tertentu.
D. KLASIFIKASI
INKONTINENSIA URINE
Menurut Brunner & Suddart:
1. Inkontinensia stress
Merupakan eliminasi urin diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat
dari peningkatan mendadak pada tekanan intra-abdomen. Tipe inkontinensia ini
paling sering ditemukan pada wanita dan dapat disebabkan oleh cedera obstetric,
lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis, fistula, disfungsi detrusor
dan sejumlah keadaan lainnya. Disamping itu, gangguan ini dapat terjadi karena
kelainan congenital (ekstrofi vesika urinaria, ureter ektopik).
2. Inkontinensia urgensi
Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi
tetapi tidak mampu menahannya cukup lama sebelum mencapai toilet. Pada
banyak kasus, kontraksi kandung kemih yang tidak dihambat merupakan factor
yang menyertai; keadaan ini dapat terjadi pada pasien disfungsi neurologi yang
mengganggu penghambatan kontraksi kandung kemih atau pada pasien dengan
gejala local iritasi akibat infeksi saluran kemih atau tumor kandung kemih.
3. Inkontinensia overflow
Ditandai oleh eliminasi urin yang sering dan kadang-kadang terjadi
hampir terus-menerus dari kandung kemih. Kandung kemih tidak dapat
mengosongkan isinya secara normal dan mengalami distensi yang berlebihan.
Meskipun eliminasi urin terjadi dengan sering,kandung kemih tidak pernah
kosong. Inkontinensia overflow dapat disebabkan oleh kelainan neurologi (yaitu,
lesi medulla spinalis) atau oleh factor-faktor yang menyumbat saluran keluar urin
(yaitu,penggunaan obat-obatan, tumor, struktur dan hyperplasia prostat).
4. Inkontinensia fungsional
Merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang
utuh tetapi ada factor lain, seperti gangguan kognitif berat yang membuat sulit
untuk mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya demensia Alzheimer) atau
gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau
toilet untuk melakukan urinasi.
5. Inkontinensia reflex
Merupakan kehilangan urin yang tidak disadari bila volume tertentu telah
tercapai, terjadi pada Interval yang dapat diperkirakan. Gangguan neurologic
seperti pada lesi sum-sum tulang belakang. (Barbara C. Long. 1996)

RETENSI URINE
1. Retensi urin akut
Retensi urin yang akut adalah ketidakmampuan berkemih tiba-tiba dan
disertai rasa sakit meskipun buli-buli terisi penuh. Berbeda dengan kronis, tidak
ada rasa sakit karena urin sedikit demi sedikit tertimbun. Kondisi yang terkait
adalah tidak dapat berkemih sama sekali, kandung kemih penuh, terjadi tiba-tiba,
disertai rasa nyeri, dan keadaan ini termasuk kedaruratan dalam urologi. Kalau
tidak dapat berkemih sama sekali segera dipasang kateter
2. Retensi urin kronik
Retensi urin kronik adalah retensi urin ‘tanpa rasa nyeri’ yang disebabkan
oleh peningkatan volume residu urin yang bertahap. Hal ini dapat disebabkan
karena pembesaran prostat, pembesaran sedikit2 lama2 ga bisa kencing. Bisa
kencing sedikit tapi bukan karena keinginannya sendiri tapi keluar sendiri karena
tekanan lebih tinggi daripada tekanan sfingternya. Kondisi yang terkait adalah
masih dapat berkemih, namun tidak lancar , sulit memulai berkemih (hesitancy),
tidak dapat mengosongkan kandung kemih dengan sempurna (tidak lampias).
Retensi urin kronik tidak mengancam nyawa, namun dapat menyebabkan
permasalahan medis yang serius di kemudian hari.
Perhatikan bahwa pada retensi urin akut, laki-laki lebih banyak daripada
wanita dengan perbandingan 3/1000 : 3/100000. Berdasarkan data juga dapat
dilihat bahwa dengan bertambahnya umur pada laki-laki, kejadian retensi urin
juga akan semakin meningkat.
E. MANIFESTASI KLINIS
INKONTINENSIA URINE
Manifestasi mayor dari inkontinensia berkemih adalah keluarnya urine secara
involunter. Manifestasinya beragam dari klien ke klien. Suatu alat diagnosis yang baik
adalah bladder diary yang memberitahukan akan frekuensi berkemih, asupan cairan,
pattern urgensi berkemih, dan jumlah dan beratnya episode inkontinensia. Fitur uji
diagnostic terintegrasi mengilustrasikan informasi tambahan sehubungan dengan uji
diagnostic untuk inkontinensia urine.
RETENSI URINE
Manifestasi klinis yang utama dari retensi urine adalah kantong kemih yang
terdistensi atau ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih. Berkemih
sebanyak 25-50 ml satu atau beberapa kali dalam satu jam dapat menjadi indikasi adanya
retensi dengan overlow. Pemeriksaan diagnostic yang utama adalah kateterisasi. Residu
post void yang lebih besar dari 100 ml setelah beberapa usaha untuk berkemih
mengindikasikan adanya retensio. Pemeriksaan diagnostic lainnya. Sepetisitoskopi dan
pemeriksaan urodinamik meliputi pemeriksaan tekananberkemih, membantu mengetahui
sebab dari retensio.
F. KOMPLIKASI
INKONTINENSIA URINE
Masalah kulit. Ruam, infeksi kulit dan luka dapat terjadi karena kulit yang selalu
basah.Infeksi saluran urin.Inkontinensia meningkatkan risiko terjadinya infeksi pada
saluran urin.Berdampak pada kehidupan pribadi. Inkontinensia urin dapat mempengaruhi
kehidupan sosial, pekerjaan dan hubungan pribadi anda.
Penanganannya berdasar pada penyakit yang menjadi penyebab/menyertai.
Namun, terlepas dari hal itu, modifikasi gaya hidup juga dapat membantu mengurangi
gejala inkontinensia urin, seperti mengurangi berat badan, mengurangi rokok,
memperbanyak aktivitas fisik, dan modifikasi diet. Mengurangi konsumsi kafein/kopi
juga dapat mengurangi gejala khususnya pada inkontinensia urgensi. Latihan penguatan
otot dasar panggul seperti melakukan senam kaegel dapat menurunkan risiko terjadinya
kondisi ini, Pengobatan yang sering digunakan ialah jenis obat antikolinergik.
Sebenarnya obat-obatan ini biasa dipakai untuk penyakit pencernaan, tetapi terdapat
beberapa jenis obat yang dapat digunakan untuk kondisi ini.Pada inkontinensia urin
tekanan/stress, pengbatan bertujuan untuk meningkatkan penutupan intrauretra; dengan
berfokus pada tegangan otot polos dan lurik uretra.
Pembedahan dipertimbangkan apabila terapi konservatif atau
medikamentosa (dengan menggunakan obat) gagal. Pembedahan dapat dilakukan dengan
pembedahan terbuka atau laparoskopik.
RETENSI URINE
Urin yang tertahan di dalam saluran kencing berpotensi menimbulkan infeksi dan
batu saluran kemih.selain itu ,retensi urin akan menyebabkan peningkatan tekanan
kandung kemih yang selanjutnya juga mempengaruhi ureter dan ginjal.
Kandung kemih akan bekerja lebih keras secara terus menerus untuk
mengeluarkan urine .hinga akhirnya otot kandung kemih menjadi lemah dan dapat
terbentuk kantong-kantong (divertikel)yang berisiko tinggi.tekanan akan terus menerus
kesaluran ureter dan ginjal yang akan membengkak(hidroureter dan hidronrfrosis)
Sayang nya keaadaan ini akan berlanjut dengan gangguan fungsi ginjal.hal ini di
sebabkan tekanan yang sampai pada ginjal akan merusak sel-sel ginjal(nefron)bila tidak
di tanggani gangguan fungsi ginjal ini akan berakhir pada gagal ginjal terminal.
Nefrolitiasis adalah adanya batu pada atau kalkulus dalam velvis renal, sedangkan
urolitiasis adalah adanya batu atau kalkulus dalam sistem urinarius. Urolithiasis mengacu
pada adanya batu (kalkuli) ditraktus urinarius. Batu terbentuk dari traktus urinarius ketika
konsentrasi subtansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat
meningkat.
Pielonefritis adalah radang pada ginjal dan saluran kemih bagian atas. Sebagian
besar kasus pielonefritis adalah komplikasi dari infeksi kandung kemih (sistitis). Bakteri
masuk ke dalam tubuh dari kulit di sekitar uretra, kemudian bergerak dari uretra ke
kandung kemih. Kadang-kadang, penyebaran bakteri berlanjut dari kandung kemih dan
uretra sampai ke ureter dan salah satu atau kedua ginjal. Infeksi ginjal yang dihasilkan
disebut pielonefritis.
G. PATOFISIOLOGI
INKONTINENSIA URINE
Perubahan patofisiologis yang berhubungan dengan inkontinensia berbeda dengan
tiap penyebab spesifuk kelainannya. Pada inkontinensia tekanan, peningkatan tekanan
intravesika biasanya timbul dari kegiatan seperti bersin, batuk, tertawa dan exersi. Dapat
terjadi disfungsi pada sphincter uretra atau , pada perempuan, perubahan pada pertemuan
uretrovesika disebabkan karena kelemahan otot periruretra. Kelemahan otot dari
persalinan, menopause, atau masalah lain yang melonggarkan lantai pelvis. Terlebih dari
hilangnya tonus otot yang menyangga pertemuan uretrovesika, terdapat bertambahnya
penurunan, dengan efek funneling pada leher kandung kemih pada saat exersi. Pada laki-
laki, perubahan patofisiologis biasanya timbul dari BPH , yang menyebabkan retensi,
overflow, dan inkontinensia tekanan.
Detrusor overactivity berhubungan dengan beberapa perubahan patofisiologis,
dan dalam beberapa kasus, penyebab patofisiologisnya tidak diketahui. Salah satu
masalahnya adalah berkurangnya mobilitas karena lesi neuron motor atas spinalis
tergabung dengan ketidakmampuan untuk menahan kencing ketika imppuls dirasakan.
Inkontinensia urine overflow berasal dari distensi berlebih dari buli-buli dan
overflow dari kelebihan urine. Biasanya masalah ini timbul karena adanya obstruksi
pengeluaran dari kandung kemih, seperti BPH. Jika inkontinensia tidak dikontrol, hal ini
dapat menjadi masalah psikologis dan fisik. Konsekuensi psikologis dari inkontinensia
sangatlah serius. Klien-klien dapat mengisolasikan diri, dan rasa takut akan dipermalukan
dapat menjurus pada depresi. Inkontinensia juga merupakan penyebab utama masuk ke
panti jompo. Komlikasi fisik dari inkontinensia meliputi infeksi, maslah kulit, dan
disfungsi berkemih peremanen.
RETENSI URINE
Retensi urine adalah hal yang berbahaya karena urine yang statis dapat
menyebabkan infeksi saluran kemih, pembentukan batu, dan bakhan pada akhirnya akan
menyebabkan komplikasi kerusakan struktural jangka panjang pada kandung kemih,
ureter maupun ginjal. Selain itu, distensi kandung kemih yang terus-menerus dapat
menyebabkan hilangnya tonus kandung kemih.
Proses patologis dari retensi menyebabkan efek bola salju. Urine yang tertahan
meningkatkan tekanan hidrostatik, terhadap dinding kantong kemih , yang kemudian
menyebabkan hipertrofi otot destrusor, pembentukan trabekula ( jaringan ikat pada
dinding kantong kemih ), atau pembentukan divertikulum. Pada saat yang sama,
peristaltik pada otot ureter akan meningkat terhadap tekanan yang menumpuk pada urine.
Ureter secara perlahan terelongasi, menjadi berliku, dan fibrosis. Tekanan yang
meningkat juga menjalar ke pelvis dan kaliks renal serta parenkim renal. Hidronefosis
yang kemudian terjadi, akan menimbulkan tekanan pada pembuluh darah, menyebabkan
iskemia dan meningkatkan kerusakan ginjal. Jika proses ini tidak dihentikan , maka
dapat mengakibatkan terjadinya gagal ginjal dan kematian.
Retensi urine dapat menyebabkan ISK kronis atau beberapa seri ISK dan
gangguan perkemihan. Sebaliknya ISK kronis dan gangguan perkemihan dapat
menyebabkan retensi urine. Otot destrusor dapat teriritasi dan gagal untuk berfungsi
dengan benar, sehingga menyebabkan buang air kecil yang tidak tuntas. Iritasi dan
pembentukan jaringan parut pada leher kandung kemih atau uretra dapat terbentuk,
sehingga membawa pasien ini kepada resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya retensi
urine.
Penyakit psikogenik seperti ansietas, atau ketakutan untuk berkemih dikamar
mandi umum, dapat menyebabkan distensi kandung kemih dan terjadinya retensi urine.
Ketidakmampuan untuk merelaksasikan uretra kerana adanya ansietas atau defisit
neurologi juga dapat menyebabkan terjadinya retensi urine.
Masalah anorektal, seperti hemoroid, abses, impaksi fekal, dan prolaps vagina
dapat menjadi faktor yang memengaruhi, baik melalui obstruksi, atau dari spasme
sekunder otot-otot perineal yang memengaruhi uretra saat berkemih.
Menurunnya asupan oral atau cairan intravena menurunkan laju filtrasi
glomerulus (GFR), yang dapat menybabkan produksi urine yang sangat lambat dan
kandung kemih yang terlalu penuh. Peningkatan yang lambat menyebabkan otot
destrusor mengakomodasi peningkatan volume sehingga serat otot direntangkan melebihi
kemampuan mereka untuk berkontraksi, menghambat mikturisi.
Retensi urune dengan inkontinensia overflow dihasilkan diri proses berikut ini.
Kandung kemih yang terus mengisi, meningkatkan tekanan intravesika. Hingga pada
akhirnya tekanan ini melebihi resistensi dari sfingter. Urine mengalir keluar dari kandung
kemih hingga mengurangi tekanan intravesika, namun hanya berhenti sampai pada level
tekanan batas yang dapat dikontrol oleh sfingter. Banyak klien melaporkan bahwa
kandung kemih tidak tersa kosong. Hal ini terjadi berulang kali.
Obstruksi yang lama menyebabkan meningkatnya tekanan pada saluran kemih
dan dapat cenderung terbentuknya divertikulasi. Divertikulum adalah kantong yang
dihasilkan dari herniasi membrane mukosa pelapis yang disebabkan oleh kelemahan
dinding muskula organ. Divertikula kantong kemih banyak dijumpai pada kaum laki-laki.
Banyak divertikula yang asimptomatik dan biasanya ditemukan secara tidak sengaja saat
pemeriksaan dari keluhan lain.
Devertikula kantong kemih dapat menyebabkan dua masalah utama : (1) ISK ,
yang diakibatkan oleh urine yang statis dan (2) keganasan, yang mungkin dapat
terjadikarena iritasi kronis oleh infeksi yang terus- menerus. Intervensi yang dilakukan
biasanya mencakup menghilangkan obstruksi dan mengatasi retensi, diikuti dengan
operasi eksisi kantong dan pengembalian struktur saluran kemih seperti normal.
Pascaoperasi, drainase urine melalui kateter sangat dibutuhkan untuk pemulihan jaringan.
Klien yang sebelumnya sering atau memiliki infeksi saluran kemih yang kronis biasanya
membutuhkan terapi antibiotik jangka panjang setelah operasi dilakukan.
H. WOC
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
INKONTINENSIA URINE
- Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan
fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.
- Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium
glukosasitol.
RETENSI URINE
Pemeriksaan diagnostic yang utama adalah kateterisasi. Residu post void yang
lebih besar dari 100 ml setelah beberapa usaha untuk berkemih mengindikasikan adanya
retensio. Pemeriksaan diagnostic lainnya. Sepetisitoskopi dan pemeriksaan urodinamik
meliputi pemeriksaan tekananberkemih, membantu mengetahui sebab dari retensio.
J. PENATALAKSANAAN
INKONTINENSIA URINE
1. Senam otot pelvis
2. Re-edukasi dasar pelvis
Klien diajarkan untuk menggunakan otot dasar pelvis untuk mengesampingkan
urgensi dalam usaha untuk melatih buli-buli.
3. Stimulasi elektrik
Stimulasi elektrik dari dasar pelvis dapat digunakan untuk menghambat otot dasar
pelvis. Stimulasi elektrik juga membantu meningkatkan volume buli-buli melalui
inhibisi kandung kemih dan stabilisasi aktivitas detrusor.
4. Latihan kandung kemih dan perilaku
5. Medikamentosa
6. Asupan cairan dan perubahan diet
7. Mengimplementasikan program pelatihan buli-buli
8. Pantau asupan cairan
9. Ajarkan latihan kegel
10. Kembangkan jadwal berkemih
RETENSI URINE
Bila diagnosis retensi urin sudah ditegakkan secara benar, penatalaksanaan
ditetapkan
berdasarkan masalah yang berkaitan dengan penyebab retensi urinnya.
Pilihannya adalah
1. Kateterisasi
Syarat-syarat dilakukan dengan prinsip aseptic
 digunakan kateter nelaton/sejenis yang tidak terlalu besar, jenis Foley
 diusahakan tidak nyeri agar tidak terjadi spasme dari sfingter.
 diusahakan dengan sistem tertutup bila dipasang kateter tetap.
 diberikan antibiotika profilaksis sebelum pemasangan kateter 1 X saja (biasanya

Teknik kateterisasi

 Kateter Foley steril, untuk orang dewasa ukuran 16-18 F.


 Desinfeksi dengan desinfektans yang efektif, tidak mengiritasi kulit genitalia
(tidak Mengandung alkohol)
 Anestesi topikal pada penderita yang peka dengan jelly xylocaine 2-4%
yang dimasukkan dengan semperit 20cc serta "nipple uretra" diujungnya. Jelly
tersebut sekaligus berperan sebagai pelicin. (Pada batu atau striktura uretra, akan
dirasakan hambatan pada saat memasukkan jelly tersebut)
 Kateter yang diolesi jelly K-Y steril dimasukkan kedalam uretra. Pada penderita
wanita biasanya tidak ada masalah. Pada penderita pria, kateter dimasukkan
dengan halus sampai urin mengalir (selalu dicatat jumlah dan warna / aspek
urin), kemudian balon dikembangkan sebesar 5-10 ml. .
 Bila diputuskan untuk menetap, kateter dihubungkan dengan kantong penampung
steril dan dipertahankan sebagai sistem tertutup.
 Kateter di fiksasi dengan plester pada kulit paha proksimal atau didaerah inguinal
dan diusahakan agar penis mengarah kelateral, hal ini untuk mencegah terjadinya
nekrosis akibat tekanan pada bagian ventral uretra di daerah penoskrotal
Perawatan Kateter tetap Penderita dengan kateter tetap harus
 Minum banyak untuk menjamin dieresis
 Melaksanakan kegiatan sehari-hari secepatnya bila keadaan mengijinkan
Membersihkan ujung uretra dari sekrit dan darah yang mengering agar pengaliran
sekrit dan lumen uretra terjamin.
 Mengusahakan kantong penampung urin tidak melampaui ketinggian buli-buli
agar urin tidak mengalir kembali kedalamnya
 Mengganti kateter (nelaton) setiap dua minggu bila memang masih diperlukan
untuk mencegah pembentukan batu (kateter silikon : penggantian setiap 6-8
minggu sekali)
2. Sistostomi suprapubik
a. Sistostomin Trokar
Indikasi :
 Kateterisasi gagal : striktura, batu uretra yang menancap (impacted).
 Kateterisasi tidak dibenarkan : kerobekan uretra path trauma.

Syarat-syarat:

 Retensi urin dan bull-buli penuh, kutub atas lebih tinggi pertengahan jarak
antara simfisis –umbilikus
 Ukuran kateter Foley lebih kecil daripada celah dalam trokar (< - >
20F)dorongan
kelewatan sehingga trokar menembus dinding belakang buli-buli.
b. Sistostomi Terbuka
Indikasi
 lihat sistostomi trokar
 bila sistostomi trokar gagal
 bila akan melakukan tindakan tambahan seperti mengambil batu di dalam
bull-buli, evaluasigumpalan darah, memasang "drain" di rongga Retzii,
dan sebagainya.
 Perawatan kateter sistostomi jauh lebih sederhana daripada kateter tetap
melalui uretra. Demikianpula penggantian kateter sistostomi setiap dua
minggu, lebih mudah dan tidak menimbulkan nyeri yang berarti. Kadang-
kadang saja urin merembes di sekitar kateter.
3. Pungsi suprapubik
Merupakan tindakan darurat sementara bila keteterisasi tidak berhasil dan fasilitas
/ sarana untuksistostomi baik trokar maupun terbuka tidak tersedia. Digunakan jarum
pungsi dan penderitasegera dirujuk ke pusat pelayanan dimana dapat dilakukan
sistostomi. Penderita dan keluarga harus diberi informasi yang jelas tentang prosedur ini
karena tanpatindakan susulan sistostomi, buli-buli akan terisi penuh kembali dan
sebagian urin merembesmelalui lubang bekas pungsi.

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
1. IDENTITAS
Biasanya inkontinensia urine pada usia diatas 60 tahun, lebih banyak memengaruhi
perempuan daripada laki-laki dan lebih sering muncul pada perempuan multipara
yang lebih berumur sebagai inkontinensia akibat stres.
Pada laki-laki retensi urine sering kali terjadi akibat obstruksi yang terjadi
dikarenakan pembesaran prostat. Pada perempuan, prolaps dari dinding belakang
vagina meningkatkan risiko terjadinya retensi karena tekanan yang timbul pada
uretra. Lebih dari setengah laki-laki yang berumur lebih dari 50 tahun mengalami
BPH, yang menjadi penyebab umum retensi urine.
2. RIWAYAT KESEHATAN
a. Riwayat kesehatan sekarang
Pada inkontinensia urine perasaan subjektif klien terhadap masalah saat berkemih,
ketidak mampuan menahan kencing, kebocoran urin, penggunaan absorbent.
Pada retensi urine biasanya klien merasakan rasa tidak enak pada uretra kemudian
di ikuti nyeri ketika berkemih atau nyeri saat kencing.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama atau penyakit lain
yang berhubungan dengan penyakit urologi
c. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga diabetes melitus dan penyakit urologi.
3. POLA PERSEPSI DAN PENANGANAN KESEHATAN
Bagaimana pasien menghadapi penyakitnya saat ini apakah pasien dapat menerima
keadaannya, apakah ada tekanan psikologis yang berhubungan dengan penyakitnya,
kaji tingkah laku dan kepribadian apakah ada perubahan karena kondisinya.
4. POLA NUTRISI/METABOLISME
Pada inkontinensia urine biasanya klien kekurangan cairan karena inkontinensia,
dehidrasi.
Pada retensi urine klien mengeluh tidak nafsu makan , klien mengeluh mual muntah.
penurunan BB < porsi makan tidak dihabiskan
5. POLA ELIMINASI
Pada inkontinensia uirne berapa kali klien BAK dalam satu hari, berapa lama klien
dapat melakuka aktivitas antara waktu berkemih. Klien tidak mampu menahan untuk
berkemih.
Pada retensi urine penurunan dorongan aliran urine, keragu-raguan pada awal
berkemih, kandung kemih terasa penuh, tidak dapat berkemih kecuali dngan cara
mengejan, urin keluar sedikt-sedikit. disensi vesika urinaria, pengeuaran urin < 1500
ml/hari, pengeluaran urin sedikit , nampak pemasangan kateter.
6. POLA AKTIVITAS/LATIHAN
Pada inkontinensia urine kemudahan klien mencapai toilet, pencahayaan, kondisi
lantai, alat bantu klien untuk mencapai tempat tidur, aktivitas klien terganggu karena
sering berkemih.
Pada retensi urine tidak bisa istirahat dengan tenang jika rasa nyeri timbul
7. POLA ISTIRAHAT TIDUR
Pada inkontinensia urine pola istirahat dan tidur terganggu karena sering terbangun,
dan nokturia.
Pada retensi urine tidak bisa tidur dengan tenang jika rasa nyeri timbul
8. POLA PERAN HUBUNGAN
biasanya klien menghindari interaksi sosial karena takut akan bau yang dihasilkan.
9. POLA SEKSUALITAS DAN REPRODUKSI
Pada inkontinensia urine apakah ada kemungkinan kebocoran uring saat melakukan
hubungan seksual, klien dapat malu dan menghindari keintiman seksual.
Pada retensi urine klien mengeluhkan penurunan kemampuan dalam melakukan
hubungan seksual.
10. POLA PERSEPSI DIRI/KONSEP DIRI
Klien merasa malu dan rendah diri akan kondisinya karena bau yang dihasilkan
11. POLA KOPING TOLERANSI STRES
Klien merasa gelisah dan cemas karena berkemih yang tidak terkontrol dan
menyebabkan klien tidak bisa tidur di malam hari, rasa takut akan dipermalukan
dapat menjurus pada depresi
12. Pemeriksaan fisik
a. Kepala : bibir pucat dan kering
b. Paru : tidak ada masalah
c. Jantung : tidak ada masalah
d. Abdomen : pada inkontinensia urine untuk mengevaluasi massa atau
kumpulan cairan, yang dapat mempengaruhi tekanan intra abdomen dan
fungsi detrusor. Pemeriksaan pelvis yang biasanya normal pada penderita
overaktif kandung kemih, untuk menilai adakah kontribusi dari gejala
overaktif kandung kemih.
Pada retensi urine inspeksi tampak distensi abdomen , perkusi pada area
supra pubik apakah menghasilkan bunyi pekak yang menunjukkan
distensi kandung kemih, nyeri tekan daerah suprapubik.
e. Ekstremitas : Pengkajian Kekuatan otot pelvis, tujuan pemeriksaan ini
adalah untuk melihat fungsi neuromuskular dan kemampuan otot dasar
panggul yang sangat berperan saat berkemih.
f. Integumen : Pengkajian terhadap kulit sekitar perineal untuk melihat
adanya lesi atau ekskoriasi terkait dengan seringnya kebocoran berkemih.
g. Rectal : Pengkajian rektal, pada wanita kepentingan pengkajian rektal
untuk memvalidasi penyebabk terjadinya UI yaitu mengkaji adanya massa
atau tumor. Sedangkan pada laki-laki digital rektal examibation (DRE)
berfungsi untuk mengetahui adanya massa atau pembesaran prostat.
13. PEMERIKSAAN PENUNJANG
INKONTINENSIA URINE
- Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan
fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.
- Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin,
kalsium glukosasitol.
RETENSI URINE
Pemeriksaan diagnostic yang utama adalah kateterisasi. Residu post void yang
lebih besar dari 100 ml setelah beberapa usaha untuk berkemih mengindikasikan
adanya retensio. Pemeriksaan diagnostic lainnya. Sepetisitoskopi dan pemeriksaan
urodinamik meliputi pemeriksaan tekananberkemih, membantu mengetahui sebab
dari retensio.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
INKONTINENSIA URINE
1. Gangguan eliminasi urine b.d gangguan sensori motorik
2. Gangguan pola tidur b.d halangan lingkungan
3. Gangguan rasa nyaman b.d gejala terkait penyakit
4. Ansietas b.d ancaman pada status terkini
5. Kerusakan integritas kulit b.d gangguan turgor kulit
6. Isolasi sosial
7. Defisit perawatan diri:Eliminasi b.d hambatan mobilitas
8. Risiko infeksi b.d gangguan integritas kulit

RETENSI URINE

1. Retensi urine b.d tekanan ureter tinggi


2. Nyeri akut b.d agens cedera biologis
3. Inkontinensia overflow b.d hiperkontraktilitas detrusor
4. Ansietas b.d ancaman pada status terkini
5. Risiko infeksi b.d kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen
C. INTERVENSI
INKONTINENSIA URINE

DIAGNOSA KEP NOC NIC

Gangguan pola tidur b.d Pola tidur Peningkatan tidur


halangan lingkungan Aktivitas-aktivitas:
Indikator:  tentukan pola tidur atau
aktifitas pasien
 jam tidur (2-4)  perkirakan tidur atau
 pola tidur (2-4) siklus bangun pasien
 kualitas tidur (2-4) didalam perawatan
 efesiensi tidur (2-4) perencanaan
 tidur rutin (2-4)  tentukan efek dari obat
 tidur dari awal yang dikonsumsi pasien
sampai habis terhadap pola tidur
dimalam hari secara  monitor atau atau catat
konsisten (2-4) pola tidur pasien dan
 perasaan segar jumlah jam tidur
setelah tidur (2-4)  sesuaikan lingkungan (
 buang air kecil misalnya cahaya,
dimalam hari (2-4) kebisingan, suhu, kasur,
dan tempat tidur) untuk
meningkatkan tidur
 bantu untuk
menghilangkan situasi
stres sebelum tidur
 monito makanan sebelum
tidur dan intake minuman
yang dapat memfasilitasi
atau mengganggu tidur
Gangguan rasa nyaman STATUS KENYAMANAN Manajemen lingkungan
b.d gejala terkait penyakit Indikator-indikator: kenyamanan
 kesejahteraan fisik Aktifitas-aktifitas:
(2-4)  tentukan tujuan pasien dan
 kontrol terhadap keluarga dalam mengelola
gejala (2-4) lingkungan dan kenyamanan
 kesejahteraan yang optimal
fisikologis (2-4)  pertimbangan penempatan
 lingkungan fisik (2- pasien dikamar dengan
4) beberapa tempat tidur (teman
 suhu ruangan (2-4) sekamar dengan masalah

 dukungan sosial dan lingkungan yang sama jika

keluarga (2-4) memungkinkan)


 cepat bertindak jika terdapat
panggilan bel jika yang harus
ada dalam jangkauan
 hindari gangguan yang tidak
perlu dan berikan untuk
waktu istirahat

RETENSI URINE

DIAGNOSA KEP NOC NIC

Nyeri akut b.d agens 1. Kontrol Nyeri 1. Pemberian Analgesik


cedera biologis Indikator : Aktivitas-aktivitas :
 Mengenali kapan  Tentukan lokasi, karakteristik,
nyeri terjadi (3-4) kualitas dan keparahan nyeri
 Menggambarkan  Cek perintah pengobatan
factor penyebab nyeri meliputi obat, dosis dan
(3-4) frekuensi obat analgesic yang
 Menggunakan jurnal diresepkan
harian untuk  Cek adanya riwayat alergi obat
memonitor gejala dan  Tentukan pilihan obat
waktu ke waktu (3-4) analgesic berdasarkan tipe dan
 Menggunakan keparahan nyeri
tindakan pencegahan  Tentukan analgesic
(3-4) sebelumnya, rute pemberian
 Menggunakan dan dosis untuk mencapai
tindakan pengurangan hasil pengurangan nyeri yang
tanpa analgesic (3-4) optimal
 Mengenali apa yang  Monitor tanda vital sebelum
terkait dengan gejala dan setelah memberikan
nyeri (3-4) analgesic narkotik pada
 Melaporkan nyeri pemberian dosis pertama kali
yang terkontrol (3-4) atau jika ditemukan tanda-
2. Tingkat nyeri tanda yang tak biasanya
Indikator :  Berikan kebutuhan
 Nyeri yang dilaporkan kenyamanan dan aktivitas lain
(2-3) yang dapat membantu
 Panjangnya episode relaksasi untuk memfasilitasi
nyeri (2-3) penurunan nyeri
 Ekspresi nyeri wajah  Berikan analgesic sesuai
(2-3) waktu paruhnya terutama pada
 Mengerinyit (2-3) nyeri yang berat

 Ketengangan otot (2-  Lakukan tindakan- tindakan


3) untuk menurunkan efek

 Frekuensi nafas (2-3) samping analgesic

 Denyut jantung apical  Ajarkan tentang penggunaan

(2-3) analgesic, strategi untuk


 Denyut nadi radial (2- menurunkan efek samping dan
3) harapan terkait dengan
 Tekanan darah (2-3) keterlibatan dalam keputusan
pengurangan nyeri
2. Manajemen nyeri
Aktivitas-aktivitas
 Lakukan pengkajian nyeri
komprehensif yang meliputi
lokasi, karakteristik,
onset/durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas atau
beratnya nyeri dan factor
pencetus
 Pastikan perawatan analgesic
bagi pasien dilakukan dengan
pemantauan yang ketat
 Gunakan strategi komunikasi
terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri dan
sampaikan penerimaan pasien
terhadap nyeri
 Gali pengetahuan dan
kepercayaan pasien mengenai
nyeri
 Gali bersama pasien factor-
faktor yang dapat menurunkan
atau memperberat nyeri
 Evaluasi pengalaman nyeri di
masa lalu yang meliputi
riwayat kronik individu atau
keluarga atau nyeri yang
menyebabkan
ketidakmampuan dengan tepat
 Evaluasi bersama pasien dan
tim kesehatan lainnya,
mengenai efektifitas tindakan
pengontrolan nyeri yang
pernah digunakan sebelumnya
 Bantu keluarga dalam mencari
dn menyediakan dukungan
 Gunakan metode penilaian
yang sesuia dengan tahap
perkembangan yang
memungkinkan untuk
memonitor perubahan nyeri
dan akan dapat membantu
mengidentifikasi factor
pencetus actual dan potensial
 Tentukan kebutuhan frekuensi
untuk melakukan pengkajian
ketidaknyamanan pasien dan
mengimplementasikan rencana
monitor
 Berikan informasi mengenai
nyeri, seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan
dirasakan dan antisipasi dari
ketidaknyamanan akibat
prosedur
 Kendalikan factor lingkungan
yang dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap
ketidaknyaman
 Kurangi atau eliminasi factor-
faktor yang dapat mencetuskan
atau meningkatkan nyeri
 Ajarkan prinsip-prinsip
manajemen nyeri
 Pertimbangkan tipe dan
sumber nyeri ketika memilih
strategi penurunan nyeri
 Dorong pasien untuk
memonitor nyeri dan
menangani nyerinya dengan
tepat
 Dorong pasien untuk
menggunakan obat-obatan
penurunan nyeri yang adekuat
 Berikan individu penurun
nyeri yang optimal dengan
peresepan analgesic
 Gunakan tindakan pengontrol
nyeri sebelum nyeri bertambah
berat
 Mulai dan modifikasi tindakan
pengontrol nyeri berdasarkan
respon pasien
 Dukung istirahat/tidur yang
adekuat untuk membantu
penurunan nyeri
 Berikan informasi yang akurat
untuk meningkatkan
pengetahuan dan respon
keluarga terhadap pengalaman
nyeri
 Monitor kepuasan pasien
terhadap manajemen nyeri
dalam interval yang spesifik
3. Bantuan pasien untuk mengontrol
pemberian analgesik
Aktivitas-aktivitas
 Rekomendasikan pemberian
aspirin dan obat-obat anti
inflamasi nonsteroid sebagai
pengganti narkotik sesuai
kebutuhan
 Hindari pengguanaan Demerol
 Pastikan bahwa pasien tidak
alergi terhadap analgesik yang
diberikan
 Instruksikan pasien dan
keluarga untuk memonitor
intensitas, kualitas dan durasi
nyeri
 Instruksikan pasien dan
keluarga untuk memonitor laju
pernapasan dan tekanan darah
 Validasi bahwa pasien dapat
menggunakan PCA
 Bantu pasien dan keluarga
untuk memberikan
dosisanalgesik yang tepat
 Instruksikan pasien
bagaiamana meningkatkan
atau menurunkan tirasi dosis
sesuai dengan laju pernapasan,
intensitas dan kualitas nyeri
 Instruksikan pasien dan
keluarga terkait reaksi dan
efek samping dari agen
pengurang rasa nyeri
 Dokumentasikan nyeri pasien,
jumlah dan frekunsi dosis obat
dan respon terhadap
pengobatan nyeri dalam
catatan perkembangan
 Monitor ketat ad tidaknya
depresi pernapasan pada
pasien yang beresiko
 Konsultasikan dengan ahli
klinik bagi pasien yang
mengalami kesulitan dalm
mencapai pengontrolan nyeri
4. Manajemen sedasi
Aktiivitas-aktivitas
 Review riwayat kesehatan
klien dan hasil pemeriksaan
diagnostic untuk
mempertimbangkan apakah
klien memenuhi criteria untuk
dialkukan pembiusan parsial
oleh perawat yang telah
terintegrasi
 Periksa alergi terhadap obat
 Pertimbangkan intake cairan
dan intake terakhir makan
 Instruksikan klien dan
keluarga mengenai efek
pembiusan
 Evaluasi tingkat kesadaran
klien dan reflex protektif
sebelum pembiusan
 Dapatkan tanda-tanda vital,
saturasi oksigen, EKG, tinggi
dan berat badan
 Inisiasi pemasangan infuse
 Berikan obat sesuai protocol
yang diresepkan dokter
 Monitor tingkat kesadaran dan
tanda-tanda vital klien,
saturasi oksigen dan EKG
sesuai dengan panduuan
protocol
 Pastikan ketersediaan dan
pemberian antagonis sesuai
dengan prosedur protocol dan
diresepkan dokter dengan
benar
 Pertimbangkan jika pasien
memenuhi persyaratan untuk
dipulangkan atau dipindahkan
sesuia dengan prosedur
protocol
Risiko infeksi b.d kurang KEPARAHAN INFEKSI 1.Kontrol infeksi
pengetahuan untuk Indikator-indikator: Aktifitas-aktifitas:
menghindari pemajanan  Kemerahan (2-4)  Bersihkan lingkungan
patogen  Cairan luka yang dengan baik setelah
berbau busuk (2-4) digunakan untuk setiap
 Demam (2-4) pasien
 Nyeri (2-4)  Ganti peralatan perawatan
 Ketidakstabilan suhu per pasien sesuai protokol
(2-4) institusi

 Piuria/nanah dalam  Batasi jumlah pengunjung


urin (2-4)  Anjurkan pasien mengenai
 Kolonisasi kultur teknik mencuci tangan
urin (2-4) dengan tepat
 Gunakan sabun anti mikroba
untuk cuci tangan yang
sesuai
 Anjurkan pengunjung untuk
mencuci tangan pada saat
memasuki dan meninggalkan
ruangan pasien
 Gosok kulit pasien dengan
agen anti bakteri yang sesuai
2.Perlindungan infeksi
Atifitas-aktifitas:
 Monitor adanya tanda dan
gejala infeksi sistemik dan
lokal
 Monitor kerentanan terhadap
infeksi
 Batasi jumlah pengunjung
yang sesuai
 Berikan perawatan kulit yang
tepat untuk area yang
mengalami edema
 Anjurkan istirahat
 Anjurkan asupan cairan
dengan tepat
 Berikan agen imunisasi
dengan tepat
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Inkontenensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkemdali atau terjadi diluar keinginan. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita
yang pernah melahirkan dari pada yang belum pernah melahirkan (nulipara). diduga
disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita
inkontenensia telah menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-urektrokel.
Tetapi kadang-kadang dijumoai penderita dengan proplapsus total uterus dan vagina
dengan kontenensia urine yang baik.
Retensi urine adalah suatau keadaan penumpukan urine dikandung kemih dan
tidak mempunyai kemampuian untuk mengosongkannya secera sempurna. Retensio urine
adalah kesulitan muksi karena kegagalan urine dan fesika urinaria. Retensio urine adalah
tertahannya urine di dalam kandung kemih, dapat terjadi secara akut maupun kronis.
Retensio urine dalah ketidakmampuan untuk melakukan urinasi meskipun terdapat
keinginan atau dorongan terhadap hal tersebut, Retensio urine adalah suatu kemampuan
penumpukan urine dikandung kemih dan tidak punya kemampuan untuk
menggosongkannya.
B. SARAN
Makalah sangat jauh dari kesempurnaan oleh karena itu kami sebagai kelompok
mengharapkan kritikan dan saran dari dosen pembimbing dan teman-teman sesama
mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA

Black, Joyce M dan Jane Hokanson Hawks.2014.Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis
untuk Hasil yang Diharapkan, Edisi 8-Buku 1.Singapura:Elsevier.

NANDA, NIC, NOC

Anda mungkin juga menyukai